ketenangan dan pandangan terang dalam khotbah Sang Buddha
Bhikkhu Sujato
Edisi lain:
pdf
epub
‘Terbukalah pintu menuju keabadian! Biarlah mereka yang mendengarkan memastikan keyakinan mereka’
~ Sang Buddha, MN 26.21
Dengan syair inspiratif ini, Sang Buddha menyatakan bahwa kebebasan yang telah Beliau capai tersedia bagi semua orang. Tidak kurang dari kebebasan dari kematian itu sendiri yang Beliau janjikan, dan tujuan ini tersedia bagi siapapun yang ingin mendengarkan pesannya dengan pikiran yang tulus dan penuh keyakinan. Banyak guru telah muncul sebelum Beliau – seperti halnya pada masa sekarang ini – dengan pengakuan-pengakuan yang berlebihan. Tetapi ciri khusus dari ajaran Sang Buddha adalah suatu pelajaran pragmatis latihan spiritual yang menuntun langkah demi langkah menuju tujuan.
Buku ini adalah suatu usaha untuk mengklarifikasi makna dan fungsi dari samatha (ketenangan) dan vipassanā (pandangan terang) dalam meditasi Buddhis. Banyak yang telah ditulis sehubungan dengan topik ini, namun tetap ada awan kebingungan. Walaupun Buddhisme modern mengaku bersandar pada suatu landasan penyelidikan, namun banyak meditator tampaknya lebih suka menyerahkan kepercayaan spiritual mereka dalam teknik-teknik meditasi tanpa mempertimbangkan secara seksama pada apa yang sedang mereka praktikkan.
Buku ini bukanlah pengantar pemula juga bukan suatu tuntunan praktis langkah demi langkah. Buku ini ditujukan untuk mereka yang telah memiliki sedikit pengetahuan dan pengalaman dalam meditasi Buddhis, tetapi dibingungkan oleh keberagaman opini-opini yang disampaikan oleh para guru meditasi yang sering kali bertentangan. Akan tetapi, semua guru itu sepakat dalam satu hal – Guru tertinggi, Guru dari para guru, adalah Sang Buddha sendiri. Kita ingin mengikuti jalan Sang Buddha, maka titik awal kita seharusnya adalah melihat apa yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh Sang Buddha sendiri tentang meditasi. Walaupun tujuan utama di sini adalah klarifikasi teoritis, saya juga berharap untuk dapat memberikan alat praktis dan menginspirasi dalam meditasi.
Paragraf-paragraf dari sutta adalah jantung dari tulisan ini. Saya jelas memiliki pandangan-pandangan saya pribadi tentang hal ini, dan memberikan penjelasan-penjelasannya, tetapi hal ini harus diterima hanya jika penjelasan ini membantu dalam memahami sutta-sutta.
Kita tidak boleh melupakan jurang yang terletak di antara label dan kata, dan pengalaman yang dirujuk. Bahkan suatu gagasan sederhana, seperti ‘Sungai Angsa’, adalah jauh dari realitas yang dirujuk oleh kata itu: payau, bau; airnya penuh dengan ubur-ubur; atau tiadanya angsa. Lebih buruk lagi, kata itu menarik hal lainnya, sungai yang tidak terlihat dan kiasan yang tidak jelas. Dan jika sesuatu yang begitu sederhana bisa menjadi begitu salah, apalagi yang dapat diharapkan untuk sebuah kesepakatan dalam hal-hal seperti ini, halus namun kuat, sangat pribadi? Pembelaan saya adalah bahwa Sang Buddha sendiri, setelah sedikit bermain-main dengan keragu-raguan demikian, kemudian memutuskan bahwa kata-kata itu sudah cukup baik.
Ini adalah kehausan bagi pemahaman, bukan kepuasan dalam penerimaan suatu teori kuno, yang membangkitkan kebijaksanaan sejati. Sering kali umat-umat Buddhis keluar menyerukan komitmen mereka pada kebebasan dalam menyelidiki tradisi-tradisi, kemudian puas dengan mengkritik semua tradisi kecuali yang mereka anut. Sungguh-sungguh mempraktikkan Dhamma menuntut suatu keterlibatan kreatif dengan ajaran-ajaran.
