Bhikkhu Sujato
Edisi lain:
pdf
epub
Saya telah diminta untuk berbicara tentang perspektif Buddhisme awal terhadap gagasan kelahiran kembali, dan lebih khusus, bagaimana ini mungkin atau tidak mungkin berhubungan dengan penelitian empiris yang telah kami tempuh.1 Untuk menyampaikan topik ini pertama-tama perlu untuk meninjau cakupan dari apa yang kita sebut “Buddhisme Awal”. Selanjutnya kita perlu melihat pada beberapa cara umum kelahiran kembali dibahas dalam Buddhisme Awal. Kemudian kita akan berada dalam posisi untuk meninjau kembali teks-teks yang dapat dianggap mendukung kenyataan “keadaan antara”. Sebagai kesimpulan, saya akan mengumpulkan bersama apa yang kelihatan bagi saya sebagai beberapa untaian penting yang menghubungkan tulisan ini dengan orientasi “ilmiah” dari konferensi ini.
Kita sedang memasuki arus politik yang mengganggu bahkan dengan menganggap bahwa ada sesuatu yang disebut “Buddhisme Awal”, dan itu dapat berbeda dalam beberapa hal penting dari ajaran-ajaran yang telah diterima dalam aliran-aliran Buddhis. Tentu saja, semua aliran Buddhis mempercayai bahwa ajaran mereka berasal dari Buddha historis dalam pengertian tertentu: dan mereka semuanya benar, dalam pengertian tertentu. Tidak diragukan bahwa kita dapat menelusuri jejak kelanjutan di antara aliran-aliran Buddhisme, sedemikian sehingga mereka semuanya dapat dengan sah dianggap sebagai pewaris ajaran Sang Buddha. Namun pada waktu yang sama, ini akan menjadi aneh, jika bukan belum pernah terjadi, jika beberapa hal tidak berubah dalam 2500 tahun sejarah Buddhis: dan sungguh tidak Buddhis untuk menyatakan bahwa Buddhisme tidak pernah berubah!
Periode paling awal dari Buddhisme adalah bersatu, dengan tidak ada aliran-aliran yang terpisah secara jelas. Periode ini bertahan sampai kira-kira masa Aśoka, katakanlah 200 tahun setelah Parinibbana.2 Komunitas Buddhis awal perlahan-lahan terpecah menjadi berbagai “aliran”, yang secara tradisional berjumlah “18”. Aliran yang kita kenal sebagai “Theravāda” merupakan salah satu dari “18” aliran ini, sedangkan aliran yang kita ketahui sebagai “Mahāyāna” terbentuk belakangan. Semua teks yang kita miliki sekarang disusun ke dalam bentuknya yang sekarang oleh aliran-aliran ini, menggunakan kumpulan materi tekstual bersama yang diwariskan melalui komunitas Buddhis awal. Materi awal terutama ditemukan dalam Sutta-Sutta seperti yang dikumpulkan dalam empat atau lima Āgama/Nikāya, yang akan saya sebut sebagai Āgama Sutta.3 Vinaya mengandung banyak materi yang umum (misalnya pāṭimokkha) tetapi juga banyak tambahan yang belakangan. Abhidhamma merupakan penyusunan yang belakangan. Oleh sebab itu upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelidiki Buddhisme Awal harus didasarkan terutama pada Āgama Sutta.
Dengan membandingkan sumber berbahasa Pali, Cina dan yang lainnya, kita berharap untuk mengintip kembali ke masa sebelum mazhab-mazhab terpecah menjadi kubu-kubu. Dari titik pandang keilmuan yang ketat, itu adalah hal terbaik yang dapat kita harapkan. Namun kita tidak jujur jika kita tidak mengaku bahwa tujuan sebenarnya pelaksanaan ini bukanlah untuk menyingkapkan apa pemikiran komunitas Buddhis awal, tetapi apa yang Buddha sendiri ajarkan. Sedekat apa kita dapat mendekati hal itu mungkin akan selamanya tetap sebuah masalah keyakinan.
Kita harus menyampaikan suatu catatan peringatan awal di sini. Sutta-Sutta adalah teks tua, yang terbentuk dalam konteks budaya yang sangat berbeda, dan diberi informasi oleh gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang kadangkala tidak dapat kita pahami. Cukup sulit untuk memahami bahkan ketika teks-teks itu merujuk pada objek-objek nyata seperti tumbuhan atau gaya bangunan; betapa lebih sulitnya teks itu menyampaikan gagasan-gagasan tentang “yang tidak terjangkau”? Kita dapat yakin bahwa kita memiliki akses hanya pada pecahan kecil keadaan linguistik dan filosofis saat itu. Terlebih lagi, Sutta-Sutta adalah karya banyak tangan, dan kita tidak dapat mengasumsikan bahwa mereka mengajarkan satu ajaran yang konsisten. Bahkan mungkin, walaupun keyakinan akan menolaknya, bahwa Sang Buddha berubah pikiran sepanjang hidup-Nya, atau mengajar secara tidak konsisten. Maka marilah kita melanjutkan dengan hati-hati, dan mengambil kesimpulan kita dengan ringan.
Dalam khotbah pertama-Nya, yang disajikan setidaknya oleh 17 versi dalam semua bahasa Buddhis, Sang Buddha menyampaikan Empat Kebenaran Mulia: penderitaan, asal mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Istilah pertama dalam definisi penderitaan adalah jāti, yang kita terjemahkan sebagai “kelahiran”, walaupun “konsepsi” mungkin lebih akurat. Perhatikan bahwa kelahiran adalah suatu masalah ekstensial, untuk diatasi, dan oleh sebab itu tidak hanya semata-mata merujuk pada kelahiran seseorang dalam kehidupan ini. Kelahiran tentunya merujuk, seperti pernyataan universal dalam tradisi-tradisi Buddhis menegaskan, pada kelahiran kembali dalam saṁsāra, sebagai bagian dari arus kehidupan yang tiada akhir. Oleh sebab itu Kebenaran Mulia ke dua adalah yāyaṁ taṇhā ponobbhavikā, “ketagihan itu yang berkaitan dengan kehidupan yang akan datang”, dan Kebenaran Mulia Ke Tiga adalah “penghancuran dan pelenyapan sepenuhnya ketagihan yang sama itu” (yo tassāyeva taṇhāya asesavirāganirodho…). sedikit frasa ini membangun kelahiran kembali sebagai pusat bagi ajaran Sang Buddha yang mendasar. Dari hal ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan yang penting.
