Saṃyutta Nikāya
Bhikkhu Bodhi
Edisi lain:
pdf
pdf
pdf
pdf
pdf
The Saṃyutta Nikāya is one of the most important collections of the Buddha’s discourses preserved in the Pāḷi Canon. Parts of it certainly go back to the first Buddhist council and thus originate from the oldest period of Buddhist history. The Saṃyutta is a rich treasury of Buddhist teachings that reveals, as clearly as might be desired, the philosophy and practices of Buddhism during its earliest phase.
By examining the “plan” of the Saṃyutta Nikāya, we can see that it is organized around the major topic of the Buddha’s teaching, the four noble truths. If we leave aside the first book, the Collection with Verses, we would find that the other books conform to the pattern of the four noble truths. The Khandha-saṃyutta and the Āyatana-saṃyutta deal with the first noble truth, the truth of suffering, which can ultimately be identified with the five aggregates and the six sense bases. The Nidāna-saṃyutta, the discourses on dependent origination, explains the origination and cessation of suffering, the second and third noble truths. And the gigantic fifth book, the Mahāvagga, contains at least ten chapters dealing with the fourth truth, the way to the cessation of suffering. It treats the way to liberation from different angles: the noble eightfold path, the seven factors of enlightenment, the four establishments of mindfulness, the faculties and powers, the bases of spiritual power, and so forth. Finally, the entire Saṃyutta concludes with a chapter on the four noble truths themselves. This is a chapter in which the Buddha repeatedly urges his followers to make a determined effort to realize these truths, which he shared with the world after he himself discovered them on the night of his enlightenment. In the midst of this final chapter we find the Buddha’s very first discourse, in which he “sets in motion the unsurpassed Wheel of the Dhamma.”
Because it contains so many suttas dealing with these central teachings, those who want to understand the Dhamma in detail and depth cannot neglect careful study of the Saṃyutta Nikāya. This is not a book to be read like a novel. You should not read it quickly and put it aside, but should read it slowly and carefully, taking notes, savoring a little each day (like a delicious cake) and digesting each portion that you study. This is indeed a book that should remain with you throughout your life. It is a torch to carry through the dark night of your journey through saṃsāra, the round of birth and death, it is a bright sun that sheds boundless light and a friend that offers ever-helpful guidance. One can truly say, without exaggeration, that the Saṃyutta Nikāya is the key to unlock the most deeply buried treasures of the Buddha’s original teachings. Even later Buddhist masters, like Nāgārjuna and Asanga, often turned to the Saṃyutta for inspiration and illumination. To establish the solid foundation for one’s own practice, the Saṃyutta will always be found helpful.
When I was living in Sri Lanka as editor for the Buddhist Publication Society, I spent ten years translating the Saṃyutta Nikāya into English and compiling notes to it. At the end, the translation was published by Wisdom Publications, which has helped so much to offer modern English translations of the Nikāyas. I am now delighted to know that this work has been translated from my English version into the Indonesian language, which will make it more accessible to readers of Buddhist literature in Indonesia. I extend my congratulations to the translators at Dhammacitta for undertaking the Indonesian translation of this work, which must surely have been for them a labor of love. I am especially glad to know that this book of approximately two thousand pages is intended for free distribution. I hope that this translation will bring to life, for people in Indonesia today, the timeless message of the Buddha, echoing down through twenty-five centuries, giving us clear guidance on the proper conduct of life and showing us the clear way to full liberation from suffering.
YM. Bhikkhu Bodhi** Vihara Chuang Yen Carmel, New York
Saṃyutta Nikāya adalah salah satu kumpulan paling penting dari khotbah-khotbah Sang Buddha yang diabadikan dalam Kanon Pāḷi. Sebagian isinya dipastikan berasal dari konsili Buddhis pertama dan demikian juga berasal dari periode tertua dalam sejarah Buddhis. Saṃyutta Nikāya adalah sebuah harta berlimpah ajaran Buddhis yang mengungkapkan, sejelas seperti yang diinginkan, filosofi dan praktik Buddhisme selama pada masa yang paling awal.
Dengan mempelajari “denah” dari Saṃyutta Nikāya, kita dapat melihat bahwa Saṃyutta Nikāya dikelompokkan seputar topik utama ajaran Sang Buddha, Empat Kebenaran Mulia. Jika kita mengesampingkan buku pertama, Kumpulan Syair, kita akan menemukan bahwa buku-buku lainnya sesuai dengan pola dari Empat Kebenaran Mulia. Khandha-Saṃyutta dan Āyatana-Saṃyutta berhubungan dengan Kebenaran Mulia Pertama, yaitu kebenaran tentang penderitaan, yang pada akhirnya dapat diidentifikasi dengan lima kelompok kehidupan dan enam landasan indria. Nidāna-Saṃyutta, khotbah tentang kemunculan bergantungan, menjelaskan tentang sumber dan berhentinya penderitaan, yakni Kebenaran Mulia Ke dua dan Ke tiga. Dan buku ke lima yang sangat besar, Mahāvagga, berisi setidaknya sepuluh bab yang berhubungan dengan Kebenaran Mulia Ke empat, yaitu jalan menuju berhentinya penderitaan. Saṃyutta Nikāya menjelaskan jalan menuju pembebasan dari berbagai sudut: Jalan Mulia Berunsur Delapan, tujuh faktor pencerahan, empat landasan perhatian, indria dan kekuatan, landasan-landasan kekuatan spiritual, dan seterusnya. Pada akhirnya, keseluruhan Saṃyutta diakhiri dengan sebuah bab tentang Empat Kebenaran Mulia itu sendiri. Bab ini, dimana Sang Buddha dengan berulang-kali mendorong pengikut-Nya untuk membuat sebuah usaha dengan tekad bulat untuk merealisasikan kebenaran-kebenaran mulia tersebut, yang Beliau bagikan pada dunia setelah Beliau sendiri temukan pada malam pencerahan-Nya. Di antara bab-bab terakhir tersebut kita temukan khotbah Sang Buddha yang pertama, yang dimana Beliau “memutar Roda Dhamma yang tanpa banding.”
Karena Saṃyutta Nikāya berisi sangat banyak sutta yang berhubungan dengan ajaran-ajaran inti ini, bagi orang yang ingin memahami Dhamma secara mendetil dan mendalam, tidak dapat mengabaikan untuk mempelajari Saṃyutta Nikāya dengan saksama. Buku ini bukan buku yang dibaca seperti sebuah novel. Anda tidak seharusnya membaca buku ini dengan cepat dan menyingkirkannya, tetapi seharusnya membaca dengan perlahan dan teliti, mencatat, menikmati sedikit setiap hari (seperti sepotong kue yang lezat) dan mencerna setiap bagian yang Anda pelajari. Ini adalah buku yang seharusnya tetap bersama Anda dalam hidup Anda. Buku ini adalah sebuah cahaya untuk menerangi malam gelap perjalanan Anda dalam saṃsāra, perputaran kelahiran dan kematian, buku ini adalah sebuah matahari terang yang menyinari tanpa batas dan teman yang memberikan petunjuk yang selalu dapat menolong. Seseorang dapat sesungguhnya berkata, tanpa dilebih-lebihkan, bahwa Saṃyutta Nikāya adalah kunci untuk membuka harta karun ajaran asli Sang Buddha yang tertimbun paling dalam. Bahkan para guru Buddhis belakangan, seperti Nāgārjuna dan Asanga, sering merujuk pada Saṃyutta untuk mencari inspirasi dan pencerahan. Untuk mendirikan dasar yang kokoh dalam praktik, Saṃyutta akan selalu dapat membantu.
Ketika saya dahulu tinggal di Sri Lanka sebagai editor di Buddhist Publication Society, saya menghabiskan sepuluh tahun untuk menerjemahkan Saṃyutta Nikāya ke Bahasa Inggris dan menyusun catatan-catatannya. Pada akhirnya, terjemahannya dipublikasikan oleh Wisdom Publications, yang telah banyak membantu untuk menyediakan terjemahan Nikāya dalam Bahasa Inggris modern. Saya sekarang sangat senang mengetahui bahwa hasil karya ini telah diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris saya menjadi Bahasa Indonesia, sehingga memudahkan akses bagi para pembaca literatur Buddhis di Indonesia. Saya memberi selamat kepada penerjemah-penerjemah di DhammaCitta karena mengemban terjemahan Bahasa Indonesia dari karya ini, yang pastinya bagi mereka merupakan pekerjaan dengan penuh cinta. Saya khususnya senang mengetahui bahwa buku yang berisi sekitar dua ribu halaman ini didistribusikan secara gratis. Saya harap terjemahan ini akan menghidupkan, untuk masyarakat Indonesia sekarang ini, pesan-pesan Sang Buddha yang tak lekang oleh waktu, menggema selama dua puluh lima abad, memberikan petunjuk yang jelas tentang menjalani kehidupan yang benar dan menunjukkan jalan yang jelas pada pembebasan sempurna dari penderitaan.
YM. Bhikkhu Bodhi Vihara Chuang Yen Carmel, New York
Saṃyutta Nikāya adalah koleksi besar ke tiga dari khotbah-khotbah Sang Buddha dalam Sutta Pitāka dari Kanon Pāli yang adalah kompilasi naskah-naskah yang disahkan sebagai kata-kata Sang Buddha oleh Buddhisme aliran Theravada. Dalam Sutta Piṭaka, Saṃyutta Nikāya ditempatkan setelah Dīgha Nikāya dan Majjhima Nikāya, dan sebelum Aṅguttara Nikāya. Seperti juga Nikāya Pāli lainnya, Saṃyutta Nikāya memiliki padanan dalam koleksi kanon dari aliran Buddhisme awal lainnya, dan salah satunya terdapat dalam Tripiṭaka China, yang dikenal sebagai Tsa-a-han-ching. Ini diterjemahkan dari Sanskrit Saṃyuktāgama, yang mana bukti menunjukkan berasal dari aliran Sarvāstivāda. Demikianlah, walaupun Saṃyutta Nikāya yang diterjemahkan dalam buku ini berasal dari kanon Theravada, namun jangan lupa bahwa buku ini adalah bagian dari teks – yang disebut Nikāya dalam tradisi Pāli yang berkembang di Asia Selatan dan agama dalam tradisi Buddhis Utara – yang menjadi sumber dari keseluruhan warisan literatur Buddhis. Adalah berdasarkan pada teks-teks ini aliran-aliran Buddhis awal menegakkan doktrin dan praktik mereka, dan sekali lagi adalah dengan merujuk pada teks-teks inilah aliran-aliran belakangan memformulasikan pandangan-pandangan baru mereka atas Jalan Buddha.
Sebagai sumber dari doktrin Buddhis, Saṃyutta Nikāya sangat kaya, karena dalam koleksi ini pengelompokan ajaran dilakukan dengan tepat yang berfungsi sebagai dasar utama dalam pengelompokan khotbah-khotbah Sang Buddha. Kata saṃyutta secara literal berarti “saling berkaitan,” yutta (Skt yukta) secara etimologi berhubungan dengan kata Bahasa Inggris “yoked” dan saṃ adalah awalan yang berarti “saling.” Kata ini juga muncul dalam sutta-sutta dengan makna secara doktrin berarti “terbelenggu” atau “terikat.” Dalam bentuk pasif yang berhubungan dengan istilah teknis saṃyojana, “belenggu,” yang mana terdapat sepuluh yang mengikat makhluk-makhluk pada saṃsāra, lingkaran kelahiran kembali. Tetapi kata saṃyutta juga digunakan dalam makna yang lebih umum yang hanya berarti hal-hal yang saling bergabung atau “berkaitan”, seperti dalam ungkapan, “Misalkan, teman, seekor sapi hitam dan sapi putih dihubungkan menjadi satu oleh sebuah tali kekang atau gandar” (35:232; S IV 163, 12-13). Ini adalah makna yang sesuai dalam koleksi teks buku ini. Yaitu sutta-sutta – khotbah-khotbah yang berasal dari Sang Buddha atau para siswa unggul – yang saling berkaitan atau berhubungan. Dan apa yang menghubungkannya, “tali kekang atau gandar” (damena vā yottena vā), adalah topik yang menjadi judul pada masing-masing bab, saṃyutta dimana sutta-sutta itu terletak.
Terlepas dari dimensi besar karya ini, rancangan dimana karya ini dibangun adalah sederhana dan langsung. Saṃyutta Nikāya yang diturunkan dari tradisi Pāli terdiri dari lima Vagga, bagian atau “buku” utama, yang masing-masingnya bersesuaian dengan satu buku dari edisi roman karya ini dari Pāḷi Text Society. Kelima buku ini terdiri dari lima puluh enam saṃyutta, bab berdasarkan pada topik-topik yang berkaitan.1 Saṃyutta yang lebih panjang kemudian dibagi lagi ke dalam sub-bab, yang juga disebut vagga, sedangkan saṃyutta yang lebih pendek dapat dianggap sebagai vagga tunggal yang identik dengan saṃyutta itu sendiri. Masing-masing vagga, dalam pengertian ini, biasanya terdiri dari sepuluh sutta, walaupun pada kenyataannya jumlah sutta dalam satu vagga dapat terdiri dari lima hingga enam puluh. Demikianlah kita menemukan kata vagga, yang secara literal berarti “sekelompok,” yang digunakan untuk menyebutkan lima bagian utama dari koleksi ini dan bagian-bagian di dalamnya dalam bentuk bab-bab.2
Dua saṃyutta terpanjang, Khandhasaṃyutta (22) dan Saḷāyatanasaṃyutta (35), begitu panjang sehingga menggunakan cara pengelompokan lain lagi untuk menyederhanakan pengaturannya. Yaitu paññāsaka, atau “kelompok lima puluh.” Angka ini hanyalah rata-rata, karena kelompok ini biasanya terdiri dari sedikit lebih dari lima puluh sutta; bahkan, kelompok lima puluh ke empat dari Saḷāyatanasaṃyutta terdiri dari Sembilan puluh tiga sutta, di antaranya adalah sebuah vagga yang terdiri dari enam puluh! Akan tetapi, kebanyakan sutta-sutta ini sangat singkat, karena hanya merupakan variasi dari beberapa topik sederhana.
Tidak seperti sutta-sutta dari dua Nikāya pertama, Dīgha dan Majjhima, sutta-sutta dari SN tidak memiliki nama baku yang disepakati oleh semua tradisi tekstual. Dalam naskah-naskah tua sutta-sutta ini saling bersambungan tanpa pemisah yang jelas, dan pemisahan antar sutta ditentukan oleh suatu penanda simbolis tertentu. Tiap-tiap vagga diakhiri dengan sebuah syair pengingat singkat yang disebut uddāna, yang merangkum isi vagga dengan kata-kata kunci yang mewakili sutta-sutta. Dalam edisi cetak SN kata-kata kunci ini digunakan sebagai judul dari sutta dan diletakkan di bagian atasnya. Berhubung uddāna sering kali berbeda antara tradisi tekstual Sinhala dan Burma, dengan edisi PTS yang kadang-kadang mengikuti satu tradisi dan kadang-kadang mengikuti tradisi yang lain, maka nama sutta juga berbeda antara satu edisi dengan edisi lainnya. Terlebih lagi, edisi Burma yang paling mutakhir, yang dipersiapkan pada Sidang Buddhis ke Enam, kadang-kadang menuliskan judul-judul sutta yang lebih lengkap dan lebih bermakna daripada judul yang diturunkan dari syair-syair pengingat. Dalam terjemahan ini umumnya saya mengikuti edisi Burma.
Judul-judul vagga juga kadang-kadang berbeda antara satu tradisi dengan tradisi lainnya. Sementara edisi tekstual Burma sering kali memberi nama hanya dengan posisi urutan numeriknya – misalnya, sebagai “Sub-bab pertama” (paṭhamo vaggo), dan sebagainya. – edisi Buddha Jayanti Sinhala memberikan nama yang sebenarnya. Karena judul-judul vagga berbeda seperti ini, maka saya pertama-tama menuliskan nama numerik yang berasal dari edisi tekstual Burma, diikuti dalam kurung dengan nama deskriptifnya yang diambil dari edisi tekstual Sinhala. Judul-judul vagga tidak mengandung suatu makna yang penting dan tidak berarti bahwa semua sutta dalam vagga tersebut harus berhubungan dengan tema yang terkandung dalam judul tersebut. Sering kali judul-judul ini dituliskan hanya dengan berdasarkan pada satu sutta dalam vagga tersebut, biasanya yang pertama, kadang-kadang berdasarkan pada sutta terpanjang atau terpadat dalam vagga tersebut. Pengelompokan sutta-sutta menjadi vagga juga terlihat tidak beraturan, walaupun kadang-kadang beberapa sutta berturut-turut membahas topik yang sama atau menggambarkan suatu pola yang diperluas.
Dalam komentarnya atas Kanon Pāli, Ācariya Buddhaghosa menyebutkan bahwa SN terdiri dari 7.762 sutta, tetapi naskah yang kita miliki terdiri dari, dengan berdasarkan pada sistem perhitungan di sini, hanya 2.904 sutta.3 Karena perbedaan minor dalam metode pembedaan sutta, angka ini sedikit berbeda dengan total 2,889 yang dihitung oleh Leon Feer yang berdasarkan pada edisi teks-roman.
Tabel 1: Pembagian Saṃyutta Nikāya berdasarkan pada Vagga dan Sutta (Sutta-sutta oleh Feer yang dihitung dalam Ee yang berbeda dengan versi saya terletak di kolom paling kanan.)
Bagian | Saṃyutta | Vagga | Sutta | Feer |
---|---|---|---|---|
Bagian I | 1 | 8 | 81 | |
Sagāthāvagga | 2 | 3 | 30 | |
3 | 3 | 25 | ||
4 | 3 | 25 | ||
5 | 1 | 10 | ||
6 | 2 | 15 | ||
7 | 2 | 22 | ||
8 | 1 | 12 | ||
9 | 1 | 14 | ||
10 | 1 | 12 | ||
11 | 3 | 25 | ||
Total | 28 | 271 | ||
Bagian II | 12 | 9 | 93 | |
Nidānavagga | 13 | 1 | 11 | |
14 | 4 | 39 | ||
15 | 2 | 20 | ||
16 | 1 | 13 | ||
17 | 4 | 43 | ||
18 | 2 | 22 | ||
19 | 2 | 21 | ||
20 | 1 | 12 | ||
21 | 1 | 12 | ||
Total | 27 | 286 | ||
Bagian III | 22 | 15 | 159 | 158 |
Khandhavagga | 23 | 4 | 46 | |
24 | 4 | 96 | 114 | |
25 | 1 | 10 | ||
26 | 1 | 10 | ||
27 | 1 | 10 | ||
28 | 1 | 10 | ||
29 | 1 | 50 | ||
30 | 1 | 46 | ||
31 | 1 | 112 | ||
32 | 1 | 57 | ||
33 | 1 | 55 | ||
34 | 1 | 55 | ||
Total | 33 | 716 | 733 | |
Bagian IV | 35 | 19 | 248 | 207 |
Saḷāyatanavagga | 36 | 3 | 31 | 29 |
37 | 3 | 34 | ||
38 | 1 | 16 | ||
39 | 1 | 16 | ||
40 | 1 | 11 | ||
41 | 1 | 10 | ||
42 | 1 | 13 | ||
43 | 2 | 44 | ||
Total | 33 | 434 | 391 | |
Bagian V | 46 | 18 | 184 | 187 |
Mahāvagga | 47 | 10 | 104 | 103 |
48 | 17 | 178 | 185 | |
49 | 5 | 54 | ||
50 | 10 | 108 | 110 | |
51 | 8 | 86 | ||
52 | 2 | 24 | ||
53 | 5 | 54 | ||
54 | 2 | 20 | ||
55 | 7 | 74 | ||
56 | 11 | 131 | ||
Total | 111 | 1.197 | 1.208 | |
Grand Total | 232 | 2.904 | 2.889 |
Tabel 1 menunjukkan darimana angka-angka ini berasal, dengan pengelompokan ke dalam Vagga-vagga, Saṃyutta, dan vagga; angka berbeda yang dihitung oleh Feer diletakkan bersebelahan dengan versi saya. Fakta bahwa angka total kami berbeda dengan yang dihitung oleh Buddhaghosa seharusnya tidak mengakibatkan dugaan bahwa 63% dari Saṃyutta asli telah hilang sejak masa komentar. Karena Sāratthappakāsinī, komentar SN, memberikan pembanding atas isi dari koleksi kita seperti yang diharapkan, dan dari ini terbukti bahwa tidak ada sutta yang dikomentari oleh Buddhaghosa yang hilang dari Saṃyutta yang kita miliki saat ini. Perbedaan pada angka total pasti disebabkan oleh perbedaan cara pengembangan vagga-vagga yang diperlakukan secara berulang dalam teks, khususnya dalam Bagian V. Akan tetapi, bahkan jika formula ringkas diperluas sepenuhnya, masih tetap sulit untuk mengetahui bagaimana komentator dapat sampai pada angka yang demikian besar.
Lima Vagga atau “buku” dari Saṃyutta Nikāya dibangun menurut prinsip yang berbeda. Buku pertama, Sagāthāvagga, adalah unik karena disusun dengan berdasarkan pada gaya sastra. Seperti yang ditunjukkan oleh nama Vagga ini, sutta-sutta dalam koleksi ini berisikan gāthā atau syair-syair, walaupun bukan berarti (seperti anggapan Feer pada tahap awal) bahwa semua sutta dalam SN yang berisikan syair-syair dimasukkan dalam Vagga ini. Dalam banyak sutta pada Bagian I, bagian prosa dikurangi hingga menjadi sekadar kerangka bagi syair-syair, dan dalam saṃyutta pertama prosa ini bahkan tidak ada sehingga sutta menjadi sekadar percakapan dalam syair-syair, yang diduga diucapkan oleh Sang Buddha dan lawan bicara-Nya. Empat Vagga lainnya berisikan saṃyutta-saṃyutta utama yang membahas tentang topik ajaran utama dari Buddhisme awal, disertai dengan saṃyutta-saṃyutta minor yang membahas berbagai topik. Bagian II, III, dan IV masing-masing dibuka dengan sebuah bab panjang yang khusus membahas topik yang paling penting: berturut-turut, rantai sebab-akibat (yaitu, kemunculan bergantungan, pada SN 12), kelima kelompok unsur kehidupan (22), dan enam landasan indria internal dan eksternal (35). Masing-masing Vagga ini diberi nama sesuai dengan saṃyutta pertama dan juga memasukkan satu saṃyutta lain yang membahas topik penting sekunder: pada Bagian II, unsur-unsur (14); pada bagian III, pandangan-pandangan filosofis (24); dan pada bagian IV, perasaan (36). Saṃyutta-saṃyutta lain dalam masing-masing koleksi ini umumnya lebih singkat dan memiliki tema yang lebih ringan, walaupun di dalamnya kita juga dapat menemukan teks-teks yang sangat mendalam dan berkekuatan besar. Bagian V membahas topik-topik yang sangat penting, yaitu, berbagai faktor latihan yang, pada masa pasca-kanonikal, disebut dengan tiga-puluh-tujuh bantuan menuju pencerahan (sattatiṃsa bodhipakkhiyā dhammā). Vagga ini ditutup dengan sebuah saṃyutta tentang intuisi asli yang padanya keseluruhan Dhamma berputar, yaitu Empat Kebenaran Mulia. Oleh karena itu buku ini disebut Mahāvagga, Buku besar, walaupun pada satu titik buku ini juga disebut Maggavagga, Buku tentang Jalan (dan sesungguhnya versi Sanskrit yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Cina dinamai demikian).
Organisasi SN, dari Bagian II hingga V, terlihat bersesuaian secara kasar dengan pola Empat Kebenaran Mulia. Nidānavagga, yang menitik-beratkan pada kemunculan bergantungan, menampilkan penyebab awal penderitaan, dan dengan demikian merupakan sebuah penjelasan dari kebenaran mulia ke dua. Khandhavagga dan Saḷāyatanavagga menggaris-bawahi kebenaran mulia pertama, kebenaran penderitaan; karena dalam makna terdalam kebenaran ini mencakup seluruh elemen kehidupan yang terbentuk oleh kelima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria internal dan eksternal (baca 56:13, 14). Asaṅkhatasaṃyutta (43), yang muncul menjelang akhir dari Saḷāyatanavagga, membahas mengenai yang tidak terkondisi, sebuah istilah bagi kebenaran mulia ke tiga, Nibbāna, lenyapnya penderitaan. Terakhir, Mahāvagga, membahas tentang jalan praktik, memperkenalkan jalan menuju lenyapnya penderitaan, yang menjelaskan kebenaran mulia ke empat. Jika kita mengikuti terjemahan Bahasa Mandarin dari Skt Saṃyuktāgama, keselarasan ini terlihat lebih jelas, karena pada versi ini Khandhavagga ditempatkan pada posisi pertama dan Saḷāyatanavagga pada urutan ke dua, diikuti dengan Nidānavagga, dengan demikian menyelaraskan kebenaran mulia pertama dan ke dua pada urutan yang semestinya. Tetapi versi ini menempatkan Asaṅkhatasaṃyutta di akhir Mahāvagga, mungkin untuk menunjukkan pencapaian yang tidak terkondisi sebagai buah pemenuhan praktik.
Saya mengatakan di atas bahwa apa yang menjadikan sutta-sutta dalam koleksi ini sebagai “khotbah-khotbah yang berkaitan” adalah topik-topik yang menggabungkannya menjadi saṃyutta-saṃyutta yang teratur. Ini, yang dapat kita anggap sebagai “gandar” atau prinsip pengikat, merupakan fondasi dari koleksi ini, yang akan tetap mempertahankan identitasnya bahkan jika saṃyutta-saṃyutta disusun dengan cara yang berbeda. Terdapat lima puluh enam topik, yang saya bedakan dalam empat kategori utama: topik ajaran, orang-orang tertentu, kelompok makhluk-makhluk, dan jenis-jenis individu. Dari dua saṃyutta yang tidak dengan tepat masuk ke dalam penggolongan ini, Vanasaṃyutta (9) disusun menurut skenario tetap, umumnya dalam bentuk seorang bhikkhu yang dinasihati oleh dewa hutan untuk berusaha lebih tekun demi mencapai tujuan; Opammasaṃyutta (20) ditandai dengan penggunaan perumpamaan yang ekstensif untuk menyampaikan pesannya.
Pada Tabel 2 (A) saya memperlihatkan bagaimana saṃyutta-saṃyutta yang berbeda dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, dengan memberikan jumlah total sutta dalam masing-masing kelompok dan persentase dari keseluruhan. Hasil tabulasi ini adalah benar dengan catatan bahwa angka itu adalah berdasarkan pada kalkulasi atas keseluruhan Saṃyutta Nikāya. Tetapi Sagāthāvagga sangat berbeda dalam hal karakter dibandingkan dengan Vagga-vagga lainnya sehingga sebelas saṃyutta di dalamnya membelokkan hasil akhirnya, dan dengan demikian untuk sampai pada gambaran yang lebih memuaskan atas karya ini kita harus menghilangkan Vagga ini. Pada Tabel 2 (B) saya memberikan hasil yang mana Sagāthāvagga tidak termasuk. Akan tetapi, bahkan angka ini, dapat menyampaikan gambaran yang menyesatkan, karena pengelompokan dilakukan hanya dengan berdasarkan pada judulnya saja, dan ini memberikan petunjuk yang sangat tidak memadai atas isi dari saṃyutta yang sesungguhnya. Rāhulasaṃyutta dan Rādhasaṃyutta, misalnya, dikelompokkan dalam “Orang Tertentu,” namun kedua saṃyutta itu nyaris secara eksklusif membahas ketiga karakteristik dan kelima kelompok unsur kehidupan, dan sama sekali tidak menjelaskan informasi pribadi sehubungan dengan individu-individu ini; dengan demikian isinya lebih kepada ajaran daripada biografi. Terlebih lagi, dari Sembilan bab yang dinamai sesuai dengan orang tertentu, Sembilan di antaranya hampir seluruhnya berisi ajaran. Hanya saṃyutta 16 dan 41, mengenai Mahākassapa dan Perumah tangga Citta, termasuk materi yang dapat dianggap sebagai biografi. Karena bab-bab mengenai topik-topik ajaran utama selalu lebih panjang daripada bab-bab lainnya, maka jumlah halaman yang membahas ajaran menjadi jauh lebih banyak daripada yang membahas topik lain.
Komentar-komentar Pāli, dan bahkan Kanon Cullavagga, menjelaskan kisah Sidang Buddhis Pertama yang menyampaikan kesan bahwa para bhikkhu yang berpartisipasi menyusun Sutta Piṭaka dalam bentuk yang sama dengan yang kita miliki saat ini, bahkan sehubungan dengan urutan teks yang tepat. Ini adalah sangat tidak mungkin, dan juga adalah tidak mungkin Sidang menyusun suatu revisi akhir yang tepat dari Nikāya-Nikāya. Bukti atas kontradiksi ini sangat banyak. Bukti ini termasuk adanya sutta-sutta yang terdapat dalam Kanon yang muncul setelah Sidang Pertama (misalnya, MN No. 84, 108, 124); tanda-tanda penyuntingan pada sutta secara internal; dan faktor-faktor yang memberatkan, perbedaan dalam isi dan pengorganisasian antara Nikāya Pāli dan Āgama India Utara yang dilestarikan dalam Tripitaka Bahasa Mandarin. Besar kemungkinan bahwa apa yang terjadi pada Sidang Pertama adalah konsep skema komprehensif untuk mengelompokkan sutta-sutta (yang dilestarikan hanya dalam ingatan para bhikkhu) dan pembentukan komite editorial (mungkin beberapa) untuk meninjau materi yang tersedia dan menuangkannya ke dalam format yang memudahkan penghafalan dan panyampaian lisan. Mungkin juga komite editorial ini, dalam menyusun suatu naskah yang sah, telah mempertimbangkan dengan saksama tujuan dari koleksi-koleksi mereka yang dimaksudkan untuk membantu dan kemudian membingkainya dengan petunjuk-petunjuk untuk pengelompokan dalam cara-cara yang dirancang untuk memenuhi tujuan ini. Ini adalah satu hal yang akan kembali saya bahas di bawah. Distribusi teks di antara kelompok-kelompok pembaca (bhāṇaka), yang ditugaskan untuk melestarikan dan dan menyampaikannya kepada generasi mendatang, menjelaskan perbedaan antara berbagai edisi yang berbeda serta keberadaan sutta-sutta yang sama dalam Nikāya yang berbeda.4
Perbandingan SN Pāli dengan Saṃyuktāgama Mandarin secara khusus memberikan pelajaran dan mengungkapkan kesesuaian isi yang nyata yang disusun dalam urutan berbeda. Di atas saya telah menyinggung beberapa perbedaan dalam susunan, tetapi adalah mencerahkan untuk memeriksa hal ini secara lebih terperinci.5” Versi Mandarin terdiri dari Sembilan Vagga utama (mengikuti Anesaki, saya menggunakan kata Pāli demi konsistensi). Yang pertama adalah Khandhavagga (pada kita ke-III), ke dua adalah Saḷāyatanavagga (kita IV), ke tiga adalah Nidānavagga (kita II), yang juga berisikan Saccasaṃyutta (56) dan Vedanāsaṃyutta (36), terpisah dari SN pada alokasi-alokasi ini. Kemudian menyusul bagian ke empat yang berjudul Sāvakavagga, tanpa padanan dalam versi Pāli namun termasuk dalam Sāriputta- (28), Moggallāna- (40), Lakkhaṇa- (19), Anuruddha- (52), dan Cittasaṃyutta (41). Bagian ke lima, yang judul Pālinya adalah Maggavagga, bersesuaian dengan Mahāvagga dalam SN (kita V), tetapi saṃyutta-saṃyutta di dalamnya disusun dalam urutan yang membentuk tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan: Satipaṭṭhāna (47), Indriya (48), Bala (50), Bojjhaṅga (46), dan Magga (45); bagian ini juga memasukkan Ānāpānasati- (54) dan Sotāpattisaṃyutta (55), sementara serangkaian bab-bab pendek di akhir memasukkan Jhānasaṃyutta (53) dan Asaṅkhatasaṃyutta (43). Vagga ke enam dari Saṃyuktāgama tidak memiliki padanan dalam Pāli tetapi mengandung Opammasaṃyutta (20) dan koleksi sutta-sutta tentang orang sakit yang menggabungkan beberapa teks yang tersebar dalam berbagai bab SN. Kemudian, sebagai buku ke tujuh, adalah Sagāthāvagga (kita I), dengan dua belas saṃyutta – seluruh sebelas dari versi Pāli tetapi dengan urutan berbeda dan dengan penambahan Bhikkhusaṃyutta (21), yang mana dalam versi ini hanya terdiri dari sutta-sutta bersyair. Terakhir adalah Buddha- atau Tathāgatavagga, yang termasuk Kassapa- (16) dan Gāmanisaṃyutta (42), dan Assasaṃyutta, “Khotbah berhubungan sehubungan dengan Kuda.” Bab terakhir ini termasuk sutta-sutta yang dalam Kanon Pāli terdapat dalam Aṅguttara Nikāya.
Tabel 2: Analisa Tematis atas Saṃyutta Nikāya
Topik | Saṃyutta | Total | Persentase |
---|---|---|---|
A. Termasuk Sagāthāvagga | |||
Topik Doktrik | 12 13 14 15 17 22 24 25 26 27 34 35 36 43 44 45 46 47 48 49 50 51 53 54 55 56 | 26 | 46% |
Orang Tertentu | 3 4 8 11 16 18 19 23 28 33 38 39 40 41 52 | 15 | 27% |
Kelompok Makhluk-Makhluk | 1 2 6 10 29 30 31 32 | 8 | 14% |
Jenis Individu | 5 7 21 37 42 | 5 | 9% |
Lain-lain | 9 20 | 2 | 4% |
B. Tidak Termasuk Sagāthāvagga | |||
Topik Doktrik | 12 13 14 15 17 22 24 25 26 27 34 35 36 43 44 45 46 47 48 49 50 51 53 54 55 56 | 26 | 46% |
Orang Tertentu | 16 18 19 23 28 33 38 39 40 41 52 | 11 | 24% |
Kelompok Makhluk-Makhluk | 29 30 31 32 | 4 | 9% |
Jenis Individu | 21 37 42 | 3 | 7% |
Lain-lain | 20 | 1 | 2% |
Opini umum secara terpelajar, yang dikembangkan oleh teks itu sendiri, menganut bahwa landasan prinsip untuk membedakan keempat Nikāya adalah panjang sutta-sutta tersebut. Dengan demikian sutta-sutta terpanjang dikumpulkan ke dalam Dīgha Nikāya, sutta-sutta dengan panjang menengah ke dalam Majjhima Nikāya, dan sutta-sutta yang lebih singkat terbagi dalam Saṃyutta dan Aṅguttara Nikāya, Saṃyutta Nikāya mengelompokkan sutta-sutta secara tematis, sedangkan Aṅguttara Nikāya berdasarkan pada jumlah hal yang membingkai penjelasan itu. Akan tetapi, dalam suatu pelajaran penting, seorang terpelajar dalam Pāli bernama Joy Manné telah menantang asumsi bahwa hanya panjangnya saja yang menjelaskan perbedaan antar Nikāya.6 Dengan saksama membandingkan sutta-sutta DN dan MN, Manné menyimpulkan bahwa kedua koleksi dimaksudkan untuk memenuhi dua tujuan berbeda dalam pengajaran Buddha. Dalam pandangannya, DN khususnya dimaksudkan untuk tujuan propaganda, untuk menarik minat pada agama baru, dan dengan demikian ditujukan terutama bagi non-Buddhis yang ingin mempelajari Buddhisme; MN, sebaliknya, ditujukan pada komunitas Buddhis dan bertujuan untuk memuji Sang Guru (baik sebagai seorang manusia maupun sebagai seorang teladan) dan untuk mengintegrasikan para bhikkhu ke dalam komunitas dan praktik. Manné juga mengusulkan bahwa “masing-masing dari empat Nikāya pertama berturut-turut berguna untuk melayani kebutuhan dan tujuan yang berbeda dalam pertumbuhan dan pengembangan komunitas Buddhis” (p.73). Di sini kita secara singkat akan menyebutkan pertanyaan tujuan apakah yang terdapat di balik penyusunan SN dan AN, yang membedakan dengan kedua Nikāya lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini pertama-tama kita harus memperhatikan bahwa sutta-sutta dari kedua Nikāya ini hanya memberikan latar-belakang situasi yang minim untuk menyampaikan khotbah-khotbah Sang Buddha. Dengan sedikit pengecualian, bahwa pada kenyataannya, kisah latar-belakang yang sama sekali tidak ada dan nidāna atau “situasi-kondisi” hanya menyebutkan bahwa sutta itu diucapkan oleh Sang Bhagavā di suatu tempat. Dengan demikian, sementara DN dan MN dipenuhi dengan drama, debat, dan narasi, di sini kerangka dekoratif tersebut tidak ada. Dalam SN keseluruhan situasi-kondisi disederhanakan menjadi satu kalimat, biasanya disingkat menjadi “Di Sāvatthī, di Hutan Jeta,” dan pada buku ke empat bahkan ini juga dihilangkan. Terlepas dari Sagāthāvagga, yang memiliki kelompoknya sendiri, keempat buku lainnya dari SN hanya memiliki sedikit ornamen. Sutta-sutta itu sendiri biasanya disampaikan sebagai pernyataan langsung atas doktrin oleh Sang Buddha sendiri; kadang-kadang dalam bentuk konsultasi dengan Sang Guru oleh seorang atau sekelompok bhikkhu; kadang-kadang dibingkai sebagai suatu diskusi antara dua bhikkhu utama. Banyak sutta terdiri dari sedikit lebih banyak dari beberapa kalimat singkat, dan bukanlah tidak lazim hanya menguraikan permutasi dari sebuah topik tunggal. Ketika kita sampai pada Bagian V keseluruhan rangkaian sutta disederhanakan menjadi hanya satu kata dalam syair hafalan, menyerahkan tugas mengembangkan dan mengisi kekosongannya pada penghafal (atau pembaca modern). Ini menunjukkan bahwa sutta-sutta dalam SN (juga dalam AN) bukanlah, sebagai aturan umum, ditujukan kepada pihak luar atau bahkan kepada mereka yang baru beralih keyakinan, melainkan ditujukan terutama kepada mereka yang telah berlindung pada Dhamma dan secara mendalam menekuni pelajaran dan praktiknya.
Berdasarkan pada penyusunan tematisnya, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam cirinya yang paling khas sebagai sebuah koleksi (walaupun jelas bukan secara umum), SN disusun untuk berfungsi sebagai gudang bagi banyak sutta pendek namun padat yang mengungkapkan pandangan terang radikal Sang Buddha ke dalam sifat kenyataan dan jalan-Nya yang unik bagi pembebasan spiritual. Koleksi ini dapat memenuhi kebutuhan dua jenis siswa dalam kumpulan monastik. Satu adalah spesialis doktrin, para bhikkhu dan bhikkhunī yang mampu menangkap dimensi kebijaksanaan terdalam dan mengemban tugas untuk menjelaskan perspektif dalam akan kenyataan yang terdapat dalam Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Karena SN dalam saṃyutta-saṃyutta pentingnya menyampaikan banyak sutta bernuansa mendalam, halus, dan sulit dipahami mengenai topik-topik berat seperti kemunculan bergantungan, kelima kelompok unsur kehidupan, keenam landasan indria, faktor-faktor sang jalan, dan Empat Kebenaran Mulia, maka sangatlah sesuai bagi para siswa terpelajar yang cenderung gembira dalam menjelajahi implikasi mendalam dari Dhamma dan dalam menjelaskannya kepada teman-teman spiritualnya. Jenis siswa ke dua yang kepada mereka SN ini ditujukan adalah para bhikkhu dan bhikkhunī yang telah memenuhi tahap persiapan dalam latihan meditasi dan berkeinginan untuk menyempurnakan usaha mereka dengan penembusan langsung pada kebenaran tertinggi. Karena sutta-sutta dalam koleksi ini adalah sangat sesuai bagi para meditator yang condong pada pencapaian “Pengetahuan atas segala sesuatu sebagaimana adanya” yang tidak menipu, maka mereka dapat membentuk bagian utama dari rencana pelajaran yang disusun sebagai penuntun bagi para meditator pandangan terang.
Dengan pergeseran dari SN ke AN, suatu penekanan terjadi dari pemahaman pada kemajuan pribadi. Karena sutta-sutta yang lebih pendek yang menyampaikan teori filosofis dan struktur latihan yang utama telah menemukan jalannya menuju SN, apa yang tersisa untuk dimasukkan ke dalam AN adalah sutta-sutta pendek dengan tujuan utama kepraktisan. Pada batas tertentu, dalam orientasi praktisnya, AN sebagian bertumpang tindih dengan Mahāvagga SN, yang membahas berbagai kelompok faktor sang jalan. Untuk menghindari duplikasi para redaktur Kanon tidak memasukkan topik-topik ini dalam AN pada kategori numerisnya, sehingga AN secara bebas menekankan pada aspek-aspek latihan yang tidak terdapat dalam kelompok-kelompok pengulangan. AN juga memasukkan proporsi sutta penting yang ditujukan kepada siswa awam, yang membahas keduniawian, etika, dan aspek spiritual dari kehidupan dalam dunia ini. Ini secara khusus cocok sebagai teks demi kemajuan umat awam.
Dengan cara mengkarakteristikkan kedua Nikāya dengan cara ini, kita dapat melihat SN dan AN sebagai memberikan perspektif tambahan atas Dhamma, keduanya melekat dalam ajaran asli. SN membukakan bagi kita perspektif mendalam yang dicapai melalui pandangan terang perenungan, di mana konsensus akrab dunia orang-orang dan segala sesuatu membuka jalan menuju bidang fenomena terkondisi impersonal yang muncul dan lenyap menurut hukum-hukum kondisional. Ini adalah perspektif atas kenyataan yang, dalam tahap berikutnya evolusi pemikiran Buddhis, akan memuncak pada Abhidhamma. Sesungguhnya, hubungan antara SN dan Abhidhamma adalah sangat erat, dan kita bahkan dapat berspekulasi bahwa perspektif tanpa-inti begitu menonjol dalam SN sehingga secara langsung memunculkan jenis pertanyaan yang mengkristal dalam filosofi Abhidhamma. Hubungan erat antara kedua ini secara khusus terbukti dari buku ke dua Abhidhamma Piṭaka Pāli, Vibhaṅga, yang terdiri dari delapan belas naskah yang membahas analisa atas topik doktrin tertentu. Dari kedelapan belas ini, dua belas pertama memiliki padanannya dalam SN.7. Karena sebagian besar naskah ini memasukkan suatu “Analisa Suttanta” (suttabhānajiya) serta “Analisa Abhidhamma” yang lebih teknis (abhidhammabhājaniya), dapat dianggap bahwa Analisa Suttanta dari Vibhaṅga adalah benih primordial dari Abhidhamma dan bahwa di antara ahli SN muncul gagasan untuk menyusun sistem penjelasan yang lebih teknis yang akhirnya disebut Abhidhamma.
Aṅguttara Nikāya berfungsi untuk menyeimbangkan sudut pandang filosofi abstrak yang begitu menonjol dalam SN dengan menerima dunia konvensional kenyataan menurut konsensus. Dalam AN, manusia adalah sebuah aturan yang tidak disederhanakan menjadi hanya sekadar sekumpulan kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, dan landasan-landasan indria, namun diperlakukan sebagai pusat sesungguhnya dari pengalaman hidup yang terlibat dalam pencarian sepenuh hati akan kebebasan dari penderitaan. Sutta-sutta dalam koleksi ini umumnya menyebutkan kebutuhan ini, banyak membahas latihan praktis para bhikkhu dan sejumlah besar membahas keseharian umat awam. Pengaturan secara numeris memudahkan dalam menggunakannya dalam instruksi formal, dan dengan demikian dapat dengan mudah ditarik oleh para bhikkhu senior ketika mengajari murid-muridnya dan oleh para penceramah ketika mempersiapkan khotbah kepada komunitas awam. AN dipenuhi dengan materi yang berguna demi kedua tujuan, dan bahkan sampai saat ini dalam tradisi Theravada, AN terus melanjutkan fungsi ganda ini.
Usaha sebelumnya untuk mengkarakteristikkan masing-masing Nikāya dalam hal tujuan sebagai pengendali jangan dipahami sebagai untuk menyiratkan bahwa isinya secara internal adalah serupa. Sebaliknya, di tengah-tengah pengulangan dan duplikasi yang tumpang tindih, masing-masing memperlihatkan keragaman yang besar, agak menyerupai organisme dari genus yang sama yang memperlihatkan perbedaan kecil yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka. Lebih jauh lagi, tetap merupakan pertanyaan yang tidak terjawab, khususnya dalam kasus SN dan AN, apakah cetak-birunya digambarkan dengan strategi pendidikan yang disengaja atau apakah, sebaliknya, metode penyusunan muncul terlebih dulu dan penerapan taktisnya menyusul sebagai suatu keharusan dari fondasinya.
Sebagian disebabkan oleh penyusunan sutta-sutta yang tidak standar, teks-teks yang dapat diterjemahkan yang disebut kutipan, dan sebagian karena hal-hal umum yang menjadi perhatian di seluruh Sutta Piṭaka, maka banyak hal-hal yang bertumpang-tindih terdapat di antara isi dari keempat Nikāya. Dalam kasus SN, kesamaan tidak hanya terjadi pada ketiga Nikāya lainnya tetapi juga pada Vinaya Piṭaka. Demikianlah kita menemukan tiga sutta SN yang penting juga tercatat dalam Mahāvagga Vinaya, disajikan sebagai ketiga khotbah pertama yang dibabarkan oleh Sang Buddha pada awal pengajarannya: Dhammacakkappavattana, Anattalakkhaṇa, dan Ādittapariyāya (56:11, 22:59, 35:28).8 Dalam Vinaya juga, terdapat kesamaan dengan sutta-sutta SN mengenai pertemuan Sang Buddha dengan Māra (4:4, 5), keengganan Beliau dalam mengajarkan Dhamma (6:1), pertemuan pertama Beliau dengan Anāthapiṇḍika (10:8), perpecahan oleh Devadatta (17:35), dan tentang makhluk-makhluk menderita yang terlihat oleh Mahāmoggallāna (19:1-21). Walaupun mungkin saja bahwa baik Vinaya maupun SN mendapatkan materi ini melalui jalur penyampaian yang terpisah, melihat bahwa porsi narasi dari Vinaya Piṭaka sepertinya berasal dari masa setelah Nikāya-nikāya, maka kita memperkirakan bahwa para redaktur Vinaya secara bebas mengutip dari teks-teks yang dilestarikan oleh para penghafal Saṃyutta ketika menyusun kerangka aturan-aturan disiplin.
SN memasukkan sebagai sutta yang berdiri sendiri materi sutta-sutta yang, dalam DN, terkandung dalam sutta-sutta yang lebih panjang. Contoh yang paling nyata adalah potongan Mahāparinibbāna Sutta (misalnya, pada 6:15; 47:9; 47:12; 51:10), tetapi kita juga menemukan beberapa cuplikan yang juga terdapat dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (47:1, 2; 45:8) dan versi pendek (cūḷa) dari Mahānidāna Sutta (12:60). Yang terakhir juga terdapat dalam padanannya yang lebih panjang (DN No.15) hanya pada paragraf pembuka tetapi setelahnya menyebar ke arah yang sama sekali berbeda. Sekali lagi, segala solusi atas pertanyaan peminjaman ini hanyalah bersifat dugaan.
