Dīgha Nikāya
Maurice O'Connell Walshe
Edisi lain:
pdf
epub
Buku ini memberikan sebuah terjemahan lengkap Dīgha Nikāya, khotbah-khotbah panjang Sang Buddha, salah satu dari kumpulan teks utama dalam Kanon Pāḷi, naskah resmi dari Buddhisme Theravāda. Kumpulan ini - diantara dari catatan tertua ajaran-ajaran orisinal Buddha historis, yang diberikan di India dua ribu lima ratus tahun yang lalu - terdiri dari tiga-puluh-empat sutta, atau khotbah, panjang yang berbeda dengan sutta-sutta menengah dan pendek dari kumpulan lainnya.
Sutta-sutta ini menguak kelembutan, belas-kasih, kekuatan, dan kebijaksanaan penembusan dari Sang Buddha. Termasuk didalamnya adalah ajaran tentang perhatian-penuh (Mahāsatipaṭṭhāna Sutta); tentang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan (Subha Sutta); tentang sebab-musabab-yang-saling-bergantungan (Mahānidāna Sutta) tentang akar dan sebab dari pandangan salah (Brahmajāla Sutta); dan sebuah penjelasan panjang tentang hari-hari terakhir Sang Buddha dan wafatnya (Mahāparinibāna Sutta); juga kaya dengan nasihat praktis dan pemahaman mendalam bagi semua yang menempuh di jalan spiritual.
Yang Mulia Sumedho Thera menulis dalam prakata: “[Sutta-sutta ini] adalah tidak untuk dijadikan ‘naskah suci’ yang memberi tahu kita apa yang harus dipercayai. Seseorang harusnya membaca, mendengar, memikirkan, merenungkan, dan menginvestigasi realitas masa sekarang, pengalaman sekarang, dengannya. Kemudian, dan hanya kemudian, seseorang dapat memahami mendalam kebenaran yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.”
Dimulai dengan sebuah pemaparan kehidupan Sang Buddha, kondisi pada waktu itu dan rangkuman ajaran-ajaran beliau dengan jelas, Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha ini akan membawa kita lebih dekat dalam segala hal pada keberadaannya yang bijaksana dan penuh belas kasih dan pada jalan kebenarannya.
Dengan sangat senang, saya menulis prakata singkat ini untuk terjemahan Dīgha Nikāya oleh Mr. Walshe. Penerjemah buku ini adalah seorang Buddhis taat yang merupakan seorang pelajar bahasa Pāḷi yang didukung oleh latihan meditasi. Karena itu, karya terjemahan beliau merupakan sebuah kontribusi terpenting pada materi Buddhisme.
Mr. Walshe telah bertahun-tahun aktif di dunia Buddhis Inggris. Jauh sebelum saya datang ke Inggris, nama beliau, saya kenal lewat karya esai-esainya pada seri ‘The Wheel’ dari Buddhist Publication Society Sri Lanka. Pada tahun 1977, guru saya, Yang Mulia Tan Ajahn Chah Subhatto dan saya sampai di London untuk menghadiri undangan organisasi English Sangha Trust di mana Mr. Walshe adalah salah satu pengurusnya. Organisasi ini telah didirikan pada 1956 untuk mendirikan Western Sangha di Inggris, dan sampai hari ini, Mr. Walshe masih konsisten aktif hampir selama tiga puluh tahun. Pada saat yang sama, beliau juga merupakan wakil presiden dari Buddhist Society of Great Britain, berkarir pada Institute of Germanic Studies di London University (di mana terjemahan-terjemahan khotbah-khotbah Meister Eckhart oleh beliau diakui), juga mempelajari Pāḷi pada waktu luangnya.
Meskipun pelajar-pelajar Pāḷi telah menghasilkan penerjemahan langsung Kanon Pāḷi yang cukup akurat, kita sering kali merasakan kurang “mendalam” pada teks-teks yang hebat ini. Sutta-sutta perlu dipelajari, direnungkan, dan dipraktikkan untuk mengerti arti sesungguhnya. Sutta-sutta tersebut adalah ‘khotbah Dhamma’, atau perenungan pada ‘apa adanya’. Sutta-sutta tersebut bukanlah sebagai ‘kitab suci’ yang memberitahu apa yang harus diyakini. Ia seharusnya membaca, mendengar, memikirkan, merenungkan, dan menyelidiki realita saat ini, pengalaman saat ini pada Sutta-sutta tersebut. Kemudian, dan hanya demikian, seseorang dapat memahami secara mendalam kebenaran di luar kata-kata.
Pada terjemahan khotbah-khotbah panjang ini, Mr. Walshe telah memberikan kesempatan lagi untuk membaca dan merenungkan ajaran-ajaran Buddha.
Semoga semua yang membacanya mendapatkan manfaat dan mengembangkan latihan Dhamma.
Semoga semua makhluk terbebas dari segala penderitaan.
Semoga semua makhluk tercerahkan.
Yang Mulia Sumedho Thera Amaravati Great Gaddesden Hertfordshire England Januari, 1986
Dua alasan utama untuk membuat terjemahan teks Buddhis tertua ini adalah: (1) Penyebaran Buddhisme sebagai gaya hidup serius di dunia barat, dan bahkan sudah banyak tersebar ketertarikan pada Buddhisme sebagai subjek untuk dipelajari secara mendalam, dan (2) bahwa bahasa Inggris sudah bisa dianggap sebagai bahasa dunia, kendaraan bahasa yang paling luas tersebar untuk segala bentuk komunikasi. Benar, bahwa teks Pāḷi telah diterjemahkan seluruhnya ke bahasa Inggris, terutama oleh usaha-usaha umat Buddhis yang berdedikasi di Pāḷi Text Society, yang sekarang aktivitasnya sudah memasuki abad ke dua. Tetapi terjemahan yang ada sekarang, tata bahasanya sudah ketinggalan zaman, juga terdapat banyak kesalahan, dan karena itu, sebuah terjemahan versi modern menjadi perlu.
Pertama, dan yang terpenting, keseluruhan jasa baik terjemahan ini milik dari Yang Mulia Balangoda Ānandamaitreya Mahā Nāyaka Thera, Aggamahāpaṇḍita (meskipun beliau, tentu saja, tidak memerlukan puñña seperti itu) untuk meyakinkan saya bahwa saya mampu, dan karena itu, tentu saja harus melakukan tugas ini. Bagi saya, masih ada sisa kekurangan karena ketidaksempurnaannya. Mengerjakannya memberikan banyak kebahagiaan, ketenangan di saat risau, dan pencerahan.
Terima kasih banyak atas bantuan dan dorongan kepada, selain juga Yang Mulia dan terhormat yang baru saja disinggung, untuk Yang Mulia Dr. H. Saddhātissa, seorang teman lama yang merupakan tempat saya banyak belajar, Yang Mulia Nyāñaponika yang sebelumnya menginspirasi untuk menempuh petualangan kecil penerjemahan, Yang Mulia Dr. W. Rahula yang membimbing dalam bahasa Pāḷi pada masa awal yang penuh hambatan, dan juga Yang Mulia P. Vipassi dan Messrs K.R. Norman dan L.S. Cousins, yang bersama-sama memecahkan masalah-masalah yang ada. Selain itu, selayaknya juga disini kita menghargai YM. Achaan Cha (Bodhiñāṇa Thera) dan muridnya yang dihormati, Achaan Sumedho, yang berjasa dalam mendirikan sebuah cabang Sangha di Inggris yang berkembang sangat cepat yang menjadikan alasan untuk melakukan penerjemahan ini semakin besar; dan – untuk yang lainnya mohon dicatat! – masih banyak yang harus dilakukan lagi di bidang ini.
Prinsip-prinsip penerjemahan saya ini, dijelaskan dengan singkat pada bagian Pengenalan. Saya menyadari terdapat beberapa inkonsistensi kecil, juga beberapa pengulangan pada bagian catatan. Pertama, saya pikir, tidak akan menyebabkan ketidaknyamanan: hal-hal tersebut sulit dihindari semua, kemungkinan terakhirnya, terjemahan dari teks-teks ini tidak akan menggunakan alat-alat elektronik. Dan untuk pengulangan, hal-hal tersebut mungkin dapat diabaikan dalam kaitannya dengan teks karena memang teks ini sangat berulang sekali.
Terima kasih yang tulus diberikan kepada Wisdom Publication yang telah memproduksi buku ini dengan sangat baik, dan kepada Buddhist Society of Great Britain atas bantuan sumbangan dalam biaya percetakan.
MAURICE WALSHE St Albas Herfordshire England Januari, 1986
Buku ini terdiri dari 3 bagian: Bagian Satu, terdiri dari Sutta-sutta 1-13; Bagian Dua terdiri dari Sutta-sutta 14-23; Bagian Tiga terdiri dari Sutta-sutta 24-32.
Sutta-sutta dibagi menjadi bait-bait, dan pada beberapa kasus, dibagi menjadi beberapa bagian juga. Nomor bait dan bagian disusun berdasarkan sistem yang dibuat oleh Rhys Davids. Karena itu, Sutta 16, bait 2.25 menunjukkan Sutta 16, bagian 2, bait 25. Untuk kemudahan ditulis dalam bentuk DN 16.2.25 dan di dalam indeks sebagai 16.2.25.
Nomor yang berada di atas halaman, contohnya ‘i 123’, merujuk pada nomor volume dan halaman pada Tipiṭaka Pāḷi edisi Pāḷi Text Society. Karena itu, ‘i 123’ merujuk pada Dīgha Nikāya volume satu, halaman 123. Nomor di dalam kurung kurawal yang terdapat pada teks juga menunjukkan nomor halaman.
Pada edisi ini, setiap bagian dapat dengan mudah dicari dengan kedua cara ini.
Teks Pāḷi dicetak di barat menggunakan sistem standar pelafalan Roman, dengan beberapa variasi kecil. Sistem yang digunakan hampir sama, dengan penambahan satu atau dua huruf, yang digunakan untuk huruf Sansekerta. Huruf Pāḷi, seperti Sansekerta, disusun dalam urutan yang lebih logikal dibanding huruf Roman.
Huruf vokal memiliki nilai-nilai karakteristik:
‘Ā ī ū’ seperti digunakan pada ‘kambing’, ‘kilo’, ‘usang’. ‘a i u’ digunakan untuk pelafalan pendek. ‘e’ dan ‘o’ selalu dibaca panjang seperti (kira-kira) dalam ‘ke’ dan ‘orang’. Jika berada sebelum dua konsonan, ‘e’ dan ‘o’ juga dibaca pendek.
‘ṁ’ (juga tertulis ‘ṃ̣’ dan pada beberapa karya lama ditulis ‘η’) sebenarnya bukan sebuah huruf vokal, tetapi sebuah tanda dari suara hidung (mungkin seperti dalam bahasa Perancis). Sekarang ini, dibaca seperti ‘ng’ seperti ‘buang’ (= ‘ṅ’).
Beberapa konsonan juga menyebabkan kesulitan bagi pelajar-pelajar dari barat. Perbedaan antara konsonan pada bagian baris awal (velar/pembacaan dengan lidah bagian belakang dekat dengan langit-langit mulut seperti huruf ‘k‘ dan ‘g’ pada bahasa Inggris) seperti berikut:
‘kh’ sama pada bahasa Indonesia biasa, seperti pada kata ‘karisma’, yang biasanya dilafalkan dengan ciri hembusan nafas sesudahnya.
‘k’ juga sama, hanya saja tanpa ada hembusan nafasnya, seperti pada ‘kilo’. Setelah huruf ‘s’, pelafalan ini juga ada: bandingkan ‘ki’ dan ‘ski’. Pada ‘ski’, huruf ‘k’ tidak sama pada ‘ki’.
‘g’ dan ‘gh’ berbeda, sama seperti pada ‘k’ dan ‘kh’, tetapi sulit untuk dibedakan bagi yang berbahasa Inggris.
‘ṅ’ seperti suara hidung seperti ‘ng’ pada ‘tang’.
Perbedaan yang sama juga terjadi di antara lima kolom untuk palatal, retroflex, dental, dan labial. Karena itu ‘c’ sama seperti pada baris retroflex (kadang-kadang disebut ‘cerebral’), ujung lidah berputar balik, sedangkan pada baris dental, lidah menyentuh gigi depan atas. Semua yang berbahasa Inggris melafalkan ‘t’ dan ‘d’ dengan mirip, sehingga sulit terdengar perbedaannya.
Huruf Konsonan | Tanpa Suara Tanpa Nafas | Tanpa Suara Dengan Nafas | Bersuara Tanpa Nafas | Bersuara Dengan Nafas | Hidung |
---|---|---|---|---|---|
Velar | k | kh | g | gh | ṅ |
Palatal | c | ch | j | jh | ñ |
Retroflex | ṭ | ṭh | ḍ | ḍh | ṇ |
Dental | t | th | d | dh | n |
Labial | p | ph | b | bh | m |
Akan membantu jika memiliki hubungan antara Pāḷi dan Sansekerta. Pāḷi, seperti dijelaskan pada sebelumnya, adalah sejenis Sansekerta yang disederhanakan.
Sansekerta pada penulisannya memilki beberapa huruf konsonan tambahan: ‘ṛ ’ (jarang-jarang ditulis ‘ḷ ’), ‘ḷ’, ‘ś’, ‘ṣ’.
‘ṛ’ awalnya merupakan suku kata ‘r’ seperti pada ‘Brno’, tetapi sekarang biasanya dilafalkan ‘ri’.
‘ḷ’ awalnya merupakan suku kata ‘l’ seperti pada ‘Plzen’ (atau, hampir seperti ‘l’ pada kata ‘usil’), tetapi sekarang dilafalkan ‘li’. Catatan: Sansekerta ‘ḷ’ tidak sama dengan Pāḷi ‘ḷ’, tetapi keduanya sama-sama jarang, sehingga tidak menimbulkan kebingungan.
‘ś’ adalah bunyi ‘sh’ tipis, seperti pada ‘shin’.
‘ṣ’ adalah bunyi ‘sh’ tebal, seperti terdengar pada ‘push’ (menunjukkan perbedaan yang jauh dibandingkan pada kata ‘shin’).
Pada Pāḷi, ‘ṛ ’ muncul sebagai huruf vokal, biasanya sama dengan huruf vokal yang muncul di dekatnya: Sansekerta ‘kṛtra’ (selesai) > Pāḷi ‘kata’; Sansekerta ‘ṛju’ (lurus) > Pāḷi ‘uju’.
