easter-japanese

Nikayā-nikayā Pāli tidak meragukan pentingnya peranan jhāna-jhāna dalam struktur jalan Buddhis. Dalam teks-teks seperti Sāmaññaphala Sutta (DN No.2), Cūlahatthipadopama Sutta (MN No.27), dan banyak lainnya tentang “latihan bertahap” (anupubbasikkhā) seorang bhikkhu, Sang Buddha secara konsisten memperkenalkan jhāna-jhāna dalam menjelaskan latihan dalam konsentrasi. Ketika seorang bhikkhu telah memenuhi disiplin moral tahap awal, ia pergi ke tempat-tempat sunyi dan membersihkan pikirannya dari “lima rintangan.” Ketika pikirannya telah cukup bersih, ia masuk dan berdiam dalam empat jhāna, seperti dijelaskan dalam formula umum yang banyak diulang dalam Nikāya-Nikāya:

“Di sini, para bhikkhu, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Dengan lenyapnya awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dan memiliki kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dengan seimbang dan, penuh perhatian dan pemahaman jernih, ia mengalami kabahagiaan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dikatakan oleh para mulia: “Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dalam kebahagiaan.” Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian melalui keseimbangan.1

Dalam Buddhis Theravada beberapa decade terakhir ini suatu perdebatan telah berkali-kali muncul seputar pertanyaan apakah jhāna diperlukan atau tidak diperlukan untuk mencapai “jalan dan buah,” yaitu, empat tahap pencerahan. Perdebatan ini dipicu oleh muculnya berbagai sistem meditasi pandangan terang yang terkenal baik di Asia maupun di Barat, khusunya di kalangan umat awam Buddhis. Mereka yang mengajarkan sistem meditasi demikian menegaskan bahwa jalan dan buah dapat dicapai dengan mengembangkan pandangan terang (vipassanā) tanpa landasan jhāna. Metode ini disebut kendaraan pandangan terang murni (suddha-vipassanā), dan mereka yang mempraktikkan cara ini disebut sebagai “praktisi pandangan terang kering [dry-insighter]” (sukkha-vipassaka) karena praktik pandangan terang mereka tidak “dibasahi” sebelumnya oleh pencapaian jhāna-jhāna. Jelas bahwa sistem ini didukung oleh Visuddhimagga dan Komentar-komentar Pāli, walaupun tidak mendapat tempat yang menonjol dalam perlakukan komentar atas sang jalan, yang biasanya mengikuti gaya kanonis dengan menempatkan jhāna-jhāna sebelum pengembangan pandangan terang.2

Untuk menjawab pertanyaan apakah jhāna-jhāna diperlukan untuk mencapai tahap-tahap pencerahan, kita harus mempersempit pertanyaan dengan mempertanyakan apakah jhāna-jhāna diperlukan untuk mencapai tahap pertama pencerahan, yang dikenal sebagai memasuki-arus (sotāpatti). Karena Nikāya-Nikāya mengurutkan proses pencerahan ke dalam empat tahap – memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Kearahantaan – adalah mungkin bahwa jhāna-jhāna menjadi penting pada tahap lanjut dari sang jalan, dan bukan pada tahap pertama. Dengan demikian maka pandangan terang yang diperlukan pada tahap-tahap awal tidak mensyaratkan pencapaian jhāna-jhāna terlebih dulu, sementara jhāna-jhāna menjadi penting dalam melakukan transisi dari salah satu tahap menengah kepada tahap yang lebih tinggi. Saya sendiri percaya pada adanya bukti kuat dalam Nikāya-Nikāya bahwa jhāna-jhāna menjadi faktor penting bagi mereka yang ingin maju dari tahap yang-kembali-sekali menuju tahap yang-tidak-kembali. Saya akan mengulas naskah yang menguatkan tesis ini nanti dalam tulisan ini.

Akan tetapi, sekarang ini, beberapa guru meditasi terkemuka membantah kebenaran pendekatan pandangan terang kering, menegaskan bahwa jhāna-jhāna adalah perlu untuk keberhasilan pengembangan pandangan terang pada setiap tahapnya.

Argumentasi ini biasanya diawali dengan membedakan antara sudut pandang Kanon Pāli dan Komentar. Dengan landasan ini, mereka menganggap bahwa dari sudut pandang Kanon, maka jhāna diperlukan untuk mencapai bahkan tingkat memasuki-arus. Nikāya-Nikāya menyebutkan persoalan ini dengan kata-kata yang jelas dan tidak ambigu, dan adalah sulit untuk menurunkan interpretasi yang tepatnya. Dalam sutta-sutta yang membahas tentang latihan bertahap, semua tahap pencerahan dapat digambarkan dalam satu rangkaian, dan dengan demikian tidak ada perbedaan antara persiapan yang diperlukan untuk mencapai tingkat memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Kearahantaan. Kita hanya melihat seorang bhikkhu memasuki kesunyian, mencapai empat jhāṅa, dan kemudian meningkat langsung pada Kearahantaan, yang disebut “pengetahuan hancurnya noda-noda.” Dari teks-teks demikian, tidak dapat disangkal bahwa jhāna-jhāna berperan dalam memenuhi sang jalan, tetapi di sini saya akan membahas secara prinsip sehubungan dengan pertanyaan apakah jhāna-jhāna dikelompokkan sebagai yang perlu untuk memenangkan buah pertama dari sang jalan.

Dalam menjawab pertanyaan ini saya bermaksud mengutip suatu petunjuk penting namun sering terabaikan yang banyak dibentangkan oleh sutta-sutta di ambang pintu kita. Yaitu fakta bahwa banyak pengikut Sang Buddha yang mencapai tiga tingkat pertama pencerahan, dari memasuki-arus hingga yang-tidak-kembali, adalah orang-orang awam. Satu-satunya tingkatan yang digambarkan oleh Kanon sebagai wilayah nyaris-eksklusif milik para bhikkhu dan bhikkhunī adalah Kearahantaan.3 Petunjuk ini lebih penting daripada apa yang terlihat pada awalnya, karena pemeriksaan saksama atas teks-teks yang menggambarkan kualitas-kualitas pribadi dan gaya hidup para umat awam mulia akan memberikan materi yang kita perlukan untuk menguraikan kekusutan dari ikatan pada topik yang membingungkan ini.

Suatu studi atas Nikāya-Nikāya secara keseluruhan akan menunjukkan bahwa Nikāya-Nikāya mengelompokkan para siswa dalam hal paradigma atau model. Paradigma ini umumnya dibangun dengan sangat kaku dan konsisten, menunjukkan bahwa Nikāya-Nikāya ini terbukti diatur oleh suatu skema yang telah ditentukan secara tepat. Namun, agak aneh, jarang sekali bagan atas skema ini disebutkan di dalam abstrak.

Hal ini memberikan beban kepada kita untuk mencari prinsip-prinsip tersembunyi yang mengatur penggambaran jenis-jenis tersebut dari sutta-sutta yang relevan. Teks-teks yang kita bahas menggambarkan para siswa pada tingkat-tingkat pengembangan berbeda melalui kelompok kualitas dan praktik tertentu. Teks-teks ini berfungsi baik secara penjelasan maupun secara petunjuk. Teks-teks ini menunjukkan kepada kita jenis kualitas apa yang umumnya dapat kita harapkan dari para siswa pada tingkat kemajuan tertentu, dan oleh karenanya teks-teks tersebut menyiratkan (dan kadang-kadang menyatakan) praktik apa yang harus dijalankan oleh seorang praktisi pada tahap yang lebih rendah hingga tingkat lebih tinggi di sepanjang sang jalan.

Membahas sutta-sutta tentang umat-umat awam adalah membahas pertanyaan perlunya jhāna dari suatu sudut yang agak berbeda dari yang biasanya diterima. Sebagian besar yang terlibat dalam diskusi ini menitikberatkan pada teks yang membahas secara prinsip tentang praktik monastik. Kelemahan pada pendekatan ini adalah, seperti ditunjukkan di atas, terletak pada kebiasaan Nikāya-Nikāya dalam menyingkat tingkatan-tingkatan berturut-turut dari pencapaian monastik ke dalam satu skema komprehensif tunggal tanpa menunjukkan bagaimana berbagai tingkatan praktik itu saling berhubungan dengan tingkatan-tingkatan pencapaian berturut-turut.4 Jadi bukannya membahas teks-teks monastik ini, saya berniat untuk menyorot komunitas buddhis yang tidak ditahbiskan dan melihat sutta-sutta yang membahas praktik-praktik dan kualitas-kualitas dari siswa awam mulia. Karena jika jhāna-jhāna sungguh diperlukan untuk mencapai tingkat memasuki-arus, maka jhāna-jhāna ini yang dipraktikkan oleh umat awam hampir serupa dengan praktik seorang bhikkhu, dan dengan demikian kita akan menemukan teks yang biasanya menjelaskan praktik jhāna dan pencapaian umat awam seperti juga yang kita temukan dalam kasus para bhikkhu. Jika, sebaliknya, teks-teks secara konsisten menggambarkan praktik-praktik dan kualitas-kualitas jenis tertentu siswa awam mulia dalam cara-cara yang melampaui atau tanpa jhāna-jhāna, maka kita memiliki landasan kuat untuk menyimpulkan bahwa jhāna-jhāna bukanlah prasyarat untuk mencapai tingkat “kesiswaan” pada tahap-tahap ini.

Saya akan membatasi studi saya ini pada tiga pertanyaan khusus:

(1) Apakah teks-teks mengindikasikan bahwa seorang awam harus mencapai jhāna sebelum memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammatta-niyāma), jalan satu arah menuju tingkat memasuki-arus?

(2) Apakah teks-teks menyebutkan secara khusus tentang jhāna-jhāna pada siswa awam yang telah mencapai tingkat memasuki-arus?

(3) Jika teks-teks umumnya tidak menyebutkan jhāna-jhāna pada pemasuk-arus, adakah tingkat tertentu dalam kematangan sang jalan di mana pencapaian jhāna-jhāna menjadi penting?

