easter-japanese

Ketika saya kembali ke Amerika Serikat pada tahun 2002, setelah melewatkan lebih dari dua puluh tahun di Asia, saya diminta oleh para bhikkhu di Vihara Bodhi, di mana saya menetap, untuk memberikan pelajaran tentang sutta-sutta Pāli. Teks yang saya pilih sebagai dasar kelas saya adalah Majjhima Nikāya. Saya memilih buku ini karena, di antara keempat Nikāya, saya berpendapat bahwa buku ini paling tepat untuk memperkenalkan sutta-sutta kepada para siswa.

Hal ini dilakukan untuk tiga alasan.

Pertama, sutta-sutta itu memiliki panjang menengah. Dengan demikian tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Bahkan orang-orang yang sibuk masih dapat meluangkan waktunya untuk membaca satu sutta sebelum kelas dimulai, walaupun materinya cukup padat sehingga menuntut cara membaca yang perlahan dan seksama.

Ke dua, Majjhima Nikāya mencakup bentangan luas dari ajaran-ajaran Buddhis awal. Saya yakin bahwa tujuan awal dari koleksi ini adalah untuk memperkenalkan doktrin dan praktik Buddhisme kepada para anggota komunitas Buddhis. Hal ini secara khusus terlihat jelas pada tiga puluh sutta pertama. Tujuan Dhamma secara jelas dikemukakan dalam dua khotbah tentang perumpamaan inti kayu (MN 29, MN 30). Di sini kita menemukan khotbah-khotbah tentang pelenyapan kekotoran (MN 2, MN 5, MN 7), memperoleh pandangan benar (MN 9, MN 11), mengembangkan empat landasan perhatian (MN 10), melatih pikiran benar (MN 19), dan menghadapi rintangan-rintangan dalam meditasi (MN 20).

Dalam Majjhima kita juga menemukan suatu kerangka luas dari jalan Buddhis, yang terdapat dalam “latihan bertahap” (pada MN 27, MN 39, MN 51, MN 125, dan seterusnya). Doktrin-doktrin penting lainnya juga dibahas dalam Majjhima Nikāya. Ini termasuk kemunculan bergantungan (pada MN 11 dan MN 38), Empat Kebenaran Mulia (MN 9, MN 141), dan Jalan Mulia Berunsur Delapan (MN 117, MN 141). Kita juga menemukan tujuh tingkat pemurnian (MN 24), yang membentuk landasan bagi kerangka Visuddhimagga. Singkatnya, dengan membaca Majjhima Nikāya seseorang akan memperoleh suatu gagasan jernih tentang ajaran dan praktik yang menjadi inti dari Buddhisme awal.

Alasan ke tiga saya lebih suka memperkenalkan sutta-sutta kepada para siswa melalui Majjhima Nikāya adalah karena ajaran- ajaran sering kali dibabarkan dalam konteks kisah-kisah mengesankan yang meninggalkan kesan yang membekas dalam ingatan. Kisah-kisah ini menunjukkan bagaimana Sang Buddha dalam kapasitasNya sebagai seorang guru. Kita melihatnya mengalahkan Saccaka si pembual dalam perdebatan (MN 35), menaklukkan dewa Brahmā yang terdelusi (MN 49), menjinakkan penjahat kejam Angulimāla (MN 86), dan mengkonversi penganut kenikmatan indria Māgandiya (MN 75). Kita juga menemukan beberapa kisah pencarian pencerahan Sang Buddha, mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang Beliau hadapi (mn 4, MN 12, MN 26, MN 36) serta pencapaian-pencapaian tinggiNya (MN 12). Di antara keempat Nikāya, Majjhima Nikāya adalah yang terbaik dalam menggelar Sang Buddha dalam konteks. Kita bertemu Sang Buddha, bukan dalam abstrak, melainkan sebagai seorang manusia yang terlibat dalam diskusi dengan orang-orang pada masaNya – para pangeran dan brahmana, petapa, pedagang, dan para penduduk desa. Kita juga melihatNya dalam peranNya sebagai pendiri sebuah komunitas spiritual yang harus menghadapi konflik dan perselisihan internal (MN 48) dan yang harus memastikan kelestariannya setelah kematianNya (MN 103, MN 104).

Saya gembira mengetahui bahwa terjemahan Berbahasa Inggris dari saya atas Majjhima Nikāya, yang didasarkan pada pekerjaan Bhikkhu Ñāṇamoli pada tahun 1950, digunakan sebagai dasar bagi terjemahan Bahasa Indonesia. Saya mengucapkan selamat kepada para penerjemah, dan beraharap banyak siswa Dhamma dan yang lainnya yang tertarik pada Buddhisme awal akan memperoleh manfaat besar dari buku penting ini.

Ven. BHIKKHU BODHI Chuang Yen Monastery Carmel, New York, U.S.A

Buku ini menawarkan suatu terjemahan lengkap dari Majjhima Nikāya, Khotbah-khotbah dengan panjang menengah dari Sang Buddha, salah satu koleksi besar dalam Sutta Pitaka, atau “Keranjang Khotbah-khotbah,” bagian dari Kanon Pāli. Batang tubuh naskah-naskah yang besar ini, yang tercatat dalam bahasa India kuno yang sekarang dikenal sebagai Pāli, dianggap oleh aliran Buddhisme Theravāda sebagai catatan pasti kata-kata Sang Buddha, dan di antara para terpelajar juga pada umumnya dianggap sebagai sumber yang dapat dipercaya sebagai ajaran asli dari Buddha Gotama secara historis.

Terjemahan ini adalah suatu versi yang telah diperbaiki secara menyeluruh dari naskah awal dari terjemahan yang dilakukan oleh seorang bhikkhu terpelajar berkebangsaan Inggris bernama Bhikkhu Ñāṇamoli (1905-1960). Selama sebelas tahunnya dalam komunitas Buddhis, yang dilewatkan seluruhnya di Pulau Hermitage di Sri Lanka Selatan, Bhikkhu Ñāṇamoli telah menerjemahkan ke dalam Bahasa Inggris beberapa teks Buddhisme Pāli yang paling sulit dan berbelit-belit, di antaranya adalah Visuddhimagga yang sangat tebal. Setelah kematiannya yang mendadak pada usia lima puluh lima tahun, tiga buku catatan tebal terjilid-tangan berisikan terjemahan bertulisan tangan dari keseluruhan Majjhima Nikāya ditemukan di antara kepemilikannya. Akan tetapi, walaupun seluruh 152 sutta dari Majjhima telah diterjemahkan, namun tulisan itu jelas masih dalam proses perbaikan, dengan banyak coretan, dan tumpang-tindih tulisan dan sejumlah ketidak-konsistenan yang masih belum dipecahkan. Terjemahan itu juga menggunakan skema yang masih dalam percobaan dari terjemahan Pāli yang sangat asli yang lebih disukai oleh YM. Ñāṇamoli daripada skema sebelumnya dan telah dituliskan dalam catatan-catatan tersebut. Ia telah menggunakan gaya terjemahan baru dalam beberapa terbitannya, memberikan penjelasan atas pilihan-pilihannya dalam suatu appendix pada ‘‘The Minor Readings and The Illustrator of Ultimate Meaning, ‘’terjemahannya atas Khuddakapāṭha dan komentarnya.

Pada tahun 1976 Bhikkhu Khantipālo memilih sembilan puluh sutta dari buku catatan itu, yang ia sunting menjadi versi yang lebih konsisten dan mudah dibaca yang ditata kembali menurut urutan topik yang ia susun. Buku itu dipublikasikan di Thailand dalam tiga jilid dengan judul A Treasury of the Buddha’s Words. Dalam edisi ini YM. Khantipālo telah berusaha untuk sesedikit mungkin mengubah terjemahan asli dari YM. Ñāṇamoli, walaupun tak dapat dihindari ia merasa perlu untuk mengganti beberapa terjemahan inovatif dari YM. Ñaṇamoli menjadi padanan yang lebih dikenali, umumnya memilih terminologi yang pernah digunakan oleh YM. Ñāṇamoli dalam The Path of Purification, terjemahan dari Visuddhimagga yang sangat baik.

Buku sekarang ini berisikan terjemahan dari 152 sutta yang sudah diselesaikan. Dalam menyunting sembilan puluh sutta-sutta yang dikerjakan oleh YM. Khantipālo, saya bekerja dari versi yang terdapat dalam A Treasury of the Buddha’s Words, merujuk pada catatan dari YM. Ñāṇamoli jika muncul pertanyaan dan ditemukan kalimat-kalimat yang membingungkan. Enam puluh dua sutta lainnya terpaksa harus disunting dari buku catatan. Terjemahan seluruh 152 sutta telah dibandingkan dengan Teks Pāli yang asli dan saya harap bahwa semua kesalahan dan penghilangan telah diperbaiki.

Tujuan saya dalam menyunting dan memperbaiki materi ini, harus saya katakan, bukanlah untuk merekonstruksi sutta-sutta dalam suatu cara yang selaras sedekat mungkin dengan kehendak penerjemah aslinya. Tujuan saya adalah untuk menjadikan terjemahan Majjhima Nikāya yang pada saat yang sama mendekati dua cita-cita ideal: pertama, kesetiaan pada makna yang dimaksudkan oleh teks itu sendiri; dan ke dua, pernyataan dari makna tersebut dalam sebuah idiom yang dapat dipahami oleh pembaca modern yang mencari tuntunan pribadi dalam sutta-sutta Pāli untuk memperoleh pemahaman dan perilaku selayaknya dalam kehidupan. Ketepatan terminologi dan konsistensi internal telah menjadi pedoman penting yang mendasari usaha untuk mencapai cita-cita ideal tersebut, tetapi kehati-hatian telah dilakukan agar usaha tersebut dapat menghasilkan terjemahan yang transparan terhadap maknanya.

Untuk menghasilkan suatu terjemahan dari Majjhima Nikāya yang tepat secara teknis dan juga jelas dalam pernyataan, memerlukan banyak perbaikan dalam tahap naskah. Sebagian besar bersifat minor tetapi terdapat beberapa yang substansial. Banyak perubahan dilakukan dalam terjemahan istilah-istilah doktrin Pāli, sebagian besar perubahan yang dilakukan oleh YM. Khantipālo telah dimasukkan. Pada tempat di mana YM. Ñānamoli menerjemahkan secara tidak lazim, dalam banyak kasus saya telah mengembalikan pada terminologi yang lebih jelas dan lebih baik seperti yang ia gunakan dalam The Path of Purification. Ketika muncul keragu-raguan saya selalu meminta bantuan dari YM. Nyanaponika Mahāthera, yang nasihat bijaksananya membantu mengarahkan terjemahan ini lebih dekat pada kedua cita-cita ideal di atas. Penanganan beberapa istilah teknis yang penting dibahas pada akhir bagian pendahuluan, yang di sana juga dilampirkan sebuah daftar yang menampilkan istilah-istilah yang berubah dalam edisi ini. Dengan membaca daftar ini pembaca dapat memperoleh gagasan tentang bagaimana terjemahan ini dipahami. Sebuah glossary di akhir buku memberikan daftar terjemahan kata yang digunakan dalam doktrin Pāli dalam Majjhima Nikāya serta kata-kata Pāli dan artinya yang tidak tercantum dalam Pali-English Dictionary dari Pali Text Society. Indeks topik juga melampirkan kata Pāli dan kata terjemahan yang dipilih. Nama-nama tanaman yang tidak dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris yang akrab, telah dibiarkan tidak diterjemahkan.

Terjemahan YM. Ñāṇamoli terutama didasarkan atas edisi Latin Majjhima Nikāya dari Pali Text Society, yang diterbitkan dalam tiga jilid, yang pertama disunting oleh V. Trenckner (1888), dua jilid berikutnya oleh Robert Chalmers (1898, 1899). Edisi ini juga digunakan untuk memeriksa terjemahan, tetapi pada kalimat-kalimat yang rumit saya juga merujuk pada dua edisi lainnya: edisi Konsili Buddhis ke enam dari Buddhasāsana Samiti Burma dalam bahasa Burma dan edisi Buddha Jayanti bertulisan Sinhala yang diterbitkan di Sri Lanka. Bukanlah hal yang tidak biasa di mana tulisan dalam salah satu edisi lebih disukai daripada edisi PTS, walaupun hanya kadang-kadang hal ini disebutkan dalam catatan-catatan. Juga jarang sekali catatan-catatan itu merujuk pada terjemahan Majjhima Nikāya yang sudah beredar lama yang berjudul The Collection of the Middle Length Sayings, yang diterjemahkan oleh I. B. Horner, yang kadang-kadang saya bandingkan dengan terjemahan YM. Ñāṇamoli. Karena jilid pertama terjemahan itu diterbitkan pada tahun 1954, dan dua jilid berikutnya pada tahun 1957 dan 1959, sedangkan naskah YM. Ñāṇamoli menunjukkan bahwa ia melakukan pekerjaan ini antara tahun 1953 dan 1956, maka tampaknya tidak mungkin ia berunding dengan versi Horner dalam mempersiapkan terjemahannya; paling jauh, ia mungkin telah membaca jilid pertama setelah ia menyelesaikan jilid pertamanya.

Teks terjemahan dibagi dalam bagian-bagian numerik. Pembagian ini diperkenalkan oleh YM. Ñāṇamoli ke dalam versi naskah dari sutta-sutta dan tidak terdapat dalam Majjhima Nikāya edisi PTS. Kadang-kadang, ketika logika menuntut, maka saya telah melakukan perubahan minor pada pembagian-pembagian ini. Nomor bagian dimasukkan dalam sutta sebagai referensi dalam pendahuluan, catatan, dan indeks. Demikianlah, misalnya, referensi pada MN 26.18 berarti Majjhima Sutta No. 26, bagian 18.

Nomor pada bagian atas halaman merujuk pada jilid dan nomor halaman dari Majjhima Nikāya edisi PTS, seperti juga nomor dalam kurung siku yang disisipkan dalam teks (kecuali pada MN 92 dan MN 98, di mana penomoran itu merujuk pada Sutta Nipāta edisi PTS).

Bab Pendahuluan bertujuan untuk memberikan kepada pembaca suatu tuntunan menyeluruh pada Majjhima Nikāya dengan tinjauan secara sistematis pada ajaran-ajaran utama Sang Buddha yang terdapat dalam koleksi ini bersama dengan rujukan-rujukan pada sutta di mana penjelasan lebih lengkap dapat ditemukan. Informasi yang lebih mendasar tentang Kanon Pāli dan Buddhisme Pāli secara umum dapat dibaca dalam pendahuluan oleh Maurice Walshe dalam terjemahannya atas Dighā Nikāya, Thus Have I Heard, yang ditiru dalam penerbitan ini. Sebagai suatu cara untuk memudahkan pembaca untuk memasuki teks-teks kanonis, suatu ringkasan dari 152 sutta dalam Majjhima Nikāya dicantumkan persis setelah Pendahuluan.

Untuk menjelaskan kalimat-kalimat sulit dalam sutta-sutta dan untuk memberikan cahaya tambahan pada kalimat-kalimat yang memiliki makna yang lebih kaya daripada apa yang tampak pada pandangan pertama, telah diberikan banyak catatan pinggir. Banyak dari catatan-catatan ini diambil dari komentar Majjhima, di antaranya ada dua. Yang pertama adalah komentar resmi, Majjhima Nikāya Aṭṭhakathā, yang juga dikenal sebagai Papañcasūdani. Ini disusun pada abad ke lima oleh seorang komentator besar, Ācariya Buddhaghosa, yang mendasarkan komentarnya dari komentar-komentar kuno (yang sudah tidak ada lagi) yang telah dilestarikan selama berabad-abad oleh Saṅgha Di Mahāvihāra di Anuradhapura di Sri Lanka. Komentar ini berharga bukan hanya karena menjelaskan makna dari teks tetapi juga karena memberikan peristiwa latar belakang yang mengarah pada dibabarkannya khotbah tersebut. Komentar lainnya adalah subkomentar, Majjhima Nikāya Ṭikā, yang diduga berasal dari Ācariya Dhammapāla, yang mungkin hidup dan bekerja di India Selatan satu abad atau lebih setelah Ācariya Buddhaghosa. Tujuan utama dari Ṭikā adalah untuk menjelaskan hal-hal sulit dan tersamar dalam Aṭṭhakathā, tetapi dalam melakukan hal itu si penulis seringkali menambah penjelasan pada makna dari teks kanonis. Untuk tetap mempertahankan catatan-catatan agar tetap ringkas, komentar-komentar hampir selalu dicantumkan dalam kalimat-kalimat yang berupa ringkasan daripada dikutip secara langsung.

Saya menyadari bahwa catatan-catatan kadang-kadang mengulangi hal-hal yang telah dijelaskan dalam Pendahuluan, tetapi dalam sebuah buku seperti ini pengulangan demikian dapat menjadi berguna, khususnya gagasan-gagasan baru dan tidak lazim yang diperlakukan secara singkat dalam Pendahuluan mungkin luput dalam ingatan pembaca pada saat membaca sutta yang berhubungan dengan gagasan itu.

Sebagai penutup saya ingin menyebutkan beberapa kontribusi yang telah disumbangkan oleh beberapa pihak untuk menyelesaikan proyek ini.

Pertama, saya ingin berterima kasih kepada YM. Nyanaponika Mahāthera yang pertama kali mendorong saya untuk menjalankan tugas ini, yang tampak menakutkan dari luar, dan kemudian memberikan nasihat-nasihat berharga pada setiap tikungan penting sepanjang perjalanan. Bukan hanya bahwa ia selalu siap untuk mendiskusikan hal-hal sulit, tetapi walaupun dengan penglihatan yang melemah, yang secara drastis mengurangi waktunya untuk membaca, namun ia masih membaca keseluruhan Pendahuluan, catatan-catatan, dan sutta-sutta yang berkaitan, dan memberikan saran-saran yang sangat membantu.

