John T. Bullitt
Edisi lain:
pdf
Melihat secara sekilas halaman-halaman katalog publikasi-publikasi dari Pāḷi Text Society, seharusnya sudah cukup untuk meyakinkan siapa saja bahwa terdapat jauh lebih banyak literatur Pāḷi klasik dibandingkan dengan Tipiṭaka itu sendiri. Tercampur aduk dengan Nikaya-Nikaya, teks-teks Vinaya, dan Abhidhamma yang sudah umum, terdapat sejumlah judul dengan nama Pāḷi yang panjang dan hampir tidak bisa diucapkan. Meskipun banyak pelajar Buddhisme barat yang mungkin tidak pernah bertemu dengan karya-karya ini (memang, sebagian besar karya-karya tersebut tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris), buku-buku ini telah sekian abad memainkan peranan yang sangat penting di dalam perkembangan pemikiran dan praktik Buddhis di Asia dan, pada akhirnya, di Barat. Pada kenyataannya, di beberapa negara, karya-karya ini sangat dihargai ibarat sutta-sutta itu sendiri. Namun, apakah buku-buku kuno tersebut, dan apa relevansi yang mereka miliki terhadap pelajar-pelajar Buddhisme di abad ke-21? Meskipun jawaban-jawaban lengkap atas pertanyaan-pertanyaan ini terletak di luar jangkauan kemampuan saya, saya berharap naskah pendek ini akan menyediakan peta jalan yang cukup untuk membantu mengarahkan pelajar yang tertarik ketika ia ingin mulai menjelajahi kumpulan yang besar dari literatur Buddhis yang penting ini.
Artikel ini terdiri dari dua bagian. Bagian Pendahuluan menyediakan latar belakang historis untuk teks-teks dan menawarkan beberapa pemikiran tentang mengapa teks-teks ini sangat berharga bagi tradisi Theravada. Bagian Panduan pada dasarnya adalah daftar isi yang dilengkapi dengan keterangan, yang mana saya banyak meminjam dari berbagai macam sumber untuk mendeskripsikan setiap teks.
Tipiṭaka (kitab suci Pāḷi) mengambil bentuk akhirnya pada Konsili Buddhis Ketiga (sekitar 250 SM) dan pertama kali dijadikan dalam bentuk tulisan pada suatu waktu di abad ke-1 SM. Tak lama setelahnya para bhikkhu-pelajar di Sri Lanka dan India bagian selatan mulai mengumpulkan pokok dari literatur sekunder: kitab-kitab komentar untuk Tipiṭaka itu sendiri, kronik-kronik historis, buku-buku pelajaran, tata bahasa Pāḷi, artikel-artikel yang dibuat oleh pelajar-pelajar terdidik di masa lalu, dan seterusnya. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis dalam bahasa Sinhala, bahasa Sri Lanka, namun karena bahasa Pāḷi – bukan bahasa Sinhala – merupakan lingua franca atau bahasa penghubung dari Theravada, hanya sebagian kecil pelajar-pelajar Buddhis di luar Sri Lanka yang dapat mempelajari teks-teks ini. Pada abad ke-5 Masehi, ketika bhikkhu India Buddhaghosa memulai tugas sulit menyusun kitab-kitab komentar Sinhala kuno dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Pāḷi, buku-buku ini baru untuk pertama kalinya menjadi dapat diakses oleh orang-orang yang tidak berbicara dengan bahasa Sinhala di seluruh dunia Buddhis. Kitab-kitab komentar ini (Atthakatha) memberikan penjelasan dan analisis terperinci secara teliti – frase-demi-frase dan kata-demi-kata – untuk bagian-bagian terkait yang ada di dalam Tipiṭaka.
Setelah Buddhaghosa, katalog literatur Pāḷi pasca-kitab suci terus berkembang dengan tambahan kitab-kitab komentar oleh Buddhadatta (abad ke-5) dan Dhammapala (abad ke-6), dan kitab-kitab sub-komentar (Tika) untuk beberapa Atthakatha Buddhagosa oleh Dhammapala. Selama jangka waktu ini, dan abad-abad selanjutnya, penulis-penulis lain menyiapkan terjemahan-terjemahan Pāḷi dari teks-teks Sinhala awal tambahan. Teks-teks ini meliputi mulai dari himne puitis dalam perayaan Buddha, kronik-kronik yang menelusuri milenium pertama sejarah Buddhis, sampai pada buku pelajaran Abhidhamma yang detail. Sebagian besar karya-karya pasca-kitab suci, termasuk kitab-kitab sub-komentar, diselesaikan pada abad ke-12.
