easter-japanese

Kepada semua mahluk yang pernah menjadi guruku.

Bayangkan anda ingin menebang sebatang pohon mati dengan sebuah kapak. Agar berhasil maka kapak harus tajam dan cukup berat. Tetapi di manakah tajam dan berat itu dimulai? Jelas bahwa bahkan dengan usaha keras jika menggunakan pisau cukur atau pemukul baseball maka tidak akan berhasil.

Dalam konteks praktik meditasi Buddhis, kapak yg berat dapat mengumpamakan ketenangan (samatha), ketajamannya mengumpamakan pandangan terang (vipassana). Kedua aspek meditasi ini memainkan peran penting dalam mencerahkan makhluk-makhluk pada sifat realitas dan membebasakan mereka dari penderitaan. Dengan memeriksa teks-teks kuno yang berasal dari Sang Buddha serta beberapa pendekatan populer, tulisan ini akan mencoba untuk mengupas tentang hubungan yang saling mendukung antara kedua tonggak pengembangan spiritual ini.

Kata ‘vipassanā’ telah dihubungkan dengan teknik meditasi tertentu atau suatu gaya praktik Buddhis dalam tradisi theravada. Akan tetapi apa yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah ‘samatha/vipassanā’. Samatha berarti keheningan dan ketenangan yang dihasilkan dari perhatian terus-menerus pada suatu obyek, proses atau persepsi. Vipassanā merujuk pada penglihatan jelas. Ketika keduanya hadir, batin dan pikiran seseorang menjadi seimbang. Samatha adalah memusatkan, penerimaan dan tidak membeda-bedakan tanpa syarat. Samatha adalah tenang, cerah, bersinar, diam secara internal dan penuh kebahagiaan. Kedamaian batin yang dihasilkan adalah emosi yang halus. Vipassanā di pihak lain, muncul dari sisi batin yang melihat. Vipassanā membedah, menyelidiki, membandingkan, membedakan dan mengevaluasi. Vipassanā mengamati dan menganalisis perubahan, sifat tanpa-diri dan tidak memuaskan dari segala fenomena jasmani dan batin yang terkondisi.

Sementara samatha menghasilkan energi, vipassana menerapkannya pada usaha. Kedua ini pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai cara berbeda dari meditasi Buddhis dengan tujuan yang berbeda, melainkan hanya dua tema yang saling berkaitan dari jalan harmonis praktik Dhamma yang mengarah menuju Nibbana, pencerahan. Hasil gabungannya adalah kebijaksanaan: perubahan persepsi mendalam yang menyelaraskan pemahaman kita dengan kebenaran-kebenaran alami. Sang Buddha mengajarkan berbagai macam tema meditasi dalam menjawab kebutuhan dan kecenderungan berbeda-beda dari para individu yang terlibat, tetapi semua itu tergabung dan terjalin dalam ketenangan dan pandangan terang ke dalam kain lentur dan kuat dari kebebasan. Bersama-sama, Baik Samatha maupun Vipassanā bekerja untuk membebaskan batin.

Sebelum melanjutkan lebih jauh lagi, mungkin perlu untuk memgklarifikasi beberapa termonilogi. Samatha sesungguhnya bersinonim dengan samādhi, perhatian atau konsentrasi terpusat. Sammā-samādhi, samādhi benar atau sempurna, adalah faktor ke delapan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Agar samādhi menjadi ‘benar’ dan mengarah menuju Nibbāna, maka harus ada kesadaran jernih penuh perhatian (sati) dari momen ke momen. Suatu kondisi samādhi tanpa kesadaran jernih juga dapat merasakan kedamaian dan menenangkan tetapi bukan bagian dari jalan Buddhis. Samādhi yang muncul dari kondisi-kondisi batin yang tidak bermanfaat disebut ‘samādhi salah’ (micchā samādhi), karena tidak mengarah menuju Nibbāna. Kesempurnaan samādhi disebut jhāna. Setelah Sang Buddha wafat, komentar pada ajaran asli memperkenalkan banyak konsep-konsep dan istilah-istilah baru. Misalnya, samādhi ‘penyerapan penuh’ (appanā) merujuk pada jhāna. Samādhi ‘akses’ (upacara) adalah konsentrasi yang tidak semendalam jhāna tetapi berada pada ‘ambang batasnya’. Samādhi ‘saat ke saat’ (khanika) merujuk pada kesadaran terus-menerus yang muncul karena perhatian penuh pada berbagai obyek perhatian berbeda secara berturut-turut, bukan pada satu obyek meditasi tunggal. Hal ini secara efektif mendefinisikan ulang samadhi sebagai kesadaran penuh perhatian.

Tidak diketahui secara persis kapan samatha dan vipassanā mulai dibedakan sebagai cara praktik Dhamma yang berbeda. Mungkin tidak lama setelah Sang Buddha wafat. Tentu saja, pada masa komentar1 istilah samathayānika dan vipassanāyānika telah digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang penekanan utamanya (atau ‘kendaraan’) adalah salah satu atau lainnya. Di sinilah istilah “meditator pandangan terang kering” (sukhavipassaka) pertama kali ditemukan. Hal ini merujuk pada orang yang hanya mengembangkan samādhi saat ke saat atau mempraktikkan meditasi pandangan terang tanpa samatha sama sekali, hanya mempertahankan pengamatan saat ke saat yang tidak berkesinambungan dari proses perubahan jasmani dan batin. Pada titik ini dalam sejarah rujukan-rujukan masih sedikit dan singkat. Hanya dalam literatur sub-komentar samathayāna dan vipassanāyāna dijelaskan dan digambarkan sebagai jalan praktik yang berbeda. Penambahan komentar ini telah menjadi topik kontroversi, khususnya pertanyaan yang telah sering kali diajukan sehubungan dengan apakah samādhi saat ke saat memenuhi faktor samādhi benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Sang Buddha mengajarkan bahwa adalah mustahil untuk mencapai Nibbāna tanpa menyempurnakan seluruh delapan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam kumpulan AjaranNya, sutta-sutta, definisi yang dicakup oleh samādhi benar pada Sang Jalan itu adalah empat jhāna pertama.

“Dan apakah, Teman-teman, samādhi benar itu? Di sini, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, setelah melampaui kondisi-kondisi batin yang tidak bermanfaat, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jalan pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kebahagiaan, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang karenanya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang nyaman yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini adalah samādhi benar. Ini disebut Kebenaran Mulia Jalan menuju lenyapnya penderitaan.” — (DN 22.21 – MN 141.31)

“’Dhamma ini adalah untuk seorang dengan samādhi, bukan untuk seorang yang tanpa samādhi.’ Demikianlah dikatakan. Untuk alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini seorang bhikkhu memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.” — (AN 8.30)

“Aku katakan, Para Bhikkhu, bahwa hancurnya racun batin adalah bergantung pada jhāna pertama … jhāna ke delapan.” — (AN 9.36)

Kemudian apakah pengalaman jhāna itu? Energi pikiran perlahan-lahan menarik diri dari penghamburan yang biasanya di berbagai pintu indria dan berkumpul secara internal. Segala emosi negatif atau kondisi batin tidak bermanfaat menjadi lenyap. Sensasi memiliki tubuh lenyap. Ia merasa ringan dan gembira, dan pikirannya menjadi diam tanpa memikirkan apa pun. Kesadaran pikiran kemudian diarahkan dengan lebih sungguh-sungguh pada refleksi pikiran itu sendiri, biasanya dialami sebagai cahaya terang, hingga hubungan subyek/obyek melebur menjadi suatu pengalaman kesatuan. Kemudian pikiran menjadi terpusat, tidak bergerak dan bergembira. Tidak ada perhatian pada dunia eksternal. Apa yang tersisa adalah sifat dasar pikiran “mengetahui”, tanpa batas dan kesadaran jernih. Keadaan ini dapat bertahan dari beberapa menit hingga beberapa hari. Pengalaman meditasi mendalam demikian membentuk dasar ilmu kebatinan pada tradisi spiritual. Suatu kejernihan dan kemurnian yang meliputi segalanya, suatu rasa kesatuan mendalam, dan kebahagiaan memuaskan yang dalam – hal-hal ini adalah tanda-tanda jhāna.