Ke dua, saya berterima kasih kepada YM. Khantipālo (sekarang Laurence Mills) atas izinnya untuk menggunakan versinya atas sembilan puluh sutta dalam A Treasury of the Buddha’s Words sebagai landasan kerja bagi edisi ini. Pekerjaan yang ia lakukan pada sutta-sutta itu hampir dua dekade lalu sangat membantu dalam mempersiapkan buku ini.

Ke tiga, saya harus menyebutkan bantuan besar yang saya terima dari Ayyā Nyanasirī, yang membantu penyuntingan draft awal, memberikan banyak saran bagi perbaikan minor, dan mengetikkan keseluruhan naskah. Walaupun, ketika konsep editorial saya berubah, beberapa sutta terpaksa harus diketik ulang untuk ke dua kalinya, dan beberapa bahkan untuk ke tiga kalinya, hal ini selalu dilakukan dengan kesabaran dan pengertian.

Ke empat, saya berterima kasih kepada dua orang bhikkhu, YM. Thanissaro (U.S.A.) dan YM. Dhammavihārī (Sri Lanka), yang telah membaca beberapa bagian naskah dan menyarankan beberapa perbaikan minor.

Terakhir, saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada Dr. Nicholas Ribush atas dorongan dan bantuannya dan kepada Wisdom Publications yang telah melakukan pekerjaan yang begitu baik dalam tahap produksi. Saya secara khusus berterima kasih kepada John Bullitt atas manajemen yang hati-hati dan tepat pada proyek ini.

Atas segala kesalahan atau cacat yang ada, saya sendiri yang bertanggung-jawab sepenuhnya.

BHIKKHU BODHI Forest Hermitage Kandy, Sri Lanka

Edisi ke dua dari ‘‘The Middle Length Discourse of the Buddha ‘’(2001) memasukkan sejumlah koreksi dan perubahan minor dalam terminologi yang telah saya kerjakan selama beberapa tahun pada teks dari edisi asli. Edisi ini juga memasukkan beberapa tambahan dan perubahan pada catatan-catatan.

Edisi ke tiga dari ‘‘The Middle Length Discourse of the Buddha ‘’(2005) memasukkan banyak koreksi dan perubahan yang disarankan kepada saya oleh Bhikkhu Ñāṇatusita, yang dengan tekun membandingkan keseluruhan terjemahan dengan Teks Pāli aslinya. Saya juga telah memasukkan perubahan lain yang disarankan oleh Ajahn Brahmavaṃso dan Sāmaṇera Anālayo

B.B.

MAJJHIMA NIKĀYA adalah koleksi ke dua khotbah-khotbah Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Piṭaka Kanon Pāli. Judulnya secara literal adalah Koleksi Menengah, dan disebut demikian karena sutta-sutta ini secara umum memiliki panjang menengah, dibandingkan dengan sutta-sutta panjang dari Digha Nikāya, yang mendahuluinya, dan sutta-sutta pendek yang membentuk koleksi utama setelahnya, yaitu Saṁyutta Nikāya dan Anguttara Nikāya.

Majjhima Nikāya terdiri dari 152 sutta. Sutta-sutta ini dibagi dalam tiga bagian yang disebut Kelompok Lima Puluh (paṇṇāsa), walaupun kelompok terakhir sebenarnya terdiri dari lima puluh dua sutta. Di dalam masing-masing bagian sutta-sutta itu lebih lanjut dikelompokkan lagi dalam bab-bab atau divisi-divisi (vagga) yang terdiri dari sepuluh sutta. Nama kelompok dari divisi-divisi ini sering kali diturunkan dari judul sutta pertama pada kelompok tersebut (atau, dalam beberapa kelompok, pasangan sutta) dan dengan demikian nyaris tidak menjelaskan materi yang terdapat dalam kelompok itu sendiri. Suatu pengecualian adalah Kelompok lima Puluh Pertengahan, di mana judul kelompok sutta itu biasanya merujuk pada jenis dari lawan bicara atau sosok utama dalam masing-masing sutta. Bahkan kemudian hubungan antara judul dan isinya kadang-kadang sangat lemah. Keseluruhan sistem pengelompokan tampaknya dimaksudkan lebih untuk tujuan kenyamanan daripada karena kesamaan materi sutta-sutta dalam kelompok tersebut.

Juga tidak ada urutan pengajaran tertentu dalam sutta-sutta, tidak ada pengungkapan pengembangan pemikiran. Demikianlah walaupun sutta-sutta berbeda saling menerangi satu sama lain dan satu sutta akan melengkapi gagasan yang disiratkan oleh sutta lain, sebenarnya setiap sutta dapat dipelajari secara tersendiri dan akan terbukti dapat dipahami secara tersendiri. Tentu saja, mempelajari keseluruhan kompilasi ini akan secara alami menghasilkan pemahaman yang paling kaya.

Jika Majjhima Nikāya harus dikarakteristikkan oleh satu frasa tunggal untuk membedakannya di antara buku-buku lainnya dari Kanon Pāli, maka hal ini dapat dilakukan dengan menjelaskannya sebagai koleksi yang menggabungkan variasi situasi kontekstual yang paling kaya dengan berbagai ajaran yang paling dalam dan paling komprehensif. Seperti juga Digha Nikāya, Majjhima dipenuhi dengan drama dan narasi, walaupun tanpa kecenderungan pendahulunya pada bumbu imajinasi dan legenda yang berlimpah. Seperti juga Saṁyutta, Majjhima berisikan beberapa khotbah yang paling mendalam dalam Kanon, mengungkapkan pandangan terang radikal Sang Buddha ke dalam sifat kehidupan; dan seperti halnya Aṅguttara, Majjhima mencakup topik-topik yang luas dengan penerapan praktis. Akan tetapi, berlawanan dengan kedua Nikāya tersebut, Majjhima berisikan materi-materi yang bukan dalam bentuk singkat yang terdiri dari ucapan-ucapan, melainkan dalam konteks prosesi skenario yang menakjubkan yang memperlihatkan kecemerlangan kebijaksanaan Sang Buddha, kemahiranNya dalam mengadaptasi ajaranNya pada kebutuhan dan kecenderungan lawan bicaraNya, kecerdasanNya dan humor halus, keagunganNya, dan belas kasih kemanusiaanNya.

Sebagian besar khotbah-khotbah dalam Majjhima adalah ditujukan kepada para bhikkhu karena mereka menetap dekat dengan Sang Guru dan mengikutiNya menuju kehidupan tanpa rumah untuk menjalani latihan. Tetapi dalam Majjhima kita tidak menemui Sang Buddha hanya dalam peranNya sebagai pemimpin kelompok. Berulang-ulang kita melihatNya terlibat dalam dialog hidup dengan orang-orang dari berbagai status sosial India kuno – dengan raja-raja dan pangeran-pangeran, dengan para brahmana dan petapa, dengan penduduk desa yang sederhana dan para filsuf terpelajar, dengan para pencari kebenaran dan pendebat kosong. Mungkin dalam naskah inilah di antara semua lainnya Sang Buddha muncul dalam peran yang dalam syair kanonis penghormatan kepada Sang Bhagavā disebut sebagai “Pemimpin tiada tara bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia.”

Bukan hanya Sang Buddha sendiri yang muncul dalam Majjhima dalam peran sebagai guru. Buku ini juga memperkenalkan kepada kita para siswa sempurna dari Beliau yang melakukan penyampaian ajaran Beliau. Di antara 152 sutta dalam koleksi ini, sembilan dibabarkan oleh Yang Mulia Sāriputta, Jenderal Dhamma; tiga di antaranya (MN 9, MN 28, MN 141) menjadi teks dasar bagi pembelajaran doktrin Buddhis dalam aliran-aliran monastik di seluruh Negara Buddhis Theravāda. Yang Mulia Ānanda, pelayan pribadi Sang Buddha selama dua puluh lima tahun terakhir kehidupan Beliau, membabarkan tujuh sutta dan berpartisipasi dalam lebih banyak sutta lainnya lagi. Empat sutta dibabarkan oleh Yang Mulia Mahā Kaccāna, yang unggul dalam menjelaskan ajaran yang dibabarkan secara singkat dan membingungkan oleh Sang Guru, dan dua oleh siswa utama ke dua, Yang Mulia Mahā Moggallāna, salah satunya (MN 15) direkomendasikan sebagai perenungan seorang bhikkhu setiap harinya. Sebuah dialog antara Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Puṇṇa Mantāṇiputta (MN 24) mengeksplorasi skema tujuh tingkat pemurnian yang membentuk kerangka dari karya besar Buddhis oleh Ācariya Buddhaghosa, yaitu Visuddhimagga. Dialog lainnya (MN 44) memperkenalkan Bhikkhunī Dhammadinnā, yang jawabannya atas serangkaian pertanyaan penyelidikan begitu cerdas sehingga Sang Buddha mensahkannya demi generasi mendatang dengan kata-kata “Aku juga akan menjelaskannya dengan cara yang sama.”

Format dari sutta-sutta juga beraneka-ragam. Mayoritas berbentuk khotbah-khotbah, penjelasan-penjelasan yang tertuang tanpa terputus dari mulut Yang Tercerahkan. Beberapa di antaranya disampaikan dalam serangkaian dalil instruksional yang tanpa hiasan atau tuntunan praktik, tetapi sebagian besar terjalin dengan perumpamaan-perumpamaan, yang bersinar dan menerangi kumpulan tebal doktrin dalam cara-cara yang menanamkannya dalam-dalam di pikiran. Sutta-sutta lainnya diungkapkan dalam dialog dan diskusi, dan dalam beberapa sutta elemen dramatis atau narasi cukup menonjol. Mungkin yang paling terkenal di antaranya adalah ‘‘Angulimāla Sutta ‘’(MN 86), yang menceritakan bagaimana Sang Buddha menaklukkan seorang penjahat terkenal bernama Angulimāla dan mengubahnya menjadi seorang suci yang tercerahkan. Yang juga mengesankan, walaupun dalam cara yang berbeda, adalah kisah Raṭṭhapāla (MN 82), seorang pemuda dari keluarga kaya yang pandangan terangnya ke dalam universalitas penderitaan begitu mendorongnya sehingga ia siap untuk mati daripada tidak diperbolehkan meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah. Beberapa sutta berpusat pada perdebatan, dan ini menggaris-bawahi kecerdasan Sang Buddha dan nuansa ironis yang halus serta kemahiran dialektikaNya. Yang patut disebutkan secara khusus adalah MN 35 dan MN 56, dengan humor halus yang meningkatkan keseriusan isinya. Dalam kelompok terpisah adalah ‘‘Brahmanimantanika Sutta ‘’(MN 49), yang mana Sang Buddha mengunjungi alam Brahma untuk melepaskan dewa yang terdelusi dari ilusi keagungannya dan terlibat dalam kontes menarik melawan Māra Sang Jahat – persekutuan yang sulit dibayangkan dari ketuhanan dan kejahatan yang mempertahankan kesucian penjelmaan melawan panggilan Sang Buddha pada kebebasan menuju Nibbāna, lenyapnya penjelmaan.

Informasi biografis tidak dianggap penting oleh para redaktur Kanon Pali, dan dengan demikian data dalam Majjhima yang memberikan kisah hidup Sang Buddha hanya sedikit dan tidak teratur, dimasukkan terutama karena cahaya yang menyorot Sang Buddha sebagai teladan ideal bagi pencarian spiritual dan guru yang sepenuhnya memenuhi syarat. Namun demikian, walaupun biografi dikesampingkan untuk kepentingan lain, Majjhima masih memberikan kepada kita kisah lengkap secara kanonis tentang masa awal kehidupan Sang Guru sebagai seorang Bodhisatta, seorang pencari pencerahan. Seperti Digha, Majjhima menceritakan kisah keajaiban pada saat konsepsi dan kelahiran Beliau (MN 123), tetapi versi pelepasan agungNya telah dihilangkan hingga tersisa hanya bagian-bagian penting dan diceritakan dalam kata-kata dingin realisme eksistensial. Pada masa mudanya, setelah melihat melalui kenikmatan-kenikmatan indria yang Ia miliki dengan statusNya sebagai pangeran (MN 75.10), Sang Bodhisatta memutuskan bahwa adalah sia-sia mengejar hal-hal yang seperti juga diriNya yang tunduk pada penuaan dan kematian dan dengan demikian, walaupun orang tuaNya menangis, Ia meninggalkan kehidupan rumah tangga dan pergi mencari tanpa-penuaan dan tanpa-kematian, yaitu Nibbāna (MN 26.13). MN 26 menceritakan tentang pembelajaranNya di bawah dua guru meditasi terkemuka pada masa itu, penguasaanNya atas sistem mereka, dan hasilnya yang mengecewakan. MN 12 dan MN 36 keduanya menceritakan dalam kata-kata yang datar dan tanpa hiasan tentang pencapaian pencerahannya, yang dilihat dari sudut pandang berbeda, sedangkan MN 26 membawa kita melewati saat pencerahan kepada keputusan untuk mengajar dan pengajaran kepada para siswa pertamaNya. Dari titik itu dan seterusnya biografi yang berhubungan terputus dalam Majjhima dan hanya dapat direkonstruksi secara parsial dan menurut dugaan.

Dan lagi, terlepas dari tiadanya kisah sistematis, namun Majjhima memberikan sejumlah potret berharga dari Sang Buddha yang dapat kita pelajari, dengan bantuan informasi yang diberikan dari sumber-sumber lain, gambaran yang cukup memuaskan atas aktivitas hariannya dan rutinitas tahunan selama empat puluh lima tahun pengajaranNya. Sebuah teks komentar menunjukkan jadwal harian Sang Buddha yang dibagi dalam masa-masa mengajar para bhikkhu, membabarkan khotbah kepada umat awam, dan terasing dalam meditasi, yang selama itu Beliau berdiam apakah dalam “alam kekosongan” (MN 121.3, MN 122.6) atau dalam pencapaian belas kasih agung. Satu kali makan dalam sehari selalu dilakukan sebelum tengah hari, apakah diterima melalui undangan ataupun dikumpulkan dalam perjalanan menerima dana makanan, dan tidurNya dibatasi hanya beberapa jam per malam, kecuali di musim panas, di mana Beliau beristirahat sejenak di siang hari (MN 36.46). Rutinitas tahunan membagi tahun menjadi tiga musim – musim dingin dari bulan November hingga Februari, musim panas dari bulan Maret hingga Juni, dan musim hujan dari bulan Juli hingga Oktober. Seperti kebiasaan di antara para petapa di India kuno, Sang Buddha dan komunitas monastik akan berdiam di satu tempat selama musim hujan, ketika hujan badai dan sungai yang meluap menyebabkan perjalanan nyaris mustahil dilakukan. Selama bulan-bulan lainnya dalam setahun Beliau akan mengembara di sepanjang Lembah Gangga membabarkan ajaranNya kepada semua orang yang siap mendengarNya.

Tempat kediaman utama Sang Buddha selama musim hujan (vassa) berlokasi di Sāvatthi di negeri Kosala dan Rājagaha di negeri Magadha. Di Sāvatthī Beliau biasanya menetap di Hutan Jeta, sebuah taman yang dipersembahkan oleh seorang pedagang kaya bernama Anāthapiṇḍika, dan karena itu sejumlah besar khotbah-khotbah Majjhima tercatat dibabarkan di sana. Kadang-kadang di Sāvatthi Beliau akan menetap di Taman Timur, yang dipersembahkan oleh seorang umat awam perempuan yang berbakti bernama Visākhā, yang juga dikenal sebagai “Ibunya Migāra.” Di Rājagaha Beliau sering menetap di Hutan Bambu, yang dipersembahkan oleh raja Magadha bernama Seniya Bimbisāra, atau tempat yang lebih terasing di Puncak Nasar di luar kota. PengembaraanNya, yang biasanya disertai oleh sejumlah besar para bhikkhu, berkisar dari Negeri Anga (sekarang di dekat Bengal Barat) hingga kaki pegunungan Himalaya dan Negeri Kuru (sekarang di Delhi). Kadang-kadang, ketika Beliau melihat bahwa suatu kasus khusus memerlukan perhatian pribadi, maka Beliau akan meninggalkan Saṅgha dan melakukan perjalanan sendirian (baca MN 75, MN 86, MN 140).

Walaupun Kanon secara tepat dan dapat dipercaya dalam memberikan rincian-rincian demikian, namun bagi komunitas Buddhisme awal, minat yang berfokus pada Sang Buddha tidak begitu diarahkan pada rincian historis konkrit seperti halnya pada teladan pentingnya. Sedangkan pihak luar mungkin melihat Beliau hanya sebagai salah satu di antara banyak guru spiritual pada masa itu – sebagai “Petapa Gotama” – bagi para siswaNya “Beliau adalah penglihatan, Beliau adalah pengetahuan, Beliau adalah Dhamma, Beliau adalah yang suci, … pemberi Tanpa-Kematian, Raja Dhamma, Sang Tathāgata” (MN 18.12). Sebutan terakhir dalam rangkaian ini adalah gelar yang sering digunakan oleh Sang Buddha ketika merujuk pada diriNya sendiri dan ini menggaris-bawahi pentingnya Beliau sebagai Kedatangan Agung yang menyempurnakan kosmis, pola peristiwa-peristiwa yang berulang. Para komentator Pāli menjelaskan kata ini sebagai bermakna “yang datang demikian” (tathā āgata) dan “yang pergi demikian” (tathā gata), yaitu, seorang yang datang ke tengah-tengah kita membawa pesan tanpa-kematian yang ke sana Beliau telah pergi melalui praktikNya sendiri pada Sang Jalan. Sebagai Sang Tathāgata Beliau memiliki sepuluh pengetahuan dan empat keberanian, yang memungkinkanNya untuk mengaumkan “auman singa” di dalam kumpulan-kumpulan (MN 12.9-20). Beliau bukan sekedar seorang petapa bijaksana atau seorang moralis yang baik hati melainkan adalah yang terakhir dalam silsilah para Yang Tercerahkan Sempurna, yang masing-masingnya muncul satu dalam masa kegelapan spiritual, menemukan kebenaran terdalam pada sifat kehidupan, dan mendirikan suatu Pengajaran (sāsana) yang melaluinya jalan kebebasan sekali lagi menjadi terjangkau di dunia ini. Bahkan para siswaNya yang telah mencapai penglihatan, praktik, dan kebebasan yang tidak terlampaui masih menghormati dan menyembah Sang Tathāgata sebagai seorang yang, tercerahkan oleh diriNya sendiri, mengajarkan orang lain demi pencerahan mereka (MN 35.26). Melihat kembali ke belakang setelah wafatnya Beliau, generasi pertama para bhikkhu dapat mengatakan: “Sang Bhagavā adalah pembangun jalan yang belum dibangun, pembuat jalan yang belum dibuat, pengungkap jalan yang belum terungkapkan; Beliau adalah pengenal Sang Jalan, penemu Sang Jalan, seorang yang terampil dalam Sang Jalan,” yang diikuti dan dicapai setelah itu oleh para siswaNya (MN 108.5).