Penyusun Kanon sepertinya telah menetapkan aturan keras yang mengatur alokasi teks-teks antara SN dan AN, yang dimaksudkan untuk menghindari pengulangan-pengulangan yang banyak ketika suatu topik ajaran adalah juga suatu kelompok numeris. Akan tetapi, dalam batasan yang ditetapkan oleh kondisi, sejumlah teks yang bertumpang-tindih telah ditemukan terdapat pada kedua Nikāya. Keduanya mengandung sutta-sutta tentang pencarian Rohitassa akan akhir dunia (2:26), tentang auman singa (22:78), tentang sepuluh kualitas pemasuk-arus (12:41 = 55:28), tentang kematian Kokālika (6:9-10), tentang lima rintangan (46:55, tetapi dalam AN tidak terdapat bagian faktor-faktor penerangan sempurna), serta beberapa blok teks yang panjang yang dalam SN tidak merupakan sutta-sutta terpisah.
Akan tetapi, adalah antara SN dan MN batasan itu paling dapat ditembus, karena SN mengandung lima sutta utuh yang juga terdapat dalam MN (22:82; 35:87, 88, 121; 36:19), serta blok-blok teks yang umum. Kita tidak dapat mengetahui apakah alokasi ganda dari sutta-sutta ini dilakukan dengan persetujuan para redaktur yang bertanggung-jawab atas keseluruhan Sutta Piṭaka atau muncul karena penghafal-penghafal terpisah yang bertanggung-jawab atas kedua Nikāya yang masing-masing berpikir bahwa sutta-sutta ini lebih cocok dimasukkan ke dalam koleksinya masing-masing. Tetapi melihat fakta bahwa dalam SN beberapa sutta muncul dalam dua saṃyutta, bahkan dalam Nikāya yang sama, maka alternatif pertama adalah tidak masuk akal. Sutta-sutta dari SN juga terdapat dalam karya-karya yang lebih pendek dari Khuddka Nikāya – Suttanipāta, Udāna, dan Itivuttaka – sementara kemiripan antar syair ada banyak sekali, seperti terlihat dalam Index 1 (B).
Dari ke empat Nikāya, sepertinya SN adalah yang paling tunduk pada “hiasan kesusastraan.” Meskipun adalah mungkin bahwa beberapa variasi berasal dari Sang Buddha sendiri, akan tetapi juga masuk akal bahwa banyak penjelasan yang lebih rinci diperkenalkan oleh para redaktur kanon. Saya ingin mengalihkan perhatian pada dua ciri nyata dari koleksi ini yang mengandung testimoni atas hipotesa ini. Kita dapat secara bebas menyebutnya “model paralel” dan “variasi oleh auditor.” Teks-teks yang memperlihatkan ciri-ciri ini terdaftar dalam Index 3 dan 4 berturut-turut. Di sini saya akan menjelaskan prinsip yang mendasari alat editorial dan menyebutkan beberapa contoh nyata dari masing-masingnya.
Model paralel adalah sutta-sutta yang dibangun sesuai dengan pola formal yang sama namun berbeda dalam isi di mana model itu diterapkan. Model adalah pola formal atau cetakan; sutta model adalah teks yang disusun dengan menerapkan cetakan ini pada topik tertentu, “materi mentah” yang akan dicetak ke dalam sutta. Model paralel muncul lintas-saṃyutta dan menunjukkan bagaimana formula yang sama dapat digunakan untuk menyusun pernyataan yang identik tentang kategori-kategori fenomena yang berbeda, misalnya, tentang unsur-unsur, kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan landasan-landasan indria (dhātu, khandha, āyatana), atau tentang faktor-faktor sang jalan, faktor-faktor pencerahan, dan indria-indria spiritual (maggaṅga, bojjhaṅga, indriya). Kemunculan berulang dari model-model paralel di sepanjang SN memberikan suatu pandangan penting pada kita ke dalam struktur ajaran Buddha. Menunjukkan bahwa ajaran terdiri dari dua komponen yang saling bersilangan: komponen formal yang diungkapkan oleh model itu sendiri, dan komponen material yang diberikan oleh entitas yang disusun oleh model-model. Penerapan model-model pada komponen material mengajarkan kepada kita bagaimana memperlakukan komponen material tersebut. Dengan demikian kita diajak untuk melihat, dari sutta-sutta model ini, bahwa faktor-faktor penyusun kehidupan harus dipahami dengan kebijaksanaan; bahwa kekotoran-kekotoran harus ditinggalkan; dan bahwa faktor-faktor sang jalan harus dikembangkan.
Model-model ini pada gilirannya kadang-kadang disebutkan pada tahap yang lebih tinggi sebagai apa yang kita sebut paradigma, yaitu, perspektif tertentu yang memberikan tinjauan panoramis atas ajaran secara keseluruhan. Paradigma membentuk model-model, dan model-model membentuk sutta-sutta. Demikianlah semua yang dibutuhkan untuk menyusun sutta-sutta berbeda adalah memasukkan berbagai jenis material pada model yang sama yang dihasilkan oleh paradigma tunggal.
SN penuh dengan contoh-contoh ini. Suatu paradigma yang umum dalam koleksi ini, yang berpusat pada Dhamma, adalah ketiga karakteristik kehidupan: ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa-diri (anattā). Paradigma ini mengatur keseluruhan rangkaian sutta baik dalam SN 22 maupun SN 35, saṃyutta-saṃyutta penting dari Bagian III dan IV. Karena di atas segalanya, kelima kelompok unsur kehidupan dan keenam pasang landasan indria harus dilihat dengan pandangan terang untuk mencapai buah kebebasan. “Paradigma tiga karakteristik” membentuk empat model umum: ketidakkekalan, dan seterusnya, dalam tiga waktu; perenungan sederhana atas ketidakkekalan, dan seterusnya; ketidakkekalan, dan seterusnya, melalui sebab dan kondisi; dan, yang paling penting dalam rancangan pencapaian Buddha, model “apa yang tidak-kekal adalah penderitaan”, yang membentuk hubungan antara ketiga karakteristik.
Paradigma utama lainnya adalah triad kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri (assāda, ādinava, nissaraṇa), yang membentuk tiga model. Dalam AN I 258-60, kita melihat model-model ini digunakan untuk menyusun ketiga sutta yang mana isi materinya adalah dunia secara keseluruhan (loka). SN, jelas menarik cara-cara pemahaman tertentu untuk memahami dunia, terdiri dari dua belas sutta yang diolah dari model-model ini – masing-masing tiga dalam saṃyutta-saṃyutta tentang unsur-unsur dan kelompok-kelompok unsur kehidupan (14:31-33; 22:26-28), dan enam dalam saṃyutta tentang landasan-landasan indria (35:13-18; enam karena landasan indria internal dan eksternal diperlakukan secara terpisah). Paradigma ini pada gilirannya berhubungan dengan yang lainnya, tentang kualitas-kualitas petapa dan brāhmaṇa, dan bersama-sama membentuk tiga model berulang tentang bagaimana para petapa dan brāhmaṇa sejati memahami segala sesuatu: melalui triad kepuasan; melalui pentad asal-mula (triad kepuasan ditambah asal-mula dan lenyapnya segala sesuatu); dan melalui tetrad kebenaran-mulia (berdasarkan pada Empat Kebenaran Mulia: penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya). Model-model ini juga diterapkan beberapa kali pada faktor-faktor kemunculan bergantungan, tetapi anehnya tidak terdapat dalam Saḷāyatanasaṃyutta.
Penyebab utama penderitaan, menurut Sang Buddha, adalah keinginan (taṇhā), juga dikenal sebagai kegemaran dan nafsu (chanda-rāga). Dalam SN tugas melenyapkan keinginan bertindak sebagai suatu paradigma yang membentuk suatu pola lainnya, yang dihasilkan dengan memisahkan dan kemudian menggabungkan kembali sebutan-sebutan kata majemuk: melenyapkan keinginan, melenyapkan nafsu, melenyapkan keinginan dan nafsu. Masing-masing dihubungkan secara terpisah dengan apa yang tidak kekal, apa yang merupakan penderitaan, dan apa yang bukan diri (bersilangan dengan paradigma ketiga karakteristik), dengan demikian menghasilkan sembilan model. Ini kemudian diperluas lagi pada kelompok-kelompok unsur kehidupan dan pada landasan-landasan indria internal dan eksternal, menghasilkan berturut-turut sembilan dan delapan belas sutta (22:137-45; 35:168-85).
Beberapa model muncul dari percakapan yang di dalamnya para bhikkhu membicarakan kehidupan sehari-harinya, seperti satu sutta yang berdasarkan pada pertanyaan mengapa kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā (35:81, 152; 38:4; 45:5, 41-48). Bagian V, tentang kelompok-kelompok yang berhubungan dengan sang jalan, menggunakan model baru, walaupun tanpa suatu paradigma yang dominan. Banyak model muncul dalam rangkaian pengulangan, yang dijelaskan dengan lengkap hanya dalam Maggasaṃyutta dan selanjutnya disingkat dalam syair-syair hafalan. Tetapi model-model yang lebih substantif membentuk sutta-sutta dalam tubuh saṃyutta-saṃyutta ini, yang akan dibahas lebih jauh dalam pendahuluan Bagian V. Jikakitasecarasaksamamemeriksaindeksdarimodel-modelparalel, kita akan melihat bahwa model-model tertentu tidak digunakan untuk membentuk sutta-sutta yang seharusnya dapat dilakukan dengan sempurna. Dengan demikian, seperti disebutkan di atas, kita tidak menemukan model “petapa dan brāhmaṇa” diterapkan pada enam landasan indria, atau model “mulia dan membebaskan” diterapkan pada lima indria spiritual, atau model “tujuh buah dan manfaat” diterapkan pada empat landasan perhatian. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang mengherankan apakah penghilangan ini dilakukan secara sengaja, atau karena penerapaan ini dianggap tidak penting, atau karena sutta-sutta ini terlewat dalam proses penyampaian lisan. Untuk sampai pada dugaan meyakinkan sehubungan dengan pertanyaan ini kita harus membandingkan versi Pāli dari SN ini dengan terjemahan Mandarin dari Saṃyuktāgama, yang tidak diragukan merupakan suatu pekerjaan besar yang memerlukan keterampilan gabungan yang jarang ditemui.
Teknik editorial yang menonjol kedua dari SN adalah apa yang saya sebut “variasi oleh auditor.” Ini merujuk pada sutta-sutta yang identik (atau nyaris identik) dalam isi namun berbeda dalam hal orang kepada siapa sutta itu disampaikan, atau dalam hal pelaku utama yang terlibat (dalam sutta yang melibatkan suatu “cerita”), atau dalam hal situasi di mana sutta itu disampaikan. Contoh yang paling nyata adalah sutta tentang bagaimana seorang bhikkhu berhasil atau gagal mencapai Nibbāṅa, yang muncul tujuh kali (dalam 35:118, 119, 124, 125, 126, 128, 131), dalam kata-kata yang persis sama, tetapi disampaikan kepada pendengar yang berbeda, termasuk raja-deva Sakka dan gandhabba Pañcasikha. Karena Sang Buddha pasti telah mengulangi banyak sutta kepada para penanya yang berbeda, muncul pertanyaan mengapa yang satu ini terpilih untuk mendapatkan perlakuan khusus demikian. Apakah karena ini merupakan jalan pulang bagi para bhikkhu, apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan kehidupan suci? Atau apakah ada motivasi yang lebih duniawi dibalik pengulangan ini, seperti keinginan untuk mendamaikan keluarga-keluarga dari para penyokong awam yang penting?
Dalam kategori ini terdapat beberapa contoh di mana sebuah sutta yang dibabarkan oleh Sang Buddha pertama kali dalam menjawab pertanyaan dari Ānanda, ke dua kalinya di sampaikan kepada Ānanda atas inisiatif-Nya sendiri, ke tiga kalinya sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh sekelompok bhikkhu, dan ke empat kalinya disampaikan kepada sekelompok bhikkhu atas inisiatif-Nya sendiri (misalnya, 36:15-18; 54:13-16). Sekali lagi, Rādhasaṃyutta memasukkan dua vagga yang masing-masing terdiri dari dua belas sutta yang identik dalam segala hal kecuali bahwa pada yang pertama (23:23-24) Rādha memohon ajaran sedangkan pada yang ke dua (23:35-46) Sang Buddha membabarkan atas inisiatif-Nya sendiri.
Hiasan kesusastraan ke tiga, tidak terlalu mirip identik dengan variasi oleh auditor, adalah pemasukan rangkaian sutta yang berkisar pada permutasi atas gagasan sederhana dengan menggunakan kalimat sederhana. Demikianlah Diṭṭhisaṃyutta (24) terdiri dari empat “perjalanan” (gamana) tentang pandangan-pandangan spekulatif yang berbeda hanya dalam kerangka yang mana di dalamnya penjelasan pandangan dibungkus (dengan sedikit pengecualian pada perjalanan pertama, yang demi alasan yang tidak jelas tidak mengandung rangkaian pandangan yang terdapat dalam ketiga lainnya). Dalam Vacchagottasaṃyutta (33), pengembara dengan nama itu mendatangi Sang Buddha lima kali dan mengajukan pertanyaan yang sama, tentang alasan mengapa sepuluh pandangan spekulatif muncul di dunia, dan setiap kalinya jawaban yang diberikan adalah karena tidak mengetahui satu dari kelima kelompok unsur kehidupan; masing-masing pertanyaan dan jawaban membentuk satu sutta terpisah. Tidak puas dengan hal ini, para penyusun kanon sepertinya merasa berkewajiban untuk menjelaskan bahwa masing-masing jawaban dapat diformulasikan dengan menggunakan sinonim berbeda yaitu tidak adanya pengetahuan. Demikianlah saṃyutta ini dibangun dari sepuluh variasi pentad pertama, yang identik dalam segala hal kecuali pada penggantian sinonim. Jhānasaṃyutta (34) memperlihatkan hiasan kesusastraan lainnya, “roda” (cakka) permutasi, yang mana serangkaian kata dipasangkan dalam kombinasi pasangan, dengan seluruh kemungkinannya.
Di sini saya akan membahas beberapa masalah teknis yang berhubungan dengan penerjemahan, khususnya dengan penekanan pada mengapa terjemahan saya di sini kadang-kadang berbeda dengan yang digunakan dalam MLDB. Demi akurasi, saya biasanya merujuk SN berdasarkan buku, halaman, dan nomor baris Ee (Ee1 sehubungan dengan Bagian I), dan menggunakan nomor saṃyutta dan sutta hanya ketika berhubungan dengan keseluruhan sutta.9
Para pembaca sutta-sutta Pāli sering kali merasa jengkel, dan kadang-kadang cemas, oleh pengulangan teks yang membosankan. Dalam SN hal ini terlihat lebih menonjol dibandingkan Nikāya lainnya, bahkan dalam keseluruhan vagga sutta-sutta dapat berbeda satu sama lain hanya sehubungan dengan satu kata atau kalimat. Di samping jenis pola pengulangan ini, kita juga menemukan banyak penggunaan definisi umum, formula stereotip, dan khas Nikāya yang singkat secara keseluruhan, berasal dari masa ketika sutta-sutta itu disampaikan secara lisan. Adalah sulit untuk mengetahui seberapa banyak pengulangan itu yang berasal dari Sang Buddha sendiri, yang sebagai guru yang banyak bepergian sering mengulangi keseluruhan khotbah hanya dengan sedikit variasi, dan seberapa banyak yang dilakukan oleh para redaktur yang bersemangat yang ingin menyampaikan setiap perubahan yang dimungkinkan oleh sebuah gagasan dan melestarikannya demi generasi mendatang.
Untuk menghindari pengulangan dalam terjemahan saya menggunakan banyak penghilangan. Dalam hal ini saya mengikuti edisi cetak dari Pāli text, yang juga sangat ringkas, tetapi sebuah terjemahan yang ditujukan kepada para pembaca masa kini memerlukan kompresi lebih jauh lagi agar tidak menimbulkan kemarahan pembaca. Di lain pihak, saya melihat tidak ada hal penting dalam teks asli, termasuk rasanya, yang hilang karena penyingkatan ini. Kenyamanan pembaca dan ketaatan pada teks kadang-kadang menjadi tuntutan yang berlawanan bagi seorang penerjemah.
Perlakuan pola pengulangan yang mana ucapan yang sama disebutkan sehubungan dengan sekelompok hal adalah masalah abadi dalam menerjemahkan sutta-sutta Pāli. Ketika menerjemahkan sebuah sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan, misalnya, seseorang tergoda untuk tidak menyebutkan masing-masing kelompok unsur dan sebaliknya mengubah sutta menjadi sebuah pernyataan umum tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai satu kelompok. Bagi saya, metode demikian berbelok dari penerjemahan yang benar kepada penafsiran dan dengan demikian beresiko terlalu banyak yang hilang dari teks aslinya. Kebijakan umum saya adalah menerjemahkan ucapan lengkap sehubungan dengan hal pertama dan terakhir dari kelompok itu, dan hanya menyebutkan hal-hal di antaranya dengan titik-titik penghilangan. Demikianlah, dalam sebuah sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan, saya menerjemahkan pernyataan secara lengkap hanya pada bentuk dan kesadaran, dan di antaranya terdapat “perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak …,” menyiratkan bahwa pernyataan lengkap dengan cara yang sama juga berlaku di sana. Pada kelompok yang lebih panjang saya sering menghilangkan hal-hal di tengah, hanya menerjemahkan pernyataan pertama dan terakhir.
Pendekatan ini membutuhkan banyak penggunaan titik-titik penghilangan, suatu praktik yang juga mengundang kritik. Beberapa pembaca berpikir bahwa saya sebaiknya memperbaiki penampilan estetis atas halaman (khususnya pada Bagian IV) dengan menata ulang kalimat-kalimat berulang sedemikian sehingga dapat meniadakan titik-titik penghilangan. Saya menerima saran ini sehubungan dengan pengulangan dalam kerangka narasi, tetapi dalam teks dari pembabaran ajaran secara langsung saya tetap pada praktik asli saya. Alasannya adalah bahwa saya menganggap hal tersebut merupakan tanggung jawab penerjemah, ketika menerjemahkan kalimat-kalimat dari ajaran yang penting, untuk menunjukkan dengan tepat di mana teks tersebut dihilangkan, dan karena titik-titik penghilangan masih merupakan alat terbaik saat ini.
Daripada memulai pencarian sebuah terjemahan Bahasa Inggris yang dapat menangkap seluruh makna dari kata Pāli yang bermakna ganda, saya memutuskan menggunakan pendekatan yang lebih pargmatis yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan penerapan yang berbeda-beda ini.10 Ketika kata yang menunjukkan ajaran Sang Buddha, saya mempertahankan kata Pāli “Dhamma,” karena bahkan “ajaran” tidak berhasil menyampaikan gagasan bahwa apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sebagai Dhamma bukanlah suatu sistem pemikiran yang berasal dari diri-Nya sendiri melainkan prinsip dasar kebenaran, moralitas, dan kebebasan yang ditemukan dan diajarkan oleh semua Buddha sepanjang waktu yang tidak terhingga. Ini adalah Dhamma yang dijunjung oleh para Buddha di masa lampau, di masa sekarang, dan di masa depan, yang Mereka anggap sebagai standar dan penuntun Mereka (baca 6:2). Dari sudut pandang internal “pelaku sejarah”, Dhamma adalah lebih dari sekadar ajaran religius yang telah muncul pada suatu masa dari sejarah umat manusia. Dhamma adalah hukum tanpa-kenal-waktu yang mana kenyataan, kebenaran, dan kebajikan bergabung dalam satu kesatuan, dan juga ungkapan konseptual dari hukum ini dalam tubuh ajaran spiritual dan etika yang menuntun menuju tujuan tertinggi, Nibbāna, yang tersusun dari Dhamma. Akan tetapi, kata “Dhamma”, juga dapat menyiratkan ajaran yang menyimpang dari kebenaran, termasuk doktrin-doktrin keliru dari guru-guru “luar”. Demikianlah Guru Jain, Nigaṇṭha Nātaputta dikatakan “mengajarkan Dhamma kepada para murid-muridnya” (IV 317,25) – tentu saja bukan ajaran Buddha.
Dalam satu kalimat saya menerjemahkan Dhamma sebagai “kebajikan” (pada padanan Se dari IV 303,21). Ini adalah dalam hal gelar dhammarājā yang digunakan untuk seorang raja dunia, di mana “raja kebajikan” lebih tepat daripada “raja Dhamma,” yang menjadi gelar relatif bagi Sang Buddha. Kata sifat yang bersesuaian, dhammika, adalah “bajik.”
Ketika dhamma muncul sebagai referensi umum, sering kali dalam bentuk jamak, saya biasanya menerjemahkan sebagai “segala sesuatu.” Karenanya, kata itu tidak mewakili makna sempit atas objek materi nyata melainkan termasuk secara literal segala-sesuatu, seperti kualitas-kualitas, praktik-praktik, tindakan-tindakan, dan hubungan-hubungan. Dengan demikian empat faktor memasuki-arus adalah, sebagai dhamma, segala sesuatu; demikian pula dua belas faktor kemunculan bergantungan, lima kelompok unsur kehidupan, enam pasang landasan indria, dan berbagai praktik yang menuntun menuju pencerahan. Jika digunakan dalam bentuk jamak, dhammā juga dapat berarti ajaran-ajaran, dan demikianlah saya menerjemahkannya dalam III 225, 9 foll., walaupun makna tepatnya di sana bermakna ganda dan kata itu lebih berarti hal-hal yang diajarkan daripada ajaran-ajaran atas hal-hal itu. Satu pernyataan muncul dalam dua sutta (II 58,3-4; IV 328,21-22), iminā dhammena, dapat lebih memuaskan jika diterjemahkan “dengan prinsip ini,” walaupun di sini dhamma menunjuk pada Dhamma sebagai ajaran penting. Sekali lagi, pada I 167,9 (= I 168,25, 173,10), kita menemukan dhamme sati, “jika prinsip ini ada,” suatu aturan berperilaku yang diikuti oleh Sang Buddha.
Jika kata dhammā dalam bentuk jamak memerlukan nuansa yang lebih teknis, dalam konteks dengan penekanan pada kenyataan, saya menerjemahkannya sebagai “fenomena.” Misalnya, paṭicca-samuppannā dhammā adalah “fenomena yang muncul saling bergantungan” (II 26,7), dan masing-masing dari kelima kelompok unsur kehidupan adalah loke lokadhamma, “suatu fenomena-duniawi di dunia” yang ditembus dan diajarkan oleh Sang Buddha (III 139, 22 foll.) jika kata itu mengambil warna yang lebih psikologis, saya menerjemahkannya sebagai “kondisi-kondisi.” Contoh yang paling umum dari makna ini adalah pasangan kusalā dhammā, kondisi-kondisi bermanfaat, dan akusalā dhammā, kondisi-kondisi tidak bermanfaat (terdapat, misalnya, dalam formula usahabenar;V9,17-27).Faktorpencerahandhanmmavicaya-sambojjhaṅga dikatakan sebagai terpelihara dengan memberikan perhatian saksama pada pasangan kondisi-kondisi batin yang berlawanan (di antaranya kondisi-kondisi yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat; V 66,18), dan dengan demikian saya menerjemahkannya sebagai “faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi.” Tetapi karena penyelidikan dhamma juga dapat menjadi empat pendukung objektif pada perhatian (V 331-32), maka dhammavicaya seharusnya diterjemahkan sebagai “pembedaan fenomena.” Kadang-kadang dhammā menyiratkan sifat karakter yang lebih menetap daripada kondisi-kondisi batin yang bersifat sementara; dalam konteks ini saya menerjemahkannya sebagai “kualitas-kualitas,” misalnya, Mahākassapa mengeluhkan bahwa para bhikkhu “memiliki kualitas-kualitas yang membuatnya sulit untuk menasihati mereka” (II 204,3-4).
Sebagai landasan dan unsur indria, dhammāyatana dan dhammadhātu adalah pendamping manāyatana, landasan pikiran, dan landasan pikiran, dan manoviññāṇadhātu, unsur kesadaran-pikiran. Makna yang tepat di sini sepertinya adalah gagasan-gagasan dan gambaran-gambaran pikiran, tetapi komentar memahami dhamma dalam konteks ini termasuk bukan hanya objek-objek kesadaran tetapi pendamping-pendampingnya juga. Karena itu saya menerjemahkannya sebagai “fenomena pikiran,” yang cukup luas untuk mencakup kedua aspek pengalaman ini. Sebagai yang ke empat satipaṭṭhāna, landasan objektif perhatian, dhammā sering kali diterjemahkan sebagai “objek-objek pikiran.” Demikianlah saya menerjemahkannya dalam MLDB, tetapi setelah meninjaunya kembali sepertinya tidak memuaskan bagi saya. Tentu saja, segala sesuatu yang ada dapat merupakan objek pikiran, dan dengan semikian semua dhammā dalam satipaṭṭhāna ke empat adalah objek-objek pikiran; tetapi istilah objek-objek pikiran menekankan di tempat yang salah. Saya sekarang memahami dhamma sebagai fenomena secara umum, tetapi fenomena disusun menurut pengelompokan Dhamma, ajaran, sedemikian sehingga menuntun menuju pencapaian Dhamma penting yang tercakup dalam Empat Kebenaran Mulia.
Akhirnya, -dhamma sebagai akhiran berarti “tunduk pada” atau “bersifat.” Demikianlah seluruh fenomena yang muncul saling bergantungan adalah “tunduk pada kehancuran, kelenyapan, peluruhan, dan penghentian” (khayadhamma, vayadhamma, virāgadhamma, niroddhadhamma; II 26,9 foll.). kelima kelompok unsur kehidupan adalah “bersifat tidak kekal, bersifat menyakitkan, bersifat tanpa-diri” (aniccadhamma, dukkhadhamma, anattadhamma; III 195-96).
Dalam MLDB saya telah mengubah terjemahan coba-coba dari kata saṅkhārā oleh Yang Mulia Ñāṇamoli sebagai “kehendak” kembali pada pilihannya semula, “bentukan-bentukan.” Sadar bahwa kata ini memiliki kelemahannya sendiri, dalam mempersiapkan terjemahan ini saya telah bereksperimen dengan beberapa pilihan. Yang paling menarik dari pilihan-pilihan ini adalah “konstruksi,” tetapi akhirnya saya merasa bahwa kata ini juga sering kali mengarah pada ketidakjelasan. Karenanya, bagaikan burung gagak pencari daratan yang selalu kembali ke kapal jika tidak melihat daratan (baca Vism 657; Ppn 21:65), saya terpaksa kembali pada “bentukan-bentukan,” yang cukup netral untuk menangkap makna yang ditanamkan oleh konteksnya. Kadang-kadang saya menambahkan dengan kata “kehendak” untuk memperjelas maknanya.
Saṅkhārā diturunkan dari awalan saṃ, “bersama-sama,” dan kata kerja karoti, “membuat.” Kata benda ini mencakup kedua sisi dari pembagian aktif-pasif. Dengan demikian saṅkhāra adalah kedua hal yang bergabung bersama, membangun, dan menyusun hal-hal lainnya, dan hal-hal yang digabungkan bersama, dibangun, dan disusun.
Dalam SN kata ini muncul dalam lima konteks doktrin utama:
(1) Sebagai faktor ke dua dari formula kemunculan bergantungan, saṅkhāra adalah kehendak-kehendak aktif yang bertanggung jawab secara kamma, bersama-sama dengan kebodohan dan keinginan, untuk menghasilkan kelahiran kembali dan memelihara pergerakan saṃsāra yang maju dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya. Saṅkhārā bersinonim dengan kamma, yang mana terhubung secara etimologis, keduanya diturunkan dari karoti. Saṅkhāra-saṅkhāra ini dibedakan menjadi tiga oleh jalur pengungkapannya, sebagai jasmani, ucapan, dan pikiran (II 4,8-10, dan seterusnya.); juga terbagi oleh kualitas etisnya menjadi baik, buruk, dan netral (II 82,9-13). Untuk menyampaikan makna yang relevan dari saṅkhārā di sini saya menerjemahkan menjadi “bentukan-bentukan kehendak.” Kata ini juga dapat diterjemahkan sebagai “aktivitas-aktivitas,” yang memberikan hubungan eksplisit dengan kamma, tetapi terjemahan ini akan memotong hubungan dengan saṅkhārā dalam konteks lain selain dari kemunculan bergantungan, yang sepertinya seharusnya dipertahankan.
(2) Sebagai faktor ke empat dari kelima kelompok unsur kehidupan, saṅkhāra didefinisikan sebagai enam kelompok kehendak (cha cetanākāyā, III 60,25-28), yaitu, kehendak sehubungan dengan enam jenis objek indria. Karena itu sekali lagi saya menerjemahkannya sebagai bentukan-bentukan kehendak. Tetapi saṅkhārakkhandha memiliki cakupan yang lebih luas daripada saṅkhārā dari kemunculan bergantungan, yang terdiri dari semua jenis kehendak dan bukan hanya yang aktif secara kamma. Dalam Abhidhamma Piṭaka dan komentar, saṅkhārakkhandha lebih jauh lagi berfungsi sebagai kategori yang memayungi untuk pengelompokan semua faktor-faktor batin kesadaran selain dari perasaan dan persepsi. Dengan demikian termasuk segala faktor batin yang bermanfaat, tidak bermanfaat, dan yang berubah-ubah yang disebutkan tetapi tidak secara formal dikelompokkan dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan dalam Sutta Piṭaka.
(3) Dalam makna yang paling luas, saṅkhāra mencakup segala sesuatu yang terkondisi, segala sesuatu yang muncul dari kombinasi kondisi-kondisi. Dalam makna ini seluruh kelima kelompok unsur kehidupan, bukan hanya yang ke empat, adalah saṅkhāra (baca III 132,22-27), demikian pula dengan seluruh objek dan situasi eksternal (II 191,11-17). Kata ini di sini dianggap sebagai turunan pasif – menunjukkan bahwa apa yang terkondisi, terbangun, tersusun – Karena itu saya menerjemahkannya hanya sebagai “bentukan-bentukan,” tanpa kata keterangan tambahan. Gagasan saṅkhārā berfungsi sebagai batu pertama dari pandangan filosofis yang melihat keseluruhan alam semesta sebagai terdiri dari fenomena-fenomena terkondisi. Apa yang secara khusus ditekankan oleh saṅkhāra dalam makna ini adalah ketidakkekalannya. Mengenali ketidakkekalannya memunculkan pandangan terang atas sifat yang tidak dapat diandalkan dari segala kebahagiaan duniawi dan menginspirasi dorongan spiritual yang diarahkan pada kebebasan dari saṃsāra (baca 15:20; 22:96).
(4) Triad saṅkhāra disebutkan sehubungan dengan pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan: bentukan jasmani, bentukan ucapan, dan bentukan pikiran (IV 293,7-28). Yang pertama adalah nafas masuk-dan-keluar (karena nafas melekat pada jasmani); yang ke dua, awal pikiran dan kelangsungan pikiran (karena dengan melalui pikiran seseorang memformulasikan gagasan-gagasan yang diungkapkan melalui ucapan); yang ke tiga, persepsi dan perasaan (karena hal-hal ini melekat pada pikiran). Kedua kata ini – bentukan jasmani dan bentukan pikiran – juga termasuk dalam instruksi yang diperluas sehubungan dengan perhatian pada pernafasan (V 311,21-22; 312,4-5).
(5) Ungkapan padhānasaṅkhārā muncul dalam formula atas empat iddhipāda, landasan kekuatan spiritual. Teks menjelaskannya sebagai empat usaha benar (V 268,8-19). Saya menerjemahkannya sebagai “bentukan-bentukan kehendak usaha.” Walaupun, sesungguhnya, ungkapan itu menyiratkan kegigihan (viriya) dan bukan kehendak (cetanā), pemberi sifat itu menunjukkan bahwa bentukan-bentukan ini muncul dalam modus aktif dan bukan dalam modus pasif.
Terlepas dari konteks-konteks utama ini, kata saṅkhāra muncul dalam beberapa kata majemuk – āyusaṅkhāra (II 266,19; V 262,22-23), jivitasaṅkhāra (V 152,29 -153,2), bhavasaṅkhāra (V 263,2) – yang dapat dipahami sebagai aspek berbeda dari kekuatan kehidupan.
Bentuk pasif yang berhubungan dengan saṅkhāra adalah saṅkhata, yang saya terjemahkan sebagai “terkondisi.” Sayangnya saya tidak mampu menerjemahkan kedua kata Pāli tersebut ke dalam Bahasa Inggris sedemikian sehingga mampu mempertahankan hubungan penting antara keduanya: “terbentuk” terlalu spesifik untuk saṅkhata, dan “kondisi-kondisi” terlalu luas untuk saṅkhāra (dan juga melampaui batas wilayah paccaya), jika “bangunan” digunakan untuk saṅkhārā, maka saṅkhata seharusnya menjadi “terbangun,” yang mempertahankan hubungan, walaupun dengan resiko terjemahan yang kaku. Yang patut disesalkan, karena menggunakan kata Bahasa Inggris yang berbeda untuk pasangan itu, dimensi makna yang sangat penting dalam sutta-sutta menjadi tidak terlihat. Dalam Pāli kita dapat dengan jelas melihat hubungannya: saṅkhāra, kekuatan pembangunan yang aktif yang dipicu oleh kehendak, membuat dan membentuk kenyataan yang terkondisi, khususnya faktor-faktor terkondisi yang dikelompokkan dalam kelima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria internal; dan kenyataan terkondisi ini sendiri terdiri dari saṅkhāra dalam makna pasif, yang disebut dalam komentar sebagai saṅkhata-saṅkhārā.
Lebih jauh lagi, bukan hanya hubungan ini yang menjadi tidak terlihat, tetapi juga hubungan dengan Nibbāna. Karena Nibbāna adalah asaṅkhata, yang tidak terkondisi, yang disebut demikian karena tidak terbentuk oleh saṅkhāra juga bukan saṅkhāra itu sendiri baik dalam makna aktif maupun pasif. Oleh karena itu, ketika membaca teks Pāli, kita sampai pada gambaran yang jelas dalam fokus yang lebih halus: saṅkhāra aktif yang dihasilkan oleh kehendak secara terus-menerus menciptakan saṅkhāra pasif, saṅkhata dhamma atau fenomena terkondisi dari kelima kelompok unsur kehidupan (dan, secara tidak langsung, dari dunia objektif); dan kemudian, melalui praktik jalan Buddha, para praktisi sampai pada pengetahuan sejati atas fenomena terkondisi, yang menghentikan produksi saṅkhāra aktif, mengakhiri pembangunan kenyataan terkondisi dan membuka pintu menuju keabadian, asaṅkhata, yang tidak terkondisi, yang adalah Nibbāna, kebebasan tertinggi dari ketidakkekalan dan penderitaan.
Dalam MLDB, saya juga telah mengubah “nama-dan-bentuk” dari Yang Mulia Ñāṇamoli kembali ke terjemahan awalnya, “batin-jasmani.” Dalam beberapa hal, sebutan “batin-jasmani” adalah lebih akurat secara doktrin, tetapi juga kaku, khususnya ketika menerjemahkan syair, dan karena itu di sini saya kembali menggunakan “nama-dan-bentuk.” Kata majemuk ini berasal dari masa sebelum Buddhisme dan digunakan dalam Upanisad untuk menunjukkan pembedaan perwujudan brahman, kenyataan non-dualitas. Karena para bijaksana dari Upanisad, nāmarūpa adalah perwujudan brahman yang beraneka ragam, yang dipahami melalui makna sebagai kemunculan atau bentuk yang beragam, dan melalui pikiran sebagai nama atau konsep yang beragam (penyebutan nama-nama dan konsep-konsep dipahami sebagai didasarkan pada kenyataan objektif daripada sebagai produk akhir dari proses subyektif yang murni). Sang Buddha mengadopsi ungkapan ini dan menanamkannya dengan makna yang sesuai dengan sistem Beliau sendiri. Di sini kata ini menjadi sisi fisik dan kognitif dari eksistensi individu. Dalam ungkapan bahiddhā nāmarūpa, “nama-dan-bentuk eksternal” (pada II 24,2). Kita sepertinya menemukan sisa-sisa dari makna aslinya – dunia dibedakan menurut penampilan dan namanya – tetapi terlepas dari implikasi monistis.
Dalam sistem Sang Buddha, rūpa didefinisikan sebagai empat unsur utama dan bentuk diturunkan dari unsur-unsur tersebut. Bentuk adalah internal pada seseorang (sebagai jasmani dengan maknanya) dan eksternal (sebagai dunia fisik). Nikāya tidak menjelaskan bentuk turunan (upādāya rūpaṃ), tetapi Abhidhamma menganalisanya ke dalam dua puluh empat jenis fenomena material sekunder yang termasuk substansi sensitif dari organ indria dan empat dari lima objek indria (objek sentuhan diidentifikasikan dengan tiga unsur utama – tanah, api, dan angin – yang masing-masing memperlihatkan sifat-sifat nyata). Walaupun saya menerjemahkan nāma sebagai nama, ini jangan diartikan secara harafiah. Nāma adalah gabungan faktor-faktor batin yang terlibat dalam pengenalan: perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian (vedanā, saññā, cetanā, phassa, manasikāra; II 3,34-35). Ini disebut “nama” karena berkontribusi pada proses pengenalan yang olehnya objek-objek dikelompokkan dalam sebutan konseptualnya. Harus diperhatikan bahwa dalam Nikāya, nāmarūpa tidak termasuk kesadaran (viññāṇa). Kesadaran adalah kondisinya, dan keduanya adalah saling bergantung, bagaikan dua ikat buluh yang saling bersandar satu sama lain (II 114,17-19). Kesadaran hanya dapat beroperasi dengan bergantung pada tubuh fisik (rūpa) dan bersama-sama dengan sekumpulan pendampingnya (nāma); sebaliknya, hanya jika kesadaran ada maka gabungan unsur-unsur materi yang berfungsi sebagai jasmani yang hidup dan faktor-faktor batin bekerja sama dalam pengenalan. Kadang-kadang teks membicarakan tentang “turunan dari kesadaran” (viññāṇassa avakkanti) berfungsi sebagai kondisi bagi nama-dan-bentuk (II 91,14-15); ini berarti bahwa datangnya arus kesadaran dari kehidupan lampau pada kehidupan baru adalah kondisi yang diperlukan untuk munculnya organisme yang memiliki batin dan jasmani pada tahap konsepsi. (nāmarūpassa avakkanti, II 66,12, 90,19, 101,13); ini menunjukkan awal dari kehidupan makhluk hidup ketika arus kesadaran, yang datang dari kehidupan lampau, terbentuk dalam kondisi baru.
Seperti yang telah dikenal, nibbāna secara literal berarti padamnya api. Dalam karya-karya tentang Buddhisme yang terkenal, nibbāna secara sederhana digunakan untuk menyebutkan Nibbāna yang dialami dalam hidup, parinibbāna adalah Nibbāna yang dicapai pada saat kematian. Ini adalah kekeliruan. E.J Thomas menunjukkan (mungkin dengan berdasarkan pada saran dari E. Kuhn) bahwa awalan pari- mengubah kata kerja dari suatu kondisi menjadi pencapaian suatu perbuatan, sehingga kata benda yang bersesuaian nibbāna menjadi kondisi kebebasan, parinibbāṅa menjadi pencapaian kondisi tersebut.11 Perbedaan ini tidak benar-benar sesuai untuk kata kerja, seperti yang kita temukan baik dalam kata parinibbāyati maupun nibbāyati yang digunakan untuk menyebutkan perbuatan mencapai kebebasan, tetapi sepertinya cukup baik sehubungan dengan kata benda. (Akan tetapi, dalam syair, kita kadang-kadang menemukan nibbāna digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian, misalnya dalam kalinat pajjotass’ eva nibbānaṃ pada v.612c.) Kata-kata yang berhubungan dengan baik nibbāna maupun parinibbāna menunjukkan baik pencapaian kebebasan selama hidup melalui pengalaman penerangan sempurna, maupun pencapaian kebebasan akhir dari kehidupan yang terkondisi melalui hancurnya jasmani pada saat kematian. Dengan demikian, misalnya, kata kerja parinibbāyati secara umum digunakan untuk menggambarkan bagaimana seorang bhikkhu mencapai kebebasan selagi masih hidup (misalnya, pada II 82,20; III 54,3; IV 23,8-9, dan sebagainya) dan juga menunjukkan wafatnya Sang Buddha atau seorang Arahanta (misalnya, pada I 158,23; V 161,25).
Bentuk pasif, nibbuta dan parinibbuta, adalah dari akar kata yang lain daripada kata benda nibbāna dan parinibbāna. Nibbuta berasal dari nir+vr, sedangkan nibbuta berasal dari nir+vā. Kata benda yang sesuai dengan bentuk pasif adalah nibbuti, yang sering kali muncul dalam teks sebagai sinonim dari nibbāna tetapi dengan fungsi yang lebih memicu (ketenangan, kenyamanan, kedamaian) daripada sistematis. (Sepertinya tidak ada kata benda berawalan parinibbuti terdapat dalam Pāli.) Pada masa-masa awal kedua kata kerja ini bergabung, sehingga bentuk pasif parinibbuta menjadi kata keterangan standar yang digunakan untuk menunjukkan ia yang telah mencapai parinibbāna. Seperti halnya kata kerja, bentuk pasif digunakan untuk menerangkan baik Buddha hidup atau Arahanta (I 1,21, 187,8) dan yang telah wafat (I 122,13,158,24). Akan tetapi, mungkin parinibbuta digunakan sehubungan dengan Arahanta hanya dalam syair, sementara dalam prosa penggunaannya secara teknis terbatas pada seseorang yang telah meninggal dunia. Dalam penggunaan sutta, bahkan ketika kata benda parinibbāna berarti wafatnya seorang Arahanta (khususnya Sang Buddha), itu bukan berarti “Nibbāṅa setelah kematian.” Namun, lebih kepada peristiwa wafatnya seseorang yang telah mencapai Nibbāna selama kehidupannya.
Sutta-sutta membedakan antara dua elemen Nibbāna: elemen Nibbāna dengan sisa (sa-upādisesa-nibbānadhātu) dan elemen Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa-nibbānadhātu) – sisa (upādisesa) adalah susunan kelima kelompok unsur kehidupan yang terbentuk oleh keinginan dan kamma sebelumnya (It 38-39). Elemen yang pertama adalah padamnya nafsu, kebencian, dan kebodohan yang dicapai oleh Arahanta selagi masih hidup; elemen yang ke dua adalah padamnya segala keberadaan yang terkondisi tanpa sisa yang terjadi pada saat kematian Arahanta. Dalam komentar kedua elemen Nibbāna ini berturut-turut disebut kilesaparinibbāna, padamnya kekotoran saat pencapaian Kearahantaan, dan khandhaparinibbāna, padamnya rangkaian kelompok-kelompok unsur kehidupan pada saat kematian Arahanta. Walaupun komentar memperlakukan kedua elemen Nibbāna dan kedua jenis parinibbāna sebagai sinonim dan dapat saling dipertukarkan, namun dalam penggunaan sutta adalah lebih baik melihat kedua jenis parinibbāna sebagai peristiwa-peristiwa yang mengakses kedua elemen Nibbāna yang bersesuaian. Dengan demikian parinibbāna adalah tindakan memadamkan; nibbāna adalah kondisi padamnya.
Untuk menjelaskan kebahasaan dari suatu kata bukanlah menjawab pertanyaan sehubungan dengan interpretasinya. Apa yang seharusnya dilakukan pada berbagai penjelasan Nibbāna yang terdapat dalam Nikāya telah menjadi perdebatan sejak masa-masa awal Buddhisme, dengan landasan yang terbagi antara mereka yang menganggapnya sebagai hanya padamnya kekotoran dan lenyapnya kehidupan dan mereka yang memahaminya sebagai suatu fenomena kenyataan transenden (lokuttara). Dalam SN beberapa sutta menjelaskan Nibbāna sebagai hancurnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, yang menekankan dimensi psikologis empiris; di tempat lain ini disebut tidak terkondisi, yang sepertinya menekankan pada kenyataan transenden. Para komentator Theravāda menganggap Nibbāna sebagai suatu elemen tidak terkondisikan.12. Mereka berpendapat bahwa jika Nibbāna disebut hancurnya kekotoran (nafsu, kebencian, dan kebodohan, dan lain-lain) dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan, maka ini memerlukan interpretasi. Nibbāna sendiri, sebagai sesuatu, adalah tidak terlahirkan, tidak tercipta, tidak menjelma, tidak terkondisi (baca Ud 80-81). Adalah dengan bergantung pada elemen ini (tam āgamma), dengan sampai pada ini, maka terjadi kehancuran kekotoran dan kebebasan dari kehidupan yang terkondisi. Akan tetapi Nibbāna sendiri, tidak dapat disusutkan menjadi kedua peristiwa ini, yang dalam kenyataannya, peristiwa-peristiwa terkondisi terjadi pada waktunya. Atas interpretasi ini, kedua elemen Nibbāna dilihat sebagai tahap-tahap dalam pencapaian penuh atas Nibbāna yang tidak terkondisi, bukan sekadar sebagai kedua peristiwa berbeda ini.
Dalam buku ini saya tidak membiarkan nibbāna tanpa diterjemahkan, karena kata ini terlalu kaya dalam makna dan terlalu bertentangan dengan spesifikasi konseptual untuk dapat ditangkap dengan memuaskan oleh kata Bahasa Inggris apa pun yang diusulkan. Saya menerjemahkan parinibbāna sebagai “Nibbāna akhir,” Karena bentuk kata benda itu biasanya berarti wafatnya seorang Arahanta (atau Buddha), kebebasan akhir dari kehidupan yang terkondisi; akan tetapi, kadang-kadang, kata ini bermakna ganda, seperti dalam kalimat “Dhamma diajarkan oleh Sang Bhagavā demi mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan (anupādāparinibbānatthaṃ)” (IV 48,78), yang dapat berarti Nibbāna selagi masih hidup atau padamnya kehidupan sepenuhnya.
Kata kerja parinibbāyati mungkin dapat diartikan menjadi “me-nibbāna-kan” yang paling mendekati kata Pāli, tetapi kata ini sangat menyimpang dari konvensi sekarang. Karena itu, jika kata kerja ini merujuk pada wafatnya Sang Buddha atau seorang Arahanta, maka saya menerjemahkannya sebagai “mencapai Nibbāna akhir,” tetapi jika kata ini menunjukkan padamnya kekotoran oleh seseorang yang mencapai pencerahan, saya menerjemahkannya hanya sebagai “mencapai Nibbāna.” Kita juga menemukan sebuah kata ganti orang, parinibbāyī, yang saya terjemahkan “seorang pencapai Nibbāṅa,” karena dapat ditafsirkan dalam salah satu maknanya. Dalam prosa bentuk lampau parinibbuta, yang digunakan sebagai suatu istilah doktrin, selalu muncul dengan merujuk pada seorang Arahanta yang telah wafat dan karena itu diterjemahkan sebagai “telah mencapai Nibbāna akhir.” Dalam syair, kata ini dapat berarti salah satu dari dua makna ini; jika menggambarkan seorang Arahanta yang masih hidup (atau Sang Buddha) saya menerjemahkannya secara lebih bebas sebagai “padam sepenuhnya.” Bentuk tanpa awalan nibbuta tidak selalu mengandung implikasi teknis yang sama seperti halnya parinibbuta, tetapi dapat berarti sekadar “damai, puas, nyaman,” tanpa harus menggambarkan bahwa orang tersebut telah mencapai Nibbāna.13 Pada I 24,11 dan II 279,8 kata ini memiliki implikasi ini; pada I 236,21 kata ini hanya berarti damai; pada III 43, dalam kata majemuk tadaṅganibbuta, kata ini jelas tidak menyiratkan Nibbāna, karena intinya di sana adalah bahwa bhikkhu itu hanya telah mendekati pencapaian tujuan. Kata kerabat dari parinibbāna muncul dalam bahasa percakapan yang berhubungan dengan makna non-doktrin; misalnya, baik kata parinibbāyati dan parinibbuta digunakan untuk menggambarkan penjinakan kuda (pada MN I 446,8-10). Tetapi bahkan di sini kata-kata itu sepertinya digunakan dengan “banyak makna,” karena perumpamaan kuda diperkenalkan untuk memberikan perbandingan dengan seorang bhikkhu yang mencapai Kearahantaan.