Tepatnya tiga prinsip ini telah dibangun oleh McEvilley sebagai unsur dasar dari suatu “kompleks kepercayaan reinkarnasi”, yang dipakai bersama oleh banyak filsuf di Yunani dan India kuno, dan tidak ada di tempat lain (kecuali tempat-tempat yang telah meminjam dari sumber-sumber ini).4 Tentu saja, banyak kebudayaan memiliki sejenis kepercayaan pada kelahiran kembali atau reinkarnasi, tetapi hanya di tempat-tempat ini kita memiliki gagasan-gagasan sentral ini yang digambarkan bersama. Maka, jelas bahwa gagasan Buddhis tentang kelahiran kembali memiliki hal-hal penting yang sama dengan gagasan-gagasan yang masih berlaku dalam kebudayaan Sang Buddha. Kenyataannya, dua agama India terkenal saat ini – Hinduisme dan Jainisme – juga berbagi kompleks kepercayaan ini. Ini memperingatkan kita pada suatu titik penting: cara Sang Buddha berbicara tentang kelahiran kembali sebagai suatu bagian ceramah kultural yang lebih luas pada masa Beliau, dan menggunakan konsep dan kosakata yang berlaku saat itu, walaupun, tentu saja, Beliau mungkin sudah menggunakan kata-kata tersebut dalam cara-Nya sendiri. Ini berarti kita harus bertanya: “Apakah maksud ajaran Sang Buddha tentang kelahiran kembali bagi orang-orang yang menjadi lawan bicaraNya?”
Namun demikian, akan tidak tepat mengatakan bahwa Sang Buddha semata-mata menyerap kepercayaan India yang universal tentang kelahiran kembali. Kenyataannya, Veda kuno berbicara sedikit tentang kelahiran kembali5, dan ini hanya perlahan-lahan muncul dalam literatur sesudah Veda. Gerakan śramaṇa radikal, di antaranya termasuk Sang Buddha sendiri, menolak otoritas tradisi brahmanis secara keseluruhan, dan banyak śramaṇa menolak kelahiran kembali sama sekali.6 Tidak diragukan lagi bahwa Sang Buddha akan menolak kelahiran kembali jika Beliau tidak mempercayainya. Terlebih lagi, Āgama Sutta secara berulang-ulang mengatakan bahwa Sang Buddha merealisasi kebenaran tentang kelahiran kembali dengan pengetahuan langsung-Nya sendiri, dan Beliau dengan jelas menyatakan bahwa Beliau tidak menegaskan kelahiran kembali karena apa yang Beliau pelajari dari orang lain.7 Secara historis, Āgama Sutta merupakan teks tertua yang menempatkan kompleks kelahiran kembali dalam posisi sentral, dan kita dapat berargumen bahwa kepercayaan Hindu terhadap kelahiran kembali lebih dikondisikan oleh kepercayaan Buddhis daripada cara lain di sekelilingnya.
Maka segera kita mendapatkan pengertian yang baik atas makna penting soteriologis dari kelahiran kembali dalam Buddhisme Awal. Tetapi kita telah mempelajari sedikit dari mekanismenya: Bagaimana ini terjadi? Apa yang membuatnya bekerja? Bagaimana kita menganalisis prosesnya secara detail? Kita harus mengakui bahwa Āgama Sutta tidak memberikan penjelasan rinci tentang hal ini. Tetapi hal ini sendiri memiliki arti penting tersendiri: bagi Āgama Sutta, landasan yang mendasari kelahiran kembali bukanlah permasalahannya. Permasalahannya adalah bahwa kelahiran kembali adalah penderitaan, dan praktik dibutuhkan untuk menemukan kebebasan. Pemahaman “ilmiah” terperinci pada kelahiran dikesampingkan dari ajaran pembebasan dari Āgama Sutta. Mungkin kepentingan utama dari penyelidikan “ilmiah” atas kelahiran kembali adalah bahwa hal itu membawa ajaran Buddha ke dalam modus khotbah kontemporer pada masa itu. Hal ini memiliki beberapa manfaat, tidak kurang bahwa ia mendorong beberapa orang yang jika sebaliknya dapat menolak aspek-aspek penting ajaran Buddhis sebagai “tidak ilmiah”.
Definisi dari Kebenaran Mulia pertama meringkaskan masalah ini: “secara singkat, lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati adalah penderitaan” (saṅkhittena pañcūpādākkhandhā dukkhā). Apakah persisnya lima kelompok unsur kehidupan ini, dan bagaimana kelompok-kelompok ini berperan dalam kelahiran kembali?
Pengertian dasar kelompok unsur kehidupan sudah diketahui: bentuk fisik (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (saññā), aktivitas kehendak (saṅkhārā), dan kesadaran (viññāṇa). Ini semua merupakan aspek yang dapat diamati dari pengalaman sadar. Kita biasa berpikir tentang kelahiran kembali yang melibatkan beberapa entitas misterius seperti sesosok “jiwa”, maka sifat yang biasa dari kelompok kehidupan ini muncul sedikit mengejutkan. Tetapi Saṁyutta memberitahukan kita: “Siapa pun petapa atau brahmana yang mengingat banyak kehidupan lampaunya, semuanya mengingat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati atau salah satu darinya.”8 Ini menyatakan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan merupakan kenyataan empiris yang mencirikan tidak hanya kehidupan ini, tetapi kehidupan-kehidupan lampau juga. Dengan demikian Saṁyutta memberitahukan kita bahwa individu yang belum tercerahkan berjalan dan berputar-putar di sekeliling lima kelompok unsur kehidupan ini dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.9
Kita sering menemukan teori-teori sektarian atau konteks non-Buddhis lainnya yang menginterpretasikan “jiwa” sebagai salah satu dari kelompok unsur kehidupan atau yang lainnya. Dalam Brahmajāla Sutta, mengutip contoh yang paling terkenal, Diri dikatakan sebagai “yang dibentuk” (rūpī) atau “yang merasakan kesenangan” (sukhapaṭisaṁvedī) atau “yang mempersepsi” (saññī) setelah kematian.10 Demikian pula, saṅkhārā berhubungan erat dengan kelahiran kembali,11 dan satu Sutta menjelaskan bagaimana seseorang dapat menggunakan saṅkhārā untuk mengarahkan kelahiran kembalinya.12 Dan kesadaran secara berulang-ulang dikatakan sebagai fenomena yang mengalami kelahiran kembali, tidak hanya dalam sebuah konteks Buddhis,13 tetapi juga oleh mereka yang salah menganggapnya sebagai sesuatu yang kekal.14