Literatur Pāḷi pasca-kitab suci melengkapi Tipiṭaka dalam beberapa cara yang penting. Pertama, kronik-kronik dan kitab-kitab komentar memberikan sehelai benang kontinuitas waktu yang penting yang menghubungkan kita, via orang-orang dan peristiwa-peristiwa historis pada abad yang bersangkutan, dengan dunia Tipiṭaka dari India kuno. Sebuah Tipiṭaka tanpa adanya benang historis yang menyertainya akan selamanya menjadi sebuah anakronisme atau ketidakcocokan zaman yang terisolasi bagi kita, pesannya hilang dalam awan-awan mitos dan fabel, halaman-halamannya hanya berdebu di rak pajangan museum bersebelahan dengan mumi-mumi Mesir kuno. Teks-teks ini mengingatkan kita bahwa Dhamma bukanlah sebuah artefak melainkan sebuah praktik, dan bahwa kita merupakan bagian dari barisan panjang para pencari yang telah berjuang, melalui praktik yang sabar, untuk menjaga ajaran-ajaran ini tetap hidup.
Kedua, hampir semua yang kita ketahui hari ini tentang tahun-tahun awal Buddhisme datang kepada kita dari buku-buku pasca-kitab suci ini. Meskipun bukti arkeologis dari era itu sangatlah sedikit dan Tipiṭaka itu sendiri memuat hanya sedikit sekali bagian yang menggambarkan peristiwa-peristiwa yang mengikuti kematian Buddha,1 kitab-kitab komentar dan kronik-kronik memuat sebuah harta karun informasi historis yang dengannya kita dapat secara parsial merekonstruksi sejarah awal dari Buddhisme. Teks-teks ini menerangi sejumlah besar peristiwa-peristiwa dan tren-tren historis yang penting: bagaimana Tipiṭaka dapat menjadi dilestarikan secara lisan; kapan Tipiṭaka pertama kali dituliskan, dan mengapa dituliskan; bagaimana Tipiṭaka mendekati kepunahan; bagaimana ajaran-ajaran Buddha menyebar menyeberangi Asia selatan; bagaimana dan kapan berbagai aliran dan faksi di dalam Buddhisme muncul; dan seterusnya. Namun ini bukanlah sekadar kepedulian tanpa tujuan untuk hiburan para akademisi. Praktisi mana pun, dari abad mana pun, mendapatkan manfaat dari memahami bagaimana para Buddhis awal-awal hidup, bagaimana mereka meletakkan ajaran-ajaran Buddha ke dalam praktik, tantangan-tantangan apa yang mereka hadapi; kita belajar dari mereka yang telah melewati sebelumnya. Dan ada pelajaran-pelajaran lain yang bisa dipelajari dari sejarah. Sebagai contoh, mengetahui bahwa adalah perbuatan-perbuatan dari sejumlah kecil individu yang mencegah kepunahan Tipiṭaka2 mengingatkan kita bahwa pada akhirnya terserah individu seperti kita untuk menjaga ajaran-ajaran hari ini. Tanpa teks-teks pasca-kitab suci, pelajaran-pelajaran penting semacam ini – jika bukan Tipiṭaka itu sendiri – mungkin telah hilang selamanya ke dalam kabut waktu.
Ketiga, teks-teks ini – khususnya kitab-kitab komentar – membantu kita memahami sutta-sutta dan memberikan kita petunjuk-petunjuk mengenai konteks yang mungkin terlewati oleh kita apabila tidak ada teks-teks tersebut. Sebagai contoh, Sutta Satipatthana yang terkenal (MN 10) sekarang ini dikutip secara populer sebagai bukti bahwa semua yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai Kebangunan adalah satu atau dua minggu praktik perhatian yang tanpa mengendur. Namun kitab komentar (Papañcasudani) mengusulkan sudut pandang lain. Kitab komentar tersebut menjelaskan bahwa pendengar Buddha untuk khotbah tersebut (warga desa Kammasadammam) sebelumnya telah mantap di dalam praktik perhatian dan moralitas. Mereka tidak datang ke praktik meditasi “dingin” namun sebaliknya, pada kenyataannya, warga desa tersebut secara tidak biasa telah siap sepenuhnya untuk menerima ajaran yang mendalam ini – sebuah poin yang tidak jelas terlihat dari teks sutta itu sendiri. Kitab komentar dengan cara ini mengingatkan kita bahwa ada beberapa fundamental atau dasar yang penting yang harus dikembangkan sebelum seseorang menjalankan praktik meditasi yang intensif.