Dalam MLDB saya menerjemahkan vitakka dan vicāra berturut-turut sebagai “awal pikiran” dan “kelangsungan pikiran.” Dalam terjemahan ini kedua kata itu menjadi “pikiran” dan “pemeriksaan”. Pemeriksaan jelas lebih mendekati makna sebenarnya dari vicāra. Akan tetapi, jika vitakka diterjemahkan sebagai “pikiran”, maka diperlukan peringatan. Dalam penggunaan umum, vitakka berhubungan erat dengan “pikiran” kita yang mana tidak ada terjemahan lain yang sepertinya lebih baik; misalnya, dalam kāmavitakka, pikiran nafsu, atau lawannya, nekkhammavitakka, pikiran melepaskan keduniawian. Akan tetapi, ketika vitakka dan vicāra muncul sebagai faktor dari jhāna pertama, maka kedua itu tidak melakukan fungsi karakteristik pikiran yang mengembara dari kesadaran biasa. Di sini, vitakka adalah faktor batin yang berfungsi mengarahkan pikiran pada objek, dan vicāra adalah faktor yang berfungsi memeriksa objek secara terus-menerus untuk mengikat pikiran pada objek.
Bhava, dalam MLDB, diterjemahkan sebagai “makhluk.” Dalam mencari alternatif, saya bereksperimen dengan “menjadi,” tetapi ketika kelemahan dari pilihan ini ditunjukkan pada saya maka saya memutuskan untuk kembali pada “penjelmaan,” yang digunakan pada terjemahan saya sebelumnya. Akan tetapi, bhava, bukanlah “penjelmaan” dalam makna pengelompokan fenomena yang paling umum, yang berhubungan dengan segala sesuatu dari piring di dapur hingga angka-angka dalam persamaan matematis. Penjelmaan dalam makna yang belakangan ini dicakup oleh kata kerja atthi dan kata benda abstrak atthitā. Bhava adalah penjelmaan makhluk nyata dalam satu dari ketiga alam kehidupan dalam kosmologi Buddhis, suatu kehidupan yang dimulai dari konsepsi hingga berakhir pada kematian. Dalam formula kemunculan bergantungan dipahami dalam makna (i) sisi kehidupan yang aktif yang menghasilkan kelahiran kembali menjadi kehidupan makhluk tertentu, dengan kata lain kamma yang menghasilkan kelahiran-kembali; dan (ii) modus penjelmaan makhluk yang dihasilkan dari aktivitas demikian.
Sakkaya adalah kata untuk menunjuk kelima kelompok unsur kehidupan secara kolektif (III 159,10-13). Kata ini diturunkan dari sat + kāya, dan secara literal berarti “jasmani yang ada,” gabungan fenomena hidup yang berfungsi sebagai landasan objektif bagi kemelekatan. Banyak penerjemah menerjemahkannya sebagai “kepribadian,” praktik yang saya ikuti dalam MLDB (berpisah dengan Yang Mulia Ñāṇamoli, yang menerjemahkannya, terlalu harafiah menurut pandangan saya, sebagai “perwujudan”). Tetapi karena, di bawah pengaruh psikologi modern, kata “kepribadian” menjadi memiliki konotasi yang cukup asing bagi apa yang dimaksudkan oleh sakkāya, maka sekarang saya menerjemahkannya sebagai “identitas” (yang disarankan oleh Yang Mulia Bhikkhu Thanissaro). Sakkāya-diṭṭhi dengan demikian berarti “pandangan identitas,” pandangan akan diri yang ada di balik atau di antara kelima kelompok unsur kehidupan.
Nibbidā, dalam MLDB, diterjemahkan sebagai “kekecewaan.” Akan tetapi, kata ini atau kata kerabatnya kadang-kadang digunakan dalam cara yang menyiratkan sesuatu yang lebih kuat dari apa yang dimaksudkan. Karenanya sekarang saya menerjemahkan kata benda itu sebagai “kejijikan” dan kata kerja yang bersesuaian nibbindati sebagai “mengalami kejijikan.” Apa yang dimaksudkan oleh kata ini bukanlah reaksi kejijikan emosional, yang disertai oleh ketakutan dan keengganan, melainkan suatu ketenangan dalam batin yang beralih dari segala eksistensi terkondisi seperti yang terdapat dalam kelima kelompok unsur kehidupan, enam landasan indria, dan kebenaran mulia pertama. Kejijikan muncul dari pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya (yathābhūtañāṇadassana), dan secara alami menuntun menuju kebosanan (virāga) dan kebebasan (vimutti; mengenai urutannya, baca 12:23).
Sagāthāvagga, disebut demikian karena seluruh sutta dalam buku ini terdiri dari syair-syair, paling sedikit satu, biasanya lebih. Vagga ini terbagi dalam sebelas saṃyutta yang terdiri dari 271 sutta. Kebanyakan saṃyuta ini terbagi lagi dalam beberapa vagga, biasanya masing-masing sepuluh sutta. Dalam empat saṃyutta (3, 4, 6, 11), vagga terakhir hanya terdiri dari lima sutta, setengah dari jumlah standar, dan oleh karena itu disebut “kelompok lima” (pañcaka). Empat saṃyutta tidak dibagi dalam vagga-vagga terpisah (5, 8, 9, 10), dan dengan demikian dapat dianggap terdiri dari satu vagga. Saya memberi nomor pada sutta secara berurutan dalam tiap-tiap saṃyutta dimulai dari nomor 1, dengan nomor dalam vagga ditulis dalam tandan kurung. Edisi PTS terakhir dari Sagāthāvagga (Ee2) menomori sutta-sutta secara berurutan untuk keseluruhan koleksi, dari 1 hingga 271.
Jumlah syair bervariasi pada tiap-tiap edisi, tergantung pada perbedaan tulisan dan cara pengelompokan pāda atau baris atau bait; pengaturan dua belas pāda dapat dikelompokkan ke dalam dua bait yang terdiri dari masing-masing enam baris atau tiga bait yang terdiri dari masing-masing empat baris. Ee2 adalah satu-satunya yang menomori syair, dan edisi ini memiliki 945 syair; dari semua ini saya tidak memasukkan tiga syair (vv. 70, 138, 815), dengan alasan yang dijelaskan dalam catatan (nn. 53, 96, 573). Banyak dari syair-syair ini muncul beberapa kali dalam Saṃyutta Nikāya, biasanya dalam Sagāthāvagga, kadang-kadang juga di tempat lain, seperti terlihat pada Index 1 (A). Syair-syair ini juga memiliki banyak paralel di berbagai tempat dalam Kanon Pāli. Sejumlah besar terdapat pada naskah-naskah seperti Thera- dan Therīgātha, Suttanipāta, Dhammapada, dan Jātaka, serta Nikāya-nikāya lainnya. Juga dikutip dalam Teks Parakanonikal seperti Milindapañha, Peṭakopadesa, dan Nettippakaraṇa. Sejumlah besar memiliki paralel dalam literatur Buddhis India non-Pāli, seperti Patna dan Gāndhāri Dharmapada, Udānavarga, Mahāvastu, dan bahkan yang paling baru Yogācārabhūmi. Semua paralel ‘eksternal’ ini dicantumkan pada index 1 (B). Tidak diragukan beberapa syair ini bukan berasal dari sutta-sutta dalam koleksi kami melainkan berasal dari syair Buddhis yang berisikan ajaran moral yang beredar luas yang oleh para penyusun naskah dicantumkan pada konteks tertentu dengan menyajikan narasi seperti yang terdapat pada Sagāthāvagga.
Dari sebelas Saṃyutta dalam Vagga ini, delapan di antaranya berkisar pada pertemuan Sang Buddha (atau para siswa-Nya) dengan makhluk-makhluk dari alam lain. Karena kita akan berulang-ulang menjumpai makhluk-makhluk dari alam non-manusia pada Vagga-vagga lainnya juga, ringkasan singkat mengenai makhluk-makhluk di alam semesta akan membantu kita dalam mengidentifikasi makhluk-makhluk tersebut dan memahami posisi mereka dalam Kosmologi Buddhis. (Baca Tabel 3, yang menyajikan ilustrasi visual atas kosmologi ini.)
Tabel 3: Tiga Puluh Satu Alam Kehidupan menurut Kosmologi Theravada Tradisional (Baca CMA 5:3-7)
Alam Tanpa Bentuk (4 alam)
(31) Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi (30) Landasan kekosongan (29) Landasan kesadaran tanpa batas (28) Landasan ruang tanpa batas
Alam Berbentuk (16 Alam)
Alam jhāna ke empat: Lima Alam Murni
(27) Alam Akaniṭṭha (26) Alam pandangan-jernih (25) Alam indah (24) Alam tenang (23) Alam tahan lama
Alam jhāna ke empat biasa
(22) Makhluk-makhluk tanpa persepsi (21) Para deva berbuah besar
Alam jhāna ke tiga
(20) Para deva beraura stabil (19) Para deva beraura tanpa batas (18) Para deva beraura minor
Alam jhāna ke dua
(17) Para deva dengan cahaya gemilang (16) Para deva dengan cahaya tanpa batas (15) Para deva dengan cahaya minor
Alam jhāna pertama
(14) Alam Mahābrahmā (13) Para menteri Brahmā (12) kelompok Brahma
Alam Indria (11 alam)
Tujuh alam yang baik
Enam alam indria surgawi
(11) Para deva paranimitavasavatti (10) Para deva Nimānaratī (9) Para deva Tusita (8) Para deva Yāma (7) Para deva Tāvatiṃsa (6) Empat Raja Deva
Alam manusia
(5) Alam manusia
Empat alam yang buruk
(4) Alam asura (3) Alam setan (2) Alam binatang (1) Alam neraka
Naskah-naskah Buddhis awal menggambarkan alam semesta dengan tiga lapisan utama yang terbagi lagi dalam berbagai alam. Lapisan paling bawah adalah alam bidang-indria (kāmadhātu), disebut demikian karena kekuatan penggerak di alam ini adalah keinginan indria. Alam indria (dalam kosmologi tertua) terdiri dari sepuluh bidang: neraka (niraya), alam siksaan dahsyat; alam binatang (tiracchānayoni); wilayah peta atau setan (pettivisaya), setan berbentuk bayangan yang mengalami berbagai jenis kesengsaraan; alam manusia (manussaloka); dan enam surga bidang-indria (sagga) yang dihuni oleh para deva, makhluk surgawi yang menikmati kebahagiaan, keindahan, kekuatan, dan keagungan yang lebih besar daripada yang kita ketahui di alam manusia. Tradisi yang belakangan menambahkan asuravisaya, wilayah para raksasa atau anti-dewa, sebagai kelahiran yang buruk, walaupun dalam Nikāya, mereka digambarkan menempati wilayah yang berbatasan dengan surga Tāvatiṃsa, dari mana mereka sering melancarkan serangan terhadap para deva.
Di atas alam bidang-indria adalah alam berbentuk (rūpadhātu), di mana bentuk materi kasar lenyap dan hanya tersisa bentuk materi yang lebih halus. Alam ini terbagi menjadi empat lapisan utama dengan beberapa bidang pada masing-masing lapisannya. Para penghuni alam ini juga adalah para deva, walaupun untuk membedakannya dengan para deva dari alam surga indria maka mereka biasanya disebut brahmā. Umur kehidupan pada berbagai alam brahmā meningkat secara eksponensial, jauh lebih lama daripada makhluk-makhluk di surga indria, dan keinginan indria telah banyak berkurang. Pengalaman yang umum di sini adalah yang bersifat meditatif daripada indriawi, karena alam ini adalah alam dari empat jhāna atau pencerapan meditatif. Termasuk di dalamnya “Alam-alam Murni” (suddhāvāsa), bidang kelahiran yang hanya dicapai oleh mereka yang-tidak-kembali.
Di atas alam berbentuk ini terdapat bidang kehidupan yang lebih agung lagi yang disebut alam tanpa bentuk (arūpadhātu). Makhluk-makhluk di alam ini hanya terdiri dari batin, tanpa landasan materi, karena bentuk fisik sama sekali tidak ada. Keempat bidang yang membentuk alam ini, berturut-turut dari yang lebih halus, adalah alam dari empat pencapaian meditatif āruppa atau tanpa bentuk, yang disebut: landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.
Sutta-sutta sering menyingkat penjelasan kosmologis ini menjadi suatu skema lima alam kelahiran yang lebih sederhana (pañcagati): Neraka, alam binatang, alam setan, alam manusia, dan alam deva. Yang terakhir termasuk banyak bidang alam deva di tiga alam. Tiga yang pertama disebut alam sengsara (apāya bhūmi), alam rendah (vinipāta), atau alam buruk (duggati); alam manusia dan alam para deva secara kolektif disebut alam baik (sugati). Kelahiran kembali di alam sengsara adalah buah dari kamma buruk, kelahiran kembali di alam yang baik adalah buah dari kamma baik. Di atas semua alam dan bidang kehidupan adalah yang tidak terkondisi, Nibbāna, tujuan akhir dari Ajaran Sang Buddha.
Devatā adalah kata benda abstrak dari deva, tetapi dalam Nikāya kata ini digunakan dalam arti yang bervariasi untuk menunjukkan khususnya makhluk-makhluk surgawi, seperti halnya kata “deity” dalam Bahasa Inggris, adalah kata benda abstrak yang berarti bersifat ketuhanan, biasanya digunakan untuk menunjukkan Dewa tertinggi dari ajaran Theistik atau dewa individu atau para dewa dalam keyakinan politheis. Walaupun kata ini bersifat perempuan, jenis kelamin berasal dari akhiran abstrak –ta dan tidak harus berarti perempuan. Naskah-naskah yang ada jarang menunjukkan jenis kelamin mereka, walaupun sepertinya dapat berarti jenis kelamin apa pun dan mungkin kadang-kadang tidak membedakan jenis kelamin.
Bagi Buddhisme para deva bukanlah tuhan abadi yang memainkan peranan sebagai pencipta dalam proses kosmis. Mereka hanyalah makhluk yang lebih tinggi, bahagia dan bercahaya, yang sebelumnya hidup di alam manusia dan terlahir kembali di alam surga karena buah perbuatan baik mereka. Dengan sedikit perbedaan, mereka sama terbelenggunya oleh kebodohan dan keinginan seperti halnya manusia, dan mereka sama memerlukan tuntunan dari Yang Tercerahkan. Sang Buddha adalah “guru para deva dan manusia” (satthā devamanussānaṃ), dan walaupun terlahir di alam manusia, namun Beliau menjulang melampaui para deva tertinggi dengan kebijaksanaan-Nya yang tertinggi dan kesucian-Nya yang sempurna.
Para deva biasanya mengunjungi Sang Buddha di keheningan tengah malam, ketika seisi dunia sedang terbaring tenggelam dalam lelap. Devatāsaṃyutta memberikan catatan percakapan mereka. Kadang-kadang para deva datang mengucapkan syair pujian pada Sang Guru, kadang-kadang mengajukan pertanyaan, kadang-kadang memohon bimbingan, kadang-kadang meminta persetujuan atas pandangan-pandangan mereka, kadang-kadang bahkan menantang atau mencela Beliau. Pada saat berkunjung mereka hampir selalu membungkuk memberi hormat, karena Sang Buddha secara moral dan spiritual lebih unggul daripada mereka. Tidak membungkuk pada Beliau, seperti yang dilakukan beberapa deva (baca 1:35), adalah provokatif, dan menunjukkan ketidakhormatan yang disengaja.
Masing-masing dari empat Nikāya dibuka dengan sebuah sutta penting. Walaupun sutta pertama dari SN adalah sangat singkat, namun kaya dalam implikasinya. Dalam sutta ini satu devatā mendatangi Sang Buddha menanyakan bagaimana Beliau “menyeberangi banjir,” yaitu, bagaimana Beliau mencapai pembebasan, dan dalam jawabannya Sang Buddha menunjukkan “jalan tengah” sebagai kunci bagi pencapaian-Nya. Jawaban ini menyampaikan makna inti dari Dhamma, yang menghindari segala ekstrim dalam pandangan-pandangan, sikap, dan perilaku. Komentar menarik percabangan dari penyataan Sang Buddha dengan daftar tujuh ekstrim, baik filosofis maupun praktis, yang terlampaui oleh jalan tengah.
Sutta-sutta selanjutnya dalam saṃyutta ini mencakup spektrum topik yang luas tanpa logika tertentu dalam urutannya. Sutta-sutta tersebut menjangkau dari yang sederhana hingga yang mendalam, dari yang bersifat humor hingga yang sangat serius. Percakapan ini membahas praktik-praktik etis seperti memberi, melayani orang lain, dan tidak melukai; kesulitan-kesulitan dalam pelepasan keduniawian dan kehidupan bermeditasi; upaya yang tekun; dukacita kehidupan manusia dan perlunya kebebasan. Terdapat juga sutta-sutta tentang kebahagiaan dan keseimbangan Sang Arahanta, dan beberapa yang menyentuh keagungan-Nya. Dalam banyak sutta bagian prosa berfungsi meletakkan kerangka percakapan, yang akhirnya menyisakan hanya syair percakapan dengan identitas pembicara dikenali. Tetapi kita juga kadang-kadang menemukan kisah singkat, seperti kisah devatā perempuan yang mencoba untuk menggoda Bhikkhu Samiddhi (1:20) atau “para deva pencari kesalahan” yang menuduh Sang Buddha sebagai munafik (1:35), atau kunjungan pada Sang Buddha oleh sekelompok deva ketika kaki Beliau terluka oleh pecahan batu. (1:38).
Biasanya identitas pribadi sang devatā tidak terungkap. Suatu pengecualian adalah sepasang sutta di mana Kokanadā bersaudari, puteri-puteri dewa cuaca Pajjuna, mengunjungi Sang Buddha dan memuji Beliau dan Dhamma-Nya (1:39-40). Kadang-kadang syair-syair yang diucapkan oleh dewa yang tidak dikenal muncul kembali di tempat lain dengan identitas yang disebutkan; misalnya, v.22 muncul kembali sebagai v.461, yang berasal dari Māra si Jahat; vv.156-59 muncul kembali sebagai vv.312-15, berasal dari Anāthapiṇḍika, kelahiran kembali di alam surga si dermawan besar. Juga jarang sutta-sutta menyebutkan para deva dari alam tertentu, tetapi terdapat pengecualian, seperti pada syair tentang “memuji kebaikan” sekelompok deva (satullapakāyikā devā; 1:31-34, dan seterusnya) dan tentang para deva di Alam Murni (suddhāvāsakāyikā devā’ 1:37). Komentar, tercantum dalam catatan, sering memberikan informasi latar belakang.
Ketika devatā tidak mengajukan pertanyaan melainkan menyuarakan pendapat, biasanya terbentuk perlawanan antara sudut pandang si dewa, yang umumnya benar menurutnya, dan sudut pandang Sang Buddha, yang melihat segala sesuatu melampaui pengetahuan para deva (baca, misalnya, vv.3-6). Kadang-kadang sekelompok deva mengungkapkan pendapat mereka, yang dilampaui oleh Sang Buddha dengan pendapat Beliau yang lebih mendalam (vv.78-84, 95-101). Dalam beberapa sutta syair-syair tidak diucapkan dalam konteks percakapan melainkan mengungkapkan pandangan pribadi dari si deva, yang disetujui oleh Sang Buddha (vv.136-40), dan dua syair hanya sekedar puji-pujian pada Sang Bhagavā (vv.147, 148). Dimulai dengan v.183, sutta-sutta menggunakan format standar, dengan para deva mengajukan teka-teki yang dijawab Sang Buddha dengan jawaban yang memuaskan mereka. Contoh yang mudah diingat dari teka-teki ini adalah tentang jenis membunuh yang disetujui oleh Sang Buddha, yang jawabannya adalah membunuh kemarahan (vv.223-24). Dalam satu sutta kita menemukan sentuhan humor ringan: satu devatā mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Sang Buddha, jelas-jelas bermaksud secara duniawi, tetapi sebelum Sang Buddha menjawab, devatā lainnya menyela dan memberikan jawaban yang juga di tingkat duniawi. Kemudian Sang Buddha menjawab, mengangkat dialog tersebut ke bidang transenden (vv.229-31). Karena isinya yang bervariasi dan tajamnya syair-syairnya, maka dalam tradisi Theravāda, minimal di Sri Lanka, Devatāsaṃyutta sangat terkenal sebagai sumber teks yang menjadi acuan dalam khotbah-khotbah.
Devaputta, atau “para putera deva,” adalah para deva muda yang baru terlahir di alam surganya masing-masing; devaduhitā, “para puteri deva,” juga disebutkan dalam komentar tetapi tidak terdapat dalam saṃyutta. Komentar mengatakan bahwa makhluk-makhluk ini terlahir kembali secara spontan di pangkuan para deva. Sementara para devatā dalam saṃyutta sebelumnya kebanyakan tidak disebutkan namanya, para deva muda selalu diidentifikasikan namanya, dan cukup mengejutkan bahwa beberapa dari mereka – atau minimal syair-syair mereka – telah muncul dalam Devatāsaṃyutta (baca 2:3, 4, 16, 19, 20, 21, 24, 27). Ini menyiratkan bahwa garis pemisah antara kedua kelompok deva ini tidak tegas, seperti halnya garis pemisah seorang dewasa dan seorang remaja juga tidak tegas. Bagian yang secara relatif lebih banyak dari syair-syair dalam bab ini lebih banyak membicarakan tentang latihan monastik, secara substantif lebih daripada Devatāsaṃyutta. Naskah sendiri tidak memberikan petunjuk mengapa seperti ini; minimal tidak ada yang menjelaskan secara langsung.
Beberapa sutta juga mengangkat topik khusus dari sudut pandang ajaran. Kita melihat, misalnya, deva muda Dāmali yang berpikir bahwa Arahanta masih harus “berusaha tanpa kenal lelah,” hingga Sang Buddha memberitahunya bahwa Arahanta telah menyelesaikan tugas-tugasnya dan tidak perlu berusaha lebih jauh lagi (2:5). Komentar mengatakan bahwa sutta ini sangat unik dalam hal bahwa di sini Sang Buddha tidak memuji usaha. Sekali lagi, kita melihat Tāyana, yang syair-syairnya tentang usaha disetujui oleh Sang Bhagavā dan, keesokan paginya, disampaikan kepada para bhikkhu (2:8). Kedua sutta tentang penangkapan dewa bulan Candimā dan dewa matahari Suriya memasukkan syair-syair yang berfungsi sebagai mantera untuk mengakhiri gerhana bulan dan matahari (2:9, 10); di Sri Lanka kedua sutta ini termasuk dalam Maha Pirit Pota, “Buku Perlindungan,” yang terdiri dari sutta-sutta dan mantera-mantera yang dibacakan demi perlindungan fisik maupun spiritual. Kita juga melihat Subrahmā, yang syair tunggalnya adalah salah satu ungkapan paling tajam dalam literatur dunia tentang penderitaan manusia (2:17). Kisah Rohitassa, yang mencoba untuk mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan, yang dijawab oleh Sang Buddha tentang di mana dunia itu dan akhir dunia dapat ditemukan (2:26). Dalam saṃyutta ini kita juga melihat dua deva muda bernama Veṇhu dan Siva (2:12 dan 2:21), yang mungkin adalah model awal dari dewa India bernama Visnu dan Siva (bentuk Sanskrit dari nama mereka); akan tetapi, teks kita jelas berasal dari masa sebelum mereka menjadi dewa-dewa utama dari kepercayaan Hinduisme. Sutta terakhir dalam bab ini (2:30) memperkenalkan sekelompok deva muda yang dulunya adalah para siswa pesaing Sang Buddha di India, yaitu Puraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, dan Nigaṇṭha Nātaputta, guru-guru yang pandangan-pandangannya secara tegas ditolak oleh Sang Buddha. Dengan demikian, agak membingungkan bahwa para siswa mereka dapat terlahir kembali di alam surga, khususnya karena kedua guru pertama mengajarkan ajaran seperti anarkhisme moral dan fatalisme. Tetapi kesimpulan dalam sutta ini adalah bahwa guru-guru itu adalah sama jauhnya dari ketinggian orang suci sejati seperti serigala dengan singa.
Bab ini memperkenalkan kita pada Raja Pasenadi dari Kosala. Menurut naskah-naskah Buddhis, Pasenadi sangat berbakti pada Sang Buddha dan sering memohon nasihat dari Beliau, walaupun tidak tercatat bahwa ia mencapai tingkat kesucian tertentu (dan demikianlah tradisi Sri Lanka pada masa pertengahan meyakini bahwa ia adalah seorang bodhisatta, yang tidak mencapai pencerahan apa pun agar ia dapat terus memenuhi kesempurnaan yang memuncak pada Kebuddhaan). Pasenadi dibawa menghadap Sang Buddha oleh istrinya, Ratu Mallikā, yang baktinya kepada Sang Buddha telah membuatnya tersinggung sebelumnya. Kisah tentang bagaimana Mallikā meyakinkannya akan kebijaksanaan Sang Buddha dijelaskan dalam MN No.87; MN No.89 menggambarkan kepada kita kisah berlanjut dari pertemuan Sang Raja dengan Sang Guru ketika mereka berdua berusia delapan puluhan. Sutta pertama dari Kosalasaṃyutta jelas mencatat pertemuan pertama Pasenadi dengan Sang Bhagavā, setelah keyakinannya dibangkitkan oleh siasat Mallikā. Di sini Sang Buddha digambarkan sebagai masih muda, dan ketika Sang Raja mempertanyakan bagaimana mungkin seorang petapa muda dapat tercerahkan sempurna, Sang Buddha menjawab dengan serangkaian syair yang melenyapkan keragu-raguan Sang Raja dan menginspirasinya untuk menerima perlindungan.
Tidak seperti kedua saṃyutta pertama, yang ini menyertakan prosa latar belakang yang penting pada syair-syair, dan sering kali bait-bait itu hanya mengulangi inti khotbah Sang Buddha secara berirama. Walupun topik yang dibahas tidak mendalam secara khusus, namun selaras dengan umat awam yang sibuk yang menghadapi tantangan yang sulit dalam menjalani kehidupan bermoral di dunia. Yang secara khusus layak diperhatikan adalah penekanan yang diberikan pada pentingnya untuk tidak meninggalkan jalan moralitas di tengah-tengah godaan duniawi. Beberapa sutta (3:4, 5) menunjukkan betapa mudahnya terjatuh dari standar kebaikan, khususnya dalam masa seperti Sang Buddha ketika, seperti pada masa sekarang, persaingan ketat dalam mengejar kekayaan, posisi, dan kekuasaan mengesampingkan nilai-nilai etika. Pertolongan bagi godaan ini adalah ketekunan (appamāda), dan ketika Sang Buddha memuji ketekunan pada Sang Raja, kata-kata itu tidak berarti, seperti dalam konteks monastik, suatu ketekunan terus-menerus pada meditasi, melainkan keteguhan dalam melakukan perbuatan baik. Bagi seseorang seperti Raja Pasenadi, kelahiran kembali yang bahagia adalah tujuan utama, dan bukan Nibbāna.
Percakapan Sang Raja dengan Mallikā, yang mana keduanya mengaku lebih memuja pasangannya lebih dari siapa pun juga (3:8), memunculkan sebuah syair dari Sang Buddha yang memberikan suatu kecondongan etis pada tesis metafisika yang terdapat dalam Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad, yang juga muncul dalam suatu percakapan antara suami dan istri, bahwa dari segala sesuatu diri sendiri adalah yang paling berharga. Ini memunculkan pertanyaan menarik mengenai apakah hubungan erat antara keduanya hanyalah kebetulan belaka (bukan tidak mungkin) atau akibat dari karya ulangan atas Upaniṣad lama oleh Sang Buddha. Pada kesempatan lain kita melihat kurangnya kecerdasan Sang Raja dalam menilai petapa (3:11) – mungkin suatu petunjuk bahwa komitmennya pada Dhamma bukanlah tidak tergoyahkan – dan jawaban Sang Buddha memberikan nasihat cerdik mengenai bagaimana menilai karakter seseorang.
Dalam saṃyutta ini kita bahkan menemukan, dari bibir emas Sang Guru, nasihat yang mencerahkan untuk mengurangi berat badan (3:12), sementara kedua sutta lainnya memberikan suatu sudut pandang historis tentang konflik antara Kosala dan Magadha, dengan perenungan terhadap peperangan dan kedamaian (3:14-15). Sesuai waktunya, syair-syair Sang Buddha menjelaskan kepada Sang Raja bahwa seorang perempuan mungkin lebih baik daripada seorang laki-laki (3:16). Di tempat lain Sang Buddha menolak gagasan, yang digagas oleh para brāhmaṇa, bahwa kelahiran adalah kriteria penting dalam kemuliaan spiritual, sebaliknya menekankan bahwa tanda-tanda sejati dari kemuliaan spiritual adalah kemurnian dan kebijaksanaan etis.
Sebuah tema yang berulang dalam seluruh saṃyutta ini adalah kematian yang tidak terhindarkan dan hukum kamma yang tidak dapat diatur, yang memastikan bahwa perbuatan baik dan buruk pasti menemui balasan setimpal. Makhluk-makhluk yang pergi dari kondisi cerah ke kondisi gelap dan dari kondisi gelap ke kondisi cerah bergantung pada perbuatan mereka (3:21). Semua yang kita bawa ketika kita mati adalah perbuatan baik dan buruk kita, dan dengan demikian kita harus mengumpulkan jasa kebajikan, karena dalam kehidupan selanjutnya ini adalah “penyokong makhluk-makhluk hidup” (3:4, 20, 22). Di antara beberapa sutta tentang kematian yang tidak terhindarkan, yang paling mengesankan adalah sutta terakhir dalam bab ini (3:25), dengan perumpamaannya yang mengejutkan tentang pegunungan yang bergerak dari empat penjuru, menggilas segala sesuatu dalam perjalanannya.
Māra adalah Sang Jahat dalam Buddhisme, Penggoda dan Raja Indriawi yang cenderung mengalihkan seseorang dari jalan kebebasan dan menahan mereka dalam siklus kelahiran dan kematian berulang. Kadang naskah-naskah menggunakan kata “Māra” dalam makna metafora, yaitu mewakili penyebab belenggu psikologis seperti keinginan dan nafsu (22:63-65) dan hal-hal eksternal yang olehnya kita terbelenggu, khususnya kelima kelompok unsur kehidupan itu sendiri (23:11-12). Tetapi terbukti bahwa bidang pemikiran dari sutta-sutta tidak menganggap Māra hanya sebagai personifikasi dari kelemahan moral manusia, melainkan melihatnya sebagai sesosok dewa jahat yang berusaha menggagalkan usaha dari mereka yang berniat untuk memenangkan tujuan tertinggi. Bukti dari hal ini adalah perburuannya atas Sang Buddha dan para Arahanta setelah pencerahan mereka, yang tentu tidak dapat dipercaya jika ia hanya dianggap sekadar proyeksi psikologis.
Mārasaṃyutta dibuka di sekitar Pohon Bodhi segera setelah Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna. Di sini Māra menantang pengakuan Sang Buddha bahwa Beliau telah mencapai tujuan. Ia mencela Sang Buddha karena meninggalkan jalan penyiksaan-diri (4:1), mencoba menakut-nakuti Beliau dengan mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang mengerikan (4:2), dan berusaha menghancurkan keseimbangan Sang Buddha dengan memperlihatkan sosok-sosok yang cantik dan menakutkan (4:3). Untuk memenangkan kontes ini Sang Buddha hanya perlu menghentikan gertakan Māra, dengan mengatakan bahwa Beliau mengenali lawan di hadapannya bukan lain adalah Sang Jahat. Kemudian Māra lenyap, frustrasi dan bersedih.
Māra juga tampil sebagai sosok yang sinis yang menyangkal bahwa manusia dapat mencapai kesucian sempurna (4:4, 15). Beberapa kali ia berusaha mengacaukan para bhikkhu ketika mereka sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha, tetapi setiap kali juga Sang Buddha mengenalinya (4:16, 17, 19). Pada kesempatan lain Māra berusaha menggoda Sang Guru dengan iming-iming kekuasaan duniawi, tetapi Sang Buddha dengan tegas menolaknya (4:20). Yang secara khusus mengesankan adalah Godhika Sutta (4:23), di mana Bhikkhu Godhika, yang menderita penyakit yang menghalangi kemajuan meditasinya, berencana untuk bunuh diri. Māra menampakkan dirinya di depan Sang Buddha, memohon Beliau agar menghalangi siswanya dari kebodohan demikian, tetapi Sang Guru memuji ketekunan pada tujuan bahkan dengan taruhan kehidupan. Di akhir sutta ini Māra dengan sia-sia mencari kesadaran kelahiran kembali Godhika, tidak mengetahui bahwa bhikkhu itu telah mencapai Nibbāna dan padam “dengan kesadaran tidak terbentuk.”
Kedua sutta terakhir dalam saṃyutta ini membawa kita kembali ke lokasi pencerahan. Di sini kita pertama-tama melihat Māra dan kemudian ketiga puteri Māra – Taṇhā, Arati, dan Ragā (Keinginan, ketidak-puasan, dan Nafsu) – berusaha menemukan titik kelemahan dalam diri Buddha yang baru tercerahkan, namun usaha mereka sia-sia dan harus pergi dengan kecewa. (4:24, 25).
Bhikhunīsaṃyutta adalah suatu kumpulan dari sepuluh sutta pendek dalam bentuk campuran prosa dan syair, tidak dibagi dalam beberapa vagga. Pelaku utama semuanya adalah bhikkhunī. Walaupun beberapa dari ketiga puluh tujuh syair juga terdapat dalam Therīgāthā (dicantumkan dalam catatan dan daftar kata 1 (B)), sebuah penomoran penting adalah unik dalam koleksi ini, sementara sering kali variasi-variasi dalam versi paralel juga penting. Minimal satu bhikkhunī dalam Bhikkhunīsaṃyutta, yaitu Vajirā, sama sekali tidak muncul dalam Therīgāthā, sementara bhikkhunī lainnya, Selā, agak membingungkan. Sebuah perbandingan antara kedua koleksi juga memberikan beberapa perbedaan yang patut dicatat dalam catatan penulisan. Karena SN dan Therīgāthā terbukti disampaikan oleh beberapa pembaca yang berbeda, adalah mudah sekali syair-syair tersebut terputus dari kisah narasi aslinya dan bergabung dengan kisah latar belakang yang berbeda oleh penulis lainnya.
Seluruh sepuluh sutta dibangun menurut pola yang sama, perseteruan langsung antara Māra dengan bhikkhunī tertentu. Struktur ini mungkin disebabkan karena penempatan Bhikkhunīsaṃyutta yang segera setelah Mārasaṃyutta. Masing-masing sutta dalam koleksi ini dimulai dengan seorang bhikkhunī yang melewatkan hari dalam keterasingan meditasi. Kemudian Māra mendatanginya dengan sebuah tantangan – suatu pertanyaan provokatif atau celaan – bermaksud untuk menjatuhkannya dari konsentrasi. Apa yang tidak diketahui oleh Māra adalah bahwa semua bhikkhunī itu adalah Arahanta yang telah melihat dengan begitu mendalam ke dalam kebenaran Dhamma sehingga tidak terjebak oleh muslihatnya. Bukannya kebingungan akan tantangan Māra, Sang Bhikkhunī seketika menebak identitas lawannya dan menjawab tantangan itu dengan jawaban tajam.
Dalam suatu dialog antara Raja Indriawi dengan seorang bhikkhunī yang menyendiri seseorang mungkin mengharapkan bahwa pada tiap-tiap pembukaan oleh Māra adalah bertujuan sebagai godaan seksual. Akan tetapi, ini hanya terjadi dalam beberapa sutta. Tema sesungguhnya dari percakapan ini sangat bervariasi dan mengungkapkan kepada kita akan sudut pandang luas akan sikap dan pandangan terang dari kehidupan melepaskan keduniawian. Perbedaan nyata antara kenikmatan dan penderitaan dari kenikmatan indria adalah tema dari 5:1, 4 dan 5. dalam seluruh tiga kasus para bhikkhunī dengan tajam mencela Māra dengan syair-syair yang mengungkapkan ketidaktertarikan mereka atas permohonannya.
Dialog Māra dengan Somā (5:2) menyuarakan anggapan India kuno bahwa perempuan memiliki “hanya kebijaksanaan dua jari” dan karena itu tidak dapat mencapai Nibbāna. Jawaban Somā adalah peringatan keras bahwa pencerahan tidak bergantung pada jenis kelamin melainkan pada kapasitas batin akan konsentrasi dan kebijaksanaan, kualitas-kualitas yang dapat dimiliki oleh siapa pun yang dengan sungguh-sungguh ingin menembus kebenaran. Dalam 5:3, Māra mendatangi Kisāgotamī, seorang pahlawan dari kisah biji sawi yang terkenal, berusaha untuk membangkitkan naluri keibuannya untuk melahirkan anak lagi. Demikianlah tantangannya menyentuh sensualitas secara tidak langsung, keinginan utamanya adalah ditujukan pada keinginan keibuan akan anak-anak.
Kedua sutta terakhir adalah karya besar secara filosofis, merangkum menjadi beberapa syair ringkas tentang pandangan terang yang sangat mendalam dan pengertian yang luas. Ketika Māra menantang Selā dengan sebuah pertanyaan tentang asal-mula kehidupan seseorang, ia menjawab dengan sebuah puisi indah yang merangkum keseluruhan ajaran kemunculan bergantungan dalam tiga syair empat baris yang berhiaskan perumpamaan yang mencerahkan (5:9). Ia mengajukan persoalan serupa kepada Vajirā, yang menjawab dengan penjelasan mengagumkan dari ajaran bukan-diri, menggambarkan sifat gabungan dari identitas personal dengan perumpamaan kereta yang terkenal (5:10).
Walaupun berlatar belakang mitologi dunia kuno di mana kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang berlaku adalah jauh dari masa kita sekarang ini, puisi-puisi dari para bhikkhunī masa lalu itu tetap mengajarkan kepada kita pada masa sekarang ini melalui kesederhanaan yang tajam dan kejujuran yang tanpa kompromi. Mereka tidak memerlukan hiasan atau kecerdikan untuk menyampaikan pesan mereka, karena mereka sendiri cukup mengesankan kita dengan kemurnian kebenaran yang tanpa hiasan.
Brahmā adalah dewa tertinggi dari Brahmanisme awal, dianggap sebagai pencipta alam semesta dan dihormati oleh para brāhmaṇa dengan upacara pengorbanan dan ritual-ritual. Sering kali konsep Brahmā ini terdapat dalam naskah-naskah Buddhis, walaupun lebih sebagai sasaran kritikan dan sindiran daripada suatu artikel keyakinan. Dalam konteks demikian kata “brahmā” digunakan sebagai suatu nama yang benar, sering juga ditambah menjadi Mahābrahmā, “Brahmā agung.” Sang Buddha menginterpretasikan ulang gagasan brahmā dan mengubah sesosok dewa yang maha-kuasa dari para brāhmaṇa menjadi sekelompok para dewa luhur yang berdiam di alam berbentuk (rūpadhātu) jauh di atas alam surga indria. Alam mereka disebut “alam brahmā,” yang ada banyak, dengan dimensi dan tingkat kekuasaan yang bervariasi. Di dalam alam mereka, para brahmā berdiam dalam kelompok-kelompok, dan Mahābrahmā (atau kadang-kadang brahmā dengan nama yang lebih personal) terlihat sebagai pemimpin dari kelompok itu, lengkap dengan para menteri dan pengikut. Seperti juga semua makhluk hidup, brahmā juga tidak kekal, masih terikat pada lingkaran kelahiran kembali, walaupun kadang-kadang mereka melupakan hal ini dan menganggap bahwa mereka abadi.
Jalan menuju kelahiran kembali di alam brahmā adalah penguasaan jhāna-jhāna, yang masing-masingnya bersesuaian dengan tingkatan alam berbentuk tertentu (lihat tabel 3). Kadang-kadang Sang Buddha menyebutkan empat “alam brahmā” (brahmavihāra) sebagai sarana untuk terlahir kembali di alam brahmā. Yaitu meditasi cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan yang tanpa batas (mettā, karuṇā, muditā, upekkhā).
Nikāya memberikan evaluasi yang bertentangan atas brahmā, seperti dapat dilihat dalam Saṃyutta ini. Di satu pihak, brahmā-brahmā tertentu digambarkan sebagai pelindung gagah berani atas pengajaran Buddha dan sebagai pengikut Sang Guru yang berbakti. Tetapi tentu saja karena usianya yang panjang dan tingginya mereka dalam hirarki kosmis, maka para brahmā cenderung dikuasai kebodohan dan keangkuhan; bahkan, kadang-kadang mereka menganggap diri mereka adalah pencipta yang maha-kuasa dan penguasa alam semesta. Mungkin evaluasi ganda ini mencerminkan sikap ganda Sang Buddha terhadap brāhmaṇa: penghormatan pada cita-cita kehidupan brāhmaṇa masa lampau (seperti yang tercatat dalam kata brahmacariya dan brahmavihāra) dipasangkan dengan penolakan pada keinginan brāhmaṇa masa sekarang atas superioritas yang berdasarkan pada kelahiran dan silsilah.
Brahmā yang paling menonjol dalam hal baktinya pada Sang Buddha adalah Brahmā Sahampati, yang muncul beberapa kali dalam SN. Segera setelah Penerangan Sempurna ia turun dari alamnya dan muncul kembali di hadapan Sang Bhagavā untuk memohon agar Beliau mengajarkan Dhamma kepada dunia (6:2), memuji seorang bhikkhu Arahanta ketika mengumpulkan dana makanan (6:3), mencela Si Jahat Devadatta (6:12), dan muncul kembali pada saat Parinibbāna Sang Buddha, di mana ia melantunkan sebait syair dukacita (6:15). Ia juga akan muncul kembali dalam saṃyutta lain (di 11:17; 22:80, 47:18, 43; dan 48:57).
Brahmā berjenis bodoh diwakili oleh Brahmā Baka, yang menganggap dirinya abadi dan harus dibebaskan dari pandangan ini oleh Sang Guru (6:4). Pada kesempatan lain, sesosok brahmā tanpa nama menganggap dirinya lebih superior daripada para Arahanta, dan Sang Buddha bersama empat siswa besar mengunjungi alamnya untuk mengubah pandangannya (6:5). Kita juga menyaksikan sebuah kontes antara brahmā yang lengah, keras kepala dengan keangkuhannya, dan dua temannya, pengikut Sang Buddha, yang melenyapkan ilusinya (6:6). Sutta ke dua terakhir menunjukkan satu siswa dari Buddha masa lampau Sikhī mengesankan seluruh kelompok brahmā yang sombong dengan memperlihatkan kekuatan batinnya (6:14). Saṃyutta ini juga menceritakan kisah sedih Bhikkhu Kokālika, seorang pengikut Devadatta, yang mencoba untuk memfitnah siswa utama Sāriputta dan Moggallāna dan terpaksa menerima akibat kamma dengan terlahir kembali di neraka (6:9-10). Sutta terakhir dalam koleksi ini, yang dimasukkan di sini hanya karena syair tunggal Brahmā Sahampati, adalah paralel dari peristiwa kematian yang terdapat dalam Mahāparinibbāna Sutta yang panjang dari Digha Nikāya.
Saṃyutta ini, mencatat percakapan Sang Buddha dengan para brāhmaṇa, terdiri dari dua vagga, masing-masing dengan tema yang berbeda. Dalam yang pertama semua brāhmaṇa yang mendatangi Sang Buddha, sering kali dengan marah (7:1-4) atau dengan menghina (7:7-9), kemudian begitu tergerak oleh kata-kata Beliau sehingga mereka memohon penahbisan dan masuk ke dalam Saṅgha dan “tidak lama setelahnya” mencapai Kearahatan. Sutta-sutta ini memperlihatkan Sang Buddha sebagai penjelmaan kesabaran dan kedamaian, mampu bekerja, dalam diri mereka yang menyerang-Nya, keajaiban transformasi hanya dengan keseimbangan-Nya yang tidak tergoyahkan dan kebijaksanaan-Nya yang tanpa cela. Dalam vagga ini kita juga melihat bagaimana Sang Buddha menilai pengakuan status tinggi dari si brāhmaṇa yang berdasarkan pada kelahiran. Di sini Beliau menginterpretasikan kata “brāhmaṇa” dengan makna aslinya, sebagai orang suci, dan berdasarkan pada ini mendefinisikan ulang brāhmaṇa sejati sebagai Arahanta. Ketiga Veda yang dihormati dan dengan tekun dipelajari oleh para brāhmaṇa digantikan oleh ketiga vijjā atau pengetahuan sejati yang dimiliki oleh Arahanta: pengetahuan kelahiran lampau, pengetahuan hukum kamma, dan pengetahuan hancurnya noda-noda (7:8). Sutta terakhir menambahkan sentuhan humor, yang masih dapat dikenali hingga sekarang, dengan menggambarkan perbedaan antara tekanan kehidupan rumah tangga dan kebebasan tanpa kekangan dari pelepasan keduniawian (7:10).
Dalam vagga ke dua para brāhmaṇa datang untuk menantang Sang Buddha dengan cara yang berbeda, dan sekali lagi Sang Buddha meningkatkan kejadian itu dengan akal dan kebijaksanaan-Nya yang tidak habis-habisnya. Akan tetapi dalam vagga ini, walaupun Sang Buddha menginspirasi lawan bicara-Nya akan keyakinan yang baru ia peroleh, si brāhmaṇa yang beralih keyakinan tidak menjadi bhikkhu namun hanya menyatakan diri mereka sebagai umat awam “yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”
Bhikkhu Vaṅgīsa dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul di antara mereka yang memiliki kata-kata inspirasional (paṭibhānavantānaṃ, pada AN I 24, 21). Gelar ini ia peroleh berkat kemahirannya dalam menggubah syair secara spontan. Syair-syairnya membentuk bab terpanjang dalam Theragāthā, yang mana tujuh puluh satu syairnya (Th 1209-79) bersesuaian dengan syair-syair dalam saṃyutta ini tetapi tanpa kerangka prosa. Puisi lain oleh Vaṅgīsa, terdapat dalam SN II, 12 tidak termasuk dalam kumpulan ini, tetapi juga terdapat dalam Theragāthā.
Syair-syair Vaṅgīsa tidak sekadar pepatah berirama (seperti halnya banyak syair dalam koleksi ini) melainkan komposisi puisi yang terampil yang berhak mendapat tempat terhormat dalam puisi India awal. Syair-syair itu juga mengungkapkan, dengan kejujuran tanpa malu, cobaan dan godaan yang dihadapi oleh penggubahnya dalam karirnya sebagai seorang bhikkhu. Karena memiliki kecenderungan karakter yang estetis dan secara alami memiliki penghargaan akan keindahan ragawi, Vaṅgīsa pastilah melewati perjuangan yang sulit dalam hari-hari awalnya menjadi seorang bhikkhu untuk menyesuaikan dengan disiplin ketat sebagai bhikkhu, dengan latihan pengendalian indria dan kewaspadaan pikiran. Sutta-sutta awal dalam bab ini (8:1-4) membicarakan tentang peperangannya melawan nafsu indria, kerentanannya pada ketertarikan pada lawan jenis, dan tekadnya yang kokoh untuk tidak menyerah pada godaan melainkan dengan berani melanjutkan di sepanjang jalan yang diberikan oleh Gurunya. Syair-syair itu juga mengatakan kecenderungannya akan keangkuhan, tidak diragukan berdasarkan pada bakat alaminya sebagai seorang penyair, dan juga mengatakan upayanya dalam menaklukkan cacat dalam karakternya. Kelak dalam karir monastiknya, jelas setelah ia memperoleh tingkat kemahiran yang lebih tinggi, ia sering memuji Sang Buddha dalam syair, dan dalam suatu kesempatan Sang Buddha memintanya menggubah syair-syair secara spontan tanpa persiapan (8:8). Dalam puisi lain ia memuji para siswa besar Sāriputta, Moggallāna, dan Koṇḍañña (8:6, 9, 10). Puisi terakhir dalam saṃyutta, sebagian berupa otobiografi, ditutup dengan pernyataan bahwa penggubahnya telah menjadi seorang Arahanta yang memiliki ketiga pengetahuan sejati dan kekuatan spiritual lainnya (8:12).