Mari kita langsung beralih pada teks-teks itu untuk melihat apakah teks-teks itu dapat menjelaskan persoalan kita. Ketika kita menelusuri Nikāya-Nikāya dengan topik ini dalam pikiran kita menemukan, mungkin sedikit mengherankan, bahwa teks-teks ini tidak menyatakan ketentuan yang jelas bahwa jhāna diperlukan untuk mencapai tingkat memasuki-arus juga tidak secara terbuka mengatakan bahwa jhāna dapat diabaikan. Sutta Piṭaka menyebutkan empat prasyarat untuk mencapai sang jalan, yang disebut sotāpattiyaṅga, faktor-faktor memasuki-arus, yaitu: bergaul dengan orang-orang yang superior (yaitu, dengan para mulia); mendengarkan Dhamma sejati; pengamatan/perhatian yang selayaknya; dan praktik sesuai dengan Dhamma.5 Sepertinya terlihat bahwa seluruh elemen praktik meditasi Buddhis, termasuk jhāna-jhāna, termasuk dalam faktor ke empat. Tetapi Nikāya-Nikāya itu sendiri tidak menyebutkan apakah “praktik sesuai dengan Dhamma” itu termasuk jhāna-jhāna. Beberapa teks yang menyebutkan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh “praktik sesuai dengan Dhamma” semuanya berhubungan dengan meditasi pandangan terang. Teks-teks itu menggunakan formula tetap, dengan subyek-subyek yang bervariasi, untuk menggambarkan seorang bhikkhu yang mempraktikkan cara demikian. Dua sutta mendefinisikan praktik demikian sebagai ditujukan pada lenyapnya faktor-faktor dari kemunculan bergantungan (SN II 18, 115); yang lainnya, sebagai ditujukan pada lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan (SN III 163-64); dan yang lain lagi, sebagai ditujukan pada lenyapnya enam landasan indria (SN IV 141). Tentu saja, praktik meditasi yang dijalankan untuk mencapai jhāna-jhāna harus dimasukkan dalam “praktik sesuai dengan Dhamma.” Tetapi teks-teks tidak memberikan landasan untuk menyimpulkan bahwa praktik demikian adalah prasyarat untuk mencapai tingkat memasuki-arus.

Seorang pemasuk-arus memiliki empat kualitas lain, sering disebutkan dalam Sotāpatti-saṃyutta (SN bab.55). ini, juga disebut sotāpattiyaṅga, tetapi dalam makna yang berbeda dari kelompok sebelumnya. Ini adalah faktor-faktor sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai seorang pemasuk-arus. Tiga yang pertama adalah “keyakinan kuat” (aveccappasāda) terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha; ke empat adalah “moralitas yang disenangi oleh para mulia,” umumnya dipahami sebagai bermakna pelaksanaan Pañca Sīla tanpa pelanggaran. Dari sini, kita dapat dengan logis menganggap bahwa dalam tahap awal yang mengarah menuju tingkat memasuki-arus, seorang praktisi memerlukan keyakinan kuat terhadap tiga Permata (Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha) dan pelaksanaan Pañca Sīla secara cermat. Lebih jauh lagi, pencapaian tingkat memasuki-arus itu sendiri sering digambarkan sebagai suatu pengalaman kognitif yang nyaris seperti penglihatan seketika. Ini disebut sebagai memperoleh mata Dhamma (dhammacakkhu-paṭilābha), penerobosan Dhamma (dhammābhisamaya), penembusan Dhamma (dhamma-paṭivedha),6 Seseorang yang mengalami pengalaman ini dikatakan telah “melihat Dhamma, mencapai Dhamma, memahami Dhamma, mengukur Dhamma.”7 Secara bersama-sama, kedua cara penggambaran ini – melalui empat faktor memasuki-arus dan melalui peristiwa pencapaian – menunjukkan bahwa siswa telah sampai pada tingkat memasuki-arus terutama melalui pandangan terang yang didukung oleh keyakinan yang tak tergoyahkan pada Tiga Permata. Patut dicatat bahwa teks-teks tentang pencapaian tingkat memasuki-arus tidak menyebutkan pencapaian jhāna sebelumnya sebagai prasyarat untuk mencapai sang jalan. Sesungguhnya, beberapa teks menunjukkan penerobosan Dhamma terjadi pada seseorang tanpa pengalaman meditasi sebelumnya, hanya dengan mendengarkan Sang Buddha atau seorang bhikkhu yang telah tercerahkan memberikan khotbah Dhamma.8

Sementara proses “memasuki arus” melibatkan baik keyakinan maupun kebijaksanaan, beberapa individu berbeda dalam kecenderungan sehubungan dengan dua kualitas ini: beberapa cenderung pada keyakinan dan yang lainnya pada cenderung pada kebijaksanaan. Perbedaan ini tercermin dalam pembagian potensi para pemasuk-arus ke dalam dua jenis, yang dikenal sebagai saddhānusārī atau pengikut-keyakinan dan dhammānusārī atau pengikut-Dhamma. Keduanya telah memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammatta-niyāma), jalan satu arah menuju tingkat memasuki-arus, dengan menyesuaikan pemahaman mereka atas aktualitas pada sifat aktualitas itu sendiri, dan dengan demikian bagi keduanya pandangan terang adalah kunci untuk memasuki sang jalan. Akan tetapi, kedua jenis ini berbeda dalam hal alat yang mereka gunakan untuk menghasilkan pandangan terang. Pengikut-keyakinan, seperti yang disiratkan oleh sebutan itu, melakukannya dengan keyakinan sebagai penggerak; dengan dipicu oleh keyakinan, ia bertekad untuk mencapai kebenaran tertinggi dan memperoleh sang jalan oleh karenanya. Pengikut-Dhamma digerakkan oleh desakan untuk mengukur sifat sejati aktualitas; dipicu oleh desakan ini, ia menyelidiki ajaran dan memperoleh sang jalan. Ketika mereka telah mengetahui dan melihat kebenaran Dhamma, mereka mencapai buah memasuki-arus.

Mungkin sumber yang paling menjelaskan tentang perbedaan antara kedua jenis ini adalah Okkantika-saṃyutta, di mana Sang Buddha menunjukkan bagaimana mereka memasuki jalan pasti kebenaran:

“Para bhikkhu, mata adalah tidak kekal, berubah, menjadi sebaliknya. Demikian pula telinga … hidung … lidah … badan … pikiran. Seseorang yang berkeyakinan pada ajaran-ajaran ini dan bertekad padanya demikian disebut seorang pengikut-keyakinan: ia adalah seorang yang telah memasuki jalan pasti kebenaran, memasuki alam orang-orang superior, melampaui alam kaum duniawi. Ia tidak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang karenanya ia dapat terlahir kembali di alam neraka, di alam binatang, atau di alam hantu; ia tidak akan meninggal dunia tanpa mencapai buah memasuki-arus.

“Seorang yang baginya ajaran-ajaran ini diterima demikian hingga tingkat yang mencukupi dengan cara merenungkan dengan kebijaksanaan disebut seorang pengikut-Dhamma: ia adalah seorang yang telah memasuki jalan pasti kebenaran … (ia) tidak akan meninggal dunia tanpa mencapai buah memasuki-arus.

“Seseorang yang mengetahui dan melihat ajaran-ajaran ini seperti demikian disebut seorang pemasuk-arus, tidak mungkin terlahir lagi di alam rendah, pasti dalam tujuannya, dengan pencerahan sebagai tujuannya.”Cakkhuṃ bhikkhave aniccaṃ vipariṇāmiṃ aññathābhāvi. Sotam … mano anicco vipariṇāmī aññathābhāvī. Yo bhikkhave ime dhamme evaṃ saddahati adhimuccati, ayaṃ vuccati saddhānusārī okkanto sammattaniyāmaṃ sappurisabhūmiṃ okkanto vītivatto puthujjanabhūmiṃ. Abhabbo taṃ kammaṃ kātuṃ yaṃ kammaṃ katvā nirayaṃ vā tiracchānayoniṃ vā pettivisayaṃ vā uppajjeyya. Abhabbo ca tāva kālaṃ kātuṃ yāva na sotāpattiphalaṃ sacchikaroti.

Yassa kho bhikkhave ime dhammā evaṃ paññāya mattaso nijjhānaṃ khamanti, ayaṃ vuccati dhammānusārī okkanto sammattaniyāmaṃ … Abhabbo ca tāva kālaṃ kātuṃ yāva na sotāpattiphalaṃ sacchikaroti. Yo bhikkhave ime dhamme evaṃ jānāti evaṃ passati, ayaṃ vuccati sotāpanno avinipātadhammo niyato sambodhiparāyano.

Patut dicatat bahwa paragraf ini tidak menyebutkan tentang jhāna. Sementara pengalaman jhāna sebelumnya tidak diragukan akan membantu pikiran agar menjadi alat yang lebih tepat bagi pandangan terang, juga penting diperhatikan bahwa jhāna tidak disebutkan apakah sebagai penyerta bagi “memasuki jalan pasti kebenaran” maupun sebagai prasyarat baginya.

Yang bertentangan adalah bahwa beberapa paragraf lainnya tentang kedua kandidat pemasuk-arus secara implicit memasukkan jhāna-jhāna di antara perlengkapan meditatif mereka. Rincian dari paragraf-paragraf tersebut tidak perlu kita bahas di sini. Apa yang menarik bagi kita adalah bahwa jhāna-jhāna itu ditempatkan pada lima indria spiritual dari baik pengikut-keyakinan maupun pengikut-Dhamma, yaitu: keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan.9 Indriya-saṃyutta menyebutkan bahwa indria konsentrasi “harus dilihat sebagai di antara empat jhāna,”10 dan definisi indria konsentrasi memasukkan formula jhāna-jhāna.11 Dengan demikian, jika kita memperdebatkan dengan cara menyimpulkan dari sumber-sumber dan definisi-definisi ini, maka menurut logika tampaknya baik pengikut-Dhamma maupun pengikut-keyakinan memiliki jhāna-jhāna. Secara lebih luas, karena indria-indria dan kekuatan-kekuatan dimiliki oleh semua siswa mulia, bukan hanya para bhikkhu, hal ini membantu kita untuk mengambilnya sebagai bukti bahwa semua siswa mulia, para bhikkhu maupun pengikut awam, sama-sama memiliki jhāna-jhāna.

Kesimpulan demikian dapat diterima jika kita mengadopsi pendekatan literal dan deduktif untuk menginterpretasikan teks-teks tersebut, tetapi patut dipertanyakan apakah interpretasi demikian selalu cocok ketika membahas definisi formula yang sering disebutkan dalam Nikāya-Nikāya. Untuk menggali makna yang dimaksudkan dari definisi skematik demikian, kita perlu lebih sensitif pada konteks, sensitivitas yang dituntun oleh pengenalan luas akan berbagai teks yang berhubungan. Lebih jauh lagi, jika kita memilih pendekatan literal, maka, karena paragraf itu hanya menyelipkan formula empat jhāna tanpa kualifikasi ke dalam definisi indria konsentrasi, maka kita harus menyimpulkan bahwa semua siswa mulia, para bhikkhu maupun pengikut awam, memiliki empat jhāna, tidak hanya satu. Terlebih lagi, mereka harus telah memiliki keempat jhāna ketika menjadi pengikut-keyakinan dan pengikut-Dhamma, pada titik awam memasuki sang jalan. Akan tetapi, hal ini, tampaknya terlalu murah-hati, dan mengindikasikan bahwa kita harus berhati-hati dalam menginterpretasikan definisi formula tersebut. Dalam hal yang sedang kita bahas ini saya menganggap bahwa penggunaan formula jhāna di sini sebagai suatu cara untuk menunjukkan jenis konsentrasi yang paling unggul yang harus dikembangkan oleh siswa mulia. Saya tidak akan menganggapnya sebagai pernyataan kaku bahwa semua siswa mulia sesunggunya memiliki seluruh keempat jhāna, atau bahkan salah satunya.