“Bagi seseorang yang memiliki jhāna dan kebijaksanaan, Nibbāna adalah dekat.” — (Dhp 372)

Setelah Sang Calon Buddha (Bodhisatta) mengambil jalan pertapaan keras dan penyiksaan diri hingga mencapai batasnya dan masih gagal mencapai pembebasan, Beliau mengingat suatu peristiwa ketika Beliau masih seorang kanak-kanak duduk di bawah sebatang pohon jambu sewaktu ayahNya melakukan upacara kerajaan. Ketika Beliau sedang menunggu di sana pikirannya secara spontan menjadi tenang hingga pada titik memasuki jhāna pertama, dan ia mengalami kegembiraan yang lebih dari apa yang pernah ia rasakan. Kemudian si Bodhisatta yang sedang kelaparan itu berpikir, “Apakah itu adalah jalan menuju pencerahan?”jawaban datang melalui intuisinya, “Ya, ini adalah jalannya. Mengapa aku takut pada kebahagiaan yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria atau kondisi batin yang tidak bermanfaat?” kemudian Beliau meninggalkan penyiksaan dirinya dan berjalan menuju ke Pohon Bodhi. Di sana Beliau duduk dan mengarahkan perhatiannya yang terpusat hingga memasuki tingkatan jhāna yang semakin mendalam, dan setelah keluar dari sana Beliau mampu merenungkan dengan jelas yang mencabut semua racun batinnya. Demikianlah Beliau tercerahkan sempurna, dan selanjutnya Beliau dikenal sebagai Buddha.

Ketika Sang Buddha kemudian mempertimbangkan untuk mengajar, Beliau merenungkan siapakah yang akan paling mudah memahami. Orang pertama yang terpikir olehNya adalah kedua mantan gurunya. Setelah menguasai jhāna ke tujuh dan ke delapan, mereka telah memiliki landasan untuk memahami apa yang Beliau temukan. Jika seseorang telah mengembangkan jhāna dan menguasai konsep dasar dan kontemplasi Dhamma dari Sang Buddha, kebijaksanaan cerah dapat muncul dengan mudah. Seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha,

“Bagi seseorang yang memiliki samādhi benar adalah tidak perlu membangkitkan kehendak, “Semoga aku melihat segala sesuatu sebagaimna adanya.” Hal itu adalah proses alami, hal itu selaras dengan alam, bahwa seseorang yang memiliki samādhi benar akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.” — (AN 10.3)

Hal ini kemudian menjadi kondisi bagi beralihnya dan meluruhnya nafsu, bagi pembebasan dan Nibbāna. Demikian pula,

“Bagi seseorang yang tidak memiliki samādhi benar, kemampuan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya menjadi hancur … peralihan dan peluruhan nafsu menjadi hancur … dan (kesempatan bagi) pembebasan menjadi hancur.” — (AN 5.24)

Sang Buddha berkata bahwa adalah mustahil untuk memperoleh pandangan cerah yang membebaskan selama satu atau lebih rintangan masih menjangkiti batin (AN 5.51). Rintangan-rintangan batin ini dikelompokkan sebagai 1) keinginan indria, suatu ketertarikan dan keterlenaan dalam dunia lima indria, 2) kemarahan, keengganan, frustrasi, kekecewaan, 3) ketumpulan atau kantuk, 4) kegelisahan, penyesalan, kecemasan, rasa bersalah, dan 5) keragu-raguan. Jika salah satu dari rintangan ini atau kondisi yang berhubungan muncul, maka batin menjadi terganggu dan bingung. Kelima rintangan ini membuat batin menjadi kaku, lemah, dan tidak dapat bekerja. Kebodohan memelihara kelima rintangan ini. Kelima rintangan ini adalah sebab dan kondisi bagi pemahaman yang menipu, dan tanpa keheningan batin dan ketenangan samatha dapat dipastikan bahwa batin masih dibayang-bayangi oleh pengaruhnya (MN 68.6).

Ketidakhadiran terus-menerus dari kelima rintangan ini adalah apa yang disebut samādhi akses. Di sini keenam indria berfungsi, tetapi dalam zona damai. Ini adalah bengkel kebijaksanaan. Ini adalah di mana penyelidikan dan analisis dapat memberikan hasil yang signifikan. Selama waktu yang cukup lama setelah keluar dari jhāna seseorang masih sepenuhnya terbebas dari rintangan-rintangan yang menipu ini, dan hasilnya yang merupakan batin yang sensitif, lentur dan bercahaya siap untuk melihat dengan jelas. Apa yang dilihat akan terlihat sesuai dengan relitas.

Terdapat perbedaan kualitatif antara samādhi akses tanpa jhāna dan samādhi setelah jhāna. Yang ke dua adalah jauh lebih kuat, jauh lebih sedikit halangan. Ini seolah-olah jendela-jendela kesadaran indria, yang kotor oleh keinginan, kemarahan, dan kebodohan, telah tiba-tiba dibersihkan, dan hutan di luar terlihat bermandikan gemerlap sinar mentari. Biasanya pikiran kita menyaring dan membungkus apa yang dialami melalui kebiasaan persepsi yang terkondisi secara mendalam. Apa yang kita pikir kita lihat dan dengar mungkin saja berbeda dengan realitas. Akan tetapi, segera setelah jhāna, asumsi keliru dan persepsi sesat yang paling menonjol yang menyelewengkan data indria ditekan untuk sementara waktu. Ini adalah jendela di mana kesadaran tunggal adalah mungkin.

Jhāna memperkuat kesadaran. Baik samatha maupun vipassana didasarkan pada pengembangan perhatian tajam secara terus-menerus pada saat ini, tapi hanya perhatian saja tidak memiliki kemampuan untuk mencerahkan. Perhatian harus di pusatkan dan diarahkan. Jhāna memberikan kekuatan pada pikiran, sehingga ketika kita merenungkan sesuatu maka pemahaman kita memiliki kemampuan unuk menembus secara mendalam pada sifat sejatinya. Apa yang kita lihat menjadi lebih nyata. Samādhi memegang penglihatan kita dengan kokoh, sehingga kita dapat melihat suatu obyek dengan jelas. Hal ini dapat diumpamakan dengan tangan yang memegang cermin dengan kokoh sehingga kita dapat melihat pantulan bayangan kita dengan baik. Sementara samatha secara sendirian tidak memiliki kemampuan untuk mencabut kekotoran, vipassanā secara sendiri juga hanya berselancar di atas permukaan tanpa menembus. Secara bersama-sama manfaatnya adalah tidak terbatas.

Samādhi mendalam memberikan suatu pengalaman keheningan sejati, keheningan batin mendalam. Keheningan ini membebaskan batin dari celoteh pikiran yang sia-sia, dari kekejaman ocehan opini-opini. Kebijaksanaan sejati tidak muncul dari penalaran. Tentu saja, merenungkan Dhamma dengan mempertimbangkannya menggunakan cairan-penggosok-batu pikiran disiplin dapat memuluskan jalan menuju pandangan terang dengan bebatuan halus, tetapi hal ini pada akhirnya akan menjadi rintangan di dalamnya. Pikiran yang berpikir bukanlah kebijaksanaan. Intelektual tidak mampu secara langsung mengalami realitas. Pikiran telah ternoda oleh pandasan-pandangan dasar kita tentang dunia. Karena pikiran-pikiran kita, pandangan-pandangan dan persepsi-persepsi secara begitu mendasar membentuk realitas kita, hal ini memerlukan suatu pengalaman yang berbeda secara radikal untuk menantangnya dan membangunkan batin yang tidak tercerahkan. Salah satu tantangann bagi meditator berpendidikan tinggi adalah untuk meninggalkan kegemaran atau pengidentifikasian pikiran-pikiran yang menarik baginya. Hal ini memerlukan suatu keinginan agar menjadi berpemikiran sederhana, sediam dan setenang puncak gunung tanpa angin tanpa seorang pun di sana.