Kelihatannya bagi saya bahwa lima kelompok unsur kehidupan pasti telah digunakan dalam kebudayaan Sang Buddha sebagai sebuah skema untuk mengelompokkan teori-teori jiwa. Ini bukan untuk merendahkan lima kelompok unsur kehidupan menjadi hanya sebuah skema pengelompokan mekanistik, tetapi untuk membawakan aspek yang saya yakini telah diasumsikan oleh banyak pendengar Sang Buddha, tetapi tidak jelas bagi kita. Berbagai konsepsi kelahiran kembali yang lebih atau sedikit diperhalus masih berlaku saat ini, dan pencetus teori yang lebih rumit telah menyusun dan membandingkan hal ini. Saya belum menemukan sebuah bacaan di luar Buddhisme di mana lima kelompok unsur kehidupan seperti demikan menjadi suatu ajaran yang diakui; tetapi Sutta-Sutta secara berulang-ulang menggambarkan sektarian sebagai yang familiar dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan.15 Terlebih lagi, beberapa teori Diri pra-Buddhis tertentu dengan jelas dinyatakan dalam istilah-istilah kelompok unsur kehidupan: sebagai contoh, orang suci Upaniṣad Yajñavālkya mengidentifikasi kesadaran sebagai bagian dari Diri Tertinggi.16 Teori-teori ini tak diragukan diturunkan sebagian dari gagasan animis sederhana, dan sebagian dari spekulasi teoritis; tetapi setidaknya kadangkala teori-teori itu didasarkan pada sebuah pengalaman langsung. Akan tetapi, bahkan pengalaman meditasi dapat tunduk pada penafsiran yang salah.17
Jika kita benar dalam menganggap bahwa lima kelompok unsur kehidupan merupakan sebuah skema untuk mengelompokkan teori-teori Diri, hal ini akan menjelaskan kenapa ajaran bukan-diri sangat ditekankan pada konteks ini. Sutta-Sutta mengatakan bahwa lima kelompok unsur kehidupan menguras jangkauan teori-teori Diri yang mungkin,18 dan Sang Buddha mengkritik pedas siapa pun yang bertanya bagaimana kelompok-kelompok unsur kehidupan yang bukan-diri dapat mempengaruhi Diri.19
Setelah mendapatkan kesan umum tentang peran kelahiran dalam beberapa konteks utama dalam Āgama Sutta, kita sekarang dapat melihat pada pertanyaan yang kontroversial tentang “keadaan antara”. Masalah mendasarnya adalah apakah satu kehidupan seketika itu juga diikuti kehidupan yang lain, atau apakah terdapat periode waktu di antaranya. Pertanyaan ini diperdebatkan di antara aliran-aliran Buddhis awal. Dalam perdebatan mereka, semua kelompok menerima Sutta-Sutta sebagai otoritas tertinggi, dan mengutipnya untuk mendukung posisi mereka. Biasanya kita mendapati bahwa jika para Buddhis awal tidak setuju, ini karena pertanyaan tersebut tidak disampaikan dalam cara yang langsung atau eksplisit dalam Āgama Sutta. Dalam kasus ini Theravādin menolak keadaan perantara, sedangkan banyak aliran lainnya menerimanya.20
Harus dicatat bahwa banyak Theravādin modern kenyataannya menerima keadaan antara, walaupun kenyataan bahwa ini “secara resmi” menyimpang. Kepercayan populer adalah, sejauh yang saya ketahui, berada pada pihak keadan antara; demikian juga pendapat para bhikkhu hutan Thailand, berdasarkan pengalaman meditasi mereka; dan demikian juga pendapat kebanyakan bhikkhu dan sarjana yang saya kenal, yang gagasan-gagasan mereka didasarkan pada Sutta-Sutta.
Argumen kanonik utama yang menentang keadaan perantara, mengandalkan Kathāvatthu,21 bahwa Sang Buddha hanya menyebut tiga keadaan kehidupan (bhava): alam indria, alam bentuk, dan alam tak berbentuk. Jika keadaan antara ada, ini seharusnya cocok dengan salah satu alam ini, tetapi tidak: oleh sebab itu, tidak ada keadaan yang demikian. Namun, argumen ini bersandar semata-mata pada penggunaan bahasa. Jika saya mengatakan rumah saya memiliki tiga ruangan, seseorang dapat berkeberatan bahwa rumah itu juga memiliki sebuah koridor, yang merupakan “ruang antara”. Apakah ini sebuah ruangan ke empat, atau ini hanya sebuah ruang kosong yang menghubungkan ruangan-ruangan? Itu bergantung pada bagaimana saya mendefinisikannya dan bagaimana saya ingin menghitungnya. Mungkin definisi saya salah atau membingungkan – tetapi itu tidak membuat koridor itu lenyap!
Kathāvatthu memberikan argumen yang lebih lanjut, berdasarkan gagasan ānantarikakamma. Ini adalah golongan perbuatan yang khusus (seperti membunuh orang tua sendiri, dst) yang diyakini memiliki hasil kamma “tanpa interval”: yaitu seseorang langsung pergi ke neraka. Tetapi lagi-lagi argumen ini tidak meyakinkan, karena makna ānantarika di sini pastinya hanya bahwa seseorang tidak memiliki kelahiran kembali yang menjadi perantara sebelum mengalami akibat kamma buruk tersebut. Ini tidak ada hubungannya dengan interval waktu antara satu kelahiran dan kelahiran berikutnya.
Argumen-argumen ini diduga adalah argumen post hoc [suatu argument yang berdasarkan pada fakta bahwa karena suatu peristiwa terjadi lebih dulu maka persitiwa itu menjadi sebab atas peristiwa selanjutnya]. Tetapi, alasan sebenarnya atas penolakan terhadap keadaan tampaknya adalah bahwa hal ini terdengar mencurigakan bagaikan teori animis atau Diri. Para Theravādin dari masa lampau adalah penentang keras teori Diri: kritik atas tesis bahwa sesosok “pribadi” benar-benar ada dan mengalami kelahiran kembali adalah bagian pertama dan terbesar dari ulasan filosofis mereka, Kathāvatthu; suatu debat yang sama walaupun lebih pendek dikaitkan dengan penulis Kathāvatthu Moggaliputtatissa dalam Vijñānakāya dari Sarvāstivādin.22 Gagasan tentang suatu kelahiran kembali yang segera kelihatannya bagi saya sebuah strategi retoris untuk menekan kemungkinan suatu Diri yang menyelinap melalui celah itu. Ini bersesuaian dengan kecenderungan umum Abhidhamma Theravādin, yang selalu mencari cara untuk meminimalkan waktu dan menghilangkan area yang abu-abu. Tetapi secara filosofis ini tidak menghasilkan apa-apa, karena apa pun itu yang berpindah melalui keadaan antara, ia tidak kekal dan berkondisi, yang didorong oleh keinginan, dan oleh sebab itu tidak dapat menjadi suatu “Diri”.
Terdapat beberapa tempat di dalam Sutta-Sutta yang mengatakan kisah “kehidupan nyata” dari orang-orang yang meninggal dunia dan terlahir kembali. Sebagai contoh, Anāthapiṇḍika Sutta mengatakan bahwa Sāriputta dan Ānanda pergi untuk melihat Anāthapiṇḍika karena ia sedang sekarat, dan: “Segera setelah mereka pergi, perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggal dunia dan muncul kembali di surga Tusita.”23 Walaupun tidak menyebutkan adanya keadaan antara, tetapi juga tidak meniadakannya. Jika saya mengatakan, “Saya meninggalkan vihara dan pergi ke desa”, tidak ada orang yang membacanya menganggap bahwa saya menghilang di satu tempat dan muncul kembali seketika di tempat lain! Peristiwa naratif demikian terlalu samar-samar untuk dapat menentukan apakah mereka mengasumsikan suatu keadaan antara atau tidak.
Pernyataan yang paling eksplisit yang mendukung keadaan antara mungkin adalah Kutuhalasāla Sutta, yang mengatakan bagaimana suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini tetapi belum terlahir kembali ke dalam tubuh lainnya.
“Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan],24 bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan]. Vaccha, seperti halnya api yang membakar dengan bahan bakar, bukan tanpa bahan bakar, demikian juga, Vaccha, Aku menyatakan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seseorang dengan bahan bakar [dengan kemelekatan], bukan bagi seseorang tanpa bahan bakar [tanpa kemelekatan].” “Tetapi, Guru Gotama, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?” “Vaccha, ketika suatu nyala api tertiup oleh angin dan telah berjalan jauh, Aku menyatakan bahwa ia diberi bahan bakar oleh udara. Karena, Vaccha, pada saat itu, udara adalah bahan bakarnya.” “Dan lebih jauh, Guru Gotama, ketika suatu makhluk telah meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, apakah yang Guru Gotama nyatakan sebagai bahan bakarnya?” “Vaccha, ketika suatu makhluk meletakkan tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali pada tubuh lainnya, Ku-katakan ia diberi bahan bakar oleh keinginan.25 Karena, Vaccha, pada saat itu, keinginan adalah bahan bakarnya.”26
Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha, mengikuti gagasan yang berlaku pada masa itu – karena Vacchagotta adalah seorang pengembara non-Buddhis (paribbājaka) – menerima bahwa terdapat sejenis interval antara kehidupan yang satu dan berikutnya. Selama waktu ini, ketika seseorang telah “meletakkan” tubuh ini, tetapi belum terlahir kembali ke dalam tubuh lainnya, ia ditopang oleh keinginan, bagaikan suatu nyala api yang tertiup oleh angin ditopang oleh angin. Perumpamaan ini menyatakan, mungkin, bahwa intervalnya dalam waktu singkat; tetapi tujuan perumpamaan ini adalah untuk menggambarkan sifat ketergantungan dari periode, bukan panjang waktu yang dihabiskannya. Di sini, seperti dalam konteks lain yang akan kita selidiki di bawah ini, ini sungguh tidak mungkin untuk mengambil kesimpulan tentang panjang waktu di dalam keadaan antara. Sementara api terbakar secara normal, ia ditopang oleh faktor-faktor yang kompleks, seperti bahan bakar, oksigen, dan panas. Tetapi ketika suatu lidah api secara sementara tertiup dari api sumbernya, ia dapat bertahan selama waktu yang singkat, dan pada waktu itu ia dengan lemah ditopang oleh suplai oksigen yang tak terputus. Hal yang sama dalam kehidupan kita, kita ditopang oleh makanan, rangsangan indera, dan seterusnya, tetapi dalam keadaan antara, hanya benang tipis keinginan yang mendorong kita maju. Tentu saja bedanya adalah nyala api akan dengan mudah padam, sedangkan bahan bakar keinginan tak terhindarkan mendorong seorang yang belum tercerahkan menuju kelahiran kembali di masa depan.
Terdapat sebuah deskripsi umum dari berbagai tingkatan makhluk tercerahkan, yang tampaknya mengatakan tentang seseorang yang merealisasi Nirvana di antara kehidupan ini dan kehidupan berikutnya. Bacaan ini mulai dengan menyebutkan seseorang yang menjadi tercerahkan sepenuhnya dalam kehidupan ini, kemudian seseorang yang merealisasi Nirvana pada waktu kematian, kemudian berbicara tentang suatu jenis yang tidak-kembali:
… dengan penghancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, seseorang mencapai Nirvana “di antaranya” (antarāparinibbāyī).27
Jenis yang tidak-kembali berikutnya merealisasi Nirvana “saat mendarat” (upahaccaparinibbāyī). Dengan mempertimbangkan konteksnya – di antara kematian dan “mendarat” di alam Murni – ini tampaknya mungkin bahwa bacaan ini merujuk pada seseorang, yang meninggal dunia sebagai seorang yang tidak-kembali, merealisasi Nirvana sempurna dalam keadaan antara. Inilah bagaimana bacaan ini ditafsirkan oleh para Puggalavādin dan Sarvāstivādin,28 dan dalam studi modern oleh Harvey dan Bodhi.29
Purisagati Sutta membuat kategori ini lebih jelas dengan serangkaian perumpamaan, yang membandingkan antarāparinibbāyī dengan bunga api dari besi panas, yang ketika dipukul, terbang keluar dari bloknya dan “mendingin” sebelum menyentuh tanah.30 Sekali lagi, ini tampaknya sulit untuk menafsirkan hal ini sebagai bukan keadaan antara.31
Seperti paragraf sebelumnya, di sini deskripsinya diberitahukan dengan perumpamaan api, yang melambangkan kesakitan dan perangkap. “Keluar dari nyala api” adalah tujuan praktek Buddhis, sehingga gambaran kobaran api yang dihubungkan dengan kelahiran kembali adalah sepenuhnya tepat. Fakta bahwa Nirvana dapat terjadi selama tahap ini menyatakan bahwa ini memiliki arti penting secara spiritual. Ini dapat dianggap menyatakan bahwa prosesnya memakan panjang waktu yang lumayan, tidak seperti perasaan “seketika” yang kita catat dalam gambaran “nyala api yang tertiup angin”. Namun demikian, “keluar” di sini hanya pendinginan yang alami, puncak dari suatu proses yang telah hampir selesai, dan tidak menyiratkan bahwa seseorang harus menganggap penting keadaan antara sebagai suatu alam [kehidupan] untuk praktek Dhamma.
Terbukti ada sebuah kiasan untuk keadaan antara dalam Channovāda Sutta, di mana Mahā Cunda mengajar Channa orang Vajjī, dengan mengutip Sang Buddha sebagai berikut:
Bagi seseorang yang bergantung terdapat keraguan (calita); bagi seseorang yang tidak bergantung, maka tidak ada keraguan. Jika tidak ada keraguan, maka terdapat ketenangan. Jika terdapat ketenangan, maka tidak ada kecenderungan (terhadap keinginan atau kehidupan) (nati). Jika tidak ada kecenderungan, maka tidak ada kedatangan dan kepergian (agatagati). Jika tidak ada kedatangan dan kepergian, maka tidak ada kematian dan kelahiran kembali (cutūpapāta). Jika tidak ada kematian dan kelahiran kembali, maka tidak ada di sini ataupun di luar sana ataupun di antara keduanya (na ubhayaṁ antarena). Inilah akhir penderitaan.32
Sementara istilah yang digunakan di sini mungkin sedikit terlalu samar-samar untuk menyatakan dengan tegas tentang suatu interpretasi yang pasti, namun berdasarkan paragraf sebelumnya maka adalah masuk akal untuk melihat hal ini sebagai suatu kiasan yang lebih jauh untuk keadaan antara.
Penggunaan yang agak misterius dari istilah gandhabba juga dianggap merujuk pada keadaan antara.33 Pada masa Sang Buddha, gandhabba hampir sepenuhnya mencapai makna klasiknya sebagai suatu kelompok musisi surgawi. Namun penggunaan Veda yang lebih awal bervariasi, dan ini kelihatannya menjadi [arti] yang samar-samar sebagai “jiwa” kita.34 Makna yang setengah animis muncul dalam bacaan berikut.