Saṃyutta ini terdiri dari empat belas sutta yang sebagian besar dibangun menuruti pola meniru. Seorang bhikkhu menetap sendirian di dalam belantara, di mana ia seharusnya bermeditasi dengan tekun, tetapi kelemahan manusia menguasainya dan menyebabkannya berbelok dari tugas-tugas religiusnya. Kemudian sesosok devatā yang berdiam di hutan itu berbelas kasihan kepadanya dan mencelanya dalam syair, mencoba untuk membangkitkan kembali dorongan religiusnya. Jelas para devatā ini bukanlah makhluk-makhluk surgawi, seperti yang kita temui dalam Devatāsaṃyutta, melainkan para peri hutan, dan mereka sepertinya perempuan. Pada beberapa kesempatan sang devatā keliru menafsirkan perilaku bhikkhu itu. Demikianlah dalam 9:2 devatā itu datang dan mencela bhikkhu yang tertidur, tidak menyadari bahwa bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan, dan dalam 9:8 karena bergaul terlalu akrab dengan seorang perempuan, sekali lagi tidak menyadari bahwa bhikkhu itu adalah seorang Arahanta (menurut Komentar). Dalam 9:6, sesosok devatā dari surga Tāvatiṃsa mencoba untuk membujuk Yang Mulia Anuruddha agar bertekad untuk terlahir kembali di alamnya, namun ia menyatakan bahwa ia telah mengakhiri proses kelahiran kembali dan tidak akan pernah menjalani kehidupan lagi. Sutta terakhir dalam bab ini (9:14) juga terdapat dalam Jātaka, namun dengan pemeran Bodhisatta diperankan oleh bhikkhu di sini.
Para Yakkha adalah makhluk kejam yang menghuni tempat-tempat terpencil seperti hutan-hutan, gunung-gunung, dan gua-gua. Mereka digambarkan berwajah menyeramkan dan cepat marah, tetapi jika diberi persembahan dan dihormati maka mereka menjadi ramah dan akan lebih melindungi orang daripada mencelakainya. Banyak altar yang berbaris disepanjang perbatasan India Utara didirikan untuk menghormati para yakkha dan mengharapkan kebaikan mereka. Walaupun hidup dalam kesengsaraan namun mereka memiliki potensi untuk tercerahkan dan dapat mencapai jalan dan buah kehidupan spiritual.
Sutta-sutta dalam bab ini mencakup topik-topik yang luas. Apa yang menghubungkannya bukanlah isi dari syair-syair melainkan fungsi memajukan dengan menunjukkan Sang Buddha sebagai Sang Bijaksana tanpa tandingan yang, dengan cara-cara terampil-Nya, mampu menjinakkan dan mentransformasi bahkan raksasa yang paling kejam dan paling menakutkan, seperti Sūciloma (10:3) dan Āḷavaka (10:12). Saṃyutta ini juga memasukkan dua kisah yakkha perempuan yang menarik, setan kelaparan yang menghuni daerah pinggiran Hutan Jeta, yang sangat tergerak oleh khotbah Sang Buddha dan pelafalan oleh para bhikkhu sehingga mereka menjadi pengikut awam yang baik (10:6, 7). Dalam Saṃyutta ini kita juga menemukan kisah pertemuan pertama Anāthapiṇḍika dengan Sang Buddha, yang dibantu oleh nasihat bersahabat dari sesosok yakkha yang baik hati (10:8). Dalam tiga sutta para yakkha melantunkan syair-syair pujian kepada para bhikkhunī (10:9-11).
Dalam kisah dewa-dewa Buddhis awal, Sakka adalah penguasa para deva di surga Tāvatiṃsa dan juga pengikut Sang Buddha. Sebuah percakapan panjang antara ia dan Sang Buddha, yang memuncak pada pencapaian tingkat Memasuki-arus, dikisahkan dalam Sakkapañha Sutta (DN No.21). Saṃyutta ini tidak menceritakan pertemuan Sang Buddha dengan Sakka, namun menceritakan (dalam kata-kata Sang Buddha) kisah perbuatannya dan percakapan dengan Sakka. Demikianlah sutta-sutta ini disampaikan sebagai dongeng, tetapi dongeng yang selalu mengandung pesan moral. Saṃyutta ini juga memasukkan Dhajagga Sutta (11:3) yang terkenal, yang mana Sang Buddha mewariskan kepada para bhikkhu perenungan Tiga Permata – Buddha, Dhamma, dan Saṅgha – sebagai penawar takut.
Dalam legenda Buddhis, para deva Tāvatiṃsa terus-menerus diserang oleh para asura, raksasa, makhluk-makhluk yang memiliki kesaktian dan ambisi kekerasan yang ingin menaklukkan mereka dan mengambil alih wilayah mereka. Sakkasaṃyutta berulang-ulang menceritakan Sakka dalam pertempurannya melawan para pemimpin asura, Vepacitti dan Verocana. Kedua belah pihak dapat dilihat sebagai melambangkan filosofi politis yang bergantian. Para pemimpin asura lebih menyukai kekuasaan dengan kekerasan dan pembalasan terhadap musuh-musuhnya; mereka menghalalkan penyerangan dan memuji etika “kekuatan menciptakan kebenaran.” Sebaliknya Sakka, teguh pada peraturan keadilan, sabar terhadap para penyerang, dan perlakuan penuh belas kasihan terhadap pelaku kejahatan (11:4, 5, 8). Sakka dan para deva menghormati para petapa dan orang-orang suci, para asura mencemooh mereka, dan demikianlah para petapa membantu para deva dan mengutuk para asura (11:9, 10).
Dalam saṃyutta ini Sakka tampil sebagai pengikut awam yang ideal. Ia mendapatkan posisinya sebagai penguasa para deva, sewaktu ia masih seorang manusia, dengan memenuhi tujuh tekad yang mengandung nilai-nilai kebajikan seorang perumah tangga (11:11). Pemahamannya akan kemuliaan Sang Buddha lebih rendah daripada Brahmā Sahampati (11:17), tetapi dalam tiga sutta ia dengan tegas menyatakan alasannya berbakti pada Buddha, Dhamma, Saṅgha, dan bahkan pada perumah tangga yang baik (11:18-20). Dalam tiga sutta terakhir, Sang Buddha menjadikan kesabaran dan sifat memaafkan dari Sakka sebagai teladan bagi para bhikkhu (11:23-25).
Nidānavagga, Buku Sebab-akibat, dinamai dari saṃyutta pertama, salah satu saṃyutta yang megah dan mendalam yang mengandung visi filosofis radikal dari Buddhisme awal. Vagga ini terdiri dari sepuluh saṃyutta, di mana yang pertama menempati hampir setengah dari volume ini. Sembilan lainnya membahas topik-topik yang lebih ringan, walaupun mungkin Dhātusaṃyutta, yang juga membahas prinsip pertama dari fenomenologi Buddhis, sengaja dimasukkan dalam vagga ini sebagai “pasangan junior” bagi Nidānasaṃyutta. Walaupun dugaan ini tidak dapat dibuktikan, namun yang meyakinkan adalah bahwa dengan vagga ini kita memasuki wilayah yang berbeda dari yang apa yang dibahas dalam Sagāthāvagga, suatu wilayah di mana pembahasan filosofis tepat lebih diprioritaskan daripada gaya bahasa, mantera-mantera inspiratif, dan kemajuan moral.
Akan tetapi, setelah menggunakan ungkapan “pembahasan filosofis tepat”, saya harus segera memenuhi dua hal. Pertama, kata “filosofis” berlaku pada isi dari saṃyutta-saṃyutta ini hanya dalam makna bahwa saṃyutta-saṃyutta itu membicarakan batang tubuh dari prinsip pertama yang mengungkapkan struktur aktualitas yang dalam tersembunyi, bukan dalam makna bahwa saṃyutta-saṃyutta itu disampaikan untuk membentuk konstruksi sistematis dari pikiran yang diinginkan oleh intelektual. Pengungkapannya selalu terjadi dalam kerangka yang digariskan oleh Empat Kebenaran Mulia, yang menjelaskan bahwa maksud utamanya adalah pragmatis, diarahkan kepada lenyapnya penderitaan. Dibabarkan, bukan untuk menggambarkan sistem gagasan yang memuaskan secara intelektual, namun untuk mengetahui aspek-aspek aktualitas itu, yang dalam dan tersembunyi, yang harus ditembus dengan kebijaksanaan untuk melenyapkan kebodohan di dasar penderitaan kehidupan. Sutta-sutta itu adalah penuntun untuk melihat dan memahami, penunjuk arah pada apa yang harus dilihat oleh diri sendiri dengan pandangan terang langsung. Menganggap tema-tema itu sebagai topik-topik hiburan dan argumentasi intelektual berarti kehilangan intinya.
Ke dua, ketika saya menggunakan kata “pembahasan,” ini jangan memunculkan harapan bahwa sutta-sutta ini akan memberikan kepada kita naskah-naskah menyeluruh, sistematis, bertingkat secara logis dari jenis yang dapat kita temukan dalam sejarah filosofi Barat. Sebaliknya, apa yang kita peroleh adalah kepingan-kepingan potret penjelajahan yang terhampar di daratan asing tetapi juga sangat dikenal. Sesungguhnya, daratan itu adalah pengalaman pribadi kita sendiri, yang terlihat dalam kemendalamannya dan dengan presisi mikroskopik. Masing-masing sutta memperlihatkan daratan ini dari sudut berbeda. Seperti halnya pada foto apa pun, gambaran yang diberikan oleh satu sutta tentu saja terbatas, di ambil dari satu sudut pandang dan dengan jangkauan fokus yang sempit, tetapi dalam kapasitasnya untuk pengungkapan sutta itu dapat menjadi kuat dan tajam. Untuk memahami banyaknya sudut yang diberikan oleh sutta-sutta, dengan mengikuti satu demi satu dengan urutan logis selebar sehelai rambut, kita harus mengubah susunannya berkali-kali, merenungkannya dalam-dalam, dan menyelidikinya secara saksama dengan kebijaksanaan. Untuk sampai pada gambaran keseluruhan, atau minimal pada gambaran yang lebih lengkap daripada yang telah kita miliki ketika kita menelusuri teks secara sambil lalu, kita harus merenungkan sutta-sutta dalam saṃyutta secara keseluruhan, membandingkannya dengan khotbah-khotbah paralel dalam saṃyutta lainnya, dan kemudian berusaha untuk memasangkannya, seperti memasangkan potongan-potongan pada teka-teki potongan gambar, ke dalam suatu gambaran menyeluruh yang masuk akal. Ini adalah sehubungan dengan sebanyak mungkin pembahasan sistematis yang dapat diperoleh seseorang, karena tujuannya bukanlah untuk memuaskan intelektual dengan sistem bahasa yang lengkap melainkan untuk membangkitkan pandangan terang, dan tujuan demikian memerlukan metodologinya sendiri.
Nidānasaṃyutta mengumpulkan sembilan vagga yang terdiri dari sembilan puluh tiga sutta pendek yang berhubungan dengan kemunculan bergantungan (paṭicca-samuppāda). Bab ini mungkin seharusnya dinamai Paṭicca-samuppādāsaṃyutta, namun para penyusun kanon tentu telah mempertimbangman bahwa judul demikian terlalu sempit dan memutuskan sebuah sebutan yang lebih ringkas untuk itu. Kata nidāna berarti penyebab atau sumber, dan kadang-kadang digunakan dalam rangkaian sinonim yang memasukkan hetu, samudaya, dan paccaya, “penyebab, asal-mula, kondisi” (baca DN II 57, 27 foll.). Kata ini memberikan nama pada sutta terpanjang dalam Nikāya tentang paṭicca-samuppāda, yaitu Mahānidāna Sutta (DN No.15). Kemunculan bergantungan adalah salah satu ajaran inti dari Buddhisme awal, begitu pentingnya bagi ajaran sebagai keseluruhan sehingga Sang Buddha dikutip di tempat lain mengatakan, “Ia yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma, dan ia yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan” (MN I 190, 37 – 191, 2). Tujuan utama dari ajaran tentang kemunculan bergantungan adalah untuk mengungkapkan kondisi-kondisi yang memelihara lingkaran kelahiran-kembali, saṃsāra, sehingga menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk terbebas dari lingkaran. Kehidupan dalam saṃsāra adalah penderitaan dan belenggu (dukkha), dan oleh karena itu berakhirnya penderitaan memerlukan kebebasan dari lingkaran. Untuk memenangkan kebebasan adalah persoalan menguraikan pola penyebab yang menyembunyikan belenggu kita, suatu proses yang dimulai dengan pemahaman atas pola penyebab itu sendiri. Adalah kemunculan bergantungan yang mendefinisikan pola penyebab ini.
Kemunculan bergantungan biasanya dibabarkan dalam urutan dua belas faktor (dvādasaṅga) yang digabungkan menjadi sebuah rantai yang terdiri dari sebelas dalil. Dalam Nidānasaṃyutta formula ini diulangi berkali-kali. Dijelaskan dalam dua urutan: menurut asal-mulanya (disebut anuloma atau urutan maju), dan menurut lenyapnya (disebut paṭiloma atau urutan mundur). Kadang-kadang penyajiannya dilakukan dari faktor pertama menuju terakhir, kadang-kadang dimulai dari akhir dan bergerak sepanjang rantai kondisi kembali ke pertama. Sutta-sutta lain mengambil mata rantai di suatu tempat di tengah-tengah dan membahasnya ke arah maju atau mundur. Kita menemukan formula asli pada 12:1, dengan definisi formal dua belas faktor dalam “analisis kemunculan bergantungan” pada 12:2. Keseluruhan formula pada gilirannya menunjukkan suatu prinsip struktur kondisionalitas abstrak,”jika ini ada, maka muncul itu; dengan munculnya ini, maka muncullah itu. Jika tidak ada ini, maka tidak muncul itu; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu” (untuk referensinya, baca II, n.14). Prinsip terstruktur ini dapat diberikan penerapan berbeda daripada yang terdapat dalam formula kemunculan bergantungan, dan sesungguhnya menyimpan hampir keseluruhan aspek dari ajaran Buddha, dari gagasan-gagasan-Nya tentang reformasi sosial hingga peta menuju Nibbāna.
Mengharapkan penjelasan sejelas-jelasnya akan urutan kondisi-kondisi dalam Nidānasaṃyutta, seperti yang dapat kita harapkan dari buku-buku modern dengan topik ini, hanyalah akan menemui kekecewaan. Formula yang terdapat dalam teks terkupas hingga ke tulang, mungkin berfungsi sebagai alat pengingat, dan sepertinya bahwa penjelasan aslinya tentang topik ini meluas dengan penjelasan yang tidak tercatat dalam sutta-sutta tetapi disampaikan secara lisan dalam silsilah guru-guru. Karena teks-teks kurang jelas menjelaskan formula ini, para penerjemah modern dari Buddhisme awal kadang-kadang menemukan teori yang berubah-ubah sehubungan dengan makna aslinya, teori-teori yang menganggap bahwa tradisi Buddhis sendiri telah mencampur-adukkan interpretasi dari doktrin Buddhis yang paling mendasar ini. Untuk menghindari kesembronoan dan kesengajaan dari pendapat pribadi, sepertinya lebih bijaksana untuk mengandalkan metode penjelasan yang terdapat dalam tradisi penafsiran Buddhis, yang terlepas dari perbedaan minor dalam rinciannya namun sebagian besar sama dalam spektrum aliran-aliran Buddhis awal. Di sini saya hanya akan memberikan kesimpulan ringkas atas interpretasi yang diberikan oleh tradisi Pāli.
Karena (i) kebodohan (avijjā), tidak adanya pengetahuan langsung atas Empat Kebenaran Mulia, seseorang terlibat dalam perbuatan-perbuatan kehendak, aktivitas-aktivitas jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat; ini adalah (ii) bentukan-bentukan kehendak (saṅkhārā), dengan kata lain, kamma. Bentukan-bentukan kehendak memelihara kesadaran dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya dan menentukan dimana kemunculannya kembali; dengan cara ini bentukan-bentukan kehendak mengondisikan (iii) kesadaran (viññāṇa). Bersama dengan kesadaran, yang dimulai pada saat konsepsi, muncullah (iv) “nama-dan-bentuk” (nāmarūpa), organisme hidup dengan bentuk fisik (rūpa) dan kapasitas sensitif dan kognotif (nāma). Organisme hidup ini dilengkapi dengan (v) enam landasan indria (saḷāyatana), lima kemampuan indria fisik dan pikiran sebagai organ pengenalan. Landasan-landasan indria memungkinkan (vi) kontak (phassa) muncul antara kesadaran dan objeknya, dan kontak mengondisikan (vii) perasaan (vedanā). Dipicu oleh perasaan, (viii) muncullah keinginan (taṇhā), dan ketika keinginan meningkat maka muncullah (ix) kemelekatan (upādāna), keterikatan kuat pada objek keinginan melalui indria dan pandangan salah. Didorong oleh keterikatan seseorang, maka sekali lagi ia terlibat dalam tindakan-tindakan kehendak yang menghasilkan (x) penjelmaan baru (bhava). Pada saat kematian potensi penjelmaan kembali ini diaktualisasikan dalam kehidupan baru yang dimulai dengan (xi) kelahiran (jāti) dan berakhir dengan (xii) penuaan-dan-kematian (jarāmaraṇa).
Dari sini kita dapat melihat bahwa interpretasi tradisional menganggap kedua belas faktor merentang sepanjang tiga kehidupan, dengan kebodohan dan bentukan-bentukan kehendak menyentuh pada masa lalu, kelahiran dan penuaan-dan-kematian pada masa depan, dan faktor-faktor di antaranya pada masa sekarang. Ruas dari kesadaran hingga perasaan adalah fase akibat dari masa sekarang, fase yang diakibatkan dari kebodohan dan kamma masa lalu; ruas dari keinginan hingga kehidupan aktif adalah fase pembentukan secara kamma dari masa sekarang, yang mengarah pada penjelmaan baru di masa depan. Penjelmaan dibedakan dalam dua fase: satu, disebut penjelmaan kamma (kammabhava), yang berada dalam wilayah fase penyebab dari masa sekarang; yang lain, disebut penjelmaan-kelahiran-kembali (upapattibhava), yang berada dalam wilayah fase akibat di masa depan. Kedua belas faktor juga terdistribusi dalam tiga “lingkaran”: lingkaran kekotoran (kilesavaṭṭa) termasuk kebodohan, keinginan, dan kemelekatan; lingkaran perbuatan (kammavaṭṭa) termasuk bentukan-bentukan kehendak dan penjelmaan-kamma; semua faktor lainnya termasuk dalam lingkaran akibat (vipākavaṭṭa). Kekotoran memunculkan perbuatan-perbuatan yang terkotori, perbuatan-perbuatan yang membawa akibat, dan akibat-akibat berfungsi sebagai tanah bagi lebih banyak lagi kekotoran. Dengan cara inilah lingkaran kelahiran kembali berputar tanpa awal yang dapat diketahui.
Metode pembagian faktor-faktor ini jangan disalahartikan sebagai berarti bahwa masa lalu, masa sekarang, dan masa depan adalah saling eksklusif. Distribusi ke dalam tiga kehidupan hanyalah suatu alat untuk menjelaskan yang, demi keringkasan, terpaksa menggunakan abstraksi dan penyederhanaan berlebihan. Seperti ditunjukkan oleh banyak sutta dalam Nidānasaṃyutta, dalam kelompok faktor-faktor operasi yang dinamis yang dipisahkan dalam formula yang tidak dapat dihindari menjadi saling terjalin. Demikianlah ketika ada kebodohan, maka keinginan dan kemelekatan selalu muncul; dan ketika ada keinginan dan kemelekatan, maka kebodohan akan berdiri di belakangnya. Kita boleh menganggap kedua belas faktor itu sebagai tersusun dari dua rangkaian paralel yang mendefinisikan satu proses tunggal, regenerasi saṃsāra terkondisi dari dalamnya, namun melakukannya dari sudut pelengkap. Rangkaian pertama memperlakukan kebodohan sebagai akar, dan menunjukkan bagaimana kebodohan menuntun aktivitas kamma (yaitu bentukan-bentukan kehendak) dan dari sana menuju penjelmaan baru yang terdapat dalam kesadaran dan nama-dan-bentuk yang saling mempengaruhi. Rangkaian ke dua menjadikan keinginan sebagai akar, dan menunjukkan bagaimana keinginan menuntun kemelekatan dan aktivitas kamma (yaitu kehidupan aktif) dan dari sana menuju produksi penjelmaan baru yang dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan penuaan-dan-kematian. Untuk menggabungkan kedua ruas, faktor-faktor di dalam nama-dan-bentuk yang darinya keinginan muncul harus ditarik ke luar, dan dengan demikian kita mendapatkan tiga mata rantai – enam landasan indria, kontak, dan perasaan.
Tabel 4: Kemunculan Bergantungan Menurut tradisi penafsiran Pāli
3 Periode | 12 Faktor | 20 Cara dan 4 Kelompok |
---|---|---|
Masa lalu | 1. Kebodohan | 5 penyebab masa lalu |
2. Bentukan-bentukan kehendak | 1, 2, 8, 9, 10 | |
Masa sekarang | 3. Kesadaran | 5 penyebab masa sekarang |
4. Nama-dan-bentuk | 3, 4, 5, 6, 7 | |
5. Enam landasan indria | ||
6. Kontak | ||
7. Perasaan | ||
8. Keinginan | 5 penyebab masa sekarang | |
9. Kemelekatan | 8, 9, 10, 1, 2 | |
10. Penjelmaan | ||
Masa depan | 11. Kelahiran | 5 penyebab masa depan |
12. Penuaan-dan-kematian | 3, 4, 5, 6, 7 |
Interpretasi tiga-kehidupan dari kemunculan bergantungan kadang-kadang ditandai dengan rekaan komentar atas dasar bahwa sutta-sutta sendiri tidak membaginya dalam masa-kehidupan yang berbeda. Akan tetapi, walaupun benar bahwa kita tidak menemukan dalam sutta secara eksplisit menyebutkan pembagian faktor-faktor ini ke dalam tiga kehidupan, pemeriksaan saksama atas varian-varian dari formula standard memberikan dukungan kuat pada interpretasi tiga-kehidupan. Satu contoh adalah 12:19, di mana kebodohan dan keinginan pertama-tama ditempatkan secara bersama-sama pada kehidupan lampau, memunculkan kehidupan baru yang hidup dalam jasmani hidup dengan keenam landasan indrianya; dan kemudian, dalam hal si dungu (tetapi bukan orang bijaksana), kebodohan dan keinginan sekali lagi berfungsi sebagai penyebab gabungan dalam kehidupan sekarang untuk menghasilkan kelahiran dan penderitaan baru di kehidupan mendatang. Pemeriksaan saksama atas varian lain dalam saṃyutta ini juga akan menegaskan bahwa rangkaian ini ini meluas dalam beberapa kehidupan.
Vagga pembuka menarik perhatian pada pentingnya kemunculan bergantungan dengan serangkaian sutta yang menunjukkan bagaimana tujuh Buddha di masa lampau, yang diakhiri dengan Buddha Gotama “kita”, mencapai Penerangan Sempurna dengan memahami kemunculan bergantungan, penemuan membuka-mata yang mengakhiri pencarian panjang Mereka akan cahaya kebijaksanaan (12:4-10). Belakangan Sang Buddha menjelaskan secara lebih terperinci tentang pencerahannya akan kemunculan bergantungan, di mana Beliau mengilustrasikan penemuannya akan Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan perumpamaan indah sebuah kota kuno (12:65). Menurut 12:20, hubungan sebab-akibat antara faktor-faktor ini tetap bekerja tidak peduli apakah para Buddha muncul atau tidak: faktor-faktor ini tetap ada, stabil, hukum aktualitas yang tanpa kecuali. Tugas seorang Tathāgata adalah menemukannya, memahaminya dengan menyeluruh, dan kemudian mengajarkannya kepada dunia. Ketidakberubahan hukum sebab-akibat ini, dan keteraturan dalam munculnya para Buddha yang tercerahkan sempurna, bergabung dalam suatu hukum tunggal yang identik dengan Dhamma itu sendiri.
Beberapa sutta menunjukkan bahwa kemunculan bergantungan berguna bagi Sang Buddha sebagai suatu “ajaran tengah” (majjhena tathāgato dhammaṃdeseti), memungkinkan Beliau menghindari kedua pandangan ekstrim mengenai kondisi manusia yang telah saling bertentangan selama berabad-abad. Yang pertama adalah tesis metafisika eternalisme (sassatavāda), yang mengemukakan diri kekal sebagai landasan pada kehidupan, diri yang, dalam pemikiran India klasik, berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan berikut dengan mempertahankan identitas pribadinya. Ekstrim lainnya adalah pemusnahan (ucchedavāda), yang menganut bahwa individu dapat direduksi menjadi personalitas fenomenal dan bahwa pada saat kematian, dengan hancurnya jasmani, orang itu sepenuhnya terpotong dan musnah. Kedua ekstrim memberikan persoalan yang tidak dapat dipecahkan, karena yang satu mendorong kemelekatan terus-menerus pada kondisi-kondisi yang darinya penderitaan muncul sementara yang lain mengancam untuk merusak etika dan menjadikan penderitaan tidak dapat dijelaskan kecuali sebagai kebetulan. Kemunculan bergantungan memberikan sudut pandang baru yang muncul di atas ekstrim-ekstrim itu. Ajaran ini menunjukkan kehidupan individual terbentuk dari aliran fenomena-fenomena terkondisi yang hampa dari diri metafisik, namun yang berlanjut dari kehidupan ke kehidupan selama sebab-sebab yang memeliharanya tetap efektif. Dengan demikian kemunculan bergantungan memberikan penjelasan penuh makna atas persoalan penderitaan yang menghindari, di satu pihak, pertanyaan filosofis yang diajukan oleh hipotesa diri abadi, dan di pihak lain, bahaya akan anarki etis yang diajukan oleh nihilisme. Selama kebodohan dan keinginan masih ada, lingkaran kelahiran kembali akan terus berlanjut, kamma menghasilkan buahnya yang menyenangkan maupun menyakitkan, dan kumpulan besar penderitaan berakumulasi. Dengan lenyapnya, dan hanya dengan lenyapnya, maka akhir yang sempurna dapat tercapai bagi keseluruhan lingkaran penderitaan saṃsāra.
Penjelasan yang paling baik dari kemunculan bergantungan sebagai ‘ajaran tengah’ tidak diragukan adalah Kaccānagotta Sutta (12:15) yang terkenal, yang mana Sang Buddha berpegang pada prinsip ini sebagai alternatif dari ekstrim-ekstrim penjelmaan dan tanpa-penjelmaan. Kemunculan bergantungan menyediakan kunci bagi pemahaman akan munculnya penderitaan serta kesenangan dan kesakitan (12:17, 18; baca juga 12:24-26), dan sekali lagi untuk memotong berbagai kontradiksi filosofis yang diadopsi oleh para pemikir di masa Sang Buddha (12:46-48).
Walaupun formula dua belas faktor dari kemunculan bergantungan adalah ungkapan yang paling umum dari doktrin ini, Nidānasaṃyutta memperkenalkan sejumlah varian yang kurang terkenal yang membantu menjelaskan versi standar. Yang pertama adalah varian sepuluh faktor yang mana kebodohan dan bentukan-bentukan kehendak dihilangkan dan kesadaran dan nama-dan-bentuk menjadi saling bergantung satu sama lain (12:65). Ini diilustrasikan oleh perumpamaan dua ikat jerami yang saling menyokong satu sama lain dan jatuh ketika salah satunya ditarik (12:67). Urutan menarik dari tiga teks (12:38-40) membicarakan tentang kondisi-kondisi untuk “memelihara kesadaran” (viññāṇassa ṭhitiyā), yaitu, bagaimana kesadaran berlanjut pada kehidupan berikutnya. Penyebabnya dikatakan adalah kecenderungan tersembunyi, yaitu, kebodohan dan keinginan, dan “apa yang dikehendaki dan direncanakan seseorang,” yaitu, aktivitas-aktivitas kehendak. Begitu kesadaran terbentuk, maka produksi penjelmaan baru dimulai, dengan demikian menunjukkan bahwa kita dapat berlanjut secara langsung dari kesadaran (faktor ke tiga yang biasa) menuju penjelmaan (faktor ke sepuluh yang biasa).
Varian-varian ini menyederhanakan bahwa urutan faktor-faktor tidak boleh dianggap sebagai proses sebab-akibat linear yang mana tiap-tiap faktor memunculkan faktor berikutnya melalui aktivitas sebab-akibat sederhana. Hubungan antar faktor selalu merupakan sebab-akibat yang kompleks bukan sebagai sebab-akibat linear. Fungsi yang mengondisikan dapat termasuk berbagai macam hubungan seperti mutualitas (ketika dua faktor saling menyokong satu sama lain), pendahulu yang perlu (ketika satu faktor harus ada agar faktor lain dapat muncul), kurang efisien (seperti ketika bentukan kehendak yang jauh di masa lampau menghasilkan kesadaran dalam kehidupan baru), dan seterusnya. Terlebih lagi, dengan merenungkan sejumlah varian teks secara berdampingan, kita dapat melihat bahwa pada titik tertentu dalam rangkaian itu mata rantai berbalik kembali dan memperkuat kompleksitas prosesnya. Demikianlah, sementara kesadaran mendahului keenam landasan indria dalam formula biasa, pada 12:43 dan 12:44 keenam landasan ditunjukkan sebagai kondisi bagi kesadaran. Sementara kesadaran biasanya mendahului keinginan, 12:64 mengatakan keinginan (dengan nafsu dan kenikmatan) menjadi kondisi bagi kelangsungan kesadaran dan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi bagi penjelmaan.
Urutan positif dan negatif dari kemunculan bergantungan adalah definisi yang diperluas dari faktor ke dua dan ke tiga dari Empat Kebenaran Mulia, seperti ditunjukkan oleh varian pada 12:43. Dari enam landasan indria internal dan eksternal, seperti yang baru kita lihat, kesadaran muncul dan ini diikuti oleh kontak, perasaan, dan keinginan, yang kemudian dinyatakan sebagai asal-mula penderitaan; ketika keinginan ditinggalkan, maka penderitaan berhenti. Sutta berikutnya, 12:44, menggunakan pola yang sama untuk menjelaskan asal-mula dan lenyapnya dunia. Ini mengungkapkan kemunculan bergantungan sebagai, bukan hukum metafisik yang jauh dan tidak terjangkau, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang menopang pengalaman indria kita sehari-hari, yang diaktifkan oleh reaksi kita atas perasaan yang muncul pada enam landasan indria. Seperti yang ditunjukkan oleh sutta 12:52-60, ketika perhatian pada objek persepsi digerakkan oleh kehausan akan kepuasan, maka keinginan meningkat, dan ini membangun lingkaran penderitaan yang lain. Tetapi ketika seseorang belajar untuk melihat bahaya dalam objek-objek kemelekatan, maka keinginan lenyap, mengakibatkan faktor-faktor berikutnya berhenti.
Dalam beberapa sutta formula kemunculan bergantungan diintegrasikan dengan pola doktrin lainnya, yaitu pola empat makanan (āhāra). Ini adalah empat penopang kuat bagi kehidupan, yaitu makanan yang dapat dimakan (untuk tubuh), kontak (untuk perasaan), kehendak pikiran (untuk produksi penjelmaan baru), dan kesadaran (untuk nama-dan-bentuk). Gagasan-gagasan makanan dan kondisionalitas berhubungan erat, keduanya menyiratkan kemungkinan dan ketanpaintian segala fenomena kehidupan. Oleh karena itu adalah wajar bagi formula empat makanan itu ditanamkan pada penjelasan kemunculan bergantungan. Dalam 12:12, sehubungan dengan makanan, Sang Buddha berkali-kali menolak pertanyaan yang menyiratkan adanya subjek atau diri inti di balik proses pengalaman itu. Faktor-faktor pengondisi itu sendiri merupakan alur pengalaman yang mengalir, tidak perlu menempatkan suatu diri yang kekal sebagai “seseorang” pada ujung penerimaan dari perasaan dan persepsi, atau pada saat memulai suatu perbuatan. 12:63, secara keseluruhan membahas empat makanan tanpa secara eksplisit menyebutkan tentang kemunculan bergantungan, memperkenalkan empat perumpamaan yang memancing-pemikiran untuk menyampaikan bahaya dalam empat makanan dan untuk menginspirasi timbulnya kejijikan terhadap keseluruhan proses makanan itu. Karena minimal tiga dari empat makanan itu adalah bersifat internal bagi organisme hidup itu sendiri, ajaran empat makanan menyiratkan, pada tingkat yang sangat dalam, bahwa kehidupan tidak hanya memerlukan makanan dari luar tetapi kehidupan itu sendiri adalah proses makanan yang memelihara-dirinya sendiri.
Satu varian dari saṃyutta ini menempati kelompoknya sendiri. Ini adalah Upanisā Sutta (12:23) yang singkat namun tajam, yang menunjukkan bahwa prinsip kondisionalitas yang sama yang mendasari pergerakan saṃsāra juga memberikan dukungan kuat bagi jalan menuju kebebasan. Masing-masing tahap dari sang jalan muncul dengan pendahulunya sebagai kondisi atau penyebab langsung, di sepanjang jalan dari tindakan awal keyakinan hingga pengetahuan akhir pembebasan. Presentasi doktrin ini kadang-kadabng disebut juga “kemunculan bergantungan yang transenden”
Karena perputaran ini digerakkan oleh keinginan, dan keinginan dipelihara oleh kebodohan, untuk menghentikan gerakan maju dari rangkaian ini, maka kebodohan harus diganti dengan pengetahuan. Dengan lenyapnya kebodohan maka semua faktor yang mengalir darinya – keinginan, kemelekatan, dan aktivitas kamma – menjadi berhenti, mengakhiri lingkaran kelahiran kembali dengan semua penderitaan yang menyertainya. Dari satu sudut, seperti yang sering ditunjukkan dalam Nidānasaṃyutta, kebodohan berarti tidak mengetahui fenomena yang muncul saling bergantungan, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya (12:14, 49, dan seterusnya). Demikianlah kebodohan di posisi kepala dari rangkaian sebab-akibat, kebodohan yang memelihara gerakan maju dari kemunculan bergantungan, bukan lain adalah kebodohan terhadap kemunculan bergantungan itu sendiri. Dari ini berlanjut bahwa pengetahuan yang diperlukan untuk menghentikan kemunculan bergantungan hanyalah pengetahuan bagaimana kemunculan bergantungan itu bekerja.
Beberapa sutta penting dalam Nidānasaṃyutta menjelaskan bahwa kemunculan bergantungan bukan sekadar suatu prinsip penjelasan yang harus diterima berdasarkan keyakinan semata melainkan suatu komponen penting dari pengetahuan yang diperlukan unruk mencapai akhir penderitaan. Sering kali Sang Buddha menyebutkan bahwa hubungan antar faktor harus diketahui secara langsung, baik melalui kemunculannya maupun melalui pelenyapannya. Oleh karena itu faktor-faktor itu bukan sekadar aspek teori melainkan isi dari pandangan terang. Memperoleh pengetahuan ini adalah memperoleh pandangan pandangan benar dari seorang siswa mulia yang telah melihat kebenaran Dhamma oleh dirinya sendiri dan memasuki jalan dari seorang yang berlatih (sekha), ia pasti mencapai Keabadian dalam maksimum tujuh kali kehidupan lagi, tanpa pernah jatuh. Pengetahuan langsung atas kemunculan bergantungan bukanlah tanda khusus Arahanta – suatu kesalahpahaman yang telah menyebar luas – melainkan suatu pencapaian yang telah dicapai oleh pemasuk-arus ketika “menembus Dhamma” (dhammābhisamaya). Pengetahuan siswa mulia atas kemunculan bergantungan memiliki dua aspek: satu adalah persepsi langsung atas hubungan antara masing-masing pasangan faktor pada masa sekarang; yang lain, pengetahuan berdasarkan kesimpulan bahwa urutan tetap dari fenomena ini juga terjadi dengan cara yang sama di masa lampau dan di masa depan, sehingga siapa pun yang memahami kemunculan bergantungan pasti memahaminya dengan cara yang persis sama dengan siswa mulia yang memahaminya (baca 12:33-34). Begitu pemasuk-arus memperoleh pengetahuan ini, pencapaian tujuan akhir telah dapat dipastikan dan tidak dapat dibatalkan, seperti dijelaskan dalam 12:41 dan dalam paragraf penutup pada 12:27, 28, dan 49-50.
Menjelang akhir bab ini, pada 12:70 kita membaca kisah pengembara Susīma, yang bergabung dalam Saṅgha sebagai seorang “pencuri Dhamma” dengan maksud untuk mempelajari ajaran Buddha demi memperoleh keuntungan bagi para pengikutnya. Dalam suatu tanya jawab dengan Sang Buddha tentang kelima kelompok unsur kehidupan dan kemunculan bergantungan, ia mengalami perubahan batin yang sebenarnya dan mengakui niat buruknya. Sutta ini memperkenalkan sekelompok Arahanta yang digambarkan sebagai “terbebaskan oleh kebijaksanaan” (paṭṭāvimutta), yang telah memenangkan tujuan akhir dengan memahami Dhamma tanpa memperoleh kekuatan batin atau meditasi tanpa-bentuk. Sutta ini juga menjelaskan bahwa pengetahuan atas sifat sejati fenomena, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan dan kemunculan bergantungan, mendahului pengetahuan Nibbāna.
Nidānasaṃyutta ditutup dengan dua vagga berbentuk rangkaian pengulangan. Vagga VIII menerapkan pola empat-kebenaran dari paradigma “petapa dan brāhmaṇa” pada masing-masing faktor dari formula standar (dengan mengecualikan kebodohan, yang secara implisit termasuk sebagai kondisi bagi bentukan-bentukan kehendak). Vagga IX adalah “rangkaian pengulangan gabungan,” karena masing-masing sutta menggabungkan seluruh sebelas faktor bersama dengan kondisinya ke dalam sebuah naskah ringkas. Dengan demikian menyiratkan bahwa masing-masing sutta dapat “dikembangkan” dengan memisahkan masing-masing faktor dengan kondisinya sebagai judul dari sutta terpisah, sehingga jumlah sutta dalam vagga ini akan meningkat dari dua belas menjadi 132.
Saṃyutta ini hanya terdiri dari sebelas sutta tanpa pembagian ke dalam vagga-vagga. Anehnya, edisi Sinhala dari SN dan komentar tidak menghitung saṃyutta ini sebagai saṃyutta tersendiri melainkan memasukkannya sebagai sebuah vagga dalam Nidānasaṃyutta. Ini sepertinya sulit untuk dibenarkan, karena sutta-sutta ini tidak menyebutkan tentang kemunculan bergantungan juga tidak menyinggung sesuatu tentang rantai sebab-akibat. Mungkin para redaktur Sinhala memasukkan ini ke dalam Nidānasaṃyutta karena penembusan memasuki-arus oleh siswa terjadi karena pemahaman kemunculan bergantungan. Akan tetapi, sebagai suatu penjelasan, ini sepertinya tidak mencukupi jika sutta-sutta tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kemunculan bergantungan.
Tujuan dari saṃyutta ini adalah memuji penembusan Dhamma (dhammābhisamaya), juga disebut memperoleh mata Dhamma (dhammacakkhupaṭilābha), peristiwa yang mentransformasikan seseorang menjadi seorang siswa mulia pada tingkat minimum pemasuk-arus. Pemasuk-arus adalah seseorang yang telah memperoleh jalan transenden menuju Nibbāna dan pasti mengakhiri pengembaraan saṃsāra setelah terlahir kembali sebanyak maksimal tujuh kali lagi, yang semuanya di alam surga atau alam manusia. Sepuluh sutta pertama seluruhnya dibentuk dengan pola yang sama: Sang Buddha pertama-tama membandingkan dua kuantitas yang jauh berbeda dan membandingkan perbedaan ini dengan perbandingan antara jumlah penderitaan yang telah dilenyapkan oleh siswa mulia dan jumlah penderitaan yang masih harus dilenyapkan dalam maksimal tujuh kehidupan. Sutta terakhir berbeda dalam hal perumpamaan: di sini perbandingannya adalah antara pencapaian para petapa non-Buddhis dan pencapaian siswa mulia yang telah melakukan penembusan, pencapaian siswa mulia adalah jauh lebih besar dari petapa non-Buddhis.
Saṃyutta ini terdiri dari tiga puluh sembilan sutta, yang dibagi dalam empat vagga, semuanya membahas unsur-unsur dalam suatu cara. Kata “unsur” (dhātu) digunakan pada beberapa kelompok fenomena yang cukup berbeda, dan dengan demikian sutta-sutta dalam bab ini disusun dalam kelompok-kelompok terpisah tanpa persamaan namun tetap membahas kesatuan yang disebut unsur-unsur. Empat vagga ini tidak dapat dengan rapi dibagi ke dalam kelompok-sepuluh yang masing-masing membahas kelompok unsur-unsur yang berbeda, karena jumlah sutta yang termasuk dalam dua vagga yang ditengah tidak mengizinkan hal ini.
Vagga pertama membahas delapan belas unsur yang membentuk satu model utama dari analisa fenomenologis yang digunakan dalam Nikāya, sering kali disebutkan berdampingan dengan kelima kelompok unsur dan enam landasan indria internal dan eksternal. Kedelapan belas unsur ini terbagi dalam enam triad: organ-organ indria, objek-objek, dan jenis-jenis kesadaran yang bersesuaian. Penunjuk dari lima triad pertama sepertinya cukup jelas, namun ketidak-jelasan menyelimuti yang terakhir, triad tentang pikiran (mano), fenomena pikiran (dhammā), dan kesadaran-pikiran (manoviññāṇa). Anehnya, Nikāya sendiri tidak menjelaskan rujukan yang tepat dari ketiga unsur ini atau sifat dari hubungannya. Hal ini pertama kali dilakukan dalam Abhidhamma Piṭaka. Dalam sistem pengembangan sistematis dari Abhidhamma, unsur pikiran adalah jenis yang lebih sederhana dari tindakan pengenalan daripada unsur kesadaran-pikiran, yang padanya diberikan operasi pengenalan lebih lanjut. Unsur fenomena pikiran menunjukkan bukan hanya objek-objek kesadaran-pikiran, tetapi juga faktor-faktor batin yang menyertai kesadaran, yang termasuk dalam kelompok unsur perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan kehendak (baca n.224 untuk penjelasan lebih lanjut).
Vagga pertama terbagi dalam dua “pentad” (pañcaka): satu “pentad internal,” yang mengambil organ-organ indria sebagai titik awal; dan “pentad eksternal,” yang dimulai dengan objek-objek. Sutta pertama sebenarnya tidak termasuk dalam kelompok manapun, karena hanya menguraikan kedelapan belas unsur. Rangkaian internal, yang dimulai dari 14:2, menunjukkan bagaimana fungsi-fungsi batin berturut-turut – pertama kontak dan kemudian perasaan – muncul dengan bergantung pada pendahulunya dalam urutan pasti dan tidak dapat dibalik. Dalam pentad eksternal perlakuan yang sama juga berlaku pada fungsi-fungsi batin yang secara khusus lebih berhubungan pada objek; rantai di sini lebih kompleks dan hubungan internal yang memerlukan penjelasan. Penjelasan yang diberikan oleh komentar dimaksudkan untuk menyelaraskan ketidakteraturan yang nyata dengan pola hubungan yang diterima sebagai sah oleh para komentator pada masa itu. Adalah suatu pertanyaan terbuka apakah penjelasan-penjelasan ini mencerminkan pemahaman unsur-unsur yang dianut pada tahap paling awal pemikiran Buddhis.
Vagga ke dua dibuka dengan tiga sutta tentang jenis lain-lain dari unsur-unsur, yang tidak sangat sistematis. Kemudian diikuti dengan serangkaian sutta-sutta panjang, 14:14-29, yang mana kata “unsur” digunakan dalam makna watak personal. Sehubungan dengan berbagai kualitas yang bertentangan, baik dan buruk, intinya adalah bahwa orang-orang berkumpul bersama karena kesamaan personal yang berakar dalam kualitas-kualitas ini. Satu sutta yang mengesankan dalam kelompok ini menunjukkan masing-masing siswa unggulan Sang Buddha berjalan diiringi oleh beberapa bhikkhu yang memiliki minat yang sama; bahkan Devadatta, si jahat dalam Saṅgha, memiliki kelompoknya sendiri yang terdiri dari mereka yang berkeinginan buruk (14:15). Vagga ke empat menitikberatkan pada empat unsur utama dari bentuk fisik: tanah, air, panas, dan angin. Sutta-sutta dalam vagga ini dibentuk berdasarkan pola, termasuk triad kepuasan dan rangkaian petapa dan brāhmaṇa yang dibahas dalam Pendahuluan Umum.
Anamataggasaṃyutta, “tentang Tanpa Awal yang dapat Diketahui,” disebut demikian karena topik ini adalah jangkauan saṃsāra yang tanpa batas. Makna yang tepat dari kata anamatagga tidak dapat dipastikan, kata itu sendiri berbeda-beda dalam aliran-aliran Buddhis awal, namun gagasan yang dimaksudkan disampaikan dengan cukup baik dalam kalimat ke dua dari khotbah pembukaan: bahwa titik awal dari lingkaran kelahiran kembali tidak dapat terlihat. Tujuan yang mendasari saṃyutta ini adalah untuk menempatkan ajaran kebebasan dari Sang Buddha terhadap latar belakang kosmis dengan menekankan kumpulan penderitaan yang tanpa batas yang telah kita alami dalam pengembaraan dari satu kehidupan ke kehidupan lain dalam waktu yang tak terhingga, “terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan.”
Dalam sutta demi sutta Sang Buddha mengilustrasikan luasnya penderitaan saṃsāra dengan perumpamaan yang mengagumkan dan menginspirasi, selalu menarik kesimpulan yang tak terhindarkan bahwa kita telah mengalami penderitaan kelahiran dan kematian berulang cukup lama dan sekarang adalah waktunya untuk berjuang demi kebebasan tertinggi. Empat sutta mengilustrasikan, melalui perumpamaan yang mengesankan, lamanya kappa kosmis, yang mana jumlah yang tak terhingga telah berlalu (15:5-8). Sutta 15:10 menegaskan hal ini dengan gambaran tumpukan tulang-belulang dari seseorang yang ditinggalkan seseorang dalam pengembaraannya selama satu kappa. Yang secara khusus menggugah adalah khotbah kepada tiga puluh bhikkhu dari Pāvā, tentang bahaya menakutkan dari saṃsāra, sebuah sutta yang cukup kuat untuk mengantarkan mereka semua menuju pencapaian Kearahatan di tempat itu juga (15:13). Sutta terakhir dalam bab ini memberikan kepada kita suatu peninjauan ke masa lampau tentang suatu masa di mana ketiga Buddha masa lampau hidup, dengan beberapa informasi tentang kondisi-kondisi kehidupan manusia pada masa itu.