Tetapi ada lagi yang harus dinyatakan. Ketika kita memperhatikan dengan saksama pada teks-teks ini, kita melihat bahwa suatu fleksibilitas pada tingkat tertentu telah dibentuk di dalamnya. Dalam analisis indria-indria pada SN 48:9-10/V 197-98, sutta pertama menyajikan definisi alternatif dari indria konsentrasi yang tidak menyebutkan keempat jhāna, sementara sutta berikutnya menyajikan kedua definisi bersama-sama. Versi alternatif itu adalah sebagai berikut: “Dan apakah, para bhikkhu, indria konsentrasi? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia memperoleh konsentrasi, memperoleh keterpusatan pikiran, setelah melepaskan obyek. Ini disebut indria konsentrasi.”12

Nikāya-Nikāya itu sendiri sama sekali tidak menjelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan konsentrasi yang diperoleh dengan “setelah melepaskan obyek” (vossaggārammaṇaṃ karitvā), tetapi Nikāya-Nikāya itu di tempat lain menyarankan bahwa melepaskan (vossagga) adalah suatu sebutan bagi Nibbāna.13 Komentar menginterpretasikan paragraf ini dengan bantuan perbedaan antara konsentrasi lokiya dan lokuttara: yang pertama terdiri dari jhāna-jhāna alam berbentuk (dan akses ke dalam jhāna-jhāna ini), yang ke dua terdiri dari jhāna-jhāna lokuttara yang beriringan dengan jalan lokuttara.14 Dengan berlandaskan pada perbedaan ini, Komentar menjelaskan “konsentrasi yang melepaskan obyek” sebagai konsentrasi lokuttara dari para jalan mulia yang muncul dengan Nibbāna sebagai obyek.15 Dengan demikian jika kita merasa wajib untuk menginterpretasikan indria dan kekuatan konsentrasi di bawah sorotan formula jhāna, kita akan sepakat dengan Komentar dalam menganggapnya sebagai jhāna lokuttara yang berhubungan dengan jalan dan buah lokuttara.

Bagaimana pun juga, kita tidak perlu sepakat dengan Komentar dalam menganggap ungkapan “setelah melepaskan obyek” secara literal. Sebaliknya kita harus menginterpretasikan frasa ini dengan lebih bebas sebagai mengkarakteristikkan konsentrasi yang ditujukan pada pelepasan, yaitu, diarahkan pada Nibbāna.16 Kemudian kita dapat memahami rujukannya sebagai konsentrasi yang berfungsi sebagai landasan bagi pandangan terang, baik pada tahap awal dalam persiapan praktik dan tahap ketika bergabung dengan pandangan terang. Ini memungkinkan kita untuk menganggap bahwa siswa mulia memiliki konsentrasi pada tingkat yang cukup kuat untuk menjadi suatu indria tanpa memaksa kita untuk menganggap bahwa ia pasti memiliki jhāna. Mungkin definisi kombinasi dari indria konsentrasi dalam SN 48:10 dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kedua jalan terbuka bagi para siswa. Satu adalah jalan yang menekankan pada konsentrasi kuat, yang bersamaan dengan itu ia mengembangkan jhāna-jhāna sebagai indria konsentrasi; yang lain adalah jalan yang menekankan pada pandangan terang, yang bersamaan dengan itu ia mengembangkan konsentrasi hanya sampai pada tingkat yang diperlukan untuk memunculkan pandangan terang. Konsentrasi ini, walaupun lebih rendah daripada jhāna, masih dapat digambarkan sebagai “konsentrasi yang melepaskan obyek.”

Pengikut-keyakinan dan pengikut-Dhamma adalah anggota terendah dari tujuh jenis makhluk mulia dalam Nikāya-Nikāya sebagai suatu alternatif dari skema yang lebih umum dari “empat pasang individu,” empat pencapai sang jalan dan pencapai buahnya berturut-turut.17 Ketujuh ini jatuh ke dalam tiga kelompok. Pada puncaknya adalah para Arahant, yang dibedakan dalam dua jenis: (i) para Arahant yang “terbebaskan dalam cara” (ubhatobhāgavimutta), yang mencapai pembebasan dari noda-noda bersamaan dengan pengalaman mendalam akan pencapaian tanpa bentuk; dan (ii) para Arahant yang “terbebaskan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutta), yang memenangkan pembebasan dari noda-noda tanpa pengalaman pencapaian tanpa bentuk demikian. Berikutnya adalah ketiga jenis dalam bidang menengah, dari pemasuk-arus hingga mereka yang berada dalam jalan menuju Kearahantaan. Mereka ini adalah: (iii) saksi-jasmani (kāyasakkhī), yang telah melenyapkan sebagian noda-noda dan mengalami pencapaian tanpa bentuk; (iv) pencapai-pandangan (diṭṭhipatta), yang tidak mengalami pencapaian tanpa bentuk dan telah melenyapkan sebagian noda, dengan penekanan pada kebijaksanaan; dan (v) terbebaskan-melalui-keyakinan (saddhāvimutta), yang tidak mengalami pencapaian tanpa bentuk dan telah melenyapkan sebagian noda, dengan penekanan pada keyakinan. Siswa mana pun yang berada pada enam tahap menengah – dari pemasuk-arus hingga mereka yang berada dalam jalan menuju Kearahantaan – bukan ditentukan oleh tingkat kemajuan melainkan oleh cara kemajuan, apakah melalui konsentrasi, kebijaksanaan, atau keyakinan yang kuat. Akhirnya sampai pada kedua jenis anusārī (vi-vii), yang berada pada jalan menuju tingkat memasuki-arus.

Apa yang patut diperhatikan mengenai daftar ini adalah bahwa samādhi, sebagai suatu indria, tidak menentukan kelompoknya sendiri sampai setelah buah memasuki-arus telah dicapai. Yaitu, kecakapan dalam konsentrasi menentukan jenis berbeda dari siswa di antara para Arahant (seperti Arahant yang terbebaskan-dalam-kedua-cara) dan di antara para praktisi untuk tingkat-tingkat yang lebih tinggi (seperti saksi-jasmani), tetapi bukan di antara para praktisi untuk mencapai tingkat memasuki-arus. Dalam kelompok yang paling rendah ini kita hanya memiliki pengikut-keyakinan dan pengikut-Dhamma, yang mendapatkan statusnya masing-masing dari keyakinan dan kebijaksanaan, tetapi tidak ada jenis yang bersesuaian dengan saksi-jasmani.18

Dari penghilangan kelompok latihan siswa untuk mencapai tingkat memasuki-arus yang juga menikmati pengalaman meditasi tanpa bentuk, seseorang mungkin menganggap bahwa para siswa di bawah tingkat memasuki-arus tidak dapat memperoleh akses menuju pencapaian tanpa bentuk. Akan tetapi, anggapan ini tidak dapat dipertahankan, karena teks-teks menunjukkan bahwa banyak petapa di zaman Sang Buddha (termasuk kedua guruNya sebelum pencerahanNya) sudah terbiasa dengan jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa bentuk. Karena pencapaian-pencapaian ini tidak bergantung pada pandangan terang yang hanya ada secara khusus melalui ajaran Sang Buddha, penghilangan kelompok pencapai-jhāna demikian di antara mereka yang berada dalam jalan memasuki-arus harus dijelaskan dalam suatu cara lain daripada melalui anggapan bahwa kelompok demikian adalah tidak ada.

Saya akan mengusulkan bahwa sementara para siswa sebelum mencapai tingkat memasuki-arus mungkin memiliki atau tidak memiliki pencapaian tanpa bentuk, keterampilan dalam bidang ini tidak menentukan jenis tertentu karena konsentrasi yang kuat bukanlah faktor yang menentukan pencapaian tingkat memasuki-arus. Jalan menuju tingkat memasuki-arus tentu saja memerlukan tingkat konsentrasi tertentu yang mencukupi bagi munculnya “mata Dhamma”, tetapi pergerakan sebenarnya dari tingkat duniawi hingga pencapai-jalan digerakkan oleh keyakinan kuat atau semangat penyelidikian, yang berturut-turut menentukan apakah si praktisi akan menjadi seorang pengikut-keyakinan atau seorang pengikut-Dhamma. Akan tetapi, begitu sang jalan telah dicapai, maka tingkat pencapaian dalam konsentrasi menentukan kemajuannya di masa depan. Jika ia memperoleh pencapaian tanpa bentuk maka ia mengambil jalan saksi-jasmani, yang memuncak pada Arahant yang terbebaskan-dalam-kedua-cara. Jika ia tidak mencapainya, maka ia mengambil jalan pencapai-pandangan atau siswa yang terbebaskan-melalui-keyakinan, yang memuncak pada Arahant yang terbebaskan-melalui-kebijaksanaan. Karena perbedaan ini menghubungkan hanya dengan pencapaian tanpa bentuk dan tidak menyebutkan tentang jhāna-jhāna, maka cukup masuk akal untuk menganggap bahwa jenis (ii), (iv-v), dan (vi-vii) mungkin memiliki jhāna-jhāna berbentuk. Tetapi dengan menetapkan keyakinan dan kebijaksanaan sebagai faktor kunci dalam memperoleh akses awal menuju sang jalan, skema ini membuka kemungkinan bahwa beberapa pemasuk-arus, dan mungkin mereka yang berada pada tingkat yang lebih tinggi, mungkin tidak memiliki jhāna-jhāna ini sama sekali.

Walaupun diskusi di atas tampaknya menyiratkan bahwa jalan memasuki-arus dapat dicapai tanpa pencapaian jhāna, namun tesis bahwa jhāna diperlukan pada setiap tahap pencerahan mendapat dukungan kuat dari penjelasan Kanonis sehubungan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang mendefinisikan faktor jalan konsentrasi benar (sammā samādhi) dengan formula umum empat jhāna.19 Dari definisi ini dapat diperdebatkan bahwa karena konsentrasi benar adalah bagian integral dari sang jalan, dan karena jhāna-jhāna membentuk isi dari konsentrasi benar, maka jhāna-jhāna tidak dapat diabaikan dari tahap pertama pencerahan hingga ke tahap akhirnya.