Para bhikkhu, turunnya makhluk yang akan dilahirkan (gabbhassâvakkanti) terjadi melalui penyatuan tiga hal. Di sini, terdapat penyatuan dari ibu dan ayah; tetapi ibu tidak dalam masa subur, dan makhluk yang akan dilahirkan (gandhabba) tidak ada. Dalam kasus ini, tidak ada turunnya makhluk yang akan dilahirkan yang terjadi. Tetapi ketika ada penyatuan ibu dan ayah; ibu dalam masa subur; dan makhluk yang akan dilahirkan ada, melalui penyatuan ketiga hal ini turunnya makhluk yang akan dilahirkan terjadi.35
Assalāyana Sutta mengaitkan ajaran yang sama pada para brahmana dari masa lampau, dengan menunjukkan bahwa Sang Buddha tidak berkeberatan mengadopsi pandangan yang berlaku pada masa itu tentang kelahiran kembali ke dalam ajaran-Nya, sepanjang pandangan-pandangan itu tidak mendalilkan suatu Diri.36 Penerimaan istilah konvensional gandhabba menyatakan bahwa apa pun yang ada di dalam keadaan antara dalam suatu pengertian adalah suatu “pribadi” yang berfungsi, tidak hanya proses mekanistik atau arus aktif yang tiada kesadaran. Namun, penggunaan istilah ini sangat sederhana dan tidak pasti sehingga tidak bijaksana untuk menganggapnya penting.
Sebuah paragraf umum tentang empat “makanan” (yaitu empat faktor fisik atau mental yang mendukung kehidupan) memperkenalkan istilah sambhavesī. Ditafsirkan oleh komentar sebagai “seseorang yang sedang mencari kelahiran kembali”, para ahli tata bahasa modern lebih menyukai menguraikan istilah ini sebagai “seseorang yang akan terlahir kembali”.37 Dalam kedua kasus ini tampaknya menunjuk pada makhluk dalam keadaan antara.
Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah ada (bhūtā) dan untuk mendukung makhluk-makhluk yang sedang mencari kehidupan baru (sambhavesī). Apakah empat ini? yaitu makanan fisik, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak mental sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.38
Sementara Sutta-Sutta awal tidak memberikan kita informasi yang lebih jauh, kenyataan bahwa sambhavesī dibedakan dengan bhūta, yang jelas berarti satu dalam keadaan ada (bhava), menyiratkan bahwa sambhavesī ada dalam keadaan potensial.39 Keadaan antara benar-benar “di antara”, ini hanya didefinisikan oleh ketiadaan bentuk kehidupan yang lebih substansial, dan seseorang dalam keadaan itu, demikianlah kelihataanya, secara khusus mengarah menuju penjelmaan yang lebih sepenuhnya disadari.
Kita telah mencatat penggunaan perumpamaan untuk melukiskan keadaan antara dengan lebih jelas. Sebuah paragraf umum yang ditemukan dalam Sāmaññaphala Sutta menjelaskan ingatan kembali makhluk-makhluk yang berkelana [di samsara] menurut kamma mereka (cutūpapātañāṇa) menggunakan perumpamaan ini:
“Raja besar, seperti halnya jika terdapat sebuah tempat di alun-alun tengah [dari sebuah kota di mana keempat jalan bertemu] (siṅghāṭaka), dan seseorang dengan penglihatan yang baik berdiri di atasnya untuk melihat orang-orang sedang memasuki (pavisanti) sebuah rumah, meninggalkannya (nikkhamanti), berkeliaran (sañcaranti) di sepanjang jalan-kereta, dan duduk (nisinnā) di alun-alun tengah. Pikiran ini akan muncul dalam dirinya, ‘Orang-orang ini sedang memasuki sebuah rumah, meninggalkannya, berjalan di sepanjang jalanan, dan duduk di alun-alun tengah.’”40
Tentu saja, sebuah perumpamaan hanya bisa menimbulkan dugaan-dugaan. Namun demikian,sulit untuk memahami mengapa Sang Buddha menggunakan deskripsi yang demikian tentang proses kelahiran kembali jika Beliau ingin mengeluarkan kemungkinan suatu keadan antara. Peter Harvey menafsirkan bacaan ini berdasarkan Kiṁsuka Sutta.41
Di sini penggunaan [istilah] memasuki (pavisanti), meninggalkan (nikkhamanti) dan berkeliaran (sañcaranti) berturut-tururt merujuk pada suatu makhluk yang akan dilahirkan, meninggal dunia, dan mencari kelahiran baru. Rumah mewakili tubuh atau bentuk kelahiran kembali, dan duduk (nisinnā) di alun-alun tengah [di mana empat jalan bertemu] menunjuk pada kesadaran yang mencari kelahiran baru di alam indria (empat jalan mewakili empat unsur, tanah, air, api, angin). Di sini, duduk dalam perumpamaan ini menunjuk pada penglihatan [kesadaran] yang datang untuk ditegakkan ke dalam individu baru, setelah berkelana mencari-“nya”.42
Jika lima kelompok unsur kehidupan merupakan suatu cara memahami kelahiran kembali menjadi berbagai keadaan makhluk, ini hanya akan lebih jelas untuk menyatakan bahwa mereka juga terlibat dalam proses kelahiran antara.43 Sedikit perenungan menegaskan bahwa kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah sungguh mengalami NDE (near death experience [pengalaman mendekati kematian]) atau OOBE (out of body experience [pengalaman keluar dari tubuh]). Seseorang melihat “bentuk-bentuk”, cahaya, gambaran, dan memiliki perasaan bergerak keluar dari tubuh. Ini semuanya adalah bagian dari kelompok unsur bentuk. Harus dicatat bahwa “pergerakan” adalah ciri fisik, sehingga perasaan bergerak keluar tubuh adalah fenomena fisik, dan tidak dapat dijelaskan dengan merujuk pada roh yang sepenuhnya tanpa materi (secara kebetulan ini adalah salah satu mengapa saya meninggalkan kepercayaan saya terhadap suatu roh). Untuk dapat “melihat” cahaya, seseorang harus dengan suatu cara berinteraksi dengan foton [partikel cahaya]. Pasti ada dimensi fisik yang hadir, kalau tidak foton hanya akan menembus melaluinya tanpa hambatan. Kualitas ini disebut “kontak-hambatan” (paṭighasamphassa) di dalam Sutta-Sutta.44 Tentu saja, kita membayangkan kehadiran “fisik” ini tidak dalam istilah materi fisik yang kasar (oḷārika), tetapi sejenis “tubuh energi”, atau “tubuh halus”, istilah terbaik yang di dalam Sutta-Sutta akan disebut “tubuh ciptaan pikiran (manomayakāya), yang dikatakan tiruan yang “bersifat fisik” (rūpī) dari tubuh kasar.45 Jadi kelompok unsur bentuk pastinya bagian dari pengalaman ini, bahkan jika ini bukan tubuh biasa yang biasanya kita kenali.