Kedua ‘ś ’ dan ‘ṣ ’ muncul dalam Pāḷi sebagai ‘s’, tetapi juga berlaku aturan umum dari ‘s’ + konsonan: Sansekerta ‘s’ + konsonan menjadi (tetap sama) konsonan + ‘h’: maka itu ‘sp > ph’, ’st > th’, dst.
Aturan-aturan di atas bergabung pada kasus di mana satu kata-kunci: Sansekerta ‘tṛṣṇā’ (haus, keinginan kuat) > Pāḷi ‘taṇhā’. Disini, ‘ṛ > a’, ‘ṣ > s’, dan kemudian ‘sṇ > ṇh’.
Kumpulan konsonan Sansekerta disederhanakan, menjadi satu konsonan tunggal atau konsonan ganda: ‘Sansekerta agni (api) > Pāḷi aggi’; ‘Sansekerta svarga (surga) > Pāḷi sagga’; ‘Sansekerta mārga (jalan) > Pāḷi magga’; ‘Sansekerta ātman (diri) > Pāḷi attā’; ‘Sansekerta saṃjñā (persepsi) > Pāḷi saññā’; ‘Sansekerta sparśa (kontak) > Pāḷi phassa’; ‘Sansekerta alpa (kecil) > Pāḷi appa’, dst. Sebagai pengganti ‘vv’ menjadi ‘bb’, dan sebagai pengganti ‘dy’, ‘dhy’ menjadi ‘jj’, ‘jh’: ‘Sansekerta nirvāna > Pāḷi nibbāna’; ‘Sansekerta adya (hari ini) > Pāḷi ajja’; ‘Sansekerta dhyāna (absorbsi) > Pāḷi jhāna’.
Karena aturan-aturan tersebut, bentuk dari sebuah kata Sansekerta tidak dapat diterka dari kata Pāḷi yang bermakna sama, bentuk Pāḷi biasanya bisa diterka dari Sansekerta. Makna dari kata Sansekerta dan Pāḷi juga tidak selalu sama.
Sehubungan dengan penyederhanaan tata bahasa, mungkin hanya perlu disinggung di sini bahwa kasus datif1 di Sansekerta kebanyakan telah diganti oleh genitif2 di Pāḷi. Karena itu, pada frasa ‘Namo tassa Bhagavato Arahato Sammā-Sambuddhassa (Penghormatan pada Yang Terberkahi, Sang Arahant, Buddha yang Tercerahkan Sempurna)’ kata. ‘tassa’ dst. berasal dari bentuk genitif dengan makna datif. Meskipun demikian, kita akan menemukan pernyataan ‘namo Buddhāya’ (Penghormatan pada Sang Buddha) dengan sebuah bentuk datif murni.
Mereka yang ingin mempelajari bahasa Pāḷi – yang memang disarankan! – seharusnya mulai dari buku karya Johansson (Pāḷi Buddhist Text Explained to The Beginner, Lund 1973) dan lanjut dengan Warder (Introduction to Pāḷi, London (PTS), 1963). Sansekerta adalah bahasa yang sulit, tetapi buku ‘Teach Yourself’ oleh Michael Coulson (1976) menjelaskan dengan semudah mungkin.
Terjemahan ini adalah sebuah terjemahan ‘mandiri’, karena terjemahan ini memuat lengkap isi dari Dīgha Nikāya. Tidak ada yang dihilangkan, kecuali banyak terdapat pengulangan yang sangat membosankan yang merupakan sebuah ciri khas dari teks aslinya.
Teks Pāḷi ini diterjemahkan dari ‘Tiga Keranjang’ (Tipiṭaka), sebuah kumpulan dari ajaran Sang Buddha yang dianggap sebagai kitab suci oleh Buddhisme aliran Theravāda, yang bisa ditemukan pada zaman sekarang di Sri Lanka, Burma, dan Thailand, dan sampai akhir-akhir ini sama berkembangnya di Laos dan Kamboja. Sekarang ini, juga telah berkembang dengan baik di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Aliran ini mengaku bahwa telah mempertahankan ajaran asli dari Sang Buddha, dan ada alasan-alasan kuat, setidaknya untuk menganggap bahwa ajaran yang ditemukan pada kitab suci Pāḷi yang paling mendekati apa yang benar-benar Sang Buddha ajarkan. Terlepas dari itu, Tipiṭaka Pāḷi adalah satu-satunya kitab suci dari aliran awal yang dipertahankan dengan lengkap. Akan tetapi, dalam semangat Buddhisme diharapkan untuk tidak mengadopsi sikap seorang ‘Fundamentalis’ terhadap kitab suci, dan terbuka bagi pembaca Buddhis maupun non-Buddhis, teks-teks di sini diterjemahkan dengan pikiran terbuka dan kritis.
Siddhattha Gotama (dalam Sansekerta, Siddhārtha Gautama), yang menjadi Sang Buddha, Yang Tercerahkan, diperkirakan hidup sekitar tahun 563-483 S.M., meskipun banyak peneliti memperkirakan lebih lama dari itu.1 Tradisi timur memiliki beberapa penanggalan alternatif, yang dipakai di Sri Lanka dan Asia Tenggara adalah 623-543. Dengan dasar ini, perayaan 2500 mangkatnya Beliau dirayakan, Buddha Jayanti, di Timur pada 1956-1957. Beliau berasal dari suku Sakya dan hidup di tepi pegunungan Himālaya, tempat lahir sebenarnya berada beberapa mil di utara dari batas negara India sekarang, di Nepal. Ayahnya, Suddhodana, adalah seorang kepala suku yang dipilih bukannya seorang raja yang seperti dikatakan sekarang, meskipun gelarnya adalah rājā – sebuah istilah yang hanya berhubungan sebagian pada kata ‘raja’ dalam bahasa kita. Beberapa daerah di India Utara pada waktu itu adalah kerajaan-kerajaan, dan lainnya adalah republik, dan republik Sakya di bawah kekuasaan raja Kosala, yang berkuasa sampai ke daerah selatan.
Terlepas dari fakta-fakta yang mungkin dari banyak legenda tentang kehidupan Gotama, kita bisa menganggap berikut ini kira-kira tepat. Meskipun dibesarkan dalam kehidupan mewah, sang pangeran muda tersadarkan oleh sisi duka mendasar dari kehidupan, dan Beliau memutuskan untuk mencari sebab dan obat dari keadaan ini yang Beliau sebut dukkha (secara umum, tetapi masih kurang tepat diterjemahkan menjadi ‘penderitaan’). Pada usia dua puluh sembilan tahun, Beliau meninggalkan kehidupan duniawi, pergi ‘dari kehidupan perumah tangga menjadi tanpa-rumah’ sesuai dengan tradisi yang sudah berjalan, bergabung dengan petapa pengembara (samanas). Beliau belajar dengan berurutan pada Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta, yang mengajari-Nya bagaimana mencapai keadaan meditatif yang tinggi. Menyadari, akan tetapi, pencapaian dari keadaan ini tidak menyelesaikan masalahnya, Gotama pergi sendiri dan berlatih dengan sangat keras selama enam tahun, berkumpul bersama sebuah kelompok kecil yang terdiri dari lima petapa. Namun, mendapati bahwa latihan pertapaan yang sangat keras tidak membawa pada tujuan, Beliau meninggalkan para petapa tersebut, dan duduk di bawah sebuah pohon di tepi sungai Nerañjarā, yang sekarang dikenal sebagai Bodh Gaya, bertekad tidak akan bangkit dari tempat itu sampai pencerahan terbit. Pada malam itu, Beliau melampaui tingkatan meditatif yang sebelumnya telah diraih, dan mencapai pembebasan sempurna sebagai seorang Buddha – yang Tercerahkan atau yang Tersadarkan. Beliau menjalani empat puluh lima tahun sisa hidup-Nya berkelana di Lembah Gangga, mengkhotbahkan ajaran yang Beliau temukan dan mendirikan Sangha atau kelompok para biarawan dan biarawati Buddhis, yang masih ada sekarang ini.
‘Petapa dan Brāhmaṇa’ India pada zaman Sang Buddha tidak mengalami masalah kemiskinan seperti masa sekarang. Sistem kasta modern belum dikembangkan sepenuhnya, tetapi kita dapat menemukan kelemahan dalam pembagian masyarakat menjadi empat kelompok atau ‘warna’ (Pāḷi vaṇṇā). Pembagian empat kelompok itu berawal berdasarkan penjajahan India Utara pada sekitar tahun 1600 S.M. oleh suku Aryan yang berkulit lebih putih, yang memandang rendah yang berkulit lebih gelap yang ditemukan di sana. Dalam kontekss Buddhisme, di mana ras dan gelar kebangsawanan (secara harfiah, ‘mulia’) itu digunakan pada kemuliaan jiwa, kita akan menggunakan kata ‘Ariya’, berdasarkan Pāḷi. Para Brāhmaṇa adalah pelindung dari pemujaan keagamaan yang dibawa ke India oleh para suku Aryan. Belakangan, pada sumber-sumber non-Buddhis, kita selalu mendengar bahwa para Brāhmaṇa menempati tempat tertinggi dalam masyarakat. Menurut sumber Buddhis (Sutta 3 contohnya), menyatakan bahwa yang tertinggi adalah Khattiya (Sansekerta kṣatriya), kelompok Mulia atau Kesatria yang di mana Gotama berada. Sepertinya ke arah barat, para Brāhmaṇa telah memantapkan posisinya menjadi yang tertinggi, tetapi tidak halnya di lembah Gangga. Pada posisi ke tiga adalah Vessa (Sansekerta Vaisya) atau pedagang, dan yang terakhir adalah Sudda (Sansekerta ¢udra) atau pekerja. Di bawah ketiga itu hanya tersisa beberapa budak (kita bahkan mendengar bahwa Sudda juga memiliki seorang budak), dan beberapa yang kurang beruntung yang kemudian menjadi dikenal sebagai ‘tak tersentuh’. Tetapi sebagai tambahan pengelompokan ini, ada sejumlah orang yang cukup banyak, termasuk beberapa orang wanita, yang memilih untuk keluar dari sistem masyarakat konvensional.
Di dalam teks, kita sering menemukan padanan samaṇa-brāhmaṇā, yang diterjemahkan menjadi ‘petapa dan Brāhmaṇa’. Sementara, dalam kamus Pāḷi Text Society menyatakan dengan tepat bahwa pernyataan padanan tersebut mengacu secara umum pada ‘pemimpin kehidupan religius’, dan juga benar bahwa kedua kelompok tersebut biasanya bersaing.
Situasi religius di India Utara sekitar tahun 500 S.M. sangat menarik, dan tidak diragukan sangat menunjang pengembangan dari Buddhisme dan keyakinan lainnya. Meskipun para Brāhmaṇa membentuk sebuah kependetaan turun temurun yang berkembang dengan kuat, mereka tidak pernah, seperti kelompok lainnya, yang dapat menyatakan keputusan mutlak untuk mendiskriminasikan atau bahkan memusnahkan kelompok religius lainnya. Sepertinya beberapa Brāhmaṇa tidak mengecam tindakan seperti itu, tetapi juga tidak menerima hal tersebut. Mereka merupakan sebuah kasta yang membedakannya dari yang lainnya (pada saat membaca tentang mereka dalam teks Buddhis, selalu diingatkan tentang penggambaran Pharisees dalam Perjanjian Baru, meskipun dalam kedua kasus, gambar tersebut disajikan, setidaknya ada keberpihakan). Hanya mereka yang mempelajari Ketiga Veda, mengetahui mantra-mantra mistis, dan dapat melakukan semua pengorbanan yang penting, penuh darah, dan mahal. Bahkan, tidak semua Brāhmaṇa melakukan fungsi kependetaannya; beberapa telah berhenti dan berani atau bahkan berdagang, sembari tetap lanjut melaksanakan tugas-tugas yang mereka anggap sebagai kewajibannya.
Penghuni awal (Dravidian?) yang telah tergusur oleh suku Aryan adalah pencipta dari peradaban Lembah Indus dengan kota-kota besar Harappā dan Mohenjo Dāro, semua berada di Pakistan sekarang. Dan pada peradaban ini, kita harus mencari asal dari alur ke dua dari kehidupan religius, dari para samaṇa (Sansekerta ¢ramaṇas). Hal-hal ini kadang secara tidak masuk akal disebut sebagai ‘petapa’, di mana istilah ini berarti sangat bertentangan. Benar bahwa seorang samaṇa terkadang adalah seorang petapa, seorang yang hidup mengasingkan diri dan menutup dunia di dalam gua, tetapi umumnya adalah seorang pengembara yang memang telah ‘meninggalkan duniawi’ untuk hidup kurang lebih seperti kehidupan seorang petapa. Dia – walaupun jarang, bisa juga seorang wanita – sebenarnya, jika menggunakan istilah modern, adalah seseorang yang keluar-dari masyarakat, meskipun ada perbedaannya dibanding keluar-dari masyarakat modern setidaknya dalam satu hal penghormatan: para samaṇa dalam satu kelompok tidak menerima penghormatan yang kurang, dari semua kalangan bahkan para raja, dan juga para Brāhmaṇa (lihat Sutta 2, bait 25ff). Ajaran-ajaran mereka banyak dan bervariasi – beberapa bijaksana dan beberapa sangat bodoh, beberapa spiritualistis dan beberapa materialistis. Intinya adalah mereka benar-benar bebas mengajarkan apa pun yang mereka suka, dan sangat jauh dari cercaan yang mungkin mereka terima jika mereka di tempat lain, dan diterima dengan penghormatan ke mana pun mereka pergi. Kita dapat membedakan beberapa kelompok Brāhmaṇa. Ada yang memalukan diri sendiri, dan ada yang tidak jelas arahnya, yang hanya keseriusannya mungkin hanya pada ketidaktergantungannya pada ikatan keluarga dan, setidaknya dalam teori, menjaga hidup selibat. Banyak latihan-latihan yang aneh dan sering kali menjijikkan pada kelompok pertama yang dijelaskan mendalam pada Sutta 8, bait 14. Seperti yang ditunjukkan pada sebuah catatan pada Sutta tersebut, latihan sangat keras (tapa) tidak seharusnya disebut sebagai ‘menghukum diri’ karena motivasinya sangat berbeda dengan ‘penghukuman diri’ pada Kristiani, yang mungkin dibandingkan hanya dari luarnya. Kata tapa, yang arti dasarnya ‘panas’, digunakan pada kedua latihan-latihan keras dan untuk hasil yang mereka inginkan untuk dicapai, yaitu kekuatan, pengembangan berbagai kekuatan paranormal. Kepercayaan bahwa hal-hal ini dapat dicapai dengan latihan-latihan seperti itu, dan khususnya, menahan nafsu seksual. Dengan demikian, sangat jauh dari latihan keras seperti pertobatan Kristiani, untuk menebus dosa-dosa lampau, mereka melakukan latihan-latihan ini dengan harapan kekuatan yang dicapai nanti, termasuk, mungkin, kenikmatan yang sedang ditinggalkannya sementara.