Dalam buku ini, saya nyaris tidak menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan ajaran-ajaran ini dalam konteks modern. Karena tiap-tiap individu akan sampai pada solusi yang berbeda-beda, saya percaya bahwa suatu jawaban tulus tidaklah mudah atau menyenangkan; hal ini tidak akan menopang kepuasan kita, namun akan menyapu kenyamanan kita, mempercepat suatu penataan gaya hidup yang radikal.
Jika kita harus memahami samādhi, maka pertama-tama kita harus mempertimbangkan bagaimana cara kerjanya dalam konteks sang jalan secara keseluruhan. Pengelompokan yang paling mendasar dari sang jalan terdiri dari tiga: moralitas, samādhi, dan pemahaman. Masing-masingnya bekerja untuk memurnikan dan mengembangkan pikiran dalam cara-cara yang mendasar, bekerja dari yang kasar ke yang halus. Semua praktik Buddhis didasarkan pada perilaku etis. Perilaku etis bermoral membendung luapan racun-racun kekotoran yang mengotori perbuatan jasmani dan ucapan, merusak hubungan individu dengan dunia luar. Hal ini mendukung kedamaian dan keharmonisan dalam hubungan, dalam masyarakat dan dalam alam, karena seorang yang bermoral bertindak dalam cara-cara yang bertanggung-jawab, bekerja sama, dan tidak menindas.
Pikiran yang kokoh pada etika akan condong ke arah kedamaian, namun hanya etika saja tidaklah cukup untuk membawakan kebijaksanaan sejati. Untuk itu, kita memerlukan pengembangan kesadaran secara khusus melalui meditasi, yang disebut samādhi oleh Sang Buddha. Samādhi menjernihkan air yang tenang, membersihkan penderitaan-penderitaan halus yang mengotori pikiran, mengaburkan emosi, dan menggelapkan kebijaksanaan. Hal ini menuntun menuju kedamaian dan keharmonisan dalam dunia internal, dengan tiap-tiap faktor berfungsi dengan baik, dalam keseimbangan dan kesatuan.
Dan dalam air-air yang jernih tenang ini, pemahaman mampu mencari dan mengeringkan sumber penderitaan selamanya. Seperti yang berkali-kali dikatakan oleh Sang Buddha, menjelang hari-hari terakhirNya, sebagai pesan penting yang Beliau ingin agar diingat:
‘Samādhi yang dipenuhi oleh moralitas adalah berbuah dan bermanfaat besar. Pemahaman yang dipenuhi oleh samādhi adalah berbuah dan bermanfaat besar. Pikiran yang dipenuhi oleh pemahaman adalah sepenuhnya terbebaskan dari segala racun, yaitu, racun-racun kenikmatan indria, penjelmaan, pandangan-pandangan, dan kebodohan.’1
Meditasi adalah kunci menuju pandangan terang yang membebaskan. Sesungguhnya pikiran luhur dari samādhi, jika digunakan sebagai landasan pandangan terang, adalah merupakan pintu menuju keabadian.
‘Apakah, Bhante Ānanda, satu prinsip yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, dan Buddha yang tercerahkan sempurna, di mana pada seorang bhikkhu yang rajin, tekun, dan teguh pikirannya, yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, racun-racun yang belum menguap menjadi menguap, dan keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai menjadi tercapai?’ ‘Di sini, perumah tangga, seorang bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … pikirannya terbebas melalui cinta-kasih … pikirannya terbebas melalui belas kasihan … pikirannya terbebas melalui kegembiraan altruistik … pikirannya terbebas melalui keseimbangan … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … [Dalam semua kasus-kasus ini] ia merenungkan sebagai berikut: “Pencapaian landasan kekosongan ini dibentuk oleh niat dan tindakan kehendak.” Ia memahami: “Apa pun yang dibentuk oleh niat dan tindakan kehendak adalah tidak kekal, tunduk pada lenyapnya.” Pada posisi itu, ia mencapai menguapnya racun-racun [atau tingkat yang-tidak-kembali]. Ini, perumah tangga, adalah satu prinsip yang dinyatakan oleh Sang Bhagavā … di mana keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai menjadi tercapai.’ Ketika hal ini dikatakan, perumah tangga Dasama dari kota Aṭṭhaka berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Seperti halnya, Bhante Ānanda, seseorang yang mencari satu jalan masuk menuju suatu harta karun tersembunyi seketika sampai pada sebelas jalan masuk menuju suatu harta karun tersembunyi; demikian pula ketika seseorang mencari satu pintu menuju keabadian seketika mendengar tentang sebelas pintu menuju keabadian. Seperti halnya, Bhante, seseorang yang memiliki rumah dengan sebelas pintu, dan jika rumah itu terbakar maka ia akan mampu menyelamatkan dirinya melalui salah satu dari pintu-pintu itu; demikian pula aku akan mampu menyelamatkan diriku melalui salah satu dari sebelas pintu menuju keabadian itu.’2
Samatha, atau kedamaian pikiran, adalah kualitas yang lembut dan menonjol. Jinak dan malu-malu, ia kadang-kadang tampak tidak mampu mempertahankan dirinya terhadap ketegasan saudaranya, vipassanā, yang mengaku sebagai meditasi yang khas dan inti Buddhis, jalan langsung menuju ‘realitas tertinggi’. Tetapi samatha memiliki kontribusi khas yang dapat diberikan, tidak kurang berharga sehingga tidak teramati. Usaha-usaha yang gigih telah dilakukan untuk mengurangi peran penting samatha dalam meditasi Buddhis dalam pencarian tanpa-akhir untuk menemukan jalan pintas menuju kebahagiaan, khususnya di kala kita gelisah. Kita diberitahu bahwa adalah sulit untuk memperoleh ketenangan jhāna di zaman modern yang serba cepat ini; hal ini benar, namun hal ini justru menggaris-bawahi pentingnya ketenangan bagi kita, di sini & saat ini. Adalah karena dunia modern kita menekankan perlunya kecerdasan analitis secara berlebihan, maka tambahan kualitas-kualitas ketenangan dan kegembiraan menjadi sangat diperlukan. Mungkin buku ini dapat memberikan sedikit kontribusi ke arah mengembalikan samatha pada posisinya yang semestinya sebagai pendamping setara dalam tugas-tugas termulia, pengembangan pikiran.
Dalam buku ini pertama-tama sang jalan diperiksa dengan suatu tinjauan komprehensif atas kategori-kategori doktrin, dengan menekankan pada peran samatha. Kemudian cahaya disorotkan pada kondisionalitas, mencoba untuk menetapkan ciri yang tepat atas hubungan kausal antara faktor-faktor kunci. Tentu saja, pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana sesungguhnya menapaki sang jalan. Oleh karena itu hal ini dijelaskan berikutnya, menunjukkan latihan bagi monastik maupun umat awam. Dengan memaparkan pentingnya samādhi dalam semua ajaran di atas, pertanyaan umum yang muncul sehubungan dengan mengapa hal ini begitu bermanfaat – bagaimana samādhi bekerja, dan apa yang kita peroleh darinya? Manfaat tertinggi dari samādhi adalah dukungannya dalam mencapai berbagai tingkat pencerahan, dan karena itu eksplorasi sang jalan ditutup dengan menampilkan para mulia sebagai wujud hidup dari sang jalan. Terakhir saya mempertimbangkan paragraf sutta yang paling penting yang telah digali untuk menyingkirkan keragu-raguan akan pentingnya jhāna. Hal-hal yang berhubungan dengan penerjemahan sejauh mungkin telah dipindahkan ke bagian apendiks agar tidak membebani teks. Suatu pilihan komentar-komentar singkat oleh beberapa terpelajar masa kini yang paling dihormati dan para guru meditasi juga dimasukkan.
Kepada mereka yang telah membantu saya menyelesaikan buku ini, terima kasih. Terima kasih secara khusus kepada Yang Mulia Brahmali, yang memberikan komentar terperinci pada naskah awal, yang beberapa di antaranya telah secara mendasar mengubah naskah akhir. Untuk banyak kesalahan yang tidak diragukan lagi masih ada, saya sendirilah yang bertanggung jawab.
