easter-japanese

Pada jaman Sang Buddha, telah banyak ahli-ahli agama yang luar biasa kemampuannya di India. Banyak orang-orang pandai pada masa itu yang membicarakan perbedaan agama. Adakah sang pencipta? Tidak adakah sang pencipta? Adakah roh? Tidak adakah roh? Apakah dunia tanpa suatu awal? Apakah ada awal dari dunia? Itu adalah beberapa topik pembicaraan yang dengan sangat hebat diperdebatkan, yang telah menyita banyak waktu dan tidak pernah selesai.
Ditulis dalam bentuk dialog tentang seorang skeptik terhadap ajaran Buddhisme yang mendapatkan jawaban-jawaban atas keragu-raguannya dari Bhikkhu Tissa dalam sebuah pertemuannya yang tidak terduga.
Orang-orang sering menanyakan pertanyaan ini, ke manakah Sang Buddha pergi atau di manakah Ia sekarang tinggal? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab bagi mereka yang belum mengembangkan jalan hidup spiritual. Ini disebabkan setiap orang memikirkan mengenai hidup dengan cara pandang duniawi.
Dalam Buddhis Theravada beberapa dekade terakhir ini suatu perdebatan telah berkali-kali muncul seputar pertanyaan apakah jhāna diperlukan atau tidak diperlukan untuk mencapai “jalan dan buah,” yaitu, empat tahap pencerahan. Perdebatan ini dipicu oleh muculnya berbagai sistem meditasi pandangan terang yang terkenal baik di Asia maupun di Barat, khusunya di kalangan umat awam Buddhis. Mereka yang mengajarkan sistem meditasi demikian menegaskan bahwa jalan dan buah dapat dicapai dengan mengembangkan pandangan terang (vipassanā) tanpa landasan jhāna. Metode ini disebut kendaraan pandangan terang murni (suddha-vipassanā), dan mereka yang mempraktikkan cara ini disebut sebagai “praktisi pandangan terang kering [dry-insighter]” (sukkha-vipassaka) karena praktik pandangan terang mereka tidak “dibasahi” sebelumnya oleh pencapaian jhāna-jhāna. Jelas bahwa sistem ini didukung oleh Visuddhimagga dan Komentar-komentar Pāli, walaupun tidak mendapat tempat yang menonjol dalam perlakukan komentar atas sang jalan, yang biasanya mengikuti gaya kanonis dengan menempatkan jhāna-jhāna sebelum pengembangan pandangan terang.
Bayangkan anda ingin menebang sebatang pohon mati dengan sebuah kapak. Agar berhasil maka kapak harus tajam dan cukup berat. Tetapi di manakah tajam dan berat itu dimulai? Jelas bahwa bahkan dengan usaha keras jika menggunakan pisau cukur atau pemukul baseball maka tidak akan berhasil. Dalam konteks praktik meditasi Buddhis, kapak yg berat dapat mengumpamakan ketenangan (samatha), ketajamannya mengumpamakan pandangan terang (vipassana). Kedua aspek meditasi ini memainkan peran penting dalam mencerahkan makhluk-makhluk pada sifat realitas dan membebasakan mereka dari penderitaan. Dengan memeriksa teks-teks kuno yang berasal dari Sang Buddha serta beberapa pendekatan populer, tulisan ini akan mencoba untuk mengupas tentang hubungan yang saling mendukung antara kedua tonggak pengembangan spiritual ini.
Saya telah diminta untuk berbicara tentang perspektif Buddhisme awal terhadap gagasan kelahiran kembali, dan lebih khusus, bagaimana ini mungkin atau tidak mungkin berhubungan dengan penelitian empiris yang telah kami tempuh. Untuk menyampaikan topik ini pertama-tama perlu untuk meninjau cakupan dari apa yang kita sebut “Buddhisme Awal”. Selanjutnya kita perlu melihat pada beberapa cara umum kelahiran kembali dibahas dalam Buddhisme Awal. Kemudian kita akan berada dalam posisi untuk meninjau kembali teks-teks yang dapat dianggap mendukung kenyataan “keadaan antara”. Sebagai kesimpulan, saya akan mengumpulkan bersama apa yang kelihatan bagi saya sebagai beberapa untaian penting yang menghubungkan tulisan ini dengan orientasi “ilmiah” dari konferensi ini.