Mahākassapa, Kassapa yang Agung, disebutkan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang paling unggul dalam hal pelaksanaan praktik pertapaan (AN I 23,20). Walaupun ia tidak mendampingi Sang Guru sesering banyak siswa lainnya, namun Sang Buddha memiliki penghargaan yang tinggi pada Kassapa dan sering memujinya. Menurut Cullavagga (Vin II 284-85), setelah Sang Buddha Parinibbāna, Mahākassapa menjadi ayah angkat bagi Saṅgha yang baru kehilangan ayahnya dan mengambil inisiatif untuk mengadakan sidang para bhikkhu untuk mengulang Dhamma dan Disiplin. Ini adalah tindakan yang perlu untuk melestarikan pengajaran Buddha hingga ke generasi-generasi mendatang.
Saṃyutta ini menghimpun tiga belas sutta yang mengutamakan siswa besar ini. Walaupun sutta-sutta itu memberikan kepada kita gambaran sekilas mengenai peran Mahākassapa dalam Saṅgha dan sketsa yang tajam dari kepribadiannya, tujuan yang mendasari sutta-sutta itu adalah untuk memberikan teladan utama bagi para bhikkhu untuk ditiru daripada sekedar untuk melestarikan informasi biografis. Pada sutta pertama Sang Buddha memujinya karena kesederhanaan dan kehematannya dan menyarankan para bhikkhu agar meneladaninya dalam hal ini (16:1). Ia berdiam dalam ketidakmelekatan dan keseimbangan, tetapi juga memiliki belas kasihan, simpati, dan kesabaran pada para perumah tangga (16:3, 4). Ia terus melaksanakan praktik pertapaan bahkan hingga usia lanjut, demi kebahagiaannya dan memberikan teladan bagi generasi mendatang (16:5). Sang Buddha sering meminta Kassapa untuk menasihati para bhikkhu, tetapi pada tiga kesempatan ia menolak karena para bhikkhu tidak terbuka pada instruksi (16:6-8). Ini memulai suatu topik yang meningkat pada 16:13: pengajaran Sang Buddha telah mulai mengalami kemunduran, dan penyebabnya bukanlah eksternal melainkan internal, yaitu, kebobrokan dalam Saṅgha. Dalam 16:9 Sang Buddha memuji Kassapa atas penguasaan pencapaian meditatif dan pengetahuan langsung, dan dalam 16:10-11 kita melihat gambaran jelas Kassapa yang kadang-kadang berhubungan dekat dengan Ānanda. Walaupun sikapnya terhadap Ānanda yang lembut sepertinya terlalu keras, namun kita harus ingat bahwa adalah berkat dorongan Kassapa-lah maka Ānanda berusaha mencapai Kearahatan sebelum Sidang Saṅgha pertama. Dalam 16:11 Kassapa menceritakan kisah pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha, yang memuncak pada pertukaran jubahnya dengan Sang Guru. Ini adalah suatu kehormatan yang tidak diberikan kepada para bhikkhu lain, dan menandakan peran Mahākassapa di masa depan sebagai pemimpin Saṅgha.
Kehidupan seorang bhikkhu menuntut pelepasan kenikmatan indria dan ketidakmelekatan pada kepuasan normal yang diberikan oleh keluarga, penghidupan, dan peran aktif dalam masyarakat sipil. Tepatnya karena ia telah mengabdikan dirinya pada kehidupan pertapaan dan latihan spiritual, bhikkhu itu mungkin dapat dianggap secara prematur sebagai orang suci dan menerima persembahan, kehormatan, dan pujian, khususnya dari para pengikut awam yang berbakti dan cerdas yang mencari jasa. Bagi seorang bhikkhu yang tidak waspada perolehan dan penghormatan yang mungkin tidak ia harapkan namun ia terima dapat menjadi serangan yang lebih halus dan lebih menggoda daripada daya-tarik indria. Bhikkhu itu menginterpretasikan perolehan dan kehormatan sebagai penunjuk bagi nilai spiritualnya; pujiaan yang diucapkan atas namanya dapat melambungkan egonya hingga ketinggian yang memabukkan. Demikianlah dari perolehan dan kehormatan akan muncul keangkuhan, menyombongkan-diri, dan mencela orang lain – seluruh batu sandungan di sepanjang jalan menuju “keamanan yang tanpa bandingan dari belenggu.” Untuk melindungi para bhikkhu dari kehilangan arah menuju tujuan mereka, Sang Buddha sering memperingati mereka tentang bahaya dari perolehan, kehormatan, dan pujian. Saṃyutta ini menghimpun empat puluh tiga sutta tentang topik ini. Nada khotbah-khotbah ini luar biasa berat: seorang yang terikat pada perolehan dan kehormatan adalah bagaikan sekor ikan yang tertanggap oleh mata kail berumpan, bagaikan sekor kura-kura yang tertembak oleh seruit, bagaikan seekor kambing yang terperangkap dalam semak berduri (17:2-4). Bahkan seseorang yang sebelumnya tidak akan berbohong dengan sengaja untuk menyelamatkan hidupnya mungkin saja kelak akan berbohong demi untuk memenangkan perolehan dan kehormatan (17:19), dan beberapa orang bahkan mengorbankan ibu mereka demi imbalan demikian (17:37). Tetapi sentuhan humor bukannya tidak ada: satu naskah membandingkan seorang bhikkhu yang bergembira dalam perolehan dan kehormatannya dengan seekor kumbang kotoran yang bergembira di atas tumpukan kotoran (17:5). Vagga terakhir memperlihatkan Devadatta sebagai contoh yang buruk dari seorang yang jatuh dari kehidupan spiritual karena haus akan perolehan, kehormatan, dan pujian.
Rāhula adalah putera Sang Buddha, lahir tidak lama sebelum Beliau meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk memulai pencarianNya akan Penerangan Sempurna. Ketika Sang Buddha kembali ke kota asalNya, Kapilavatthu pada tahun pertama setelah pencerahan, Beliau menahbiskan Rāhula menjadi seorang samaṇera, dan kemudian memberinya banyak instruksi. Tiga sutta kepada Rāhula yang lebih panjang terdapat dalam Majjhima Nikāya (MN No. 61, 62, dan 147, yang terakhir identik dengan SN 35:121). Rāhulasaṃyutta menghimpun dua puluh dua teks pendek yang disusun dalam dua vagga. Sepuluh pertama menjelaskan tiga karakteristik sehubungan dengan sepuluh kelompok fenomena: enam landasan indria internal; enam landasan indria eksternal; masing-masing terdiri dari enam kelompok yaitu kesadaran, kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan keinginan; enam unsur; dan kelima kelompok unsur kehidupan. Semua itu dibabarkan kepada Rāhula sebagai jawaban atas permintaannya. Sepuluh sutta pertama dari vagga ke dua menunjukkan Sang Buddha membabarkan sepuluh sutta yang sama kepada Rāhula, tetapi kali ini atas inisiatif Beliau sendiri. Dua sutta tambahan memberikan instruksi tentang bagaimana melenyapkan anggapan “aku” dan “milikku” dan kecenderungan pada keangkuhan.
Walaupun saṃyutta ini dinamai dari Bhikkhu Lakkhaṇa, perannya adalah berfungsi sebagai pasangan Mahāmoggallāna, siswa yang unggul dalam hal kekuatan batin. Tiap-tiap sutta dibangun menuruti format yang sama, yang mana Moggallāna menggambarkan penderitaan peta atau makhluk tersiksa, yang terlihat olehnya dengan penglihatan gaib, dan Sang Buddha menegaskan penglihatannya, dengan memberikan penjelasan penyebab kamma yang mendasari kesengsaraan demikian. Di sini, seperti juga di dalam edisi cetakan dari Pāli Text, sutta pertama dituliskan secara lengkap dan selanjutnya hanya variasinya saja yang tercatat. Lima sutta terakhir menyampaikan pesan keras kepada para bhikkhu dan bhikkhunī jahat, mungkin mencerminkan perilaku-perilaku salah yang semakin meningkat di dalam Saṅgha.
Saṃyutta ini terdiri dari dua belas sutta yang menyentuh berbagai topik yang sebagian besar berhubungan dengan latihan para bhikkhu. Walaupun topiknya beragam, namun masing-masing sutta terhubung melalui suatu perumpamaan panjang dan berdasarkan perumpamaan ini sutta-sutta itu tergabung dalam satu saṃyutta. Topik-topik yang muncul termasuk jarangnya kelahiran di alam manusia, berkah dalam mengembangkan cinta kasih, ketidakkekalan hidup, dan perlunya ketekunan konstan. Dalam koleksi ini kita juga menemukan ramalan Sang Buddha tentang bagaimana Dhamma akan mengalami kemunduran ketika para bhikkhu melalaikan sutta-sutta yang dalam yang membahas kekosongan dan lebih menyukai karya-karya yang ditulis oleh para penyair “dengan kata-kata dan frasa yang indah.”
Saṃyutta ini menghimpun dua belas sutta yang beraneka ragam yang dibabarkanolehatausehubungandenganbhikkhutertentu.Layakdicatat bahwa, selain dari dua teks pertama, semua yang lainnya mengandung syair, dan ini membangkitkan kecurigaan bahwa saṃyutta ini aslinya adalah bagian dari Sagāthāvagga. Sesungguhnya, dalam terjemahan bahasa Mandarin dari Saṃyuktāgama, Bhikkhusaṃyutta terdapat dalam Sagāthāvagga, muncul persis sebelum Bhikkhunīsaṃyutta. Mungkin dalam beberapa hal dalam penyusunan versi Pāli, para redaktur menambahkan dua sutta tanpa syair tentang Moggallāna dan Sāriputta, dan kemudian, sebagai akibatnya, terpaksa harus mengubah keseluruhan saṃyutta dari Bagian I hingga Bagian II. Di tengah-tengah sutta-sutta tentang bhikkhu-bhikkhu sesepuh yang terkenal terdapat satu yang dibabarkan kepada seorang bhikkhu tidak terkenal bernama Sesepuh (nama samaran?) yang memberikan instruksi ringkas tentang makna sesungguhnya dari kesendirian.
Khandhavagga, Buku tentang Kelompok-kelompok unsur kehidupan, melanjutkan jejak penjelasan filosofis yang dibuka oleh Buku Sebab-akibat, tetapi kali ini menembus wilayah utama dari khotbah-khotbah Buddhis awal, kelima kelompok unsur kehidupan. Seperti pendahulunya, Khandhavagga dinamai sesuai Saṃyutta pembuka, yang mendominasi keseluruhan koleksi. Walaupun Vagga ini terdiri dari tiga belas saṃyutta, tidak ada satupun yang mendekati panjangnya Khandhasaṃyutta, yang dalam edisi PTS menempati 188 dari 278 halaman dalam volume ini. Tetapi terlebih lagi, dalam Vagga ini tiga saṃyutta minor – SN 23, 24, dan 33 – menitikberatkan pada kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai intinya. Bab-bab ini sepertinya merupakan bagian dari Khandhasaṃyutta yang asli yang dalam beberapa hal terpecah dan menjadi saṃyutta sendiri. Demikianlah topik lima kelompok unsur kehidupan meningalkan tandanya sepanjang keseluruhan koleksi ini.
Khandhasaṃyutta terdiri dari 159 sutta yang disusun dalam tiga kelompok yang disebut paññāsaka, “kelompok lima puluh.” Masing- masing paññāsaka terdiri dari lima vagga yang masing-masingnya terdiri dari kurang-lebih sepuluh sutta, walaupun beberapa vagga memiliki lebih dari sepuluh sutta. Panjang dan karakter sutta-sutta tersebut bervariasi, berkisar dari beberapa halaman dengan cita-rasa yang khas hingga sutta-sutta pendek dengan pola umum.
Topik dari saṃyutta ini adalah lima kelompok unsur kehidupan (pañcakkhandha), skema dari kategori utama yang digunakan oleh Sang Buddha untuk menganalisa kehidupan makhluk-makhluk. Sementara ajaran tentang kemunculan bergantungan dimaksudkan untuk mengungkapkan pola dinamis yang terjadi dalam pengalaman sehari-hari yang mendorong perputaran lingkaran kelahiran dan kematian dari kehidupan ke kehidupan, ajaran tentang kelima unsur kehidupan menitik-beratkan pada pengalaman dalam selang waktu dalam rangkaian dari kelahiran hingga kematian.
Pemeriksaan kelima kelompok unsur memainkan peran penting dalam ajaran Buddha untuk minimal empat alasan. Pertama, karena kelima kelompok unsur kehidupan adalah objek referensi terutama dari kebenaran mulia pertama, yaitu kebenaran mulia penderitaan (baca 56:13), dan karena seluruh empat kebenaran berputar di sekeliling penderitaan, maka memahami kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah penting untuk memahami Empat Kebenaran Mulia secara keseluruhan. Ke dua, karena kelima kelompok unsur kehidupan objek kemelekatan dan karena itu berkontribusi pada penyebab asal dari penderitaan mendatang. Ke tiga, karena pelenyapan kemelekatan adalah perlu untuk tercapainya kebebasan, dan kemelekatan harus dilenyapkan dari objek-objek yang mana sulur-sulurnya terbungkus, yaitu, kelima kelompok unsur kehidupan. Dan ke empat, karena lenyapnya kemelekatan tercapai oleh kebijaksanaan, dan jenis kebijaksanaan yang diperlukan persisnya adalah pandangan terang yang jernih ke dalam sifat-sifat sejati kelompok-kelompok unsur kehidupan.
Kelima kelompok unsur kehidupan secara keseluruhan adalah pembentuk kehidupan dan menjadi faktor-faktor operatif dari pengalaman hidup, karena dalam dunia pemikiran Nikāya-Nikāya kehidupan yang dimaksudkan hanya sebatas apa yang menyangkut pengalaman. Demikianlah kelima kelompok unsur kehidupan secara bersamaan digunakan oleh Sang Buddha sebagai suatu skema pengelompokan untuk menganalisa identitas manusia dan untuk menjelaskan struktur pengalaman. Akan tetapi, analisa ke dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan yang terdapat dalam Nikāya- Nikāya bukan bertujuan untuk mencapai pemahaman objektif dan ilmiah atas manusia bersama dengan tujuan yang ingin dicapai oleh fisiologi dan psikologi; dengan demikian membandingkan analisa Buddhis dengan analisa melalui disiplin ilmiah modern dapat menghasilkan kesimpulan keliru. Bagi Sang Buddha, penyelidikan ke dalam sifat kehidupan pribadi senantiasa berada di posisi bawah daripada dorongan kebebasan dari Dhamma, dan karena alasan inilah maka aspek-aspek kehidupan manusia yang berperan pada pencapaian tujuan ini mendapatkan perhatian utama dari Beliau.
Kata khandha (Skt skandha) berarti, sebuah tumpukan atau kumpulan (rāsi), di antara hal-hal lain. Kelima kelompok unsur kehidupan ini disebut demikian karena masing-masingnya tergabung dalam satu sebutan yaitu keragaman fenomena yang memiliki karakteristik definisi yang sama. Dengan demikian bentuk apa pun yang ada, “di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat,” tergabung dalam kelompok unsur bentuk, dan demikian pula pada masing- masing kelompok unsur (22:48). Dua sutta dalam Khandhasaṃyutta (22:56, 57) menjelaskan faktor-faktor dari tiap-tiap kelompok unsur, menjelaskannya dengan kata-kata yang jauh lebih sederhana daripada sutta-sutta selanjutnya, analisa yang lebih lengkap terdapat dalam Visuddhimagga dan komentar. Rincian kelompok-kelompok unsur kehidupan menurut sutta-sutta diperlihatkan pada Tabel 5. Sutta lainnya (22:79) menjelaskan mengapa masing-masing kelompok unsur disebut sesuai dengan nama yang diberikan, dan mengungkapkan bahwa penjelasan-penjelasan ini disusun lebih dalam hal fungsi daripada inti pastinya. Memperlakukan kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai fungsi dinamis dan bukan sebagai entity substansial telah menjauhkan landasan dari dorongan untuk menggenggamnya sebagai memiliki inti yang kekal yang dapat dianggap sebagai landasan utama makhluk.
Khandhasaṃyutta menekankan dalam berbagai cara bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah dukkha, penderitaan, suatu hal yang jelas telah disampaikan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertama- Nya ketika Beliau mengatakan, “Singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan” (56:11). Kelompok-kelompok unsur itu adalah penderitaan karena cenderung mengalami penderitaan dan tidak menuruti keinginan kita (22:59); karena kemelekatan padanya mengarah pada dukacita, ratapan, kesakitan, ketidaksenangan, dan keputusasaan (22:1); karena perubahannya menyebabkan ketakutan, kesusahan, dan kegelisahan (22:7). Lebih tepat lagi, kelima kelompok unsur kehidupan itu sendiri adalah penderitaan karena tidak kekal (22:15) dan dengan demikian tidak akan pernah memenuhi harapan kita akan kebahagiaan dan keamanan sempurna. Walaupun kelompok-kelompok itu memberikan kesenangan dan kegembiraan, yang merupakan kepuasan (assāda), namun akhirnya kelompok-kelompok itu harus mengalami perubahan dan lenyap, dan ketidakstabilan ini adalah bahaya (ādīnava) yang terus- menerus tersembunyi di dalamnya (22:26). Walaupun kita biasanya menganggap bahwa kita mengendalikan kelompok-kelompok unsur itu, namun sesungguhnya kelompok-kelompok itu terus-menerus melahap kita, menjadikan kita sebagai korbannya yang malang (22:79). Mengidentifikasikan kita dengan kelompok-kelompok unsur tersebut dan mencari pemenuhan di dalamnya adalah bagaikan seseorang yang memperkerjakan seorang pembunuh berbahaya sebagai pelayannya hanya untuk membunuhnya (22:85).
Tabel 5: Kelima Kelompok unsur kehidupan menurut Sutta-sutta (Berdasarkan pada SN 22:56 dan 57)
Kelompok | Terdiri dari | Kondisi |
---|---|---|
Bentuk | 4 unsur utama dan bentuk yang diturunkan darinya | Makanan |
Perasaan | 6 kelompok perasaan: perasaa Yang muncul dari kontak melalui mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran | Kontak |
Persepsi | 6 kelompok persepsi: Persepsi bentuk, suara-suara, bau- bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiran | Kontak |
Bentukan-bentukan kehendak | 6 kelompok kehendak: kehendak sehubungan dengan bentuk, suara-suara, bau- bauan, rasa kecapan, sentuhan, dan fenomena pikiran | Kontak |
Kesadaran | 6 kelompok kesadaran: Kesadaran-mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan, dan kesadaran-pikiran | Nama-dan-bentuk |
Kelima kelompok unsur kehidupan adalah wilayah sasaran dari kekotoran yang mengikat makhluk-makhluk hidup pada lingkaran kelahiran, khususnya noda-noda (āsava) dan kemelekatan (upādāna). Apa pun di dunia ini yang dapat dilekati seseorang, adalah hanya bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran yang ia lekati (22:79). Karena alasan ini maka kelompok- kelompok unsur kehidupan yang membentuk pengalaman duniawi kita umumnya disebut dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan (pañcupādānakkhandha). Kemelekatan adalah salah satu mata rantai dari kemunculan bergantungan, mata rantai yang menuntun menuju produksi penjelmaan baru di masa depan. Dalam 22:5, kelima kelompok unsur kehidupan disambungkan pada paruh ke dua dari formula kemunculan bergantungan, dengan demikian mengungkapkan bagaimana kemelekatan pada kelima kelompok unsur ini membawa kepada kelahiran baru dan dengan demikian kemunculan kembali kelima kelompok unsur ini dalam kehidupan berikutnya. Sutta 22:54 mengatakan bahwa karena kemelekatan pada kelima kelompok unsur ini, maka kesadaran tumbuh dan berkembang dari kehidupan ke kehidupan; tetapi dengan hancurnya nafsu, maka kesadaran menjadi kehilangan penopang dan kemudian menjadi damai dan terbebaskan. Sutta ini menempatkan kesadaran pada tempat istimewa di antara kelima kelompok unsur, karena kesadaran berdiri dengan ditopang oleh kelompok-kelompok unsur lainnya dan lenyap serta menjalani kelahiran kembali dengan bergantung pada kelompok-kelompok lainnya itu. Pernyataan ini selaras dengan sutta-sutta lain tentang kemunculan bergantungan (seperti 12:12, 38, dan 64) yang memperlakukan kesadaran sebagai jalur atau kendaraan dari proses kelahiran kembali.
Kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan terjadi dalam dua cara utama, yang dapat kita sebut sebagai pengakuan dan identifikasi. Dalam kemelekatan pada kelompok-kelompok unsur, seseorang menggenggamnya dengan keinginan dan nafsu (chandarāga) dan beranggapan memilikinya, atau ia mengidentifikasikan dengannya, menganggapnya sebagai landasan bagi keangkuhan atau bagi pandangan-pandangan tentang dirinya yang sesungguhnya. Dalam sebuah frasa yang sering terdapat dalam Khandhasaṃyutta, kita cenderung menganggap kelompok-kelompok unsur itu sebagai, “ini milikku, ini aku, ini diriku” (etaṃ mama, eso ‘ham asmi, eso me attā). Di sini, gagasan “ini milikku” mewakili tindakan pengakuan, sebuah fungsi keinginan (taṇhā). Gagasan “ini aku” dan “ini diriku” mewakili dua jenis identifikasi, yang pertama menunjukkan keangkuhan (māna), dan yang ke dua menunjukkan pandangan-pandangan (diṭṭhī).
Untuk memutuskan pengakuan kita pada kelompok-kelompok unsur, Sang Buddha sering menganjurkan kita agar meninggalkan keinginan dan nafsu terhadapnya (22:137-45). Kadang-kadang Beliau memberitahu kita agar meninggalkan kelompok-kelompok itu sendiri, karena kelompok-kelompok itu adalah sepenuhnya asing bagi kita seperti halnya ranting dan dedaunan di Hutan Jeta (22:33-34). Tetapi untuk meninggalkan kemelekatan adalah sulit karena kemelekatan diperkuat oleh pandangan-pandangan, yang merasionalkan identifikasi kita dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan dengan demikian melengkapi kemelekatan dengan perisai perlindungan.
Jenis pandangan yang terletak di dasar dari segala penegasan diri disebut dengan pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhī). Semua pandangan diri diformulasikan dengan merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan apakah secara keseluruhan atau secara terpisah (22:47). Sutta-sutta sering menyebutkan dua puluh jenis pandangan identitas, yang diperoleh dengan menganggap diri seseorang sebagai satu dari empat hubungan dengan masing-masing dari lima kelompok unsur: apakah sebagai identik dengannya, sebagai memilikinya, sebagai mengandungnya, atau sebagai terkandung di dalamnya (22:1, 7, 47, 81, 82, dan seterusnya). Sang Buddha menggambarkan pandangan identitas sebagai tali pengikat yang mengikat kaum duniawi pada lingkaran kelahiran kembali, berputar dalam lingkaran bagaikan seekor anjing yang mengitari tiang (22:99, 117). Beliau juga menyebutkan pandangan identitas sebagai yang pertama dari sepuluh belenggu yang harus dilenyapkan dalam jalan menuju kebebasan. Cara yang paling umum yang digunakan sutta-sutta dalam membedakan antara “kaum duniawi yang tidak terlatih” (assutavā puthujjana) dan “siswa mulia yang terlatih” (sutavā ariyasāvaka) tepatnya adalah melalui pandangan identitas: kaum duniawi terus-menerus menganggap kelima kelompok unsur kehidupan sebagai diri atau perlengkapan diri; siswa mulia tidak pernah melakukan demikian, karena siswa demikian telah melihat dengan kebijaksanaan sifat tanpa-diri dari kelompok-kelompok unsur kehidupan (22:1, dan seterusnya).
Seperti yang didemonstrasikan oleh formula kemunculan bergantungan, kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan terutama dipelihara oleh kebodohan (avijja). Sehubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, kebodohan menenun jaring tiga kebodohan yang memberi makan pada keinginan dan nafsu. Tiga kebodohan ini, yang menerobos ke dalam pengenalan dalam berbagai tingkat, adalah gagasan-gagasan bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah kekal, sumber kebahagiaan yang sesungguhnya, dan suatu diri atau perlengkapan diri. Penawar yang diperlukan untuk mematahkan sihir kebodohan ini adalah kebijaksanaan (paññā) atau pengetahuan (vijjā), yang berarti mengetahui dan melihat kelima kelompok unsur kehidupan ini sebagaimana adanya: sebagai tidak kekal (anicca), sebagai penderitaan (dukkha), dan sebagai bukan-diri (anattā). Ini dikenal dalam tradisi Buddhis sebagai tiga karakteristik (tilakkhaṇa), dan dalam Khandhasaṃyutta ketiga ini diterapkan pada kelima kelompok unsur kehidupan dalam berbagai pola. Sutta-sutta yang membahas topik ini banyak diulang-ulang, tetapi pengulangan ini dirancang untuk memenuhi tujuan penting: untuk mengupas kebodohan akan kekekalan, kesenangan, dan diri yang membungkus kelima kelompok unsur kehidupan dan menjebak kita dalam rantai kemunculan bergantungan.
Mungkin inti asli dari Khandhasaṃyutta terletak pada sutta dasar pada 22:9-20, bersama dengan sutta dasar tambahan yang terdapat pada Kelompok Lima Puluh Terakhir. Sutta-sutta ini bukan dimaksudkan untuk dibaca sekadar untuk mengumpulkan informasi, namun untuk memberikan instruksi ringkas mengenai pengembangan pandangan terang (vipassanā-bhāvanā). Dibalik ucapan-ucapan berulang, yang kadang-kadang menjengkelkan pada awalnya, mata yang penuh perhatian dapat melihat variasi halus yang menyelaraskan keragaman dalam kapasitas intelektual dan kecenderungan dari orang yang akan dibimbing. Beberapa sutta yang terlihat seperti perenungan atas hanya salah satu dari tiga karakteristik saja sudah mencukupi untuk mencapai tujuan, walaupun naskah-naskah tafsiran memaksa bahwa semuanya harus direnungkan hingga tingkat tertentu. Ketika ketiga karakteristik terjalin rapat, formula paling umum di seluruh Nikāya adalah yang mengungkapkan hubungan internalnya. Formula ini, yang pertama kali dibabarkan dalam khotbah ke dua Sang Buddha di Bārāṇasī (22:59), menggunakan karakteristik ketidakkekalan untuk mengungkapkan karakteristik bukan-diri. Akan tetapi pendekatan apa pun yang dilakukan, semua penjelasan yang berbeda-beda dari ketiga karakteristik akhirnya menyatu pada lenyapnya kemelekatan dengan memperlihatkan, sehubungan dengan masing-masing kelompok unsur, “ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.” Pelajaran dari nasihat ini mengajarkan bahwa tidak ada gunanya mengakui apa pun, tidak ada gunanya mengidentifikasikan dengan apa pun, karena subjek pengakuan dan identifikasi, “diri” hanyalah sekadar bikinan pikiran konseptual yang ditenun dalam kegelapan kebodohan.
Sutta-sutta yang berbeda dalam Khandhasayutta membahas tentang tiga karakteristik dalam berbagai sinonim, dan menelusuri sepanjang bab ini adalah penting untuk mengenali karakteristik apa yang sedang dibicarakan. Dengan demikian pernyataan bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah “tidak-kekal, terkondisi, muncul bergantungan, tunduk pada kehancuran, kemusnahan, peluruhan, pelenyapan” (22:21) jelas menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menunjukkan karakteristik ketidakkekalan. Yang kurang jelas, sutta tentang kerentanan (22:32) dan dua tentang kemunculan, pelenyapan, dan perubahan (22:37, 38) juga melakukan hal yang sama. Sutta-sutta yang membicarakan tentang mengenali kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai tunduk pada kemunculan dan pelenyapannya juga mengajarkan perenungan ketidakkekalan (22:126-28). Sutta- sutta seperti tentang seseorang dengan bebannya (22:22), tentang kesengsaraan (22:31), dan tentang dilahap (22:79), menekankan pada perenungan penderitaan. Di antara banyak sutta yang secara langsung menjelaskan tentang bukan-diri, satu yang layak mendapatkan perhatian khusus adalah khotbah tentang gumpalan buih (22:95), dengan perumpaannya yang sangat mengena tentang sifat kosong dan tanpa inti dari kelompok-kelompok unsur kehidupan.
Selain ketiga karakteristik, Khandhasaṃyutta juga menggunakan pola lain sebagai penuntun bagi perenungan dan pemahaman. “Triad kepuasan” sering diaplikasikan pada kelompok-kelompok unsur (22:26, 107, 130), kadang-kadang diperluas menjadi sebuah pentad dengan menambahkan “asal-mula dan lenyapnya” (22:108, 132). Yang lainnya adalah pola empat-kebenaran: memahami tiap-tiap kelompok unsur kehidupan, asal mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya (22:56, 114). Gabungan tujuh diperoleh dengan menggabungkan pola empat-kebenaran dengan triad kepuasan (22:57). Dalam dua sutta (22:122, 123) Yang Mulia Sāriputta menyarankan sebuah skema tujuh cara memperhatikan kelompok-kelompok unsur kehidupan, yang diperoleh dengan membeda-bedakan berbagai aspek dari ketiga karakteristik. Metode perenungan ini, ia mengatakan, menuntun dari langkah pertama di sepanjang jalan meditasi menuju tingkat terakhir Kearahatan dan bahkan dapat disarankan kepada Arahanta.
Menurut formula umum yang terdapat pada sebagian besar sutta tentang ketiga karakteristik, pandangan terang ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan, sebagai tidak kekal, penderitaan, danbukan-diri menghasilkan kejijikan (nibbidā), kebosanan (virāga), dan kebebasan (vimutti). Kejijikan dijelaskan oleh komentar sebagai peralihan yang mendalam dari batin dari kehidupan terkondisi yang diikuti dengan tingkat yang lebih tinggi dari pandangan terang. Kebosanan adalah jalan lokuttara, khususnya jalan Kearahatan, yang melenyapkan jejak terakhir dari keinginan. Kebosanan memuncak pada kebebasan, terlepasnya batin dari kemelekatan dan noda-noda, dan kebebasan pada gilirannya dipastikan oleh “pengetahuan dan penglihatan akan kebebasan” yang mengikutinya, suatu pengetahuan peninjauan yang memastikan bahwa lingkaran kelahiran kembali telah dihentikan dan tidak ada lagi yang tersisa untuk dilakukan.
Khandhasaṃyutta menunjukkan bahwa lenyapnya kemelekatan terjadi dalam dua tahap berbeda. Yang pertama adalah lenyapnya kemelekatan jenis konseptual yang diungkapkan oleh pandangan salah, terutama pandangan identitas. Tahap pembebasan ini muncul dengan penembusan pada Dhamma, pencapaian tingkat memasuki- arus. Pada titik ini, siswa melihat sifat tanpa-diri dari kelompok- kelompok unsur kehidupan dan dengan demikian mengatasi segala pandangan diri. Untuk alasan ini, penanda “siswa mulia yang terlatih,” seseorang yang telah melakukan penembusan, adalah lenyapnya segala jenis pandangan identitas. Akan tetapi, para siswa yang sedang berada dalam tahap berlatih (sekha), bahkan mereka yang berada dalam tingkat tertinggi ke dua yang-tidak-kembali, masih terdapat gagasan halus “aku” yang terus-menerus melekat pada kelima kelompok unsur kehidupan bagaikan aroma sabun yang tertinggal pada pakaian yang baru dicuci. Ini dikatakan sebagai “sisa keangkuhan ‘aku,’ keinginan ‘aku,’ kecenderungan tersembunyi ‘aku’” (22:89). Akan tetapi, ketika siswa mulia melanjutkan merenungkan muncul dan lenyapnya kelompok-kelompok unsur itu, pada waktunya bahkan gagasan sisa “aku” ini menjadi lenyap. Hanya Arahanta yang telah sepenuhnya memahami kelima kelompok unsur kehidupan hingga ke akarnya dan dengan demikian telah melenyapkan kecenderungan tersembunyi yang paling halus pada penegasan-diri.
Di tempat lainnya dalam Khandhasaṃyutta, perbedaan antara yang-masih-berlatih dan Arahanta ditarik dalam hal lain, berdasarkan pada prinsip yang sama tetapi diungkapkan dengan cara yang berbeda. Sutta 22:56 menjelaskan bahwa yang-masih-berlatih telah mengetahui secara langsung kelima kelompok unsur kehidupan melalui pola empat-kebenaran dan berlatih demi peluruhan dan lenyapnya; karena itu mereka “telah memperoleh pijakan kaki dalam Dhamma dan Disiplin ini.” Para Arahanta juga telah mengetahui secara langsung kelima kelompok unsur kehidupan melalui pola empat-kebenaran, tetapi mereka telah mencabut segala kemelekatan pada kelompok- kelompok unsur itu dan terbebaskan melalui ketidakmelekatan; karena itu mereka disebut Yang Sempurna yang mana “tidak ada lingkaran untuk menggambarkan mereka” (baca juga 22:57, yang mengembangkan bidang pengetahuan langsung menjadi tujuh pola). Sementara pengetahuan langsung (abhiññā) akan kelompok-kelompok unsur dimiliki oleh baik yang-masih-berlatih maupun para Arahanta, hanya para Arahanta yang memiliki pengetahuan penuh (pariññā) akan kelompok-kelompok unsur kehidupan, karena pemahaman penuh menyiratkan hancurnya nafsu, kebencian, dan kebodohan (22:106; baca juga 22:23). Pada 22:79 yang-masih-berlatih digambarkan sebagai seorang yang meninggalkan kelima kelompok unsur kehidupan dan tidak melekat padanya. Sebaliknya, Arahanta adalah seorang yang bukan meninggalkan juga bukan melekati, melainkan “berdiam setelah meninggalkan.”Dan pada 22:109-10, pemasuk-arus didefinisikan sebagai seorang yang memahami kelima kelompok unsur kehidupan melalui asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri, sedangkan Arahanta adalah seorang yang, setelah memahami kelompok-kelompok unsur kehidupan demikian, terbebaskan melalui ketidakmelekatan. Demikianlah paragraf ini menunjukkan perbedaan penting antara yang-masih-berlatih dan Arahanta yang terdapat dalam sejauh apa mereka telah mengembangkan pengetahuan pembebasan. Yang-masih-berlatih telah sampai pada pengetahuan ini dan karenanya melenyapkan jenis eksplisit kebodohan secara konseptual yang mengkristal dalam pandangan salah, tetapi ia belum sepenuhnya menggunakannya untuk melenyapkan jenis kebodohan yang berwarna emosi yang bermanifestasi sebagai kemelekatan. Arahanta telah menguasai pengetahuan ini dan telah mengembangkannya sepenuhnya, sehingga dalam batinnya segala kekotoran bersama dengan bayangan kebodohan yang paling halus dilenyapkan. Yang-masih-berlatih dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berjalan di sepanjang jalan pegunungan yang sekilas melihat kota megah tetapi masih harus melewati beberapa gunung lagi untuk mencapai tujuannya. Arahanta diumpamakan sebagai seseorang yang telah sampai di kota dan sekarang berdiam dengan nyaman di kota itu.
Di bawah pengulangan dan penggandaan formula dasar, Khandhasaṃyutta adalah suatu kompilasi naskah yang kaya, dan tidak mungkin pendahuluan singkat dapat mencakup semua topik yang dibahas. Akan tetapi, yang secara khusus harus disebutkan adalah Theravagga, vagga ke empat, tentang para bhikkhu senior. Di sini kita menemukan kisah Ānanda ketika menembus Dhamma saat mendengarkan khotbah tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan (22:83); bantahan Sāriputta terhadap interpretasi nihilis dari Nibbāna (22:85); kisah Vakkali, yang mencapai Nibbāna akhir ketika bunuh diri (22:87); Khemaka Sutta, tentang perbedaan antara yang-masih- berlatih dan Arahanta (22:89); dan kisah kekeras-kepalaan Bhikkhu Channa yang perubahan batinnya terbukti sangat bermanfaat (22:90).
Saṃyutta ini sebenarnya adalah tambahan dari Khandhasaṃyutta karena membahas seputar kelima kelompok unsur kehidupan, tetapi memiliki kesamaan internal yang jelas dalam hal bahwa sutta-sutta ini dibabarkan kepada seorang bhikkhu bernama Rādha. Menurut komentar, Sang Buddha sering berdiskusi dengan bhikkhu ini tentang hal-hal yang halus dan mendalam. Saṃyutta ini terdiri dari empat vagga dengan total empat puluh enam sutta, semuanya berhubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan. Sutta 23:4-10 memiliki sutta imbangan yang persis sama dalam Khandhasaṃyutta. Isi dari vagga ke dua dan ke tiga sangat bertumpang tindih, sedangkan vagga ke tiga dan ke empat adalah identik dengan pengecualian situasi penyampaiannya.
Saṃyutta ini juga adalah penambahan dari Khandhasaṃyutta, perluasan dari vagga terakhir, yang disebut Diṭṭhivagga dan membahas pandangan-pandangan. Akan tetapi, sementara Diṭṭhivagga menitikberatkan hanya pada beberapa pandangan dasar, di sini dilakukan suatu usaha untuk mencakup pembahasan yang lebih luas. Tujuan dari bab ini adalah untuk menunjukkan, dari berbagai sudut, bagaimana semua pandangan ini berasal-mula dari kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan.
Pandangan-pandangan ini jatuh ke dalam beberapa kelompok berbeda: pertama adalah suatu filosofi aneh, yang tidak terdapat dalam Nikāya manapun, tetapi jelas merupakan suatu spesies eternalisme; kemudian muncul beberapa pandangan yang cukup akrab – pandangan “ini milikku,” dan seterusnya, eternalisme, dan nihilisme (24:2-4). Ini diikuti dengan empat teori filosofis yang diajarkan pada masa Sang Buddha, yang semuanya dicela oleh Beliau sebagai merusak moral (24:5-8); dan berikutnya adalah sepuluh pandangan spekulatif yang secara konsisten ditolak oleh Sang Buddha sebagai tidak benar (24:9- 18). Dimulai dari vagga ke dua, delapan belas pandangan tambahan diperkenalkan, semuanya berhubungan dengan sifat diri setelah kematian (24:19-36). Tidak jelasa mengapa pandangan-pandangan ini tidak dimasukkan ke dalam vagga pertama, karena seharusnya dapat dimasukkan ke dalam sana tanpa kesulitan.
Saṃyutta ini terdiri dari empat vagga, yang berpusat pada koleksi pandangan-pandangan yang sama, kecuali bahwa vagga pertama tidak memiliki delapan belas pandangan diri. Tiap-tiap modus perlakuan dalam ke empat vagga disebut “perjalanan” (gamana), walaupun kata ini hanya muncul dari vagga ke dua dan seterusnya. Sutta-sutta pada perjalanan pertama mendefinisikan tanda pemasuk-arus sebagai mengatasi kebingungan (kaṅkhā) sehubungan dengan enam hal – yaitu, munculnya pandangan-pandangan dari kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan dan empat jenis objek indria (empat dihitung sebagai satu), yang adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan – dan mengatasi kebingungan sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Yang ke dua menunjukkan bahwa karena kelima kelompok unsur kehidupan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan, maka pandangan-pandangan muncul karena kemelekatan dan keterikatan pada penderitaan. Ke tiga memasukkan pengulangan bahwa pandangan-pandangan muncul karena kemelekatan pada kelima kelompok unsur kehidupan, yang adalah penderitaan karena tidak kekal. Ke empat menerapkan tanya jawab, “apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?” pada kelima kelompok unsur kehidupan untuk mengungkapkan sifatnya yang bukan-diri, menunjukkan bagaimana kebebasan muncul melalui pemahaman ketanpa-dirian kelompok-kelompok unsur itu.
Ketiga saṃyutta ini dapat dibahas bersama-sama, karena masing-masingnya dibangun di atas dasar yang sama, hanya berbeda dalam cara penggunaan materi ini untuk membahas topik-topik yang berbeda. Dasar dimana saṃyutta-saṃyutta ini dibangun adalah sepuluh skema pengelompokan faktor-faktor pengalaman yang telah ditemukan dalam Rāhulasaṃyutta (18): enam landasan indria internal; enam landaasn indria eksternal; enam kelompok untuk masing-masing kesadaran, kontak, perasaan, persepsi, kehendak, dan keinginan; enam unsur; dan lima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah masing- masing saṃyutta terdiri dari sepuluh sutta, satu untuk masing-masing kelompok.
Sehubungan dengan sepuluh kelompok ini, Okkantisaṃyutta membedakan antara dua jenis individu yang memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammattaniyāma), yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan transenden, jalan memasuki-arus. Perbedaan antaranya ditentukan oleh indria yang dominan. Seorang yang menekankan keyakinan berketetapan (adhimuccati) pada ketidakkekalan faktor-faktor dalam sepuluh kelompok; individu jenis ini disebut pengikut-keyakinan (saddhānusārī). Seorang yang menekankan kebijaksanaan memperoleh pemahaman ketidakkekalan faktor-faktor dalam sepuluh kelompok; individu jenis ini disebut pengikut-Dhamma (dhammānusārī). Keduanya dikatakan tidak akan meninggal dunia tanpa mencapai buah memasuki- arus. Terlepas dari perbedaan cara memasuki sang jalan ini, ketika mereka mengetahui dan melihat kebenaran ajaran oleh diri sendiri, maka mereka menjadi Pemasuk-arus. Saṃyutta ini tidak membedakan karakter mereka sebagai Pemasuk-arus, tetapi di tempat lain (MN I 478) ditunjukkan bahwa Pemasuk-arus yang menonjolkan keyakinan disebut “terbebaskan melalui keyakinan” (saddhāvimutta) sedangkan seorang yang menonjolkan kebijaksanaan disebut “tercapai melalui pandangan” (diṭṭhippatta). Kelompok ke tiga, tanpa imbangannya di antara para pencapai-jalan, adalah seseorang yang mencapai meditasi tanpa bentuk; jenis ini dikenal sebagai “pengamat-jasmani” (kāyasakkhi).
Yang Mulia Sāriputta adalah siswa terunggul Sang Buddha dalam hal kebijaksanaan, tetapi di sini ia digambarkan sebagai seorang yang mahir dalam hal meditasi juga. Sembilan sutta pertama dari saṃyutta ini disusun dari formula satu sudut pandang yang mana Sariputta menjelaskan bagaimana ia masuk dan keluar dari Sembilan pencapaian meditatif tanpa memunculkan pikiran penegasan-ego. Setiap kali jawabannya disetujui oleh Ānanda. Dalam sutta ke sepuluh Sāriputta menjawab beberapa pertanyaan provokatif dari seorang pengembara perempuan dan jawabannya disetujui oleh sang pengembara.
Empat saṃyutta ini dapat dibahas secara bersamaan, karena membahas kelompok makhluk tertentu yang, dari sudut pandang modern, dianggap sebagai mitologis. Dalam masing-masingnya, Sang Buddha menguraikan spesies berbeda yang padanya kelompok tersebut dibagi dan perjalanan kamma yang mengarah menuju kelahiran kembali dalam alam kehidupan makhluk tersebut. Dengan menghitung secara terpisah masing-masing jenis pemberian yang diberikan oleh seseorang yang ingin terlahir kembali di alam-alam itu, dan menghubungkannya dengan sub-kelompok di antara makhluk-makhluk tersebut, maka dihasilkan sejumlah besar sutta-sutta pendek.
Nāga adalah naga, makhluk yang menyerupai ular besar, perkasa dan misterius, diyakini menetap di pegunungan Himalaya, di bawah tanah, dan di kedalaman samudera. Mereka sering dianggap mampu mengambil harta tersembunyi dan memiliki kemampuan memenuhi keinginan manusia yang membantunya. Mereka juga muncul di atas tanah dan berwujud manusia, walaupun hanya sementara. Vinaya Piṭaka bahkan menceritakan kisah nāga yang menerima penahbisan sebagai seorang bhikkhu namun dipaksa untuk melepaskan status monastiknya; sebagai akibatnya, setiap calon bhikkhu harus menegaskan, di depan Saṅgha, bahwa ia adalah seorang manusia (dan bukan nāga dalam samaran; baca Vin I 86-87). Supaṇṇa, identik dengan garuḍa, adalah musuh utama mereka: burung pemangsa yang galak yang menyambar nāga yang tidak waspada, membawa mereka, dan melahap mereka. Gandhabba lebih ramah: walaupun kadang-kadang digambarkan sebagai musisi surgawi, di sini mereka jelas adalah para dewa pohon. Mereka sering diidentifikasikan sebagai makhluk pohon harum karena gandha berarti harum. Identitas valāhaka atau para deva penghuni awan cukup jelas dari penjelasan yang diberikan dalam naskah.
Makhluk-makhluk ini tidak cocok untuk masuk ke dalam skema kosmologi yang dijelaskan dalam Pendahuluan Bab I. Nāga dan gandhabba dikatakan diperintah oleh dua dari Empat Raja Dewa yang menghuni alam surga Empat Raja Dewa, walaupun di sini mereka digambarkan tidak mungkin menghuni alam surga. Sebaliknya, semua makhluk ini sepertinya menghuni suatu wilayah di antara alam manusia dan alam surga terendah, makhluk-makhluk suram yang digambarkan dengan seragam dalam berbagai mitologi dari kebudayaan yang berbeda.
Vacchagotta adalah seorang pengembara yang sering mendatangi Sang Buddha untuk mengajukan pertanyaan, hamper selalu bercorak filosofis. Akhirnya setelah teryakinkan, ia menjadi seorang bhikkhu dan mencapai Kearahatan (baca MN No.71-73).
Saṃyutta ini menceritakan kisahnya selama tahapannya sebagai penanya. Saṃyutta ini terdiri dari lima puluh lima bab, terbagi dalam vagga-vagga, disusun menurut proses permutasi. Dalam lima sutta pertama, dalam menjawab pertanyaan Vaccha, Sang Buddha menjelaskan mengapa sepuluh pandangan spekulatif muncul di dunia ini, yaitu, karena tidak mengetahui kelompok-kelompok unsur kehidupan. Masing-masing sutta membahas kelompok unsur yang berbeda, yang diperlakukan menurut pola empat-kebenaran; dengan demikian terdapat lima sutta. Lima puluh sutta lainnya disusun dengan mengambil sepuluh sinonim karena tidak mengetahui – yaitu, tidak melihat, dan seterusnya – dan menjelaskan kelima kelompok unsur kehidupan secara terpisah dengan cara yang persis sama.
Saṃyutta ini membahas jenis-jenis keterampilan yang diperlukan agar berhasil dalam mencapai konsentrasi (samādhi). Terlepas dari judulnya, saṃyutta ini tidak membahas jhāna secara eksplisit sebagai kondisi-kondisi meditasi melainkan membahas proses meditasi. Jhānasaṃyutta yang sebenarnya, yang membahas jhāna-jhāna, terdapat pada Bagian V. mungkin dalam satu hal bab ini disebut Jhānasaṃyutta, yang sepertinya memang selayaknya. Saṃyutta ini menjelajahi sepuluh keterampilan meditatif dalam kombinasi berpasangan. Masing-masing pasang terhubung dengan empat jenis meditator: seorang yang memiliki satu keterampilan namun tidak memiliki lainnya, seorang yang tidak memiliki keterampilan sama sekali, dan seorang yang memiliki keduanya. Dalam masing-masing kasus, yang terakhir dalam tetrad dipuji sebagai yang terbaik. Dengan cara inilah lima puluh lima sutta tersusun mencakup semua permutasi yang mungkin.