Dalam edisi baru ini, saya telah merevisi naskah ini sepenuhnya. Versi pertama buku ini ditulis ketika saya menetap dalam sebuah gua dan jurang di Ipoh, yang dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi, tidak terjangkau, dan merintangi. Sebagian dari ini kemudian berubah menjadi prosa. Saya telah berusaha untuk membuka teks sedikit, menyederhanakan beberapa hal filosofis, sambil memperluas penjelasan-penjelasan. Saya telah menghilangkan beberapa pembahasan tentang kemunculan bergantungan, karena bersinggungan dengan argumen utama. Akan tetapi, struktur dasar dan keterpelajarannya tetap identik.
Dalam dekade sejak pertama saya menulis buku ini saya tidak melihat alasan apa pun untuk mengubah posisi awal saya. Sebaliknya, pentingnya samatha tampak semakin nyata bagi saya daripada sebelumnya, dan saya bertanya-tanya mengapa kita sebagai tradisi meditatif masih melakukan perbincangan ini. Hal-hal berubah; retorika vipassanā telah menurun, dan lebih banyak guru mengajarkan jhāna. Mungkin masa bagi buku ini telah lewat; tetapi selama aliran-aliran utama Buddhisme masih terus mengakui bahwa jhāna-jhāna tidak diperlukan dalam Jalan Buddha, maka saya pikir kita masih harus mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha sehubungan dengan hal ini.
Dan Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: ‘Ānanda, engkau mungkin berpikir: “Di masa lalu kami dibimbing oleh Guru kami – sekarang kami tidak mempunyai Guru!” Tetapi engkau tidak boleh berpikir demikian. Dhamma dan Vinaya yang telah Kuajarkan dan Kutetapkan bagi kalian akan menjadi Guru kalian setelah Aku pergi.’
~ Sang Buddha, DN 16.6.1
Apakah acuan kita? Siapakah yang harus kita percayai? Di tengah-tengah pasir opini yang goyah, adakah batu padat untuk dapat berdiri di atasnya? Sang Buddha mendorong agar pengalaman pribadi harus menjadi kriteria utama. Tetapi bagi mereka yang tidak tercerahkan, pengalaman pribadi dapat menjadi ambigu, bahkan menyesatkan. Untuk mempersulit persoalan ini lebih jauh lagi, pada era informasi yang berlebihan saat ini ada banyak guru-guru dan ajaran yang membingungkan, semuanya mengaku berdasarkan pengalaman.
Dalam buku ini saya bertujuan untuk membahas, bukan pertanyaan penduduk Kālāma – ‘Bagaimana kami memutuskan ajaran religius yang berbeda-beda?’ – melainkan: ‘Bagaimana kami memutuskan interpretasi yang berbeda-beda terhadap ajaran Buddha?’ Pertanyaan ini juga muncul pada para pengikut Sang Buddha menjelang akhir hidupNya. Jawaban Beliau, yang dikenal sebagai empat rujukan utama, tercatat sebagai berikut:
‘Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin berkata sebagai berikut: “Dengan saling berhadapan dengan Sang Bhagavā, Teman, aku telah mendengar, dengan saling berhadapan dengan Beliau aku menerima ini: ‘Ini adalah Dhamma, ini adalah vinaya, ini adalah pesan Sang Guru.’ …” ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin berkata: “Di suatu tempat tinggal tertentu menetaplah seorang bhikkhu senior, seorang pemimpin. Dengan saling berhadapan dengan bhikkhu itu aku mendengar: ‘Ini adalah Dhamma, ini adalah vinaya, ini adalah pesan Sang Guru.’ …” ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin berkata: “Di suatu tempat tinggal tertentu menetaplah banyak bhikkhu senior yang telah menguasai tradisi, ahli Dhamma, ahli vinaya, ahli ringkasan sistematis (mātikā). Dengan saling berhadapan dengan mereka aku mendengar: ‘Ini adalah Dhamma, ini adalah vinaya, ini adalah pesan Sang Guru.’ …” ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu mungkin berkata: “Di suatu tempat tinggal tertentu menetaplah seorang bhikkhu senior yang telah menguasai tradisi, ahli Dhamma, ahli vinaya, ahli ringkasan sistematis. Dengan saling berhadapan dengan mereka aku mendengar: ‘Ini adalah Dhamma, ini adalah vinaya, ini adalah pesan Sang Guru.’ …” [Dalam semua kasus di atas:] ‘Para bhikkhu, ucapan bhikkhu itu tidak boleh diterima atau ditolak. Setiap kata dan frasa dari ucapan itu harus dipahami dengan baik, disandingkan dengan sutta dan dibandingkan dengan vinaya. Jika tidak sesuai dengan sutta atau vinaya, maka kalian harus menyimpulkan: “Ini pasti bukan kata-kata Sang Bhagavā, dan telah salah dipahami oleh bhikkhu itu.” Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus menolaknya. Jika sesuai dengan sutta dan vinaya, maka kalian harus menyimpulkan: “Ini pasti kata-kata Sang Bhagavā, dan telah dipahami dengan benar oleh bhikkhu itu.”’3