Ajaran Sang Buddha disebut Dhamma, sebuah kata yang bermakna ganda yang dapat berarti kebenaran yang disampaikan melalui ajaran dan media konseptual-verbal yang dengannya kebenaran diungkapkan agar dapat dikomunikasikan dan dipahami. Dhamma bukanlah sebuah tubuh dogma yang kekal atau sistem pemikiran spekulatif. Pada intinya Dhamma adalah suatu alat, sebuah rakit untuk menyeberang dari “pantai sini” ketidak-tahuan, ketagihan, dan penderitaan menuju “pantai seberang” kedamaian transenden dan kebebasan (MN 22.13). Karena tujuan dalam membabarkan ajaranNya adalah tujuan pragmatis – kebebasan dari penderitaan – Sang Buddha dapat menolak keseluruhan spekulasi metafisik sebagai suatu usaha yang sia-sia. Mereka yang terikat padanya diumpamakan oleh Sang Buddha dengan seorang yang tertembak sebatang panah beracun yang menolak perawatan ahli bedah hingga ia mengetahui rincian dari penyerangnya dan senjatanya (MN 63.5). Karena tertembak oleh anak panah ketagihan, didera oleh penuaan dan kematian, umat manusia membutuhkan pertolongan segera. Pengobatan yang dibawa oleh Sang Buddha sebagai ahli bedah bagi dunia (MN 105.27) adalah Dhamma, yang mengungkapkan kebenaran atas kondisi kehidupan kita yang menyedihkan dan sebagai alat yang dengannya kita dapat menyembuhkan luka-luka kita.

Dhamma yang ditemukan dan diajarkan oleh Sang Buddha pada intinya adalah Empat Kebenaran Mulia:

  1. Kebenaran Mulia penderitaan (dukkha)
  2. Kebenaran Mulia asal-mula penderitaan (dukkhasamudaya)
  3. Kebenaran Mulia lenyapnya penderitaan (dukkhanirodha)
  4. Kebenaran Mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan (dukkhanirodhagāminī paṭipadā)

Adalah pada keempat kebenaran ini Sang Buddha tercerahkan pada malam pencerahanNya (MN 4.31, MN 36.42), menyatakan kepada dunia ketika Beliau memutar Roda Dhamma yang tanpa bandingnya di Benares (MN 141.2), dan dijunjung tinggi selama empat puluh lima tahun pengajaranNya sebagai “Ajaran khas para Buddha” (MN 56.18). Dalam Majjhima Nikāya Empat Kebenaran Mulia ini dibabarkan secara singkat pada MN 9.14-18 dan secara terperinci pada MN 141, sedangkan dalam MN 28 Yang Mulia Sāriputta mengembangkan pembabaran asli atas kebenaran-kebenaran yang khas sutta itu. Walaupun kebenaran-kebenaran itu dibabarkan secara eksplisit hanya pada waktu-waktu tertentu, namun Empat Kebenaran Mulia membentuk kerangka dari keseluruhan ajaran Sang Buddha, berisikan banyak prinsip-prinsip lain seperti halnya jejak kaki gajah dapat berisikan jejak kaki semua binatang lainnya (MN 28.2).

Gagasan yang menjadi poros di mana kebenaran-kebenaran itu berputar adalah kebenaran dukkha, diterjemahkan di sini sebagai “penderitaan.” Kata Pāli yang aslinya hanya bermakna kesakitan dan penderitaan, suatu makna yang dipertahankan dalam teks ketika digunakan sebagai suatu kualitas perasaan: dalam hal ini kata ini telah diterjemahkan sebagai “kesakitan” atau “sakit.” Akan tetapi, sebagai kebenaran mulia pertama, dukkha memiliki makna yang jauh lebih luas, merefleksikan visi filosofis komprehensif. Walaupun menggambarkan pewarnaan perasaannya dari hubungannya dengan kesakitan dan penderitaan, dan tentu saja termasuk hal-hal ini, namun juga menunjuk melampaui makna-makna terbatas demikian pada sifat tidak-memuaskan dari segala sesuatu yang terkondisi. Ketidak-memuaskannya atas apa yang terkondisi adalah karena ketidak-kekalan, kerentanannya pada penyakit, dan ketidak-mampuannya dalam memberikan kepuasan penuh dan bertahan lama.

Gagasan ketidak-kekalan (aniccatā) membentuk fondasi bagi ajaran Buddha, setelah menjadi pandangan terang awal yang memaksa Sang Bodhisatta meninggalkan istana dalam pencariannya pada jalan menuju pencerahan. Ketidak-kekalan, dalam pandangan Buddhis, terdiri dari keseluruhan kehidupan terkondisi, dari skala kosmis hingga mikroskopis. Di ujung spektrum, penglihatan Sang Buddha mengungkapkan alam semesta berdimensi luas yang berkembang dan hancur dalam siklus berulang di sepanjang waktu yang tanpa awal – “banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dunia dan pengembangan-dunia” (MN 4.27). Di tengah-tengah jangkauan tanda ketidak-kekalan terdapat manifestasi dari mortalitas kita yang tidak dapat dihindarkan, kondisi makhluk kita terikat pada penuaan, penyakit, dan kematian (MN 26.5), memiliki jasmani yang tunduk pada “menjadi usang dan hancur” (MN 74.9). Dan pada akhir spektrum tersebut, ajaran Buddha mengungkapkan ketidak-kekalan radikal yang dibuka hanya dengan pengamatan terus-menerus pada pengalaman dalam kehidupan: fakta bahwa semua unsur kehidupan kita, jasmani dan batin, berada dalam proses yang konstan, muncul dan lenyap dalam urutan cepat dari momen ke momen tanpa inti kekal yang mendasarinya. Dalam tindakan observasi unsur-unsur itu mengalami “kehancuran, kelenyapan, peluruhan, dan penghentian” (MN 74.11).

Karakteristik ketidak-kekalan yang menandai segala sesuatu yang terkondisi mengarah secara langsung pada pengenalan universalitas dukkha atau penderitaan. Sang Buddha menggaris-bawahi aspek dukkha yang meliputi segalanya ini ketika, dalam penjelasannya pada kebenaran mulia pertama, Beliau berkata, “singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan.” Kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (pañc’upādānakkhandhā) adalah skema pengelompokan yang dirancang oleh Sang Buddha untuk mendemonstrasikan sifat personalitas. Skema ini terdiri dari segala jenis keterkondisian yang mungkin, yang tersebar dalam lima kategori – bentuk materi, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan pikiran, dan kesadaran. Kelompok unsur bentuk materi (rūpa) termasuk jasmani fisik dengan organ-organ indrianya serta objek-objek materi eksternal. Kelompok unsur perasaan (vedanā) adalah unsur perasaan dalam pengalaman, apakah menyenangkan, menyakitkan, atau netral. Persepsi (saññā), kelompok unsur ke tiga, adalah faktor yang bertanggung jawab untuk mencatat kualitas-kualitas segala sesuatu dan juga merupakan pelaku dalam pengenalan dan ingatan. Kelompok unsur bentukan-bentukan (sankhārā) adalah sebuah istilah payung yang mencakup segala kehendak, emosi, dan aspek-aspek intelektual dari pikiran. Dan kesadaran (viññāṇa), kelompok unsur ke lima, adalah kesadaran dasar dari suatu objek yang sangat diperlukan bagi segala kognisi. Seperti yang ditunjukkan oleh Yang Mulia Sāriputta dalam analisis cerdasnya atas kebenaran mulia pertama, perwakilan dari seluruh lima kelompok unsur kehidupan hadir pada setiap kesempatan pengalaman, muncul sehubungan dengan masing-masing dari keenam organ indria dan objek-objeknya (MN 28.28).

Pernyataan Sang Buddha bahwa kelima kelompok unsur kehidupan adalah dukkha mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang sedang kita identifikasikan dan kita anggap sebagai landasan bagi kebahagiaan, jika dilihat dengan benar, adalah landasan bagi penderitaan. Bahkan ketika kita merasa diri kita sedang nyaman dan aman, ketidak-stabilan kelompok-kelompok unsur kehidupan itu sendiri adalah sumber tindasan dan mempertahankan kita terus-menerus diterpa oleh penderitaan dalam bentuk yang lebih mencolok. Keseluruhan situasi menjadi berlipat ganda lebih jauh lagi pada dimensi yang di luar jangkauan perhitungan ketika kita memperhitungkan pengungkapan Sang Buddha atas fakta kelahiran kembali. Semua makhluk yang ketidak-tahuan dan ketagihannya masih ada akan mengembara dalam lingkaran kelahiran berulang, saṁsāra, tidak kekal dan tunduk pada perubahan, tidak mampu memberikan keamanan yang bertahan lama. Kehidupan di alam manapun adalah tidak stabil, terhanyutkan, tanpa naungan dan pelindung, tidak memiliki apa-apa (MN 82.36).

Yang pasti terikat dengan ketidak-kekalan dan penderitaan adalah prinsip ke tiga yang melekat pada segala fenomena kehidupan. Yaitu karakteristik tanpa-diri (anattā), dan ketiga ini bersama-sama disebut tiga corak atau karakteristik (tilakkhaṇa). Sang Buddha mengajarkan, berlawanan dengan kepercayaan yang paling kita yakini, bahwa sosok individual kita – kelima kelompok unsur kehidupan – tidak dapat diidentifikasi sebagai diri, sebagai suatu identitas personal yang substansial dan bertahan lama. Gagasan diri hanyalah suatu kebenaran konvensional, sebagai cara singkat untuk menunjukkan suatu situasi campuran yang tanpa-substansi. Individu ini tidak menandakan suatu entitas abadi mutlak yang hidup di dalam sosok kita. Faktor-faktor jasmani dan batin adalah fenomena tidak kekal, terus-menerus muncul dan lenyap, berproses menciptakan penampakan diri melalui kelanjutan sebab-akibatnya dan fungsi yang saling bergantungan. Sang Buddha juga tidak menyatakan diri ada di luar kelima kelompok unsur kehidupan. Gagasan diri, yang diperlakukan sebagai suatu kemutlakan, Beliau menganggapnya sebagai suatu produk ketidak-tahuan, dan berbagai usaha untuk membenarkan gagasan ini dengan mengidentifikasikannya sebagai suatu aspek kepribadian Beliau gambarkan sebagai “kemelekatan pada doktrin diri.”

Dalam beberapa sutta dalam Majjhima Nikāya, Sang Buddha memberikan pernyataan tegas pada bantahanNya atas pandangan diri. Dalam MN 102 Beliau meninjau berbagai dalil tentang diri, menyatakannya semua sebagai “terkondisi dan kasar.” Dalam MN 2.8 enam pandangan diri disebut sebagai “rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan.” Dalam MN 11 Beliau membandingkan ajarannya pokok demi pokok dengan ajaran dari petapa dan brahmana lainnya dan menunjukkan bahwa di balik persamaannya, ajaran-ajaran itu akhirnya bercabang pada hanya satu titik penting – penolakan atas pandangan diri – yang meruntuhkan persamaan itu. MN 22 menjelaskan serangkaian argumen yang bertentangan dengan pandangan diri, yang memuncak pada pernyataan Sang Buddha bahwa Beliau tidak melihat doktrin diri manapun yang tidak mengarah pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dalam peta langkah-langkah menuju kebebasan dari Sang Buddha, pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi), penempatan diri sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan, dianggap sebagai belenggu pertama yang harus dipatahkan dengan munculnya “penglihatan Dhamma.”

Prinsip tanpa-diri ditunjukkan dalam sutta-sutta secara logis mengikuti kedua corak ketidak-kekalan dan penderitaan. Formula standard menyebutkan bahwa apa yang tidak kekal adalah kesakitan atau penderitaan, dan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan tidak dapat dianggap sebagai milikku, aku, atau diri (MN 22.26, MN 35.20, dan lain-lain). Kalimat-kalimat lain menggaris-bawahi hubungan antara ketiga karakteristik dari sudut-sudut berbeda. MN 28 menunjukkan bahwa ketika elemen fisik eksternal – tanah, air, api, dan udara – seluas apapun, secara berkala akan hancur dalam bencana kosmis, tidak ada pertimbangan bahwa jasmani yang sementara ini sebagai diri. MN 148 mendemonstrasikan melalui argument reductio ad absurdum (logika pembuktian melalui ketidak-mungkinan argumen sebaliknya, penj.) bahwa ketidak-kekalan menyiratkan tanpa-diri: ketika semua faktor-faktor dengan jelas tunduk pada kemunculan dan kelenyapan, mengidentifikasikannya sebagai diri berarti menerima tesis bahwa diri tunduk pada kemunculan dan kelenyapan. MN 35.19 menghubungkan karakteristik tanpa-diri dengan karakteristik dukkha melalui argumen bahwa karena kita tidak dapat menyuruh kelima kelompok unsur kehidupan menuruti keinginan kita, maka kelima kelompok unsur kehidupan itu tidak dapat dianggap sebagai milikku, aku, atau diri.

Yang ke dua dari Empat Kebenaran Mulia dikenal sebagai asal-mula atau penyebab penderitaan, yang diidentifikasikan oleh Sang Buddha sebagai ketagihan (taṇhā) dalam tiga aspek: ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, yaitu, pada kehidupan berkelanjutan, dan katagihan pada tanpa-penjelmaan, yaitu, pemusnahan personal. Kebenaran ke tiga menyatakan kebalikan dari kebenaran ke dua, bahwa dengan lenyapnya ketagihan, maka penderitaan yang berasal-mula dari sana juga lenyap tanpa sisa.

Penemuan Sang Buddha atas hubungan sebab-akibat antara ketagihan dan penderitaan memberikan alasan bagi percikan “pesimistis” yang nyata yang muncul dalam beberapa sutta dalam Majjhima Mikāya: dalam MN 13 dengan pembabarannya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, bentuk, dan perasaan; dalam MN 10 dan MN 119 dengan meditasi pekuburan; dalam MN 22, MN 54, dan MN 75 dengan perumpamaan yang mengguncang pada kenikmatan indria. Ajaran-ajaran demikian adalah bagian dari pendekatan taktis Sang Buddha untuk membimbing para siswaNya menuju kebebasan. Dari sifatnya sendiri ketagihan muncul dan tumbuh di mana saja ia menemukan sesuatu yang tampak menyenangkan dan indah. Ia berploriferasi melalui persepsi keliru – persepsi objek indria sebagai menyenangkan – dan dengan demikian untuk mematahkan cengkeraman ketagihan pada pikiran, nasihat saja sering kali tidak mencukupi. Sang Buddha harus membuat orang-orang melihat bahwa segala sesuatu yang mereka idamkan dan mereka kejar dengan penuh kekalutan sesungguhnya adalah penderitaan, dan Beliau melakukan ini dengan membeberkan bahaya yang tersembunyi di bawah kemanisan dan kemenarikan bentuk luarnya.

Walaupun kebenaran mulia ke dua dan ke tiga memiliki kebenaran psikologis segera, namun juga memiliki aspek yang lebih mendalam yang dijelaskan dalam sutta-sutta. Kedua kebenaran pertengahan seperti yang dinyatakan dalam formulasi umum Empat Kebenaran Mulia sesungguhnya adalah versi ringkas dari formulasi yang lebih panjang yang mengungkapkan asal-mula dan lenyapnya keterikatan dalam saṁsāra. Doktrin dalam versi yang lebih luas dari pembabaran kedua kebenaran ini disebut paṭicca samuppāda, kemunculan bergantungan. Dalam pernyataan yang paling lengkapnya doktrin ini menjelaskan asal-mula dan lenyapnya penderitaan dalam formula dua belas faktor yang saling berhubungan dalam sebelas dalil. Formulasi ini, yang ditetapkan secara sistematis, terdapat dalam MN 38.17 dalam urutan kemunculan dan dalam MN 38.20 dalam urutan kelenyapan. MN 115.11 memasukkan kedua urutan bersama-sama didahului oleh suatu pernyataan tentang prinsip umum kondisionalitas yang melandasi doktrin yang diterapkan itu. Sebuah versi yang lebih lengkap memberikan analisis faktorial pada masing-masing istilah dalam rangkaian tersebut diberikan dalam MN 9.21-66, dan sebuah versi yang memberikan contoh dalam perjalanan kehidupan seorang individu terdapat dalam MN 38.26-40. Versi ringkasnya terdapat dalam MN 1.171, MN 11.16, dan MN 75.24-25. Yang Mulia Sāriputta mengutip kata-kata Sang Buddha bahwa seorang yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma dan seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan (MN 28.28).