Para pengembara (paribbājaka), beberapa yang merupakan Brāhmaṇa, memakai pakaian (tidak seperti yang lainnya, yang benar-benar telanjang), dan mereka hidup tidak semenderita yang lain. Mereka adalah ‘ahli filsafat’ yang mencetus banyak berbagai teori tentang dunia dan alam, dan senang dalam berdebat. Kanon Pāḷi memperkenalkan kita pada enam guru yang dikenal pada masa itu, semuanya lebih tua dari Gotama. Mereka adalah Pūraṇa Kassapa, seorang amoral, Makkhali Gosāla, seorang deterministik, Ajita Kesakambali, seorang materialis, Pakudah Kaccāyana, seorang kategorialis, Nigaṇṭha Nātaputta (pemimpin Jain yang dikenal sebagai Mahāvīra), yang merupakan seorang penganut relativis dan ecletic, dan Sañjaya Belaṭṭhaputta, seorang agnostik skeptik atau positivis (saya meminjam sebagian besar istilah tersebut dari Jayatilleke). Perbedaan pandangan mereka disinggung oleh Raja Ajātasatthu di Sutta 2, bait 16-32.
Disamping mereka, ada para pencetus ajaran rahasia yang awalnya merupakan bagian dari Upaniṣad yang disisipkan dalam Brahmanisme ortodoks, dan doktrin-doktrin tersebut kemudian membentuk inti dari sistem Vedānta. Untuk mereka, Brahma impersonal adalah realitas tertinggi, dan tujuan dari ajarannya adalah realisasi roh atau jiwa (ātman) dari individu manusia menjadi identik dengan Diri universal (Ātman), yang merupakan sebuah istilah lain bagi brahma (Huruf besar di sini hanya untuk kejelasan saja: ajaran tersebut awalnya dan bertahan lama dalam bentuk mulut ke mulut, dan bahkan ketika dituliskan dalam abjad Oriental, perbedaan tersebut tidak dapat dilakukan, karena huruf besar tidak terdapat di abjad Timur sama sekali). Para aupaniṣada tidak disinggung dalam Kanon Pāḷi, meskipun hampir (jika bukan, mungkin, nyaris) pasti bahwa Gotama mengenal ajaran-ajaran mereka.
Telah disarankan bahwa pandangan ‘Dibawah permukaan, tidak ada kontradiksi antara pencerahan tertinggi dalam Upaniṣad dan ajaran Sang Buddha’ – akan ditentang oleh banyak orang. Kita akan kembali secara singkat pada titik ini nanti. Cukup dijelaskan disini bahwa teori apa pun yang menyatakan bahwa Sang Buddha mengajarkan sebuah doktrin Diri tertinggi hanya akan berlalu karena tanpa bukti apa pun. Tidak juga benar, kadang-kadang dikatakan, bahwa di zaman India kuno, semua orang meyakini karma (sebuah hukum moral sebab dan akibat) dan kelahiran kembali, atau bahkan pada yang lain-lain. Ada juga, seperti yang kita pernah lihat, materialis, skeptis, dan pendalih, dan segala jenis teori-teori fantastis. Tidak juga dapat kita terima pernyataan bahwa Sang Buddha adalah ‘seorang penganut Hindu yang melakukan perubahan agama kuno’. Terlepas dari penggunaan istilah ‘yang tidak sesuai waktu/zaman’ untuk istilah ‘Hindu’, adalah tidak benar karena Beliau menolak pengakuan dari para Brāhmaṇa sebagai penguasa religius, dan sementara itu, tidak secara total menolak keberadaan dewa-dewa mereka, yang ditempatkan pada sebuah peran yang secara mendasar tidak penting. Sejauh ini, selama Beliau merupakan bagian dari tradisi apa pun yang ada, hanya pada para samaṇa, dan seperti mereka, Beliau mengajar yang Beliau lihat cocok. Sebagai seorang guru, Beliau tidak terpengaruh pada siapa pun: Beliau setuju atau tidak setuju dengan tradisi atau pandangan-pandangan lain sepenuhnya sesuai dengan persepsi tertinggi kebenaran. Dan tentu saja, tepat untuk mengatakan bahwa situasi di India pada waktu itu sangat mendukung untuk penyebaran ajaran-Nya, sementara umur panjang dari Sang Guru menjadikan ajaran-Nya berdiri dengan kokoh pada masa kehidupan-Nya dan dibawah arahan-Nya.
Bagian-bagian utama ajaran Sang Buddha hanya perlu dirangkum secara singkat di sini. Dalam khotbah pertama-Nya (Saṁyutta Nikāya 56.11), Sang Buddha mengajarkan bahwa ada dua ekstrem yang harus dihindari: pemuasan nafsu berlebih pada satu sisi, dan penyiksaan diri pada sisi lainnya. Beliau telah memiliki pengalaman pribadi untuk keduanya. Buddhisme dikenal dengan jalan tengah di antara dua ekstrem ini, dan juga di antara beberapa pasangan yang berseberangan, seperti eternalisme dan anihilisme (lihat Sutta 1, bait 1.30ff. dan bait 3.9ff.).
Rumusan ajaran yang paling sederhana dan jelas adalah dalam bentuk Empat Kebenaran Mulia:
Untuk penjelasan lengkapnya, lihat Sutta 22, bait 18-22.
Delapan tahapan ini dapat dirangkum menjadi tiga kelompok, yaitu I. Moralitas (sīla) (tahap 3-5), II. Konsentrasi (samādhi) (tahap 6-8), dan III. Kebijaksanaan (paññā) (tahap 1-2). Terlihat bahwa urutan dalam rangkuman berbeda. Ini dikarenakan, diperlukan kebijaksanaan awal untuk memulai Sang Jalan, realisasi kebijaksanaan tertinggi akan mengikuti pengembangan dari moralitas dan konsentrasi (cf. Sutta 33, bait 3.3(6)).
Perkembangan pada Sang Jalan menuju pada berakhirnya penderitaan, yang merupakan Nibbāna, dijelaskan di banyak tempat, khususnya di dalam Sutta 2, di dalam sebuah penjelasan yang diulang sama persis dalam Sutta-Sutta ini.2 Latihan meditasi yang paling mendasar dijelaskan pada Sutta 22. Penembusan kesucian dicapai dalam empat tahapan, masing-masing dibagi menjadi dua: jalan (magga) dan hasil (phala). Dengan mencapai tingkatan pertama, seseorang tidak lagi hanya menjadi ‘orang awam’ (puthujjana), dan menjadi orang suci (ariya-puggala). Tahapan-tahapan atau ‘momen-momen Sang Jalan’ merujuk pada istilah-istilah hancurnya sepuluh belenggu berurutan. Penjelasan baku tahapan-tahapan ini diberikan pada banyak bagian.
Pada tahapan pertama, ia ‘memasuki Arus’ dan menjadi seorang Pemenang-Arus (sotāpanna) melalui sebuah pengalaman, juga dirujuk (sebagai contoh, dalam Sutta 2, bait 102) sebagai ‘terbukanya mata-Dhamma’. Momen-jalan pertama langsung disusul oleh hasil (phala), dan demikian pula ketiga jalan lainnya. Pada Jalan Pertama, ia dikatakan telah ‘merasakan sekejap Nibbāna’ (cf. Visuddhimagga 22.126), dan karena itu, tiga dari lima belenggu rendah telah disingkirkan selamanya: 1. keyakinan tentang personalitas (sakkāya-diṭṭhi), yaitu, keyakinan pada sebuah diri; 2. keragu-raguan (vicikiccha); dan 3. kemelekatan pada upacara dan ritual (sīlabbata-parāmāsa). Dengan kata lain, dengan telah merasakan kenyataan dengan sekejap dan mengetahui kepalsuan dari keyakinan-diri, ia menjadi tak tergoyahkan dan tidak akan lagi bergantung pada bantuan luar. Ia yang telah mencapai kondisi ini, dikatakan, tidak akan terlahir dalam ‘keadaan yang menyedihkan’ dan dijamin pencapaian Nibbāna setelah, paling banyak, tujuh kehidupan lagi.
Pada tahapan ke dua, ia menjadi seorang Yang-Kembali-Sekali (sakadāgāmī), yang telah melemahkan belenggu ke empat dan ke lima dengan sangat besar: 4. nafsu sensual (kāma-rāga) dan 5. keinginan buruk (vyāpāda). Orang seperti itu akan mencapai Nibbāna setelah paling banyak satu kali lagi terlahir sebagai manusia. Menarik jika kita perhatikan bahwa hawa nafsu dan dengki yang sangat kuat itu masih tetap bertahan lama tetapi dalam bentuk yang lemah.
Pada tahapan ke tiga, ia menjadi Yang-Tidak-Kembali (anāgāmī), yang telah menghancurkan belenggu ke empat dan ke lima. Ia tidak memiliki kemelekatan pada dunia ini, dan setelah meninggal, ia akan terlahir di alam yang lebih tinggi, di dalam salah satu dari alam Kediaman-Murni (lihat Kosmologi), dan akan mencapai Nibbāna di sana tanpa kembali ke dunia ini. Juga disinggung di dalam Saṁyutta Nikāya 22.89, Yang Mulia Khemaka memberikan penjelasan seperti apa rasanya jika menjadi seorang Yang-Tidak-Kembali.
Terakhir, pada tahap ke empat, ia menjadi seorang Arahant (Sansekerta Arhat, secara harfiah, ‘yang layak’), dengan hancurnya lima belenggu tinggi: 6. kehausan keberadaan di dalam Alam Rupa (rūpa-rāga), 7. kehausan keberadaan di Alam Tanpa Rupa (arūpa-rāga), 8. kesombongan (māna), 9. kegelisahkan (uddhacca), 10. ketidaktahuan (avijjā). Untuknya, tugas telah selesai, dan orang tersebut akan mencapai Nibbāna terakhir ‘tanpa sisa’ pada saat meninggal. Mungkin perlu ditambahkan bahwa terdapat dua pendapat yang tersebar dengan luas di Timur. Yang pertama adalah pada masa yang tidak mendukung ini, tidak mungkin menjadi seorang Arahant. Yang berikutnya, pandangan yang lebih tidak pesimistik bahwa umat awam dapat mencapai tiga jalan pertama, hanya bhikkhu yang dapat menjadi Arahant. Tidak ada rujukan dari kitab suci untuk kedua pendapat ini. Juga harus disinggung bahwa ideal Arahant itu sepenuhnya sah dan cocok pada semua aliran Buddhisme. Seperti juga, konsep Bodhisattva, yang meninggalkan kenikmatan Nirvāṇa untuk membawa semua makhluk pada pencerahan, yang dianggap ciri khas dari aliran Mahāyāna yang bertolak belakang dengan Hīnayāna,3 sebenarnya juga terdapat dalam Buddhisme Theravāda. Perbedaan antaraliran adalah penekanannya, dan tidak terdapat jurang yang tidak dapat dihubungkan seperti yang dibayangkan oleh beberapa orang, terutama di barat. Tetapi, bukan tugas kita untuk masuk dalam masalah itu di sini.
Bentuk Sansekerta Nirvāṇa lebih dikenal di barat dibandingkan Pāḷi Nibbāna. Banyak terdapat kesalahpahaman tentang hal ini. Bahkan dikatakan oleh salah satu ahli yang humoris bahwa kita semua sebenarnya salah mengerti tentang Nirvāna, karena sampai kita telah merealisasikan, kita tidak dapat tahu seperti apa sebenarnya. Tetapi jika kita tidak dapat mengatakan tentang hal itu, kita dapat setidaknya mengatakan apa yang bukan hal itu. Robert Caesar Childers, dalam kamus Pāḷi yang terkenal dan masih tetap berguna sekarang (1875), memberikan sebuah artikel panjang lengkap, yang merupakan sebuah pembahasan singkat, demi kepuasannya untuk membuktikan bahwa Nibbāna mengacu pada lenyap total, dan pandangan ini, meskipun pasti salah, masih tetap cocok dengan beberapa kalangan ahli di barat. Dan akan sangat aneh jika Buddhis harus menempuh seluruh jalan itu sampai mencapai tingkat Arahant hanya untuk penghancuran total yang merupakan pandangan materialis, dan banyak pandangan orang awam pada zaman sekarang, yang dianggap akan terjadi pada kita semua, baik, jahat, dan netral, pada akhir dari kehidupan sekarang. Memang benar bahwa beberapa pendapat yang mendukung ide ini berasal dari etimologi dari istilah (nir + vā = ‘padam’ seperti pada sebuah pelita). Berbeda halnya, kita dapatkan penjelasan Nibbāna yang sangat berbeda. Di dalam Sutta 1.3.20, istilah tersebut digunakan untuk ‘kebahagiaan tertinggi’, didefinisikan sebagai pemuasan dari lima indria - yang tentu saja penggunaan kata non-Buddhis, meskipun hal itu tidak jelas di sumber-sumber prabuddhis. Dengan demikian, kita temukan dua arti dari istilah Nibbāna yang bertolak belakang: 1. ‘lenyap’, 2. ‘kebahagiaan tertinggi’. Dan meskipun kedua ini digunakan dengan tidak tepat pada contoh tersebut, keduanya muncul dalam teks asli.
Kita tidak dapat terlalu sering dan terlalu menghayati untuk menekankan fakta bahwa bukan hanya untuk realisasi Nibbāna saja, tetapi juga untuk sebuah pengertian teoritis tentangnya, hal tersebut adalah sebuah keharusan dari awal untuk sepenuhnya mengerti arti Anattā sepenuhnya, tanpa ego, dan kesemuan dari segala bentuk keberadaan. Tanpa sebuah pemahaman seperti itu, kita pasti akan salah mengerti tentang Nibbāna – sesuai dengan salah satu dari pembelajaran metafisik atau materialistik – salah satu dari penghancuran ego, atau sebagai keberadaan abadi dimana Ego atau Diri akan ke sana atau bergabung dengannya.