Saṃyutta Nikāya adalah salah satu kumpulan paling penting dari khotbah-khotbah Sang Buddha yang diabadikan dalam Kanon Pali. Sebagian isinya dipastikan berasal dari konsili Buddhis pertama dan demikian juga berasal dari periode tertua dalam sejarah Buddhis. Saṃyutta Nikāya adalah sebuah harta berlimpah ajaran Buddhis yang mengungkapkan, sejelas seperti yang diinginkan, filosofi dan praktik Buddhisme selama pada masa yang paling awal.
Buku ini memberikan suatu terjemahan lengkap Majjhima Nikāya, Khotbah-Khotbah Menengah Sang Buddha, salah satu koleksi besar dari teks Kanon Pali, naskah-naskah otentik dari Buddhisme Theravada. Koleksi ini – di antara catatan-catatan tertua dari asal-mula ajaran asli Buddha historis – terdiri dari 152 sutta atau khotbah dengan panjang menengah, yang dibedakan demikian dari sutta-sutta yang lebih panjang dan yang lebih pendek dari koleksi lain. Majjhima Nikāya dapat secara singkat digambarkan sebagai naskah Buddhis yang menggabungkan berbagai situasi kontekstual yang kaya dengan beragam ajaran yang terdalam dan paling komprehensif. Ajaran-ajaran ini, yang merentang dari etika-etika dasar hingga ajaran-ajaran tentang meditasi dan pandangan terang yang membebaskan, mengungkapkan suatu prosesi skenario yang mengagumkan yang memperlihatkan Sang Buddha dalam suatu dialog langsung dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat India: dengan raja-raja dan para pangeran, para pendeta dan petapa, para penduduk desa yang sederhana serta para filsuf terpelajar. Penuh dengan drama, dengan argumen-argumen yang logis, dan dengan perumpamaan-perumpamaan yang mencerahkan, khotbah-khotbah ini memperlihatkan Sang Buddha dalam keagungan penuh dari kebijaksanaanNya yang gilang-gemilang, kemuliaan yang megah, dan belas kasih kemanusiaan.
Terjemahan ini adalah sebuah terjemahan ‘mandiri’, karena terjemahan ini memuat lengkap isi dari Digha Nikaya. Tidak ada yang dihilangkan, kecuali banyak terdapat pengulangan yang sangat membosankan yang merupakan sebuah ciri khas dari teks aslinya. Teks Pali ini diterjemahkan dari ‘Tiga Keranjang’ (Tipitaka), sebuah kumpulan dari ajaran Sang Buddha yang dianggap sebagai kitab suci oleh Buddhisme aliran Theravada, yang bisa ditemukan pada zaman sekarang di Sri Lanka, Burma, dan Thailand, dan sampai akhir-akhir ini sama berkembangnya di Laos dan Kamboja. Sekarang ini, juga telah berkembang dengan baik di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Aliran ini mengaku bahwa telah mempertahankan ajaran asli dari Sang Buddha, dan ada alasan-alasan kuat, setidaknya untuk menganggap bahwa ajaran yang ditemukan pada kitab suci Pali yang paling mendekati apa yang benar-benar Sang Buddha ajarkan. Terlepas dari itu, Tipitaka Pali adalah satu-satunya kitab suci dari aliran awal yang dipertahankan dengan lengkap. Akan tetapi, dalam semangat Buddhisme diharapkan untuk tidak mengadopsi sikap seorang ‘Fundamentalis’ terhadap kitab suci, dan terbuka bagi pembaca Buddhis maupun non-Buddhis, teks-teks di sini diterjemahkan dengan pikiran terbuka dan kritis.
Kumpulan monumental ini adalah pengantar definitif kepada ajaran Sang Buddha – dari kata-kata beliau sendiri. Bhikkhu cendekiawan Amerika, Bhikkhu Bodhi, yang telah diakui terjemahannya yang sudah sangat banyak, sekarang mempersembahkan pilihan khotbah-khotbah Sang Buddha yang ambil dari Kanon Pali, catatan tertua dari apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Dibagi menjadi 10 bab tematik, Kumpulan Khotbah Sang Buddha mengungkap cakupan penuh dari khotbah Sang Buddha, dari kehidupan berkeluarga dan pernikahan sampai pelepasan dan jalan pencerahan. Kumpulan Khotbah Sang Buddha memungkinkan pembaca yang bahkan tidak mengenal Buddhisme untuk memahami pentingnya kontribusi Sang Buddha kepada warisan dunia kita. Secara keseluruhan, teks-teks ini berisi bukti nyata pada luas dan dalamnya ajaran Sang Buddha, dan menunjukkan pada jalan tua dan juga yang sangat penting.