Ketika samatha mencapai puncak keterpusatan dan kesadaran jernih, bagian-bagian signifikan dari apa yang sebelumnya diasumsikan sebagai aspek yang tetap dari diri seseorang lenyap untuk beberapa saat. Apa yang membentuk kehendak untuk berbuat, berbicara dan berpikir (cetana) lenyap dalam jhāna. Fungsi kelima indria juga lenyap, sehingga ia tidak menerima kesan apa pun dari luar. Karena selama dalam jhāna pikiran sepenuhnya terpusat pada hanya satu obyek perhatian, maka adalah mustahil untuk melakukan penyelidikan pada saat itu. Akan tetapi, begitu seseorang keluar dari kondisi itu, pengalaman mengetahui suatu tingkatan berbeda dari realitas tidak dapat mengubah pandangannya akan dunia.

“Adalah tidak mungkin untuk meninggalkan belenggu-belenggu (yang mengikat kita pada samsāra: samyojana) tanpa menyempurnakan samādhi. Dan tanpa meninggalkan belenggu-belenggu itu adalah tidak mungkin untuk mencapai Nibbāna.” — (AN 6.68)

Bahkan jika kita menghendaki untuk mengembangkan samatha tanpa vipassanā sama sekali, tentu saja kita juga akan mengembangkan pengamatan yang tidak berhamburan pada jasmani dan batin. Samādhi dinamis ini menyadari arus fenomena internal dan eksternal, persis seperti apa yang menjadi tujuan dari teknik vipassanā. Oleh karena itu, dalam praktiknya, apa yang disebut sebagai samādhi “saat ke saat” berkembang berbarengan dengan meditasi samatha. Dalam proses berusaha mengembangkan samādhi dengan cara mengulang-ulang kata secara batin, memperhatikan nafas, melatih cinta kasih atau teknik samatha lainnya, seseorang akan memperoleh banyak pandangan terang ke dalam bagaimana batin bekerja.

Pada setiap tahap alasan yang membuat pikiran tidak masuk lebih dalam ke dalam samādhi adalah karena kemelekatan. Maka adalah perlu untuk mencari dan memahami apa yang kita lekati.

Semakin halus samādhi, semakin halus dan dalam pula kemelekatan yang kita temukan – ketagihan dan kemelekatan yang mencegah kita mengalami kedamaian dan kebahagiaan yang lebih mendalam. Tanpa melatih meditasi adalah sulit untuk melihat motivasi-motivasi dan asumsi-asumsi kotor yang biasanya mendikte bagaimana kita menjalani kehidupan kita; dan tanpa mengembangkan jhāna juga adalah tidak mungkin untuk memiliki pandangan terang ke dalam kemelekatan yang paling halus yang merintangi pencerahan. Melalui pengungkapan, kemudian penyelidikan dan akhirnya mengatasi rintangan-rintangan pada kedamaian batin, kita banyak belajar tentang diri kita ketika samādhi semakin mendalam dan semakin luhur.

“Bahwa seseorang dapat menyempurnakan kebijaksanaan tanpa menyempurnakan samādhi – ini adalah tidak mungkin.” — (AN 5.22)

Adalah wajar bahwa semakin murni batin, maka semakin besar pula kebahagiaan yang muncul. Kepercayaan (atau asumsi yang meragukan) bahwa dengan menyiksa diri dengan cara tidak memperbolehkan kebahagiaan apa pun muncul maka seseorang akan menjadi suci ditolak oleh Sang Buddha. Dalam merumuskan Jalan Tengah Beliau mengajarkan bahwa dengan melepaskan kenikmatan indria maka seseorang mengalami kebahagiaan yang lebih baik dan lebih memuaskan. Proses organik ini dijelaskan dalam banyak sutta.

“Ketika seseorang mengetahui bahwa batinnya bebas dari kelima rintangan, maka kegembiraan muncul, dari kegembiraan muncullah kebahagiaan, di mana ada kebahagiaan, jasmani menjadi tenang, dengan ketenangan ia merasakan kebahagiaan dan kebahagiaan mengarah menuju samādhi. Dengan demikian, karena terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi batin tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, yang muncul dari pelepasan, yang dipenuhi dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Kemudian ia meliputi, membasahi, memenuhi dan memancarkan kegembiraan dan kebahagiaan ini hingga tidak ada tempat yang tidak tersentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan itu.” — (DN 2.75)

Samādhi membawa kebahagiaan tanpa cela dan tanpa noda yang muncul dari dalam batin. Hal ini membuat jalan Sang Buddha menjadi satu kegembiraan dan kepuasan. Beliau memuji jhāna-jhāna sebagai suatu ‘kediaman bahagia di sini dan saat ini’ dan ‘Nibbāna di sini dan saat ini’. Adalah intensitas dari kebahagiaan non-duninawi ini yang merupakan pemikat untuk menarik batin dari kemelekatan pada keduniawian.

Setelah mengalami kebahagiaan yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh kenikmatan indria, adalah masuk akal untuk mengasumsikan bahwa seseorang mungkin dapat melekatinya. Sesungguhnya adalah tidak mungkin melekati jhāna-jhāna dalam suatu cara yang dapat mengarah pada penderitaan (dukkha). Menuruti sifatnya jhāna-jhāna adalah kondisi melepaskan kemelekatan. Adalah mungkin untuk menikmati manisnya jhāna-jhāna lebih lama dari yang diperlukan dan dengan demikian menunda kemajuan seseorang. Juga adalah wajar bahwa seseorang yang mahir dalam memasuki jhāna-jhāna pada awalnya akan secara keliru mengartikannya sebagai suatu tingkat pencerahan. Pada tahap ini kekuatan samādhi mampu secara terus-menerus mempertahankan ketidak-murnian batin tetap di pinggir, apakah sedang bermeditasi atau tidak. Akar-akar kekotoran batin sesungguhnya masih bersembunyi di bawah permukaan atau muncul hanya dalam bentuk-bentuk yang sangat halus.

Akan tetapi, penilaian berlebihan demikian adalah suatu tahap pengembangan yang lebih tinggi. Seseorang yang mahir dalam jhāna-jhāna telah banyak mengurangi kecenderungan kotor yang mendarah-daging untuk mencari kepuasan melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sensasi fisik dan pemikiran duniawi. Jika orang itu mengenali dan tertarik untuk mengikuti ajaran-ajaran Buddha, maka mereka telah berada di jalan menuju Nibbāna. Hanya saja mereka masih belum sampai.