Maksud dari hal ini adalah bahwa untuk ‘mengerti’ Nibbāna, ia setidaknya harus telah ‘memasuki Arus’ atau mencapai Jalan Pertama, dan artinya telah menyingkirkan belenggu keyakinan-personalitas. Meskipun para ahli tetap akan terus melihat bahwa hal tersebut bagian dari tugasnya, mereka mungkin seharusnya memiliki rasa malu yang cukup untuk menyadari bahwa hal ini merupakan sesuatu diluar kemampuan diskusi ilmiah murni. Di dalam sistematisasi Abhidhamma, Nibbāna hanya dikelompokkan menjadi ‘elemen tidak berkondisi’ (asankhata-dhātu), tetapi tanpa ada pendefinisian di sana. Nibbāna sebenarnya adalah lenyapnya dari ‘tiga api’ keserakahan, kebencian, dan delusi, atau hancurnya dari ‘kekotoran’ (āsavā) dari nafsu-indria, perwujudan, pandangan salah, dan ketidaktahuan. Karena entitas ‘diri’ individual sebenarnya tidak nyata, tidak dapat dikatakan dihancurkan di Nibbāna, tetapi ilusi terhadap diri yang dihancurkan.
Sungguh aneh, di dalam Kamus Pāḷi-Inggris, dikatakan bahwa Nibbāna adalah ‘hanya sebuah keadaan moral … karena itu, tidak adiduniawi.’ Sebenarnya, Nibbāna adalah satu-satunya elemen adiduniawi yang ada dalam Buddhisme, karena itulah tidak ada usaha untuk mendefinisikannya dalam terminologi tuhan personal, diri yang lebih tinggi, atau sejenisnya. Hal tersebut tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tetapi, hal itu bisa direalisasikan, dan realisasi itu merupakan tujuan dari latihan dan praktik Buddhis. Meskipun tidak dapat ada penjelasannya, rujukan-rujukan positif tentang Nibbāna tersedia: dengan demikian, pada Dhammapada 205 dan beberapa tempat lainnya dikatakan ‘kebahagiaan tertinggi’ (paramaṁ sukhaṁ), dan kita bisa menyimpulkan hal ini dengan kutipan terkenal dari Udāna 8.3:
Ada, para bhikkhu, yang Tidak dilahirkan, Tidak menjelma, Tidak terbentuk, Tidak berpadu (ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asankhataṁ). Jika tidak ada yang Tidak dilahirkan …, maka tidak ada pembebasan yang mungkin bagi yang terlahir, menjelma, terbentuk, berpadu. Tetapi karena ada yang Tidak terlahir, Tidak ada penjelmaan, Tidak terbentuk, Tidak berpadu, maka ada pembebasan yang mungkin bagi yang terlahir, menjelma, terbentuk, berpadu.
Inilah, pada saat yang sama juga, mungkin jawaban terbaik yang bisa kita berikan tentang Ātman Upaniṣadic. Buddhisme tidak mengajarkan hal-hal seperti itu – meskipun demikian, kutipan di atas tentu dapat diaplikasikan pada Ātman menurut pengertian Vedānta, atau bahkan pada konsepsi Tuhan pada Kristiani. Meskipun demikian, bagi pengikut kepercayaan-kepercayaan tersebut, hal tersebut merupakan penjelasan yang tidak cukup, dan penambahan-penambahan oleh mereka akan menjadikan hal tersebut tidak bisa diterima oleh Buddhis. Akan tetapi, bisa dikatakan bahwa pertanyaan ini mewakili dasar fundamental dari semua agama-agama besar, juga memberikan kriteria untuk membedakan agama sejati dari yang bukan, seperti Marxisme, humanisme, dan sejenisnya.
Rumusan untuk tiga karakteristik (juga dikenal dengan ‘tanda-tanda dari makhluk’, ‘signata’, dsb.) ditemukan pada banyak bagian (dalam bentuk panjang dari Dhammapada 227-9 yang singkat). Isinya:
Yang pertama dan ke dua dari karakteristik ini berlaku pada semua hal-hal duniawi, semua yang ‘ada’ (sankhārā dalam artian yang seluas-luasnya). Yang ke tiga merujuk pada elemen yang tidak berkondisi (a-sankhata, bukan sankhāra, yaitu Nibbāna). Hal ini tidak ‘ada’ (secara relatif), tetapi ADA.
Dengan demikian, tidak ada yang abadi, semua hal berubah dan lenyap. Tidak ada yang sepenuhnya memuaskan: dukkha, secara umum diartikan ‘penderitaan’, memiliki arti luas dari ketidakpuasan, frustasi, rasa sakit dalam tingkatan apa pun. Bahkan hal-hal yang menyenangkan akan berakhir atau menjadi tidak menarik, dan aspek kehidupan yang menyakitkan telah dikenal dengan baik dan menjadi umum untuk didiskusikan.
Dua karakteristik pertama mungkin bisa dipahami tanpa usaha yang keras, meskipun penembusan mendalamnya lebih sulit. Untuk karakteristik ke tiga yang sering memancing banyak kontroversi dan salah pengertian.
An-attā (Sansekerta, an-ātman) adalah bentuk negatif dari attā/ātman ‘diri’. Sejauh ini sudah jelas. Dalam penggunaan umum dari attā adalah untuk kata ganti yang digunakan pada semua orang, tunggal, dan jamak, yang berarti ‘diriku’, ‘dirinya’, ‘diri kita’, ‘diri mereka’, dll. Tidak ada implikasi metafisikal sama sekali. Berikutnya adalah diri pada kehidupan sehari-hari, yang sepenuhnya relatif, dan kebenaran konvensional hanya karena hal tersebut merupakan ekspresi dalam komunikasi sehari-hari yang memang tidak dapat dihindari. Sebagai kata benda, attā bagi para Buddhis berarti sebuah entitas khayalan, yang dikatakan ‘diri’, yang tidak benar-benar ada. Lima khanda atau kumpulan, yang membentuk personalitas empiris kita (lihat Sutta 22, bait 14), bukan ada diri di dalamnya, secara individual ataupun kolektif. Yang kita sebut ‘diri’ adalah sesuatu yang palsu. Meskipun demikian, hal tersebut merupakan sebuah konsep yang kita lekati dengan kuat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa teori apa pun yang diajarkan oleh Sang Buddha, doktrin seperti Diri Yang Lebih Tinggi Upani ṣad hanya dapat berlalu tanpa bukti. Hal ini muncul dari corak ke tiga: semua Dhamma adalah tanpa diri. Istilah Dhamma di sini termasuk Nibbāna, tujuan tertinggi Buddhis. Dengan demikian, hal ini secara langsung menyatakan bahwa tidak ada ‘Diri Yang Lebih Tinggi’. Ada yang meyakini bahwa apa yang diajarkan oleh Sang Buddha dan apa yang diajarkan Upaniṣad adalah selaras. Tetapi pada tingkatan yang lebih dalam, hal tersebut tentu saja berbeda. Tentu dapat disangkal bahwa Sang Buddha menganggap istilah ‘diri’, yang baginya merupakan sesuatu yang sekejap, yang tidak pantas, dan menggelikan sebagai realitas tertinggi, apa pun jenisnya. Mendebatkan argumen-argumen ini lebih jauh tidak akan menghasilkan apa-apa.
Sebuah aspek yang penting dan sering terlewatkan dalam pengajaran Buddhis adalah tentang tingkatan kebenaran, tanpa pemahaman yang benar akan membawa pada banyak kesalahan-kesalahan. Sering kali khotbah Sang Buddha yang terdapat pada Sutta-sutta membahas tentang kebenaran konvensional atau kebenaran relatif (sammuti- atau vohāra-sacca), sesuai dengan di mana orang-orang dan benda-benda ada seperti yang dilihat oleh pengertian polos. Namun di lain tempat, ketika berkhotbah pada pendengar yang dapat memahami makna ini, Beliau berkata dengan istilah kebenaran sejati (paramattha-sacca), sesuai dengan di mana ‘keberadaan hanyalah sebuah proses dari fenomena fisik dan mental di dalam, atau di luar, di mana, tidak ada entitas-ego sesungguhnya ataupun zat apa pun yang ada yang dapat ditemukan’ (Buddhist Dictionary pada bagian Paramattha). Pada Abhidhamma, seluruh penjelasan menggunakan kebenaran sejati. Banyak ‘paradoks Zen’ dan sejenisnya tersebut memiliki karakter yang membingungkan karena menggunakan istilah-istilah sejati, bukan kebenaran relatif. Pemahaman penuh kebenaran sejati dapat, tentu saja, hanya didapatkan dengan pemahaman mendalam, tetapi mungkin saja untuk perlahan menyadari perbedaannya. Bahkan, sepertinya ada kesejajaran yang dekat di zaman modern dalam perbedaan pandangan dunia yang polos dan pandangan para ahli fisika, kedua pandangan tersebut menggunakan konsep dan cara pandang masing-masing. Dengan demikian, secara konvensional, atau sesuai dengan sudut pandang dunia yang polos, ada benda-benda padat seperti meja dan kursi, dimana menurut ilmu fisika, pernyataan kepadatan tersebut merupakan hanya sebuah ilusi, dan apa saja bisa menjadi sifat sejati dari materi, tentu saja sesuatu yang sangat berbeda dengan apa yang diterima oleh indria-indria kita. Meskipun demikian, ketika para fisikawan sedang tidak ‘bekerja’, mereka juga menggunakan meja dan kursi padat seperti yang lainnya.
Dengan cara yang sama, semua pernyataan seperti ‘Aku’, ‘diri’, dan seterusnya selalu sesuai dengan kebenaran konvensional, dan Sang Buddha tidak pernah ragu untuk menggunakan kata attā ‘diri’ (dan juga dengan makna jamak: ‘kalian’, dst.)5 dalam pengertian konvensional dan untuk kemudahan. Bahkan, terlepas dari semua yang bertentangan, tidak ada bukti sedikit pun bahwa Beliau pernah menggunakannya dalam pengertian lain kecuali ketika mengutip pandangan-pandangan lain secara kritis, dan seperti yang muncul dengan jelas dari beberapa Sutta yang diterjemahkan di sini.
Faktanya, hal tersebut harus ditekankan bahwa kebenaran konvensional terkadang sangat penting. Keseluruhan doktrin karma dan kelahiran ulang hanya berlaku pada lingkup kebenaran konvensional. Itulah sebabnya mengapa, dengan membebaskan diri kita dari sudut pandangan-pandangan kebenaran konvensional kita, akan terlepas dari ranah hukum karma.
Penolakan dari gagasan kelahiran ulang pada Buddhisme, juga, terkadang disebabkan oleh kesalahpahaman tentang sifat dari kedua kebenaran tersebut. Selama kita masih ‘awam’ yang belum tercerahkan, pikiran kita terbiasa untuk bekerja dalam terminologi ‘aku’ dan ‘milikku’, bahkan jika dalam teori, kita mengetahuinya lebih baik. Hal ini tidak akan terjadi sampai kecenderungan telah sepenuhnya dimusnahkan dimana pencerahan penuh dapat terbit. Pada Saṁyutta Nikayā 22.89, Yang Mulia Khemaka, yang merupakan seorang Yang-Tidak-Kembali, menjelaskan bagaimana ‘sisa-sisa halus dari kesombongan ‘Aku’, keinginan ‘Aku’, yang tidak tercabut sepenuhnya, tersembunyi, yang berkecenderungan untuk berpikir: ‘Aku’, masih tetap ada, bahkan pada tahapan yang sudah maju itu.
Mungkin penjelasan terbaik tentang sikap Sang Buddha tentang kebenaran diberikan oleh Jayatilleke dalam The Early Buddhist Theory of Knowledge (1993, 361ff). Mungkin disinggung bahwa untuk mereka yang sulit mendapatkan karya ini, buku ke dua beliau, yang terbit setelah beliau wafat, The Message of the Buddha (1975), lebih mudah untuk dicerna. Jayatilleke telah dikritik karena menyamakan filosofi Buddhisme terlalu dekat dengan pemahaman aliran modern positifme logis. Untuk hal ini, mungkin lebih baik beliau jelaskan sendiri melalui tulisannya:
Sang Buddha, lagi adalah pemikir paling awal dalam sejarah yang mengakui fakta bahwa bahasa cenderung untuk terdistorsi dalam kasus tertentu tentang sifat dari realitas dan menekankan pentingnya untuk tidak salah arah karena bentuk-bentuk linguistik dan konvensi. Pada kasus ini, beliau telah melihat ini jauh sebelumnya tentang linguistik modern atau filosofer analitis. (The Message of the Buddha, 33)
Sepertinya, sulit untuk menemukan kesalahan pernyataan tersebut. Jayatilleke melanjutkan:
Beliau adalah orang yang pertama kali memilah pertanyaan dan pernyataan yang tidak bermakna dengan yang penuh makna. Seperti dalam ilmu pengetahuan, Beliau mengenali persepsi dan kesimpulan yang berdasar sebagai sumber pengetahuan kembar, tetapi ada satu perbedaan. Untuk persepsi, sesuai dengan Buddhisme, termasuk dalam bentuk-bentuk supranatural juga, seperti telepati dan melihat masa depan. Ilmu pengetahuan tidak dapat mengabaikan fenomena seperti itu, dan sekarang, ilmuwan Soviet dan juga barat, yang mengakui keabsahan dari persepsi supranatural dengan bukti-bukti percobaan.
Mungkin kebanyakan pembaca akan akhirnya mengakui bahwa kemungkinan Sang Buddha mengetahui beberapa hal yang baru belakangan ini ditemukan atau diterima oleh ilmu pengetahuan modern. Kita akan membiarkan hal ini seperti apa adanya.