Subjek biasanya mengalami perasaan bahagia, yang merupakan bagian dari kelompok unsur perasaan. Seringkali, mereka akan mengenali keluarga atau teman-teman yang datang untuk bertemu dengan mereka. Kemampuan mengenali ini merupakan bagian dari kelompok unsur persepsi. Ada kalanya ketika subjek seringkali merasa seakan-akan mereka harus membuat suatu pilihan, untuk tetap [melanjutkan] atau kembali. Pilihan ini dimasukkan dalam kelompok unsur aktivitas-aktivitas kehendak. Akhirnya, subjek dengan jelas sadar selama proses ini, di sana kesadaran bekerja. Demikianlah bagi orang yang belum tercerahkan proses kelahiran kembali dapat digambarkan dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan; sebaliknya, Arahant yang telah tercerahkan tidak dapat digambarkan setelah kematian dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan, karena ini semua telah lenyap.46
Kenyataan bahwa NDE dapat dipahami atau dijelaskan dalam istilah lima kelompok unsur kehidupan bukan uraian yang sembarangan atau sepele. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Buddhisme Awal kelahiran kembali adalah proses empiris yang dapat dipahami yang melibatkan secara tidak lebih misterius daripada bekerjanya pikiran dan tubuh yang biasa. Dalam contoh ini kita melihat manfaat mempelajari semua aliran. Karena walaupun Theravādin telah melestarikan teks-teks awal yang paling mudah dipahami dan paling jelas yang merujuk pada keadaan antara, namun sikap filosofis mereka mencegah mereka untuk menyelidiki dan menjelaskan hal ini secara detail. Untuk itu kita harus mendengarkan aliran lain, mulai dari Puggalavādin dan Sarvāstivādin, dan yang diturunkan melalui tradisi Cina dan Tibetan.
Tampaknya bagi saya terdapat sesuatu yang lebih dalam yang dapat kita pelajari dari merenungkan tentang keadan antara. Perubahan adalah traumatis, dan kita membutuhkan suatu periode untuk penyesuaian. Perumpamaan yang diberikan Sang Buddha – berkelana dari rumah ke rumah, atau melayang bagaikan percikan api di udara – menangkap suatu perasaan kesendirian dan tidak menentu di alam semesta ini. Makhluk yang telah meninggalkan badan mereka dihempaskan ke dalam sesuatu yang tidak diketahui, di mana semua ketakutan dan harapan mereka dapat disadari. Perbuatan, pengalaman, keinginan, dan kebiasaan-kebiasaan dari kehidupan ini dan masa lampau membuat kesan pada arus kesadaran: kita mengetahui hal ini, kita merasakannya tiap waktu. Hal-hal demikian memakan waktu untuk dicerna diri sendiri dan mengkristal dalam suatu pola baru. Kita tidak memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan dengan sekejap. Masa kebingungan, yang telah meninggalkan satu hal dan belum mencapai hal yang lain, memberikan ruang bagi kesadaran untuk menyatukan pelajaran dari masa lampau dan mengarahkan dirinya sendiri ke masa depan.
Terlepas dari semua yang telah kita katakan untuk mendukung keadaan “antara”, saya masih akan membuat suatu keberatan penting. Gagasan “keadaan” menyatakan suatu modus keberadaan, tetapi sebaliknya, apa yang kita lihat menyatakan ketiadaan suatu keberadaan. Keadaan antara bukan suatu alam tersendiri yang entah bagaimana berdiri di ruang kosong di antara alam-alam lain. Kita mungkin membayangkan demikian, tetapi ini hanya sebuah perumpamaan untuk membantu kita memandang pengalaman ini secara masuk akal. Referensi-referensi tentang “keadaan antara” tidak berfokus pada keberadaan objektif atau kosmologis dari alam yang demikian, dan sejauh ini saya pikir keberatan Kathāvatthu atas keadaan antara dapat dibenarkan. Agaknya bacaan-bacaan itu berfokus pada pengalaman suatu individu tentang apa yang terjadi setelah kematian, tetapi sebelum kehidupan selanjutnya. Ini adalah suatu proses perubahan, pencarian, keinginan untuk menjadi ada. Untuk mengatakan ini sebagai “keadaan antara” sejujurnya adalah suatu aktualisasi dari konsep ini, yang telah melebarkan pernyataan sebenarnya dari mana istilah itu diturunkan. Namun demikian, mungkin tidak dapat disangkal bahwa kita tetap memakai istilah ini, yang akan baik-baik saja sepanjang kita mengingat bahwa ini hanya suatu cara yang sesuai untuk menyamaratakan tentang pengalaman individual, bukan suatu alam atau tempat kehidupan tertentu.
Sebagai tambahan untuk menunjukkan status ontologis dari keadaan antara, Sutta-Sutta juga memberi kita petunjuk epistemologis: bagaimana kita dapat mengetahui kebenaran tentang kelahiran kembali? Cara yang paling jelas adalah melalui pengembangan kemampuan batin untuk mengingat kembali kehidupan lampau seseorang dan melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk berdasarkan kamma mereka. Pengetahuan ini diajarkan di seluruh Sutta, di mana pengetahuan-pengetahuan itu digambarkan muncul dari kesadaran yang dimurnikan dalam jhana ke empat. Cara ke dua adalah melalui kesimpulan: berdasarkan pada pandangan terang langsung ke dalam pengalaman saat ini, kita menyimpulkan bahwa pengalaman masa lampau dan masa depan pasti bekerja berdasarkan prinsip yang sama.47 Akhirnya, kita dapat mempelajari tentang kelahiran kembali dari seorang guru yang dapat dipercaya. Walau mungkin lebih sedikit kaku, dari dua cara sebelumnya, hal ini seharusnya tidak diabaikan, karena kebanyakan orang kenyataannya menerima atau menerima kelahiran kembali bergantung pada seseorang yang mereka anggap sebagai seorang guru yang dapat dipercaya. Bagi beberapa orang, guru adalah Sang Buddha; bagi orang lain, seseorang yang mungkin telah mengalami NDE; bagi yang lain lagi, ini dapat berupa komunitas ilmiah. Sang Buddha seringkali memberikan ajaran tentang kehidupan lampau-Nya, tentang kelahiran kembali orang lain, atau tentang alam-alam makhluk yang berbeda, dan tampaknya masuk akal untuk menganggap bahwa Beliau hanya akan memberikan ajaran-ajaran demikian jika bermanfaat. Dalam kasus apa pun, cara mengetahui (pamāṇa) yang demikian, walau ini dapat atau tidak dapat membawa pada hasil yang benar, sangat rasional dan tidak membutuhkan dalil tentang entitas metafisik apa pun.
Dengan cara sebaliknya, Pāyāsi Sutta memberikan contoh cara yang salah mempelajari tentang kelahiran kembali.48 Pangeran Pāyāsi melakukan serangkaian percobaan yang rumit untuk menguji apakah jiwa itu ada. Ia mengambil para penjahat yang akan dihukum dan menyebabkan mereka tewas di dalam gentong yang dikunci untuk melihat apakah jiwa mereka akan keluar; atau ia menimbang mereka sebelum dan sesudah kematian; dan saya akan menyerahkan pada anda untuk melakukan pengujian-pengujian mengerikan lainnya. Tetapi Bhikkhu Kumāra Kassapa mengkritiknya karena mencari jiwa dengan cara yang bodoh. Pelajaran ini layak disimpan dalam pikiran. Kita tidak dapat menjamin bahwa metode ilmiah modern kita akan lebih efektif daripada cara yang dilakukan Pāyāsi; dan kita lebih terkendala dalam bagaimana kita memperlakukan subjek ujicoba kita!