Saḷāyatanavagga, Buku tentang Enam Landasan Indria, adalah kumpulan besar ke tiga dari khotbah berkelompok yang memiliki orientasi filosofis. Seperti halnya dua pendahulunya, Vagga ini juga didominasi oleh bab pertama, Saḷāyatanasaṃyutta, yang terdiri dari 208 halaman dari 403 halaman dalam edisi PTS. Pendamping juniornya adalah Vedanāsaṃyutta, yang membahas tema lain Ajaran Sang Buddha yang berhubungan dekat, yaitu perasaan. Perasaan berperan penting karena berfungsi sebagai kondisi utama, dalam doktrin kemunculan bergantungan, untuk munculnya keinginan. Perasaan juga mendapat tempat dalam empat penegakan perhatian, yang dijelaskan dalam Bagian V, dan dengan demikian menghubungkan teori dengan praktik. Saṁyutta lainnya dalam buku ini tidak berhubungan erat dengan kedua tema utama ini, namun mencakup berbagai topik yang berkisar dari kelemahan dan keunggulan perempuan hingga sifat ketidakterkondisian.
Saḷāyatanasaṃyutta merangkum berbagai teks yang membahas enam landasan indria internal dan eksternal. Walaupun kebanyakan darinya sangat pendek, beberapa di antaranya, khususnya menjelang bagian akhir, cenderung mendekati khotbah-khotbah pendek yang terdapat dalam Majjhima Nikāya. Untuk menata begitu banyak sutta ke dalam format yang memudahkan, saṃyutta ini dibagi menjadi empat paṭṭasaka, kelompok lima puluh. Sementara tiga kelompok lima puluh yang pertama masing-masing terdiri dari kurang lebih lima puluh sutta, kelompok lima puluh ke empat terdiri dari sembilam puluh tiga sutta, termasuk satu vagga (di antara empat) yang terdiri dari enam puluh sutta! Ini adalah “rangkaian pengulangan enam puluh,” sebuah kompilasi enam puluh sutta yang sangat pendek yang dikelompokkan dalam kelompok-kelompok tiga. Jika masing-masing kelompok tiga dijadikan satu sutta, seperti yang dilakukan Feer dalam Ee, maka kita akan memperoleh vagga yang terdiri dari dua puluh sutta, jumlah yang dihitung oleh Feer. Tetapi Be dan Se, yang juga diikuti di sini, menghitung kelompok tiga itu sebagai tiga sutta berbeda, dengan demikian menghasilkan enam puluh sutta, jumlah total yang didukung oleh judul vagga. Pada prinsipnya sehubungan dengan perbedaan dalam perlakuan rangkaian pengulangan ini, Ee memiliki jumlah total 207 sutta sedangkan terjemahan ini memiliki 248; perbedaan tambahan satu adalah karena Feer menggabungkan dua sutta yang jelas seharusnya dipisah.
Pada pertimbangan pertama, sepertinya enam landasan indria internal dan eksternal harus dipahami hanya sebagai enam organ indria dan objeknya, dengan istilah āyatana, landasan, dengan makna asal-mula atau sumber. Walaupun banyak sutta mendukung anggapan ini, tradisi penafsiran Theravāda, yang telah dimulai sejak periode Abhidhamma, memahami enam pasang landasan sebagai skema lengkap pengelompokan yang mampu mengakomodasi seluruh faktor kehidupan yang disebutkan dalam Nikāya. Gagasan enam landasan ini mungkin bermula dari Sabba Sutta (35:23), dimana Sang Buddha mengatakan bahwa enam pasang landasan adalah “seluruhnya” terlepas dari dan sama sekali tidak ada yang ada. Agar enam landasan mampu secara literal mencakup segalanya, Vibhaṅga dari Abhidhamma Piṭaka mendefinisikan landasan pikiran (manāyatana) sebagai mencakup semua kelompok kesadaran, dan landasan fenomena pikiran (dhammāyatana) sebagai mencakup tiga kelompok unsur batin lainnya, jenis bentuk halus yang tidak sensitif, dan bahkan unsur tidak terkondisi, Nibbāna (baca Vibh 70-73).
Dilihat dari sudut ini, enam landasan indria internal dan ekster-nal menawarkan alteratif bagi kelima kelompok unsur kehidupan sebagai skema pengelompokan fenomena logis. Hubungan antara kedua skema mungkin terlihat sebagai secara kasar sejalan dengan hubungan antara persilangan suatu organ secara horizontal dan vertikal, dengan analisis melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan yang bersesuaian dengan irisan horizontal, analisis melalui enam landasan indria bersesuaian dengan irisan vertikal (baca Tabel 6). Demikianlah, kita diberitahu, pada saat pengenalan visual, kesadaran-mata muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk, pertemuan ketiga ini adalah kontak; dan dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah perasaan, persepsi, dan kehendak. Melihat pengalaman ini “secara vertikal” melalui landasan-landasan indria, mata dan bentuk-bentuk terlihat masing-masing adalah landasan terpisah, berturut-turut landasan mata dan landasan bentuk; kesadaran-mata adalah bagian dari landasan-pikiran; dan kontak-mata, perasaan, persepsi, dan kehendak semuanya adalah bagian dari landasan fenomena-pikiran. Kemudian, dengan menggunakan pisau bedah pikiran untuk memotong “secara horizontal” pada saat pengenalan-visual, kita dapat bertanya apakah yang ada dari kelompok unsur bentuk? Mata dan bentuk terlihat (dan badan sebagai landasan fisik dari kesadaran). Apakah yang dari kelompok unsur perasaan? Perasaan yang muncul dari kontak-mata? Apakah yang dari kelompok unsur persepsi? Persepsi dari bentuk terlihat. Apakah yang dari kelompk unsur bentukan-bentukan kehendak? Kehendak sehubungan dengan bentuk. Dan apakah yang dari kelompok unsur kesadaran? Suatu tindakan kesadaran-mata.
Anehnya, walaupun beberapa hubungan antara kelompok-kelompok unsur kehidupan dengan landasan-landasan indria, seperti bagan di atas, telah disarankan oleh paling sedikit dua sutta (35:93, 121), namun Nikāya tidak secara eksplisit menghubungkan kedua skema. Hubungan yang nyata dimulai dengan Abhidhamma Piṭaka, khususnya pada bagian pembukaan Dhātukathā, yang mencerminkan usaha komunitas Buddhis awal untuk menggabungkan skema sutta yang lebih pragmatis ke dalam suatu sistem tunggal yang mencakup semuanya yang ditempatkan pada setiap unsur pada tempat yang didefisnisikan secara tepat.
Namun demikian, walaupun perlakukan landasan-landasan india ini berakar dari periode awal, Nikāya sendiri biasanya menyajikan enam pasang landasan indria bukan sebagai skema fenomena logis yang lengkap tetapi sebagai titik awal bagi kejadian pengenalan. Sering kali, karena peranannya sebagai perantara antara kesadaran dan objeknya, landasan-landasan internal dikatakan sebagai “landasan-landasan kontak” (phassāyatana). Jika interpretasi ini diadopsi, maka pikiran (mano), landasan bagi munculnya kesadaran-pikiran (manoviññāṇa), mungkin menunjukkan aliran pasif pikiran yang darinya pengenalan aktif muncul, dan dhamma menunjukkan objek kesadaran non-indriawi yang dikenali melalui introspeksi, imajinasi, dan refleksi.
Tabel 6: Kelompok-kelompok Unsur Kehidupan dan Landasan-landasan indria Pada saat Pengenalan Visual
Kelompok | Pengenalan Visual | Landasan Indria |
---|---|---|
Bentuk | Mata Bentuk | Landasan Mata Landasan Bentuk |
Kesadaran | Kesadaran-mata | Kesadaran pikiran |
(Bentukan kehendak) | Kontak-mata | Landasan fenomena pikiran |
Perasaan | Perasaan yang muncul dari kontak mata | Landasan fenomena pikiran |
Persepsi | Persepsi bentuk | Landasan fenomena pikiran |
Bentukan kehendak | Kehendak sehubungan dengan bentuk | Landasan fenomena pikiran |
Catatan: Kontak (phassa) dikelompokkan dalam kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak dalam Abhidhamma dan Komentar, walaupun dalam Nikāya tidak secara eksplisit ditempatkan di antara kelima kelompok unsur kehidupan. |
Seperti halnya dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, demikian pula dengan landasan-landasan indria, yang menyangkut pengelompokan dan interaksi yang diatur bukan melalui minat dalam teori semata melainkan melalui dorongan praktik atas jalan Buddha yang ditujukan pada kebebasan dari penderitaan. Landasan-landasan indria adalah penting secara kritis karena dengan melaluinyalah penderitaan muncul (35:106). Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa kehidupan suci dijalani di bawah Sang Buddha untuk sepenuhnya memahami penderitaan, dan jika orang lain menanyakan apakah penderitaan yang harus dipahami sepenuhnya, jawaban yang benar adalah mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, dan seterusnya, dan segala fenomena yang diturunkan darinya, adalah penderitaan yang harus dipahami sepenuhnya (35:81, 152).
Fokus pragmatis utama sehubungan dengan landasan-landasan indria ini adalah lenyapnya kemelekatan, karena seperti halnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria juga berfungsi sebagai tanah di mana kemelekatan berakar dan tumbuh. Karena kemelekatan berasal-mula dari kebodohan dan keinginan, dan karena kebodohan memelihara kemelekatan dengan menenun jaring tiga kebodohan – kekekalan, kebahagiaan dan diri – kita menemukan dalam Saḷāyatanasaṃyuta hampir semua pola yang dikenal digunakan dalam Khandhasaṃyutta; sesungguhnya, sering kali, pola-pola ini di sini diterapkan dua kali untuk membentuk sutta paralel bagi landasan-landasan indria internal dan eksternal. Demikianlah, untuk melenyapkan kebodohan dan menghasilkan pengetahuan sejati, kita berulang-ulang mendengarkan melodi yang sama, dalam nada dasar yang sedikit berbeda, mengingatkan kita bahwa landasan-landasan indria dan turunannya adalah tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri; bahwa kita harus melihat kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan landasan-landasan indria; bahwa kita harus meninggalkan keinginan dan nafsu terhadap landasan-landasan indria.
Akan tetapi, terlepas dari area luas dari pertemuan antara kedua saṃyutta, Saḷāyatanasaṃyutta memperkenalkan beberapa sudut pandang baru yang berhubungan dengan landasan-landasan indria tetapi tidak memiliki paralel yang persis sehubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan. Demikianlah saṃyutta ini memasukkan rangkaian panjang dua puluh sutta yang mengungkap cacat dalam kehidupan yang terkondisi, dirangkum di bawah judul “seluruhnya.” Seluruhnya, dikatakan, tunduk pada kelahiran, penuaan, penyakit, kematian, dan seterusnya, dan seluruhnya itu bukan lain adalah landasan-landasan indria dan proses batin yang muncul darinya (35:33-42). Beberapa sutta dalam bab ini mengidentifikasikan enam landasan indria dengan dunia, karena dunia (loka) adalah apa saja yang hancur (lujjati), dan karena dalam Disiplin Yang Mulia dunia dipahami sebagai “bahwa di dunia yang mana seseorang adalah yang melihat dan yang menganggap dunia” (35:82, 84, 116). Dalam satu sutta pertanyaan diajukan mengapa dunia dikatakan sebagai kosong (suṭṭa), dan jawaban yang diberikan adalah karena enam landasan indria adalah kosong dari diri dan apa yang menjadi milik diri (35:85). Tidak ada paralel atas khotbah-khotbah ini ditemukan dalam Khandhasaṃyutta. Saṃyutta ini juga menggambarkan keenam landasan indria internal sebagai “kamma lampau” (35:146), yang tidak dapat dikatakan secara langsung demikian sehubungan dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, karena terdiri dari kamma aktif dan tahap akibat dari pengalaman. Kita lebih jauh lagi menemukan di sini penekanan yang lebih tegas pada “menganggap” (maṭṭita), pengenalan terdistorsi yang dipengaruhi oleh keinginan, keangkuhan, dan pandangan-pandangan, dengan beberapa khotbah yang membahas tentang metode perenungan untuk mencabut segala anggapan (35:30-32, 90-91). Keseluruhan saṃyutta berakhir dengan khotbah penting yang mana Sang Buddha mendorong para bhikkhu untuk mencabut anggapan dalam segala samarannya (35:248).
Walaupun Kelompok-kelompok unsur kehidupan dan landasan-landasan indria secara bersama-sama berfungsi sebagai wilayah bagi keinginan dan pandangan-pandangan salah, sebuah perbedaan yang ditekankan dapat dilihat dalam cara kedua saṃyutta menghubungkan kedua kekotoran ini pada wilayahnya masing-masing. Khandhasaṃyutta secara konsisten memperlakukan kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai rujukan objektif dari pandangan-diri (sakkāyadiṭṭhi), pandangan-pandangan yang memberikan pendukung pada gagasan diri. Ketka puthujjana atau “kaum duniawi” membicarakan tentang pandangan terhadap identitasnya, ia selalu melakukannya sehubungan dengan kelima kelompok unsur ini. Kita tidak menemukan teks paralel yang mengungkapkan pandangan identitas sehubungan dengan landasan-landasan indria. Perbedaan yang ditekankan ini dapat dimengerti jika kita menyadari bahwa skema kelompok-kelompok unsur kehidupan menjangkau cakupan kategori yang lebih luas dari pada landasan-landasan indria itu sendiri dan oleh karena itu menawarkan pada kaum duniawi lebih banyak variasi untuk dipilih ketika mencoba untuk memberikan makna pada gagasan “diriku.” Ini, harus ditekankan, menunjukkan suatu perbedaan dalam penekanan, bukan suatu perbedaan doktrinal yang mendasar, karena landasan-landasan indria dpat dicengkeram dengan gagasan “ini milikku, ini aku, ini diriku” sekuat yang dapat dipertahankan oleh kelompok-kelompok unsur kehidupan. Dengan demikian kita bahkan menemukan serangkaian tiga sutta yang menyebutkan bahwa merenungkan landasan-landasan indria sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri akan menuntun berturut-tururt menuju ditinggalkannya pandangan salah, pandangan identitas, dan pandangan diri (35:165-67). Akan tetapi, sebagai aturan umum, landasan-landasan indria tidak diambil untuk penjelasan tematik atas pandangan salah seperti halya lima kelompok unsur kehidupan, yang tentu saja penting. Kita juga melihat bahwa keseluruhan Diṭṭhisaṃyutta, mengenai keragaman pandangan-pandangan, melacak seluruh pandangan ini berawal pada kesalahpahaman atas kelompok-kelompok unsur kehidupan, bukan atas landasan-landasan indria.
Sehubungan dengan landasan-landasan indria ketertarikan pada pandangan-pandangan mundur ke latar belakang, dan sebuah tema baru maju ke tengah panggung: kebutuhan untuk mengendalikan dan menguasai indria-indria. Adalah organ-organ indria yang memberikan akses pada fenoena-fenomena yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dari dunia, dan adalah spontanitas kita, respon impulsif pada fenomena-fenomena ini yang menanam benih begitu banyak penderitaan. Di dalam pikiran yang tidak terlatih nafsu, kebencian, dan kebodohan, ketiga akar kejahatan, selalu bersembunyi dan dengan kebodohan menghalangi sifat sejati segala sesuatu, objek-objek menyenangkan memancing nafsu dan keserakahan, objek-objek tidak menyenangkan memancing kebencian dan ketidaksenangan. Reaksi spontan ini membanjiri pikiran dan menuntut persetujuan kita. Jika kita tidak waspada maka kita dapat menyerbu dalam mengejar kepuasan, melupakan fakta bahwa buah kenikmatan indria adalah penderitaan (baca 35:94-98).
Untuk menanamkan pengendalian indria, Saḷāyatanasaṃyutta secara konstan menggunakan dua formula. Satu adalah penggambaran umum pengendalian indria (indriyasaṃvara) biasanya tergabung dalam urutan latihan bertahap, yang umum dalam Dīgha Nikāya (misalnya, pada 170) dan Majjhima Nikāya (misalnya, pada I 180-81). Formula ini menginstruksikan praktik pengendalian indria untuk menjauhi “kondisi-kondisi ketamakan dan ketidaksenangan yang tidak bermanfaat” agar tidak menguasai pikiran. Dalam bab ini muncul pada 35:120, 127, 239, 240, dan di tempat-tempat lain. Formula ke dua mengajukan perlawanan antara seorang yang “menyukai bentuk yang menyenangkan dan menolak bentuk yang tidak menyenangkan” dan seorang yang tidak terpengaruh oleh pasangan berlawanan ini. Seorang yang tidak terpengaruh oleh pasangan berlawanan ini telah menegakkan perhatian pada jasmani, berdiam dengan pikiran tanpa batas, dan memahami “kebebasan batin, kebebasan melalui kebijaksanaan” di mana kondisi-kondisi jahat nafsu dan ketidaksenangan lenyap tanpa sisa. Formula ini terdapat pada 35:132, 243, 244, dan 247. Walaupun tidak ada alokasi doktrinal eksplisit untuk ke dua formula ini, namun sepertinya yang pertama ditujukan secara umum untuk seorang bhikkhu pada tahap awal latihan, sedangkan yang ke dua ditujukan sebagai pengendalian indria seorang yang masih berlatih (sekha), seorang yang minimal pada tingkat pemasuk-arus, mungkin juga sifat alami pengendalian indria Arahanta.
Praktik pengendalian indria adalah penting dalam latihan Buddhis, bukan hanya untuk menghindari tekanan batin yang terprovokasi di sana-sini oleh keterikatan dan ketidaksenangan, melainkan untuk alasan yang lebih dalam yang berhubungan dengan tujuan tertinggi Dhamma. Doktrin kemunculan bergantungan mengungkapkan bahwa keinginan mendorong penyebab penderitaan, dan keinginan muncul dengan perasaan sebagai penyebab langsungnya. Perasaan muncul pada enam landasan indria, sebagai perasaan menyenangkan, menyakitkan, dan netral, dan melalui respon tidak bermanfaat atas perasaan-perasaan ini kita memelihara keinginan yang mencengkeram kita dalam belenggu. Untuk memperoleh pembebasan sepenuhnya dari penderitaan, keinginan harus dikurung dan dilenyapkan, dan dengan demikian pengendalian indria menjadi bagian integral dari disiplin yang ditujukan pada pelenyapan keinginan.
Juga ada sisi kognitif pada ajaran tentang pengendalian indria. Keinginan dan kekotoran lainnya muncul dan berkembang karena pikiran menangkap “gambaran-gambaran” (nimitta) dan “ciri-ciri” (anubyaṭjana) objek indriawi dan menggunakannya sebagai bahan baku untuk menciptakan bentuk-bentuk imaginatif, yang membuatnya melekat sebagai landasan untuk keamanan. Proses ini disebut pertumbuhan pikiran (papaṭca), secara efektif bersinonim dengan anggapan (maṭṭanā). Konstruksi ini, diciptakan di bawah pengaruh kekotoran, pada gilirannya berfungsi sebagai batu loncatan bagi kekotoran yang lebih kuat lagi, yang memelihara siklus yang lebih buruk. Untuk memutuskan siklus ini, apa yang diperlukan sebagai langkah awal adalah mengendalikan indria, yang melibatkan penghentian pada saat pengindriaan, tanpa meliputinya dengan lapisan-lapisan makna yang asal-mulanya adalah murni subyektif. Karena itu instruksi Sang Buddha kepada Bhikkhu Māluṅkyaputta, “Dalam yang terlihat hanya ada yang terlihat,” dan puisi indah yang digubah oleh bhikkhu itu untuk menyampaikan pemahamannya atas instruksi ini (35:95; baca juga 35:94). Aspek pengendalian indria ini menerima penekanan khusus dalam dua vagga terakhir Saḷāyatanasaṃyutta, yang tampil dengan alasan perbandingan dan perumpamaan yang mengejutkan. Di sini enam organ indria dibabarkan sebagai samudera, objek indria sebagai arusnya, dan pengembaraan di sepanjang jalan spiritual sebagai pelayaran yang rentan pada bahaya yang hanya dapat kita atasi dengan pengendalian indria (35:228). Sekali lagi, objek indria yang menyenangkan adalah bagaikan mata kail yang dilemparkan oleh Māra; seorang yang menelannya akan dikuasai oleh Māra; seorang yang menolaknya akan terbebas tanpa celaka (35:230). Kita diberitahu bahwa, adalah lebih baik organ indria kita tercabik oleh perkakas tajam, panas dan membara, daripada tergila-gila pada objek indria yang menarik; karena ketertarikan demikian dapat menuntun menuju kelahiran kembali di alam rendah (35:235). Kondisi kehidupan kita dilukiskan dengan perumpamaan seseorang yang dikejar oleh empat ekor ular berbisa, lima musuh, dan seorang pembunuh, satu-satunya alatnya untuk menyelamatkan diri adalah sebuah rakit yang ia buat sendiri (35:238). Seorang bhikkhu yang dalam latihan harus menarik indrianya seperti seekor kura-kura menarik bagian-bagian tubuhnya ke dalam cangkangnya, karena Māra adalah bagaikan serigala lapar yang berusaha untuk memangsanya (35:240). Enam indria adalah bagaikan enam binatang yang masing-masing berusaha mundur ke habitatnya masing-masing, yang harus diikat dengan tali pengendalian indria dan diikatkan pada tonggak perhatian kokoh yang diarahkan pada jasmani (35:247). Saṁyutta ini diakhiri dengan perumpamaan tentang belenggu magis raja asura Vepacitti dan menyuarakan panggilan palsu untuk melenyapkan segala cara anggapan yang berakar dalam keinginan dan pandangan-pandangan salah (35:248).=
Walaupun perasaan sering disebut sebagai suatu produk kontak pada enam landasan indria, karena perasaan adalah kekuatan tersembunyi dalam pengaktifan kekotoran maka perasaan menerima pembahasan terpisah dalam satu saṃyutta tersendiri, dengan tiga vagga yang terdiri dari tiga puluh satu sutta. SN edisi Sinhala memasukkan bab ini dalam Saḷāyatanasaṃyutta, diduga karena perasaan muncul melalui enam landasan indria. Akan tetapi, dalam kumpulan sutta yang sekarang ini, perasaan jarang dihubungkan dengan landasan-landasan indria tetapi lebih banyak dibabarkan melalui tiga pembagiannya sebagai menyenangkan, menyakitkan, dan netral (yaitu, bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan). Dengan demikian sepertinya lebih baik mengikuti tradisi tekstual Burma, yang memperlakukan bab ini sebagai saṃyutta terpisah.
Perasaan adalah mata-rantai kunci dalam rangkaian kemunculan bergantungan, pelopor langsung bagi keinginan, dan dengan demikian untuk memutus rantai, memerlukan agar kita mengatasi respon kekotoran kita. Karena alasan ini Sang Buddha telah menetapkan perasaan sebagai satu dari empat “penegakan perhatian” (satipaṭṭhāna) dan di sini Beliau memberikan satu saṃyutta tersendiri. Beberapa sutta dalam vagga pertama menjelaskan bahwa ketiga jenis perasaan berfungsi sebagai pemicu bagi “kecenderungan tersembunyi” (anusaya). Masing-masing perasaan dihubungkan dengan kecenderungan yang berbeda: perasaan menyenangkan dengan nafsu, perasaan menyakitkan dengan kebencian, dan perasaan netral dengan kebodohan. Sistem latihan batin Sang Buddha bertujuan untuk mengendalikan reaksi kita terhadap perasaan-perasaan ini pada titik saat perasaan itu muncul, tanpa membiarkannya berkembang dan memicu kecenderungan yang bersesuaian untuk turut bermain (36:3, 4). Tentu saja, siswa mulia tetap mengalami perasaan sepanjang hidupnya, tetapi dengan melenyapkan kecenderungan tersembunyi, ia tidak dapat lagi terganggu batinnya oleh perasaan-perasaan (36:6). Dalam dua sutta, kita melihat Sang Buddha mengunjungi bangsal orang sakit dan membabarkan khotbah mendalam tentang perenungan perasaan kepada bhikkhu yang sakit (36:7, 8). Sutta-sutta ini memuncak dalam suatu penggambaran Arahanta dan keterlepasannya dari perasaan.
Satu sutta yang panjang dalam vagga ke dua (36:19) menggambarkan penerapan dalam jenis-jenis kebahagiaan yang dapat dialami manusia, yang menjangkau dari kebahagiaan indria hingga kebahagiaan lenyapnya perasaan dan persepsi. Dalam vagga ke tiga, kita menemukan pengelompokan penyakit (36:21) yang umum digunakan dalam tradisi pengobatan India, dan juga pengelompokan numerik terperinci atas jenis-jenis perasaan yang berbeda-beda yang menonjol dalam Abhidhamma (36:22). Sutta terakhir menawarkan gradasi yang menarik dari kegembiraan, kebahagiaan, keseimbangan, dan kebebasan masing-masing dalam tiga tingkat – sebagai jasmani, spiritual, dan “lebih spiritual daripada spiritual” (36:31).
Saṃyutta ini menggabungkan tiga puluh empat sutta pendek mengenai perempuan. Sang Buddha menjelaskan apa yang membuat seorang perempuan menarik bagi laki-laki, jenis-jenis penderitaan khas perempuan, dan kualitas moral perempuan yang menuntunnya menuju kelahiran baik maupun buruk. Dalam sutta ini Yang Mulia Anuruddha memainkan peran utama, karena kemahirannya dalam mata-dewa mengarahkannya untuk mempertanyakan persoalan tersebut kepada Sang Guru. Sang Buddha juga menjelaskan bagaimana seorang perempuan memperoleh kebaikan dari suami dan orang tuanya, kualifikasi yang paling penting adalah karakter yang bermoral.
Kedua saṃyutta ini, dengan masing-masing enam belas sutta, mengandung isi yang identik dan berbeda hanya pada lawan bicara, nama kedua pengembara digunakan dalam kedua koleksi ini. Yang ke dua hampir berupa ringkasan saja. Sutta-sutta ini mengambil bentuk pertanyaan yang ditujukan kepada Sāriputta mengenai topik-topik seperti Nibbāna, Kearahatan, noda-noda, alam-alam kehidupan, dan sebagainya. Masing-masing berakhir dengan kata-kata pujian terhadap Jalan Mulia Berunsur Delapan. Sutta terakhir, yang berbeda dari format ini, memperlihatkan sentuhan humor yang halus.
Mahāmoggallāna adalah siswa utama Sang Buddha yang ke dua. Dalam sembilan sutta pertama di sini ia menggambarkan pejuangannya untuk mencapai pencerahan, yang menyerangnya dengan kesulitan-kesulitan dalam meditasi. Pada tiap-tiap kejadian, ia mengatasi kesulitannya itu hanya dengan bantuan Sang Buddha, yang mengerahkan kekuatan batin-Nya untuk memberikan tuntunan “jarak-jauh” kepada sang siswa. Dalam dua sutta terakhir Moggallāna mengunjungi alam surga dan membabarkan khotbah kepada para deva mengenai perlindungan pada Tiga Permata. Bagian pertama teks ini cukup panjang, bagian ke dua (yang identik kecuali pada para pendengarnya) disingkat secara drastis.
Citta adalah seorang perumah tangga yang dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa awam laki-laki yang paling unggul di antara para pembabar Dhamma (AN I 26, 5). Saṃyutta ini berisikan sepuluh sutta yang menguatkan sebutan ini. Bahkan ketika Citta berperan sebagai penanya dan bukan sebagai narasumber, kita memahami bahwa ia telah mengetahui jawabannya dan ia mengajukan pertanyaan sebagai salah satu cara untuk memulai diskusi Dhamma dengan para bhikkhu. Beberapa kali kita melihatnya mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, dan para bhikkhu memujinya sebagai seorang yang memiliki “mata kebijaksanaan yang menjangkau kata-kata mendalam dari Sang Buddha” (41:1, 5, 7). Penggambaran Citta yang kita temukan dalam bab ini dengan jelas menunjukkan kepribadian historis yang asli, seorang umat awam dengan pengetahuan yang luas tentang ajaran, berpengalaman dalam meditasi, berkebijaksanaan tajam, dan selera humor yang nakal. Salah satu humornya muncul pada pertemuannya dengan guru Jain bernama Nigaṇṭha Nātaputta, yang ia permalukan dalam suatu jebakan ucapan (41:8). Ketika bertemu dengan teman lamanya, yang telah menjadi petapa telanjang selama tiga puluh tahun namun belum mencapai apa-apa dari pertapaannya kecuali ketelanjangan dan kepala gundul, ia mengaku telah mencapai pencapaian-pencapaian tinggi seperti empat jhāna dan buah yang-tidak-kembali bahkan sambil menjalani kehidupan sebagai seorang perumah tangga (41:9). Bahkan kisah menjelang kematiannya menyampaikan makna humor: ketika sanak saudaranya mengira bahwa ia sedang mengigau, ia sesungguhnya sedang mengajarkan ajaran ketidakkekalan kepada para deva (41:10).
Koleksi tiga belas sutta ini disatukan oleh fakta bahwa semua penanya digambarkan sebagai gāmaṇi, kepala suatu kelompok dari berbagai kumpulan. Dengan beberapa pengecualian, para penanya awalnya bukanlah pengikut Sang Buddha dan kadang-kadang memusuhi Beliau, tetapi dalam setiap kasus Sang Buddha menaklukkan mereka dengan argumentasi logis dan analisis yang saksama atas persoalan yang mereka ajukan.
Di antara para kepala kelompok itu kita menemui Talapuṭa, seorang pemimpin kelompok hiburan yang sangat tergerak oleh perbincangannya dengan Sang Buddha sehingga ia menjadi bhikkhu dan mencapai Kearahatan (42:2). Syair-syairnya (terdapat pda Th 1091 -1145) adalah ungkapan kecakapan atas kerinduan spiritual yang mendalam. Kita juga melihat seorang pengikut Jain yang menemui Sang Buddha dengan niat untuk menjatuhkan Beliau dalam perdebatan, yang dhentikan di tengah usahanya dan diarahkan menuju pemahaman benar (42:9). Khotbah panjang kepada Rāsiya (42:12) membedakan para perumah tangga dalam berbagai tingkat keluhuran, dan juga mengevaluasi berbagai jenis petapa. Dalam sutta terakhir Sang Buddha menjawab tuduhan, yang jelas direncanakan oleh para pesaing yang iri hati, bahwa Beliau adalah seorang penyihir (42:13).
Saṁyutta ini berfungsi sebagai rangkuman dari berbagai sabutan untuk Nibbāna dan berbagai cara praktik yang menuntun menuju Nibbāna. Vagga pertama, yang membahas Nibbāna sebagai yang tidak terkondisi, memberikan sebelas penyajian sang jalan menuju yang tidak terkondisi (43:1-11). Vagga ke dua dimulai dengan yang tidak terkondisi, dan dalam satu sutta panjang (43:12) menguraikan berbagai faktor sang jalan yang merupakan jalan menuju yang tidak terkondisi di bawah empat puluh lima judul , termasuk yang terdapat pada 43:2-11 yang dibagi dalam komponennya masing-masing. Selanjutnya, dalam 43:13-44, Nibbāna dibabarkan melalui tiga puluh dua sebutan lainnya; penyajian sang jalan di sini disingkat secara drastis, namun teks yang menyiratkan bahwa seluruh faktor dari dua belas sutta pertama harus dihubungkan dengan masing-masing sebutan. Jika 43:12 dipecah menjadi sutta terpisah melalui faktor-faktor sang jalan, dan ini ditambahkan pada sebelas sutta pertama, maka kita memiliki lima puluh enam sutta hanya mengenai yang tidak terkondisi. Dan jika metode ini kemudian diterapkan pada masing-masing sebutan, maka jumlah sutta dalam saṃyutta ini menjadi 1,848.
Sutta-sutta dalam saṃyutta ini semuanya menjawab pertanyaan mengapa Sang Buddha tidak mengadopsi ajaran yang mendukung metafisik dan perdebatan panas dari para pesaing-Nya. Khususnya adalah problem apakah Sang Tathāgata ada setelah kematian. Sutta pertama memunculkan suatu diskusi mengenai topik ini antara Raja Pasenadi dari Kosala dan Bhikkhunī Khemā, seorang bhikkhunī yang terunggul dalam kebijaksanaan, yang jawaban mendalamnya pada Raja kemudian dikonfirmasi oleh Sang Guru (44:1). Sutta-sutta dalam bab ini cukup untuk menyimpulkan bahwa Sang Buddha menahan diri dari mengadopsi sudut pandang-sudut pandang metafisik ini karena alasan pragmatis, yaitu, karena tidak berhubungan dengan pencarian kebebasan dari penderitaan. Jawaban yang diberikan atas pertanyaan menunjukkan bahwa ajaran metafisik ditolak terutama karena, pada tingkat dasar, mereka semua percaya pada asumsi implisit diri, suatu asumsi yang muncul dari kebodohan terhadap sifat sejati lima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria. Karena bagi seseorang yang telah mengerti sifat sejati fenomena-fenomena ini, semua pandangan spekulatif ini terbukti tidak dapat dipertahankan.
Bagian ke lima dan terakhir dari Saṃyutta Nikāya adalah Mahāvagga, Buku Besar. Terdapat paling sedikit tiga penjelasan yang dapat diberikan pada judul ini. Pertama, ini adalah kelompok terbesar dari SN, dan dapat menjadi sangat besar jika bagian pengulangan yang disingkat, pada bagian akhir dari tiap-tiap bab, dituliskan secara lengkap. Ke dua, kita menemukan di sini, bukan satu saṃyutta raksasa yang menjulang memimpin puncak-puncak kecil, namun benar-benar suatu saṃyutta yang menyerupai pegunungan Himalaya, dengan paling sedikit delapan bab utama dari total dua belas. Dan ke tiga, hampir semua saṃyutta dalam buku ini membahas formula yang berbeda-beda dari Jalan Sang Buddha menuju kebebasan, bagian paling berharga dari warisan-Nya kepada dunia.
Sekilas melihat isi Mahāvagga menunjukkan bahwa tujuh bab pertama khusus membahas tujuh rangkaian faktor latihan yang muncul di tempat-tempat lain dalam Kanon Pāli, walaupun dalam urutan berbeda. Urutan baku adalah:
Empat penegakan perhatian (cattāro satipaṭṭhānā) Empat Usaha Benar (cattāro sammappadhānā) Empat landasan kekuatan batin (cattāro iddhipādā) Lima indria spiritual (pañca indriyāni) Lima kekuatan (pañca balāni) Tujuh faktor pencerahan (satta bojjhaṅgā) Jalan Mulia Berunsur Delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga).
Dalam SN kita telah menemui tujuh set ini beberapa kali: pada 22:81, ketika Sang Buddha menjelaskan bagaimana Dhamma telah diajarkan secara berbeda; pada 22:101, sebagai hal-hal yang dikembangkan agar batin terbebas dari noda-noda; pada 43:12, sebagai aspek-aspek yang berbeda dari sang jalan yang menuju yang tidak terkondisi. Dalam tradisi penafsiran Buddhis, dimulai sejak masa Kanon, ketujuh rangkaian ini dikenal sebagai tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (sattatiṃsa bodhipakkhiyā dhammā). Walaupun istilah ini tidak digunakan dalam Nikāya sebagai sebutan kolektif untuk tujuh rangkaian ini, seluruhnya sering muncul dalam Nikāya sebagai intisari dari praktik menuju pencerahan. Pada beberapa kesempatan Sang Buddha sendiri menekankan pentingnya, dalam pembicaraannya dengan para bhikkhu, merujuknya sebagai, “hal-hal yang telah Kuajarkan kepada kalian melalui pengetahuan langsung” (ye vo mayā dhammā abhiññā desitā). Menjelang parinibbāna, Beliau mendorong para bhikkhu untuk belajar, mengejar mengembangkan, dan melatihnya agar kehidupan suci dapat bertahan lama di dunia, demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia (DN II 119-20). Beliau menginstruksikan kepada para bhikkhu agar sering berkumpul dan mengulangi tujuh rangkaian ini, “makna demi makna, kata demi kata,” tanpa perselisihan, sekali lagi agar kehidupan suci dapat bertahan lama (DN III 127-28). Beliau menciptakan persatuan dalam Saṅgha yang bergantung pada kerukunan sehubungan dengan tujuh rangkaian ini (MN II 245) dan mendorong para siswa untuk melatihnya “bersatu, dalam kerukunan, tidak berselisih” (MN II 238). Adalah karena Beliau mengajarkan tujuh rangkaian ini maka para siswa menghormati Beliau, dan dengan mengembangkannya banyak para siswa ini telah mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan langsung (MN II 11-12).
Penyajian tujuh rangkaian ini dalam urutan bertahap mungkin menyampaikan kesan bahwa tujuh ini merupakan tujuh tahap latihan yang berurutan. Akan tetapi, ini adalah kesalahpahaman. Pertimbangan menyeluruh atas rangkaian ini akan menunjukkan bahwa tujuh rankaian ini diurutkan secara numerik, dari empat hingga delapan, yang berarti bahwa pengaturan tersebut adalah murni pedagogis dan tidak menyiratkan bahwa satu set adalah lebih tinggi dari set sebelumnya. Bahkan lebih tegas lagi, jika kita memeriksa isi tujuh set ini sebagai sesuatu yang didefinisikan dan dijelaskan secara formal dalam sutta, kita akan melihat bahwa isinya adalah saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sering kali faktor-faktor dalam satu rangkaian adalah identik dengan faktor-faktor dalam rangkaian lainnya; kadang-kadang satu rangkaian adalah sama dengan rangkaian lain dengan urutan berbeda; kadang-kadang satu rangkaian merupakan pembagian dari satu faktor yang dijelaskan sebagai rangkuman dalam rangkaian lainnya. Apa yang muncul dari analisis saksama atas tujuh rangkaian ini, seperti yang disajikan dalam Mahāvagga, adalah lapisan-lapisan yang saling melengkapi, saling silang, saling menerangi peta suatu perjalanan tunggal dalam praktik yang ditujukan pada satu tujuan tunggal, kebebasan dari penderitaan. Dengan menyajikan perjalanan praktik dari sudut-sudut berbeda, dalam kunci yang berbeda, dan dengan tingkat rincian yang berbeda, teks ini mampu dengan baik mengatur praktik sang jalan yang memenuhi berbagai kebutuhan dari orang-orang yang berlatih. Ini menjelaskan kecakapan ajaran Buddha, kemampuannya dalam memberikan berbagai ungkapan sesuai dengan watak, preferensi, dan kecenderungan makhluk-makhluk.
Kebutuhan akan sang jalan berhubungan erat dengan keseluruhan struktur Dhamma, ditopang dari bawah oleh prinsip abstrak kondisionalitas, “Jika ini muncul, maka muncul itu; jika ini lenyap, maka itu lenyap.” Belenggu dan penderitaan yang muncul dari kebodohan, dari ketidakmampuan melihat dan memahami subjek-subjek dibahas dalam saṃyutta-saṃyutta sebelumnya: lima kelompok unsur kehidupan, enam landasan indria, dan delapan belas unsur sebagai faktor-faktor penyusun makhluk hidup; kemunculan bergantungan sebagai penggerak alami yang olehnya saṃsāra diperbarui dari dalam berulang-ulang, dengan membawa serta penderitaan karena kelahiran, penuaan, dan kematian yang berulang-ulang. Untuk memperoleh kebebasan dari penderitaan yang tidak dapat dihindari, kita harus memotong kekusutan keinginan dan kemelekatan, dan agar “penguraian ini” menjadi lengkap dan terakhir, kita harus mencabut akar segalanya yang tertanam dalam, yaitu, kebodohan.
Penawar kebodohan yang langsung adalah pengetahuan – bukan sekedar pengetahuan konseptual, tetapi pandangan terang terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya – dan itu adalah satu dari penemuan penting Sang Buddha bahwa pengetahuan yang diperlukan untuk kebebasan dapat dikembangkan. Pengetahuan demikian tidak bergantung pada pemberian dari surga atau muncul sebagai suatu intuisi mistis, melainkan muncul dari kegigihan praktik spiritual yang ditentukan oleh perencanaan yang dirancang dengan tepat. Perjalanan praktik ini adalah suatu proses latih-diri yang terpelihara oleh hukum kondisionalitas yang tidak berubah. Faktor-faktor yang berbeda-beda ditanamkan dalam ketujuh set adalah kualitas-kualitas yang harus dikembangkan. Kualitas-kualitas itu adalah kondisi-kondisi yang, ketika dihasilkan secara metodis dan diperkuat, akan secara langsung mendukung munculnya pengetahuan yang membebaskan.
Saṃyutta-saṃyutta utama dari Mahāvagga dapat dilihat sebagai penawaran sebuah konsepsi sang jalan yang berlawanan dengan Asaṅkhatasaṃyutta (43). Asaṅkhatasaṃyutta memulai dengan tujuan, yang tidak terkondisi, dan kemudian menanyakan, “Apakah jalan yang menuju tujuan ini?” jawaban yang diberikan tersusun dari ketujuh set, dan dengan demikian di sini teks menggali sang jalan dari tujuan. Mahāvagga menggunakan pendekatan pelengkap. Di sini kita memulai dengan ketujuh set dan dengan mengikuti pergerakannya, kita dibawa untuk melihat bahwa jalan itu “menurun, miring, dan condong ke arah Nibbāna” seperti halnya air di sungai-sungai di India yang mengalir ke samudera. Demikianlah, dari sudut pandang yang ditawarkan oleh Mahāvagga, ketujuh set ini menjadi konstelasi faktor-faktor latihan yang membawa pencapaian tujuan yang kepadanya mereka condong. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa faktor-faktor sang jalan “hamil” dengan tujuan, walaupun kita harus memenuhi ini dengan mengingat bahwa pengembangan sang jalan tidak memunculkan Nibbāna itu sendiri, melainkan mendukung pencapaian tujuan yang, sebagai yang tidak terkondisi, tidak terpaku dalam proses kausalitas.
Saya katakan di atas bahwa ketujuh set saling melengkapi dan saling silang. Bagaimana ini menjadi lebih jelas ketika kita mengenali bahwa istilah-istilah yang digunakan untuk menyebutkan hal-hal yang berbeda di antara tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan sering kali bersinonim merujuk pada faktor batin yang sama. Nama-nama yang berbeda sekadar berfugsi untuk menjelaskan fungsi-fungsi yang berbeda dari faktor-faktor batin ini sementara pengaturan ke dalam tujuh set menunjukkan bagaimana faktor-faktor itu dapat bekerja sama dalam berbagai pola yang saling mendukung.
Aspek ini dari bantuan menuju pencerahan menjadi lebih jelas melalui pembahasan analitis Abhidhamma, yang menyusun istilah sinonim yang digunakan untuk merepresentasikan satu faktor batin. Pernyataan singkat dari akibat yang diperoleh terdapat pada Vism 680 (Ppn 22:41-43). Diterapkan pada ketujuh set, yang kita temukan di awal, bahwa satu faktor batin, kegigihan (viriya), muncul dalam sembilan peran: sebagai empat usaha benar; sebagai landasan kekuatan batin yang dipimpin oleh kegigihan; sebagai suatu indria, kekuatan, dan faktor pencerahan; dan sebagai faktor sang jalan usaha benar. Perhatian (satī) muncul dalam delapan peran: sebagai empat penegakan perhatian; sebagai indria, kekuatan, dan faktor pencerahan; dan sebagai faktor perhatian benar sang jalan. Kebijaksanaan (paññā) berfungsi dalam lima kapasitas: sebagai landasan kekuatan batin yang dipimpin oleh penyelidikan; sebagai indria dan kekuatan; sebagai faktor pencerahan pembedaan; dan sebagai faktor pandangan benar sang jalan. Konsentrasi (samādhi) muncul empat kali dalam namanya sendiri: sebagai indria, kekuatan, faktor pencerahan, dan faktor sang jalan; juga berpartisipasi dalam seluruh empat landasan kekuatan batin. Keyakinan (saddhā) muncul dua kali, sebagai indria dan kekuatan. Sembilan bantuan lainnya muncul masing-masing satu kali. Tabel 7 merepresentasikan hubungan ini secara visual.
No | Faktor-faktor Batin | 4 Penegakan Perhatian | 4 Usaha Benar | 4 Landasan Kekuatan | 5 Indria | 5 Kekuatan | 7 Faktor Pencerahan | 8 Faktor Sang Jalan | Total |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Kegigihan | 4 | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 9 | |
2 | Perhatian | 4 | 1 | 1 | 1 | 1 | 8 | ||
3 | Kebijaksanaan | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 5 | ||
4 | Konsentrasi | 1 | 1 | 1 | 1 | 4 | |||
5 | Keyakinan | 1 | 1 | 2 | |||||
6 | Kehendak | 1 | 1 | ||||||
7 | Ketenangan | 1 | 1 | ||||||
8 | Kegembiraan | 1 | 1 | ||||||
9 | Keseimbangan | 1 | 1 | ||||||
10 | Keinginan | 1 | 1 | ||||||
11 | Pikiran | 1 | 1 | ||||||
12 | Ucapan Benar | 1 | 1 | ||||||
13 | Perbuatan Benar | 1 | 1 | ||||||
13 | Penghidupan Benar | 1 | 1 |
Dari sini kita dapat melihat bahwa empat faktor meliputi praktik dalam berbagai wujud: kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Faktor-faktor ini, harus dimengerti, tidaklah berbeda dari kualitas-kualitas batin yang muncul secara periodik dalam batin biasa, yang tidak terkembang. Akan tetapi, dalam batin yang tidak terlatih, kemunculannya adalah sporadis dan acak. Niat di belakang presentasi Sang Buddha dari praktik ini adalah untuk melatih siswa untuk dengan sengaja membangkitkan faktor-faktor ini, melalui pengerahan kehendak, dan kemudian memperkuatnya dan menyatukan fungsi-fungsi sehingga dapat bekerja sama sebagai suatu tim yang sulit dikalahkan. Karena itulah penekanan diberikan, berulang-ulang, mengenai gagasan bahwa seseorang “mengembangkan dan melatih” (bhāveti bahulīkaroti) bantuan menuju pencerahan. Ketika bantuan menuju pencerahan itu telah dikembangkan dan dilatih secara serempak, dibawah pengaruh tujuan yang melindungi, potensinya dapat diaktualisasikan dan perlahan-lahan ditingkatkan hingga tingkat intensitas yang diperlukan untuk memutus belenggu-belenggu yang, sejak waktu yang sangat lama, telah mengikat kita pada penderitaan.
Ketika faktor-faktor dalam tujuh kelompok dikatakan sebagai “bantuan menuju pencerahan” (atau, secara literal, “kondisi-kondisi di sisi pencerahan”), ini memunculkan pertanyaan mengenai hubungannya dengan pengalaman pencerahan itu sendiri. Dalam Nikāya kata pencerahan (bodhi, sambodhi) sepertinya selalu digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang muncul secara langsung dalam Kearahatan, karenanya sama dengan pengetahuan hancurnya noda-noda (āsavakkhaya-ñaṇa). Dalam sumber tertua ini, ke-tiga puluh tujuh faktor merupakan praktik yang mengarah pada pencerahan. Ketika faktor-faktor itu terpenuhi, pencerahan akan mengikuti secara alamiah.