Akan tetapi, kesimpulan ini, tidak harus diikuti. Bahkan jika kita setuju bahwa definisi konsentrasi benar melalui jhāna-jhāna berarti bahwa jhāna-jhāna harus dicapai dalam perjalanan pengembangan sang jalan, hal ini tidak harus dipastikan bahwa jhāna-jhāna harus dicapai sebelum mencapai tingkat memasuki-arus. Mungkin saja pencapaian jhāna diperlukan untuk menyelesaikan pengembangan sang jalan, menjadi suatu keharusan pada titik lanjutan secara relatif dalam kemajuan siswa. Yaitu, menjadi suatu prasyarat untuk mencapai salah satu jalan dan buah yang lebih tinggi, tetapi bukan berarti sangat diperlukan untuk mencapai jalan dan buah pertama. Sistem penafsiran Theravāda yang terdapat dalam Komentar Pāli menjelaskan topik ini dalam suatu cara yang berbeda. Berdasarkan pada pengelompokan Abhidhamma atas kondisi-kondisi kesadaran, Komentar membedakan dua jenis jalan: jalan permulaan (pubbabhāga) atau lokiya dan jalan lokuttara.20 Dua jenis jhāna, lokiya dan lokuttara, bersesuaian dengan kedua jenis jalan ini. Jhāna-jhāna lokiya adalah kondisi-kondisi kesadaran luhur (mahaggata-citta) yang dikembangkan dalam jalan permulaan, sebagai persiapan untuk mencapai jalan lokuttara; secara teknis, adalah kondisi-kondisi kesadaran “berbentuk” (rūpavacara-citta), yaitu, jenis-jenis kesadaran dari “alam berbentuk” dan mengarah pada kelahiran kembali di alam berbentuk. Jhāna lokuttara adalah kondisi-kondisi kesadaran lokuttara (lokuttara-citta) yang identik dengan jalan dan buah lokuttara itu sendiri.

Perbedaan ini memungkinkan Komentar menganut secara bersamaan kedua tesis sehubungan dengan jhāna menuju sang jalan: (i) setiap pencapaian jalan dan buah, dari tingkat memasuki-arus dan seterusnya, adalah juga jhāna, dan dengan demikian semua pencapai-jalan adalah pencapai jhāna lokuttara; (ii) tidak semua pencapai-jalan telah mencapai jhāna dalam tahap permulaan yang mengarah menuju jalan lokuttara, dan dengan demikian mereka tidak harus menjadi pencapai jhāna lokiya (atau alam berbentuk). Kedua tesis ini dapat diselaraskan karena jalan dan buah selalu muncul pada tahap konsentrasi yang bersesuaian dengan salah satu dari empat jhāna dan dengan demikian dapat dianggap sebagai jhāna-jhāna itu sendiri , walaupun lebih sebagai jenis jhāna-jhāna lokuttara daripada jenis lokiya. Jhāna-jhāna ini berbeda dengan jhāna-jhāṅa lokiya, kondisi konsentrasi luhur yang berhubungan dengan alam-berbentuk (rūpāvacara). Karena semua pencapai-jalan harus mencapai jhāna lokuttara, maka mereka memenuhi definisi konsentrasi benar dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, tetapi mereka tidak harus telah mencapai jhāna-jhāna alam berbentuk sebelum mencapai sang jalan. Mereka yang tidak mencapai jhāna mengembangkan tingkat konsentrasi yang lebih rendah (yang disebut konsentrasi akses, upacāra-samādhi) yang mereka gunakan sebagai landasan untuk membangkitkan pandangan terang dan dengannya mencapai jalan lokuttara. Ketika para meditator itu yang membangkitkan pandangan terang tanpa pencapaian jhāna sebelumnya mencapai jalan lokuttara, pencapaian jalan mereka muncul pada tahap jhāna pertama lokuttara. Mereka yang telah melatih jhāna-jhāna lokiya sebelum mencapai sang jalan, dikatakan, pada umumnya mencapai jalan yang muncul pada tahap jhāna yang bersesuaian dengan tingkat pencapaian mereka dalam praktik jhāna lokiya.21

Walaupun Nikāya-Nikāya tidak dengan jelas membedakan kedua jenis jalan dan jhāna, namun beberapa sutta memperkirakan perbedaan ini, yang paling menonjol di antaranya adalah Mahācattārīsaka Sutta.22 Penjelasan ini menjadi lebih jelas dalam Abhidhamma, di mana perbedaan ini digunakan sebagai landasan bagi definisi kondisi-kondisi kesadaran bermanfaat dari alam berbentuk dan lokuttara. Komentar maju selangkah lebih jauh dan mengadopsi perbedaan ini sebagai landasan bagi keseluruhan metode penjelasannya. Walaupun tentu saja seseorang seharusnya tidak membaca konsep interpretasi dari Komentar dan memasukkannya ke dalam teks-teks Kanonis itu sendiri, karena Komentar berkewajiban untuk menjelaskan definisi konsentrasi benar sebagai empat jhāna dalam suatu cara yang tidak menyiratkan bahwa semua pencapaian sang jalan memiliki jhāna-jhāna alam berbentuk, hal ini menjelaskan bahwa Komentar tidak menganggap jhāna-jhāna alam berbentuk sebagai suatu prasyarat untuk mencapai jalan memasuki-arus.

Pemasuk-arus dan Jhāna

Pertikaian antara kedua kelompok dalam perdebatan masa kini dapat dirangkum sebagai berikut: Mereka yang mengatakan bahwa jhāna diperlukan untuk mencapai tingkat memasuki-arus biasanya memaksakan bahwa suatu jhāna lokiya (alam berbentuk) harus dikuasai sebelum ia dapat memasuki jalan lokuttara. Mereka yang mempertahankan pendekatan pandangan terang kering menganggap bahwa jhāna lokiya bukanlah sesuatu yang sangat penting, bahwa tingkat konsentrasi yang lebih rendah sudah mencukupi sebagai landasan untuk melatih pandangan terang dan mencapai sang jalan. Kedua kelompok biasanya setuju bahwa jhāna adalah bagian dari pengalaman jalan sesungguhnya itu sendiri. Hal yang memisahkan kedua kelompok itu adalah apakah konsentrasi dalam tahap awal dari sang jalan harus berupa jhāna.

Untuk memutuskan pertanyaan ini, saya ingin memeriksa teks-teks itu sendiri dan mempertanyakan apakah teks-teks itu menunjukkan kepada kita contoh-contoh pemasuk-arus yang bukan pencapai jhāna. Sekarang karena tidak ada sutta yang secara langsung mengatakan bahwa adalah mungkin untuk menjadi seorang pemasuk-arus tanpa sebelumnya mencapai minimal jhāna pertama, maka saya rasa terdapat beberapa sutta yang menyiratkan hal serupa.

(1) Mari kita mulai dengan Cūḷadukkhakkhandha Sutta (MN No. 14). Sutta diawali dengan seorang siswa awam Sakya bernama Mahānāma, yang diidentifikasi oleh Komentar sebagai seorang yang-kembali-sekali, mendatangi Sang Buddha dan menanyakan persoalan pribadinya. Walaupun ia telah lama memahami, melalui tuntunan ajaran, bahwa keserakahan, kebencian, dan kebodohan adalah kekotoran batin (cittassa upakkilesa), namun kondisi-kondisi demikian masih muncul dalam dirinya dan menguasai pikirannya. Hal ini menyusahkannya dan ia bertanya-tanya apa penyebab yang mendasari hal tersebut. Dalam jawabanNya Sang Buddha berkata: “Walaupun seorang siswa mulia telah melihat jelas dengan kebijaksanaan sempurna bahwa kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan dan penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan, penuh dengan bahaya yang lebih besar, jika ia tidak mencapai kegembiraan dan kebahagiaan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, atau sesuatu yang lebih damai daripada hal ini, maka ia tidak luput dari godaan kenikmatan indria ini.”23 Bagian pertama dari pernyataan ini menyiratkan bahwa subyek minimal adalah seorang pemasuk-arus, karena ia dirujuk sebagai seorang “siswa mulia” (ariya-sāvaka). Walaupun sebutan ariya-sāvaka kadang-kadang digunakan dalam makna yang lebih bebas yang tidak harus menyiratkan pencapaian tingkat memasuki-arus, di sini ungkapan “melihat dengan kebijaksanaan sempurna” tampaknya menegaskan identitasnya sebagai minimal seorang pemasuk-arus. Namun bagian ke dua dari pernyataan ini menyiratkan bahwa ia tidak memiliki bahkan jhāna pertama, karena frasa yang digunakan untuk menggambarkan apa yang tidak ia miliki (“kegembiraan dan kebahagiaan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat”) secara tepat menyebutkan formula dasar dari jhāna pertama. Kondisi “yang lebih damai daripada hal ini” tentu saja, adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi.

(2) Dalam AN 5:179/III 211, Sang Buddha berkata, sehubungan dengan “seorang pengikut awam berjubah putih” (gihī odātavasana), dari empat “kediaman nyaman dalam kehidupan ini yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi” (cattāro ābhicetasikā diṭṭhadhammasukhavihārā). Sekarang sehubungan dengan para bhikkhu, Nikāya-Nikāya seluruhnya menggunakan ungkapan ini sebagai bermakna empat jhāna.24 Jika dianggap sebagai suatu kelaziman, atau bahkan suatu paradigma, bagi seorang siswa awam untuk mencapai empat jhāna, maka kita dapat berharap bahwa Sang Buddha menjelaskan ungkapan di atas dengan cara yang sama seperti yang Beliau ajarkan kepada para bhikkhu. Tetapi tidak demikian halnya. Melainkan, ketika Beliau mengatakan apa yang dimaksud sebagai “kediaman nyaman” bagi seorang umat awam mulia, Beliau mengidentifikasinya dengan kepemilikan empat “faktor memasuki-arus” (sotāpattiyaṅga), yaitu, keyakinan kuat pada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan kepemilikan “moralitas yang disenangi oleh para mulia.” Perbedaan dalam penjelasan ini memiliki dampak serius dan menunjukkan perbedaan besar dalam ekspektasi sehubungan dengan para pengikut awam dan para bhikkhu.

(3) Dalam AN VI 10/III 284-88, siswa mulia Sakya Mahānāma sekali lagi mendatangi Sang Buddha dan menanyakan tentang praktik meditasi “seorang siswa mulia yang telah mencapai buah dan memahami ajaran” (ariyasāvako āgataphalo viññātasāsano). Di sini sekali lagi, jelas dari gelar yang digunakan bahwa pertanyaan itu berhubungan dengan seorang pengikut awam yang telah mencapai tingkat memasuki-arus atau tingkat yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi, di akhir bagian penjelasan, Sang Buddha kemuliaan siswa dengan kata-kata: “Ini disebut, Mahānāma, seorang siswa mulia yang di antara orang-orang yang tidak benar telah mencapai kebenaran, yang di antara orang-orang yang menderita, ia berdiam tanpa menderita, yang telah memasuki arus Dhamma dan mengembangkan perenungan Buddha” (dan seterusnya untuk masing-masing obyek perenungan).25

Dalam jawabannya Sang Buddha menunjukkan bagaimana sang siswa awam menjalankan salah satu dari enam obyek perenungan (cha anussati): Tiga Permata, morakitas, kedermawanan, dan para dewa. Ketika sang siswa merenungkan masing-masing obyek, pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu, kebencian, atau kebodohan, tetapi menjadi lurus (ujugata): “Dengan pikiran yang lurus ia memperoleh inspirasi pada tujuan, inspirasi pada Dhamma, kegembiraan yang terhubung pada Dhamma. Ketika kegembiraan muncul, jasmaninya menjadi tenang, dan ia mengalami kebahagiaan. Pada seorang yang berbahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi.”26 Seperti yang ditunjukkan oleh paragraf ini, perenungan yang berlandaskan pada Buddha (dan obyek perenungan lainnya) memuncak pada samādhi, namun sifat samādhi ini tidak dijelaskan melalui formula jhāna. Sesungguhnya Nikāya-Nikāya tidak pernah menyebutkan bahwa perenungan-perenungan ini memiliki kapasitas untuk menimbulkan jhāna, dan hal ini dibantah dalam Komentar, yang menganggap bahwa karena subyek meditasi ini melibatkan pikiran-pikiran yang bergerak maka perenungan-perenungan ini dapat mencapai hanya sejauh konsentrasi akses (upacāra samādhi).