Tulisan ini ditulis untuk Closer-to-Reality Conference (C2RC) tahun 2008 di Kuala Lumpur. Ini sangat bergantung pada penelitian dan terjemahan oleh Piya Tan, terutama tulisannya “Is Rebirth Immediate? A study of canonical sources”, dari http://dharmafarer.googlepages.com. Untuk Majjhima Nikāya saya bergantung pada A Comparative Study of the Majjhima Nikāya oleh Bhikkhu Anālayo (akan terbit). ↩︎
Waktu yang pasti dari perpecahaan pertama masih diperdebatkan. Kebanyakan sarjana menempatkannya di antara Konsili Ke Dua dan Aśoka, sedangkan dalam karya saya Sects & Sectarianism saya berpendapat bahwa perpecahan pertama tidak terjadi sampai setelah Aśoka. ↩︎
Lima Nikāya dari kumpulan Pali; empat Āgama dan berbagai tempat lainnya di dalam Kanon Cina; berbagai Sutta berbahasa Sanskerta dan bahasa India lainnya yang direkonstruksi dari naskah-naskah kuno; teks-teks yang kadangkala ditemukan dalam Kanon Tibet. Kebanyakan bahan Āgama berasal dari aliran (Mūla) Sarvāstivāda, walaupun aliran-aliran lain, terutama Dharmaguptaka, juga terwakili. Disebabkan keterbatasan waktu, saya tidak dapat sepenuhnya melakukan penelitian pada setiap poin dalam esai ini dalam sebuah dasar komparatif. Saya mencatat setiap bacaan yang telah saya temukan di mana teks Cina dan yang lainnya berbeda secara signifikan dari teks Pali. Saya tidak membuat daftar semua versi yang paralel, karena dalam beberapa kasus ada sangat banyak; sutta-sutta yang paralel dapat ditemukan di www.suttacentral.net. Referensi pada Majjhima dan Dīgha Nikāya (MN, DN) menunjuk pada nomor Sutta dan bagian dari terjemahan Wisdom Publication. SĀ, MĀ, dst, menunjuk pada Saṁyukta Āgama (T no. 99), Madhyama Āgama (T no. 26), dst. ↩︎
McEvilley, The Shape of Ancient Thought (Allworth Press, 2002), hal. 98ff. ↩︎
Tetapi baca Jeanine Miller, The Vedas: Harmony, Meditation, and Fulfillment (Rider, 1974), bagian 3. ↩︎
Misalnya Ajita Kesakambalī dalam DN 2. 23. ↩︎
Itivuttaka 70, 71. ↩︎
SN 22.79 ↩︎
SN 22.99, 100 ↩︎
DN 1.2.38. Pandangan yang sama digambarkan dalam SN 24.37-44,, walaupun ini menghilangkan gambaran sebagai “yang mempersepsi”. ↩︎
Saṅkhāra didefinisikan sebagai cetanā, “kehendak” dalam SN 22.56, 57: Chayime, bhikkhave, cetanākāyā: rūpasañcetanā, saddasañcetanā, gandhasañcetanā, rasasañcetanā, phoṭṭhabbasañcetanā, dhammasañcetanā. Ime vuccanti, bhikkhave, saṅkhārā.; SA 41 dan 42 juga sama mendefinisikan ‘saṅkhārā’ sebagai “kehendak”, walaupun dengan frasa yang sedikit berbeda. AN 6.63 mendefinisikan kamma sebagai “kehendak”: Cetanāhaṃ, bhikkhave, kammaṃ vadāmi. Cetayitvā kammaṃ karoti kāyena vācāya manasā. “Adalah kehendak, para bhikkhu, yang Aku sebut kamma. Setelah berkehendak seseorang berbuat melalui tubuh, ucapan, pikiran.” Maka saṅkhāra dan kamma, yang terbentuk dari akar kata yang sama, akan kelihatannya sama dalam makna, lebih jauh menggarisbawahi hubungan antara saṅkhāra dan kelahiran kembali. Perbedaannya adalah bahwa saṅkhāra cenderung digunakan dalam konteks filosofis/eksistensial seperti kelompok kehidupan dan kemunculan bergantungan, sedangkan kamma digunakan dalam konteks etis. ↩︎
MN 120. Sutta ini aneh dalam menekankan hanya tekad seseorang yang berdasarkan kamma baik sebagai kondisi untuk kelahiran kembali, bahkan di alam Brahmā, walaupun hal ini biasanya dipahami membutuhkan pengembangan jhana. Satu-satunya versi Cina yang paralel untuk Sutta ini (MĀ 168) sangat berbeda dan tidak mengandung keanehan ini. Beberapa bagian [naskah kuno] Gandhārī yang belum diterbitkan menyamai bagian dari MN 120. ↩︎
Oleh sebab itu beberapa ungkapan seperti “stasiun-stasiun kesadaran” viññāṇaṭṭhiti (yaitu alam-alam kelahiran kembai) dalam DN 15.33, viññāṇasota (arus kesadaran) dalam DN 28.7, atau saṁvattanikaviññāṇa (kesadaran yang sedang mengalir) dalam MN 106.3. Versi Cina dari paragraf yang terakhir (MĀ 75 dalam T I 542b22) kelihatannya menggunakan 本意 “pikiran akar” untuk saṁvattanikaviññāṇa. walaupun hal ini dapat sepenuhnya kebetulan, namun istilah ini bernuansa konsep Mahāsaṅghika tentang mūlavijnāna (kesadaran-akar), yang menurut Karmasiddhiprakaraṇa oleh Vasubandhu berperan sama dengan bhavaṅga dari Theravādin atau ālayavijñāna dari Yogacārin. Baca Stefan Anacker, Seven Works of Vasubandhu (Motilal Barnasidass, 1998), hal. 114. ↩︎
MN 38.3; versi yang paralel dalam MĀ 201 adalah sama. ↩︎
Misalnya SN 22.59 Anattalakkhaṇa, MN 35 Cūḷasaccaka. Versi Cina yang paralel untuk MN 35 (SĀ 110 dalam T II 35a-37b dan EĀ 37.10 dalam T II 715a-717b) sedikit berbeda dalam susunan kata, tetapi semuanya menunjukkan bahwa Saccaka familiar dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan menyatakannya sebagai Diri. ↩︎
Bṛhadāraññaka 2.5.12. ↩︎
Misalnya DN 1 Brahmajāla, MN 136 Mahākammavibhaṅga. Versi Cina adalah sama mengenai hal ini. ↩︎