Akan tetapi, Komentar Pāli memberikan suatu jawaban yang lebih rumit atas pertanyaan kita, berdasarkan atas analisa yang lebih teknis dan halus dari pengalaman yang diperoleh dalam naskah-naskah Abhidhamma. Sumber terbaru ini jangan dijadikan alasan untuk menolaknya, karena Abhidhamma dan komentar-komentar sering memberikan prinsip-prinsip jelas yang diturunkan dari naskah-naskah yang lebih tua namun belum terselesaikan. Komentar-komentar memahami pencerahan sebagai terdiri dari empat pencapaian sesaat yang berbeda, yang disebut empat jalan lokuttara (lokuttaramagga), yang masing-masing melenyapkan atau melemahkan kelompok kekotoran tertentu dan segera diikuti oleh buahnya (phala). Pencapaian jalan dan buah mentransformasikan siswa menjadi seorang “mulia” (ariyapuggala) pada tingkat kesucian yang sesuai: seorang pemasuk-arus, seorang yang-kembali-sekali, seorang yang-tidak-kembali, atau seorang Arahanta. Jalan memasuki-arus melenyapkan tiga belenggu yang lebih rendah – pandangan identitas, keragu-raguan, dan keterikatan keliru pada aturan dan sumpah; jalan yang-kembali-sekali tidak melenyapkan belenggu apa pun tetapi melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan; jalan yang-tidak-kembali melenyapkan keinginan-indria dan ketidaksenangan; dan jalan Kearahatan melenyapkan lima belenggu yang lebih tinggi – nafsu akan bentuk, nafsu akan tanpa-bentuk, keangkuhan, kegelisahan, dan kebodohan. Perumusan tingkatan-tingkatan kebebasan dengan pelenyapan kekotoran-kekotoran telah dijelaskan dalam Nikāya-Nikāya. Apa yang baru dalam Abhidhamma adalah konsepsi jalan lokuttara sebagai penembusan sesaat, walaupun bahkan ini dapat menjadi preseden dalam kanon (lihat di bawah).
Dengan berdasarkan pada gambaran jalan spiritual ini, komentar beranggapan bahwa pengembangan bantuan menuju pencerahan terjadi dalam dua tahap atau dua tingkat. Yang pertama disebut bagian praktik pendahuluan (pubbabhāga-paṭipadā), yang mana pada tahap ini, praktisi mengembangkan dan melatih bantuan menuju pencerahan dengan tujuan pencapaian jalan lokuttara (baca Vism 679-80; Ppn 22:39-40). Kaum duniawi yang bermoral melakukannya dengan tujuan untuk mencapai jalan memasuki-arus; mereka yang telah mencapai tiga buah pertama melakukannya dengan tujuan untuk mencapai jalan yang lebih tinggi berikutnya. Dalam bagian pendahuluan praktik bantuan menuju pencerahan ini dikembangkan karena mengarahkan pada pencerahan. Dan sementara sejumlah faktor akan muncul bersamaan secara alami, beberapa tingkat kemajuan akan menjadi lebih kuat dan semakin mendalam secara perlahan-lahan memperoleh peningkatan tanpa dapat dihindari. Akan tetapi, dengan munculnya jalan lokuttara, seluruh tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan muncul bersamaan. Pada titik ini ketiga-puluh-tujuh faktor ini tidak lagi mengarahkan menuju pencerahan. Melainkan, faktor-faktor itu adalah pencerahan; faktor-faktor itu merupakan konstelasi faktor-faktor batin, yang dibangkitkan hingga ketinggian lokuttara, yang menimbulkan peristiwa kognisi yang memunculkan pengalaman pencerahan khusus (baca Vism 670; Ppn 21:130-33; dan Vism 679-80; Ppn 22:39-40). Disempurnakan dan diperkuat oleh kekuatan pengembangan sebelumnya, faktor-faktor ini secara bersama-sama berperan dalam pengalaman total yang karenanya praktisi mencapai kebebasan dari penderitaan. Dalam istilah paradigma klasik, faktor-faktor ini masing-masing berpartisipasi dalam proses pemahaman total kebenaran mulia tentang penderitaan; meninggalkan keinginan, penyebab penderitaan; mengalami Nibbāna, lenyapnya penderitaan; dan pengembangan sang jalan, jalan menuju lenyapnya penderitaan.
Dalam Mahāvagga sendiri, gagasan jalan lokuttara, dipahami sebagai pengalaman puncak sesaat, tidak eksplisit, walaupun preseden atas gagasan ini mungkin terdapat dalam model kanon dari penembusan Dhamma (yaitu, pencapaian pemasuk-arus; baca 22:83, 90; 35:74, 46:30, dan sebagainya) dan kebebasan dari noda-noda (yaitu, pencapaian Kearahatan; baca 15:13; 22:59; 35:28, 75, 121) sebagai peristiwa transformasi mendadak yang biasanya mengikuti periode persiapan perlahan-lahan sebelumnya. Tetapi apakah gagasan pencapaian jalan sesaat memiliki landasan dalam sutta atau tidak, Mahāvagga (dibaca bersama dengan bagian lain dari Nikāya) menyiratkan bahwa sang jalan memiliki karakter ganda. Tahap pertama adalah praktik yang dilaksanakan oleh seorang yang secara teknis masih merupakan seorang kaum duniawi (puthujjana) yang berlatih untuk menembus Dhamma. Orang demikian akan mengembangkan ketiga-puluh tujuh bantuan menuju pencerahan dengan tujuan untuk melakukan penembusan. Pada titik tertentu, ketika latihannya telah matang, orang ini akan memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammatta-niyāma), apakah sebagai seorang pengikut-keyakinan atau seorang pengikut-Dhamma (baca 25:1). Pada titik ini pencapaian memasuki-arus adalah pasti dalam kehidupan itu juga. Sekarang ketiga-puluh-tujuh faktor itu memperoleh dimensi transenden yang sesungguhnya, karena faktor-faktor itu “hamil” dengan penembusan Nibbāna dan akan memunculkan penembusan ini ketika saatnya tiba. Sewaktu sang praktisi lanjut “mengembangkan dan melatih”-nya, bahkan selama beberapa kehidupan lagi, berbagai kekotoran terlenyapkan dan sang jalan menghasilkan buah kehidupan suci berturut-turut, yang memuncak pada pengetahuan dan kebebasan sejati (vijjāvimutti), yang menandai akhir perjalanan.
Dalam Mahāvagga, seperti telah saya katakan sebelumnya, ketujuh kelompok ini muncul dalam urutan yang berbeda dari urutan nomor yang sederhana seperti yang biasanya dijelaskan. Bab mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan mungkin ditempatkan pertama sebagai penekanan: untuk menunjukkan bahwa formulasi kuno dari praktik ini sebagai ekspresi jalan Buddha yang paling sempurna menuju kebebasan. Ketiga-puluh tujuh faktor pencerahan ditempatkan berikutnya, sekali lagi tidak sesuai urutan biasa, mungkin karena faktor-faktor itu memiliki cakupan yang paling luas setelah Jalan Delapan. Pengaturan bab-bab berikutnya tidak sesuai dengan pola yang seharusnya. Anuruddhasaṃyutta sepertinya adalah tambahan atas Satipaṭṭhānasaṃyutta dan mungkin telah bergeser dari koleksi. Empat bab terakhir dari Mahāvagga tidak secara eksplisit membahas topik yang termasuk dalam ketujuh kelompok, tetapi bahkan ini berhubungan erat dengannya, seperti yang akan kita lihat di bawah ketika kita membahas masing-masing bab.
Dalam pendahuluan Umum, saya telah membahas mengenai penggunaan pola untuk membentuk sutta-sutta yang tersebar dalam berbagai saṃyutta, mengatur topiknya ke dalam pola yang jelas. Dalam Mahāvagga muncul tangkai baru dari pola, terlepas dari “rangkaian pengulangan,” yang akan saya sentuh dalam peninjauan Maggasaṃyutta. Pembagian pola atas topiknya adalah sebagai berikut (baca indeks 3 untuk referensi sutta):
Beberapa praktik yang “mengarah menuju penyeberangan dari pantai sini ke pantai seberang”: mengatakan tentang Jalan Delapan, faktor-faktor pencerahan, penegakan perhatian, dan landasan-landasan kekuatan batin. “Mereka yang mengabaikannya berarti mengabaikan jalan mulia menuju kehancuran total penderitaan, sedangkan mereka yang menjalankannya berarti menjalankan jalan mulia”: mengatakan tentang empat kelompok yang sama.
“Mulia dan membebaskan dan mengarah menuju kehancuran total penderitaan”: mengatakan tentang faktor-faktor pencerahan, penegakan perhatian, dan landasan-landasan kekuatan batin – tetapi tidak tentang Jalan Delapan.
“Mengarah menuju kejijikan sepenuhnya, kebosanan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, dan Nibbāna”: sekali lagi, mengatakan tentang tiga kelompok yang sama.
“Tidak muncul, dikembangkan dan dilatih, jika tidak ada kemunculan seorang Buddha atau di luar Disiplin-Nya”: mengatakan tentang Jalan Delapan, faktor-faktor pencerahan, dan indria-indria.
“Menghasilkan satu dari dua buah, pengetahuan tertinggi (yaitu, Kearahatan) atau yang-tidak-kembali”: mengatakan tentang faktor-faktor pencerahan, penegakan perhatian, indria-indria, landasan-landasan kekuatan batin, dan perhatian pada pernafasan.
“Menghasilkan tujuh buah dan manfaat” (diperoleh oleh pembagian yang lebih halus dari kedua buah di atas): mengatakan tentang faktor-faktor pencerahan, indria-indria, landasan-landasan kekuatan batin, perhatian pada pernafasan – tetapi tidak tentang penegakan perhatian.
Adalah sekedar dugaan mengapa beberapa pola diberlakukan pada kelompok praktik tertentu tetapi tidak pada yang lainnya. Akan tetapi, karena seluruh pola di atas sepertinya cocok untuk diterapkan pada seluruh kelompok, ini mungkin karena kebetulan belaka (atau karena hilangnya sutta-sutta tertentu pada saat penyampaian) dan bukan karena kesengajaan.
Yang paling terkenal dari ketujuh kelompok adalah, tentu saja, Jalan Mulia Berunsur Delapan, telah dinyatakan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertama-Nya di Bārāṇasī dan berulang-ulang dirujuk di sepanjang khotbah-khotbah-Nya. Jalan Mulia Berunsur Delapan mendapatkan keunggulan demikian bukan hanya karena posisinya sebagai yang ke empat dari Empat Kebenaran Mulia, dan dengan demikian merupakan ajaran utama dari Buddhisme awal, tetapi karena merupakan yang paling luas dari ketujuh kelompok. Delapan faktornya memiliki cakupan yang lebih luas daripada yang lainnya, menjadikan praktik Dhamma sebagai cara hidup yang lengkap. Jalan Delapan mencakup tiga latihan dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan; menuntun perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran; dan mentransformasikan perilaku, pikiran, dan pandangan kita yang biasa menjadi perilaku pikiran dan pandangan para mulia. Kelompok lainnya, walaupun berorientasi pada tujuan yang sama, namun lebih terbatas dalam cakupan, berhubungan nyaris secara eksklusif pada tahap meditasi dari Jalan Delapan.
Jalan Mulia Berunsur Delapan juga adalah yang paling inklusif sehubungan dengan enam kelompok lainnya, mampu mengakomodasi di dalamnya, sebagian besar, walaupun tidak seluruhnya, komponen-komponen lainnya. Demikianlah pandangan benar, sebagai sinonim bagi kebijaksanaan, termasuk landasan kekuatan batin yang dipimpin oleh penyelidikan; indria dan kekuatan kebijaksanaan; dan faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi. Usaha benar termasuk empat usaha benar; landasan bagi kekuatan batin yang dipimpin oleh kegigihan. Perhatian benar termasuk empat penegakan perhatian, dan indria, kekuatan, dan faktor pencerahan perhatian. Konsentrasi benar secara eksplisit termasuk indria, kekuatan, faktor pencerahan konsentrasi, dan secara implisit termasuk seluruh empat landasan bagi kekuatan batin. Dengan demikian, ketika enam kelompok lainnya dihubungkan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, kita dapat melihat bahwa dua puluh sembilan unsurnya, dua puluh empat memiliki padanan di antara faktor-faktor sang jalan.
Jalan Delapan dibabarkan oleh Sang Buddha sebagai ariya, mulia, dan kualifikasi ini adalah penting. Adalah terlalu membatasi untuk menganggap, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa penerjemah Buddhisme awal, bahwa Jalan Delapan hanya dapat dipraktikkan oleh mereka yang secara teknis adalah ariyapuggala, para individu mulia dimulai dari pengikut-keyakinan (saddhānusārī). Tentu saja Sang Buddha mengajarkan Jalan Delapan kepada seluruh siswa-Nya yang berkeinginan untuk terbebas dari penderitaan saṃsāra, dan karena alasan ini Beliau menyebutnya jalan menuju lenyapnya penderitaan. Kita harus memahami kata sifat ariya dalam makna yang lebih luas bukan hanya bahwa jalan ini dilalui oleh para ariya, tetapi juga bahwa ini adalah jalan yang harus dipraktikkan untuk sampai pada kondisi ariya, kondisi kemuliaan spiritual. Untuk mencapai Jalan Mulia Berunsur Delapan ariya sejati yang menuntun tepat menuju Nibbāna, seseorang harus memulai dari suatu tempat, dan tempat yang paling tepat untuk memulai adalah dengan pengembangan delapan faktor sang jalan, lebih cepat terjangkau wujudnya.
Delapan faktor sang jalan secara formal didefinisikan pada 45:8, menggunakan definisi umum yang terdapat dalam Kanon Pāli (misalnya, pada DN II 311 dan MN III 251-52). Tetapi definisi ini jarang menunjukkan bagaimana sang jalan dikembangkan secara menyeluruh. Terhadap pertanyaan ini kita tidak menemukan instruksi terperinci yang menjelaskan secara eksplisit di manapun dalam Mahāvagga, dan demikianlah “penuntun bagaimana menjalankan” praktik harus ditembus bersamaan dari berbagai sumber. Kita dapat memulai dengan pernyataan Sang Buddha bahwa masing-masing faktor sang jalan muncul dari pendahulunya (45:1) dan menggunakan ini sebagai kunci untuk menggambar sketsa tentang bagaimana sang jalan diungkapkan dalam pengalaman nyata. Ketika memperoleh keyakinan pada Sang Buddha dalam peran-Nya sebagai Tathāgata, penuntun tertinggi menuju pembebasan, siswa harus pertama-tama sampai pada pemahaman konseptual yang jernih mengenai ajaran, khususnya sehubungan dengan prinsip kamma dan buahnya dan Empat Kebenaran Mulia. Ini adalah pandangan benar (sammādiṭṭhi) dalam tahap awal. Pandangan benar mengubah motif dan tujuan siswa, membelokkannya dari sensualitas, permusuhan, dan kekerasan, ke arah pelepasan, kelembutan, dan belas kasihan: ini adalah kehendak benar (sammāsaṅkappa). Dituntun oleh kehendak benar, siswa menjalankan ketiga faktor etis dari sang jalan: ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar (sammāvācā, sammākammanta, sammā-ājīva). Berdiri di atas landasan moralitas (baca 45:149), siswa melatih pikirannya dengan tekun dan gigih mengembangkan empat penegakan perhatian: ini adalah usaha benar (sammāvāyāmā) yang diarahkan pada perhatian benar (sammāsati). Ketika usaha menghasilkan buah, siswa masuk dan berdiam dalam empat jhāna (atau, menurut komentar, tingkat yang lebih rendah dari konsentrasi berbatasan dengan jhāna pertama): ini adalah konsentrasi benar (sammāsamādhi).
Akan tetapi, konsentrasi benar bukanlah akhir dari sang jalan. Sekarang siswa harus menggunakan pikiran yang terkonsentrasi untuk menjelajahi sifat pengalaman. Sekali lagi, metode ini adalah perhatian benar, tetapi kali ini dengan penekanan pada landasan ke empat, perenungan penuh perhatian terhadap fenomena. Siswa merenungkan fenomena yang terdapat dalam lima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria untuk melihat ciri-ciri ketidak-kekalan, penderitaan, dan bukan-diri. Ini adalah pandangan benar pada bidang yang lebih tinggi, bidang pandangan terang (vipassanā). Pada titik tertentu dalam perjalanan perenungan, ketika pandangan terang menjadi tajam dan menembus, siswa memasuki jalan pasti kebenaran (sammatta-niyāma), jalan lokuttara, apakah sebagai pengikut-keyakinan atau pengikut-Dhamma, dan karenanya menjadi pasti mencapai buah memasuki-arus dalam kehidupan ini juga. Sekarang ia digambarkan sebagai seorang yang berlatih untuk menembus buah memasuki-arus (sotāpattiphalasacchikiriyāyapaṭipanna). Ketika praktik sang jalan matang sepenuhnya, seluruh delapan faktor menyatu dan menggabungkan kekuatan, memulai “penembusan Dhamma” yang dengannya siswa secara langsung melihat Empat Kebenaran Mulia dan memotong tiga belenggu yang lebih rendah.
Sekarang siswa telah benar-benar terjun ke dalam arus Dhamma, Jalan Delapan transenden, yang akan mendorongnya maju ke arah samudera raya Nibbāna. Tetapi sang siswa harus terus melatih delapan faktor sang jalan hingga belenggu-belenggu lainnya dilenyapkan dan kecenderungan tersembunyi tercabut. Ini terjadi dalam tiga tingkat berturut-turut yaitu yang-kembali-sekali (sakadāgāmī), yang tidak kembali (anāgāmī), dan Kearahatan, masing-masing dengan tahap ganda jalan dan buah. Dengan tercapainya Kearahatan, pengembangan sang jalan berakhir. Sang Arahanta tetap memiliki delapan kualitas dari sang jalan, lengkap dengan pengetahuan dan kebebasan sejati (baca orang “yang lebih baik daripada orang mulia,” 45:26), tetapi bagi Arahanta tidak ada lagi yang harus dikembangkan, karena tujuan pengembangan sang jalan telah tercapai.
Adalah dalam proses penyempurnaan sang jalan bahwa seluruh bantuan menuju pencerahan lainnya secara bersamaan tersempurnakan. Dengan demikian kita dapat menggambarkan jalan menuju pembebasan secara alternatif sebagai pengembangan Jalan Mulia Berunsur Delapan, atau ketujuh faktor pencerahan, atau empat penegakan perhatian. Masing-masing secara implisit mengandung yang lainnya, dan dengan demikian memilih satu ssstem sebagai landasan praktik secara alami membawa yang lainnya menuju kesempurnaan.
Karena penggunaan bebas dari rangkaian pengulangan, struktur yang tepat dari Maggasaṃyutta sulit terlihat, dan bahkan edisi oriental yang berbeda membagi bab ini dalam berbagai cara berbeda. Terdapat kesepakatan umum bahwa jumlah keseluruhan sutta adalah 180; persoalan sehubungan dengan pengaturan vagga-vagga berikutnya. Lima vagga pertama, dengan empat puluh delapan sutta, cukup sederhana. Vagga-vagga ini memuji Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai ungkapan tertinggi dari jalan menuju Nibbāna, pelenyapan dan hancurnya nafsu, kebencian, dan kebodohan. Jalan Delapan adalah kehidupan suci dalam bidang terluasnya (45:6, 19, 20), kehidupan suci yang menghasilkan empat buah kebebasan dan memuncak pada hancurnya tiga akar kekotoran (45:39-40). Sang jalan juga merupakan inti dari pertapaan dan kebrāhmaṇaan (45:35-38), dan demikianlah dengan kesimpulan sang jalan bahwa semua pertapaan dan kebrāhmaṇaan sejati harus mengikuti. Tetapi Sang Jalan tidak eksklusif bagi yang melepaskan keduniawian. Sang Jalan dapat dimiliki oleh baik umat awam maupun monastik, karena apa yang menjadi persoalan bukanlah gaya hidup keluar melainkan ketekunan dalam praktik benar (45:23-24). Sutta-sutta ini juga menekankan pentingnya persahabatan baik untuk mengikuti Jalan Delapan, memberikan suatu dimensi kebersamaan bagi praktik spiritual. Bahkan, dalam satu naskah Sang Buddha menyatakan bahwa persahabatan baik adalah keseluruhan hidup suci (45:2). Vagga V menguraikan tujuan yang karenanya kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā – meluruhnya nafsu, melepaskan belenggu, dan seterusnya – dan dalam masing-masing kasus Jalan Mulia Berunsur Delapan diberikan sebagai alat untuk memenuhi tujuan itu.
Dalam Vagga VI peyyāla atau rangkaian pengulangan dimulai. Tiga vagga pertama jenis ini menyebutkan tujuh prasyarat dan bantuan bagi munculnya Jalan Mulia Berunsur Delapan, dapat diasumsikan dalam dimensi transendennya. Ketujuh kondisi adalah : (1) persahabatan baik (kalyāṇamittatā); (2) moralitas (sīla); (3) keinginan (chanda), keinginan baik untuk mencapai tujuan; (4) diri (attā), mungkin bermakna kepemilikan-diri; (5) pandangan (diṭṭhi), pandangan benar konseptual sehubungan dengan kamma dan buahnya dan Empat Kebenaran Mulia; (6) ketekunan (appamāda), ketekunan dalam praktik; dan (7) perhatian waspada (yoniso manasikāra), perhatian menyeluruh terhadap segala sesuatu yang mendukung kemajuan spiritual dalam berbagai cara. Di tempat lain Sang Buddha menekankan persahabatan baik sebagai bantuan eksternal utama dalam praktik ajaran-Nya, dengan perhatian waspada sebagai bantuan internal utama (baca 46:48, 49).
Ketujuh kondisi disajikan dalam tiga aspek berbeda, masing-masing dijelaskan dalam satu dari tiga vagga: sebagai “pelopor dan perintis” bagi munculnya Jalan Mulia Berunsur Delapan; sebagai “satu hal yang membantu” bagi kemunculan dan pemenuhan sang jalan; dan sebagai “satu hal yang paling efektif” bagi munculnya sang jalan. Tiap-tiap vagga membahas ketujuh kondisi dua kali, menurut dua penjelasan berbeda dari delapan faktor sang jalan. Yang pertama mengkarakteristikkan masing-masing faktor sebagai “berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, matang dalam pembebasan,” yang ke dua sebagai memiliki “lenyapnya nafsu, lenyapnya kebencian, lenyapnya kebodohan sebagai tujuan akhirnya.” Makna dari sebutan-sebutan ini dijelaskan oleh komentar (baca V, nn. 7, 15).
Berikutnya adalah empat rangkaian pengulangan yang berakar pada sebuah perumpamaan yang membandingkan orientasi sang jalan ke arah Nibbāna dengan kemiringan lima sungai besar India pertama-tama ke arah timur, dan kemudian (yang bermakna sama) ke arah samudera. Karena lima sungai ini diperlakukan pertama-tama secara individual dan kemudian secara gabungan, masing-masing setengah vagga terdiri dari enam sutta, sehingga totalnya berjumlah dua belas. Masing-masing rangkaian dari dua belas sutta dijelaskan dalam empat versi, bukannya mengelompokkan versi yang berbeda-beda dalam satu vagga (seperti yang dilakukan dalam vagga VI, VII, dan VIII), teks ini membuat masing-masing versi vagga dalam kelompoknya sendiri, sehingga keempat versi mencakup vagga IX-XII. Kedua versi baru, dalam vagga XI dan XII, berturut-turut menggambarkan masing-masing faktor sang jalan sebagai “memiliki Keabadian sebagai landasan, tujuan, dan tujuan akhir,” dan sebagai “menurun, miring, dan condong ke arah Nibbāna.”
Dalam vagga XIII dan XIV, metode penjelasan dibalik. Dalam kedua vagga ini, dengan dua puluh dua sutta di antaranya, empat versi yang sama dipergunakan, tetapi sekarang sutta dianggap sebagai unit enumerasi dan keempat versi digabungkan dalam masing-masing sutta, tanpa penomoran terpisah. Sutta-sutta ini mengemukakan serangkaian perumpamaan yang mempesona, dan pengaruh membacanya sekaligus secara menyeluruh dapat menyegarkan, bagaikan melihat ombak laut yang memecah pantai pada malam bulan purnama.
Kedua vagga terakhir, XV dan XVI, mencantumkan berbagai kelompok kekotoran (seperti āsava atau noda) dan aspek-aspek kehidupan (seperti tiga bhava atau jenis-jenis kehidupan). Pada masing-masing kelompok dikatakan bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan harus dikembangkan demi empat tujuan: demi pengetahuan langsung terhadapnya (abhiññā), demi pemahaman sepenuhnya (pariññā), demi kehancuran total (parikkhaya), dan demi pelepasannya (pahāna). Secara keseluruhan, kedua vagga ini menunjukkan secara pasti bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan ditujukan pada hancurnya penderitaan dan penyebabnya. Keempat perlakuan dijelaskan secara lengkap hanya untuk 45:161, tetapi dapat diterapkan pada subjek dari tiap-tiap sutta, yang mana terdapat dua puluh, sepuluh per vagga. Jika masing-masing perlakuan dihitung sebagai sutta terpisah, maka jumlah sutta dalam dua vagga ini meningkat empat kali, dan dengan empat versi berbeda dihitung, maka menjadi enam belas kali.
Kata Bojjhaṅga adalah kata majemuk dari bodhi, pencerahan, dan aṅga, anggota tubuh atau faktor. Komentar cenderung menerjemahkan kata ini berdasarkan pada analogi jhānaṅga, faktor-faktor jhāna, menganggapnya berarti faktor-faktor yang mendukung pencerahan. Dalam Abhidhamma Piṭaka, interpretasi ini menjadi begitu menonjol sehingga dalam naskah-naskah yang menerapkan metode Abhidhamma keras (kebalikan dari yang menerapkan metode Suttanta) bojjhaṅga digunakan hanya pada kondisi kesadaran lokuttara, yang berhubungan dengan jalan-jalan kebebasan, bukan pada kondisi bermanfaat dari kesadaran lokiya. Akan tetapi, dalam Bojjhaṅgasaṃyutta, faktor-faktor pencerahan memperoleh sebutan ini terutama karena faktor-faktor ini menuntun menuju pencerahan (46:5, 21). Demikianlah faktor-faktor ini merupakan konstelasi faktor-faktor batin yang berfungsi sebagai penyebab dan kondisi untuk sampai pada pencerahan, pengetahuan kebebasan dan penglihatan (46:56).
Tujuh faktor pencerahan adalah, bagi seorang Buddha, bagaikan tujuh permata berharga dari seorang Raja Pemutar-Roda (46:42). Faktor-faktor ini awalnya muncul berurutan, dengan tiap-tiap faktor bertindak sebagai kondisi bagi faktor berikutnya (46:3). Faktor-faktor ini muncul dalam praktik ke tiga faktor terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang dituntun oleh pandangan benar; tetapi faktor-faktor ini mewakili segmen sang jalan ini dalam rincian yang lebih halus, dengan pengenalan atas kualitas-kualitas yang berlawanan yang harus diseimbangkan agar sang jalan menghasilkan buahnya. Pertama-tama seseorang memperhatikan dengan saksama pada objek meditasi, yang secara umum dipilih antara empat landasan objek perhatian (jasmani, perasaan, pikiran, fenomena): ini adalah faktor pencerahan perhatian (sati-sambojjhaṅga). Ketika perhatian menjadi kokoh, seseorang belajar untuk melihat ciri-ciri objek dengan lebih jelas, dan juga dapat membedakan kondisi-kondisi batin yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang muncul dalanm proses perenungan: faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi (dhammavicaya-sambojjhaṅga). Ini memicu usahanya: faktor pencerahan kegigihan (viriya-sambojjhaṅga). Dari kegigihan yang diarahkan pada usaha pemurnian pikiran maka kegembiraan timbul dan meningkat: faktor pencerahan kegembiraan (pīti-sambojjhaṅga). Dengan menghalusnya kegembiaran maka jasmani dan pikiran menjadi tenang: faktor pencerahan ketenangan (passaddhi-sambojjhaṅga). Pikiran yang tenang mudah dipusatkan: faktor pencerahan konsentrasi (samādhi-sambojjhaṅga). Seseorang melihat secara tanpa membedakan dengan pikiran terkonsentrasi: faktor pencerahan keseimbangan (upekkhā-sambojjhaṅga). Ketika tiap-tiap faktor muncul, faktor-faktor yang telah muncul tidak lenyap melainkan tetap di sana sebagai tambahan (walaupun kegembiraan mereda ketika konsentrasi menjadi lebih dalam). Demikianlah, pada tahap pengembangan yang matang, seluruh tujuh faktor hadir bersamaan, masing-masing melakukan kontribusinya masing-masing.
Sutta-sutta dari Bojhaṅgasaṃyutta biasanya menggambarkan faktor-faktor pencerahan dengan formula umum “berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang dalam pembebasan.” Karena dalam Nikāya, di luar Mahāvagga, frasa ini muncul hanya sebagai keterangan tambahan bagi faktor-faktor pencerahan, adalah mungkin bahwa ini adalah sumber asli dan penerapannya pada kelompok-kelompok lainnya di antara bantuan-bantuan menuju pencerahan adalah turunan. Seperti yang disarankan oleh penjelasan komentar, penjelasan ini paling sesuai untuk bojjhaṅga hanya pada tahap lanjut dari pandangan terang dan pada tingkat jalan lokuttara, ketika bojjhaṅga secara aktif melenyapkan kekotoran-kekotoran dan condong ke arah pencapaian Nibbāna. Hanya pada saat itu faktor-faktor itu dapat benar-benar digambarkan sebagai menuntun menuju pencerahan. Sebelumnya fungsinya hanyalah sekedar mempersiapkan.
Dimensi lokuttara dari bojjhaṅga sepertinya diisyaratkan oleh sebuah frasa yang kadang-kadang ditambahkan pada formula yang cukup terkenal: “luas, agung, tanpa batas, tanpa permusuhan” (vipulaṃ mahaggataṃ appamāṇaṃ abyāpajjhaṃ). Demikianlah digambarkan, faktor-faktor pencerahan dikatakan memungkinkan seorang bhikkhu meninggalkan keinginan (46:26) dan menembus serta membuyarkan kumpulan keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang belum ditembus sebelumnya (46:28). Dengan penembusan Dhamma maka bojjhaṅga menjadi milik yang tidak dapat dirampas, dan siswa mulia yang telah memilikinya telah “memperoleh sang jalan” (maggo paṭiladdho) yang tanpa gagal menuntun menuju kebebasan dari noda (46:30). Adalah penting bahwa dalam kalimat ini ketujuh faktor pencerahan berfungsi biasanya diduga berasal dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Bahkan para Arahant terus membangkitkan bojjhaṅga, bukan untuk suatu tujuan terselubung, melainkan hanya sebagai gaya hidup dalam kediaman mulia saat ini (46:4).
Ketujuh faktor pencerahan terbagi dalam dua kategori, pengaktifan dan pengendalian. Kategori pertama muncul pertama kali: pembedaan kondisi-kondisi, kegigihan, dan kegembiraan. Kategori ke dua muncul belakangan: ketenangan, konsentrasi, dan keseimbangan. Faktor-faktor pengaktifan harus dilatih ketika pikiran menjadi lembam, bagaikan seseorang memberikan bahan bakar pada api kecil untuk mengobarkannya. Faktor-faktor pengendalian harus dilatih ketika pikiran bergairah, bagaikan seseorang memercikkan air dan rumput basah ke dalam api besar untuk meredupkannya. Perhatian tidak termasuk dalam kategori manapun, karena senantiasa berguna di mana saja, khususnya untuk memastikan bahwa faktor-faktor pengaktifan dan faktor-faktor pengendalian tetap seimbang (46:53).
Berulang-ulang, Bojjhaṅgasaṃyutta membentuk suatu perlawanan antara ketujuh faktor pencerahan dan lima rintangan (pañca nīvaraṇa): keinginan indria, permusuhan, ketumpulan dan kelambanan, kegelisahan dan penyesalan, serta keragu-raguan. Lima rintangan adalah penghalang utama bagi kemajuan meditatif baik dalam konsentrasi maupun pandangan terang. Meninggalkan rintangan-rintangan sering digambarkan dalam teks sehubungan dengan latihan bertahap seorang siswa (misalnya, pada DN I 71-73 dan MN I 181). Di sini kelima rintangan disebut penghalang batin yang melemahkan kebijaksanaan, sedangkan faktor-faktor pencerahan adalah aset yang menuntun menuju pengetahuan dan kebebasan sejati (46:37). Rintangan-rintangan dapat diumpamakan sebagai cacatnya emas, parasit pada pepohonan di hutan, keruhnya air yang menghalangi pantulan wajah seseorang (46:33, 39, 55). Rintangan-rintangan ini adalah pembuat kebutaan, penghancur kebijaksanaan, pengalih dari jalan menuju Nibbāna; faktor-faktor pencerahan adalah pembuat penglihatan dan pengetahuan, pengembang kebijaksanaan, dan bantuan di sepanjang jalan menuju Nibbāna (46:40, 56).
Dalam Bojjhaṅgasaṃyutta, Sang Buddha menggambarkan secara terperinci kondisi-kondisi yang bertanggung jawab bagi muncul dan bertumbuhnya rintangan maupun faktor-faktor pencerahan. Di sana Beliau menunjukkan bagaimana prinsip umum kondisional juga dapat diterapkan pada penyebab psikologis tertentu dari belenggu dan kebebasan. Kondisi-kondisi dari kedua jenis dijelaskan sebagai nutrisi (āhāra), sebuah kata yang menggarisbawahi aspek kondisional yang bersifat asimilatif dan perlahan-lahan sehubungan dengan kemunduran dan pengembangan batin. Pada 46:2 peran nutrisi sehubungan dengan rintangan dan faktor-faktor pencerahan diumpamakan dengan pemeliharaan jasmani. Di sini hanya sisi aktif dari nutrisi yang tampak. Sutta berikutnya (46:51) melanjutkan dan menunjukkan “penelantaran” rintangan dan faktor-faktor pencerahan, yaitu, ukuran yang mencegahnya muncul dan berkembang. Yang paling menonjol di antara semua makanan bagi seluruh lima rintangan adalah perhatian yang lengah (ayoniso manasikāra), dan yang paling menonjol di antara semua makanan bagi seluruh tujuh faktor pencerahan adalah perhatian waspada (yoniso manasikāra). Peran perhatian sehubungan dengan rintangan dan faktor-faktor pencerahan juga ditekankan pada 46:23, 24, dan 35.
Karena Bojjhaṅgasaṃyutta tidak memasukkan paralel dari vagga dalam Maggasaṃyutta yang mengidentifikasikan kondisi-kondisi bagi sang jalan, kita dapat menggabungkan suatu gambaran dari kondisi-kondisi bagi faktor-faktor pencerahan dengan menyusun sutta-sutta yang berserakan dalam koleksi ini. Perhatian waspada adalah pelopor bagi faktor-faktor pencerahan dan juga kondisi internal terutama bagi kemunculannya (46:13, 49). Tetapi persahabatan yang baik sama ampuhnya sebagai pelopor dan adalah kondisi eksternal utama bagi kemunculannya (46:48, 50). Kondisi-kondisi lain yang disebutkan adalah moralitas (46:11) dan ketekunan (46:31). Dalam suatu diskusi dengan seorang pengembara, Sang Buddha mengatakan bahwa pengetahuan dan kebebasan sejati adalah tujuan dari kehidupan suci. Ini dicapai dengan mengembangkan tujuh faktor pencerahan, yang pada gilirannya memenuhi empat penegakan perhatian, yang bergantung pada tiga jenis perbuatan baik (jasmani, ucapan, dan pikiran), yang pada gilirannya bergantung pada pengendalian indria (46:6). Demikianlah kita di sini melihat jejak versi lain dari “kemunculan bergantungan transenden” yang paralel dengan rangkaian yang digambarkan pada 12:23.
Dua sutta memperlihatkan beberapa bhikkhu terkemuka yang sembuh dari penyakit mereka ketika Sang Buddha membacakan faktor-faktor pencerahan di hadapan mereka, dan yang ke tiga menunjukan Sang Buddha sendiri sembuh ketika seorang bhikkhu membacakannya untuk Beliau (46:14-16). Demikianlah sutta-sutta ini sepertinya mengandung kekuatan penyembuhan mistis dengan pembacaan faktor-faktor pencerahan. Tentu saja, kekuatan penyembuhan tidak terletak dalam kata-kata dari teks itu saja, tetapi memerlukan perhatian yang terkonsentrasi dari si pendengar. Di Sri Lanka, ketiga sutta ini termasuk dalam Maha Pirit Pota, “Buku Agung Perlindungan,” suatu koleksi paritta atau khotbah perlindungan, dan para bhikkhu biasanya membacakannya untuk para pasien yang mengidap penyakit berat.
Dalam 46:54, Sang Buddha menghubungkan pengembangan faktor-faktor pencerahan dengan empat alam surgawi (brahmavihāra): cinta kasih tanpa batas, belas kasihan tanpa batas, kegembiraan tanpa batas atas kegembiraan orang lain, dan keseimbangan tanpa batas. Walaupun teks mengatakan bahwa bhikkhu mengembangkan faktor-faktor pencerahan disertai dengan cinta kasih (mettāsahagataṃ satisambojjhaṅgaṃ bhāveti), dan seterusnya, komentar menjelaskan bahwa seseorang benar-benar menggunakan alam surgawi untuk mengembangkan konsentrasi, and kemudian, berdasarkan pada konsentrasi ini, ia mengembangkan tujuh faktor pencerahan dalam modus pandangan terang. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa alam surgawi dan faktor-faktor pencerahan, masing-masing memiliki orientasi berbeda, penjelasan ini sepertinya masuk akal. Teks lebih lanjut menyebutkan bahwa kesempurnaan dalam praktik menggabungkan alam surgawi dan faktor-faktor pencerahan ini memungkinkan meditator mengerahkan lima kekuatan batin atas persepsi, kemampuan untuk mengubah kerangka persepsi seseorang hanya dengan suatu tindakan berkehendak.
Vagga VII dan VIII melanjutkan menghubungkan pengembangan ketujuh faktor pencerahan dengan subjek-subjek meditasi lainnya, memerinci enam manfaat dalam tiap-tiap kasus. Mungkin ketujuh manfaat yang disebutkan pada 46:3 seharusnya juga disisipkan di sini. Di antara subjek-subjek meditasi, dalam Vagga VII lima pertama adalah perenungan pekuburan, kemudian empat alam surgawi dan perhatian pada pernafasan; dalam Vagga VIII, kita menemukan sepuluh jenis persepsi yang berhubungan dengan baik ketenangan maupun pandangan terang.
Terakhir, Vagga IX-XVIII menjelaskan rangkaian pengulangan dari faktor-faktor pencerahan, tetapi kali ini faktor-faktor itu disederhanakan menjadi sedikit lebih banyak dari syair hafalan. Dua versi tercatat lengkap, walaupun bentuknya diringkas: versi “berdasarkan pada keterasingan” dan versi “lenyapnya nafsu”. Tetapi sutta terakhir (46:184) menambahkan frasa kunci dari versi ke tiga dan ke empat (yang dengan frasa “dengan Keabadian sebagai landasan” dan “miring ke arah Nibbāna” sebagai pengulangannya). Penambahan yang tidak mencolok ini menyiratkan bahwa keseluruhan rangkaian seharusnya diulangi dua kali lagi, dalam dua versi ini, suatu tugas yang akan dilaksanakan oleh siswa yang tekun dengan senang hati.
Frasa cattāro satipaṭṭhānā umumnya diterjemahkan “empat landasan perhatian,” suatu terjemahan yang menganggap bahwa kata majemuk itu berasal dari sati + paṭṭhāna dan menekankan landasan objektif dari praktik: jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena. Akan tetapi, sepertinya lebih tepat jika satipaṭṭhāna seharusnya dipecah menjadi sati + upaṭṭhāna, dan dengan demikian diterjemahkan “penegakan perhatian.” Interpretasi demikian, yang menyorot pada kualitas subjektif disusun dalam pengembangan perhatian, disiratkan oleh kata sifat upaṭṭhitasati yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang telah menegakkan perhatian (baca V, n. 122 untuk alasan lainnya). Kadang-kadang dalam teks landasan objektif perhatian juga digunakan tanpa ragu sebagai makna dari satipaṭṭhāna, seperti pada 47:42, tetapi ini adalah pengecualian bukan aturan.
Dalam Satipaṭṭhānasaṃyutta, kita tidak menemukan penjelasan rinci dari empat perenungan yang harus dilaksanakan dalam praktik. Untuk itu kita harus membuka Satipaṭṭhāna Sutta dalam salah satu dari dua versi, yang lebih panjang pada DN No. 22 atau yang menengah pada MN No. 10 (yang berbeda hanya pengurangan pada bagian analisa terperinci atas Empat Kebenaran Mulia). Sutta ini menjelaskan perenungan jasmani (kāyānupassanā) dalam empat belas latihan: perhatian pada pernafasan, perhatian pada postur, perhatian penuh dan pemahaman jernih dalam segala aktivitas, penyelidikan atas tiga puluh satu bagian tubuh (seperti ilustrasi kejijikan; baca 51:20), analisa ke dalam empat unsur, dan sembilan perenungan pekuburan. Perenungan perasaan (vedanānupassanā) ada satu namun perenungan perasaan dalam hal kualitas emosinya – sebagai menyenangkan, menyakitkan, atau netral – dengan masing-masing dianalisa lagi apakah sebagai jasmaniah ataupun batiniah. Perenungan pikiran (cittānupassanā) juga ada satu tetapi memeriksa enam belas kondisi pikiran yang diwarnai oleh pendamping-pendampingnya (seperti pada 51:11). Perenungan fenomena (dhammānupassanā) adalah latihan yang paling bervariasi. Kata ini sering diterjemahkan “objek-objek pikiran” atau “objek-objek batin” seolah-olah menunjukkan landasan indria ke enam, tetapi ini sepertinya terlalu sempit dan spesifik. Lebih tepat jika dhammā di sini menunjukkan segala fenomena, yang untuk tujuan pandangan terang dikelompokkan ke dalam cara pengelompokan pasti yang ditentukan oleh Dhamma itu sendiri – doktrin atau ajaran – dan memuncak pada pencapaian Dhamma tertinggi yang terdapat dalam Empat Kebenaran Mulia. Ada lima skema demikian: lima rintangan, lima kelompok unsur kehidupan, enam pasang landasan internal dan eksternal, tujuh faktor pencerahan, dan Empat Kebenaran Mulia.
Pentingnya satipaṭṭhāna ditekankan dalam Satipaṭṭhānasaṃyutta dari awal dengan menggambarkannya sebagai ekāyana magga untuk mengatasi penderitaan dan untuk mencapai Nibbāna (47:1). Walaupun ungkapan Pāli ini sering diterjemahkan sebagai “jalan tunggal” atau “jalan satu-satunya,” terjemahan ini memiliki sedikit dukungan baik dari sutta maupun komentar. Makna yang mungkin, diturunkan dari pemakaian teks non-doktrin, adalah “jalan satu-arah,” disebut demikian karena jalan itu menuju ke satu arah: ke arah pemurnian makhluk-makhluk, kebebasan dari penderitaan, dan pencapaian NIbbāna. Sang Buddha digambarkan merenungkan empat satipaṭṭhāna sebagai “jalan satu-arah” segera setelah pencerahannya, dan Brahmā Sahampati muncul di hadapan Beliau dan melantunkan puji-pujian dalam syair (47:18, 43).
Sang Buddha merekomendasikan empat satipaṭṭhāna kepada para samanera, yang berlatih, dan bahkan kepada para Arahanta, masing-masing untuk tujuan berbeda. Para samanera mempraktikkannya untuk mengenali jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena sebagaimana adanya, yaitu, untuk membangkitkan pandangan terang yang diperlukan untuk mencapai jalan transenden. Bagi mereka yang berlatih, yang telah mencapai sang jalan, mempraktikkannya untuk memahami sepenuhnya hal-hal ini dan dengannya mencapai Kearahatan. Para Arahanta mempraktikkannya melepaskan dari jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena (47:4). Empat satipaṭṭhāna adalah tempat dan wilayah yang tepat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu yang tersesat masuk ke dalam “untaian kenikmatan indria” menjadi mudah diserang oleh Māra; mereka yang berdiam di dalamnya tidak terjangkau oleh Yang Jahat (47:6, 7).
Untuk lebih jauh menekankan pentingnya satipaṭṭhāna, tiga sutta menghubungkan praktik dengan lamanya masa pengajaran Buddha (47:22, 23, 25). Menjelang akhir hidup-Nya, ketika kesehatan-Nya menurun, Sang Buddha menasihati para bhikkhu agar berdiam “dengan diri kalian sendiri sebagai pulau, dengan diri kalian sendiri sebagai perlindungan.” Cara bagaimana melakukan hal ini, Beliau menjelaskan, adalah dengan mengembangkan empat penegakan perhatian (47:9). Beliau memberikan nasihat yang sama kepada Saṅgha setelah kematian Sāriputta dan Mahāmoggallāna (47:13, 14) yang merupakan pengingat yang sangat penting akan hukum ketidakkekalan.
Praktik satipaṭṭhāna berpusat pada latihan sati, perhatian, yang dapat dipahami sebagai memfokuskan pada kewaspadaan yang diarahkan pada pengalaman langsung baik dalam sektor subjektif maupun objektif. Inti dari praktik ini secara ringkas dinyatakan dalam formula yang terdapat dalam hampir semua sutta dalam bab ini. Formula itu menunjukkan bahwa latihan sati memiliki karakter memantul: seseorang merenungkan jasmani dalam jasmani, perasaan dalam perasaaan, pikiran dalam pikiran, fenomena dalam fenomena. Pengulangan tersebut mengisyaratkan bahwa tindakan perenungan harus mengisolasi masing-masing bidang perhatian dari yang lainnya dan memperhatikannya sebagaimana adanya di dalamnya. Ini berarti objek harus ditelanjangi, dikupas lapisan-lapisan perkembangan batin yang biasanya mengacaukan persepsi dan mencegah kita untuk melihat karakteristik sesungguhnya dari fenomena. Meditator harus melihat jasmani dalam tindakan bernafas sebagai hanya tubuh bernafas, bukan seseorang atau diri yang sedang bernafas; perasaan sebagai hanya perasaan, bukan sebagai episode-episode dalam suatu biografi panjang; kondisi pikiran sebagai hanya kondisi pikiran, bukan sebagai adegan-adegan dalam suatu drama pribadi; fenomena sebagai sekadar fenomena, bukan sebagai pencapaian pribadi atau kewajiban.
Formula lengkap itu memperjelas bahwa perhatian tidak bekerja sendirian namun bersama-sama. Istilah “tekun” (ātāpī) menyiratkan kegigihan, “pemahaman jernih” (sampajāno) menyiratkan kebijaksanaan yang baru muncul, dan kadang-kadang ditambahkan, “terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat (samāhitā ekaggacittā)” (47:4), menunjuk pada adanya konsentrasi. Demikianlah praktik satipaṭṭhāna mencakup tiga faktor terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dan karena moralitas dan pandangan lurus dikatakan sebagai prasyaratnya (47:3, 15), yang pertama terdiri dari tiga faktor jalan etis ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar, dan yang ke dua bersinonim dengan pandangan benar, ini menyiratkan bahwa pengembangan keseluruhan Jalan Mulia Berunsur Delapan dapat dikemas dalam praktik satipaṭṭhāna. Sejauh inilah yang diajarkan ketika Jalan Delapan disebut “jalan menuju pengembangan penegakan perhatian” (47:30).
Dalam Satipaṭṭhāna Sutta masing-masing latihan dalam perhatian diikuti dengan dua lanjutan praktik yang diungkapkan dalam dua paragraf yang terhubung dengan instruksi dasar. Ini juga ditemukan dalam Satipaṭṭhānasaṃyutta, walaupun disebutkan terpisah. Demikianlah pada 47:3, Sang Buddha menginstruksikan seorang bhikkhu untuk merenungkan landasan perhatian “secara internal” (yaitu, dalam dirinya sendiri), dan “secara eksternal” (yaitu, dalam diri orang lain), dan kemudian keduanya “Secara internal dan secara eksternal” (dalam dirinya sendiri dan orang lain dalam urut-urutan cepat). Pada 47:40, Beliau menjelaskan “pengembangan penegakan perhatian” berarti merenungkan masing-masing landasan sebagai memiliki sifat berasalmula, sifat lenyap, dan sifat berasal-mula dan lenyap. Kedua perluasan ini memperdalam dan memperluas praktik, menyebar keluar dari pendapat sempit atas pengalaman seseorang ke arah penglihatan yang lebih luas dan pola intrinsik.