Dengan demikian tampaknya jenis konsentrasi yang dimiliki oleh seorang siswa awam mulia pada tahap memasuki-arus atau yang-kembali-sekali adalah konsentrasi akses. Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali tidak mencapai jhāna-jhāna, tetapi struktur ajaran standar tidak mensyaratkan jhāna-jhāna sebagai perlengkapan penting.

(4) Sutta di atas juga tidak menyiratkan bahwa seorang pemasuk-arus awam harus merasa puas hanya dengan pengalaman konsentrasi akses dan tidak dapat mengembangkan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi. Sebaliknya, Sang Buddha memasukkan kebijaksanaan di antara lima kualitas baik yang sering disyaratkan bagi para siswa awam mulia: keyakinan, moralitas, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan.27 Dalam beberapa sutta dari Sotāpatti-saṃyutta, kedermawanan dan kebijaksanaan bahkan menggantikan moralitas sebagai faktor memasuki-arus ke empat, keyakinan termasuk dalam “keyakinan kuat” pada Tiga Permata.28 Kita harus memperhatikan bahwa kita tidak menemukan disebutkannya samādhi atau formula jhāna-jhāna di antara kualitas-kualitas ini. Namun kita melihat bahwa kebijaksanaan didefinisikan dalam sebutan yang persis sama dengan yang digunakan untuk mendefinisikan kebijaksanaan seorang bhikkhu yang berada dalam tahap latihan (sekha). Yaitu “kebijaksanaan mulia yang melihat muncul dan lenyapnya segala sesuatu, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran total penderitaan.”29 Karena pemasuk-arus awam atau yang-kembali-sekali awam dengan demikian memiliki kebijaksanaan pandangan terang tetapi tidak digambarkan sebagai seorang pencapai jhāna, hal ini menyiratkan bahwa pencapaian jhāna umumnya tidak diharapkan atau diperlukan. Dari hal ini kita juga dapat menyimpulkan bahwa pada tahap awal dari sang jalan ini kebijaksanaan yang membebaskan tidak bergantung pada jhāna sebagai landasan pendukung.

(5) Sebuah teks dalam Sotāpatti-saṃyutta menyetujui kesimpulan ini. Pada SN 55:40/V 398-99, Sang Buddha menjelaskan kepada orang Sakya bernama Nandiya tentang bagaimana seorang siswa mulia berdiam dengan tekun (ariyasāvako appamādavihārī). Beliau mengatakan bahwa seorang siswa mulia seharusnya tidak menjadi puas dengan memiliki empat faktor memasuki-arus melainkan harus menggunakan kualitas-kualitas ini sebagai titik awal bagi perenungan: “ia tidak puas dengan keyakinan kuat pada Buddha (dan seterusnya), tetapi berusaha lebih jauh dalam keterasingan di siang hari dan dalam latihan di malam hari. Ketika ia berdiam dengan tekun, kegembiraan muncul … (seperti di atas) … pada seorang yang bahagia pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ketika pikirannya terkonsentrasi, fenomena-fenomena menjadi termanifestasi. Adalah dengan manifestasi fenomena padanya maka ia dikenal sebagai ‘seorang yang berdiam dengan tekun.’”30

Ungkapan “manifestasi fenomena” (dhammānaṃ pātubhāva) menunjukkan bahwa sang siswa merenungkan muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan, keenam landasan indria, dan seterusnya. Dengan demikian paragraf ini menunjukkan bagaimana sang siswa maju dari konsentrasi menuju pandangan terang, tetapi hal ini tidak menggambarkan konsentrasi ini muncul pada tahap jhāna. Karena urutannya berubah dari konsentrasi menjadi pandangan terang tanpa menyebutkan jhāna, tampaknya bahwa konsentrasi yang dicapai menyerupai konsentrasi akses, bukan jhāna, akan tetapi bahkan konsentrasi ini cukup untuk mendukung munculnya pandangan terang.

Sementara tampaknya tidak ada sutta yang memaksakan aturan kaku bahwa seorang siswa awam mulia harus memiliki jhāna-jhāna, terdapat minimal dua teks yang secara eksplisit mengatakan bahwa seluruh empat jhāna dimiliki oleh para perumah tangga tertentu. Salah satunya, terdapat dalam Citta-saṃyutta (SN 41:9/IV 300-2), menceritakan Citta si perumah tangga, pengkhotbah awam terunggul, dalam suatu percakapan dengan seorang petapa telanjang bernama Kassapa. Kassapa adalah seorang teman lama Citta yang telah menjalani kehidupan meninggalkan keduniawian sejak tiga puluh tahun sebelumnya, dan ini jelas adalah pertemuan pertama mereka sejak saat itu. Kassapa mengaku kepada Citta bahwa selama itu ia belum mencapai tingkat “keluhuran yang melampaui manusia biasa dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia” (uttarimanussadhammā alamariya-ñāṇadassanavisesa); apa yang ia lakukan hanyalah bepergian dengan telanjang, dengan rambut dicukur, menggunakan sikat bulu untuk menyapu alas duduknya. Ia kemudian bertanya kepada Citta apakah, sebagai seorang siswa awam Sang Buddha, ia telah mencapai pencapaian luhur. Citta mengatakan bahwa ia telah mencapainya, dan kemudian menyatakan kemampuannya dalam memasuki dan berdiam dalam empat jhāna (ia menggunakan formula standar). Kemudian ia menambahkan: “Lebih jauh lagi, jika aku meninggal dunia sebelum Sang Bhagavā, tidaklah mengherankan jika Sang Bhagavā akan menyatakan tentang diriku: ‘Tidak ada belenggu yang dengannya Citta si perumah tangga akan kembali ke alam ini.’”31 Walaupun ini adalah teks yang tersamar, sebagian adalah formula umum, Citta memberitahu temannya bahwa ia adalah seorang yang-tidak-kembali yang memiliki empat jhāna.

Sutta lainnya adalah AN 7:50/IV 66-67 yang mengisahkan tentang umat awam perempuan bernama Nandamātā. Di hadapan Yang Mulia Sāriputta dan para bhikkhu, Nandamātā telah mengungkapkan tujuh kualitas yang mengagumkan dan menakjubkan yang ia miliki. Di antaranya yang ke enam adalah memiliki empat jhāna, juga dijelaskan dalam formula umum. Yang ke tujuh adalah sebagai berikut: “Sehubungan dengan kelima belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, aku tidak melihat ada di antaranya yang belum ditinggalkan dari dalam diriku.”32 Ini juga pernyataan tersamar yang menyatakan statusnya sebagai yang-tidak-kembali.

Demikianlah penjelasan yang diperoleh dari Sutta Piṭaka mengenai dua siswa awam yang memiliki baik keempat jhāna maupun status yang-tidak-kembali. Apakah kedua pencapaian ini saling terkait tidak terpisahkan atau tidak adalah sulit untuk ditentukan dengan berlandaskan pada Nikāya-Nikāya, tetapi ada beberapa teks yang mendukung kesimpulan ini. Salah satu sutta (AN 3:85/I 231-32) membagi empat kelompok siswa mulia sehubungan dengan ketiga latihan yang lebih tinggi yang terdiri dari moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Di bawah, Sang Buddha menjelaskan latihan moralitas yang lebih tinggi (adhisīla-sikkhā) sebagai pengendalian Pātimokkha, aturan-aturan monastik; latihan pikiran yang lebih tinggi (adhicitta-sikkhā), sebagai empat jhāna (didefinisikan melalui formula umum); dan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipañña-sikkhā), sebagai pengetahuan empat kebenaran mulia atau kebebasan dari noda-noda (AN 3:88-89/I 235-36). Walaupun perlakuan Sang Buddha atas topik ini berada dalam konteks monastik, namun prinsip pengelompokan dapat dengan mudah diperluas pada siswa-siswa awam. Kembali pada AN 3:85, kita mempelajari bahwa pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali telah memenuhi latihan moralitas yang lebih tinggi (yang bagi seorang siswa awam berarti memiliki “moralitas yang disenangi para mulia”) tetapi telah menyelesaikan kedua latihan lainnya hanya sebagian; yang-tidak-kembali telah memenuhi latihan moralitas yang lebih tinggi dan pikiran yang lebih tinggi tetapi menyelesaikan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi hanya sebagian; dan Arahant telah memenuhi seluruh tiga latihan. Sekarang karena yang-tidak-kembali telah memenuhi latihan pikiran yang lebih tinggi, dan ini didefinisikan sebagai empat jhāna, maka ia mungkin adalah seorang pencapai jhāna-jhāna.

Akan tetapi, mungkin masih dipertanyakan, apakah ia harus memiliki seluruh empat jhāna. Sementara bacaan secara literal dari sutta di atas mendukung kesimpulan ini, jika kita mengingat komentar saya sebelumnya tentang interpretasi formula umum, kita dapat menduga bahwa latihan pikiran yang lebih tinggi dipenuhi dengan mencapai bahkan hanya satu jhāna. Hal ini tampaknya dikonfirmasi oleh Mahāmāluṅkya Sutta (MN No. 64/I 434-37), yang menunjukkan bagaimana pencapaian jhāna tertera dalam tingkat persiapan sang jalan hingga tingkat yang-tidak-kembali. Pada titik tertentu dalam khotbahNya, Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mengajarkan “jalan dan cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah” (yo maggo yā paṭipadā pancannaṃ orambhāgiyānaṃ saṃyojanānaṃ pahānāya). Beliau menggaris-bawahi pentingnya apa yang akan Beliau jelaskan dengan sebuah perumpamaan. Seperti halnya adalah tidak mungkin untuk memotong inti kayu dari sebatang pohon besar tanpa terlebih dulu memotong kulit kayu dan kayu lunaknya, demikian pula adalah tidak mungkin memotong kelima belenggu yang lebih rendah tanpa mengandalkan sang jalan dan praktik yang akan ia kenali. Ini menjelaskan secara pasti bahwa prosedur yang akan dijelaskan harus diikuti secara persis untuk mencapai tujuan yang dijanjikan, yaitu pelenyapan kelima belenggu yang lebih rendah (pencapaian yang mendefinisikan yang-tidak-kembali).