“Para bhikkhu, seperti halnya Sungai Gangga yang mengarah, miring dan condong ke arah samudera, demikian pula seorang bhikkhu yang mengembangkan dan melatih empat jhāna akan mengarah, miring dan condong ke arah Nibbāna.” — (SN 53.6)

Pada masa Sang Buddha terdapat para petapa dari sekte lain yang mengkritik Beliau dan para siswaNya karena menikmati meditasi. Sang Buddha menjawab: “Ada empat jenis kehidupan ini yang menekuni kenikmatan yang sepenuhnya mendorong menuju kekecewaan, menuju meluruhnya nafsu, menuju lenyapnya, menuju ketenangan, menuju pencapaian, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Apakah itu? [Kemudian Sang Buddha membabarkan definisi umum dari empat jhāna yang disebutkan di atas.] Maka jika para pengembara dari sekte lain mengatakan bahwa para pengikut Sakya ketagihan pada empat bentuk pencarian-kenikmatan ini, mereka harus dijawab: ‘Ya’, karena mereka mengatakan yang sebenarnya tentang kalian. Mereka tidak memfitnah kalian dengan pernyataan yang salah atau tidak benar. “Kemudian para pengembara itu mungkin bertanya: ‘Baiklah, mereka yang tunduk pada empat bentuk pencarian-kenikmatan ini – apakah hasil, apakah manfaat yang mereka harapkan untuk dicapai?’ Dan kalian harus menjawab: ‘Mereka dapat mengharapkan empat manfaat.’ Apakah itu? Pertama adalah ketika seorang bhikkhu melalui hancurnya tiga belenggu telah menjadi Pemenang-Arus (Sotāpanna, tingkat pertama pencerahan), tidak mungkin lagi terlahir di alam-alam rendah, pasti mencapai pencerahan sempurna; yang ke dua adalah ketika seorang bhikkhu melalui hancurnya tiga belenggu dan melemahnya nafsu, kebencian, dan kebodohan, telah menjadi Yang-Kembali-Sekali, dan setelah kembali sekali lagi ke dunia ini, akan mengakhiri penderitaan; yang ke tiga adalah ketika seorang bhikkhu melalui hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, telah terlahir kembali secara spontan [di alam Brahma], dan akan mencapai Nibbāna tenpa kembali dari alam itu. Yang ke empat adalah ketika seorang bhikkhu, dengan hancurnya racun-racun batin telah, dalam kehidupan ini juga, melalui pengetahuan dan pencapaiannya sendiri, mencapai Kearahatan, mencapai kebebasan batin melalui kebijaksanaan. Demikianlah empat hasil dan empat manfaat yang dapat diharapkan oleh seseorang yang tunduk pada empat bentuk pencarian-kenikmatan ini.” — (DN 29.25,25)

Dalam spektrum luas dari praktik meditasi Buddhis masa kini terdapat beberapa metode yang memberikan keunggulan unik pada vipassāna. Teknik-teknik ‘vipassāna’ ini menekankan pada penyelidikan dan mengecilkan pentingnya samatha. Berdiam dalam samādhi dianggap sebagai sekadar pilihan atau tidak dianjurkan.

Secara tradisional praktik Dhamma dari aliran-aliran ini bersumberkan pada sebuah sutta dalam Anguttara Nikāya (AN 4.170) di mana Yang Mulia Ananda merumuskan empat cara di mana seseorang dapat mencapai pencerahan. Pertama adalah pola standard samatha menuju vipassanā, mengarah menuju penembusan. Ke dua (poin yang dipertanyakan) adalah vipassanā menuju samatha, mengarah menuju penembusan. Ke tiga adalah jhāna dan vipassanā bergantian, yang memperdalam jhāna dan kemudian mengarah menuju penembusan. Ke empat berhubungan dengan menyadari bahwa ia telah terlalu tinggi menilai pencapaian meditatifnya dan oleh karena itu memperbaiki kesalah-pahamannya, menghasilkan penembusan. Kenyataannya tidak ada disebutkan jalan vipassanā yang langsung mengarah pada penembusan. Sebaliknya, ajaran ini tampaknya bahwa masing-masing meditator memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, tetapi hanya ketika samatha dan vipassanā ditempatkan secara seimbang maka penembusan terjadi. Gerakan mengesampingkan peran samādhi dalam jalan praktik bukannya tidak diramalkan oleh Sang Buddha. Beliau meramalkan bahwa di masa depan ajaran Dhamma tidak akan merosot karena bencana dari luar melainkan karena Dhamma palsu perlahan-lahan menyusup.

“Ada lima hal perusak yang mengarah menuju kehancuran dan lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini? Di sini, para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki dan umat awam perempuan berdiam tanpa penghormatan kepada Sang Guru (Sang Buddha), … Dhamma, … Sangha yang telah ditahbiskan, … latihan menuju pembebasan, … dan samādhi.” — (SN 16.13)

Komentar mendefinisikan “berdiam tanpa penghormatan kepada samādhi” sebagai tidak mencapai, atau tidak berusaha untuk mencapai delapan jhāna.

Namun demikian, teknik-teknik vipassanā telah berhasil membantu banyak orang mendapatkan pemahaman ke dalam kehidupan mereka dan membebaskan batin mereka dari kesakitan dan penderitaan. Salah satu penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah bahwa keberhasilan praktik vipassanā sebagian besar bergantung pada tingkatan sejauh mana praktik ini dilatih secara seimbang dengan samatha. Beberapa orang memiliki bakat alami dalam samādhi, dan mengembangkannya tanpa usaha keras. Juga, di masa lalu tampaknya mengarahkan pikiran ke dalam keheningan batin yang diam adalah jauh lebih mudah. Di Burma masa lalu (sekarang Myanmar) di mana teknik vipassanā sekarang ini berasal, kondisi kehidupan adalah sangat berbeda daripada kondisi meditator masa kini. Contohnya, seseorang yang tumbuh besar dalam budaya Buddhis, di mana keyakinan kuat dalam Dhamma dan moralitas yang baik adalah hal yang normal; di mana kehidupan (terutama di daerah pedesaan) adalah sangat sederhana dan menenangkan; di mana minat pada meditasi cukup populer dan meluas, dan mengurung diri sendirian di sebuah kamar selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan melakukan meditasi selama lebih dari dua belas jam sehari, adalah mudah untuk membayangkan bahwa mereka akan dapat mencapai samādhi yang mencukupi – mungkin cukup untuk mendukung pandangan terang yang dalam.

Bahkan di masa kini retreat-retreat vipassanā menciptakan kondisi-kondisi khusus: sedikit atau sama sekali tidak berbicara, tidak membaca, tidak ada kontak mata atau gangguan eksternal. Ini adalah kondisi-kondisi yang menghasilkan samādhi. Beberapa retreat secara khusus menekankan pada perhatian pada pernafasan (ānāpānasati) selama porsi awal untuk mengembangkan samādhi sebagai landasan persiapan. Yang lainnya mengajarkan bahwa dalam wilayah kesadaran seorang yogi vipassanā nafas harus menjadi pilihan utama. Demikianlah dalam tahap awal, perbedaan antara vipassanā dan perhatian pada pernafasan adalah minimal. Di negara-negara Barat, pusat-pusat vipassanā menemukan bahwa adalah sangat bermanfaat untuk mengajarkan meditasi cinta-kasih dan belas-kasihan (mettā, karunā bhavanā). Tujuannya adalah untuk membebaskan batin (walaupun sementara) melalui kondisi pikiran positif yang tanpa batas, tidak membedakan dan tidak memihak – persis sama dengan kondisi jhāna. Dalam pengalaman nyata tampaknya teknik-teknik vipassanā memberikan manfaat optimal jika dikombinasikan dengan samatha.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang mengarah menuju yang tidak terkondisi? Samatha dan vipassanā.” — (SN 43.2)

Sejauh yang kita ketahui Sang Buddha tidak pernah mengajarkan praktik Dhamma yang selaras dengan apa yang kita pikir saat ini sebagai meditasi vipassanā. Tampaknya pada awalnya tidak ada jalan pandangan terang kering. Dalam keseluruhan koleksi ajaran tidak ada satu pun rujukan pada vipassanā di mana tidak digabungkan dengan samatha atau jhāna.