Menurut interpretasi biasa, rangkaian dua belas faktor merentang hingga tiga masa kehidupan dan dibagi dalam tahap sebab dan akibat. Karena ketidak-tahuan (avijjā) – didefinisikan sebagai ketiadaan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia – maka seseorang terlibat dalam perbuatan-perbuatan berkehendak atau kamma, yang dapat berupa jasmani, ucapan, atau pikiran, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Perbuatan-perbuatan kamma ini adalah bentukan-bentukan (sankhārā), dan matang dalam kondisi-kondisi kesadaran (viññāṇa) – pertama sebagai kesadaran kelahiran kembali pada momen konsepsi dan setelah itu sebagai kondisi kesadaran pasif yang dihasilkan dari kamma yang matang dalam perjalanan sepanjang kehidupan. Bersama dengan kesadaran di sana muncul batin-jasmani (nāmarupa), yaitu organisme psikofisikal, yang dilengkapi dengan enam landasan (saḷāyatana), kelima organ indria fisik dan pikiran sebagai indria dengan fungsi kognisi yang lebih tinggi. Melalui organ indria, kontak (phassa) terjadi antara kesadaran dan objeknya, dan kontak mengondisikan perasaan (vedanā). Mata rantai dari kesadaran hingga perasaan adalah produk kamma masa lampau, dari tahap sebab yang diwakili oleh ketidak-tahuan dan bentukan-bentukan. Dengan mata rantai berikutnya tahap aktif secara kamma dari kehidupan sekarang dimulai, menghasilkan penjelmaan baru di masa depan. Dengan dikondisikan oleh perasaan, maka ketagihan (taṇhā) muncul, ini adalah kebenaran mulia ke dua. Ketika ketagihan menguat, maka akan memunculkan kemelekatan (upādāna), yang dengannya sekali lagi seseorang akan terlibat dalam perbuatan-perbuatan berkehendak yang penuh dengan penjelmaan baru (bhava). Penjelmaan baru dimulai dari kelahiran (jāti), yang tak terhindarkan akan mengarah pada penuaan dan kematian (jarāmaraṇa).

Ajaran kemunculan bergantungan juga menunjukkan bagaimana lingkaran kehidupan dapat dipatahkan. Dengan munculnya pengetahuan sejati, penembusan sepenuhnya pada Empat Kebenaran Mulia, maka ketidak-tahuan dapat dilenyapkan. Akibatnya pikiran tidak lagi menuruti ketagihan dan kemelekatan, perbuatan kehilangan potensinya untuk menghasilkan kelahiran kembali, dan bahan bakarnya dihilangkan, lingkaran itu berakhir. Hal ini menandai tujuan ajaran yang disiratkan oleh kebenaran mulia ke tiga, yaitu lenyapnya penderitaan.

Keadaan yang muncul ketika ketidak-tahuan dan ketagihan telah dicabut disebut Nibbāna (Sanskrit, Nirvāṇa), dan tidak ada konsep dalam ajaran Buddha yang begitu kokoh pada konseptual seperti yang satu ini. Dalam cara yang sangat sulit dipahami, karena Nibbāna dijelaskan secara tepat sebagai “mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, … tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran” (MN 26.19). Namun dalam paragraf yang sama ini Sang Buddha juga mengatakan bahwa Nibbāna adalah untuk dialami oleh para bijaksana dan dalam sutta-sutta Beliau memberikan cukup banyak petunjuk atas ciri-cirinya untuk menyampaikan gagasan tentang apa yang menyebabkannya begitu diinginkan.

Kanon Pāli juga memberikan bukti yang cukup untuk mematahkan pendapat dari beberapa penerjemah bahwa Nibbāna hanyalah pemusnahan semata; bahkan pandangan yang lebih rumit bahwa Nibbāna adalah hancurnya kekotoran-kekotoran dan padamnya penjelmaan tidak dapat dipertahankan dalam penyelidikan. Mungkin suatu testimoni yang paling memaksa yang melawan pandangan itu adalah sebuah paragraf yang sangat terkenal dari Udāna yang menyatakan sehubungan dengan Nibbāna bahwa “ada yang tidak terlahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi,” yang karena keberadaannya memungkinkan “kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan, dan keterkondisian” (Ud 8:3/80). Majjhima Nikāya mencirikan Nibbāna dengan cara serupa. Yaitu, “Tidak terlahir, tidak menua, tidak sakit, tanpa kematian, tanpa dukacita, keamanan tertinggi yang murni dari keterikatan,” yang dicapai oleh Sang Buddha pada malam pencerahanNya (MN 26.18). Realitas unggulnya ditegaskan oleh Sang Buddha ketika Beliau menyebut Nibbāna sebagai landasan tertinggi kebenaran, yang bersifat tidak menipu (MN 140.26). Nibbāna tidak dapat dilihat oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian, tetapi dapat dilihat dengan munculnya penglihatan spiritual, dan dengan memusatkan pikiran pada Nibbāna dalam kedalaman meditasi, sang siswa dapat mencapai hancurnya noda-noda (MN 26.19, MN 75.24, MN 64.9).

Sang Buddha tidak memberikan banyak kata pada definisi filosofis tentang Nibbāna. Satu alasan adalah bahwa Nibbāna, karena tidak terkondisi, transenden, dan lokuttara, memang tidak mudah didefinisikan secara konsep yang tak dapat dihindari terikat pada apa yang terkondisi, nyata, dan lokiya. Alasan lain adalah bahwa tujuan Sang Buddha adalah tujuan praktis menuntun makhluk-makhluk menuju kebebasan dari penderitaan, dan dengan demikian pendekatan utamaNya pada karakterisasi Nibbāna adalah untuk memberikan semangat untuk mencapainya dan untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya. Untuk menunjukkan Nibbāna sebagai sesuatu yang diinginkan, sebagai tujuan dari pengerahan usaha, Beliau menggambarkannya sebagai kebahagiaan tertinggi, sebagai keadaan tertinggi dari kedamaian luhur, sebagai tanpa penuaan, tanpa kematian, dan tanpa dukacita, sebagai keamanan tertinggi dari keterikatan. Untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai Nibbāna, untuk menunjukkan bahwa tujuan itu menyiratkan suatu tugas yang pasti, Beliau menggambarkannya sebagai ditenangkannya segala bentukan, dilepaskannya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan (MN 26.19). Di atas segalanya, Nibbāna adalah lenyapnya penderitaan, dan bagi mereka yang mencari akhir penderitaan maka sebutan demikian sudah cukup untuk memberi isyarat kepada mereka untuk mengarah pada sang jalan.

Kebenaran mulia ke empat melengkapi pola yang dimulai oleh ketiga kebenaran pertama dengan mengungkapkan cara untuk melenyapkan ketagihan dan selanjutnya mengakhiri penderitaan. Kebenaran ini mengajarkan “Jalan Tengah” yang ditemukan oleh Sang Buddha, Jalan Mulia Berunsur Delapan:

  1. Pandangan Benar (sammā diṭṭhi)
  2. Kehendak Benar (sammā sankappa)
  3. Ucapan Benar (sammā vācā)
  4. Perbuatan Benar (sammā kammanta)
  5. Penghidupan Benar (sammā ājiva)
  6. Usaha Benar (sammā vāyāma)
  7. Perhatian Benar (sammā sati)
  8. Konsentrasi Benar (sammā samādhi)

Disebutkan berulang kali di sepanjang Majjhima Nikāya, Jalan Mulia Berunsur Delapan dijelaskan secara terperinci dalam dua sutta lengkap. MN 141 memberikan analisis faktorial dari delapan komponen sang jalan menggunakan definisi yang menjadi standard Kanon Pāli; MN 117 menjelaskan sang jalan dari sudut berbeda di bawah rubrik “konsentrasi benar yang mulia dengan pendukung dan prasyaratnya.” Sang Buddha di sana membuat perbedaan penting antara tahap-tahap lokiya dan lokuttara dari sang jalan, mendefinisikan kelima faktor pertama pada kedua tahap, dan menunjukkan bagaimana faktor-faktor sang jalan bersama-sama dalam tugas bersama memberikan jalan keluar dari penderitaan. Sutta-sutta lain mengeksplorasi secara lebih terperinci masing-masing komponen sang jalan. Demikianlah MN 9 memberikan penjelasan mendalam tentang pandangan benar, MN 10 tentang perhatian benar, MN 19 tentang kehendak benar. MN 44.11 menjelaskan bahwa delapan faktor tersebut dapat digolongkan dalam tiga “kelompok” latihan. Ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar membentuk kelompok moralitas atau disiplin moral (sīla); usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar membentuk kelompok konsentrasi (samādhi); dan pandangan benar dan kehendak benar membentuk kelompok pemahaman atau kebijaksanaan (paññā). Ketiga urutan ini pada gilirannya berfungsi sebagai kerangka dasar bagi latihan bertahap yang akan dibahas di bawah.

Dalam Kanon Pāli praktik yang mengarah pada Nibbāna sering kali dijelaskan dalam suatu kelompok yang lebih rumit yang terdiri dari tujuh kelompok faktor yang saling bersilangan. Tradisi belakangan menyebutnya tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā), tetapi Sang Buddha sendiri menyebutnya tanpa nama kolektif sebagai “hal-hal yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung” (MN 103.3, MN 104.5). Menjelang akhir hidupnya Beliau menekankan kepada Sangha bahwa lamanya ajaranNya di dunia ini bergantung pada pelestarian yang tepat atas faktor-faktor ini dan dipraktikkan oleh para pengikutNya dalam kerukunan, bebas dari pertikaian.

Unsur-unsur dari kelompok ini adalah sebagai berikut:

  1. Empat landasan perhatian (satipaṭṭhāna)
  2. Empat jenis pengerahan benar (sammappadhāna)
  3. Empat landasan kekuatan batin (iddhipāda)
  4. Lima indria (indriya)
  5. Lima kekuatan (bala)
  6. Tujuh faktor pencerahan (bojjhanga)
  7. Jalan Mulia Berunsur Delapan (ariya aṭṭhangika magga)

Masing-masing kelompok didefinisikan secara lengkap dalam MN 77.15-21. Seperti yang ditunjukkan dalam pemeriksaan, sebagian besar dari kelompok-kelompok ini hanyalah sub-bagian atau pengaturan ulang dari faktor-faktor jalan berunsur delapan yang dibuat untuk menekankan aspek-aspek praktik yang berbeda. Demikianlah, misalnya, empat landasan perhatian adalah suatu penjelasan atas perhatian benar; empat jenis pengerahan benar adalah penjelasan dari usaha benar. Oleh karena itu pengembangan kelompok-kelompok ini adalah bersifat integral dan bukan berurutan. MN 118, misalnya, menunjukkan bagaimana praktik empat landasan perhatian memenuhi pengembangan ketujuh faktor pencerahan, dan MN 149.10 menyatakan bahwa seorang yang menekuni meditasi pandangan terang pada indria-indria akan mematangkan seluruh tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan.

Analisis faktorial atas ketiga-puluh-tujuh bantuan menuju pencerahan menerangi pentingnya empat faktor di antaranya – kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dari sini suatu gambaran praktik inti dapat digambarkan. Seseorang memulai dari suatu pemahaman konseptual atas Dhamma dan suatu kehendak untuk mencapai tujuan, dua faktor pertama dari sang jalan. Kemudian, dari keyakinan, ia menerima disiplin moral dan mengatur ucapan, perbuatan, dan penghidupan. Dengan moralitas sebagai landasan ia dengan penuh kegigihan mengerahkan pikirannya untuk melatih empat landasan perhatian. Ketika perhatian matang maka konsentrasi menjadi semakin dalam, dan pikiran yang terkonsentrasi, melalui penyelidikan, sampai pada kebijaksanaan, suatu pemahaman yang menembus pada prinsip-prinsip yang pada awalnya hanya dipahami secara konseptual.

Dalam Majjhima Nikāya Sang Buddha sering membabarkan praktik sang jalan sebagai suatu latihan bertahap (anupubbasikkhā), yang mengungkapkan tahap-tahapan dari langkah pertama hingga tujuan akhir. Latihan bertahap ini adalah pembagian yang lebih halus dari ketiga pembagian sang jalan ke dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Tanpa kecuali dalam sutta-sutta urutan latihan bertahap ditunjukkan dengan meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah dan menjalani gaya hidup seorang bhikkhu. Hal ini segera mengalihkan perhatian pada pentingnya kehidupan monastik dalam Pengajaran Buddha. Secara prinsip keseluruhan praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan terbuka bagi semua orang dari segala gaya hidup, monastik atau awam, dan Sang Buddha menegaskan bahwa banyak para pengikut awamnya telah sempurna dalam Dhamma dan telah mencapai tiga tingkat pertama dari empat tingkat lokuttara (MN 68.18-23; MN 73.9-22; posisi Theravāda adalah bahwa umat awam juga dapat mencapai tingkat ke empat, Kearahantaan, tetapi setelah mencapainya mereka segera meninggalkan keduniawian atau meninggal dunia). Akan tetapi, faktanya adalah bahwa kehidupan rumah tangga tidak dapat dihindarkan cenderung merintangi pencarian yang sungguh-sungguh pada kebebasan karena mengurus banyak urusan duniawi dan kemelekatan personal. Karena itu Sang Buddha sendiri meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah sebagai langkah awal dalam pencarian muliaNya sendiri, dan setelah pencerahanNya Beliau mendirikan Sangha, kumpulan para bhikkhu dan bhikkhunī, sebagai wadah bagi mereka yang sepenuhnya ingin menekuni praktik ajaranNya tanpa dibelokkan oleh kesibukan kehidupan rumah tangga.

Paradigma utama bagi latihan bertahap yang terdapat dalam Majjhima Nikāya adalah yang ditetapkan dalam MN 27 dan MN 51; versi alternatif terdapat pada MN 38, MN 39, MN 53, MN 107, dan MN 125, dan beberapa variasi yang lebih penting akan disebutkan secara singkat. Urutannya dibuka dengan munculnya seorang Tathāgata di dunia dan pembabaran Dhamma, yang dengan mendengarkannya sang siswa memperoleh keyakinan dan mengikuti Sang Guru menuju kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian, ia menerima dan menjalani aturan-aturan disiplin yang memajukan pemurnian perilaku dan penghidupan. Ketiga langkah berikutnya – kepuasan, pengendalian organ indria, dan perhatian dan kewaspadaan penuh – dimaksudkan untuk menginternalisasi proses pemurnian dan dengannya menjembatani transisi dari moralitas menuju konsentrasi. Versi aternatif (MN 39, MN 53, MN 107, MN 125) menyisipkan dua langkah tambahan di sini, makan secukupnya dan menekuni keawasan.

Latihan langsung dalam konsentrasi tampak menonjol dalam bagian ditinggalkannya kelima rintangan. Kelima rintangan – keinginan indria, permusuhan, kelambanan dan ketumpulan, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan – adalah rintangan utama pada pengembangan meditatif dan oleh karena itu pelenyapannya adalah penting bagi pikiran agar ditenangkan dan dipusatkan. Dalam urutan latihan bertahap penanggulangan rintangan-rintangan diperlakukan secara skematis; bagian-bagian lain dari Kanon memberikan instruksi yang lebih praktis, yang lebih diperkuat lagi dalam komentar. Paragraf tentang rintangan-rintangan diperindah dalam MN 39 dengan serangkaian perumpamaan yang mengilustrasikan perlawanan antara keterikatan oleh rintangan-rintangan dan kegembiraan dari kebebasan yang diperoleh ketika rintangan-rintangan itu ditinggalkan.

Tahap berikutnya dalam urutan itu menjelaskan pencapaian jhāna-jhāna, keadaan konsentrasi yang mendalam di mana pikiran menjadi sepenuhnya terserap dalam objeknya. Sang Buddha menjelaskan empat jhāna, yang dinamai dari posisi numeriknya dalam rangkaian itu, masing-masingnya lebih halus dan lebih tinggi daripada pendahulunya. Jhāna-jhāna selalu dijelaskan dengan formula yang sama, yang dalam beberapa sutta (MN 39, MN 77, MN 119) diperkuat dengan perumpamaan-perumpamaan yang sangat indah. Walaupun dalam tradisi Theravāda jhāna-jhāna tidak dianggap sebagai suatu keharusan untuk mencapai pencerahan, namun Sang Buddha tanpa kecuali memasukkannya dalam latihan bertahap lengkap karena kontribusinya pada kesempurnaan intrinsik sang jalan dan karena konsentrasi mendalam yang dihasilkan memberikan landasan kuat bagi pengembangan pandangan terang. Bahkan ketika masih lokiya jhāna-jhāna adalah “jejak kaki Sang Tathāgata” (MN 27.19-22) dan pertanda bagi kebahagiaan Nibbāna yang terletak di akhir latihan.

Dari jhāna ke empat tiga jalur alternative bagi pengembangan selanjutnya menjadi mungkin. Dalam sejumlah paragraf di luar urutan latihan bertahap (MN 8, MN 25, MN 26, MN 66, dan sebagainya) Sang Buddha menyebutkan empat keadaan meditatif yang melanjutkan keterpusatan yang ditegakkan oleh jhāṅa. Keadaan-keadaan ini, yang digambarkan sebagai “kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi,” adalah, seperti halnya jhāna, juga lokiya. Dibedakan dari jhāna-jhāna karena melampaui gambaran pikiran halus yang membentuk objek dalam jhāna, keadaan-keadaan ini dinamai menurut objek luhurnya sendiri: landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dalam komentar-komentar Pāli keadaan-keadaan ini disebut jhāna-jhāna tanpa materi atau tanpa bentuk (arūpajjhāna).

Jalur pengembangan ke dua yang diungkapkan oleh sutta-sutta adalah perolehan pengetahuan supernormal. Sang Buddha sering menyebutkan enam jenis sebagai satu kelompok, yang kemudian disebut enam jenis pengetahuan langsung (chaḷabhiññā; sebutan ini tidak muncul dalam Majjhima). Yang terakhir dari ini, yaitu pengetahuan hancurnya noda-noda, adalah lokuttara dan dengan demikian menjadi bagian dari jalur pengembangan ke tiga. Tetapi lima lainnya semuanya adalah lokiya, produk dari konsentrasi pikiran tingkat tinggi yang luar biasa yang dicapai dalam jhāna ke empat: kekuatan-kekuatan supernormal, telinga dewa, kemampuan membaca pikiran orang lain, mengingat kehidupan lampau, dan mata dewa (MN 6, MN 73, MN 77, MN 108).