Akhirnya, kitab-kitab komentar sering kali memuat cerita-cerita yang luar biasa untuk mengilustrasikan dan memperkuat poin-poin Dhamma yang dibuat di dalam sutta-sutta. Sebagai contoh, Dhp 114 mengambil makna yang jauh lebih kaya di dalam cahaya cerita latar belakang dari kitab komentar – perumpamaan terkenal dari Kisagotami dan biji wijen.3 Cerita-cerita komentar seperti yang satu ini (dan ada lebih banyak lagi) memberikan ajaran-ajaran Dhamma yang berharga dalam kebenaran mereka sendiri.
Seseorang mungkin sangat beralasan bertanya-tanya: bagaimana bisa sekumpulan teks yang ditulis seribu tahun setelah kematian Buddha dapat merepresentasikan ajaran-ajarannya secara andal? Bagaimana kita dapat yakin sekumpulan teks tersebut bukanlah sekadar karya-karya turunan, yang diwarnai dengan sejumlah tambahan-tambahan kultural yang tidak relevan? Pertama-tama, meskipun banyak dari teks-teks ini memang benar pertama kali ditulis dalam bahasa Pāḷi seribu tahun setelah Buddha, sebagian besar teks-teks versi Sinhala yang mana merupakan asal teks-teks tersebut, ditulis jauh sebelumnya dan telah diturunkan melalui tradisi lisan yang kuno dan andal. Namun (seseorang mungkin membantah) bukankah teks-teks awal tersebut harus dicurigai, karena mereka didasarkan hanya pada apa yang didengar dari orang lain? Mungkin saja, namun dengan argumen ini maka kita seharusnya menolak seluruh tradisi lisan – dan maka dari itu seluruh Tipiṭaka itu sendiri, yang sama-sama muncul dari sebuah tradisi lisan lama sesudah kematian Buddha. Tentu saja itu terlalu jauh menanggapinya.
Namun bagaimana dengan kualitas kelayakan dari para komentator itu sendiri: dapatkah kata-kata mereka dipercaya? Sebagai tambahan, selain menjalani kehidupan kebhikkhuan di dalam Dhamma, para penyusun kitab komentar memiliki kualitas kelayakan literer (yang berhubungan dengan tradisi tulis) yang tidak dapat diragukan: pengetahuan yang sangat mendetail dan menyeluruh dengan Tipiṭaka, penguasaan bahasa Pāḷi dan Sinhala, dan kepakaran dalam seni ilmu pembelajaran yang terperinci. Kita tidak memiliki alasan untuk meragukan baik kemampuan maupun ketulusan niat mereka.
Dan apa pengertian Dhamma yang mereka alami sendiri: apabila para komentator adalah para pelajar yang pertama dan terdepan, akankah mereka telah memiliki pengalaman meditatif yang cukup untuk menulis dengan otoritas pada subjek meditasi? Ini menjadi lebih problematik. Mungkin para komentator seperti Buddhaghosa memiliki cukup waktu (dan jasa kebajikan yang telah diakumulasikan) baik untuk menguasai meditasi dan untuk pengejaran-pengejaran ilmiah yang mengesankan; kita tidak pernah tahu. Namun perlu dicatat bahwa perbedaan yang paling signifikan antara Kitab Suci dan kitab-kitab komentarnya mengenai meditasi – khususnya, adalah hubungan antara meditasi konsentrasi dan pandangan terang.4 Pertanyaan tentang otoritas dari teks-teks pasca-kitab suci, dengan demikian, tetap menjadi sebuah titik kontroversi dalam Buddhisme Theravada.