Perhatikan contoh-contoh berikut ini. Pandangan benar dibantu oleh lima faktor agar mencapai kematangan dalam kebebasan batin melalui kebijaksanaan: moralitas, pembelajaran, diskusi, samatha dan vipassanā (MN 43.14). Juga, bagi seseorang yang telah memenuhi Jalan Mulia Berunsur Delapan, “samatha dan vipassanā muncul bergandengan secara seimbang” (MN 49.10). Metode pencapaian Kearahatan Yang Mulia Sāriputta dijelaskan (MN 111.2) sebagai “pandangan terang ke dalam kondisi-kondisi satu demi satu pada saat munculnya.”2 Terdengar seperti hanya pandangan terang saja, tetapi kondisi-kondisi yang ia renungkan adalah faktor-faktor jhāna-jhāna pertama hingga ke delapan. Akhirnya, dalam sutta Perhatian pada Pernafasan (MN 118) instruksi-instruksi yang diberikan untuk bermeditasi pada pernafasan adalah proses tahap demi tahap yang termasuk baik ketenangan maupun pandangan terang dan memuncak pada pencerahan.

Definisi perhatian benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah empat pemusatan perhatian (satipatthāna). Walaupun tidak ada pendukung dalam sutta-sutta untuk menyamakan vipassanā dengan empat pemusatan perhatian, aliran-aliran vipassanā cenderung melihat pada sutta-sutta ini sebagai inspirasi dan pembenaran. Akan tetapi, Maha Satipatthanā Sutta (DN 22) mendefinisikan samādhi benar sebagai jhāna-jhāna. Sutta-sutta juga menyebutkan bahwa satipatthāna harus dilakukan setelah pikiran terbebas dari ‘ketamakan dan kesedihan akan dunia.’3 frasa ini adalah sinonim dari kelima rintangan. Agar pikiran menjadi murni dari kelima rintangan selama waktu yang lama diperlukan samādhi yang stabil. Sang Buddha juga mengajarkan (MN 125.23 – 25) bahwa salah satu tujuan dari empat pemusatan perhatian adalah meredakan ingatan dan motivasi seorang bhikkhu atau bhikkhunī yang berhubungan dengan kehidupan awam agar dapat memasuki jhāna. Hal ini kemudian mengarah menuju pemurnian pikiran dan pencerahan sempurna. Jadi empat pemusatan perhatian dimaksudkan untuk dilakukan setelah samādhi mencapai tahap yang mantap atau sebagai alat untuk mengembangkan samādhi.

Pembenaran skolastik utama untuk menganggap samatha adalah pilihan terdapat bukan dalam sutta-sutta, tetapi dalam komentar dan sub-komentar. Tradisi komentar menganggap bahwa tingkat-tingkat pencerahan muncul pada tingkat intensitas jhāna untuk memenuhi faktor samādhi benar. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa satu momen pikiran jhāna sudah mencukupi. Pada kenyataannya, tampaknya adalah demi untuk mempertahankan energi terpusat selama waktu yang cukup lama yang menghasilkan kekuatan yang diperlukan untuk memotong kebodohan dan mencapai pencerahan.

Pencapaian pencerahan sempurna memiliki dua aspek: kebebasan pikiran4, yang merujuk pada jhāṅa, dan kebebasan melalui kebijaksanaan.5 demikianlah puncak vipassanā, pandangan terang ke dalam dan pencapaian Nibbāna, dijelaskan oleh Sang Buddha di banyak tempat seperti:

“Ini damai. Ini luhur. Yaitu, ‘sabbe sankhāra samatha’, ‘penenangan’ sepenuhnya atas segala fenomena terkondisi.”

Sementara itu puncak samatha, suatu kondisi yang dikenal sebagai lenyapnya persepsi dan perasaan6, mengarah menuju pandangan terang yang menghasilkan tingkat pencerahan ke tiga7. Sang Buddha bahkan menyamakan jhāna-jhāna dengan pencerahan tertinggi8, dengan menunjukkan kualitas pelenyapan yang terlibat. Contoh-contoh ini semuanya memberikan poin penting: samatha dan vipassana pada dasarnya tidak terpisahkan.

“Sariputta, seorang bhikkhu harus merenungkan: ‘Apakah samatha dan vipassanā telah terkembang dalam diriku?’ Jika dengan merenungkan ia mengatahui, ‘Samatha dan vipassanā belum terkembang dalam diriku,’ maka ia harus berusaha untuk mengembangkannya. Tetapi jika setelah merenungkan ia mengetahui, ‘Samatha dan vipassanā telah terkembang dalam diriku,’ maka ia dapat berdiam dalam kebahagiaan dan kegembiraan, berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi batin bermanfaat.” — (MN 151.19)

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan yang mengarah menuju ke yang tidak terkondisi? Samādhi dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran (jhāna pertama) Samādhi tanpa awal pikiran tetapi dengan kelangsungan pikiran Samādhi tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran. (jhāna ke dua).” — (SN 43.3)

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan menuju ke yang tidak terkondisi? Samādhi kekosongan (suññata samādhi).” — (SN 43.4)

“Siapa pun yang mengembangkan cinta kasih hingga pada tingkat tanpa batas [jhāna] dan mengarahkan pikiran mereka pada melihat akhir kelahiran, maka belenggu-belenggu mereka telah dikurangi.” — (AN 8.1)

“Jika seorang bhikkhu berkeinginan: ‘Semoga aku berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan’ … maka ia harus memenuhi aturan-aturan, menekuni ketenangan batin internal, tidak mengabaikan jhāna, memiliki pandangan terang dan berdiam dalam gubuk-gubuk kosong.” — (MN 6.19)

“Para bhikkhu, kembangkanlah samādhi. Seorang bhikkhu yang telah mengembangkan samādhi memahami segala sesuatu sebagaimana adanya.” — (SN 22.5)

“Hiduplah dengan menikmati keheningan, para bhikkhu. Hiduplah dengan bergembira dalam keheningan. Tekunilah pengembangan batin dalam samatha, tidak mengabaikan jhāna-jhāna; mempraktikkan vipassana dan sering mengunjungi tempat-tempat sunyi.” — (It 45)

“Seseorang yang dengan waspada penuh perhatian dengan pemahaman jernih, yang memiliki konsentrasi yang terkembang baik, yang menemukan kegembiraan dalam keberhasilan orang lain dan tenang; dengan benar merenungkan segala sesuatu dengan pikiran terpusat, pada akhirnya akan menghancurkan kegelapan kebodohan. Oleh karena itu tekunilah kewaspadaan, seorang bhikkhu yang tekun, melihat dan mencapai jhāna.” — (It 47)

“Inti dari kata-kata yang diucapkan dengan baik adalah pemahaman. Inti dari pembelajaran dan pemahaman adalah samādhi.” — (Sn 329)

“Bersungguh-sungguh pada jhāna, bertekad teguh, bergembira di dalam hutan, seseorang harus bermeditasi di bawah pohon: penuh kegembiraan … Dalam disiplin hidup sendirian, dalam melayani para petapa, ini adalah keheningan kesendirian yang merupakan kebijaksanaan.” — (Sn 709,718)

“Selama seseorang belum mencapai kebahagiaan yang terasing dari kenikmatan indria dan terasing dari kondisi-kondisi pikiran tidak bermanfaat [merujuk pada jhāna pertama dan ke dua] atau sesuatu yang lebih damai daripada itu, maka kelima rintangan bersama-sama dengan ketidakpuasan dan kebosanan akan menyerbu pikiran dan menetap di sana.” — (MN 68.6)

“Seseorang berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi … Apakah latihan dalam pikiran yang lebih tinggi? Di sini seorang bhikkhu … memasuki dan berdiam dalm jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.” — (AN 3.84, 88, 89)

“Samādhi adalah jalan. Tanpa samādhi adalah jalan yang buruk.” — (AN 6.64)

Di Thailand, salah satu tradisi kontemplatif yang paling bersemangat telah keluar dari hutan-hutan, gunung-gunung dan gua-gua di Timur Laut. Dalam lingkaran praktik Dhamma: moralitas, samādhi dan kebijaksanaan adalah kelompok tiga yang tidak terpisahkan, dan samatha dan vipassanā diajarkan secara turun temurun.