Jhāna-jhāna dan jenis-jenis pengetahuan langsung lokiya secara sendiri-sendiri tidak menghasilkan pencerahan dan kebebasan. Seluhur dan sedamai apapun pencapaian-pencapaian ini, hanya dapat menekan kekotoran-kekotoran yang mempertahankan kelangsungan kelahiran kembali tetapi tidak dapat melenyapkannya. Untuk mencabut kekotoran-kekotoran pada tingkat yang paling mendasar, dan dengannya mencapai buah pencerahan dan kebebasan, proses meditatif harus diarahkan pada jalur pengembangan ke tiga, pengembangan yang tidak harus mensyaratkan dua pengembangan sebelumnya. Ini adalah perenungan “segala sesuatu sebagaimana adanya,” yang menghasilkan pandangan terang yang lebih dalam ke pada sifat kehidupan dan memuncak dalam tujuan akhir, pencapaian Kearahantaan.

Jalur pengembangan ini adalah apa yang Sang Buddha ikuti dalam urutan latihan bertahap, walaupun Beliau mendahuluinya dengan penjelasan atas dua pengetahuan langsung, yaitu pengingatan kehidupan lampau dan mata dewa. Ketiganya bersama-sama, yang digambarkan dengan sangat menonjol dalam pencerahan Sang Buddha sendiri (MN 4.27-30), secara kolektif disebut tiga pengetahuan sejati (tevijjā). Walaupun dua yang pertama tidak penting bagi realisasi Kearahantaan, namun kita dapat beranggapan bahwa Sang Buddha memasukkannya di sini karena pengetahuan-pengetahuan itu mengungkapkan dimensi yang luas dan mendalam atas penderitaan dalam saṁsāra dan karenanya mempersiapkan pikiran untuk penembusan Empat Kebenaran Mulia, yang mana penderitaan itu didiagnosa dan diatasi.

Proses perenungan yang dengannya meditator mengembangkan pandangan terang tidak secara eksplisit ditunjukkan demikian dalam urutan latihan bertahap. Hanya disiratkan dengan memperlihatkan buah akhirnya, di sini disebut pengetahuan hancurnya noda-noda. Āsava atau noda-noda adalah pengelompokan kekotoran-kekotoran yang dianggap berperan dalam mempertahankan lingkaran saṁsāra. Komentar-komentar menurunkan kata ini dari akar kata su yang bermakna “mengalir.” Para terpelajar membedakannya sehubungan dengan apakah aliran ini yang disiratkan oleh awalan ā adalah ke dalam atau ke luar; karena itu beberapa orang menerjemahkannya sebagai “aliran masuk,” dan yang lainnya sebagai “aliran keluar.” Kalimat umum dalam sutta-sutta menunjukkan pentingnya kata ini tidak bergantung pada etimologi ketika menjelaskan āsava sebagai kondisi-kondisi “yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah pada kelahiran, penuaan, dan kematian” (MN 36.47, dan sebagainya). Demikianlah para penerjemah lainnya, dengan mengabaikan makna literalnya, telah menerjemahkannya sebagai “borok,” “pembusukan,” atau “noda-noda,” yang terakhir adalah pilihan YM. Ñāṇamoli. Ketiga noda yang disebutkan dalam sutta-sutta sebenarnya adalah bersinonim dengan ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, dan ketidak-tahuan yang muncul pada awal formula kemunculan bergantungan. Ketika pikiran sang siswa telah terbebaskan dari noda-noda dengan selesainya jalan Kearahantaan, ia meninjau kembali kebebasan yang baru saja ia menangkan dan mengaumkan auman singanya: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi kembali pada kondisi makhluk apapun.”

Metode meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam Kanon Pāli jatuh dalam dua sistem besar. Satu adalah pengembangan ketenangan (samatha), yang bertujuan pada konsentrasi (samādhi); yang lainnya adalah pengembangan pandangan terang (vipassanā), yang bertujuan pada pemahaman atau kebijaksanaan (paññā). Dalam sistem latihan pikiran dari Sang Buddha peran ketenangan berada di bawah pandangan terang karena pandangan terang adalah instrumen penting yang diperlukan untuk mencabut ketidak-tahuan dari dasar keterikatan saṁsāra. Pencapaian itu menjadi mungkin melalui meditasi ketenangan yang dikenal oleh para petapa India jauh sebelum munculnya Sang Buddha. Sang Buddha sendiri menguasai dua tingkat tertinggi di bawah guru-guru awalNya tetapi menemukan bahwa, pencapaian-pencapaian itu hanya mengarah pada kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi, bukan pada pencerahan yang sebenarnya (MN 26.15-16). Akan tetapi, karena keterpusatan pikiran yang dihasilkan oleh praktik konsentrasi berperan bagi pemahaman jernih, maka Sang Buddha memasukkan teknik meditasi ketenangan dan tingkat-tingkat penyerapan yang dihasilkan ke dalam sistemNya sendiri, memperlakukannya sebagai suatu landasan dan persiapan bagi pandangan terang dan sebagai suatu “kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini.”

Pencapaian-pencapaian yang dicapai melalui praktik meditasi ketenangan adalah, seperti disebutkan sebelumnya, delapan penyerapan – empat jhāna dan empat keadaan tanpa materi – masing-masingnya berfungsi sebagai landasan bagi yang berikutnya. Anehnya, sutta-sutta tidak secara eksplisit merumuskan subjek meditasi spesifik sebagai alat untuk mencapai jhāna-jhāna, tetapi literatur komentar seperti Visuddhimagga memungkinkan kita menemukan hubungannya. Di antara topik-topik meditasi yang dijelaskan dalam sutta-sutta, delapan dari sepuluh kasiṇa (MN 77.24) diketahui sebagai yang sesuai untuk mencapai seluruh empat jhāna, dua yang terakhir masing-masing menjadi pendukung bagi dua pencapaian pertama tanpa materi. Delapan landasan transenden tampaknya adalah perlakuan meditasi yang lebih halus pada kasiṇa warna, sebagai yang tiga pertama dari delapan kebebasan (MN 77.22-23). Perhatian pada pernafasan, yang mana Sang Buddha menjelaskan dalam keseluruhan satu sutta (MN 118), memberikan suatu subjek meditasi yang selalu tersedia yang dapat digunakan untuk mencapai seluruh empat jhāna dan juga digunakan untuk mengembangkan pandangan terang. Metode lain untuk mencapai jhāna-jhāna yang disebutkan dalam sutta-sutta adalah empat kediaman brahma (brahmavihāra) – cinta kasih tanpa batas, belas kasih tanpa batas, kegembiraan altruistik tanpa batas (yaitu kegembiraan atas keberhasilan orang lain), dan keseimbangan tanpa batas (MN 7, MN 40, dan sebagainya). Tradisi berpendapat bahwa tiga yang pertama mampu mengarah pada tiga jhāna yang lebih rendah, yang terakhir mengarah pada jhāna ke empat. Pencapaian-pencapaian tanpa materi dicapai dengan memusatkan pikiran pada objek spesifik dari masing-masing pencapaian – ruang tanpa batas, kesadaran tanpa batas, kekosongan, dan keadaan yang hanya dapat dijelaskan sebagai bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

Sementara dalam meditasi ketenangan si meditator berusaha untuk fokus pada satu objek tunggal yang dirangkum dari pengalaman aktual, dalam meditasi pandangan terang usaha harus dilakukan untuk merenungkan, dari posisi observasi yang terlepas, arus pengalaman yang senantiasa berubah untuk menembus sifat sesungguhnya dari fenomena jasmani dan batin. Sang Buddha mengajarkan bahwa ketagihan dan kemelekatan yang mengikat kita pada keterikatan dipelihara oleh sebuah jaringan “penganggapan” (maññita) – pandangan terdelusi, keangkuhan, dan anggapan yang dibentuk oleh suatu proses internal dari komentar pikiran atau “proliferasi” (papañca) dan kemudian ke luar ke dunia, menganggapnya memiliki kebenaran objektif. Tugas meditasi pandangan terang adalah untuk memutuskan kemelekatan kita dengan memungkinkan kita menembus jaring konseptual ini untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.

Untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya berarti melihatnya dalam ketiga karakteristik – sebagai tidak kekal, sebagai menyakitkan atau penderitaan, dan sebagai tanpa-diri. Karena ketiga karakteristik ini berhubungan erat, masing-masingnya dapat digunakan sebagai pintu gerbang utama untuk memasuki wilayah pandangan terang, tetapi pendekatan yang diajarkan oleh Sang Buddha biasanya adalah menunjukkan ketiganya sekaligus – ketidak-kekalan menyiratkan penderitaan dan keduanya bersama-sama menyiratkan ketiadaan diri. Ketika sang siswa mulia melihat seluruh faktor-faktor itu ditandai dengan ketiga corak ini, maka ia tidak lagi mengidentifikasikan sebagai itu, tidak lagi menganggapnya sebagai milikku, aku, atau diri. Dengan melihat demikian, ia menjadi kecewa dengan segala bentukan. Ketika ia menjadi kecewa, maka nafsu dan kemelekatannya memudar dan pikirannya terbebaskan dari noda-noda.

Instruksi untuk pengembangan pandangan terang dalam Majjhima Nikāya, walaupun ringkas, namun banyak dan beraneka-ragam. Ajaran tunggal yang paling penting tentang praktik yang mengarah pada pandangan terang adalah Satipaṭṭhāna Sutta (MN 10; yang juga terdapat dalam Digha Nikāya yang diperkuat dengan bagian tentang Empat Kebenaran Mulia). Sutta ini membabarkan suatu sistem komprehensif yang disebut satipaṭṭhāna yang dirancang untuk melatih pikiran untuk melihat dengan presisi mikroskopis pada sifat jasmani, perasaan, kondisi pikiran, dan objek-objek pikiran. Sistem ini kadang-kadang dianggap sebagai paradigma praktik “pandangan terang murni” – perenungan langsung pada fenomena batin dan jasmani tanpa dilandasi oleh jhāna sebelumnya – dan, sementara beberapa latihan yang dijelaskan dalam sutta juga dapat mengarah pada jhāna-jhāna, namun maksud dari metode ini jelas adalah pembangkitan pandangan terang.

Sutta-sutta lain dalam Majjhima Nikāya menjelaskan pendekatan-pendekatan untuk mengembangkan pandangan terang yang menjelaskan perenungan-perenungan satipaṭṭhāna atau sampai di sana dari titik awal yang berbeda. Demikianlah MN 118 menunjukkan bagaimana praktik perhatian pada pernafasan memenuhi seluruh empat landasan perhatian, bukan hanya yang pertama saja seperti yang ditunjukkan dalam MN 10. Beberapa sutta – MN 28, MN 62, MN 140 – menyajikan instruksi-instruksi yang lebih terperinci tentang perenungan elemen-elemen. MN 37, MN 74, dan MN 140 berisikan kalimat-kalimat mencerahkan tentang perenungan perasaan. Dalam beberapa sutta Sang Buddha menggunakan kelima kelompok unsur kehidupan sebagai kerangka dasar bagi perenungan pandangan terang (misalnya, MN 22, MN 109); dalam beberapa sutta lain menggunakan enam landasan indria (misalnya, MN 137, MN 148, MN 149); dalam beberapa sutta lain, keduanya digabungkan (MN 147). MN 112 memiliki bagian yang membahas pandangan terang yang berdasarkan pada kelima kelompok unsur kehidupan, enam elemen, dan enam landasan indria, dan apa yang dihasilkan dari latihan bertahap. MN 52 dan MN 64 menunjukkan bahwa pandangan terang juga dapat dibangkitkan dengan jhāna-jhāna, pencapaian-pencapaian tanpa materi, dan kediaman brahma sebagai objek-objeknya: sang siswa memasuki salah satu dari keadaan-keadaan ini dan merenungkan faktor-faktornya sebagai tunduk pada ketiga karakteristik.

Beberapa urutan keadaan meditatif yang disebutkan dalam Majjhima memuncak dalam pencapaian yang disebut lenyapnya persepsi dan perasaan (saññāvedayitanirodha). Walaupun keadaan ini selalu mengikuti pencapaian tanpa materi terakhir, namun ini bukanlah, seperti yang dianggap, sekedar satu tingkat lebih tinggi dalam skala konsentrasi. Sebenarnya, pencapaian lenyapnya ini tidak berhubungan dengan ketenangan ataupun pandangan terang. Ini adalah suatu keadaan yang dicapai melalui kekuatan gabungan ketenangan dan pandangan terang di mana semua proses batin berhenti secara sementara. Pencapaian ini dikatakan hanya dicapai oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant yang juga telah menguasai jhāna-jhāna dan keadaan-keadaan tanpa materi. Pembahasan kanonis terperinci tentang pencapaian ini terdapat dalam MN 43 dan MN 44.

Praktik jalan Buddhis berkembang dalam dua tahap berbeda, tahap lokiya (duniawi) atau persiapan dan tahap lokuttara (adi-duniawi) atau kesempurnaan. Jalan lokiya dikembangkan ketika siswa menjalani latihan bertahap dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Hal ini mencapai puncaknya dalam praktik meditasi pandangan terang, yang memperdalam pengalaman langsung pada ketiga karakteristik kehidupan. Ketika indria-indria si praktisi telah sampai pada tingkat kematangan yang mencukupi, maka jalan lokiya memunculkan jalan lokuttara, disebut demikian karena mengarah secara langsung dan tanpa gagal keluar dari (uttara) dunia (loka) yang terdiri dari tiga alam kehidupan menuju pencapaian “elemen tanpa-kematian,” Nibbāna.

Kemajuan sepanjang jalan lokuttara ditandai oleh empat penembusan, yang masing-masingnya mengantarkan sang siswa melewati dua tahap di bawahnya yang disebut jalan (magga) dan buahnya (phala). Tahap jalan memiliki fungsi khusus untuk melenyapkan sejumlah tertentu kekotoran yang secara langsung berlawanan, rintangan batin yang menahan kita dalam keterikatan lingkaran kelahiran kembali. Ketika pekerjaan sang jalan telah selesai, sang siswa merealisasikan buah yang bersesuaian, tingkat kebebasan yang dapat dijangkau oleh jalan tersebut. Formula kanonis pujian kepada Sangha merujuk secara lurus pada empat bidang kebebasan ini – masing-masing dengan tahap jalan dan buah – ketika memuji komunitas para siswa mulia Sang Bhagavā sebagai terdiri dari “empat pasang makhluk, delapan jenis individu” (MN 7.7). Keempat pasang ini diperoleh dengan menghitung, pada masing-masing tingkat, seorang yang telah memasuki jalan untuk merealisasi buah dan seorang yang telah mencapai buah.

Dalam sutta-sutta Sang Buddha menggaris-bawahi karakteristik spesifik dari tiap-tiap tahap lokuttara dalam dua cara: dengan menyebutkan kekotoran-kekotoran yang ditinggalkan pada tiap-tiap bidang dan akibat dari pencapaian itu dalam hal proses kelahiran kembali (baca, misalnya, MN 6.11-13, 19; MN 22.42-45, dan sebagainya). Beliau merumuskan pelenyapan kekotoran-kekotoran ini dengan pengelompokan dalam sepuluh kelompok yang disebut sepuluh belenggu (saṁyojana). Sang siswa memasuki jalan lokuttara pertama apakah sebagai seorang pengikut-Dhamma (dhammānusārin) atau sebagai seorang pengikut-keyakinan (saddhānusārin); yang pertama adalah seorang yang padanya kebijaksanaan adalah indria yang menonjol, yang ke dua adalah seorang yang maju dengan didorong oleh keyakinan. Jalan ini, jalan memasuki-arus, memiliki tugas melenyapkan tiga belenggu yang paling kasar: pandangan identitas, yaitu, pandangan diri di antara kelima kelompok unsur kehidupan; keragu-raguan pada Buddha dan ajaranNya; dan ketaatan pada ritual dan upacara eksternal, apakah ritualistik atau pertapaan, dengan kepercayaan bahwa ritual dan upacara tersebut dapat membawa pemurnian. Ketika sang siswa merealisasi buah dari jalan ini maka ia menjadi seorang pemasuk-arus (sotāpanna), yang telah memasuki “arus” Jalan Mulia Berunsur Delapan yang akan membawanya tanpa berbalik menuju Nibbāna. Pemasuk-arus pasti mencapai kebebasan akhir dalam maksimum tujuh kali kelahiran lagi, yang semuanya terjadi baik di alam manusia maupun di alam surga.

Jalan lokuttara ke dua melemahkan akar kekotoran-kekotoran nafsu, kebencian, dan delusi hingga tingkat yang lebih jauh lagi, walaupun belum melenyapkannya. Ketika merealisasi buah dari jalan ini sang siswa menjadi seorang yang-kembali-sekali (sakadāgāmin), yang masih harus kembali ke alam ini (yaitu, alam indria) hanya satu kali lagi dan kemudian mengakhiri penderitaan. Jalan ke tiga melenyapkan dua belenggu berikutnya, yaitu keinginan indria dan permusuhan; jalan ini menghasilkan buah yang-tidak-kembali (anāgāmin), yang akan muncul melalui kelahiran spontan di salah satu alam surga khusus yang disebut Alam Murni, dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

Jalan lokuttara ke empat dan terakhir adalah jalan Kearahantaan. Jalan ini melenyapkan lima belenggu yang lebih tinggi: keinginan pada kelahiran kembali di alam bermateri halus dan di alam tanpa materi, keangkuhan, kegelisahan, dan ketidak-tahuan. Dengan merealisasi buah dari jalan ini sang praktisi menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan sepenuhnya, yang “di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” Arahant akan dibahas lebih jauh lagi pada bagian berikutnya.