Melihat secara sekilas halaman-halaman katalog publikasi-publikasi dari Pāḷi Text Society, seharusnya sudah cukup untuk meyakinkan siapa saja bahwa terdapat jauh lebih banyak literatur Pāḷi klasik dibandingkan dengan Tipiṭaka itu sendiri. Tercampur aduk dengan Nikaya-Nikaya, teks-teks Vinaya, dan Abhidhamma yang sudah umum, terdapat sejumlah judul dengan nama Pāḷi yang panjang dan hampir tidak bisa diucapkan. Meskipun banyak pelajar Buddhisme barat yang mungkin tidak pernah bertemu dengan karya-karya ini (memang, sebagian besar karya-karya tersebut tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris), buku-buku ini telah sekian abad memainkan peranan yang sangat penting di dalam perkembangan pemikiran dan praktik Buddhis di Asia dan, pada akhirnya, di Barat. Pada kenyataannya, di beberapa negara, karya-karya ini sangat dihargai ibarat sutta-sutta itu sendiri.
Sosok ideal Arahant dan sosok ideal bodhisattva sering dianggap berturut-turut sebagai teladan penuntun bagi Buddhisme Theravāda dan Buddhisme Mahāyāna. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena tradisi Theravāda telah menyerap sosok Bodhisattva ke dalam kerangkanya dan dengan demikian mengenali validitas baik Kearahataan dan Kebuddhaan sebagai sasaran cita-cita. Oleh karena itu adalah lebih akurat untuk mengatakan bahwa sosok ideal Arahant dan sosok ideal Bodhisattva masing-masing adalah teladan penuntun dari Buddhisme awal dan Buddhisme Mahāyāna. Sebutan “Buddhisme awal” tidak saya maksudkan sama seperti Buddhisme Theravada yang muncul di Negara-negara Asia Selatan. Yang saya maksudkan adalah jenis Buddhisme yang terwujud dalam Nikāya-nikāya kuno dari Buddhisme Theravada dan dalam teks-teks bersesuaian dari aliran lain di Buddhisme India yang tidak berhasil bertahan dalam kehancuran Buddhisme di India.
Komunitas awam mendukung para bhikkhu dalam kehidupan suci mereka. Jadi, sangat penting apabila mereka memahami Piṭaka kebhikkhuan sampai batas tertentu karena mereka mengambil peranan penting dalam membantu para bhikkhu untuk menjalankan peraturan kedisplinan. Seorang bhikkhu Theravāda memiliki 227 peraturan (Sīla) dalam Pātimokkha sementara seorang bhikkhu Mahāyāna pada dasarnya memiliki peraturan yang sama dengan tambahan bagian minor yang berhubungan dengan sikap hormat pada stupa, yang menjadikannya 250 peraturan secara keseluruhan. Seorang bhikkhu juga melaksanakan peraturan dalam buku-buku lain dari Vinaya Piṭaka.
Sekitar 18 tahun yang lalu sekelompok siswa Buddhis dari Universitas Singapore datang menemui saya mengeluh bahwa mereka seringkali mendapatkan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Buddhisme yang diberikan pada mereka. Saya meminta mereka untuk memberikan contoh pertanyaan-pertanyaan tersebut dan ketika sudah saya terima, saya terkejut bahwa umat Buddhis muda, cerdas dan terpelajar hanya mengetahui sedikit tentang agamanya dan ragu dalam menjelaskan tentang agamanya pada orang lain. Saya mencatat banyak pertanyaan, menambahkan beberapa yang sering ditanyakan kepada saya dan jadilah “Pertanyaan Baik Jawaban Baik”. Yang sebenarnya ditujukan untuk orang Singapura, mengejutkan dan memberikan rasa puas juga, telah menyebar kepada pembaca internasional. Lebih dari 150,000 buku edisi bahasa Inggris telah dicetak dan telah dicetak kembali berulangkali di Amerika, Malaysia, India, Thailand dan Sri Lanka. Dan juga telah diterjemahkan ke 14 bahasa, yang terakhir Bahasa Indonesia dan Spanyol. Dalam edisi ke-empat yang telah diperbaharui dan diperbesar saya telah menambahkan beberapa pertanyaan dan memberikan, saya harap, jawaban-jawaban yang baik atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya juga telah menambahkan sebuah bab yang berisi beberapa peribahasa oleh Sang Buddha. Semoga buku kecil ini akan terus merangsang ketertarikan pada Dhamma Sang Buddha.