Kemudian Sang Buddha menjelaskan metodenya. Sang meditator memasuki salah satu dari empat jhāna atau tiga pencapaian tanpa bentuk yang lebih rendah (teks menjelaskan masing-masingnya secara berturut-turut) dan membedahnya ke dalam masing-masing unsurnya: bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran dalam hal empat jhāna; dengan cara yang sama, tetapi dengan menghilangkan bentuk, untuk ketiga pencapaian tanpa bentuk.33 Selanjutnya ia merenungkan fenomena-fenomena ini dalam sebelas cara: sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, borok, anak panah, keengsaraan, kemalangan, makhluk asing, kehancuran, kosong, dan tanpa-diri. Kemudian, ketika perenungannya mencapai kematangan, ia mengalihkan pikirannya dari hal-hal ini dan mengarahkannya pada unsur keabadian (amata-dhātu), yaitu, Nibbāna. “Jika ia kokoh dalam hal ini maka ia mencapai Kearahantaan pada saat itu juga, tetapi jika ia sedikit terhambat karena kemelekatan dan kegembiraan dalam Dhamma, maka ia melenyapkan kelima belenggu yang lebih rendah dan menjadi seorang yang muncul secara spontan, yang mencapai Nibbāna akhir di sana (di alam surga) tanpa pernah kembali ke alam ini.”34

Dengan demikian Mahāmāluṅkya Sutta mengatakan bahwa pencapaian jhāna adalah bagian yang perlu dari praktik persiapan untuk mencapai tingkat yang-tidak-kembali. Walaupun sutta ini membahas praktik yang dijalankan oleh seorang bhikkhu, karena Sang Budha telah menyatakan hal ini sebagai “jalan dan praktik untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah,” kita dapat menyimpulkan bahwa praktisi awam juga harus mengikuti jalan ini. Hal ini menyiratkan bahwa seorang yang-kembali-sekali yang bercita-cita untuk menjadi seorang yang-tidak-kembali harus mengembangkan minimal jhāna pertama dalam tahap awal dari sang jalan, dengan menggunakan jhāna sebagai landas-pacu untuk mengembangkan pandangan terang.

Sementara Mahāmālunkya Sutta dan paralelnya (AN 9:36/IV 422-46) menyiratkan bahwa pencapaian jhāna pertama terlebih dulu adalah syarat minimum untuk mencapai buah yang-tidak-kembali, kita masih mempertanyakan apakah hal ini adalah suatu aturan tetap atau sekadar ketentuan umum yang memperbolehkan beberapa pengecualian. Beberapa sutta menyarankan yang ke dua. Dalam dua teks yang berurutan Sang Buddha memuji “delapan kualitas mengagumkan dan menakjubkan” dari dua umat awam bernama Ugga. Dalam Sutta pertama (AN 8:21/IV 211), Beliau menyatakan bahwa Ugga dari Vesālī telah meninggalkan seluruh lima belenggu (seperti halnya Nandamātā di atas); dalam sutta ke dua (AN 8:22/IV 216), Beliau mengatakan bahwa Ugga dari Hatthigāma tidak lagi memiliki belenggu yang dengannya ia dapat kembali ke alam ini (seperti halnya Citta). Namun, walaupun Beliau menegaskan status mereka sebagai yang-tidak-kembali, tetapi Sang Buddha tidak menyebutkan pencapaian jhāna di antara delapan kualitas mereka yang mengagumkan. Hal ini, tentu saja, tidak perlu dianggap bahwa mereka tidak memiliki pencapaian jhāna. Mungkin saja karena keterampilan jhāna mereka kurang menonjol dibandingkan kualitas-kualitas lainnya yang mereka miliki, atau mereka mungkin mahir hanya dalam satu atau dua jhāna bukan keseluruhan empat jhāna. Tetapi hal ini juga membuka kemungkinan bahwa mereka adalah yang-tidak-kembali tanpa jhāna.

Teks lain lagi adalah Dīghāvu Sutta (SN 55:3/V 344-46). Di sini, Sang Buddha mengunjungi seorang pemuda umat awam bernama Dīghāvu, yang sedang sakit keras. Pertama-tama Beliau menasihati si pemuda yang sakit itu agar berkeyakinan kuat pada Tiga Permata dan memiliki moralitas yang disenangi oleh para mulia, yaitu, untuk menjadi seorang pemasuk-arus. Ketika Dīghāvu mengatakan bahwa ia telah memiliki kualitas-kualitas ini, Sang Buddha memberitahunya bahwa karena ia telah memiliki empat faktor memasuki-arus, maka ia harus “berusaha lebih jauh untuk mengembangkan enam kualitas yang merupakan bagian dari pengetahuan sejati” (cha vijjābhāgiyā dhammā): “Engkau harus berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dari segala bentukan, melihat penderitaan di dalam apa yang tidak kekal, melihat ketiadaan-diri dari apa yang merupakan penderitaan, melihat pelepasan, melihat kebosanan, melihat lenyapnya.”35 Dīghāvu meyakinkan Sang Bhagavā bahwa ia telah mempraktikkan perenungan-perenungan ini, dan Sang Guru pergi. Tidak lama kemudian Dīghābu meninggal dunia. Ketika mendengar berita kematiannya, para bhikkhu mendatangi Sang Buddha untuk menanyakan kelahiran kembalinya. Sang Buddha menyatakan bahwa Dīghāvu si umat awam telah melenyapkan kelima belenggu yang lebih rendah dan secara spontan terlahir kembali sebagai seorang yang-tidak-kembali. Di sini, transisi dari tingkat memasuki-arus ke yang-tidak-kembali terjadi melalui serangkaian perenungan yang berhubungan dengan pandangan terang. Tidak ada instruksi untuk mengembangkan jhāna-jhāna, melainkan melalui praktik “enam hal yang menjadi bagian dari pengetahuan sejati” Dīghāvu telah mematahkan kelima belenggu dan mencapai buah ke tiga dari sang jalan.

Landasan teoritis atas pendekatan Dīghāvu dapat dibaca dari sutta lain. Dalam AN 4:169/II 155-56, Sang Buddha membedakan dua jenis yang-tidak-kembali: seorang yang mencapai Nibbāna akhir tanpa usaha (asaṅkhāra-parinibbāyī), dan seorang yang mencapai Nibbāna akhir dengan usaha (sasaṅkhāra-parinibbāyī). Yang pertama adalah seorang yang masuk dan berdiam dalam empat jhāna (dijelaskan melalui formula umum). Yang ke dua mempraktikkan meditasi “keras” seperti perenungan pada kebusukan jasmani, perenungan pada kejijikan makanan, kekecewaan pada seluruh dunia, persepsi ketidak-kekalan dalam segala bentukan, dan perenungan kematian.36 Sekali lagi, tidak ada penegasan pasti bahwa yang ke dua sama sekali tanpa jhāna, tetapi perbedaan jenis ini dengan seorang yang memperoleh empat jhāna menyiratkan kemungkinan ini.

Walaupun kemungkinan bahwa ada yang-tidak-kembali tanpa jhāna tidak dapat diabaikan, namun dari Nikāya-Nikāya kita dapat memperoleh beberapa alasan mengapa kita umumnya mengharapkan seorang yang-tidak-kembali memilikinya. Salah satu alasan terletak pada tindakan untuk menjadi yang-tidak-kembali. Ketika naik dari tingkat yang-kembali-sekali menuju yang-tidak-kembali, meditator melenyapkan dua belenggu yang telah dilemahkan oleh yang-kembali-sekali: keinginan indria (kāmacchanda) dan niat buruk (byāpāda). Sekarang kedua belenggu ini juga merupakan dua pertama di antara kelima rintangan, kekotoran yang harus ditinggalkan untuk memperoleh jhāna-jhāna. Ini menyiratkan bahwa dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran ini yang-tidak-kembali secara permanen melenyapkan rintangan utama pada konsentrasi. Dengan demikian, jika pikirannya telah condong demikian, maka yang-tidak-kembali seharusnya tidak mengalami kesulitan untuk memasuki jhāna-jhāna.

Alasan lain mengapa yang-tidak-kembali seharusnya memiliki jhāna-jhāna, sementara para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali tidak harus memilikinya, berhubungan dengan tujuan kelahiran kembali mereka di masa depan dalam saṃsāra. Walaupun seluruh ketiga jenis siswa ini telah terbebas dari alam sengsara – kelahiran kembali di neraka, di alam binatang, dan di alam hantu – para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali masin mungkin terlahir kembali di alam indria (kāmadhātu), sedangkan yang-tidak-kembali sama sekali bebas dari proses kelahiran kembali demikian. Apa yang mengikat kelompok pertama pada alam indria adalah belenggu keinginan indria (kāmacchanda), yang masih belum ditinggalkan oleh mereka. Jika mereka berhasil mencapai jhāna-jhāna, maka mereka mampu menekan keinginan indria (dan rintangan batin lainnya) dan dengan demikian memperoleh kelahiran kembali di alam berbentuk atau alam tanpa bentuk. Tetapi hal ini tidak pasti bagi para siswa mulia pada dua tingkat yang lebih rendah, yang biasanya hanya mengharapkan kelahiran kembali yang beruntung di alam manusia atau di alam surga indria. Sebaliknya, yang-tidak-kembali, disebut demikian karena mereka tidak akan pernah kembali ke alam indria lagi. Mereka telah melenyapkan keinginan indria, menjalankan kehidupan selibat, dan menikmati kecakapan dalam tingkat yang tinggi dalam meditasi. Pada saat kematian, yang-tidak-kembali terlahir kembali secara spontan di alam berbentuk (biasanya di alam murni) dan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali ke alam ini.

Yang-tidak-kembali memutuskan semua hubungan dengan alam indria dengan melenyapkan belenggu keinginan indria, dan hal ini membentuk suatu kemiripan tertentu antara yang-tidak-kembali dan pencapai-jhāna biasa. Teks-teks kadang-kadang membicarakan pencapai-jhāna awam sebagai “pihak luar yang hampa dari nafsu akan kenikmatan indria.”37 Jika ia mempertahankan kemahirannya akan jhāna pada saat kematiannya, kamma luhurnya akan menuntunnya menuju kelahiran kembali di alam berbentuk, alam persisnya ditentukan oleh tingkat kemahirannya atas jhāna-jhāna. Akan tetapi, karena baik pencapai-jhāna awam maupun yang-tidak-kembali sama-sama hampa dari keinginan indria dan pasti terlahir kembali di alam bukan-indria, maka kedua ini terbagi oleh perbedaan yang mendasar dan mendalam. Pencapai-jhāna awam belum sepenuhnya melenyapkan belenggu apa pun dengan demikian, dengan perhatian tergelincir, dapat dengan mudah jatuh menjadi korban indriawi; sebaliknya, yang-tidak-kembali, telah memotong keinginan indria dan niat buruk di akarnya, memastikan bahwa belenggu-belenggu itu tidak akan pernah muncul lagi dalam diri mereka. Ia tidak akan terlahir kembali di alam berbentuk hanya melalui kamma baik yang dihasilkan oleh jhāna-jhāna, seperti halnya pencapai-jhāna awam, melainkan karena ia telah melenyapkan dua belenggu yang bahkan mengikat yang-kembali-sekali pada alam indria.