Adalah penting untuk diingat bahwa fungsi tertinggi dari teks-teks pasca-kitab suci adalah – seperti Tipiṭaka itu sendiri – untuk membantu para murid dalam pencarian panjang untuk nibbana, tujuan tertinggi dari praktik Buddhis. Kekhawatiran tentang siapa yang menulis dan otoritasnya surut ketika teks-teks dikenakan sikap skeptis sehat yang sama dan pendekatan empiris yang seharusnya akrab bagi setiap murid dari sutta-sutta. Jika sebuah kitab komentar mengalirkan cahaya pada sudut gelap dari sebuah sutta atau membantu kita mengerti poin halus dari Vinaya atau Abhidhamma, atau jika kronik-kronik mengingatkan kita bahwa kita memegang sejarah masa depan Dhamma di tangan kita, maka sampai sejauh itu mereka membantu kita membersihkan jalan di depan. Dan jika teks-teks tersebut dapat melakukan bahkan sebanyak itu, maka – tidak peduli siapa yang menulis mereka dan dari mana mereka datang – teks-teks ini telah mendemonstrasikan sebuah otoritas yang tidak bisa dicela.5
Pada panduan berikut, saya telah menyusun judul-judul pasca-kitab suci paling populer berdasarkan tema dan berdasarkan tanggal (Masehi). Nama-nama penulis diikuti dengan tanggal penulisannya (jika diketahui). Penulis dari teks-teks ini semuanya adalah bhikkhu, namun untuk kepentingan keringkasan, saya tidak mencantumkan sebutan kehormatan “Y.M.” pada nama mereka. Setiap judul yang sifatnya bukan komentar diikuti dengan penjelasan singkat. Banyak dari deskripsi-deskripsi ini diambil secara verbatim atau kata demi kata dari sumber-sumber lain (lihat Sumber-Sumber, di bawah). Nomor-nomor halaman dari sumber-sumber ini diberikan dalam {kurawal}. Kebanyakan dari judul-judul ini telah diterbitkan oleh Pāḷi Text Society (PTS) dalam bahasa Pāḷi yang diromanisasi; beberapa di antaranya yang terjemahan dalam bahasa Inggrisnya telah tersedia ditandai dengan sebuah tanda belati (†), diikuti dengan penerjemah, tanggal penerjemahan, dan penerbit.
Untuk tujuan dari panduan ini, teks-teks pasca-kitab suci dapat dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut:
Teks Sumber | Kitab Komentar(Atthakatha) | Kitab Sub-komentar (Tika) |
---|---|---|
Vinaya Piṭaka | Samantapasadika (Buddhaghosa; abad ke-5) | Vajirabuddhi-tika(Vajirabuddhi; abad ke-11 sampai ke-12), Saratthadipani (Sariputta; abad ke-12), Vimativinodani (Mahakassapadari Cola; abad ke-12) |
Patimokkha | Kankhavitarani (Buddhaghosa; abad ke-5) | Vinayatthamañjusa (Buddhanaga; abad ke-12) |
Sutta Piṭaka | ||
Dīgha Nikāya | Sumangalavilasini (Buddhaghosa; abad ke-5) | Dighanikaya-tika (Dhammapala; abad ke-6) |
Majjhima Nikāya | Papañcasudani (Buddhaghosa; abad ke-5) | Majjhimanikaya-tika (Dhammapala; abad ke-6) |
Saṃyutta Nikaya | Saratthappakasini (Buddhaghosa; abad ke-5) | Saṃyuttanikaya-tika (Dhammapala; abad ke-6) |
Aṅguttara Nikāya | Manorathapurani (Buddhaghosa; abad ke-5) | Saratthamañjusa-tika (Sariputta; abad ke-12) |
Khuddaka Nikaya | ||
Khuddakapatha | Paramatthajotika (I) (Buddhaghosa; abad ke-5) | - |
Dhammapada | Dhammapada-atthakatha (Buddhaghosa; abad ke-5) ’’†(E.W. Burlingame, 1921, PTS) | - |
Udana | Paramatthajotika (I) (Buddhaghosa; abad ke-5) | - |
Khuddakapatha | Paramatthadipani (I) / Udana-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Itivuttaka | Paramatthadipani (II) / Itivuttaka-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Suttanipata | Paramatthajotika (II) / Suttanipata-atthakatha (Buddhaghosa; abad ke-5) | - |