Salah satu guru hutan yang paling terkenal adalah Yang Mulia Ajahn Chah. Gaya mengajarnya yang membumi dikarakteristikkan dengan pengungkapan banyak metafora yang ditarik dari dunia alami, termasuk banyak yang mengilustrasikan hubungan antara ketenangan dan pandangan terang.

“Meditasi bagaikan sebatang tongkat kayu. Vipassanā adalah salah satu ujungnya dan samatha adalah ujung lainnya. Jika kita memungutnya, apakah hanya salah satu ujungnya yang terambil atau keduanya? Pandangan terang harus berkembang dari kedamaian dan ketenangan. Keseluruhan prosesnya akan muncul secara alami. Kita tidak dapat memaksakannya.” 9

Ajahn Chah juga membandingkan kedua sisi pengembangan batin dengan menggigit dan mengecap buah apel. Menggigit dan mengecap adalah berbeda, tetapi bagaimana kita dapat mengecap buah apel tanpa menggigitnya? Dengan merujuk pada samādhi dan kebijaksanaan ia memberikan pertanyaan, “Apakah sebutir mangga yang belum masak dan ketika sudah masak adalah sama atau berbeda?” Itu adalah mangga yang sama, demikianlah samādhi menjadi masak dan semakin masak dalam kebijaksanaan.

“Samādhi membentuk landasan bagi perenungan dan vipassanā. Segala sesuatu yang dialami dengan pikiran yang damai memberikan pemahaman yang lebih baik.”9

Ajahn Chah mengajarkan bahwa vipassanā adalah bagaikan menyalakan korek api. Korek api menghasilkan api, tetapi apinya hanya bertahan selama satu kilatan. Mengembangkan samatha adalah bagaikan mencelupkan sumbu ke dalam cairan lilin untuk membuat lilin. Semakin lama anda mencelupnya, semakin baik lilinnya. Secara berdiri sendiri sebatang lilin tidak menghasilkan cahaya, tetapi memiliki potensi besar. Jika kemudian anda menggunakan korek api untuk menyalakan lilin, maka anda memiliki sumber untuk mempertahankan cahaya yang dapat membantu anda melihat.

Mungkin adalah suatu pengamatan yang penting bahwa sebagian besar Bhikkhu Hutan Thai, Bhikkhunī, dan umat awam di abad lalu dan abad ini yang dipercaya telah mencapai pencerahan tampaknya memiliki kemampuan untuk memasuki jhāna.10 Walaupun Ajahn Chah lebih dikenal akan ajarannya yang menekankan pengembangan kebijaksanaan, namun ia sendiri menguasai samādhi hingga pada tingkat mampu memasuki jhāna dalam satu tarikan nafas. Dengan landasan yang begitu kuat, kontak indria dapat menjadi sumber kebijaksanaan. Seperti yang ia nasihatkan,

“Masa kini banyak orang mengajarkan vipassanā. Aku akan mengatakan hal ini: melakukan vipassanā bukanlah hal yang mudah. Kita tida bisa begitu saja melompat ke dalamnya. Seperti yang kulihat, jika kita mencoba untuk melompat langsung ke dalam vipassanā, maka kita melihat bahwa adalah tidak mungkin berhasil menyelesaikan perjalanan ini.”

Pertanyaan atas peran samatha yang begitu penting adalah karena samatha mulai mendefinisikan keseluruhan cara pendekatan pada kehidupan. Ratusan keputusan minor yang dibuat sepanjang hari bergantung pada tingkat sejauh apa kita menghargai ketenangan. Untuk tidak terhanyut ke dalam arus gangguan memerlukan usaha sadar. Walaupun menggabungkan kesadaran ke dalam gaya hidup materialistis yang penuh kesibukan tentu saja dapat menghasilkan hasil yang indah dalam hal pengurangan ketegangan, hubungan yang harmonis dan bahkan meningkatkan kenikmatan indria, namun adalah tidak realistis untuk berpikir bahwa pada suatu hari hal ini akan mengarah menuju pencerahan.

Kebebasan, seperti yang didefinisikan oleh Sang Buddha, memerlukan perubahan mendasar dalam hal bagaimana kita berhubungan dengan aspek jasmani dan batin dari pengalaman kita. Praktik Dhamma yang mengarah menuju kebebasan ini memerlukan bukan hanya sekadar teknik melainkan keseluruhan gaya hidup yang mendukungnya, perlambatan signifikan dari langkah terburu-buru yang pada masa kini dianggap normal. Jika kita tertarik pada pencerahan, maka kita harus melambat dan menjadi lebih sederhana. Daripada mencoba mengubah ajaran Buddha agar sesuai dengan gaya hidup kita, seharusnya kita mencoba untuk mengubah gaya hidup kita agar sesuai dengan ajaran Buddha.

Telah sering kali diamati bahwa kita dari generasi sekarang ini, umumnya berpendidikan tinggi dan penuh informasi, yang hidup dalam tempo cepat dan masyarakat yang rumit, yang tumbuh dengan stimulasi media dan dipelihara dengan rangsangan indria yang berlebihan, kehilangan sentuhan dengan ketenangan. Banyak orang menjadi tidak seimbang pada sisi kekurangan-samatha. Sisi analitis dari pikiran kita biasanya terkembang dengan baik karena budaya lingkungan, tetapi tanpa energi terpusat dari samādhi terus-menerus maka ‘pandangan terang’ tidak memiliki cukup kekuatan untuk mengubah kehidupan kita.

Tradisi Buddhis apa pun yang kita ikuti, semua meditator pada akhirnya bertujuan pada hal yang sama: suatu kesempatan bagi bangkitnya pandangan terang yang membebaskan melalui kesadaran tanpa terputus dari arus fenomena yang selalu berubah, tanpa kehadiran kelima rintangan. Pertanyaannya adalah: apakah hal ini mungkin tanpa adanya jhāna? Untuk mempertahankan tingkatan kemurnian pikiran ini selama kurun waktu yang cukup lama sambil menyelidiki jasmani dan batin adalah pencapaian yang luhur. Bagi meditator pada umumnya, bantuk-bentuk halus dari kelima rintangan akan menyelinap ke dalam batin dan menetap di sana tanpa terdeteksi.

Apakah mengalami jhāna adalah kemungkinan yang realistis bagi para meditator masa kini? Satu hal yang pasti adalah: jika kita tidak mencoba, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Dan jika kita percaya bahwa hal itu adalah mustahil bagi kita, maka kita telah membunuh kesempatan kita bahkan sebelum kita memulai. Fungsi Dhamma bekerja menuruti hukum alam. Jika sebab dan kondisi yang mengarah menuju jhāna telah terkembang, maka hasilnya akan mulai muncul pada waktunya. Kemudian kita dapat mengetahuinya untuk diri kita sendiri, tidak bergantung pada apa yang dikatakan oleh orang lain, apakah samādhi mendalam itu dan apa hasil yang dimilikinya.

Pada masa penuh kesibukan sekarang ini masih ada umat-umat awam serta para bhikkhu dan bhikkhunī yang dapat mencapai jhāna. Hal ini bukanlah karena mereka dilahirkan dengan kemampuan seperti itu. Jhāna harus dikembangkan. Tentu saja, bahkan jika kita setuju bahwa melatih samatha memainkan peran penting dalam pengembangan batin yang sehat, namun tidak ada jaminan keberhasilan dalam menenangkan kesalahan-kesalahan batin. Tetapi tanpa pertama-tama memunculkan gagasan bahwa kedamaian batin adalah sungguh penting, maka tidak dapat diharapkan bahwa kita akan mengerahkan waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melatihnya. Jika kondisi-kondisi yang mendukung tercapainya samādhi belum muncul dalam hidup kita, ada langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk memunculkannya.