Dalam Sansekerta, kata ini adalah, karma, yang lebih dikenal oleh orang-orang barat, tetapi maknanya dalam konteks non-Buddhis tidak selalu sama dengan Buddhisme, karena itu, lebih menguntungkan untuk menggunakan kata kamma dalam bahasa Pāḷi. Secara harfiah, arti dari kata itu adalah ‘perbuatan’, dan dalam Anguttara Nikāya 6.63, Sang Buddha mendefinisikannya sebagai kehendak (cetanā). Karena itu, kamma adalah semua perbuatan sengaja, baik atau buruk (dalam Pāḷi, kusala ‘terampil, bermanfaat’ atau akusala ‘tidak terampil, tidak bermanfaat’). Sebuah perbuatan baik biasanya akan membawa pada hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dan sebuah perbuatan buruk pada hasil yang tidak menyenangkan. Kata Pāḷi (dan Sansekerta) yang tepat untuk hasil-hasil tersebut adalah vipāka (‘mematangkan’), meskipun karma/ kamma cenderung pada praktiknya digunakan secara bebas untuk hasilnya maupun perbuatannya – bahkan kadang-kadang bagi mereka yang sudah mengerti. Tetapi, kita harus menyadari perbedaan ini.
Pertanyaan yang kadang-kadang diberikan, apakah ada kehendak-bebas dalam Buddhisme. Jawabannya sudah jelas: setiap perbuatan merupakan pengaplikasian dari pilihan baik atau buruk. Dengan demikian, meskipun tindakan-tindakan kita terbatas oleh pilihan-pilihan, tindakan-tindakan itu tidak sepenuhnya sudah ditentukan sebelumnya.
Dalam era komputerisasi, mungkin bisa membantu bagi beberapa orang untuk mengumpamakan kamma sebagai ‘programming’ masa depan kita. Karena itu, ‘bentukan-bentukan karma’ (sankhāra) yang akan dibahas nanti adalah ‘program’-nya yang – karena ketidaktahuan – dilakukan pada kehidupan lampau. Tujuan dari latihan, tentu saja, untuk melampaui semua kamma. Tentang cara untuk maju menuju tujuan itu diberikan dalam banyak Sutta, dan khususnya pada bagian pertama Dīgha Nikāya.
Rumusan terkenal ini banyak ditemukan di berbagai bagian pada Kanon, dan juga digambarkan dalam thanka Tibetan dalam bentuk roda dengan dua belas jari-jari. Istilah Pāḷi paṭicca-samuppada (Sansekerta pratītya-samutpāda) biasanya diterjemahkan menjadi ‘Sebab Yang Bergantungan’, meskipun Edward Conze lebih memilih ‘Saling Produksi Yang Berkondisi’. Hal ini telah banyak diperdebatkan oleh ahli-ahli barat, ada beberapa yang membuat teori-teori aneh tentang subjek ini. Rumusan biasanya seperti berikut:
Untuk memahami dengan baik, lebih mudah dengan urutan terbalik. Dalam Sutta 15, bait 2, Sang Buddha berkata kepada Ānanda: ‘Jika engkau ditanya: “Apakah Pelapukan-dan-kematian merupakan sebuah kondisi keberadaannya?” engkau seharusnya menjawab: “Ya.” Jika ditanya: “Apakah yang mengondisikan pelapukan-dan-kematian?” engkau seharusnya menjawab: “Pelapukan-dan-kematian dikondisikan oleh kelahiran,” dan seterusnya. Karena itu, jika tidak ada kelahiran, maka tidak ada pelapukan-dan-kematian: kelahiran adalah sebuah kondisi yang wajib untuk kemunculannya.
Sesuai dengan pandangan umum, yang memang pasti benar, tetapi mungkin bukan satu-satunya cara untuk memahami hal ini, dua belas mata rantai (nidāna) tersebar pada tiga kehidupan: 1-2 adalah kehidupan lampau, 3-10 adalah kehidupan sekarang, dan 11-12 pada kehidupan yang akan datang. Karena itu, pengembangan dari ‘bentukan-bentukan-kamma’ kita atau pola kebiasaan itu dikarenakan ketidaktahuan kita yang lampau (sesuai dengan fakta bahwa ‘kita’ belum tercerahkan). Pola-pola ini mengondisikan munculnya sebuah kesadaran baru dalam rahim, di mana sebuah kompleks psikologi-fisik baru muncul menjadi makhluk hidup, dilengkapi dengan enam landasan-indria (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan, dengan pikiran sebagai indria ke enam). Kontak pada salah satu indria tersebut dengan objek-indria (gambar, suara, dsb.) menghasilkan perasaan, yang bisa menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral. Karena perasaan menyenangkan, keinginan, atau nafsu muncul. Kaitan dari kesadaran sampai perasaan adalah hasil dari perbuatan lampau (vipāka), dimana nafsu keinginan, kemelekatan dan proses perwujudan adalah atas dasar kehendak (yaitu, kamma), dan karena itu, akan memiliki hasil di masa yang akan datang. Bahkan mereka berurutan bersama proses kelahiran (kembali) (karena ketidaktahuan) yang telah kita saksikan sebelumnya, dan kelahiran tidak dapat dihindari akan membawa pada kematian. Ini adalah proses yang terus-menerus yang bagi kita, makhluk yang belum tercerahkan, terjebak di dalamnya.
Anehnya, dalam Dīgha Nikāya, kita tidak dapat menemukan ke dua belas mata-rantai ini. Langkah-langkah dari perasaan sampai pelapukan-dan-kematian ada disinggung dalam Sutta 1, bait 3.71, sementara dalam dua penjelasan utama dalam buku ini, proses ini ditelusuri kembali hanya dimulai pada kehidupan ini, yaitu, menuju pada kesadaran dan batin-dan-jasmani, yang dikatakan saling mendukung. Dengan demikian, dalam Sutta 14, kita memiliki sebuah kumpulan sepuluh langkah yang seharusnya biasanya dua belas, sementara dalam Sutta 15, tetap lebih menarik perhatian, enam landasan-indria dihilangkan, sehingga total menjadi hanya sembilan mata rantai. Dalam bagian lain dalam Kanon, ada perluasan sesekali melebihi dua belas mata rantai yang dijelaskan di sini, tetapi dua belas mata rantai ini merupakan rumusan baku. Sepertinya para pengulang (bhāṇakā) Dīgha memiliki tradisi mereka sendiri yang mereka pegang dengan teguh.
Sementara, kita seharusnya tentu saja tidak melakukan kesalahan Ānanda (Sutta 15, bait 1) yang berpikir bahwa keseluruhan hal tersebut mudah untuk dimengerti, kita dapat memahami secara umum, khususnya tentang mata rantai dalam urutan terbalik, seperti cara Sang Buddha menjelaskannya pada Ānanda. Setidaknya kita akan mendapati bahwa hal itu tidak terlalu tidak beraturan atau tidak masuk akal seperti yang dimaksudkan oleh para ahli dari barat.
Terdapat beberapa orang barat yang tertarik dalam berbagai hal Buddhisme, tetapi mendapati ide kelahiran ulang merupakan batu ganjalan, diantaranya, karena mereka mendapati hal tersebut tidak menyenangkan dan/atau sangat luar biasa, atau dalam beberapa kasus karena sulit untuk digabungkan dengan ide ‘tanpa-diri’. Beberapa pertimbangan seperti itu terkadang menjadikan mereka menyatakan bahwa Sang Buddha sama sekali tidak mengajarkan kelahiran kembali, atau jika Beliau mengajarkan, ini hanya untuk konsumsi populer/kebanyakan, karena pendengarnya tidak dapat menerima kenyataan. Semua pandangan seperti itu berdasarkan dari berbagai jenis kesalahpahaman.
Harus dicatat, kebetulan saja, Buddhis lebih memilih untuk bersuara, bukan reinkarnasi, tetapi kelahiran kembali. Reinkarnasi adalah doktrin dimana terdapat jiwa atau roh yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Menurut pandangan Buddhis, kita dapat katakan bahwa hal itu hanya apa yang tampak di permukaan dari apa yang terjadi, meskipun dalam kenyataannya tidak ada jiwa atau roh yang berpindah. Dalam Majjhima Nikāya 38, bhikkhu Sāti dicela dengan keras karena menyatakan ‘kesadaran ini’ yang berpindah, dimana dalam kenyataannya sebuah kesadaran baru muncul pada kelahiran yang tergantung dari yang lama. Terlepas dari itu, di sana ada sebuah ilusi kesinambungan sama seperti ada dalam kehidupan ini. Kelahiran kembali dari kehidupan ke kehidupan secara prinsipil hampir tidak berbeda dari kelahiran kembali dari waktu ke waktu yang berjalan dalam kehidupan ini. Hal ini dapat dimengerti secara intelektual, dengan tingkatan kesulitan yang lebih atau kurang, tetapi hal itu hanya pada momen-jalan pertama, dengan penembusan apa yang kita sebut dengan diri yang semu, hal itu dimengerti dengan jelas tanpa ada bayangan keraguan tersisa.
Buku ini bukan berfungsi untuk berdebat mendukung keyakinan kelahiran kembali, tetapi para skeptik mungkin bisa membaca kelahiran kembali dalam Rebirth as Doctrine and Experience oleh Francis Story (Buddhist Publication Society 1975), yang memiliki pengantar yang diberikan oleh Ian Stevenson, Carlson Professor Psychiatry di Universitas Virginia. Buku ini berisi beberapa kasus nyata dari Thailand dan tempat-tempat lainnya yang sulit dijelaskan kecuali dengan hipotesis kelahiran kembali, dan Prof. Stevenson, juga, telah memublikasikan beberapa buku penemuan risetnya tentang hal senada dari beberapa bagian di dunia. Mungkin kecenderungan untuk terlalu memercayai yang merupakan karakter beberapa era sebelumnya, pada masa sekarang, juga terlalu skeptik.
Meskipun kita hanya sedikit saja menerima ide kelahiran kembali, hampir bisa dipastikan kita memerlukan pengakuan adanya sejenis alam-roh atau alam-alam lainnya. Dalam teks Buddhis, kita bisa menemukan skema dari alam-alam setelah kematian, yang juga banyak memiliki kesamaan dengan ide umum di India, yang pada detailnya berbeda. Contohnya, tidak ada surga atau neraka abadi, meskipun beberapa ada yang sangat lama sekali; tetapi semua adalah sebuah perubahan abadi di mana alam-alam dan sistem-sistem dunia terbentuk dan hancur, dan makhluk hidup secara terus-menerus lahir, meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan perbuatannya. Hal tersebut memang sangat luar biasa, tetapi juga sebuah pandangan yang sangat mengejutkan dan menakutkan. Pembebasan dari hal tersebut hanya bisa melalui pemahaman mendalam yang didapatkan dengan mengikuti Sang Jalan yang diajarkan oleh salah satu Buddha yang jarang muncul. Bagi mereka yang gagal untuk mencapai pemahaman mendalam ini, terdapat kelahiran yang menyenangkan untuk waktu yang panjang di salah satu alam surgawi yang tidak kekal, tetapi tidak ada pembebasan permanen dari bahaya kelahiran-dan-kematian. Inilah saṁsāra atau keberadaan berulang, dalam ‘perjalanan’.
Semua keberadaan di alam-alam di saṁsāra terdapat dalam salah satu dari tiga kelompok: Kelompok Alam nafsu-indria (kamā-loka), Kelompok Alam Rupa (atau ‘alam material-halus’: rūpa-loka), dan Kelompok Alam Tanpa Rupa (atau ‘nonmaterial’) (arūpa-loka), yang dua terakhir itu dihuni oleh mereka yang telah mencapai, dalam kehidupan ini, penyerapan mental (jhāna) yang sesuai yang sering dijelaskan dalam teks. Di atas ini semua terdapat adiduniawi (lokuttara) atau Nibbāna - ‘pantai seberang’, ‘tempat berteduh’ yang aman. Dan hal ini, meskipun bisa dialami, tetapi tidak bisa dideskripsikan.
Terdapat tiga-puluh-satu keadaan di mana, dikatakan, seseorang dapat terlahir kembali di salah satu dari tiga Alam. Tiga Alam terendah, Alam Nafsu-Indriawi, terdiri dari sebelas keadaan pertama, di mana kelahiran sebagai manusia pada urutan ke lima. Di bawah itu, terdapat empat ‘keadaan yang menyedihkan’: neraka, alam asura (terkadang diterjemahkan sebagai ‘raksasa’), hantu kelaparan (peta), dan binatang, sementara di atasnya terdapat enam surga-surga terendah. Di atasnya lagi, terdapat enam belas surga-surga dari Alam Rupa, dan di atasnya lagi terdapat empat surga-surga Alam Tanpa Rupa.
Terdapat kekhususan penting pada kondisi manusia, karena hampir tidak mungkin untuk mencapai pencerahan pada alam-alam lainnya: Alam-alam di bawah manusia terlalu menyedihkan, dan yang di atasnya terlalu bahagia dan tanpa beban untuk melakukan usaha-usaha yang perlu untuk dilakukan dengan mudah.
Daftar alam-alam ini menunjukkan tanda-tanda bahwa hal ini disusun belakangan, tetapi alam-alam yang ditampilkan, atau penghuninya, ada disinggung di dalam Sutta di buku ini.