Tampaknya Sang Buddha, walaupun menyadari kemungkinan adanya penyimpangan dalam penyampaian, namun demikian tetap mempercayakan pada Sangha untuk melestarikan ajaran-ajaranNya. Sutta-sutta menawarkan suatu kesempatan unik kepada pencari untuk berusaha memahami pernyataan langsung pada pencerahan sempurna. Jelas, segera, dan pragmatis, Dhamma ini muncul pada satu waktu ketika eksperimen-eksperimen dalam demokrasi dapat membentuk suatu model bagi organisasi Sangha; ketika kebebasan keyakinan dan praktik religius tidak dipertanyakan; dan ketika penegakan religius tertekan di bawah banyaknya ritual, hirarki, dan mistik dari tradisi masa-lampau, tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang paling relevan dalam kehidupan manusia. Semangat menyelidiki menjawab kondisi-kondisi ini dengan munculnya berbagai sekte religius yang membingungkan. Yang di antaranya, sekte Sang Buddha adalah yang terbaik menghadapi ujian dari waktu ke waktu.
Kualitas sabda-sabda Sang Buddha yang universal, tidak dibatasi waktu, bagaikan sebatang anak panah yang menembus jantung kondisi manusia, menginspirasi suatu usaha yang belum pernah ada sebelumnya untuk melestarikan ajaran-ajaranNya ‘untuk mereka yang merasakan’.
Kutipan berikut mengklarifikasi apa yang dimaksudkan dengan ‘sutta’ oleh Sang Buddha dan mengapa acuan ini menjadi penting.
‘Di masa depan akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam perilaku jasmani, moralitas, pikiran, dan pemahaman … ketika sutta-sutta yang disabdakan oleh Sang Tathagata sedang diajarkan – yang mendalam, mendalam dalam makna, transenden, berhubungan dengan kekosongan – mereka tidak akan mendengarkan, mereka tidak akan menyimak, mereka tidak akan mengarahkan perhatian mereka pada pengetahuan mendalam; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu penting untuk dipahami dan dikuasai. Tetapi ketika sutta-sutta yang digubah oleh para terpelajar sedang diajarkan – bernilai sastra, dengan kata-kata indah, frasa-frasa indah, tidak relevan, disabdakan oleh para siswa – mereka mendengarkan, mereka menyimak, mereka mengarahkan perhatian mereka pada pengetahuan mendalam, mereka berpikir bahwa ajaran-ajaran itu layak dipahami dan dikuasai. ‘Demikianlah, para bhikkhu, dari kerusakan Dhamma terjadilah kerusakan vinaya; dari kerusakan vinaya terjadilah kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum terjadi, yang akan terjadi di masa depan. Waspadalah, dan berusahalah untuk menghindarinya.’4
Teks yang menjadi sumber di sini adalah hanya teks-teks yang dianggap memiliki otoritas oleh semua aliran Buddhisme. Tujuan saya adalah untuk memberikan interpretasi atas ciri-ciri penting dari Sang Jalan yang dapat diterima oleh semua Buddhis dengan tidak bersumber pada otoritas belakangan yang khas dari aliran tertentu. Teks-teks ini adalah kelima Nikāya dari Sutta Piṭaka Pali – tidak termasuk penambahan belakangan pada Nikāya ke lima seperti Paṭisambhidāmagga – serta Vinaya Piṭaka. Tidak diragukan ada beberapa penambahan pada teks-teks utama yang terbatas ini; namun penambahan demikian hanya terbatas pada hal-hal tambahan, seperti narasi latar belakang dan legenda-legenda, dan tidak mempengaruhi doktrin. Vinaya Piṭaka secara keseluruhan adalah lebih belakangan daripada Sutta-sutta, namun masih berisikan beberapa materi awal. Akan tetapi hanya sedikit berhubungan dengan pelajaran meditasi.