Komentar-komentar (sering kali dirujuk dalam catatan pada terjemahan ini) mengembangkan suatu interpretasi jalan dan buah berdasarkan pada sistematika ajaran Buddha yang dikenal sebagai Abhidhamma. Dengan mengambil gambaran dari Abhidhamma tentang pikiran sebagai suatu rangkaian tindakan kesadaran momen demi momen yang nyata, yang disebut citta, komentar memahami masing-masing jalan lokuttara sebagai suatu peristiwa kesadaran tunggal yang muncul pada puncak serangkaian pandangan terang ke dalam Dhamma. Masing-masing dari empat citta dari jalan momen demi momen melenyapkan kelompok kekotorannya masing-masing, yang segera diikuti oleh buahnya, yang terdiri dari serangkaian citta momen demi momen yang menikmati kebahagiaan Nibbāna yang dimungkinkan melalui penembusan sang jalan. Walaupun konsep jalan dan buah ini sering digunakan oleh para komentator sebagai suatu alat untuk menginterpretasikan sutta-sutta, namun tidak diformulasikan secara eksplisit demikian dalam Nikāya-nikāya tua dan sering kali bahkan tampak ada perbedaan antara keduanya (misalnya, dalam paragraf pada MN 142.5 yang menjelaskan keempat individu yang berada pada sang jalan sebagai penerima persembahan yang berbeda).

Sosok ideal dari Majjhima Nikāya, seperti halnya Kanon Pali secara keseluruhan, adalah Arahant. Kata “Arahant” itu sendirinya diturunkan dari akar kata yang bermakna “menjadi mulia.” YM. Ñāṇamoli menerjemahkannya “sempurna” dan “Yang Sempurna” ketika digunakan sebagai gelar pada Sang Buddha, mungkin agar konsisten dengan praktik penerjemahan semua gelar Sang Buddha. Dalam teks lainnya ia membiarkannya tidak diterjemahkan. Kata ini tampaknya telah beredar sejak masa sebelum Buddhis tetapi diambil-alih oleh Sang Buddha untuk menyebutkan individu yang telah mencapai buah akhir dari sang jalan.

Sutta-sutta menggunakan penjelasan umum Arahant yang dirangkum dari kesempurnaannya: ia adalah “seorang dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir” (MN 1.51, dan sebagainya). Variasi penjelasan lainnya menekankan aspek-aspek berbeda dari pencapaian Arahant. Demikianlah satu sutta memberikan serangkaian gelar metafora yang Sang Buddha sendiri mengartikannya sebagai merepresentasikan Arahant, yaitu ditinggalkannya ketidak-tahuan, ketagihan, dan keangkuhan, dilenyapkannya belenggu-belenggu, dan kebebasannya dari lingkaran kelahiran (MN 22.30-35). Di tempat lain Sang Buddha memberikan sekumpulan gelar lainnya kepada Arahant – beberapa dari istilah brahmanis – menurunkan istilah-istilah ini dengan etimologi imaginatif dari pelenyapan segala kondisi tidak bermanfaat oleh Sang Arahant (MN 39.22-29).

Majjhima mencatat perbedaan jenis di antara para Arahant, yang dilihat dari keberagaman indria-indria mereka. Dalam MN 70 Sang Buddha memperkenalkan perbedaan mendasar antara para Arahant yang “terbebaskan-dalam-kedua-cara” dan mereka yang “terbebaskan-melalui-kebijaksanaan”: sementara yang pertama mampu berdiam dalam pencapaian-pencapaian tanpa materi, yang ke dua tidak memiliki kemampuan tersebut. Para Arahant lebih jauh lagi dibedakan menurut apa yang mereka miliki, selain dari pengetahuan hancurnya noda-noda dan seluruh enam pengetahuan langsung. Dalam MN 108 Yang Mulia Ānanda menyatakan bahwa para Arahant itu yang memiliki enam pengetahuan langsung adalah layak menerima penghormatan istimewa dan memiliki otoritas dalam Sangha setelah Sang Buddha wafat.

Akan tetapi, di bawah perbedaan-perbedaan kecil ini, semua Arahant sama dalam hal pencapaian penting – hancurnya semua kekotoran dan kebebasan dari kelahiran kembali di masa depan. Mereka memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui – penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui (MN 35.26). Mereka memiliki sepuluh faktor dari seorang yang melampaui latihan – delapan faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan ditambah dengan pengetahuan benar dan kebebasan benar (MN 65.34, MN 78.14). Mereka memiliki empat landasan – landasan kebijaksanaan, kebenaran, pelepasan, dan kedamaian (MN 140.11). Dan dengan dilenyapkannya nafsu, kebencian, dan delusi, semua Arahant memiliki akses pada pencapaian meditatif yang khas yang disebut buah pencapaian Kerahattaan, dijelaskan sebagai kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan, kebebasan pikiran yang tanpa batas, kebebasan pikiran yang hampa, kebebasan pikiran melalui kekosongan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran (MN 43.35-37).

Menurut ajaran Buddha, semua makhluk kecuali para Arahant tunduk pada “penjelmaan baru di masa depan” (punabbhava), yaitu, kelahiran kembali. Kelahiran kembali, dalam konsep Buddhis, bukanlah perpindahan diri atau jiwa melainkan kesinambungan suatu proses, suatu aliran penjelmaan di mana kehidupan demi kehidupan berturut-turut terhubung satu sama lain oleh transmisi pengaruh sebab-akibat, bukan oleh identitas substansial. Pola dasar sebab-akibat yang mendasari proses ini adalah apa yang didefinisikan oleh ajaran kemunculan bergantungan (baca di atas, hal.30-31), yang juga mendemonstrasikan bagaimana kelahiran kembali mungkin terjadi tanpa diri yang menjelma kembali.

Proses kelahiran kembali, Sang Buddha mengajarkan, memperlihatkan suatu hukum pasti yang pada intinya etis dalam karakter. Karakter etis ini dibentuk oleh dinamisme fundamental yang menentukan kondisi-kondisi ke mana makhluk-makhluk terlahir kembali dan situasi-situasi yang mereka temui dalam perjalanan kehidupan mereka. Dinamisme ini adalah ‘‘kamma, ‘‘perbuatan berkehendak melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan buruk – perbuatan-perbuatan yang didorong oleh ketiga akar tidak bermanfaat keserakahan, kebencian, dan delusi – menghasilkan kamma tidak bermanfaat yang mengarahkan mereka pada kelahiran kembali di dalam kondisi-kondisi kehidupan rendah dan, jika matang di alam manusia, maka akan membawa kesakitan dan kemalangan bagi mereka. Mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan baik – perbuatan-perbuatan yang didorong oleh ketiga akar bermanfaat ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan tanpa delusi – menghasilkan kamma bermanfaat yang mengarahkan mereka pada kelahiran kembali di dalam kondisi-kondisi kehidupan yang lebih tinggi dan, jika matang di alam manusia, maka akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan bagi mereka. Karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dalam perjalanan satu kehidupan dapat sangat bervariasi, maka jenis kelahiran kembali di masa depan sangat tidak dapat diramalkan, seperti yang ditunjukkan oleh Sang Buddha dalam MN 136. Tetapi terlepas dari keberagaman empiris ini, suatu hukum pasti mengatur hubungan langsung antara jenis-jenis perbuatan dan jenis-jenis akibat yang dihasilkan, hubungan dasar ini digambarkan oleh Sang Buddha dalam MN 57 dan dijelaskan secara terperinci dalam MN 135.

Dalam beberapa sutta Majjhima Nikāya Sang Buddha merujuk pada berbagai alam kehidupan yang mana kelahiran kembali dapat terjadi dan Beliau juga memberikan beberapa petunjuk atas jenis-jenis kamma yang mengarah menuju alam itu. Dari sudut pandang Buddhis, kosmologi ini bukanlah produk dari dugaan atau khayalan melainkan suatu hal yang secara langsung diketahui oleh Sang Buddha melalui “kekuatan pengetahuan Tathāgata” (MN 12.36); hingga batas tertentu proses ini juga dapat diverifikasi oleh mereka yang menguasai mata dewa (misalnya, MN 39.20). Sebuah tinjauan ringkas akan diberikan di sini tentang alam-alam kelahiran kembali yang dikenal dalam kosmologi Buddhis dan kamma yang mendahuluinya, seperti yang tersistematisasi dalam tradisi Theravāda yang telah terkembang.

Kosmos Buddhis terbagi dalam tiga alam besar – alam indria, alam bermateri halus, dan alam tanpa materi. Masing-masingnya terdiri dari sejumlah alam-alam kecil, yang berjumlah total tiga puluh satu alam kehidupan.

Alam indria, disebut demikian karena keinginan indria menonjol di sini, terdiri dari sebelas alam yang terbagi dalam dua kelompok, alam yang buruk dan alam yang baik. Alam yang buruk atau “alam sengsara” (apāya) berjumlah empat: neraka, yang kondisi siksaan hebatnya dijelaskan dalam MN 129 dan MN 130; alam binatang; alam hantu (peta), yang didera oleh lapar dan haus terus-menerus; dan alam raksasa (asura), yang terlibat dalam pertempuran terus-menerus (tidak disebutkan sebagai alam terpisah dalam Majjhima). Perjalanan kamma yang mengarah pada kelahiran kembali di alam-alam ini dikelompokkan dalam sepuluh – tiga melalui jasmani, empat melalui ucapan, dan tiga melalui pikiran. Hal ini diuraikan secara singkat pada MN 9.4 dan dijelaskan dalam MN 41. Gradasi dalam hal beratnya kehendak jahat bertanggung-jawab pada perbuatan-perbuatan yang menghasilkan perbedaan dalam cara kelahiran kembali karena perbuatan-perbuatan demikian.

Alam yang baik dalam kelompok alam indria adalah alam manusia dan alam-alam surga. Alam surga di sini ada enam: para dewa di bawah Empat Raja Dewa; para dewa Tiga Puluh Tiga (tāvatiṁsa), yang dipimpin oleh Sakka, metamorfosa Indra dalam Buddhis, yang digambarkan sebagai seorang siswa Sang Buddha, berkeyakinan, tetapi cenderung lengah (MN 37); para dewa Yāma; para dewa di alam surga Tusita, alam Sang Bodhisatta sebelum kelahiran terakhirNya (MN 123); para dewa yang bersenang dalam penciptaan; dan para dewa yang menguasai ciptaan para dewa lainnya. Yang terakhir dikatakan sebagai alam Māra, penggoda dalam Buddhisme, yang selain dari simbol Keinginan dan Kematian, juga dianggap sebagai dewa sakti dengan tujuan jahat, tekun dalam mencegah makhluk-makhluk membebaskan diri dari jaring saṁsāra. Penyebab kamma agar terlahir kembali di alam yang baik dari alam indria adalah mempraktikkan sepuluh perbuatan bermanfaat, yang didefinisikan dalam MN 9.8 dan dalam MN 41.

Dalam alam bermateri halus tidak ada jenis materi yang lebih kasar dan kebahagiaan, kekuatan, kecemerlangan, dan vitalitas dari para penghuninya jauh lebih besar daripada mereka yang di alam indria. Alam bermateri halus terdiri dari enam belas alam, yang merupakan padanan objektif dari empat jhāna. Pencapaian jhāna pertama mengarah pada kelahiran kembali di antara kumpulan Brahmā, para Menteri Brahmā dan Mahā Brahmā, sesuai dengan apakah jhāna itu dikembangkan pada tingkat rendah, menengah, atau tinggi. Brahmā Baka (MN 49) dan Brahmā Sahampati (MN 26, MN 67) tampaknya adalah penghuni alam yang disebutkan terakhir. Sutta-sutta menyebutkan khususnya alam-alam Brahmā sebagai jalan menuju kelompok Brahmā (MN 99.24-27). Pencapaian jhāna ke dua dalam tiga tingkatan yang sama berturut-turut mengarah pada kelahiran kembali di antara para dewa dengan cahaya terbatas, cahaya tidak terbatas, dan cahaya gemilang; jhāna ke tiga mengarah pada kelahiran kembali di antara para dewa dengan keagungan terbatas, keagungan tidak terbatas, dan keagungan gemilang. Jhāna ke empat biasanya mengarah pada kelahiran kembali di antara para dewa berbuah besar, tetapi jika dikembangkan dengan keinginan untuk mencapai jenis kehidupan tanpa persepsi, maka akan mengarah pada kelahiran kembali di antara makhluk-makhluk tanpa persepsi, yang kesadarannya berhenti untuk sementara. Alam bermateri halus juga berisikan lima alam khusus yang eksklusif untuk kelahiran kembali para yang-tidak-kembali. Yaitu, Alam-alam Murni – Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassī, dan Akaniṭṭha. Dalam masing-masing alam dari alam bermateri halus ini, umur kehidupan dikatakan sangat lama dan meningkat banyak dalam tiap-tiap alam yang lebih tinggi.

Alam ke tiga makhluk-makhluk adalah alam tanpa materi, di mana materi telah menjadi tidak ada dan hanya proses batin yang ada. Alam ini terdiri dari empat alam, yang merupakan padanan objektif dari empat pencapaian meditatif tanpa materi, yang disebut: landasan ruang tanpa batas, kesadaran tanpa batas, kekosongan, dan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Umur kehidupan di alam ini berturut-turut adalah 20,000; 40,000; 60,000; dan 84,000 maha kappa.

Dalam kosmologi Buddhis kehidupan dalam setiap alam, sebagai produk dari kamma dengan kekuatan terbatas, adalah tidak kekal. Makhluk-makhluk mengalami kelahiran kembali sesuai dengan perbuatan mereka, mengalami akibat baik atau buruk, dan kemudian, ketika kamma penghasil telah menghabiskan kekuatannya, mereka meninggal dunia dan terlahir kembali di tampat lain seperti yang ditentukan oleh kamma lain lagi yang telah menemukan kesempatan untuk menjadi matang. Karenanya, siksaan neraka serta kebahagiaan surga, tidak peduli berapa lama hal itu berlangsung, pasti akan berlalu. Karena alasan ini Sang Buddha tidak menempatkan tujuan akhir dari ajaranNya di manapun di dalam alam yang terkondisi. Beliau membimbing mereka yang indria spiritualnya masih muda untuk bercita-cita mencapai kelahiran kembali di alam surga dan mengajarkan mereka aturan berperilaku yang mengarah pada pemenuhan cita-cita mereka (MN 41, MN 120). Tetapi bagi mereka yang indria-indrianya telah matang dan yang dapat menangkap sifat tidak memuaskan dari segala sesuatu yang terkondisi, Beliau mendorong usaha teguh untuk mengakhiri pengembaraan dalam saṁsāra dan untuk mencapai Nibbāna, yang melampaui segala alam kehidupan.

Negeri Tengah di India di mana Sang Buddha hidup dan mengajar pada abad ke lima sebelum Masehi penuh dengan berbagai macam kepercayaan agama dan filosofi yang disebarkan oleh guru-guru yang juga bermacam-macam gaya hidupnya. Pengelompokan utama adalah para brahmana dan para petapa non-brahmana, samaṇa atau “pejuang.” Para brahmana adalah kependetaan turun-temurun di India, pemelihara ortodoksi kuno. Mereka menerima Veda, yang mereka pelajari, mereka bacakan dalam banyak ritual, pengorbanan, dan upacara, dan menjadi sumber spekulasi filosofis mereka. Demikianlah mereka dikarakteristikkan dalam sutta-sutta sebagai kaum tradisionalis (anussavika), yang mengajarkan doktrin-doktrin mereka dengan berdasarkan tradisi lisan (MN 100.7). Kanon Pāli biasanya menggambarkan mereka sebagai menjalani kehidupan yang nyaman, menikah dan memiliki keturunan, dan dalam beberapa kasus juga menikmati perlindungan kerajaan. Yang lebih terpelajar di antara mereka mengumpulkan murid-murid – yang semuanya adalah berdarah brahmana – dan mengajarkan hymne-hymne Veda.

Sebaliknya, para samaṇa tidak menerima otoritas Veda, yang karena alasan itu dalam perspektif para brahmana mereka berada dalam peringkat sesat. Mereka biasanya hidup selibat, menjalani kehidupan meminta-minta, dan mendapatkan status mereka lebih karena secara sukarela meninggalkan keduniawian daripada karena kelahiran. Para samaṇa mengembara di pedalaman India kadang-kadang berkelompok, kadang-kadang sendirian, membabarkan doktrin-doktrin mereka kepada khalayak ramai, berdebat dengan para petapa lain, menekuni praktik spiritual mereka, yang seringkali melibatkan pertapaan keras (baca MN 51.8). Beberapa guru dalam kelompok samaṇa mengajar dengan berdasarkan pada penalaran dan spekulasi, sementara yang lainnya mengajar dengan berdasarkan pada pengalaman mereka dalam meditasi. Sang Buddha menempatkan dirinya di antara kelompok terakhir, sebagai seorang yang mengajarkan Dhamma yang telah Beliau ketahui secara langsung (MN 100.7).

Pertemuan Sang Buddha dengan para brahmana biasanya bersahabat, pembicaraan mereka ditandai dengan keramah-tamahan dan saling menghormati. Beberapa sutta dalam Majjhima Nikāya membicarakan tentang klaim para brahmana sebagai yang lebih unggul daripada kelompok sosial lainnya. Pada masa Sang Buddha sistem pengkastaan baru saja mulai terbentuk di timur laut India dan belum berkembang menjadi tidak terhitung banyaknya sub-kelompok dan aturan-aturan kaku yang membelenggu masyarakat India selama berabad-abad. Masyarakat terbagi menjadi empat kelompok sosial: brahmana, yang menjalankan fungsi-fungsi kependetaan; khattiya, para bangsawan, prajurit, dan para pejabat; vessa, para pedagang dan petani; dan sudda, para pekerja kasar dan para budak. Dari sutta-sutta Pāli tampak bahwa para brahmana, walaupun memiliki otoritas dalam urusan religius, namun belum mencapai posisi pemimpin yang tidak boleh ditentang, yang harus mereka capai setelah diperkenalkannya hukum Manu. Akan tetapi, mereka telah berangkat menuju dominasi dan melakukannya dengan menyebarkan tesis bahwa kaum brahmana adalah kasta tertinggi, keturunan Brahmā yang terberkahi oleh surga yang mampu mencapai pemurnian. Kekhawatiran bahwa klaim kaum brahmana ini adalah benar tampaknya telah menyebar di kalangan kerajaan, yang pasti merasa takut akan ancaman terhadap kekuasaan mereka (baca MN 84.4, MN 90.9-10).