Suatu dasar yang penting bagi meditasi adalah untuk mempertahankan tingkat moralitas yang tinggi, hidup dengan berbelas kasihan dan bertanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain dengan menegakkan lima aturan Buddhis dasar. Yaitu, 1) hidup tanpa kekerasan dengan tidak dengan sengaja mencelakai makhluk hidup. 2) mengembangkan kejujuran dengan tidak mencuri atau menipu, 3) bertanggung jawab secara seksual dengan menghindari perselingkuhan atau perilaku seksual yang tidak benar. 4) berbicara jujur dan 5) melatih kewaspadaan dengan menghindari alkohol dan zat-zat memabukkan. Menilai kebajikan dan mewujudkan cinta kasih dalam hidup kita dapat mengurangi rintangan yang kita alami selama duduk di atas alas duduk meditasi atau melangkah di jalan setapak.

Untuk mempertahankan dan menggabungkan manfaat-manfaat meditasi, ketenangan pengendalian indria adalah sangat efektif. Sang Buddha berulang-ulang menekankan pentingnya menegakkan perhatian pada pintu-pintu indria untuk mengurangi keterlibatan pada kenikmatan-indria. Kebahagiaan yang muncul dalam jhāna sepenuhnya tidak bergantung pada kenikmatan indria. Gairah dan rangsangan sesungguhnya adalah halangan bagi meditasi mendalam. Ketika kita mencari perlindungan dalam stimulasi eksternal dan batin kita cenderung mencarinya, maka jhāna tidak dapat terjadi. Carilah ke dalam batin untuk kebahagiaan yang sesungguhnya dan dapat diandalkan.

Keberhasilan dalam meditasi juga menuntut praktik yang konsisten dan latihan yang tekun. Berapa seringkah kita bermeditasi? Berapa lama? Kita harus bersedia untuk menginvestasikan energi dan waktu tanpa mencari jalan pintas yang tidak ada. Jhāna sering dialami dalam situasi-situasi retreat, karena suasana yang tenang, persoalan eksternal yang minimum, orang-orang saling berdiam diri, guru mendorong mereka dan mereka bermeditasi berjam-jam setiap hari. Maka, sebagai tambahan dari praktik sehari-hari yang stabil, secara periodik memberikan persembahan dalam bentuk retreat meditasi kepada diri kita dapat memberikan perbedaan besar dalam menenangkan batin yang bergejolak.

Begitu kita telah mengambil langkah untuk hidup secara bermoral dan tenang dan bermditasi setiap hari, kita akan mulai mengalami kebahagiaan dari pikiran yang tenang. Suatu rintangan yang mungkin muncul pada titik ini adalah ketakutan akan kemelekatan pada kebahagiaan itu. Seperti yang telah kita bahas, kekhawatiran demikian adalah tidak berdasar. Ketakutan akan kemelekatan pada kebahagiaan samādhi sesungguhnya hanya akan mencegahnya memasuki jhāna, menyangkal kegembiraan murni yang dipuji oleh Sang Buddha dan para siswaNya. Adalah penting untuk dengan rela merangkul kenikmatan kedamaian itu dan menumbuhkannya. Sang Buddha menggambarkan jhāna sebagai

“Kebahagiaan pelepasan keduniawian, kebahagiaan keheningan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan jenis kenikmatan ini seharusnya dikejar, harus dikembangkan, harus dilatih, seharusnya tidak ditakuti.” — (MN 66.21)

Dengan dorongan yang sangat positif demikian untuk melatih kenikmatan meditasi, adalah sulit untuk membenarkan pandangan bahwa jhāna-jhāna harus ditakuti atau dihindari. Adalah penting sekali bahwa kita memperobolehkan batin kita untuk beristirahat and mengizinkan diri kita untuk menikmati kesenangan spiritual tanpa merasa bersalah. Jika kita terbiasa menderita, atau jika pada tingkat tertentu kita merasa perlu untuk menghukum diri sendiri, maka kita akan berpikir bahwa kita tidak layak untuk merasa bahagia. Kita semua layak untuk berbahagia.

Khawatir akan kemelekatan pada jhāna-jhāna? Hal terburuk yang dapat terjadi adalah bahwa kita akan terlahir kembali di alam surga hingga selama 84 ribu kappa penuh kebahagiaan surgawi. Dengan mempertimbangkan kemungkinan kelahiran kembali dalam samsāra, hal itu bukanlah pilihan yang buruk. Hal terbaik yang dapat terjadi adalah bahwa kita mencapai pencerahan. Moralitas dan samādhi adalah bagaikan anak tangga dari sebuah tangga. Kita harus menggenggam anak-anak tangga yang lebih tinggi untuk dapat menarik diri kita naik. Jika kita telah mendengar ajaran kebijaksanaan dari Sang Buddha dan tulus ingin membebaskan batin, maka mencapai puncak tangga seharusnya masih dalam batas kemampuan kita. Sewaktu kita bergerak naik, anak tangga di bawah dilepaskan. Tetapi pertama-tama kita harus menggenggam erat pada anak-anak tangga itu. Jika kita terlalu cepat melepas maka kita akan jatuh.

Ketika batin menjadi semakin damai, merasa seolah-olah memasuki sebuah wilayah yang asing. Ketakutan akan sesuatu yang tidak dikenal kadang-kadang dapat menjadi rintangan. Memiliki keyakinan dan kepercayaan pada Sang Buddha dapat membantu memberikan kepada kita keyakinan yang diperlukan untuk maju. Kadang-kadang batin akan menciptakan gambaran batin, pertunjukan cahaya menakjubkan atau sensasi-sensasi yang tidak wajar. Tidak peduli seberapa menakjubkan, menakutkan, atau menyenangkannya hal itu, semua itu adalah gangguan dalam meditasi dan harus diabaikan. Jika seseatu yang sangat aneh muncul dan kita tidak yakin apakah kita melakukannya dengan benar, maka kita cukup berhenti sejenak atau kembali kepada tingkatan meditasi yang lebih kita kenal. Ketika kelak kita memiliki kesempatan kita dapat berkonsultasi kepada guru yang berkualitas. Kadang-kadang ketakutan akan kehilangan kendali dapat muncul. Pada tingkat yang halus, usaha untuk mengendalikan meditasi dapat menjadi rintangan dan harus dilepaskan. Keinginan untuk mengendalikan dengan menarik dan menolak adalah sumber utama dari identitas-diri, dan melepaskan pengendalian ini dapat berakibat pada munculnya ketakutan akan kehilangan siapa diri kita sesuai anggapan kita sebelumnya. Gagasan sedang dikendalikan adalah murni kebodohan. Mengurangi keinginan untuk mengendalikan dan meminggirkan ‘diri’ kita akan meringankan batin dan memperdalam proses meditasi.

Memiliki sikap yang benar juga sangat penting bagi keberhasilan dalam meditasi. Walaupun adalah perlu untuk memotivasi diri sendiri untuk bermeditasi, samādhi tidak akan muncul dari ketagihan yang berdasarkan pada ego pada kondisi-kondisi kesadaran yang berubah atau untuk mengulangi kondisi damai yang dialami sebelumnya. Ketagihan ini sesungguhnya akan meningkatkan tekanan. Ada terlalu banyak keinginan dan persepsi diri. Cara tercepat untuk maju dalam meditasi adalah merasa puas sepenuhnya, mengerahkan energi untuk senantiasa penuh perhatian pada saat ini, dan tidak mengharapkan apa pun.

Biarkan alam melakukan tugasnya. Terlalu memaksakan diri, tidak sabar akan hasil yang cepat atau berusaha untuk memaksakan pengalaman tertentu akan menjadi kontra-produktif. Kita seharusnya puas akan tingkatan ketenangan apa pun yang dialami. Kita tidak selalu memiliki kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang damai, selalu dalam keadaan sehat atau memiliki kondisi lingkungan yang mendukung pengembangan samādhi. Kita dapat melihat saat-saat ini sebagai kesempatan berharga untuk berkembang dalam toleransi dan penerimaan. Dalam melatih sikap yang benar untuk bermeditasi, adalah baik sekali untuk mengingat bahwa semua Guru-guru besar Buddhis mendorong kita untuk mengembangkan samādhi bukan untuk mengejar status, pujian atau kemasyhuran, melainkan untuk menjadi rendah hati, baik dan bijaksana.