SN 22.47: Ye hi keci, bhikkhave, samaṇā vā brāhmaṇā vā anekavihitaṃ attānaṃ samanupassamānā samanupassanti, sabbete pañcupādānakkhandhe samanupassanti, etesaṃ vā aññataraṃ. Hal yang sama SĀ 45 dalam T II 11b4: 若諸沙門.婆羅門 見有我者。一切皆於此五受陰見我; and SĀ 65 at T II 16b16: 若沙門.婆羅門計有我。一切皆於此五受陰計有我. ↩︎
SN 22.82. Susunan kata Cina sedikit berbeda: “Jadi jika tidak ada diri, siapa di masa depan yang akan menerima akibat kamma yang dilakukan oleh yang bukan-diri?” SA 58 dalam T II 15c. Terjemahan Choong Mun-keat, The Fundamental Teachings of Early Buddhism, Harrasowitz Verlag, 2000, hal. 67. ↩︎
Menurut Thich Thien Chau, The Literature of the Personalists of Early Buddhism (Motilal Barnasidass, 1999), hal. 208, catatan no. 764, beberapa cabang Mahāsaṅghika dan Mahīśāsaka awal menolak keadaan antara, sedangkan Puggalavādin, Sarvāstivādin, beberapa cabang Mahāsaṅgika tertentu, Mahīśāsaka belakangan, dan Darstantika menerimanya. ↩︎
Kathāvatthu 8.2 (Points of Controversy, hal. 212-3). ↩︎
T XXVI, no. 1539. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Vijnanakaya. Pembahasan terbaru tentang argumen tentang waktu dalam Vijñānakāya ada di http://buddhism.lib.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-ADM/bastow.htm ↩︎
MN 143: Atha kho anāthapiṇḍiko gahapati, acirapakkante āyasmante ca sāriputte āyasmante ca ānande, kālamakāsi tusitaṃ kāyaṃ upapajji. ↩︎
Upādāna dapat berarti “bahan bakar” atau “kemelekatan”, dan paragraf ini menggunakan permainan kata pada kedua makna ini. ↩︎
Yasmiṃ kho, vaccha, samaye imañca kāyaṃ nikkhipati, satto ca aññataraṃ kāyaṃ anupapanno hoti, tamahaṃ taṇhūpādānaṃ vadāmi. ↩︎
SN 44.9. Versi Cina yang paralel SĀ2 190 dalam T II 443b04 adalah sama: 身死於此。意生於彼。於其中間。誰為其取 (Ketika tubuh ini mati, dan terdapat keinginan untuk terlahir di tempat lain, apakah yang menopang interval di antaranya?) Namun SĀ 957 dalam T II 244b4 tidak begitu eksplisit: 眾生於此處命終。乘意生身生於餘處. (Ketika seseorang berakhir kehidupannya, keinginan adalah cara di mana seseorang yang melekat memegang tubuh yang lain.) Paragraf ini tidak terlihat dalam pembahasan Kathāvatthu. ↩︎
DN 33.1.9, SN 46.3, SN 48.15, SN 48.24/5. SN 48.66, SN 51.26, SN 54.5, SN 55.25.8, AN 3.86.3 (hanya jenis pertama dan terakhir yang disebutkan), AN 3.87.3, AN 4.131, AN 7.16, AN 7.17, AN 7.52, AN 7.80, AN 9.12, AN 10.63, AN 10.64. Versi Cina yang paralel SĀ 736 dalam T II 196c16 adalah sama: 而得五下分結盡。中般涅槃. ↩︎
Lihat Thien Chau, hal. 208-9. ↩︎
Peter Harvey, The Selfless Mind (Curzon Press, 1995), hal. 100; Bhikkhu Bodhi, Connected Discourses of the Buddha (Wisdom, 2000), hal. 1902, catatan no. 65. ↩︎
AN 7.52 ↩︎
Harvey, The Selfless Mind, hal. 101; Peter Masefield, Divine Revelation in Pali Buddhism (Allen & Unwin, 1986), hal. 116, 120; cf Alex Wayman ‘The Intermediate-State Dispute in Buddhism’ in Buddhist Studies in Honour of I.B. Horner, ed L. Cousins et al. (Dordrecht & Boston:D. Reidel, 1974), hal. 227-239. ↩︎
MN 144.11 = SN 35.87 = Udāna 81; cf SN 12.40. Baca juga Māluṅkyāputta Sutta, SN 35.95. ↩︎
MĀ 201 dalam T I 769b24 memiliki 香陰 “bau harum”, yang jelas diturunkan dari bahasa India gandha (vl. 生陰 “kelompok unsur kelahiran”), sedangkan EĀ 21.3 at T II 602c19+20 memiliki外識 “kesadaran eksternal” atau 欲識 “kesadaran yang menginginkan”. Versi EĀ diterjemahkan oleh Thích Huyên-Vi dan Bhikkhu Pāsādika bekerjasama dengan Sara Boin-Webb, awalnya diterbitkan dalam Buddhist Studies Review 20.1, 2003, hal 76-80. Tersedia di http://ekottara.googlepages.com/ekottaraagama21.22. ↩︎
Lihat Oliver Hector de Alwis Wijesekera, R.N. Dondekar, M. H. F. Jayasuriya. Buddhist and Vedic Studies: A Miscellany. (Motilal Banarsidass, 1994), hal. 175-212. ↩︎
Mahātaṇhāsaṅkhaya Sutta, MN 38.26. ↩︎
MN 93.18. ↩︎
Lihat Bodhi, Connected Discourses, hal. 730-1, catatan no. 17. ↩︎
SN 12.11, 12.12, 12.63, 12.64, MN 38.15/1:261. Cf Metta Sutta, Sn 1.8 = Kh no 9. ↩︎
Dalam Abhidharmakoṣa, sebuah karya Buddhis berbahasa Sanskerta, istilah saṁbhavaiśin adalah salah satu dari lima nama untuk keadaan antara, bersama-sama dengan manomaya, gandharva and (abhi)nirvṛtti (Abhk:P3.40c-41a/2:122). ↩︎
DN 2.96. Versi Sanskerta yang paralel dalam Konrad Meisig, Das Śrāmaṇyaphala Sūtra (Otto Harrassowitz, 1987), hal. 352. Cf MN 39.19, namun dua versi Cina di mana, MĀ 182 dalam T I 724c-725c and EĀ 49.8 dalam T II 801c-802b, tidak mengandung bagian perumpamaan ini. ↩︎
SN 35.204. ↩︎
Harvey, The Selfless Mind, hal. 103. ↩︎
Puggalavādin secara eksplisit menggambarkan keadaan antara dalam hal kelompok-kelompok unsur kehidupan. Lihat Thien Chau, hal. 207. ↩︎
DN 15.20 ↩︎
DN 1.3.12; DN 2.85-86. ↩︎
SN 22.85. Baca juga SA 105, SA 72. ↩︎
SN 12.33, 34. ↩︎
DN 23. Selain dari beberapa versi Cina yang paralel, ini mungkin hanya satu-satunya Sutta Buddhis yang paralel dengan versi Jaina. Baca Willem Bollée, The Story of Paesi, Wiesbaden: Harrassowitz, 2002. ↩︎