Berlawanan dengan gagasan popular tertentu, Sang Buddha tidak secara eksplisit menolak pengelompokan masyarakat India atau memohon agar sistem sosial tersebut dihapuskan. Akan tetapi, di dalam Sangha, segala perbedaan kasta dibatalkan sejak saat penahbisan. Demikianlah orang-orang dari empat kasta yang meninggalkan keduniawian di bawah Sang Buddha juga meninggalkan gelar kasta dan hak-haknya dan menjadi hanya dikenal sebagai para siswa putera Sakya (baca Ud 5:5/55). Ketika Sang Buddha atau para siswaNya dikonfrontasi dengan klaim superioritas kaum brahmana, mereka dengan penuh semangat membantahnya, berpendapat bahwa klaim demikian adalah tanpa dasar. Mereka berpendapat bahwa pemurnian adalah hasil dari perilaku, bukan kelahiran, dan dengan demikian dapat dicapai oleh orang-orang dari seluruh empat kasta (MN 40.13-14, MN 84, MN 90.12, MN 93). Sang Buddha bahkan melepaskan sebutan “brahmana” dari gelar turun-temurun itu, dan mengembalikannya pada konotasi asli sebagai orang suci, Beliau mendefinisikan brahmana sejati sebagai Arahant (MN 98). Mereka di antara para brahmana yang belum terhalangi oleh prasangka kasta menghargai ajaran Buddha. Beberapa brahmana terkemuka pada masa itu, yang pada mereka masih terbakar semangat Veda kuno merindukan cahaya, pengetahuan, dan kebenaran, mengenali Kemaha-tercerahkan pada Sang Buddha yang mereka idamkan dan menyatakan diri mereka sebagai siswa Beliau (baca khususnya MN 91.34). Beberapa di antaranya bahkan meninggalkan hak-hal kastanya dan bersama dengan para pengikutnya memasuki Sangha (MN 7.22, MN 92.15-24).

Para samaṇa terdiri dari kelompok yang lebih bermacam-ragam lagi yang, karena tidak memiliki otoritas kitab yang sama, mengajarkan doktrin filosofis yang berlebihan dari yang menyeramkan hingga ketuhanan. Kanon Pāli sering menyebutkan enam guru tertentu sebagai guru yang sezaman dengan Sang Buddha, dan karena mereka digambarkan sebagai “pemimpin kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci” (MN 77.5), maka mereka pasti cukup berpengaruh pada masa itu. Majjhima Nikāya menyebutkan baik keenam itu sebagai sekelompok maupun secara terpisah, menyatakan doktrin-doktrin mereka masing-masing; akan tetapi tidak menghubungkan nama dengan doktrinnya. Hubungan antara nama dan doktrin disebutkan dalam Sāmaññaphala Sutta dari Digha Nikāya.

Pūraṇa Kassapa, yang selalu disebutkan pertama dalam daftar, mengajarkan doktrin tanpa-perbuatan (akiriyavāda) yang menyangkal kebenaran perbedaan moral (MN 60.13, MN 76.10). Makkhali Gosāla adalah pemimpin dari suatu sekte yang disebut Ājivaka (atau Ājivika), yang bertahan di India hingga masa pertengahan. Ia mengajarkan doktrin fatalisme yang menyangkal kausalitas (ahetukavāda) dan menyatakan bahwa keseluruhan proses kosmis secara pasti dikendalikan oleh suatu prinsip yang disebut nasib atau takdir (niyati); makhluk-makhluk tidak memiliki kendali kehendak atas perbuatan-perbuatan mereka tetapi bergerak tanpa daya dalam cengkeraman nasib (MN 60.21, MN 76.13). Ajita Kesakambalin adalah seorang nihilis moral (natthikavāda) yang mengemukakan filosofi materialis yang menolak penjelmaan setelah kematian dan pembalasan kamma (MN 60.5, MN 76.7); doktrinnya selalu dikutip oleh Sang Buddha sebagai contoh paradigma pandangan salah di antara perjalanan perbuatan tidak bermanfaat. Pakudha Kaccāyana mengajarkan suatu atomisme dengan berdasarkaṇ pada hal itu ia menolak pendirian dasar moralitas (MN 76.16). Sañjaya Bellaṭṭhiputta, seorang skeptis, menolak untuk mengambil posisi atas persoalan moral dan filosofi penting pada masa itu, mungkin karena mengakui pengetahuan demikian adalah di luar kapasitas kita untuk memverifikasi (MN 76.30). Guru ke enam, Nigaṇṭha Nātaputta, yang diidentifikasikan sebagai Mahāvira, leluhur historis dari Jainisme. Ia mengajarkan bahwa ada pluralitas entitas jiwa yang terperangkap dalam materi melalui pertalian kamma lampau dan bahwa jiwa itu harus dibebaskan dengan menghabiskan pertalian kamma melalui praktik keras menyiksa-diri.

Sementara sutta-sutta Pāli pada umumnya ramah namun kritis terhadap kaum brahmana, sutta-sutta juga tajam dalam penolakan terhadap doktrin saingan dari para samaṇa. Dalam satu sutta (MN 60) Sang Buddha berpendapat bahwa penerimaan kuat pada salah satu dari tiga doktrin pertama (dan secara tersirat yang ke empat) melibatkan suatu rantai kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang menghasilkan kamma buruk yang cukup kuat untuk turun ke alam rendah. Dengan cara serupa Yang Mulia Ānanda menjelaskan pandangan-pandangan ini sebagai empat “peniadaan kehidupan Suci” (MN 76). Skeptisisme Sañjaya, walaupun tidak dianggap sangat menyesatkan, dianggap sebagai suatu indikasi atas dukungan pada ketumpulan dan kebingungannya; ini digambarkan sebagai “geliat-belut” (amarāvikkhepa) karena pengelakannya dan dikelompokkan di antara jenis-jenis kehidupan suci yang tanpa penghiburan (MN 76.30-31). Doktrin Jain, walaupun memiliki kemiripan tertentu dengan ajaran Buddha, dianggap cukup keliru dalam asumsi dasar yang memunculkan penyangkalan, yang dilakukan Sang Buddha dalam beberapa kesempatan (MN 14, MN 56, MN 101). Perspektif Buddhis, agar menjadi ukuran yang diperlukan tidak hanya menyuarakan peringatan yang jelas terhadap pendirian yang secara spiritual merusak, tetapi juga untuk memotong rintangan-rintangan terhadap penerimaan pandangan benar, yang sebagai pelopor dari jalan Sang Buddha (MN 117.4) adalah merupakan prasyarat untuk maju di sepanjang jalan menuju kebebasan akhir.

Yang masih tersisa untuk didiskusikan hanyalah sedikit hal teknis menyangkut terjemahan ini: pertama adalah problema umum yang tidak dapat dihindari yang dihadapi oleh semua penerjemah dari Kanon Pāli, kemudian beberapa perubahan tertentu yang telah dilakukan pada kata-kata doktrin penting dari terjemahan YM. Ñāṇamoli.

Para pembaca sutta-sutta Pāli, khususnya dalam bahasa aslinya, akan segera menemukan kalimat-kalimat pengulangan yang sering dan panjang. Saya memeriksa bahwa pengulangan-pengulangan itu dapat ditemukan dalam beberapa jenis berbeda dan dengan demikian mungkin berasal dari sumber berbeda. Kita akan mempertimbangkan tiga jenis utama di sini.

Pertama pengulangan-pengulangan narasi dalam satu sutta serta pengulangan pernyataan-pernyataan dalam suatu percakapan biasa. Ini tidak diragukan berasal dari metode penyampaian lisan yang dengannya sutta-sutta dilestarikan selama empat abad pertama kemunculannya, pengulangan demikian berguna sebagai alat bantu mengingat yang sangat berguna untuk memastikan agar detail-detailnya tidak hilang. Dalam terjemahan ini pengulangan-pengulangan demikian biasanya disingkat dan dituliskan dengan tanda ‘’ellipsis ‘’(tanda “…”) dan kadang-kadang secara bebas menyingkatnya.

Jenis pengulangan ke dua berasal dari penggunaan formula umum untuk menjelaskan kelompok tetap dari kategori-kategori doktrin atau aspek-aspek latihan. Contoh yang paling sering dari pengulangan ini adalah formula empat jhāna dan tiga pengetahuan sejati. Formula-formula ini hampir dipastikan merupakan bagian dari perbendaharaan pengajaran Sang Buddha, yang digunakan oleh Beliau dalam banyak khotbah yang Beliau babarkan selama empat puluh lima tahun pengajaranNya untuk melestarikan kesatuan dan konsistensi ajaranNya. Di sini formula stereotip yang lebih pendek biasanya akan dibiarkan utuh kecuali jika memainkan peran kecil pada tema yang lebih besar, yang mana pada kasus demikian hanya klausul utama yang dipertahankan; sebuah contoh adalah perlakuan pada formula jhāna pada MN 53.18. Formula yang lebih panjang yang muncul sangat sering akan diringkas, dengan referensi yang biasanya diberikan pada kalimat-kalimat di mana formula itu muncul secara lengkap; contohnya adalah perlakuan atas dua pengetahuan sejati yang pertama pada MN 27.23-24 dan latihan bertahap pada MN 38.31-38.

Pengulangan jenis ke tiga berasal dari penerapan oleh Sang Buddha atas suatu metode pembabaran identik pada serangkaian istilah-istilah doktrin yang menjadi bagian dari suatu kelompok yang tetap. Misalnya adalah formula bagi pandangan terang yang melekat pada masing-masing dari latihan dalam ‘‘Satipaṭṭhāna Sutta ‘’(MN 10.5), dan pembabaran tentang ketiga karakteristik yang diterapkan pada masing-masing kelima kelompok unsur kehidupan (MN 22.26). Pengulangan-pengulangan ini, berlawanan dengan anggapan modern, adalah merupakan bagian integral dalam metode pengajaran Sang Buddha dan berfungsi untuk mengarahkan kembali pada hal-hal yang Beliau ingin sampaikan. Kita dapat membayangkan bahwa pengulangan-pengulangan demikian, yang dibabarkan oleh seorang guru yang tercerahkan sempurna kepada mereka yang sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai pencerahan, pasti telah meresap ke dalam batin dari mereka yang mendengarkannya dan dalam banyak kasus telah memicu sepercik kebenaran. Dalam terjemahan ini jenis pengulangan ini hanya terjadi pada bagian pertama dan terakhir dalam kelompok tersebut – seperti yang sering dilakukan dalam teks-teks edisi Pāli – kecuali ketika metode pembabaran itu sangat panjang (seperti pada MN 118.37-39), yang mana ditunjukkan secara lengkap untuk istilah pertama dan secara ringkas untuk bagian-bagian selanjutnya. Mereka yang membaca sutta-sutta sebagai latihan dalam perenungan, dan bukan sekedar untuk mendapatkan informasi, harus berusaha untuk melengkapi dalam hati bagian-bagian dalam keseluruhan rangkaian dan mengeksplorasi jangkauan implikasinya.

Dalam terjemahannya yang belakangan YM. Ñāṇamoli tampaknya berketetapan untuk mencapai dua tujuan: menerjemahkan dengan setepat-tepatnya setiap kata Pāli ke Bahasa Inggris (‘‘Arahant ‘‘dan ‘‘Bodhisatta ‘‘adalah pengecualian yang jarang); dan menerjemahkan dengan kepatuhan pada standar konsistensi yang ketat. Akibatnya prinsip yang menuntun pekerjaannya adalah: satu kata Pāli, satu kata Bahasa Inggris yang bersesuaian. Prinsip ini juga ia terapkan pada perlakuannya atas kata dhamma yang bermakna ganda, yang untuk ini ia menulis di tempat lain bahwa “perlunya keseragaman dalam penerjemahan begitu besar sehingga nyaris putus-asa” (Minor Readings and Illustrator, p.331). Sebagai akarnya ia memilih kata “gagasan,” yang ia coba untuk menerapkannya pada kata Pāli dalam segala kemunculannya yang beragam. Bahkan ketika dhamma digunakan dalam sutta-sutta untuk menyiratkan ajaran Buddha, ia masih tetap setia pada pilihannya dengan menerjemahkannya sebagai “Gagasan Sejati.”

Tidak perlu dikatakan bahwa percobaan ini tidak berhasil. Mengetahui hal ini, YM. Khantipālo, dalam edisi sembilan puluh sutta yang ia kerjakan, memutuskan untuk mempertahankan kata Pāli dalam sebagian besar kemunculannya. Akan tetapi, keputusan ini tampaknya tidak diperlukan ketika dilepaskannya tuntutan atas konsistensi ketat yang memungkinkan penerjemahan yang luwes dan dapat dipercaya tanpa kehilangan maknanya. Walaupun banyak penggunaan yang berbeda-beda atas kata Pāli dhamma, mungkin pada awalnya memiliki hubungan makna yang mendasari, pada masa Kanon Pāli hubungan demikian telah memudar kepada latar belakang sehingga tidak relevan dengan pemahaman teks-teks. Komentar-komentar menetapkan sedikitnya sepuluh makna kontekstual berbeda pada kata tersebut yang muncul dalam Kanon dan mereka tidak berusaha untuk membaca makna filosofis ke dalam penerapan yang berbeada-beda ini. Oleh karena itu tujuan dari terjemahan jelas tampaknya memerlukan agar kata itu diterjemahkan secara berbeda menurut konteksnya, yang umumnya membuat makna yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.

Dalam merevisi terjemahan YM. Ñāṇamoli saya telah mempertahankan kata Pāli Dhamma hanya jika kata itu merujuk pada ajaran Buddha, atau dalam beberapa kasus merujuk pada ajaran saingan yang dipertentangkan oleh Sang Buddha (seperti pada MN 11.13 dan MN 104.2). Dalam penggunaan lainnya konteknya telah diperbolehkan untuk memutuskan terjemahannya. Demikianlah ketika dhamma muncul dalam bentuk jamak sebagai kata referensi ontologis umum maka kata ini diterjemahkan sebagai “segala sesuatu” (seperti pada MN 1.2 dan MN 2.5). Ketika kata ini memerlukan nuansa yang lebih teknis, apakah dalam makna fenomena kehidupan atau unsur batin, maka diterjemahkan sebagai “kondisi-kondisi” (seperti pada MN 64.9 dan MN 111.4). Akan tetapi, kata ini, harus dilepaskan dari nuansa kestatisannya, dhamma sebagai peristiwa-peristiwa dalam suatu proses dinamis, dan kata ini juga tidak boleh dianggap merujuk pada suatu entitas tetap yang mengalami kondisi-kondisi, menunjukkannya sebagai serangkaian dhamma-dhamma yang berhubungan belaka. Dua makna terakhir dari dhamma tidak selalu dapat dipisahkan dalam teks-teks dan kadang-kadang gaya bahasa Inggris yang sewajarnya harus digunakan sebagai faktor untuk memutuskan mana yang harus dipilih.

Sebagai landasan perhatian ke empat dan sebagai landasan indria (āyatana) ke enam, dhamma telah diterjemahkan sebagai “objek-objek pikiran” (bahkan di sini “gagasan-gagasan” adalah terlalu sempit). Dalam konteks lain lagi kata ini telah diterjemahkan sebagai kualitas-kualitas (MN 15.3, MN 48.6) dan ajaran-ajaran (MN 46.2, MN 47.3). Ketika digunakan sebagai akhiran maka kata ini memperoleh makna idiomatis sebagai “tunduk pada” dan demikianlah kata ini diterjemahkan, misalnya, vipariṇāmadhamma sebagai “tunduk pada perubahan.”

Walaupun kata ini seperti yang digunakan dalam sutta-sutta memiliki referensi spesifik berbeda dalam konteks-konteks berbeda, namun tidak seperti dhamma, kata ini cukup mempertahankan keseragaman makna dalam terjemahan, dengan beberapa pengecualian yang jarang. Akan tetapi, masalahnya adalah untuk memutuskan kata apa dari banyak terjemahan yang diusulkan yang cukup memadai, atau, jika tidak ditemukan kata yang tepat, maka membentuk kata yang baru.

Gagasan dasar yang disiratkan oleh kata sankhāra adalah “bersama-sama.” Para komentator Pāli menjelaskan bahwa kata ini memperbolehkan baik makna aktif maupun pasif. Demikianlah sankhāra adalah delapan faktor (atau kekuatan) yang berfungsi bersama-sama dalam menghasilkan suatu akibat, atau hal-hal yang dihasilkan oleh kombinasi dari faktor-faktor yang bekerja sama. Dalam terjemahan Visuddhimagga, YM. Ñāṇamoli telah menerjemahkan sankhāra sebagai “bentukan-bentukan,” suatu terjemahan yang disukai oleh banyak penerjemah. Dalam skema terjemahannya yang belakangan ia telah bereksperimen dengan menerjemahkannya sebagai “tekad-tekad” dan telah mencoba untuk memasukkan pilihan baru tersebut ke dalam naskah Majjhima. Dalam menyunting naskah tersebut YM. Khantipālo memilih untuk kembali pada pilihan penerjemah yang lebih dikenal yaitu “bentukan-bentukan,” dan dalam edisi ini saya mengikutinya. Walaupun kata ini memiliki kelemahan dalam bentuk penekanan pada aspek pasif sankhāra, namun kata ini menghindari persoalan yang ditimbulkan oleh “tekad-tekad” dan tampak cukup tidak berwarna untuk mengambil makna yang ditentukan oleh konteks.