Ketika batin mulai tenang memasuki samādhi, adalah penting untuk membiarkannya diam selama mungkin. Tidaklah dianjurkan untuk dengan sengaja menarik batin keluar dari kondisi tenang untuk ‘melakukan’ vipassanā. Ketika momentum energi batin yang mempertahankan batin mulai memudar, perlahan-lahan pikiran akan mulai terbentuk. Pada titik ini kita harus dengan sadar mengalihkan perhatian kita pada penyelidikan.

Kemudian kita menganalisa tubuh kita, pikiran dan fenomena eksternal sebagai bergantung pada sebab dan kondisi, tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa-diri. Ini adalah bagaimana menggunakan kekuatan samādhi secara efisien. Perenungan pada saat ini memiliki potensi untuk memotong akar-akar dari kekotoran batin. Jika kita tidak melakukan hal ini setelah mengalami samādhi, kita akan terus merasakan kedamaian dan kebahagiaan untuk beberapa saat. Akan ada suatu kejernihan dan pemahaman karena ketiadaan rintangan, tetapi ketika kedamaian memudar, sekali lagi kekotoran akan muncul dengan kekuatan yang sama seperti sebelumnya. Ketika batin mendapatkan kesempatan untuk beristirahat sepenuhnya dalam samatha dan kemudian diaktifkan untuk menyelidiki kehidupan, maka vipassanā muncul secara alami.

Idealnya ketenangan dan pandangan terang saling membantu satu sama lain sejak awal praktik Dhamma hingga pada akhirnya. Pertama-tama kita perlu memiliki kebijaksanaan untuk duduk dan bermeditasi. Kemudian kita menemukan suatu tingkat ketenangan yang membantu kita melihat kehidupan dengan lebih jernih. Kejernihan ini mengarah menuju kehidupan yang lebih bijaksana, kehidupan yang lebih bermoral yang memberikan ketenangan yang lebih tinggi. Kemudian ketenangan itu menopang perenungan. Memusatkan perhatian pada cacat dan ketidak-dapat-diandalkannya dunia eksternal yang mengarah menuju pelepasan, dan ketika batin semakin mencari ke dalam untuk menemukan kebahagiaan, ketenangan semakin dalam dan lebih banyak pandangan terang terbangkitkan. Samatha dan vipassanā perlahan-lahan menjadi semakin kuat, maju bagaikan kaki dari seorang pendaki gunung, hingga suatu hari, suatu kehidupan, akan mencapai puncak kedamaian dan kebijaksanaan yang tidak tergoyahkan.

Mendaki ketinggian meditasi merupakan hal yang penuh makna yang dapat kita lakukan dalam hidup kita. Tetpi hal ini memerlukan kesabaran, sangat sabar. Si praktisi mengambil pengabdian, kesendirian dan keteguhan untuk menerima dan melepaskan rintangan-rintangan yang berasal-mula dari batinnya sendiri. Memerlukan pengerahan selama berjam-jam. Memerlukan kegigihan untuk tidak menyerah ketika permukaan gunung tampak begitu keras dan dingin, dan lembah di bawah tersenyum begitu manis. Suatu keadaan tanpa bangku di jalan setapak santai. Ini adalah perkemahan yang menjadi titik awal pendakian di kaki gunung setinggi 8,000 meter, suatu tempat untuk mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi serangan terakhir. Ini adalah perlindungan yang hangat dan tenang yang melindungi para pendaki gunung untuk sementara dari angin dingin yang menyengat kulit dan malam-malam yang membekukan air dalam botol. Tetapi bukanlah hal yang mudah untuk mendirikan perkemahan dalam jangkauan puncak gunung. Serangkaian perkemahan mungkin diperlukan untuk perlahan-lahan mencapai ketinggian. Sejak langkah pertama ekspedisi itu menuntut pandangan yang jelas pada jalan di depan dan memperoleh kepuasan dari nilai intrinsiknya. Sementara samādhi memberikan makanan lezat di sepanjang perjalanan, kebijaksanaan memastikan pemandangan-pemandangan indah. Jika itu adalah sungguh-sungguh puncak kebebasan yang berada dalam jarak pandang, yang dipuja dan berulang-ulang ditegaskan sebagai cita-cita kita jauh di masa depan, maka kita akan dengan sadar dan secara otomatis mulai memutuskan dalam kehidupan ini dan mengarah menuju arah itu. Kemudian samatha dan vipassanā bergabung dalam hubungan yang sejak awal sudah harmonis dalam perjalanan menuju Nibbāna.

“ … oleh karena itu, para bhikkhu, bergembiralah dalam jhāna, terkonsentrasi baik, dengan energi yang sungguh-sungguh untuk melihat akhir kelahiran, menaklukkan Mara dan bala tentaranya.” — (It 46)

Saya ingin mengungkapkan terima kasih kepada Yang Mulia Ajahn Jayasaro untuk saran yang tak ternilainya dalam editing, kepada Ajahn Akiñcano dan Panññanando untuk saran-sarannya yang membantu menjelaskan materi subjek, dan kepada Michael Snasel untuk bantuan praktiknya.

Untuk penelitian lebih komprehensif dan mendalam tentang samatha dan vipassanā, lihat:

  • The Path of Serenity and Insight, Bhante Gunaratana
  • The Basic Method of Meditation, Ajahn Brahmavamso
  • A Swift Pair of Messengers, Bhikkhu Sujato
  • How Buddhism Began, Chapter IV, Richard Gombrich

Ajahn Chandako (James Reynolds) adalah seorang bhikkhu Amerika di Tradisi Hutan Thai. Lahir 1962, ketertarikannya pada ajaran-ajaran Sang Buddha makin berkembang ketika beliau belajar untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni perbandingan agama di Carleton College (1984). Setelah wisuda, guru meditasi pertamanya adalah seorang pendeta jepang Zen, Katagiri Roshi. Di Asia, beliau telah menjalani total enam bulan retret Vipassanā dan mulai mencari cara untuk mengabdikan hidupnya penuh kepada Dhamma. Dalam tahun 1990 beliau menerima penahbisan lebih tinggi sebagai seorang bhikkhu dalam silsilah Ajahn Chah di Timur-Laut Thailand. Untuk lima tahun pertama vihāra utamanya adalah The Internatinal Forest Monastery, Wat Pah Nanachat, sebuah vihāra tradisional yang didirikan oleh Ajahn Chah untuk para bhikkhu yang berbahasa Inggris. Ajahn Chandako kemudian berlatih bertahun-tahun dengan para master meditasi di seluruh Thailand. Belakangan ini beliau telah mengajar dan berlatih di Amerika Serikat, RepublikCzech dan Australia. Sekarang ini Ajahn Chandako berdiam di sebuah vihāra hutan dekat Sydney.


Catatan Kaki
  1. Visuddhimagga dan komentar-komentar lainnya ditulis pada abad V AD oleh Acariya Buddhaghosa. ↩︎

  2. anupada dhamma vipassanā ↩︎

  3. abhijjhā-domanassa ↩︎

  4. cetovimutti ↩︎

  5. paññavimutti ↩︎

  6. saññāvedayitanirodha atau nirodha samāpatti ↩︎

  7. anāgāmī ↩︎

  8. parinibbāna, AN 4.453,3 ↩︎

  9. Unshakeable Peace, Yang Mulia Ajahn Chah ↩︎

  10. Dalam tradisi Hutan Thai tingkat samādhi terdalam biasanya disebut dengan istilah appanā bukan jhāna ↩︎