Sang Buddha berhasil mendirikan sebuah agama yang telah menjadi sebuah kekuatan sejati bagi kedamaian dan keharmonisan, tidak hanya karena tingginya nilai yang beliau tempatkan pada kualitas-kualitas ini tetapi juga karena arahan seksama yang beliau berikan mengenai bagaimana mencapainya melalui pemaafan dan rekonsiliasi. Inti dari arahan-arahan ini adalah kebijaksanaannya yaitu pemaafan adalah satu hal, rekonsiliasi adalah hal lain. Catatan: Rekonsiliasi adalah Perdamaian.
Dari sudut pandang ajaran Buddha, pernikahan bukanlah sesuatu yang suci ataupun tidak suci. Ajaran Buddha tidak menganggap pernikahan sebagai suatu kewajiban religius maupun sebagai suatu hal yang sakral yang ditakdirkan di surga. Seorang kritikus berkata, ketika beberapa orang percaya bahwa pernikahan telah direncanakan di surga, beberapa orang lainnya berkata bahwa pernikahan dicatat pula di neraka. Pernikahan pada dasarnya merupakan hak pribadi dan sosial, bukan suatu kewajiban. Seorang lelaki maupun perempuan memiliki kebebasan memilih untuk menikah atau tetap hidup sendiri. Hal ini tidak berarti kalau ajaran Buddha menentang pernikahan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan berkata bahwa pernikahan adalah hal yang buruk dan tidak ada ajaran agama apapun yang menentang pernikahan.
Tujuan buku ini adalah untuk menganalisis sumber-sumber tekstual dari teori meditasi Theravāda abad ke-20. Fokusnya adalah pada karya-karya sumber utama untuk apa yang saya sebut Vipassanāvāda, “ajaran vipassanā”. Ini adalah penafsiran khusus dari beberapa konsep meditasi utama yang telah menjadi sifat ortodoks *de facto* dalam Buddhisme Theravāda, walaupun bukan tanpa kontroversi. Istilah vipassanāvāda berguna dalam arti bahwa akhiran Pali –vāda menunjuk pada pentingnya teori di mana praktik-praktik ini didasarkan. Lebih dari itu, akhiran yang sama juga berarti tidak hanya suatu ajaran, tetapi juga aliran yang mengikuti ajaran tersebut. Ini semua terlalu tepat dalam kasus sekarang, karena “vipassanā” telah muncul, dengan agak aneh, untuk digunakan seakan-akan ia menunjuk pada suatu aliran Buddhisme yang sebenarnya (alih-alih suatu aspek meditasi yang dikembangkan dalam semua aliran).
Jika kita merenungkan isu dasar yang memecah-belah aliran- aliran, kita menemukan banyak yang mengingatkan pada dialog Buddhis saat ini. Disayangkan bahwa sejarah pemikiran filosofis Buddhis yang rumit dan mendalam menjadi dengan sangat mudahnya diciutkan menjadi penolakan simplistik aliran-aliran lain hanya karena mereka tidak sepaham dengan interpretasi kelompok pilihannya. Sebanyak yang dapat kita bayangkan bahwa semua jawaban terbungkus, sifat dasar filosofi adalah sedemikian sehingga isu dasar yang melahirkan aliran-aliran pemikiran tetap ada, dan muncul kembali dalam berbagai kedok dalam pembicaraan di dalam aliran itu sendiri.
Buku ini adalah suatu usaha untuk mengklarifikasi makna dan fungsi dari samatha (ketenangan) dan vipassanā (pandangan terang) dalam meditasi Buddhis. Banyak yang telah ditulis sehubungan dengan topik ini, namun tetap ada awan kebingungan. Walaupun Buddhisme modern mengaku bersandar pada suatu landasan penyelidikan, namun banyak meditator tampaknya lebih suka menyerahkan kepercayaan spiritual mereka dalam teknik-teknik meditasi tanpa mempertimbangkan secara seksama pada apa yang sedang mereka praktikkan.