Alam Tanpa Rupa | Arūpa-loka |
---|---|
31. Alam (deva) Bukan Persepsi-Ataupun-Tanpa-Persepsi | 31. NevasaññānĀsaññānĀyatanūpagā deva |
30. Alam (deva) Ketiadaan | 30. ĀkiñcaññĀyatanūpagā deva |
29. Alam (deva) Kesadaran Tanpa Batas | 29. ViññāṇañcĀyatanūpagā deva |
28. Alam (deva) Ruang Tanpa Batas | 28. ĀkāsānañcĀyatanūpagā deva |
Alam Rupa | Rūpa-loka |
---|---|
27. Deva Tanpa Tandingan | 27. Akaniṭṭhā deva |
26. Deva Penglihatan Jernih | 26. Sudassī deva |
25. Deva Cantik (atau Terlihat Dengan Jelas) | 25. Sudassā deva |
24. Deva Yang Tenang | 24. Atappā deva |
23. Deva Yang Tidak Merosot | 23. Avihā deva |
22. Makhluk Tanpa Kesadaran | 22. Asaññasatta |
21. Deva Yang Sangat Berlimpah | 21. Vehapphalā deva |
20. Deva Mulia Berkilauan | 20. Subhakiṇṇā deva |
19. Deva Mulia Tanpa Batas | 19. Appamāṇasubhā deva |
18. Deva Mulia Terbatas | 18. Parittasubhā deva |
17. Deva Bercahaya Terus-Menerus | 17. Ābhassarā deva |
16. Deva Bercahaya Tanpa Batas | 16. Appamāṇabhā deva |
15. Deva Bercahaya Terbatas | 15.Parittabhā deva |
14. Brahmā Besar | 14. Mahā Brahma |
13. Menteri Brahma | 13. Brahma-Purohitā deva |
12. Brahma Pengiring | 12. Brahma-Parisajjā deva |
Alam Nafsu-Indriawi | Kāma-loka |
---|---|
11. Deva Yang Berkuasa atas Ciptaan Yang Lain | 11. Paranimmita-vasavattī deva |
10. Deva Yang Bersenang Dalam Mencipta | 10. Nimmānaratī deva |
9. Deva Yang Puas | 9. Tusitā deva |
8. Deva Yāma | 8. Yāma deva |
7. Tiga Puluh Tiga Dewa | 7. Tāvatiṁsa deva |
6. Deva Empat Raja Besar | 6. Catumahārājikā deva |
5. Alam Manusia | 5. Manussa Loka |
4. Alam Binatang | 4. Tiracchāna Yoni |
3. Alam Hantu Kelaparan | 3. Peta Loka |
2. Asura (‘raksasa’) | 2. Asura |
1. Neraka | 1. Niraya |
1. Neraka. Neraka sering kali diterjemahkan menjadi ‘tempat penebusan’ untuk menandakan bahwa di sana tidak abadi. Lihat n.244. Seiring dengan waktu, penjelasan dari kengeriannya dan lama berada di neraka, semakin lama menjadi semakin menakutkan. Dalam Dīgha Nikāya, tidak ada penjelasan seperti itu, jenis dan lama dari penderitaan dalam ‘keadaan yang menyedihkan’ tidak jelas. Jayatilleke (The Message of the Buddha, 251) mengutip dari Saṁyutta Nikāya 36.4 (= S iv.206):
Ketika orang biasa yang tidak berpengetahuan membuat pernyataan bahwa neraka (pātāla) berada di bawah lautan, dia membuat sebuah pernyataan salah dan tanpa dasar. Kata ‘neraka’ adalah sebuah istilah untuk sensasi tubuh yang menyakitkan.
Ini tentunya lebih diutamakan karena merupakan ucapan Sang Buddha dibandingkan Sutta Majjima Nikāya 129,130 yang belakangan. Lihat juga Visuddhimagga 13.93ff. untuk lebih jauh tentang empat alam pertama.
2. Asura. Lihat n.512. Kelahiran di antara para asura atau raksasa kadang-kadang dihilangkan dari daftar tujuan kelahiran yang terpisah. Dalam tradisi Mahāyāna, para asura dianggap lebih baik dibandingkan di dalam Kanon Pāḷi – mungkin karena kesan status mereka sebelumnya sebagai dewa.
3. Hantu Kelaparan. Makhluk menyedihkan ini digambarkan dengan perut besar dan mulut kecil. Mereka mengembara di dunia dengan sengsara, yang bisa diringankan dengan pemberian-pemberian dari manusia. Petavatthu, buku ke tujuh dari Khuddaka Nikāya dan salah satu bagian yang paling belakangan dari Kanon memiliki banyak dongeng aneh tentang peta.
4. Alam Binatang. Kerajaan binatang, bersama dengan alam manusia, merupakan hanya alam yang dapat dilihat secara normal oleh manusia dan tidak terbantahkan keberadaannya (Ajita Kesakambali, seperti rasionalis modern lainnya, tidak memercayai alam lainnya). Ada orang-orang di barat sekarang yang menolak ide bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang kita dapat terlahir sebagai binatang, meskipun sekilas bukti-bukti bertentangan dengan mereka. Meskipun demikian, karena tiracchāna, secara umum berarti ‘binatang’, digunakan dalam Sutta 1 dalam kata majemuk tiracchāna-kathā, tiracchāna-vijjā, berarti ‘ucapan rendah’, ‘keahlian dasar’, ini mungkin saja bahwa sebagai sebuah ‘tujuan’, tiracchāna-yoni dapat dianggap sebagai kelahiran kembali di alam yang rendah. Beberapa konfirmasi diberikan oleh kasus Khorakkhattiya (Sutta 24, baik 9 dan n.244).
5. Alam Manusia. Kelahiran kembali sebagai manusia dianggap sebagai sebuah peluang besar yang harus digunakan sebaik-baiknya, karena jarang terjadi, dan hampir tidak mungkin untuk ‘memasuki Arus’ dan memulai jalan menuju Nibbāna dari kondisi alam lainnya (tetapi lihat juga n.600). Makhluk-makhluk di bawah alam manusia terlalu menyedihkan, ketakutan, dan dalam kegelapan, dan mereka yang di atas alam manusia terlalu bahagia untuk melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Pada alam manusia, kita bertemu dengan kebahagiaan dan kesedihan, sering kali sangat seimbang, dan mungkin untuk mencapai keadaan seimbang yang mendukung untuk kemajuan. Walaupun demikian, kebanyakan manusia terlalu banyak terpengaruh oleh nafsu-indriawi, seperti para penghuni alam-alam tepat di atas alam manusia.
6. Alam Empat Raja Besar. Raja-raja ini adalah penjaga dari empat arah, dan penjelasan tentang keberadaannya terdapat pada Sutta 20, yang menjadi rujukannya. Para makhluk di sini dikenal dengan deva, atau pada beberapa kasus sebagai Brahmā. Berbagai makhluk non-manusia, tidak semuanya baik, yang berada atau berhubungan dengan alam ini, dan disinggung dalam Sutta 20. Karena penghuni dari alam ini (terutama gandhabba, musisi surgawi dan pengiring raja-raja dan pengikutnya) masih ketagihan pada kenikmatan indriawi, yang dianggap memalukan bagi seorang bhikkhu untuk terlahir di sana. Meskipun demikian, seperti dikatakan dalam Sutta 21, bait 11, masih mungkin untuk maju ke alam yang lebih tinggi jika melakukan usaha.
7. Tiga-Puluh-Tiga Dewa. Surga ini dahulu merupakan tempat tinggal para asura, yang telah diusir dari sana sebelumnya. Tidak ada daftar dari para tiga-puluh-tiga deva, tetapi pemimpin mereka adalah Sakka (Sansekerta Śakra), yang merupakan Deva Indra yang sudah berubah atau, seperti pendapat Rhys Davids, sebuah penggantinya dalam versi Buddhis. Banyak orang-orang baik terlahir di alam ini.
8. Deva Yāma. Deva-deva ini biasanya hanya disinggung sekilas. Nama Yāma berarti ‘mereka yang telah mencapai kebahagiaan yang amat sangat’, tapi kata ini juga berhubungan dengan Yama, raja kematian.
9. Deva Yang Puas. Di surga inilah Bodhisatta berada sebelum kelahirannya yang terakhir, dan mereka Yang-Kembali-Sekali juga terkadang terlahir di sini.
10, 11. Deva Yang Bersenang Dalam Mencipta; Deva Yang Berkuasa atas Ciptaan Yang Lain. Deva yang disebutkan di awal dapat menciptakan bentuk apa pun seperti yang mereka suka, yang disebut belakangan bersenang pada benda-benda ciptaan yang lainnya dan menguasainya. Kedua alam ini adalah yang tertinggi pada Kelompok Alam Nafsu-Indriawi.
12. Brahmā Pengiring. Penghuni alam 12-21 dikenal dengan sebutan deva atau Brahma. Kelahiran pada alam-alam ini tergantung pada pengalaman dari Jhāna rendah dan juga moralitas tingkah lakunya. Mereka yang tinggal di sini bebas dari nafsu-indriawi, meskipun pada beberapa kasus hanya teredam oleh Jhāna, bukan karena dimusnahkan.
13-14. Menteri Brahmā dan Brahmā Besar. Lihat di bawah.
15-21. Semua alam-alam ini adalah bagi mereka yang telah mengalami jhāna rendah yang terlahir kembali sesuai dengan kemajuannya: karena itu, alam yang tertinggi, nomor 21, berisi mereka yang telah mengalami jhāna ke empat yang kuat dan seterusnya.
22. Makhluk Tanpa Kesadaran. lihat n.65. 23-27. Ini adalah Alam Murni di mana Yang-Tidak-Kembali terlahir kembali, dan mereka mencapai Nibbāna tanpa kembali ke bumi.
28-31. Alam-alam ini berhubungan dengan empat jhāna tinggi dari Kelompok Alam Tidak Berwujud, dan kelahiran kembali di alam-alam ini tergantung pada pencapaian jhāna-jhāna tersebut, seperti pada nomor 12-21. Gotama mencapai Alam-Ketiadaan dibawah guru pertamanya, Āḷārā Kālāma, dan Alam Bukan Persepsi-Ataupun-Tanpa-Persepsi dibawah guru ke duanya, Uddaka Rāmaputta. Beliau telah mencapai keadaan tertinggi yang bisa dicapai tanpa melampaui ke Adiduniawi (lokuttara) yang ‘melampaui Tiga Dunia’.
Dalam Buddhisme, tidak hanya ada satu Brahmā atau Brahmā Besar, tetapi banyak, dan mereka tidak abadi. Asal usul dari kepercayaan bahwa Brahmā sebagai pencipta alam semesta diberikan pada Sutta 1, baik 2.2ff., dan sebuah gambaran sindiran dari Brahmā Besar yang sombong (yang merupakan pengikut sejati dari Sang Buddha) dijelaskan dalam Sutta 11. Tetapi, meskipun tidak mahakuasa atau abadi, Brahmā adalah makhluk yang kuat dan baik, yang masih diyakini pada negara-negara Buddhis Oriental, dapat memberikan bantuan keduniawian (sebagai contoh kuil Brahmā di luar Hotel Erawan di Bangkok). Salah satu Brahmā Besar, Sahampati, memohon pada Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk mengajarkan pada mereka yang memiliki ‘sedikit debu pada matanya’.
Tidak ada rujukan pasti atau bahkan kesan tentang jenis kelamin dari Brahma dalam teks Pāḷi. Di dalam Sutta 13, dua Brāhmaṇa muda bertanya pada Sang Buddha tentang bagaimana cara untuk mencapai ‘penyatuan dengan Brahmā’ atau lebih tepatnya ‘bersahabat dengan Brahmā’. Rhys Davids telah menuduh bahwa terjadi salah penerjemahan sahavyatā sebagai ‘penyatuan’, karena itu menyatakan sebuah penyatuan mistis dibandingkan dengan hanya bersama dengan Brahmā. Tetapi para Brāhmaṇa telah menjelaskan pada Sang Buddha bahwa mereka bingung karena setiap guru mengajarkan interpretasi jalan menuju pada Brahma yang berbeda-beda. Karena itu, kedua interpretasi disinggung di sini.
Ini tentu saja sebuah istilah umum, bukan sebuah nama: Gotama adalah ‘Sang Buddha’, bukan hanya ‘Buddha’ (hal yang sama juga berlaku pada Kristiani ‘Yang Sudah Diurapi’, tetapi penggunaannya bertentangan dengan ini). Kata ini merupakan bentuk kata kerja lampau yang berarti ‘Yang Sadar’, dengan demikian ‘Tercerahkan’. Buddha muncul dalam jangka waktu yang sangat lama. Selain Buddha Yang Tercerahkan Sempurna yang mengajarkan Dhamma pada dunia (Sammā-Sambuddha), ada juga Pacceka-Buddha, Yang Tercerahkan tetapi tidak mengajar. Seiring waktu berjalan, Buddhology semakin terperinci dikembangkan, awal pertamanya bisa dilihat pada Sutta 14. Pada Sang Buddha Dīpankara, dahulu kala, Brāhmaṇa Sumedha pertama kali bertekad untuk menjadi seorang Buddha, yang akhirnya tercapai sebagai Buddha historis Gotama. Terutama lihat Sutta 14.
Kata ini sulit untuk diterjemahkan, dan secara umum, saya mempertahankan bentuk Pāḷi, meskipun dalam kasus Tiga-Puluh-Tiga-Dewa, saya menyebutnya demikian, karena, mereka merupakan bagian dari sejenis pantheon seperti ditemukan dalam Yunani kuno dan di tempat lainnya, meskipun beberapa dari mereka diberi nama masing-masing. Seperti yang bisa kita lihat dari tabel, istilah deva diberikan pada penghuni dari semua alam di atas alam manusia, meskipun yang berada pada Dunia Rupa bisa juga disebut Brahmā – sebuah istilah yang mungkin lebih baik dibatasi untuk penghuni alam No. 14. Arti etimologi deva adalah ‘cerah, berkilau’ (berhubungan dengan bahasa Latin Deus, dīvus), tetapi kata ini secara populer berhubungan dengan kata asal div ‘memainkan’.
Deva dikatakan terdiri dari tiga jenis: 1. Konvensional, yaitu, raja-raja dan pangeran-pangeran, yang dipanggil sebagai ‘Deva!’ (karena itu, ide India tentang ‘raja-dewa’ – sebuah gelar yang diadopsi oleh raja-raja Kamboja tetapi salah digunakan di zaman modern pada Dalai Lama!), 2. Murni, yaitu, Para Buddha dan Arahant, dan 3. Yang terlahir secara spontan (uppattidevā), yaitu, para deva yang digunakan di sini. Disamping bentuk deva (yang tidak umum pada No. 3 dalam bentuk tunggal), kita mendapati kata benda abstrak devatā digunakan seperti dewata. Perlu dicatat bahwa meskipun kata benda ini secara tata bahasa adalah feminin, hal ini tidak selalu mengacu berjenis kelamin wanita. Ketika memang diinginkan untuk menandakan jenis kelaminnya, kata devaputta ‘anak laki-laki deva’ dan devadhītā ‘anak perempuan deva’ bisa digunakan, meskipun kebanyakan para deva terlahir kembali secara spontan, hal ini tidak seharusnya dipahami secara harfiah (meskipun, ada beberapa indikasi reproduksi seksual terjadi pada surga-surga rendah: kita mempelajarinya dari Sutta 20 dan 21 bahwa Timbaru pemimpin gandhabba memiliki seorang anak perempuan).