Praktik perhatian sering dipasangkan dengan kualitas lainnya, pemahaman jernih (sampajañña), yang disebutkan dalam formula dasar dan juga secara terpisah. Pada 47:2 pemahaman jernih dijelaskan sehubungan dengan postur jasmani dan aktivitas rutin dalam kehidupan sehari-hari, pada 47:35 sehubungan dengan muncul dan lenyapnya perasaan, pikiran, dan persepsi. Komentar menjelaskan pemahaman jernih memiliki empat penerapan: sebagai kesadaran penuh atas tujuan dari tindakan seseorang; kehati-hatian dalam memilih cara-cara; sebagai ikatan pikiran dengan subjek meditasi dan sebagai penglihatan atas segala sesuatu dalam sifat aslinya, bebas dari delusi.
Adalah menarik untuk melihat bahwa Satipaṭṭhānasaṃyutta mengadu empat penegakan perhatian melawan lima rintangan; rintangan-rintangan adalah suatu “tumpukan tidak bermanfaat,” satipaṭṭhāna adalah suatu “tumpukan bermanfaat” (47:5). Bahwa kelima rintangan harus dilawan baik dengan ketujuh faktor-faktor pencerahan dan empat penegakan perhatian adalah sangat dapat diterima ketika kita menyadari bahwa faktor pencerahan pertama adalah perhatian itu sendiri, yang diaktifkan oleh pengembangan empat penegakan perhatian. Satu kesimpulan dari praktik yang diadopsi oleh seluruh Buddha di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan menggambarkan sang jalan dalam tiga langkah: melepaskan lima rintangan, memantapkan pikiran dalam empat penegakan perhatian, dan pengembangan benar atas tujuh faktor pencerahan (47:12). Praktik satipaṭṭhāna adalah metode yang tepat untuk meninggalkan rintangan-rintangan, dan terletak dalam rahim praktik ini, sekali lagi, bahwa ketujuh faktor pencerahan dikandung dan tumbuh ke arah tujuannya, pengetahuan dan kebebasan sejati (vijjāvimutti; baca 46:6). Demikianlah, sementara mereka mengaku hanya satu tempat di antara ketujuh kelompok membentuk bantuan menuju pencerahan, empat penegakan perhatian dapat dilihat sebagai batang yang darinya kelompok-kelompok dahan lainnya tumbuh dan berbuah.
Bahwa latihan dalam meditasi perhatian dianggap suatu kegemaran pada diri sendiri, Sang Buddha menjelaskan bahwa adalah dengan melindungi diri sendiri melalui pengembangan perhatian maka seseorang dapat dengan sangat efektif melindungi orang lain. Sebaliknya, praktik meditasi introspeksi harus diseimbangkan dengan latihan moralitas sosial seperti kesabaran, tidak-mencelakai, cinta kasih, dan simpati (47:19). Sang Buddha juga mengajarkan para siswanya untuk membagi manfaat dari praktik mereka kepada orang lain dengan memantapkan sanak saudara, para sahabat, serta kerabat mereka dalam empat pengembangan perhatian (47:48). Sang Guru khususnya memberikan praktik ini kepada yang sakit, mungkin karena perhatian dan pemahaman jernih diarahkan kepada jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena adalah pertolongan terbaik untuk mengatasi penderitaan jasmani, kesakitan fisik, dan tekanan batin yang disebabkan oleh penyakit.
Di akhir Saṃyutta terdapat rangkaian pengulangan yang tidak dapat dihindarkan. Karena empat penegakan perhatian disertai oleh formulanya sendiri – “ia berdiam merenungkan jasmani dalam jasmani,” dan seterusnya – hanya ada satu versi dalam tiap-tiap sutta, dijelaskan melalui formula ini. Ini, sekali lagi, dengan pengecualian sutta pertama dan terakhir, diringkas menjadi syair hafalan.
Tidak seperti saṃyutta sebelumnya, Indriyasaṃyutta terdiri dari topik yang bermacam-macam. Tidak hanya membahas lima indria spiritual, sebuah kelompok yang termasuk dalam ketiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan, tetapi juga membahas berbagai hal lainnya yang termasuk dalam rubrik indriya. Mungkin edisi tertua dari saṃyutta ini terdiri dari hanya naskah-naskah yang menjelaskan seputar indria spiritual, tetapi karena kata indriya memiliki cakupan yang lebih luas, pada titik tertentu para penyusun kanon merasa berkewajiban untuk memasukkan naskah-naskah yang berhubungan dengan jenis indria lainnya ke dalam koleksi ini. Hipotesa ini, walaupun tidak dapat dibuktikan, berasal dari struktur serampangan dari saṃyutta ini.
Pada periode Abhidhamma awal para ahli ajaran Buddhis telah mengemukakan dua puluh dua indria yang diusulkan sebagai ikhtisar kategori fenomenologis yang setaraf dengan lima kelompok unsur kehidupan, dua belas landasan indria, dan delapan belas unsur. Dengan demikian, indria-indria dikumpulkan dan dianalisa dalam Vibhaṅga dari Abhidhamma Piṭaka (Bab 5). Hal yang penting, walaupun seluruh indria diambil dari sutta, Indriyavibhaṅga hanya memiliki analisa Abhidhamma, bukan analisa Suttanta, menyiratkan bahwa para penyusun Vibhaṅga di masa lampau tidak mempertimbangkan penggabungan seluruh indria untuk membentuk skema gabungan dalam kerangka Sutta Piṭaka.
Kedua puluh dua indriya ada dalam lima kelompok berbeda sebagai berikut:
Lima indria spiritual Enam organ indria Lima indria emosional Tiga indria yang berhubungan dengan pengetahuan tertinggi
Kelompok tiga yang terdiri dari indria ke-perempuan-an, ke-laki-laki-an, dan indria kehidupan.
Semua indria ini, diperlakukan secara ringkas dalam Indriyasaṃyutta, disebut indriya dalam makna bahwa indria-indria ini berkuasa dalam bidang tertentu dari aktivitas atau pengalaman, seperti halnya Indra (sesuai namanya) berkuasa atas para deva.
Saṃyutta ini dimulai dengan dua vagga yang membahas lima indria spiritual, indria keyakinan (saddhā), kegigihan (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (paññā). Sutta pembuka memberlakukan indria-indria ini dengan cara pola-pola yang telah kita temui beberapa kali: kelompok tiga kepuasan, kelompok lima asal-mula, dan pola petapa dan brāhmaṇa. Dalam sutta petapa dan brāhmaṇa ke dua, kita menemukan indria spiritual diletakkan pada tempat yang ditempati oleh penderitaan dalam pola Empat Kebenaran Mulia. Gebrakan ini sepertinya ganjil, memunculkan variasi dengan penghargaan yang tidak semestinya sesuai dengan kelompok lainnya di antara bantuan-bantuan menuju pencerahan. Ini menjadi dapat dimengerti ketika kita menyadari bahwa indria-indria di sini dianggap, tidak hanya sebagai faktor-faktor yang mendukung pencerahan, melainkan juga sebagai anggota dari skema kategori fenomenologis yang lebih luas yang paralel dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur.
Empat sutta dalam vagga pertama menjelaskan perbedaan antara pemasuk-arus dan Arahanta. Pemasuk-arus didefinisikan sebagai seorang yang telah memahami indria-indria melalui pola-pola yang telah diberikan; Arahanta, setelah memperoleh pengetahuan ini, telah mengembangkannya hingga titik dimana batinnya telah terbebas dari kemelekatan (48:2-5; cp. 22:109-10). Dalam 48:8-11, Sang Buddha menjelaskan wilayah dan implementasi praktis indria-indria, dan kemudian dalam 48:12-18, Beliau menunjukkan bagaimana kekuatan relatif indria-indria menentukan perubahan secara bertahap di antara tingkat-tingkat berbeda siswa mulia (48:24, yang jelas tidak pada tempatnya, juga termasuk dalam kelompok ini).
Dalam vagga ke tiga, kita menemukan sebutan untuk kelompok tiga ke-perempuan-an (48:22) dan kelompok tiga pengetahuan tertinggi (48:23), namun tanpa penjelasan. Definisi formal hanya terdapat pada Abhidhamma Piṭaka dan komentar (baca V, nn. 205, 206 untuk referensi). Dalam 48:26-30 fokus jatuh pada enam organ indria, nyaris identik dengan enam landasan indria internal. Ini diperlakukan sekadar melalui pola, tanpa maksud khusus.
Vagga IV membahas lima indria emosional, pembagian yang lebih halus dari tiga perasaan: indria kesenangan dan kegembiraan berturut-turut adalah perasaan menyenangkan jasmani dan batin; indria kesakitan dan ketidaksenangan adalah perasaan tidak menyenangkan jasmani dan batin; dan indria keseimbangan adalah perasaan netral (48:36-38). Sutta terakhir dalam rangkaian ini membahas tingkatan di mana indria-indria padam sepenuhnya; teks sulit diterjemahkan tanpa bantuan komentar (yang dikutip dalam catatan).
Dalam Vagga V, kita kembali pada indria spiritual, kali ini pada potongan sutta yang menjelaskan dengan lebih jelas mengenai perannya dalam jalan Buddhis. Sutta-sutta ini menunjukkan bahwa kelima indria merupakan struktur lengkap yang mampu menuntun di sepanjang perjalanan menuju hancurnya noda-noda (48:43, akhir). Dalam 48:50, Sāriputta menjelaskan bahwa indria-indria mengungkapkan rangkaian maju, keyakinan menuju kemunculan kegigihan, kegigihan menuju perhatian, perhatian menuju konsentrasi, dan konsentrasi menuju kebijaksanaan. Di antara lima indria, kebijaksanaan berulang-ulang mendapat nilai tertinggi; disebut pemimpin di antara kondisi-kondisi yang mendukung menuju pencerahan dan dipuji dalam perumpamaan yang indah (48:51, 54, 55, 68-70). Sesungguhnya, kebijaksanaan dikatakan sebagai indria yang menstabilkan empat indria lainnya, menjadikan indria-indria dalam makna sebenarnya (48:45, 52).
Baik lima indria maupun kima kekuatan menggambarkan kualitas-kualitas spiritual yang sama, dan ini menimbulkan pertanyaan akan hubungan antara keduanya. Sepertinya indria-indria mewakili lima kualitas ini pada tahap awal, dan kekuatan-kekuatan pada tahap selanjutnya, tahap yang lebih maju, tetapi teks tidak mendukung pandangan ini. Sang Buddha menyatakan kedua kelompok ini adalah identik, dengan sebutan “indria” dan “kekuatan” yang digunakan hanya untuk menekankan aspek yang berbeda pada kelompok kualitas yang sama; keduanya bagaikan dua arus dari sungai yang sama yang mengalir di kedua sisi pulau di tengah sungai (48:43). Komentar menjelaskan bahwa kelima faktor menjadi indria ketika dianggap sebagai pengendali di wilayahnya masing-masing, dan sebagai kekuatan ketika dianggap sebagai tidak tergoyahkan oleh lawannya.
Satu hubungan antar indria, tidak disebutkan dalam sutta tetapi dibahas dalam komentar, patut diperhatikan. Ini adalah pengaturannya menjadi pasangan yang saling melengkapi. Keyakinan dipasangkan dengan kebijaksanaan, memastikan bahwa emosi dan sisi intelektual dari kehidupan spiritual tetap seimbang; kegigihan dipasangkan dengan konsentrasi, memastikan bahaw pengaktifan dan sisi pengendalian dari pengembangan batin tetap seimbang. Perhatian tidak memiliki pasangan namun memperhatikan yang lainnya, menggenggam semuanya dalam tegangan yang saling meningkatkan.
Indriyasaṃyutta berakhir dengan rangkaian pengulangan, kali ini dalam dua versi, versi “berdasarkan pada keterasingan” dan versi “lenyapnya nafsu”.
Kedua saṃyutta ini tidak berisikan sutta-sutta asli melainkan hanya menjelaskan dengan contoh dari rangkaian pengulangan. Karena empat usaha benar digambarkan melalui formula umum masing-masing, rangkaian pengulangan dalam Sammappadhānasaṃyutta disebutkan hanya sekali, disertai dengan formula ini. Lima kekuatan paralel dengan lima indria, dan oleh karena itu, Balasaṃyutta harus dijelaskan dengan rangkaian pengulangan yang mengisi kedua versi ini.
Istilah iddhipāda, diterjemahkan “landasan kekuatan batin,” adalah sebuah kata majemuk iddhi dan pāda. Iddhi (Skt ṛddhi) aslinya berarti keberhasilan, pertumbuhan, atau kemakmuran, tetapi diawal tradisi yogi India kata ini menjadi bermakna jenis keberhasilan khusus yang diperoleh melalui meditasi, yaitu, kemampuan untuk melakukan kesaktian yang melawan peristiwa normal. Kesaktian demikian, pada spiritual India, tidak dianggap sebagai kegaiban yang membuktikan kondisi kesucian dari orang yang melakukannya. Kesaktian itu dipahami, sebagai perluasan dari sebab akibat alami yang terjangkau oleh meditator melalui kesempurnaan dalam konsentrasi (samādhi). Pikiran yang terlatih dalam konsentrasi mampu melihat hubungan halus antara pita-pita energi batin dan jasmani yang tidak terlihat oleh indria kesadaran biasa. Persepsi demikian memungkinkan yogi yang unggul untuk masuk ke dalam arus dalam yang terpendam dari sebab akibat alami dan menggunakannya untuk melakukan kegaiban yang, bagi yang tidak terlatih, terlihat mistis dan gaib.
Sementara Buddhisme awal sering digambarkan sebagai sistem etis yang rasional atau jalan dari meditasi pertapaan murni, Nikāya sendiri penuh dengan teks-teks di mana Sang Buddha ditunjukkan melakukan kegaiban kekuatan batin dan memuji siswa-siswa yang unggul dalam keterampilan ini. Apa yang ditolak oleh Sang Buddha bukanlah perolehan kekuatan demikian tetapi penyalahgunaan untuk tujuan yang tidak bertanggung jawab. Beliau melarang para bhikkhu dan bhikkhuni untuk memperlihatkan kekuatan-kekuatan ini untuk mengesankan umat awam dan untuk mengalih-yakinkan mereka yang tidak berkeyakinan, dan Beliau menekankan bahwa kekuatan-kekuatan itu sendiri bukanlah bukti bahwa pemiliknya memiliki kebijaksanaan sejati. Dalam sistem-Nya, kesaktian sesungguhnya adalah “kesaktian instruksi” (anusāsani-pāṭihāriya), kemampuan untuk mentransformasi seseorang melalui ajaran tentang bagaimana mengatasi kejahatan dan memenuhi kebaikan.
Namun demikian, Sang Buddha memasukkan iddhi ke dalam jalan latihan-Nya dengan delapan skema yang sering ditemui dalam teks. Skema ini disebut “berbagai jenis kekuatan spiritual” (anekavihitaṃ iddhividhaṃ), dan disebutkan berkali-kali dalam saṃyutta ini, paling nyata terdapat dalam definisi formal dari iddhi (pada 51:19). Beliau juga menawarkan interpretasi luas dari jenis keberhasilan spiritual yang dapat diperoleh melalui meditasi, satu yang menggolongkan iddhi dalam kategori yang lebih luas atas enam jenis pengetahuan yang lebih tinggi yang umumnya dikenal sebagai chaḷabhiññā atau enam pengetahuan langsung. Yaitu: delapan jenis kekuatan spiritual; telinga dewa, kemampuan untuk mengetahui pikiran makhluk-makhluk lain, mengingat kehidupan lampaunya; pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk sesuai kamma mereka; dan pengetahuan hancurnya noda-noda (51:11, dan seterusnya). Lima pertama adalah lokiya, disukai sebagai hiasan dari seorang meditator terampil tetapi tidak penting untuk kebebasan (baca 12:70). Yang terakhir adalah lokuttara dan puncak dari latihan setahap demi setahap. Dengan mengadopsi konsep keberhasilan spiritual yang lebih luas dan lebih mendalam ini, Sang Buddha dapat memasukkan ke dalam sistem-Nya berbagai kekuatan spiritual yang sangat diagungkan dalam budaya yogi India, pada saat yang sama juga memberikan tempat terhormat bagi pencapaian yang khas pada disiplin-Nya: kebebasan batin yang hanya dapat dicapai melalui hancurnya kekotoran-kekotoran.
Empat iddhipāda adalah sarana bagi pencapaian kekuatan spiritual, baik jenis duniawi maupun jenis melampauinya. Dengan demikian, walaupun termasuk di antara ketiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan, kelompok faktor-faktor ini memiliki rasa yang sedikit berbeda dari yang lainnya. Sementara yang lainnya dibabarkan hanya menyangkut kontribusinya untuk pencerahan dan pencapaian Nibbāna, iddhipāda dapat digunakan untuk mencapai baik kesaktian iddhi maupun kekuatan spiritual tertinggi Kearahatan.
Iddhipādasaṃyutta menempatkan iddhipāda dalam konteks universal dengan menyatakan bahwa semua petapa dan brāhmaṇa – di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan – yang memperoleh kekuatan spiritual melakukannya melalui sarana ini (51:6-7). Sekali lagi, adalah dengan mengembangkan empat iddhipāda maka semua petapa dan brāhmaṇa pada tiga masa menjadi kuat dan sakti (51:16), atau memperoleh enam pengetahuan langsung (51:17). Sesungguhnya, adalah dengan mengembangkan iddhipāda maka Sang Buddha menjadi seorang yang Tercerahkan Sempurna. (51:8).
Empat iddhipāda didefinisikan oleh sebuah formula yang terdapat dalam hampir setiap sutta dalam koleksi ini. Formula ini dapat dianalisa dalam tiga bagian, dua berlaku untuk seluruh empat landasan, yang ke tiga membedakannya sebagai empat. Dua komponen umum adalah konsentrasi (samādhi) dan “bentukan-bentukan kehendak berusaha” (padhānasaṅkhārā). Bentukan-bentukan kehendak berusaha didefinisikan oleh formula empat usaha benar (sammappadhānā), sehingga iddhipāda, kelompok ke tiga dari bantuan-bantuan menuju pencerahan, secara implisit terdapat dalam kelompok ke dua.
Komponen yang secara khusus terdapat pada tiap-tiap iddhipāda adalah faktor-faktor yang memimpin dalam memperoleh konsentrasi: keinginan (chanda), kegigihan (viriya), pikiran (citta), dan penyelidikan (vīmaṃsā). Komentar menginterpretasikan keinginan di sini sebagai “keinginan untuk berbuat” (kattukaṃyatā) dan “penyelidikan” (vīmaṃsā) sebagai kebijaksanaan. Kegigihan dan pikiran tidak diberikan definisi khusus selain sinonim umum untuk faktor-faktor ini. Mungkin, sementara seluruh empat kualitas muncul bersama-sama dalam setiap kondisi konsentrasi, pada setiap kesempatan hanya satu dari empat yang akan memegang peranan penting dalam menghasilkan konsentrasi dan ini memberikan istilah pada iddhipāda. Menarik untuk diamati bahwa formula usaha benar, termasuk dalam formula iddhipāda seperti disebutkan di atas, menyebutkan tiga faktor yang berfungsi sebagai iddhipāda, yaitu, keinginan, kegigihan, dan pikiran; dan karena usaha benar mengisyaratkan perbedaan antara kondisi-kondisi bermanfaat dan tidak bermanfaat, tingkatan penyelidikan tertentu juga terlibat. Demikianlah sekali lagi kita dapat melihat keterkaitan dari ketujuh kelompok.
Formula standard untuk iddhipāda kadang-kadang terkandung dalam pernyataan yang lebih panjang dan lebih kompleks yang menunjukkan bahwa faktor-faktor itu harus dilatih bersamaan dengan sejumlah keterampilan meditatif lainnya yang diperlukan untuk memastikan keseimbangan, menyeluruh, dan meluas pada pengembangannya. Kalimat ini secara jelas terdapat pada 51:11, sebagai suatu penemuan yang dilakukan oleh Sang Buddha selagi masih seorang Bodhisatta yang berjuang mencapai pencerahan; penjelasan ini muncul kembali pada 51:12, yang menggambarkan bagaimana seorang bhikkhu mencapai enam pengetahuan langsung. Jika dibaca tersendiri, kalimat ini sulit untuk dapat dipahami, tetapi 51:20 memberikan suatu komentar internal untuk masing-masing istilah, hampir menyerupai cara naskah Abhidhanmma. Teks lain, muncul lima kali dengan variasi hanya dalam hal pendengarnya, memberikan definisi individual atas kekuatan spiritual, landasan-landasan kekuatan spiritual, pengembangan landasan-landasan kekuatan spiritual, dan jalan untuk pengembangan landasan-landasan (51:19, 27-30). Definisi terakhir menghubungkan empat iddhipāda dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sekali lagi menarik perhatian pada saling ketergantungan dari ketujuh kelompok.
Singkatnya, iddhi atau kekuatan spiritual yang harus dicapai melalui meditasi adalah: secara sempit, delapan jenis kekuatan spiritual, kegaiban dari kesaktian; secara lebih luas, enam pengetahuan langsung; dan kemuliaan, kebebasan batin tanpa noda. Sarana untuk mencapai kekuatan-kekuatan ini, landasan-landaasnnya atau “kaki” (makna literal dari pāda), adalah empat iddhipāda. Ini menggunakan empat jenis usaha benar dan faktor batin yang dominan secara khusus untuk menghasilkan konsentrasi, dan konsentrasi ini, bersama dengan usaha dan faktor dominan, memungkinkan meditator untuk mengerahkan kekuatan spiritual. Untuk menunjukkan bahwa sementara iddhipāda dapat menuntun menuju seluruh tiga jenis iddhi, yang terakhir adalah cukup di dalamnya sendiri, sutta-sutta kadang-kadang hanya menyebutkan bahwa empat iddhipāda, ketika dikembangkan dan dilatih, menuntun menuju kebebasan batin tanpa noda (51:18, 23).
Dalam beberapa teks, dari Iddhipādasaṃyutta dan di tempat lainnya, potensi kegaiban lainnya diduga berasal dari empat iddhipāda. Seseorang yang telah menguasainya, dikatakan, mampu memperpanjang kehidupannya bahkan hingga selama satu kappa, suatu istilah yang maknanya di sini telah menjadi topik kontroversi tetapi sepertinya menyiratkan satu kappa kosmis penuh. Sang Buddha mengungkapkan kemampuan yang Beliau miliki ini dalam suatu dialog terkenal dengan Ānanda di Altar Cāpāla dekat Vesālī, yang dikisahkan dalam Mahāparinibbāna Sutta dan dikutip di sini juga (51:11). Sāriputta mengungkapkan kemampuan yang sama yang dimiliki Moggallāna (pada 12:30), yang ironisnya dikatakan terbunuh oleh pembunuh bayaran. Dengan mengembangkan iddhipāda, Moggallāna dapat menimbulkan gempa bumi dengan jari kakinya (51:14), dan Sang Buddha dapat menggunakan tubuh fisiknya untuk pergi ke alam brahmā (51:22). Saṃyutta ini ditutup dengan rangkaian pengulangan, yang menjelaskan dalam satu putaran menggunakan penjelasan umum iddhipāda.
Saṃyutta ini menonjolkan Yang Mulia Anuruddha sebagai pembabar empat penegakan perhatian, yang terdapat dalam setiap sutta pada bab ini. Saṃyutta ini mungkin berasal dari Satipaṭṭhānasaṃyutta, belakangan dipisah dan menjadi berdiri sendiri. Satipaṭṭhānasaṃyutta mempertahankan tiga sutta yang dibabarkan oleh Anuruddha (47:26-28), yang selaras dengan yang terdapat di sini, dan tidak jelas mengapa sutta-sutta itu tidak dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam koleksi ini.
Sutta pertama dari Anuruddhasaṃyutta adalah istimewa, karena menggabungkan kedua perluasan dari formula satipaṭṭhāna yang berhubungan dengan pandangan terang menjadi satu pola rumit, yang satu membahas perenungan empat landasan sebagai internal dan eksternal, yang lain membahas perenungan empat landasan sebagai memiliki sifat berasal-mula dan lenyap. Juga yang menarik adalah teks panjang dalam vagga ke dua yang menunjukkan Anuruddha mengaku bahwa dengan praktik empat penegakan perhatian maka ia mengembangkan berbagai kekuatan spiritual. Di antaranya adalah enam pengetahuan langsung (dibagi menjadi dua kelompok, 52:12-14, 22-24), yang biasanya berasal dari praktik empat iddhipāda. Penegasan bahwa pencapaian ini dihasilkan dari praktik satipaṭṭhāna berarti bahwa metode ke dua tidak perlu dipahami sebagai suatu sistem eksklusif dari meditasi pandangan terang (pandangan umum) tetapi juga dapat dilihat sebagai suatu jalan yang mendukung pemenuhan seluruh jhāna. Kita juga menemukan di sini (pada 52:15-24) sepuluh pengetahuan yang ditempat lain disebut sepuluh kekuatan Sang Tathāgata (MN I 69-71). Karena tradisi menganggap ini sebagai kepemilikan unik dari seorang yang Tercerahkan Sempurna, komentar menjelaskan bahwa Anuruddha hanya memiliki sebagian.
Saṃyutta ini hanya mengandung formula jhāna standar yang digabungkan dengan rangkaian pengulangan dalam satu putaran.
Perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) biasanya dianggap sebagai subjek meditasi yang paling penting dalam Nikāya. Tradisi penjelasan Pāli meyakini bahwa adalah perhatian pada pernafasan yang dipraktikkan oleh Sang Buddha pada malam pencerahan-Nya, sebelum mencapai empat jhāna dan tiga pengetahuan sejati, dan selama karir pengajaran-Nya, Beliau kadang-kadang mengasingkan diri untuk menekuni meditasi ini. Beliau menyebutnya “Kediaman Tathāgata,” suatu penghormatan agung, dan sering menganjurkannya baik kepada mereka yang masih berlatih maupun kepada para Arahanta. Bagi mereka yang masih berlatih, meditasi ini menuntun menuju hancurnya noda-noda; bagi para Arahanta, meditasi ini menuntun menuju kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini dan menuju perhatian dan pemahaman jernih (54:11).
Praktik perhatian pada pernafasan didefinisikan dalam formula enam belas langkah yang pertama kali diperkenalkan dalam 54:1 dan diulangi di sepanjang Ānāpānasaṃyutta. Enam belas langkah ini tidak harus berurutan tetapi pada titik tertentu bertumpang tindih; dengan demikian langkah-langkah itu lebih tepat disebut tahap daripada langkah. Empat pertama juga disebutkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta, dalam bagian perhatian pada jasmani, namun formula enam belas menjelaskan praktik dengan jangkauan yang lebih luas. Enam belas aspek terbagi menjadi empat kelompok, yang masing-masing berhubungan dengan satu dari empat penegakan perhatian. Hubungan ini pertama kali dijelaskan dalam 54:10 dan berulang dalam beberapa sutta berikutnya.
Enam sutta pertama dari Ānāpānasaṃyutta dibingkai dalam istilah-istilah hanya sebagai perhatian pada pernafasan (ānāpānasati). Dari 54:7 dan seterusnya, terjadi pergeseran, dan sutta-sutta menuliskan istilah konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan (ānāpānasati-samādhi). Ini adalah konsentrasi yang diperoleh dengan penuh perhatian pada nafas. Di sini juga, seperti halnya dengan faktor-faktor sang jalan, faktor-faktor pencerahan, dan indria-indria, perhatian adalah sebuah kondisi bagi konsentrasi. Dalam 54:8, Sang Buddha menguraikan manfaat-manfaat yang diperoleh dari konsentrasi yang tercapai melalui perhatian pada pernafasan: yaitu kenyamanan fisik, melenyapkan ingatan-ingatan dan pikiran-pikiran duniawi, dan menuntun menuju banyak pencapaian agung termasuk empat jhāna, kondisi-kondisi tanpa bentuk, pencapaian lenyapnya, dan bahkan kebebasan dari noda-noda. Sutta 54:9 mencatat peristiwa aneh ketika sejumlah besar para bhikkhu, setelah mendengarkan Sang Buddha membabarkan tentang kejijikan jasmani, melakukan bunuh-diri. Kemudian Sang Buddha mengajarkan ānāpānasati-samādhi kepada para bhikkhu sebagai kediaman yang “damai dan luhur”
Sutta paling penting dalam Ānāpānasaṃyutta adalah 54:13, suatu substansi yang diulangi pada 54:14-16. Di sini Sang Buddha menjelaskan bagaimana konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan memenuhi empat penegakan perhatian; ini pada gilirannya memenuhi tujuh faktor pencerahan; dan ini pada gilirannya memenuhi pengetahuan dan kebebasan sejati. Metode penjelasan ini menunjukkan perhatian pada pernafasan sebagai subjek meditasi lengkap yang dimulai dengan hanya perhatian pada nafas dan memuncak dalam kebebasan batin yang tertinggi. Tema ini dikonfirmasi lagi oleh sutta terakhir dalam bab ini, yang menyatakan bahwa konsentrasi dengan perhatian pada pernafasan menuntun menuju lepasnya belenggu dan lenyapnya segala kekotoran (54:17-20).
Bab ini mungkin lebih tepat jika diberi judul Sotāpattiyaṅgasaṃyutta, karena tidak berhubungan dengan memasuki-arus dalam cara umum melainkan berhubungan dengan kelompok faktor-faktor tertentu yang mendefinisikan seseorang sebagai seorang pemasuk-arus (sotāpanna). Arus (sota) adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan pemasuk-arus disebut demikian karena ia, dengan secara langsung menembus kebenaran Dhamma, telah memiliki delapan faktor sang jalan (55:5).
Empat kualitas yang mendefinisikan seseorang sebagai seorang pemasuk-arus disebut empat sotāpattiyaṅga, faktor-faktor pemasuk-arus. Kata dalam Pāli ini sebenarnya digunakan dengan merujuk pada dua kelompok yang berbeda. Kelompok yang lebih sering disebutkan adalah kelompok empat kualitas yang dimiliki oleh seorang pemasuk-arus, dan dalam konteks ini sebutan itu mungkin diterjemahkan sebagai “faktor-faktor memasuki-arus,” atau bahkan “faktor-faktor pemasuk-arus.” Tetapi mendampingi kelompok ini, kita menemukan yang lain, yang jarang disebutkan, terdiri dari kualitas-kualitas yang harus diaktualisasikan untuk mencapai memasuki-arus. Saya menerjemahkan sotāpattiyaṅga dalam makna ini sebagai “faktor-faktor memasuki-ar- us.”Empat faktor yang dimiliki oleh pemasuk-arus adalah keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha (keyakinan pada masing-masing dihitung sebagai faktor terpisah,) dan “moralitas yang disukai oleh para mulia” (ariyakantāni sīlāni). Keyakinan teguh (aveccappasāda) adalah keyakinan yang berakar pada pengesahan pribadi atas kebenaran Dhamma. Kejadian menentukan yang menandai transisi dari tahap seorang “yang mempraktikkan untuk mencapai buah memasuki-arus” menjadi seorang pemasuk-arus lengkap adalah “penembusan Dhamma,” juga disebut memperoleh penglihatan Dhamma (baca 13:1). Ini terdapat dalam penglihatan langsung pada Empat Kebenaran Mulia, atau (singkatnya) prinsip bahwa “segala sesuatu yang bersifat muncul, semuanya juga bersifat lenyap.” Ketika melihat kebenaran Dhamma, siswa melenyapkan tiga belenggu yang lebih rendah – pandangan identitas, keragu-raguan, dan genggaman keliru pada aturan dan sumpah – dan dengan demikian memperoleh keyakinan yang berlandaskan pada konfirmasi pengalaman. Keyakinan demikian ditempatkan dalam “Tiga Permata” Buddhisme: dalam Sang Buddha sebagai guru tertinggi yang mengajarkan Jalan menuju Nibbāna; dalam Dhamma sebagai peta dan tujuan dari sang jalan; dan dalam Saṅgha sebagai komunitas para mulia yang berbagi pencapaian Dhamma. Pencapaian memasuki-arus juga menghasilkan penghormatan terhadap moralitas, khususnya moralitas dasar yang terdapat dalam lima sīla: menghindari pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, ucapan salah, dan penggunaan zat-zat yang memabukan.
Pemasuk-arus dikarakteristikkan oleh formula umum yang diulangi berkali-kali dalam Sotāpattisaṃyutta dan di tempat-tempat lain dalam Nikāya. Ia “tidak akan terlahir kembali di alam rendah (avinipātadhamma),” tidak mampu terlahir kembali dalam alam-alam rendah – neraka, alam binatang, atau alam setan; “memiliki takdir yang pasti” (niyata), pasti mencapai kebebasan tanpa mundur setelah paling banyak tujuh kehidupan, seluruhnya kehidupan di alam manusia atau alam surga; dan “dengan pencerahan sebagai tujuannya” (sambodhiparāyana), pasti mencapai pengetahuan sepenuhnya atas Empat Kebenaran Mulia yang memuncak dalam hancurnya noda-noda.
Sang Buddha menyebut empat faktor memasuki-arus ini “cermin Dhamma,” karena dengan merenungkannya memungkinkan siswa untuk menentukan apakah ia adalah seorang pemasuk-arus atau bukan (55:8). Beliau juga menyebutnya “arus kebajikan, arus bermanfaat, makanan kebahagiaan” (55:31, 41) dan “jalur surgawi para deva untuk pemurnian makhluk-makhluk” (55:34, 35). Empat faktor memasuki-arus menuntun menuju kelahiran di alam surga (55:18, 36), tetapi apakah siswa itu terlahir kembali di surga atau di alam manusia, faktor-faktor ini membawa usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuasaan (55:30). Mereka juga menenangkan ketakutan akan kematian, karena seorang siswa mulia yang memiliki empat faktor ini telah membebaskan diri dari kelahiran kembali di alam yang buruk (55:14, 15). Demikianlah, ketika sakit, seorang pemasuk-arus dapat dihibur dengan meningatkannya bahwa ia memiliki empat faktor ini, seperti Ānanda menghibur perumah tangga Anāthapiṇḍika (55:27). Khotbah kontroversial tentang Sarakāni (dalam dua versi, 55:24, 25) mengisahkan tentang kisah seorang Sakya mulia yang gemar meminum minuman keras namun dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai seorang pemasuk-arus setelah kematiannya. Ketika dinyatakan, hal ini mengundang badai protes dari para Sakya, Sang Buddha menjelaskan bahwa Sarakāni telah menyelesaikan latihan sebelum kematiannya dan dengan demikian ia meninggal dunia sebagai seorang pemasuk-arus.
Beberapa sutta dalam Saṃyutta ini menyajikan alternatif-alternatif pada hal ke empat dalam daftar. Dalam dua kesempatan, pada tempat “moralitas yang disukai para mulia,” kedermawanan dituliskan sebagai faktor ke empat memasuki-arus (55:6, 39); dua kali dituliskan sebagai arus kebajikan ke empat (55:32, 42). Dua teks menuliskan “kebijaksanaan yang diarahkan pada muncul dan lenyapnya,” yaitu, kebijaksanaan pandangan terang ke dalam ketidakkekalan, sebagai arus kebajikan ke empat (55:33, 43). Demikianlah, dengan menyusun daftar ini dan mengambil inti umum dari tiga hal pertama untuk merujuk pada keyakinan, kita sampai pada empat kualitas utama pemasuk-arus: keyakinan, moralitas, kedermawanan, dan kebijaksanaan (saddhā, sīla, cāga, paññā), di tempat lain disebutkan bersama-sama sebagai tanda-tanda seorang sappurisa, manusia unggul.
Memiliki empat faktor memasuki-arus bukanlah akhir perjalanan bagi siswa mulia, melainkan hanya pemberhentian menuju tujuan akhir. Faktor-faktor itu “menuntun menuju hancurnya noda-noda” (55:38), dan seseorang yang memilikinya “menurun, miring, dan condong ke arah Nibbāna” (55:22). Akan tetapi, walaupun pemasuk-arus pasti mencapai pencapaian akhir, Sang Buddha menasihati para siswa demikian agar tidak merasa puas namun melanjutkan kemajuannya dengan tekun (55:20). Kepada seorang pemuda yang sedang sakit keras yang telah mencapai memasuki-arus, Beliau mengajarkan enam perenungan yang “berperan dalam pengetahuan sejati” yang dengan mempraktikkannya pemuda itu meninggal dunia sebagai seorang yang-tidak-kembali (55:3). Beliau bahkan menasihati seorang umat awam tentang bagaimana memberikan tuntunan kepada orang lain di ranjang kematiannya sehingga menuntunnya menuju Kearahatan (55:54).
Kelompok lain terdiri dari empat faktor memasuki arus, yaitu, untuk mencapai memasuki-arus. Yaitu: bergaul dengan orang-orang superior, mendengarkan Dhamma sejati, perhatian waspada, dan praktik sesuai dengan Dhamma (55:5, 50). Kualitas-kualitas ini menuntun tidak hanya pada memasuki-arus tetapi pada seluruh buah dari sang jalan. Faktor-faktor ini juga memenuhi berbagai potensi kebijaksanaan (55:55-74).
Saṃyutta terakhir dari Mahāvagga dikhususkan pada kebenaran yang ditemukan oleh Sang Buddha pada malam pencerahan-Nya dan ditempatkan oleh Beliau pada inti ajaran-Nya. Ini, tentu saja, adalah Empat Kebenaran Mulia, dan demikianlah bab ini tentang kebenaran-kebenaran menjadikan penutup yang tepat bagi keseluruhan Saṃyutta Nikāya. Empat Kebenaran Mulia pertama kali diperkenalkan dalam Dhammacakkappavattana Sutta, khotbah pertama di Bārāṇasī. Namun demikian kita menemukan sutta ini di tengah-tengah koleksi ini, terselip nyaris tidak diperhatikan (56:11), tetapi dengan pentingnya sutta ini yang diisyaratkan oleh sorakan para deva yang bergema di seluruh sepuluh ribu sistem dunia.
Untuk menekankan pentingnya, Saccasaṃyutta menempatkan Empat Kebenaran Mulia pada latar belakang universal. Empat Kebenaran Mulia bukan sekadar pernyataan ajaran yang khas dari seorang guru spiritual historis yang dikenal sebagai Buddha, tetapi merupakan inti pencapaian bagi semua orang yang sampai pada kebenaran yang membebaskan, apakah di masa lampau, di masa sekarang, atau di masa depan (56:3, 4). Sang Buddha disebut Yang Tercerahkan Sempurna karena Beliau telah tersadarkan pada kebenaran-kebenaran ini (56:23); terlebih lagi, seluruh Buddha di masa lalu, di masa sekarang, dan di masa depan menjadi tercerahkan sempurna dengan tersadarkan pada kebenaran-kebenaran ini (56:24). Kebenaran-kebenaran digambarkan sebagai mulia (ariya) karena kebenaran-kebenaran itu aktual, tidak berbelok, bukan sebaliknya (56:27), dan karena diajarkan oleh seorang mulia tertinggi, Sang Buddha (56:28). Kebenaran-kebenaran itu juga disebut mulia karena merupakan kebenaran yang dipahami oleh para mulia, dari pemasuk-arus dan seterusnya, dan karena pencapaiannya memberikan ketinggian yang mulia.
Alasan makhluk-makhluk hidup berkelana dan mengembara dalam saṃsāra adalah karena mereka belum memahami dan menembus Empat Kebenaran Mulia (56:21). Tidak mengetahui kebenaran-kebenaran, mereka pergi dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya bagaikan sebatang tongkat yang dilemparkan ke udara, kadang-kadang jatuh pada ujungnya, kadang-kadang jatuh pada pangkalnya (56:33). Pada dasarnya penyebab dari penderitaan adalah kebodohan (avijjā), seperti ditunjukkan oleh rantai kemunculan bergantungan, dan kebodohan terletak dalam ketidaktahuan akan Empat Kebenaran Mulia (56:17). Lawannya adalah pengetahuan (vijjā), yang dengan demikian adalah pengetahuan akan Empat Kebenaran Mulia (56:18). Tetapi dunia tidak dapat menemukan sendiri jalan menuju kebebasan. Sebelum muncul seorang Buddha, dunia ini terselubung oleh kegelapan spiritual pekat, bagaikan kosmos yang terselubung oleh kegelapan fisik sebelum matahari dan bulan terbentuk. Tugas seorang Buddha adalah untuk menemukan Empat Kebenaran Mulia dan mengajarkannya kepada dunia. Perbuatan-Nya demikian adalah “manifestasi cahaya dan sinar gemilang” (56:38).
Hal-hal yang diketahui oleh Sang Buddha tetapi tidak diungkapkan adalah banyak, bagaikan dedaunan di hutan siṃsapā; hal-hal yang diungkapkan adalah sedikit, bagaikan dedaunan dalam genggaman-Nya. Hal-hal yang sedikit ini seluruhnya terdiri dari Empat Kebenaran Mulia. Hal-hal itu diajarkan karena bermanfaat, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan menuntun menuju pencerahan dan Nibbāna (56:31). Untuk alasan yang sama para bhikkhu harus memikirkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan kebenaran-kebenaran dan membatasi percakapan-percakapan mereka untuk membicarakan tentang kebenaran-kebenaran (56:8-10).
Penembusan pertama Empat Kebenaran Mulia terjadi dengan penembusan Dhamma, yang menandai pencapaian memasuki-arus. Untuk melakukan penembusan ini adalah sangat sulit, jauh lebih sulit daripada menembus sehelai rambut yang dibelah tujuh dengan sebatang anak panah (56:45). Tetapi pencapaian ini adalah persoalan yang mendesak, karena tanpa penembusan ini adalah mustahil mengakhiri penderitaan (56:44). Karenanya Sang Buddha berkali-kali menganjurkan para siswa-Nya untuk “membangkitkan keinginan yang luar biasa” dan “mengerahkan usaha yang luar biasa” untuk menembus kebenaran-kebenaran (56:34).
Begitu siswa menembus dan melihat kebenaran-kebenaran, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, karena msing-masing kebenaran memberikan tugas (kicca), dan setelah memasuki sang jalan, siswa harus memenuhi tugas-tugas ini untuk memenangkan buah akhir. Sang Buddha menemukan tugas-tugas ini bersamaan dengan pencerahan-Nya dan telah mengajarkannya pada khotbah pertama (56:11). Kebenaran-kebenaran itu juga ditemukan dan dinyatakan oleh semua Tathāgata (56:12). Kebenaran penderitaan, yang pada puncaknya terdiri dari kelima kelompok unsur kehidupan dan enam landasan indria internal (56:13, 14), harus dipahami sepenuhnya (pariññeyya). Kebenaran asal-mula, keinginan, harus ditinggalkan (pahātabba). Kebenaran lenyapnya, Nibbāna, harus dicapai (sacchikātabba). Dan kebenaran sang jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan, harus dikembangkan (bhāvetabba). Mengembangkan sang jalan menyelesaikan seluruh empat tugas, yang pada akhirnya siswa menjadi seorang Arahanta yang menyuarakan auman singa kebebasan, “Apa yang harus dilakukan telah dilakukan.” Apa yang harus dilakukan tepatnya adalah pemenuhan empat tugas ini.
Saccasaṃyutta diakhiri dengan beberapa rangkaian pengulangan panjang. Dalam Vagga VI, 56:49-60 terdapat ilustrasi, dengan dua belas perumpamaan, pentingnya apa yang telah dicapai oleh seseorang yang telah menembus kebenaran-kebenaran. Vagga VII-X menyusun sutta di atas sutta untuk mengilustrasikan akibat menakutkan karena tidak melihat kebenaran-kebenaran. Vagga XI-XII menunjukkan bagaimana makhluk-makhluk hidup bermigrasi di antara lima alam tujuan, sebagian besar pergi dari alam yang lebih tinggi menuju alam yang lebih rendah, karena mereka belum melihat kebenaran-kebenaran. Demikianlah Saṃyutta Nikāya diakhiri dengan pengungkapkan apa adanya dari sifat buruk Saṃsāra, dan dengan panggilan mendesak untuk mengakhiri penderitaan melalui pemahaman, dengan penglihatan langsung pada Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan oleh Sang Buddha sendiri pada malam pencerahan-Nya dan ditinggalkan sebagai pesan-Nya untuk dunia.
Tradisi tekstual Burma dari SN, diikuti oleh edisi Pāḷi Text Society, menghitung lima puluh enam saṃyutta, namun tradisi Sinhala menghitung lima puluh empat. Perbedaan muncul karena tradisi Sinhala memperlakukan Abhisamasaṃyutta (13 di sini) sebagai sub bab dari Nidānasaṃyutta (12), dan Vedanāsaṃyutta (38 di sini) sebagai sub bab dari Saḷāyatanasaṃyutta (35). Namun alokasi ini sepertinya tidak dapat dibenarkan, karena saṃyutta-saṃyutta minor ini tidak berhubungan eksplisit secara topik dengan topik-topik dalam saṃyutta-saṃyutta yang lebih panjang di mana tradisi Sinhala memasukkannya. ↩︎
Saya menggunakan “Vagga” untuk merujuk pada bagian-bagian utama, dan “vagga” untuk merujuk pada sub-bab. Karena naskah oriental di mana teks ini tertulis tidak membedakan huruf besar dan huruf kecil, mereka menggunakan kata yang sama untuk keduanya tanpa perbedaan huruf. ↩︎
Angka-angka dari Buddhaghosa diberikan pada Sp I 18,9-10, Sv I 23,16-17, dan Spk I 2,25-26. ↩︎
Norman mengatakan hal ini dalam Pāli Literature, p.31. ↩︎
Untuk pengaturan Saṃyuktāgama Mandarin saya mengandalkan pada Anesaki, “The Four Buddhist agamas in Chinese. ↩︎
“Categories of Sutta in the Pāli Nikāya.” Baca khususnya pp.71-84. ↩︎
Kedua belas bab dari Vibhaṅga dengan pendampingnya dalam SN adalah sebagai berikut: (1) Khandhavibhaṅga (=SN 22); (2) Āyatana- (=35); (3) Dhātu- (=14); (4) Sacca- (=56); (5) Indriya- (=48); (6) Paticca- samuppāda- (=12); (7) Satipaṭṭhāna- (=47); (8) Sammappadhāna- (=49); (9) Iddhipāda- (=51); (10) Bojjhaṅga- (=46); (11) Magga- (=45); (12) Jhāna- (=53) ↩︎
Rujukan saya di sini semuanya adalah pada SN (saṃyutta dan sutta). Untuk mengetahui paralelnya, gunakan Indeks 2 (B). ↩︎
Bagian selanjutnya sebagian bertumpang tindih dengan MLDB, pp. 52-58, tetapi karena perlakuan saya atas beberapa kata berbeda dengan yang sebelumnya, maka pembahasan lengkap diperlukan. ↩︎
Norman menggunakan pendekatan serupa pada terjemahannya atas dhamma dalam EV I. baca pembahasannya atas kata tersebut pada EV I, n. atas 2 (p.118). ↩︎
History of Buddhist Thought, p.121, n.4. ↩︎
Ini jelas terdapat dalam perdebatan mengenai Nibbāna yang tercatat pada Vism 507-9 (Ppn 16:67-74). Baca juga kutipan panjang dari Paramatthamañjūsā, Komentar Dhammapāla atas Vism, yang diterjemahkan oleh Ñāṇamoli pada Ppn pp.825-26, n.18 ↩︎
Untuk permainan kata atas kedua makna nibbuta ini, baca perenungan Bodhisatta sebelum pelepasan keduniawian agungnya pada Ja I 60-61. ↩︎