Kata sankhāra muncul dalam empat konteks utama dalam sutta-sutta Pāli: (1) Sebagai faktor ke dua dalam formula kemunculan bergantungan kata ini digunakan sebagai perbuatan-perbuatan berkehendak, menyiratkan peran aktifnya dalam menghasilkan akibat dalam proses kelahiran kembali. (2) Sebagai yang ke empat dari kelima kelompok unsur kehidupan sankhāra terdiri dari semua faktor batin yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok unsur batin lainnya; kelompok ini mungkin diberi nama sankhārakkhandha menurut unsur utamanya, yaitu kehendak (cetanā), yang bertanggung jawab untuk membentuk semua kelompok unsur kehidupan lainnya. (3) Sankhāra juga digunakan dalam makna yang sangat komprehensif untuk menyiratkan segala sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi-kondisi. Dalam makna ini sankhāra terdiri dari seluruh kelima kelompok unsur kehidupan (seperti pada MN 35.4 dan MN 115.12). Di sini kata ini membawa makna pasif, yang dijelaskan oleh para komentator sebagai sankhatasankhārā, “bentukan-bentukan yang terdapat dalam apa yang terkondisi.” Penggunaan ini mendekati makna dari penggunaan ontologis dari kata dhamma, kecuali bahwa dhamma memiliki cakupan yang lebih luas karena termasuk elemen tidak terkondisi NIbbāna dan konsep-konsep (paññatti), yang keduanya tidak termasuk dalam sankhāra. (4) Dalam konteks lain lagi kata sankhāra digunakan dalam hubungannya dengan ‘‘kāya, vaci, ‘‘dan citta – jasmani, ucapan, dan pikiran – yang bermakna bentukan jasmani, yaitu nafas masuk-dan-keluar; bentukan ucapan, yaitu awal pikiran dan kelangsungan pikiran; dan bentukan pikiran, yaitu persepsi dan perasaan. Yang pertama dan ke tiga adalah hal-hal yang bergantung berturut-turut pada jasmani dan pikiran, yang kedua adalah hal-hal yang mengaktifkan ucapan. Triad ini dibahas pada MN 44.13-15.

Sankhāra juga digunakan di luar konteks-konteks utama ini, dan dalam kasus demikian makna “tekad” dari YM. Ñāṇamoli tetap dipertahankan. Ini adalah di mana kata ini muncul dalam kata majemuk padhānasankhāra, yang telah diterjemahkan sebagai “tekad berusaha” (seperti pada MN 16.26). Idiom yang jarang tetapi termasuk, sankhāraṁ padahati, telah diterjemahkan dengan cara serupa sebagai “ia berusaha dengan penuh tekad” (MN 101.23). Dalam kasus lain (MN 120), mengikuti kemasan komentar, sankhāra diterjemahkan sebagai “aspirasi.”

YM. Ñāṇamoli telah menerjemahkan kata majemuk ini secara literal sebagai “nama-dan-bentuk.” Dalam edisi ini kata majemuk ini telah dikembalikan pada terjemahan yang digunakan dalam terjemahannya atas Visuddhimagga sebagai “batin-jasmani,” walaupun dengan menyesal bahwa ungkapan latin yang tidak praktis ini tidak memiliki keringkasan dan sentuhan dari “nama-dan-bentuk.” Kata nāma pada aslinya berarti “nama,” tetapi dalam sutta-sutta Pāli kata ini digunakan dalam kata majemuk sebagai istilah kolektif bagi faktor-faktor batin yang berhubungan dengan kesadaran, seperti yang akan terlihat dalam definisi pada MN 9.54. Komentar-komentar menjelaskan nāma di sini sebagai turunan dari kata namati, condong, dan diaplikasikan pada faktor-faktor batin karena “condong” ke arah objek dalam tindakan mengenalinya. Rūpa digunakan dalam dua konteks utama dalam sutta-sutta: sebagai yang pertama dari kelima kelompok unsur kehidupan dan sebagai objek spesifik dari kesadaran-mata. Yang pertama adalah kategori yang lebih luas yang mencakup yang ke dua sebagai salah satu di antara banyak spesies lain dari rūpa. YM. Ñāṇamoli, dengan tujuan konsistensi, dalam naskah terjemahannya telah menggunakan “bentuk” untuk rūpa sebagai objek terlihat (dalam preferensi pada “data-terlihat” yang digunakan dalam skema terjemahannya yang sebelumnya). Tetapi ketika rūpa digunakan untuk menyiratkan yang pertama di antara kelima kelompok unsur kehidupan, kata ini telah diubah menjadi “bentuk materi.” Terjemahan ini harus mengindikasikan secara lebih tepat makna rūpa dalam konteks tersebut sekaligus mempertahankan hubungan dengan rūpa sebagai objek terlihat. Kadang-kadang dalam teks-teks kata ini tampaknya mencakup kedua makna tanpa memperbolehkan suatu batasan eksklusif, seperti dalam konteks pencapaian meditatif tertentu seperti pada kedua kebebasan pertama (MN 77.22).

Kata brahma memberikan tantangan lain kepada YM. Ñāṇamoli pada usahanya untuk mencapai konsistensi sepenuhnya. Kata itu sendiri, pada masa Veda, awalnya berarti kekuatan suci, kekuatan keramat yang memelihara kosmos dan yang terhubung melalui doa-doa dan ritual-ritual Veda. Walaupun kata ini tetap mempertahankan makna penting “suci” atau “keramat,” namun pada masa Sang Buddha kata ini telah mengalami dua jalur perkembangan berbeda. Yang satu memuncak dalam gambaran Brahman (tanpa jenis kelamin) sebagai suatu realitas mutlak non-personal yang tersembunyi dan mewujudkan dirinya melalui fenomena dunia yang berubah-ubah. Konsep ini adalah kata kunci pada Upanishad, tetapi kata brahma tidak pernah muncul dengan makna ini dalam Kanon Pāli. Jalur perkembangan lainnya memuncak dalam konsep Brahmā (sosok tunggal maskulin) sebagai sesosok Tuhan personal yang abadi yang menciptakan dan mengatur dunia. Konsep ini dianut oleh para brahmana seperti tergambar dalam sutta-sutta Pāli. Umat Buddhis sendiri menegaskan bahwa Brahmā bukanlah sesosok Tuhan pencipta tunggal melainkan nama kolektif bagi beberapa kelompok dewa tingkat tinggi yang para pemimpinnya, karena lupa bahwa mereka adalah makhluk-makhluk tidak kekal yang dicengkeram oleh kamma, cenderung menganggap diri mereka sebagai pencipta yang mahakuasa dan abadi (baca MN 49).

YM. Ñāṇamoli berusaha memenuhi tuntunan konsistensi ini dengan menerjemahkan kata brahma dalam berbagai kemunculannya sebagai “tuhan” atau sejenisnya. Demikianlah Brahmā sebagai dewa diterjemahkan sebagai “kebrahmaan,” ‘‘brāhmaṇa ‘’(=brahmana) diterjemahkan sebagai “brahma” (sebagai kata benda yang bermakna pendeta teologi), dan ungkapan brahmacariya, yang mana brahma berfungsi sebagai kata sifat, diterjemahkan sebagai “Kehidupan Brahma.” Akibat dari eksperimen ini sekali lagi mengorbankan kejelasan demi konsistensi, bahkan dengan resiko mengakibatkan kesalah-pahaman, dan oleh karena itu dalam proses revisi saya memutuskan untuk memperlakukan ungkapan-ungkapan ini selaras dengan praktik yang lebih konvensional. Demikianlah Brahmā dan brahmana dibiarkan tidak diterjemahkan (kata terakhir mungkin lebih akrab bagi para pembaca modern daripada kata benda kuno “tuhan”). Kata brahma, jika muncul dalam kata majemuk, biasanya diterjemahkan “suci” – misalnya, brahmacariya sebagai “kehidupan suci” kecuali jika digunakan untuk menyiratkan penghindaran sepenuhnya pada hubungan seksual, yang mana dalam konteks tersebut akan diterjemahkan sesuai makna yang dimaksudkan sebagai “selibat.” Akan tetapi, kata “brahma” telah dipertahankan dalam ungkapan brahmavihāra, yang diterjemahkan sebagai “alam brahma” (MN 83.6) dengan merujuk pada meditasi “tidak terbatas” pada cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, yang merupakan kediaman Brahmā (MN 55.7) dan jalan menuju kelahiran kembali di alam Brahma (MN 99.22).

Pelafalan kata-kata dan nama-nama Pāli cukup mudah jika aturan sederhana berikut ini dipatuhi. Di antara vokal:

a i u seperti pada “buah,” “pin,” “pikun”; ā ī ū seperti pada “anjing,” “ikan,” “usang”; e o seperti pada “enak” dan “orang.”

Di antara konsonan, g diucapkan seperti pada “gajah,” ‘‘c ‘‘seperti pada “cari,” ñ seperti pada “bunyi.” Suara langit-langit - ṭ, ḍ, ṅ, ḷ - diucapkan dengan lidah di langit-langit mulut; suara gigi – t, d, n, l – dengan lidah di gigi atas. adalah suara hidung seperti pada “enggak.” Suara desah – ‘‘kh, gh, ch, jh, ṭh, ḍh, th, dh, ph, dan bh ‘’– adalah konsonan tunggal yang dilafalkan dengan sedikit tiupan nafas ke luar, misalnya th seperti dalam “Thomas,” ph seperti dalam “top hat.” Konsonan ganda selalu diucapkan terpisah, misalnya kk seperti pada “sok kenal,” gg seperti dalam “sambung garis.”

‘‘o ‘‘dan ‘’e ‘‘selalu dengan tekanan, jika tidak maka tekanan akan jatuh pada vokal panjang – ‘‘ā, ī, atau ‘‘ū – atau dalam konsonan ganda, atau dalam ṁ.

Daftar ini menunjukkan perubahan-perubahan yang penting dalam hal istilah dalam naskah YM. Ñāṇamoli yang terdapat dalam buku ini. Perubahan yang ditandai dengan tanda asterisk telah diperkenalkan oleh YM. Khantipālo dalam A Treasury of the Buddha’s Words.

KATA PALI TERJEMAHAN MS TERJEMAHAN REVISI
akusala tidak menguntungkan tidak bermanfaat
ajjhosāna memegang erat-erat menggenggam
abhinivesa tuntutan ketaatan
arūpa tanpa bentuk tanpa materi
*asekha yang mahir seorang yang melampaui latihan
iddhi keberhasilan 1. kekuatan batin; 2. kekuatan spiritual; 3. keberhasilan
uddhacca-kukkucca gejolak dan kekhawatiran kegelisahan dan penyesalan
upadhi yang perlu bagi kehidupan perolehan(-perolehan)
ottappa malu takut akan perbuatan-salah
kāmā keinginan indria kenikmatan indria
kusala menguntungkan bermanfaat
khaya habisnya hancurnya
*citta pengenalan pikiran
chanda kemauan keinginan; kemauan
*jhāna penerangan jhāna
*tathāgata Yang Sempurna Sang Tathāgata
Thīna-middha kelesuan dan kantuk kelambanan dan ketumpulan
*dhamma gagasan sejati dhamma
dhammā gagasan-gagasan 1. segala sesuatu, kondisi-kondisi, faktor-faktor; 2. objek-objek pikiran; 3. kualitas-kualitas; 4. ajaran-ajaran
nandī menyukai menikmati
nāma nama batin
nāmarūpa nama-dan-bentuk batin-dan-jasmani
*nibbāna padam nibbāna
nibbidā kebosanan kekecewaan
paññā pemahaman kebijaksanaan
paṭigha perlawanan 1. kontak indria; 2. penolakan
padhāna usaha keras usaha gigih
papañca diversifikasi proliferasi
paritassanā kesedihan gejolak
pīti kebahagiaan sukacita
*buddha Yang Tercerahkan Sang Buddha
brahma brahma suci, brahma
brahmā kebrahmaan brahmā
brāhmaṇa brahma (kasta) brahmana
bhāvana memelihara dalam makhluk pengembangan
muditā kegembiraan kegembiraan altruistik
rūpa bentuk 1. bentuk; 2. bentuk materi, jasmani; 3. (makhluk) bermateri halus
vicāra merenungkan kelangsungan pikiran
vicikicchā ketidak-pastian keragu-raguan
vitakka Pikiran, pemikiran Pikiran, awal pikiran
virāga meluruhnya nafsu kebosanan
sakkāya perwujudan identitas
*sankhārā tekad-tekad bentukan-bentukan
*sangha komunitas sangha
*sattā makhluk hidup makhluk-makhluk
samaṇa bhikkhu petapa
*sekha calon siswa dalam latihan yang lebih tinggi
hiri nurani malu

Sutta-sutta dalam buku ini dapat dilihat di halaman teks Majjhima Nikāya

GLOSARIUM ini hanya mencantumkan (a) kata-kata ajaran yang penting, dan (b) kata-kata dan arti yang tidak tercantum dalam Pali-English Dictionary dari PTS. Kata-kata yang tidak tercantum dalam kamus PTS ini yang disusun oleh Yang Mulia Ñāṇamoli dalam salah satu bagian naskahnya, di sini ditandai dengan tanda asterisk dan diikuti dengan rujukan pada kalimat dalam Majjhima di mana kata itu muncul. Semua kata didefinisikan hanya berdasarkan makna yang dikandung dalam Majjhima Nikāya, dan tidak mengambil makna yang mungkin terkandung dalam teks Buddhis lainnya. Kata Pali ini diurutkan menurut urutan alfabet India.

Glosarium digabung ke halaman Glosarium

Index ini hanya mencantumkan referensi yang penting. Penomoran dalam cetak miring merujuk pada nomor halaman pada Pendahuluan; referensi pada paragraf sutta dituliskan dalam format nomor sutta yang diikuti dengan nomor paragraf. Singkatan “ff.” di sini digunakan untuk menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan bagian dari paragraf yang berkelanjutan atau pengulangan dan tidak harus berarti bahwa kata itu muncul pada setiap bagian dalam paragraf itu. Referensi dapat dicantumkan pada suatu kata bahkan jika kata itu sendiri tidak muncul dalam teks, selama paragraf itu masih berhubungan dengan kata itu.

Jika suatu formula umum disebutkan pada suatu kata dalam suatu kategori, referensi biasanya diberikan hanya pada nama kategori itu, bukan pada masing-masing rincian dalam kelompok itu. Misalnya, paragraf tentang faktor-faktor pencerahan pada 22.21 dicatat pada Faktor-faktor pencerahan, tetapi tidak pada nama-nama dari masing-masing faktor tersendiri. Referensi-silang memastikan bahwa referensi-referensi penting tidak terlewatkan.

Padanan Pali diberikan untuk semua kata-kata kunci yang bersifat doktrin, walaupun tidak pada kata-kata yang kurang penting atau kata-kata yang tidak memiliki padanan Pali yang tepat. Dengan beberapa pengecualian, kata Pali dituliskan dalam bentuk tunggal, walaupun kata dalam Bahasa Inggris berbentuk jamak. Jika dua kata Pali dengan makna berbeda diterjemahkan menjadi satu kata Bahasa Inggris, keduanya akan dituliskan dalam catatan terpisah – misalnya, Pikiran disebutkan dua kali, bersesuaian dengan citta dan dengan mano. Jika kata Bahasa Inggris mewakili dua kata Pali dengan makna yang tumpang-tindih tetapi dalam konteks berbeda, kedua referensi itu dikelompokkan dalam catatan yang sama dengan dipisahkan oleh garis miring – misalnya, Belas-kasihan sebagai terjemahan dari karuṇā dan anukampā.

Kata-kata Pali diurutkan menurut urutan alfabet India.

BHIKKHU ÑĀṆAMOLI (1905-60) dilahirkan di Inggris dan menjadi seorang bhikkhu di Sri Lanka pada tahun 1949. Selama sebelas tahun ia menjadi bhikkhu, ia telah menerjemahkan beberapa teks-teks yang paling sulit dalam Buddhisme Theravada dari Pali ke dalam Bahasa Inggris yang jelas, termasuk Visuddhimagga.

BHIKKHU BODHI adalah seorang bhikkhu berkebangsaan Amerika, berasal dari New York City. Ia menerima penahbisan monastik pada tahun 1972 di Sri Lanka, di mana ia menetap selama lebih dari dua puluh tahun. Ia adalah seorang penulis, penerjemah, atau penyunting dari banyak karya penting termasuk A Comprehensive Manual of Abhidhamma, Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha (Samyutta Nikāya), dan In The Buddha’s Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Pada saat buku ini diterbitkan, ia sedang mengerjakan terjemahan lengkap Anguttara Nikāya. Ia menetap dan mengajar di Chuang Yen Monastery di utara New York. Ia juga mengajar di Bodhi Monastery di New Jersey

DhammaCitta Press adalah divisi penerbitan dari Yayasan DhammaCitta Mangala yang aktif menerbitkan buku-buku Buddhisme sejak tahun 2009 yang dianggap bermanfaat untuk mengali lebih jauh Buddhisme Awal yang dapat berguna bagi praktisi maupun akademisi. Buku cetak maupun elektronik terbitan DhammaCitta Press dibagikan secara gratis kepada semua dengan diutamakan kepada akademisi, guru, dhammaduta, maupun praktisi serius dan tidak memerlukan mengganti biaya cetak karena DhammaCitta mengusung konsep “Hadiah.” Dhamma adalah sebuah hadiah yang tidak dijual maupun tidak menerima uang ganti biaya cetak, ongkos kirim maupun jasa pengerjaannya. Seluruh karya dan hasil kerja DhammaCitta Press merupakan hadiah dari para relawan dan hadiah dari supporter dan donatur DhammaCitta Press untuk Buddhisme Indonesia.

Anda dipersilahkan untuk juga turut membantu dengan menyebarkan ataupun memperbanyak dan memberikan karya ini kepada siapapun yang dianggap dapat bermanfaat baik dalam bentuk cetak ataupun buku elektroniknya selama sesuai dengan aturan penggunaan. Buku cetak tidak akan bermanfaat jika hanya menjadi pajangan atau memenuhi rak buku. Untuk buku elektronik bisa didownload di website http://dhammacitta.org