Para Deva sebelumnya pernah menjadi manusia, dan bisa terlahir kembali sebagai manusia, yang sebenarnya adalah sebuah keuntungan bagi mereka, karena lebih mudah untuk mencapai pencerahan di alam manusia. Karena sebelumnya mereka adalah manusia, dikatakan bahwa mereka tidak seperti roh (dalam pengertian Spiritualis); ada yang menyarankan terjemahannya adalah ‘malaikat’, tetapi secara keseluruhan sepertinya lebih baik (dengan sedikit pengecualian) untuk mempertahankan istilah Pāḷi untuk para makhluk ini. (Kata Devachan digunakan oleh ahli-ahli Teologi sebenarnya bukan diturunkan dari kata deva, tetapi dari kata Tibet bde-ba-can ‘tanah kebahagiaan’, dalam bahasa Sansekerta Sukhāvatī).
Musisi surgawi (lihat Sutta 20, 21), bawahan dari Dhataraṭṭha, Raja Besar Timur, mereka bertindak sebagai pelayan dari para deva, dan masih banyak ketagihan pada kenikmatan indriawi.
Awalnya dikira, para gandhabba juga memainkan musik ketika terjadi pembuahan, tetapi, ini karena salah pengertian dari salah satu bagian pada Majjhima Nikāya 38, dimana dinyatakan bahwa seorang ‘gandhabba’ harus hadir selain seorang pria dan seorang wanita agar pembuahan terjadi. Kata tersebut di sini berarti, seperti dijelaskan dalam kitab komentar, ‘makhluk yang akan terlahir’, hal itu adalah sebuah kesadaran baru muncul tergantung pada seorang makhluk yang baru saja meninggal.
Garuḍā adalah burung raksasa, pernah berperang dengan para nāga (kecuali ketika, dibawah pengaruh Sang Buddha, gencatan dilakukan: Sutta 20, bait 11). Garuḍā (khruth) adalah lambang kerajaan Thailand. Dalam legenda India, Viṣṇu mengendarai seekor Garuḍā.
Makhluk nonmanusia yang paling menarik dan sulit. Pada dasarnya, istilah ini sepertinya berlaku pada ular, khususnya king cobra, tetapi nāga juga diasosiasikan dengan gajah, mungkin karena belalai yang seperti ular. Makhluk ini sangat bijaksana dan kuat, meskipun mereka menderita sangat parah dari serangan Garuḍā. Istilah ini sering digunakan untuk orang besar termasuk Sang Buddha. Tetapi, Malalasekera menuliskan (Dictionary of Pāḷi Proper Names ii, 1355): ‘Tentang Nāga, tidak diragukan terjadi kerancuan yang besar antara Nāga sebagai makhluk supernatural (sic!), sebagai ular, dan sebagai nama dari suku-suku non-Aryan tertentu, tetapi kerancuan ini sangat sulit untuk diatasi.’
Kata ini secara umum digunakan oleh Sang Buddha untuk merujuk pada diri-Nya atau pada para Buddha yang lain, meskipun sepertinya dapat digunakan pada Arahant. Secara etimologi, berarti antara – tathā-āgata ‘karena itu datang’ atau tathā-gata ‘karena itu pergi’. Sepertinya kata itu adalah sebuah cara untuk menandakan ‘dia yang berdiri di hadapanmu’ adalah bukan makhluk biasa. Untuk penjelasan kitab komentar, lihat terjemahan Sutta 1 oleh Bhikkhu Bodhi (lihat n.111). Komentar Digha (lihat p. 50) memberikan setidaknya delapan penjelasan berbeda, dan pada aliran Mahāyāna memiliki lebih banyak lagi.
Yakkha, yang merupakan bawahan dari Vessavaṇa, Raja Besar Utara, adalah makhluk yang bertentangan antara sikap dan perasaannya, alasannya dijelaskan pada Sutta 32, bait 2. Beberapa adalah pengikut Sang Buddha, tetapi lainnya, tidak ingin untuk menjalankan aturan/sila, bersikap bermusuhan pada Dhamma, dan sebenarnya kebanyakannya seperti demikian. Diantara ‘yakkha yang baik’, kita bisa menemukan (Sutta 19) Janavasabha, yang pernah menjadi Raja Bimbisara dari Magadha dan seorang Pemenang-Arus! Tradisi belakangan menekankan sisi buruk dari yakkha lebih lagi, yang kemudian dianggap dengan mudah sebagai raksasa atau iblis – yang perempuannya lebih berbahaya dibanding yang pria.
Berdasarkan tradisi, teks dari Kanon Pāḷi disusun pada sebuah Sidang yang diadakan di Rājagaha segera setelah wafatnya Sang Guru, kemudian dihafal oleh para tetua yang merupakan praktisi Dhamma yang sudah tinggi realisasinya. Bahkan hal ini jelas sekali bahwa kumpulan yang kita miliki sekarang ini berasal dari periode yang lebih tua lagi. Kanon ini dipertahankan dalam bentuk dari mulut ke mulut sampai pada abad pertama S.M., ketika menjadi terlihat bahwa teks suci akan hilang dari muka bumi jika mereka tidak mencatatnya dalam bentuk tulisan. Mereka mencatat dengan baik dibawah perintah Raja Vaṭṭagāmanī di Sri Lanka, meskipun beberapa bagian telah ditulis sebelumnya. Kemampuan ingatan yang digunakan untuk mempertahankan teks yang banyak dari mulut ke mulut untuk waktu yang sangat lama sepertinya terlihat luar biasa bagi kita, tetapi hal tersebut cukup umum pada zaman India kuno. Tulisan tentu dikenal di India pada zaman Sang Buddha, tetapi tidak digunakan untuk hal tersebut. Perlu diingat bahwa dalam jangka waktu empat-puluh-lima tahun, Sang Buddha berkhotbah, tidak diragukan dalam bentuk yang terstandardisasi, kepada ribuan orang, dan banyak bhikkhu dan bhikkhuni telah terlatih batin dan ingatannya, dan mengerti dengan baik arti dari apa yang mereka ulang.
Dari sekitar waktu Sidang Ke Dua, yang diadakan di Vesālī satu abad setelah wafatnya Sang Buddha, kita mendengar perpecahan dan pembentukan sekte di dalam Sangha. Ini yang akhirnya membawa pada berdirinya aliran Mahāyāna. Perkembangan yang terkini tentang hal tersebut dapat ditemukan pada buku Indian Buddhism oleh A.K. Warder. Di sini, kita perlu sekadar perhatikan bahwa Buddhisme tipe Theravāda telah lebih awal dibawa ke Ceylon, dan kemudian ke Burma, Thailand dan bagian-bagian lain di Asia Tenggara, dimana bentuk-bentuk Buddhisme yang menyebar ke Tibet, Cina, Jepang, dan daerah-daerah utara lainnya adalah tipe yang sudah berkembang, Mahāyāna. Bagian dari teks awal dari beberapa aliran yang muncul telah dipertahankan, diantaranya dalam bahasa Sansekerta, atau sering kali, dalam terjemahan bahasa Cina dan/atau Tibet. Teks Sansekerta dari teks tersebut sering kali sangat buruk, tetapi usaha-usaha jelas telah dilakukan untuk menghargai Sang Ajaran dengan menggunakan bahasa klasik. Dengan demikian, kita temukan istilah Buddhis dalam bentuk Pāḷi dan Sansekerta, dan sementara tidak diragukan istilah Pāḷi lebih tua, bentuk Sansekerta terkadang lebih dikenal oleh pembaca barat. Karena itu, Sansekerta karma lebih sering digunakan oleh orang barat dibanding Pāḷi kamma, Sansekerta dharma dan nirvāṇa dibanding Pāḷi dhamma dan nibbāna.
Secara kaku, kata Pāḷi berarti ‘teks’. Tetapi ekspresi Pāḷibhāsā, berarti ‘bahasa dari teks’, awalnya diambil untuk nama dari bahasa itu sendiri. Penggunaannya praktis terbatas pada subjek Buddhis, dan kemudian hanya pada aliran Theravāda. Asal mulanya sendiri masih merupakan topik debat akademis. Sementara kita tidak dapat membahas terlalu dalam tentang hal ini di sini, mungkin bisa dikatakan bahwa persamaan tradisional dengan bahasa dari kerajaan Magadha kuno dan pernyataan bahwa Pāḷi, secara harfiah dan tepat, bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha, tidak dapat dipertahankan. Semua sama, bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha dalam berbagai kemungkinan tidak akan sangat berbeda dari Pāḷi.
Dari sudut pandang nonspesialis, kita dapat anggap Pāḷi sebagai sejenis Sansekerta yang disederhanakan. Pengembangannya, seperti dialek India awal lainnya, dapat dianggap sama seperti sebuah bentuk awal dari bahasa Itali yang memisah dari bahasa Latin. Sebuah persamaan yang dekat ditemukan pada kata ‘seven’, dimana dalam Latin septem telah menjadi bahasa Italy sette, pt disederhanakan oleh asimilasi tt. Persamaan Sansekertanya sapta dalam bentuk Pāḷi adalah satta, dan penyederhanaan sejenis ditemukan dalam ratusan kata lainnya. Tata bahasa, juga, telah disederhanakan sedikit, meskipun tidak sebanyak yang terjadi pada bahasa Italy.6 Tetapi dua bahasa ini masih dekat dan mungkin untuk merubah seluruh kutipan Sansekerta menjadi Pāḷi dengan hanya membuat perubahan mekanik seperlunya.7
Teks yang menjadi dasar penerjemahan ini adalah edisi Pāḷi Text Society oleh T.W. Rhys Davids dan J.E. Carpenter (3 buku, 1890-1910).8 Saya juga sedikit menggunakan terjemahan bahasa Thai, juga terjemahan bahasa Jerman oleh Franke, dan juga melakukan beberapa koreksi mengikuti YM. Buddhatta, Ṅāṇamoli, dan lainnya, seperti yang telah ditunjukkan pada berbagai tempat.
Harus disampaikan bahwa siapa pun penerjemah Kanon Pāḷi dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang tidak lazim, yang berhubungan dengan pengulangan-pengulangan teks asli. Bahkan buku-buku teks tersebut berisi banyak penyederhanaan, dan setiap penerjemah harus menyederhanakan lebih jauh lagi. Saya telah menghadapi pengulangan-pengulangan dengan tiga cara. Bagian panjang telah dipadatkan menjadi beberapa baris, yang muncul dalam bentuk tulisan miring dan menyertakan nomor Sutta dan bait dari bagian yang dihilangkan. Jika sudah jelas dari kontekss mana dihilangkan, saya hanya menambahkan tanda kurung; di mana yang tidak jelas saya menggunakan tanda kurung berikut nomor Sutta dan baitnya. Dengan melakukan hal tersebut, saya berusaha untuk menjaga agar tidak ada substansi yang hilang. Saya tidak mengurangi bagian-bagian teks yang berhubungan dengan apakah teks tersebut asli atau yang diduga penambahan belakangan atau ketidakaslian atau sejenisnya: hal-hal seperti itu diserahkan kepada penilaian pembaca, terkadang dengan catatan-catatan kaki untuk panduan. Saya berusaha sejauh mungkin menghindari penggunaan kata benda maskulin dan kata ganti di mana berlaku untuk kedua jenis kelamin. Saya telah dipandu oleh pemahaman saya, perlu diingat banyak teguran ditujukan secara spesifik kepada para bhikkhu, juga kepada kata-kata Brāhmaṇa dan lainnya yang tidak diragukan ‘menunjukkan jenis kelamin’. Saya juga tetap mempertahankan jenis kelamin maskulin dalam beberapa kasus di mana akan menyebabkan keanehan yang tidak dapat ditolerir atau (dalam bait) merusak rima. Saya telah berusaha untuk mempertahankan gaya bahasa asli sebaik mungkin, diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang, saya harap, tidak terlalu kuno ataupun terlalu modern.9
Saya melakukan beberapa penyederhanaan sintaksis. Frasa seperti Bhagavatā saddhiṁ sammodi sammodanīyaṁ kathaṁ sārāṇīyaṁ vītisāretvā, yang diterjemahkan oleh Rhys Davids: ‘Dia saling memberi salam dan beramah-tamah’, disederhanakan menjadi, pada kasus ini menjadi ‘saling beramah-tamah dengannya’. Sehubungan dengan panggilan Bhagavā, saya menggunakan kata ‘Yang Mulia’. Penerjemah lain menggunakan ‘Yang Terberkahi’, dan seterusnya.
Pengulangan pada Kanon mungkin disebabkan oleh 2 sumber. Sepertinya Sang Buddha sendiri mengembangkan sebuah bentuk standar untuk khotbah, yang Beliau tanpa ragu ujarkan sama persis, atau hampir sama, beribu-ribu kali selama empat puluh lima tahun pengajaran-Nya. Beliau juga sepertinya melakukan prinsip yang digunakan dan disarankan oleh para guru sampai sekarang: ‘Pertama, beritahu apa yang akan engkau katakan, lalu katakan, kemudian katakan pada mereka bahwa engkau telah selesai mengatakannya.’ Murid-murid Beliau kemudian akan mengembangkan prinsip ini menjadi sebuah sistem yang secara kaku menyamaratakan frasa-frasa. Sumber ke dua dari pengulangan ini telah ada dalam tradisi dari mulut ke mulut itu sendiri, seperti yang terlihat pada literatur mulut ke mulut yang ada di seluruh dunia. Hal ini selalu dikarakteristikkan oleh pengulangan bagian yang panjang dan menyamaratakan nama sebutan dan penjelasan-penjelasan. Kecenderungan ini akan ada, kasus ini telah didukung oleh keinginan untuk menjaga kata-kata Sang Guru seakurat mungkin. Tetapi perlu juga diingat bahwa ini tidak semua hanya masalah dari pengulangan mekanis, meskipun tidak diragukan sering terjadi juga.