Perbedaan ini menyiratkan perbedaan lain lagi sehubungan dengan takdir jangka panjang mereka. Pencapai-jhāna awam, setelah terlahir kembali di alam berbentuk, akhirnya kehabisan kekuatan kamma baiknya yang bertanggung jawab atas kelahiran luhurnya dan mungkin kemudian akan terlahir kembali di alam indria, bahkan di alam rendah. Sebaliknya, yang-tidak-kembali, tidak akan pernah jatuh lagi. Kokoh pada sang jalan Dhamma, yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di alam berbentuk terus mengembangkan sang jalan tanpa pernah mundur hingga ia mencapai Nibbāna akhir di alam berbentuk itu.38

Studi kita telah menuntun kita pada kesimpulan berikut sehubungan dengan hubungan antara siswa awam mulia dan jhāna-jhāna.

(1) Beberapa sutta menggambarkan proses yang dengannya seorang duniawi memasuki “jalan pasti kebenaran” dalam suatu cara yang menekankan keyakinan atau kebijaksanaan sebagai alat utama pencapaian. Akan tetapi, tidak ada teks, yang membahas kedua kandidat pemasuk-arus – pengikut-keyakinan dan pengikut-Dhamma – menunjukkan bahwa mereka terampil dalam jhāna-jhāna. Walaupun beberapa sutta memasukkan jhāna-jhāna dalam analisis indria konsetrasi, hal ini dilakukan hanya demi memenuhi gaya definisi formula yang digunakan oleh Nikāya-Nikāya dan tidak perlu dilihat sebagai memiliki implikasi positif. Komentar memperlakukan definisi-definisi ini sebagai merujuk pada jhāna lokuttara yang muncul pada jalan lokuttara. Terlebih lagi, analisis indria konsentrasi menyebutkan jenis konsentrasi lain, yang dicapai “dengan melepaskan obyek,” dan hal ini dapat diinterpretasikan secara lebih luas sebagai termasuk tingkat konsentrasi tanpa jhāna.

(2) Semua siswa mulia memperoleh konsentrasi benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang didefinisikan sebagai empat jhāna. Ini tidak harus dipahami sebagai bermakna bahwa para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali telah memiliki jhāna sebelum mereka mencapai tingkat memasuki-arus. Formula konsentrasi benar dapat menyiratkan hanya bahwa mereka akhirnya mencapai jhāna-jhāna dalam perjalanan mengembangkan sang jalan hingga memuncak pada Kearahantaan. Jika kita mengikuti Komentar dalam mengenali perbedaan Abhidhamma antara jalan persiapan dan jalan lokuttara, maka kita dapat menganggap bahwa jhāna-jhāna termasuk dalam konsentrasi benar sebagai faktor sang jalan yang berhubungan dengan jalan lokuttara dan dengan demikian memiliki kemuliaan lokuttara. Ini masih membuka pertanyaan apakah praktisi yang bercita-cita untuk mencapai tingkat memasuki-arus harus mengembangkan jhāna-jhāna lokiya dalam tahap awal dari praktik mereka.

(3) Sejumlah teks tentang para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali menyiratkan bahwa mereka tidak memiliki jhāna-jhāna sebagai pencapaian meditatif yang dapat mereka masuki kapan pun mereka inginkan. Walaupun jelas bahwa para siswa pada dua tingkat yang lebih rendah mungkin memiliki pencapaian jhāna, namun bagi yang-kembali-sekali tidak dinyatakan sebagai bagian integral dari perlengkapan spiritual mereka.

(4) Beberapa yang-tidak-kembali dalam Nikāya-Nikāya mengaku memiliki seluruh empat jhāna, dan menurut Mahāmāluṅkya Sutta, pencapaian minimal jhāna pertama adalah bagian dari praktik yang mengarah menuju lenyapnya kelima belenggu yang lebih rendah. Dengan demikian tampaknya para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali yang berkeinginan untuk maju menuju kondisi yang-tidak-kembali dalam kehidupan ini harus mencapai minimal jhāna pertama sebagai landasan untuk mengembangkan pandangan terang. Mereka yang puas dengan status mereka, bersiap-siap untuk membiarkan “hukum Dhamma” mengambil jalannya, umumnya tidak akan berusaha mencapai jhāna-jhāna. Melainkan, mereka berdiam dengan yakin bahwa mereka pasti mencapai tujuan akhir dalam maksimum tujuh kelahiran lagi di alam manusia atau di alam surga.

(5) Karena para yang-tidak-kembali telah melenyapkan nafsu indria dan niat buruk, rintangan utama pada pencapaian jhāna, maka mereka seharusnya tidak menghadapi masalah besar dalam memasuki jhāna. Yang-tidak-kembali sama dengan pencapai-jhāna awam dalam hal kelahiran kembali di alam berbentuk. Akan tetapi, tidak seperti pencapai-jhāna awam, yang-tidak-kembali sama sekali bebas dari keinginan indria dan niat buruk dan dengan demikian tidak akan pernah jatuh lagi ke alam indria.

(6) Walaupun dalam Nikāya-Nikāya penghubung antara kedua pencapaian – jhāna-jhāna dan kondisi yang-tidak-kembali – cukup jelas, namun masih dipertanyakan apakah hubungan ini benar-benar mengikat. Beberapa sutta mengatakan pencapaian para yang-tidak-kembali tanpa menyebutkan jhāna-jhāna, dan minimal satu sutta membedakan yang-tidak-kembali yang memperoleh seluruh empat jhāna dengan seorang yang berlatih jenis meditasi yang lebih keras yang tidak mengarah pada jhāna-jhāna.


Komentar mengatakan bahkan seorang Arahant sukkhavipassaka, seorang Arahant yang telah mencapai tujuan hanya melalui “pandangan terang kering,” tanpa pencapaian jhāna alam berbentuk sama sekali. Walaupun jenis demikian tidak secara eksplisit dikenali dalam Nikāya-Nikāya, pertanyaan muncul sehubungan dengan apakah Komentar, dalam menyatakan kemungkinan bahwa Kearahantaan dapat dicapai tanpa pencapaian jhāna dalam porsi lokiya dari sang jalan, telah berselisih dengan Kanon dan menyorot kemungkinan implisit dalam teks-teks yang lebih tua. Satipaṭṭhāna Sutta yang terkenal menyatakan, dalam bagian penutupnya, bahwa mereka semua yang dengan tekun dan tanpa terputus mempraktikkan empat landasan perhatian pasti memetik satu dari dua buah: apakah Kearahantaan dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa kemelekatan yang tertinggal, mencapai tingkat yang-tidak-kembali. Sementara beberapa latihan dalam Satipaṭṭhāna Sutta pasti mampu memunculkan jhāna, namun sistem itu secara keseluruhan tampaknya berorientasi pada pandangan terang langsung bukan pada jhāna-jhāna.39 Dengan demikian hal ini memunculkan pertanyaan apakah Satipaṭṭhāna Sutta bukan mengemukakan cara praktik yang mengarah langsung pada jalan yang-tidak-kembali, bahkan pada Kearahantaan, tanpa memperoleh pencapaian jhāna-jhāna. Akan tetapi, ini adalah pertanyaan lain yang berada di luar cakupan tulisan ini.

Catatan: Singkatan-singkatan mengikuti sistem yang disarankan dalam Critical Pāli Dictionary.


Catatan Kaki
  1. Vivicc’eva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṃ savicāraṃ vivekajaṃ pītisukhaṃ paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. Vitakkavicārānaṃ vūpasamā ajjhattaṃ sampasādanaṃ cetaso ekodibhāvaṃ avitakkaṃ avicāraṃ samādhijaṃ pītisukhaṃ dutiyaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. Pitiyā ca virāgā upekkhako ca viharati sato ca sampajāno sukha’ ca kāyena paṭisaṃvedeti, yan taṃ ariyā ācikkhanti upekkhako satimā sukhavihārī ti tatiyaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. Sukhassa ca pahānā dukkhassa ca pahānā pubb’eva somanassadomanassānaṃ atthagamā adukkham asukhaṃ upekkhāsatipārisuddhiṃ catutthaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. ↩︎

  2. Kendaraan pandangan terang tanpa jhāna disebutkan pada Vism XVIII, 5 (edisi PTS 558); para praktisi pandangan terang kering pada XXI, 112 (666), 18 (702). Baca juga komentar Spk atas SN 12:70. ↩︎

  3. Misalnya, pada DN II 92 Sang Buddha mengatakan bahwa banyak siswa awam yang telah meninggal dunia telah mencapai ketiga tingkat pertama, dan pada MN I 490-91 Beliau menyatakan bahwa Beliau memiliki “lebih dari lima ratus” siswa awam yang telah menjadi yang-tidak-kembali. Pertanyaan tentang Kearahantaan awam adalah pertanyaan yang agak rumit. Walaupun teks-teks mencatat beberapa kasus umat awam yang mencapai Kearahantaan, segera setelahnya mereka akan menerima penahbisan atau meninggal dunia. Ini adalah landasan bagi kepercayaan tradisional bahwa jika seorang umat awam mencapai Kearahantaan, ia akan memasuki Sangha pada hari yang sama atau meninggal dunia. ↩︎

  4. salah satu teks demikian yang tidak memberikan hubungan, dalam konteks monastik, adalah AN 3:85/I 231-32, yang akan saya diskusikan di bawah. ↩︎

  5. Sappurisasaṃseva, saddhammasavana, yoniso manasikāra, dhammānudhammapaṭipadā. Baca SN 55:55/V 410-11. ↩︎

  6. Dhammacakkhu-paṭilābha, dhammābhisamaya, dhamma-paṭivedha. Baca SN II 134-38 untuk dua yang pertama; yang ke tiga lebih merupakan ungkapan komentar yang digunakan untuk menjelaskan yang ke dua. ↩︎

  7. Diṭṭhadhamma, pattadhamma, viditadhamma, pariyogāḷhadhamma; misalnya pada DN I 110, MN I 501, dan sebagainya. ↩︎

  8. DN I 110, MN I 501, serta SN III 106, 135, dan sebagainya. ↩︎

  9. Misalnya, MN I 479, SN V 200-2. SN V 379 menetapkan kelima indria sebagai milik dua jenis individu yang, walaupun sebutannya tidak digunakan, namun jelas dapat diidentifikasi sebagai dhammānusārī dan saddhānusāri. ↩︎

  10. SN 48:8/V 196: catusu jhānesu, ettha samādhindriyaṃ daṭṭhabbaṃ. Baca juga AN 5:15/III 12, di mana dikatakan bahwa kekuatan konsentrasi (samādhibala) “harus dilihat di antara keempat jhāna.” ↩︎