Vimanavatthu | Paramatthadipani (III) / Vimanavatthu-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Petavatthu | Paramatthadipani (IV) / Petavatthu-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Theragatha | Paramatthadipani (V) / Theragatha-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Therigatha | Paramatthadipani (VI) / Therigatha-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Jataka | Jatakatthavannana / Jataka-atthakatha (Buddhaghosa;; abad ke-5) †(berbagai penulis, 1895, PTS) | - |
Niddesa | Sadhammapajotika (Upasena; abad ke-5) | - |
Patisambhidamagga | Sadhammappakasini (Mahanama; abad ke-6) | - |
Apadana | Visuddhajanavilasini (tidak diketahui) | - |
Buddhavamsa | Madhuratthavilasini (Buddhadatta; abad ke-5) †(I.B. Horner, 1978, PTS) | - |
Cariyapitaka | Paramatthadipani (VII) / Cariyapitaka-atthakatha (Dhammapala; abad ke-6) | - |
Nettipakarana, Petakopadesa, Milindapañha | Tidak ada kitab komentar untuk buku-buku ini, yang muncul hanya di Tipiṭaka edisi bahasa Birma. Lihat Nettipakarana, Petakopadesa, dan Milindapañha, di bawah. | |
Abhidhamma Piṭaka | ||
Dhammasangani | Atthasalini (Buddhaghosa; abad ke-5) †(Pe Maung Tin, 1920, PTS) | Linatthapada-vannana (Ananda Vanaratanatissa; abad ke-7 sampai ke-8) |
Vibhanga | Sammohavinodani (Buddhaghosa; abad ke-5) †(U Narada, 1962, PTS) | - |
Katthavatthu, Puggalapaññatti, Dhatukatha, Yamaka, Patthana | Pañcappakaranatthakatha (Buddhaghosa; abad ke-5). Kitab komentar ini mencakup kelima buku. Terjemahan bahasa Inggris ada untuk porsi-porsi yang berkaitan dengan Katthavatthu †(B.C. Law, 1940, PTS), Dhatukatha †(U Narada, 1962, PTS), dan Patthana †(U Narada, 1969, PTS) | - |
Sebagai contoh, DN 16, MN 108, dan Vinaya Cullavagga XI dan XII. ↩︎
Dalam dekade-dekade awal abad ke-1 SM di Sri Lanka – yang kemudian menjadi pusat ilmu pembelajaran Buddhis Theravada dan pelatihan kebhikkhuan – beberapa kekuatan yang bergabung yang mengancam keberlangsungan tradisi lisan kuno yang melalui tradisi lisan tersebut Tipiṭaka Pāḷi telah diturunkan dari satu generasi bhikkhu-bhikkhu ke generasi berikutnya. Sebuah pemberontakan melawan raja dan invasi-invasi dari India selatan memaksa banyak bhikkhu mengungsikan diri dari pulau. Pada saat yang sama, sebuah paceklik yang belum pernah terjadi sebelumnya menimpa pulau tersebut selama dua belas tahun. Kitab-kitab komentar menceritakan cerita-cerita heroik para bhikkhu yang, takut harta karun Tipiṭaka dapat selamanya hilang, melarikan diri ke pantai selatan yang relatif aman, di mana mereka bertahan hidup hanya dengan akar-akar dan dedaunan, mengulang teks-teks di antara mereka sendiri siang dan malam. Kelangsungan Tipiṭaka hanya tergantung pada seutas benang; bahkan pada satu titik hanya tersisa satu orang bhikkhu yang mampu mengulang Niddesa. {PLL hal. 76} ↩︎
Kitab komentar menceritakan bagaimana Kisagotami, yang hilang akal karena kematian putranya, menggendong mayatnya dari pintu ke pintu, dalam pencarian sebuah obat untuk penyakit anaknya. Akhirnya ia bertemu Buddha, yang berjanji memberikan obatnya jika ia mengambilkan sedikit biji moster dari sebuah rumah tangga yang belum pernah tersentuh kematian. Tidak mampu menemukan rumah tangga semacam itu, ia akhirnya kembali ke akal sehatnya, memahami ketidakterelakkan kematian, dan pada akhirnya mampu melepaskan mayat dan dukanya. (Cerita lengkap tentang kehidupan Kisagotami diceritakan kembali di dalam Great Disciples of the Buddha, Bhikkhu Bodhi, ed. (Boston: Wisdom Publications, 1997).) ↩︎
Lihat BR hal.145. ↩︎
Lihat “‘Ketika kamu mengetahui untuk dirimu sendiri…’; Autentisitas dari Sutta-Sutta Pāḷi,” oleh Bhikkhu Thanissaro. ↩︎