Tentu saja, tidak semua bagian dari Kanon Pāḷi sama tuanya atau dapat dianggap sebagai sama persis kata-kata Sang Buddha. Ini merupakan hanya pemikiran umum saja dan bukan berarti menolak sepenuhnya keasliannya. Penelitian baru-baru ini telah membuktikan pernyataan bahwa Kanon Pāḷi merupakan yang terbaik di antara sumber-sumber yang ada dalam pencarian Buddhisme ‘asli’, atau, bahkan, ‘apa yang diajarkan Sang Buddha’. Tidak akan dilakukan di sini untuk membahas lebih jauh tentang pertanyaan-pertanyaan tentang keaslian, atau stratifikasi kronologis tentang materi yang ada pada Dīgha Nikāya. Beberapa indikasi dari pendapat para peneliti pada subjek ini dapat ditemukan, khususnya, pada Studies in the Origins of Buddhism (1967) oleh Pande, meskipun tidak semua penemuan beliau dapat diterima. Secara pribadi, saya percaya bahwa semua, atau hampir semua pernyataan doktrin yang dikatakan dari mulut Sang Buddha dapat diterima sebagai otentik, dan sepertinya bagi saya ini adalah bagian yang paling penting.10
Satu bantuan yang tidak ternilai untuk memahami Kanon Pāḷi bisa didapatkan pada Kitab-Kitab Komentar (Aṭṭhakathā). Kitab-kitab Komentar ini perlu digunakan dengan berhati-hati, dan pastinya kitab-kitab tersebut berisi banyak karangan para murid taat. Tanpanya, pemahaman kita tentang Sutta-sutta tentu akan kekurangan. Dua kitab komentar utama telah dipublikasikan dalam bahasa Pāḷi oleh Pāḷi Text Society. Yang pertama berjudul Sumangalavilāsinī (‘Effulgence of the Great Blessing’), tetapi biasanya lebih dikenal sebagai Kitab komentar Dīgha Nikāya (Dīghanikāy-aṭṭhakathā atau DA, 3 buku, 1886-1932, dicetak ulang pada 1971). Buku ini merupakan karya Buddhaghosa, yang hidup di abad ke 5 S.M. Yang ke dua, atau Kitab Sub-Komentar (ṭīkā), berjudul Dīghanikāy-aṭṭhakathā-ṭīkā-Lānattha-vaṇṇnanā ‘Penjelasan dari hal-hal yang sulit dimengerti pada kitab komentar Dīgha Nikāya’ atau disingkat DAT (3 buku, oleh Lily de Silva, 1970), yang merupakan sebuah komentar untuk komentar. Kutipan yang luas dari dua komentar tentang Sutta 1 dan 15 (dengan kutipan tambahan dari yang ke tiga, yang berjudul ‘Kitab Sub-Komentar Baru’) diberikan oleh Bhikkhu Bodhi pada terjemahan beliau tentang Sutta-sutta tersebut secara terpisah, dan kutipan sejenis diberikan oleh Soma Thera pada Sutta 22 versi beliau. Beberapa komentar-komentar kecil kadang-kadang juga dikutip (sering kali tanpa terjemahan!) oleh Rhys Davids. Saya juga telah menambahkan beberapa kutipan pada catatan saya di mana terlihat perlu, disamping terkadang menjelaskan atau memperbaiki catatan dari Rhys Davids.
Buddhaghosa adalah seorang bhikkhu-pelajar India yang memiliki pengetahuan yang luar biasa yang bertahun-tahun tinggal di Sri Lanka, dimana beliau menulis The Path of Purification (Visudhimagga), sebuah panduan lengkap doktrin dan meditasi, diterjemahkan dengan sangat baik ke bahasa Inggris oleh YM. Ṅāṇamoli dan dipublikasikan oleh Buddhist Publication Society, Sri Lanka (1956+).
Versi beliau adalah sebuah perbaikan dari yang sebelumnya sudah dipublikasikan oleh Pāḷi Text Society yang berjudul The Path of Purity. Sepertinya kitab-kitab komentar Kanon Pāḷi yang kuno, beberapa sepertinya telah sangat tua, diterjemahkan ke bahasa Sinhala dan yang orisinal Pāḷinya telah hilang, dan Buddhaghosa membuat ulang versi Pāḷi yang barunya yang diterjemahkan dari bahasa Sinhala. Secara umum, sudah jelas bahwa beliau mencatat pendapat dan interpretasi tradisional, menghindari, kecuali pada kasus-kasus langka, untuk mengungkapkan pendapat pribadi dengan rendah hati. Diharapkan seiring waktu kitab-kitab komentar utama akan diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Pāḷi kuno yang cukup sulit.
Kanon Pāḷi dibagi menjadi tiga bagian (Tipiṭaka: Tiga Keranjang)
Vinaya Piṭaka
Ini berhubungan dengan aturan monastik, untuk bhikkhu dan bhikkhuni. Diterjemahkan oleh I.B. Horner dengan judul The Book of Discipline (6 buku, PTS 1938-66).
Sutta Piṭaka
‘Khotbah’ (Sutta): bagian dari Kanon yang paling menarik untuk dipelajari oleh umat awam (lihat bawah).
Abhidhamma Piṭaka
‘Ajaran yang lebih tinggi’, sebuah kumpulan filosofi yang sangat terstruktur dalam tujuh buku, yang kebanyakan sekarang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh PTS.
Sutta Piṭaka terdiri dari lima kumpulan (nikāya). Terjemahan ini adalah sebuah versi terjemahan yang baru untuk bagian pertama dari daftar berikut.
Sutta-sutta dalam buku ini dapat dilihat di halaman teks Digha Nikāya
Penanggalan Sang Buddha tersebut meragukan. Lamotte (1958) memilih 566-486 S.M. sebagai hipotesisnya, tetapi belakangan ini, banyak ahli berpendapat penanggalan yang lebih muda, meskipun tidak ada kesepakatan yang pasti. Mungkin ‘480-400 S.M.’ merupakan sebuah terkaan yang masuk akal. Penanggalan Lamotte bukan tidak mungkin, tetapi pada tradisi Sri Lanka yang menggunakan 623-543 S.M. dan bahkan penanggalan Oriental yang lebih lama lagi sepertinya sudah tidak digunakan. ↩︎
Sutta. Tidak ada terjemahan yang memuaskan untuk kata ini, dan ‘khotbah’ digunakan sebagai terjemahan penggantinya. Kata tersebut hampir sama dengan kata suttanta, yang digunakan pada buku ii dan iii oleh Rhys Davids dan Carpenter. Arti harfiahnya adalah ‘benang’, dan bentuk Sansekertanya adalah Sūtra. Biasanya, sebuah Sutta, yang mungkin bisa semua atau sebagian dalam sebuah puisi, meskipun bentuk prosa umumnya, membuat sebuah khotbah dari Sang Buddha atau salah satu murid utama-Nya, agak berbentuk bingkai narasi dan selalu dimulai dengan kata-kata ‘Demikianlah yang ku dengar’, yang dianggap telah diulang oleh YM. Ānanda pada Sidang Pertama. Sūtra Mahāyāna biasanya lebih panjang dan dijelaskan lebih detail. ↩︎
Hīnayāna. Istilah ini, berarti ‘kendaraan atau karir kecil’, kadang-kadang digunakan oleh penulis Mahāyāna dengan kontroversial untuk merujuk pada Buddhis yang tidak menerima doktrin mereka. Karena itu, pada jaman modern digunakan untuk merujuk pada aliran Theravāda, meskipun awalnya digunakan pada sebuah aliran yang sudah punah yang bernama Sarvāstivādins. Karena itu, tidak ada dasar pembenaran untuk mempergunakannya pada Buddhisme di negara-negara Asia Tenggara yang menggunakan Kanon Pāḷi. ↩︎
sankhārā. Berbagai makna dari kata ini sudah dijelaskan dengan baik di dalam BDic, mahluk yang paling penting yang merupakan ‘bentukan’ (kata-kata YM. Nyāṇatiloka) dalam berbagai artian. Di sini, berarti ‘segala hal yang bergabung atau berpadu’ dalam artian yang paling umum. Dalam formula Ketergantungan Sebab (q.v.) inilah diterjemahkan menjadi ‘bentukan-Karma’, dan menandakan pola karma, baik atau buruk, dihasilkan oleh ketidaktahuan di masa lampau, yang membentuk karakter individu baru. Sebagai salah satu dari lima kelompok penyusun (khandha) sankhārā adalah ‘bentukan mental’, termasuk beberapa fungsi yang tidak bersifat karma. ↩︎
Sebagai contoh, dalam cerita yang sering dikutipkan tentang tiga puluh pria yang dikatakan mencari ‘diri mereka’ (attānaṁ) (Vinaya, Mahāvagga 14.3). Meskipun kata yang digunakan di sini adalah bentuk akusatif tunggal, tidak ada justifikasi untuk menerjemahkan sebagai ‘sang Diri’. ↩︎
Kesulitan dalam menerjemahkan Pāḷi (bahkan ketika kita tahu apa artinya itu!) kadang-kadang sangat besar. Struktur Pāḷi cukup banyak seperti Latin kuno, meskipun dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi dan kecenderungan tertentu untuk berbentuk kata kerja. Masalah ini dapat diilustrasikan oleh sebuah contoh umum. Sutta 28 dimulai dengan:
Evaṁ me sutaṁ. Ekaṁ samayaṁ Bhagavā Nāḷandāyaṁ viharati Pāvārikambavane. Atha Kho āyasmā Sāriputto yena Bhagavā ten’ upasaṁkami, upasaṁkamitvā Bhagavantaṁ abhivādetvā ekamantaṁ nisīdi. Ekamantaṁ nisinno kho āyasmā Sāriputto Bhagavantaṁ etad avoca …
Secara harfiah:
Demikianlah oleh-ku [telah] diperdengarkan. Suatu waktu Yang Terberkahi di Nāḷandā tinggal dalam hutan mangga milik Pāvārika. Kemudian juga, Yang Mulia Sāriputta dimana Yang Terberkahi ia [telah] berada, telah menghampiri Yang Terberkahi telah memberi salam pada satu sisi duduk. Pada satu sisi setelah duduk juga Yang Mulia Sāriputta pada Yang Terberkahi ini berkata …
Diterjemahkan secara lebih ekonomis:
‘Demikianlah yang telah saya dengar. Suatu ketika Sang Bhagavā berada di Nāḷandā di hutan mangga milik Pāvārika, dan Yang Mulia Sāriputta datang bertemu Sang Bhagavā, memberi salam, duduk disatu sisi dan berkata …
Hanya tersisa untuk menambahkan itu saja, sejauh tentang yang berhubungan dengan bait-teks, saya telah berusaha semampu saya. Saya tidak berusaha untuk mereproduksi pola ritmenya. Di sini juga, rasanya telah berubah dari era penerjemah sebelumnya. ↩︎
Terkadang diragukan tentang bentuk asli dari sebuah kata. Dengan demikian pada Kanon Pāḷi, Gotama sebelum tercerahkan dikenal sebagai Bodhisatta: sebuah istilah yang lebih banyak dikenal, dengan beberapa perkembangan doktrinal, dalam bentuk Sansekerta Bodhisattva, ‘mahluk- pencerahan’. Tetapi telah disarankan elemen -satta dalam Pāḷi di sini bukan merujuk pada sattva ‘mahluk’ tetapi untuk sakta ‘bertujuan pada’. Dalam kasus Bodhisatta, berarti ‘seseorang yang bertujuan pada pencerahan’. Pada tataran filologis, setidaknya, kita tidak dapat yakin penjelasan mana yang benar. ↩︎
Edisi ini memiliki kekurangannya sendiri, karena berdasarkan pada beberapa koleksi teks yang ada secara kebetulan pada waktu itu. Edisi lain dan mungkin yang lebih baik juga ada, dicetak di Sri Lanka, Burma dan Thailand. Ada juga bahkan ↩︎
Gaya kuno dan mirip seperti alkitab (dalam artian kunonya) diadopsi oleh Professor Rhys Davids dan lainnya mungkin hampir sebuah kebutuhan pada waktu itu, tetapi sekarang, bagi pembaca modern sangat mengganggu sekali - seringkali tidak dapat dipahami. Juga, istilah teknis penerjemah awal seringkali telah digantikan. Juga harus dikatakan bahwa terjemahan Rhys Davids, yang bagian belakangannya dilakukan oleh Ny. Rhys Davids, seringkali ceroboh, dengan beberapa penghapusan yang mencurigakan tidak konsisten. Meskipun demikian, penghargaan harus diberikan penghargaan pada suami-istri yang menjadi pionir untuk usaha-usaha mempelajari bahasa Pāḷi untuk karya-karya mereka. Banyak perkenalan Sutta-sutta oleh Rhys Davids, sebagai contoh, yang masih tetap enak untuk dibaca, dan banyak interpretasi beliau tetap tidak termakan waktu - lebih baik dibandingkan kebanyakan karya-karya belakangan yang dikerjakan oleh istrinya. ↩︎
Argumen dari Rhys Davids, ketika, pada tahun 1899, beliau menentang mereka yang secara tidak beralasan merendahkan tradisi Sinhala (dan belakangan istrinya bergabung setelah beliau meninggal), disuarakan sekarang oleh seorang spesialis terkemuka, A.K. Warder, yang menulis pengantar pada buku iii PTC (1963):
Versi Pāḷi, sebagai satu-satunya edisi revisi teks kanon asli yang lengkap, harus menjadi bagian utama dalam merekonstruksi yang original [yaitu yang diulang oleh pengikut Sang Buddha]. Kemungkinan untuk membuat Kanon Buddhis asli yang substansial sepertinya sekarang dibuktikan oleh perbandingan yang khususnya dibuat oleh É. Lamotte, dalam karya paling berharga beliau Histoire du Bouddhisme Indien (Buku I, Lovain, 1958), dimana nilai dari teks Pāḷi dasar pada doktrin Buddhis - sangat sering tergeser beberapa tahun belakangan ini oleh edisi Sinhala yang tidak otentik, yang telah dirubah dan dikarang yang kemungkinan kurang sesuai dengan ajaran asli bahkan dibandingkan pada Sūtra Mahāyāna - diafirmasi ulang oleh pembandingan dengan apa yang ada pada edisi revisi lainnya yang disebut dengan Kanon ‘Hīnayāna’. Sebuah variasi metode sekarang yang ada untuk memastikan ajaran asli Buddhis (tentu saja oleh Sang Buddha sendiri - siapa lagi?): (1) Menganalisa dari kanon-kanon awal, (2) menganalisa mātikā, (3) catatan sejarah dari kejanggalan-kejanggalan ajaran dari aliran- aliran Buddhis, (4) perbandingan dan penekanan dengan aliran non-Buddhis, (5) membedakan secara kronologis teks-teks berdasarkan penggunaan kata-kata dan struktur kalimat, (6) membedakan secara kronologis pada teks-teks berdasarkan penggunaan irama sajak/rima.
Perlu ditambahkan disini bahwa A.K. Warder sendiri adalah seorang ahli terkemuka untuk poin (6) ↩︎