  11. Pada SN 48:10/V 198, indria konsentrasi didefinisikan oleh formula untuk empat jhāna. Pada AN 5:14/III 11, kekuatan konsentrasi (samādhibala) didefinisikan dengan cara serupa. ↩︎

  12. Katama’ ca bhikkhave samādhindriyaṃ? Idha bhikkhave ariyasāvako vossaggārammaṇaṃ karitvā labhati samādhiṃ labhati cittassa ekaggataṃ. Idaṃ bhikkhave samādhindriyaṃ. ↩︎

  13. Di sepanjang Magga-saṃyutta, ungkapan vossagga-parināmi, “matang dalam kebebasan,” digunakan untuk menggambarkan faktor-faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini menyiratkan bahwa vossagga, sebagai tujuan dari sang jalan, adalah Nibbāna. ↩︎

  14. Di bawah saya akan menjelaskan tentang perbedaan antara alam berbentuk dan jhāna-jhāna lokuttara. ↩︎

  15. Spk III 234, mengomentari SN 48:9. ↩︎

  16. Pts III 586-87 tampaknya menggunakan ini dalam mengomentari ungkapan sebagai berikut: “memiliki sebagai kebebasan obyek: di sini kebebasan adalah NIbbāna, karena Nibbāna disebut kebebasan karena membebaskan yang terkondisi, pelepasannya. Pandangan terang dan fenomena yang berhubungannya memiliki Nibbāna sebagai obyek, Nibbāna sebagai penyokong, karena berdiri di atas Nibbāna sebagai penyokong dalam makna miring ke arahnya melalui kecondongan. Konsentrasi adalah ketidak-kacauan yang dibedakan dalam akses dan penyerapan (upacārappanābhedo avikkhepo), yang terdiri dari keterpusatan pikiran yang dibangkitkan karena berdiri di atas Nibbāna, dengan hal itu sebagai penyebab dengan menggunakannya sebagai kebebasan obyek dari fenomena yang dihasilkan di sana. Konsentrasi yang berperan dalam penembusan (nibbedhabhāgiyo samādhi), yang bangkit karena pandangan terang, dijelaskan.” Dari hal ini, tampaknya bahwa “konsentrasi memiliki kebebasan sebagai obyeknya” dapat dipahami sebagai konsentrasi yang bangkit melalui praktik meditasi pandangan terang, dengan tujuan pencapaian Nibbāna. ↩︎

  17. Pembahasan lengkap mengenai ketujuh tipologi ini terdapat pada MN I 477-79. ketujuh jenis ini juga didefinisikan, secara agak berbeda, pada Pp 14-15. ↩︎

  18. Satu pengecualian yang mungkin dari pernyataan ini adalah sutta pada AN 7:53/ IV 78. Di sini Sang Buddha memulai dengan mendiskusikan enam jenis pertama, yang di antaranya dua jenis pertama dikatakan “tanpa sisa” (anupādisesa), yaitu, kekotoran-kekotoran, yang berarti bahwa mereka adalah para Arahant; empat berikutnya dikatakan “dengan sisa” (sa-upādisesa), yang berarti mereka memiliki beberapa kekotoran dan dengan demikian masih belum Arahant. Tetapi posisi ke tujuh, di mana kita berharap untuk menemukan saddhānusārī, Beliau menyebutkan “jenis ke tujuh, seorang yang berdiam dalam tanpa-gambaran” (sattamam animittavihāriṃ puggalaṃ). Ini dijelaskan sebagai “seorang bhikkhu yang, melalui tanpa-perhatian pada segala gambaran, masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran” (bhikkhu sabbanimittānaṃ amanasikārā animittaṃ cetosamādhiṃ upasampajja viharati). Pernyataan ini tampaknya terbuka, sebagai suatu alternatif bagi pengikut-keyakinan, sekelompok calon memasuki-arus yang mengkhususkan pada konsentrasi. Tetapi paragraf ini adalah khas dalam Nikāya dan tidak membentuk landasan bagi sistem alternatif pengelompokan. Terlebih lagi, Komentar menjelaskan “konsentrasi pikiran tanpa gambaran” sebagai “konsentrasi pandangan terang yang kuat” (balavavipassanā-samādhi), disebut demikian karena melenyapkan gambaran-gambaran ketidak-kekalan, kesenangan, dan adanya diri. (baca Mp IV 40 edisi PTS; II 720 edisi SHB.) Dengan demikian dapat dipertanyakan apakah bahkan pengakuan jenis ini berarti bahwa konsentrasi Samatha menentukan kelompok siswa pada jalan menuju tingkat memasuki-arus. ↩︎

  19. Misalnya, pada DN II 313 dan SN V 10. ↩︎

  20. Pembedaan ini telah ditemukan dalam Dhs, dalam analisisnya terhadap kelompok-kelompok kesadaran yang bermanfaat yang berhubungan dengan alam berbentuk dan jenis lokuttara dari kesadaran yang bermanfaat. Baca juga Jhāna-vibhaṅga (Abhidhamma-bhājanīya) dari Vibh. ↩︎

  21. 22. Baca Vism XXI, 112-16. ↩︎

  22. MN No. 117. Dalam sutta ini Sang Buddha membedakan lima dari faktor-faktor sang jalan, dari pandangan benar hingga penghidupan benar, ke dalam dua jenis, satu “berhubungan dengan noda-noda, berperan dalam kebajikan, matang dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan” (sāsava puññabhāgiya upadhivepakka), yang lainnya “mulia, tanpa noda, lokuttara, suatu faktor sang jalan” (ariya anāsava lokuttara maggaṅga). “Konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung dan syaratnya” (ariya sammā samādhi sa-upanisa sa-parikkhāra) adalah keterpusatan pikiran yang dilengkapi dengan ketujuh faktor lainnya dalam dimensinya yang mulia, lokuttara. Jika yang belakangan dipahami sebagai jhāna lokuttara, maka kita dapat menganggap bahwa jhāna-jhāna yang biasanya digambarkan dalam latihan siswa adalah “berhubungan dengan noda-noda, berperan dalam kebajikan, matang dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan.” Teks-teks tidak pernah menggambarkan jhāna-jhāna dalam sebutan-sebutan ini, tetapi beberapa sutta menyiratkan pencapaian mereka mengarah hanya menuju kelahiran kembali yang lebih tinggi tanpa harus menghasilkan pembebasan. Baca catatan 39 di bawah. ↩︎

  23. MN I 91. ↩︎

  24. Baca, misalnya, MN I 356; AN 10:8/V 11, dan sebagainya. ↩︎

  25. AN III 285, dan seterusnya.: Ayaṃ vuccati Mahānāma ariyasāvako visamagatāya pajāya samappatto viharati, savyāpajjhāya pajāya avyāpajjho viharati, dhammasotaṃ samāpanno buddhānussatiṃ bhāveti. ↩︎

  26. Ibid: Ujugatacitto kho pana Mahānāma ariyasāvako labhati atthavedaṃ labhati dhammavedaṃ labhati dhammūpasaṃhitaṃ pāmujjaṃ; pamuditassa pīti jāyati, pītimanassa kāyo passambhati; passaddhakāyo sukhaṃ vediyati; sukhino cittaṃ samādhiyati. ↩︎

  27. Saddhā, sīla, suta, cāga, paññā. Kadang-kadang pembelajaran dihilangkan, karena hal ini tidak terlalu integral pada karakter ariya seperti halnya empat kualitas lainnya. ↩︎

  28. Baca SN 55:32-33, 42-43; V 391-92, 401-2. ↩︎

  29. 30. Udayatthagāminiyā paññāya samannāgato ariyāya nibbedhikāya sammādukkhakkhaya-gāminiyā. ↩︎

  30. SN V 398-99: Idha Nandiya ariyasāvako Buddhe aveccappasādena samannāgato hoti … So tena Buddhe aveccappasādena asantuṭṭho uttariṃ vāyamati divā pavivekāya rattiṃ paṭisallānāya. Tassa evaṃ appamattassa viharato pāmujjaṃ jāyati … sukhino cittaṃ samādhiyati. Samāhite citte dhammā pātubhavanti. Dhammānaṃ pātubhāvā appamādavihārī tveva saṅkhaṃ gacchati…. Evaṃ kho Nandiya ariyasāvako appamādavihārī hoti. ↩︎

  31. Spk IV 301: Sace kho pan’āhaṃ bhante Bhagavato paṭhamataraṃ kālaṃ kareyya anacchariyaṃ kho pan’etaṃ yaṃ maṃ Bhagavā etaṃ vyākareyya, Natthi taṃ saññojanaṃ yena saññojanena saṃyutto Citto gahapati puna imaṃ lokaṃ āgaccheyyā ti. ↩︎

  32. AN IV 67: Yānīmāni bhante Bhagavatā desitāni panc’orambhāgiyāni saṃyojanāni, nāhaṃ tesaṃ kinci attani appahīnaṃ samanupassāmī ti. ↩︎

  33. Menurut Komentar, kondisi tanpa bentuk ke empat, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, tidak disebutkan karena unsure-unsurnya terlalu halus untuk dapat dipahami oleh pandangan terang. Tetapi teks parallel, AN 9:36/IV 422-26, mengajarkan suatu metode yang dengannya pencapaian tanpa bentuk ke empat, serta lenyapnya perasaan dan persepsi, dapat digunakan untuk menghasilkan pandangan terang dan karenanya mencapai Kearahantaan atau yang-tidak-kembali. ↩︎

  34. MN I 435-36: So tatthaṭṭhito āsavānaṃ khayaṃ pāpuṇāti; no ce āsavānaṃ khayaṃ pāpuṇāti ten’eva dhammarāgena tāya dhammanandiyā pancannaṃ orambhāgiyānaṃ saṃyojanānaṃ parikkhayā opapātiko hoti tatthaparinibbāyī anāvattidhammo tasmā lokā. ↩︎

  35. SN V 345: C’a vijjābhāgiye dhamme uttariṃ bhāveyyāsi. Idha tvaṃ Dīghāvu sabbasaṅkhāresu aniccānupassī viharāhi, anicce dukkhasaññī dukkhe anattasaññī pahānasaññī virāgasaññī nirodhasaññī ti. ↩︎

  36. AN II 156: Idha bhikkhu asubhānupassī kāye viharati, āhāre paṭikkūlasaññī, sabbaloke anabhiratasaññī, sabbasaṅkhāresu aniccānupassī, maraṇasaññā pan’assa ajjhattaṃ sūpaṭṭhitā hoti. ↩︎

  37. MN III 255: Bāhiraka kāmesu vītarāga. ↩︎

  38. Baca AN 4:123/II 126-28, yang membedakan kaum duniawi yang mencapai jhāna-jhāna dengan siswa Buddhis yang mencapainya. ↩︎

  39. Ini adalah pandangan luas di antara para penerjemah masa kini, walaupun sutta sendiri tidak menggambarkan metodenya secara eksplisit dalam kata-kata tersebut. ↩︎