Nikāya-nikāya ini bersesuaian dengan Āgama yang dilestarikan dalam berbagai bahasa India, serta dalam tradisi China dan Tibet. Suatu studi perbandingan menyeluruh pada materi meditasi dalam keseluruhan teks-teks ini masih harus dilakukan. Saya belum melakukan studi ini, dan tidak mencoba melakukannya kecuali penyelidikan perbandingan sekilas dalam buku ini. Namun demikian, dalam tahun-tahun pertama sejak penulisan edisi pertama buku ini saya telah mempelajari beberapa materi meditasi dalam berbagai tradisi. Saya tidak menemukan perbedaan besar; perbedaan-perbedaan yang saya perhatikan cenderung, jika ada, memperkuat perspektif yang saya gunakan dalam buku ini. Beberapa hasil dari studi banding ini termasuk dalam buku saya yang berjudul A History of Mindfulness.
Saya dengan sadar menghindari menuliskan suatu kritik ‘fundamentalis’ atas aliran meditasi kontemporer atau komentar tradisional. Tampaknya komentar-komentar tertentu telah menjadi target kritikan yang disukai, khususnya bagi para terpelajar Barat. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kesan buruk institusi monastik masa pertengahan di Barat. Tetapi kritik yang pada awalnya masuk akal lagi-lagi terbukti tidak dapat bertahan lama, dan lebih buruk lagi, kritik-kritik itu justru menjadi kesalahan-kesalahan baru. Sesungguhnya komentar-komentar adalah tambang yang tidak ternilai dari informasi Dhamma, Pali, sejarah, dan banyak lainnya, dan semua penerjemah berhutang padanya. Akan tetapi, saya bertekad untuk menerjemahkan sutta-sutta dari sutta-sutta itu sendiri, dan berusaha untuk melihat persoalan dari posisi komentar, dalam beberapa kasus, saya sampai pada kesimpulan yang bertentangan. Saya telah mencatat beberapa hal penting yang berbeda; hal-hal yang selaras terlalu banyak untuk disebutkan. Saya menyebutkan perbedaan-perbedaan itu, bukan dengan tujuan untuk mengkritik, melainkan karena sistem komentar sangat berpengaruh dalam lingkaran meditasi kontemporer dan oleh karena itu memiliki dampak langsung pada kehidupan manusia. Saya percaya bahwa suatu penilaian yang seksama pada tradisi dalam cahaya sutta-sutta akan mengapresiasi nilai sejatinya.
Saya belum melihat suatu kepuasan dalam pembelajaran secara historis dan perbandingan pada perkembangan pemikiran Theravadin dalam topik-topik ini. Saya hanya menambahkan bahwa komentar-komentar secara umum memuji jhāna dan secara panjang lebar menjelaskan apa dan bagaimana mengembangkannya. Akan tetapi, variasi tertentu dalam penjelasan pentingnya menyiratkan bahwa komentar-komentar itu sendiri, sebagai kompilasi opini berbagai guru, berisikan opini yang berbeda-beda.
Demikianlah ‘pemurnian pikiran’ didefinisikan dalam Komentar Dīgha Nikāya sebagai ‘sepenuhnya menguasai delapan pencapaian [yaitu jhāna berbentuk dan tanpa bentuk] sebagai landasan bagi vipassanā’, sementara dalam Visuddhimagga, hal ini disebutkan ‘delapan pencapaian bersama dengan akses [samādhi]’. Kemudian lagi, sementara Visuddhimagga mengartikan ‘pikiran’ sebagai samādhi penyerapan dan akses, Komentar Saṁyutta Nikāya untuk kalimat yang sama mendefinisikan ‘pikiran’ hanya sebagai ‘delapan pencapaian’. Kemudian lagi, ‘samādhi saat-ke-saat’ hanya muncul dua kali dalam Visuddhimagga, keduanya lebih rendah dari jhāna, tetapi lebih sering dan lebih mandiri dalam komentarnya.
Perbedaan-perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai hanya variasi dalam tulisan; tetapi kesimpulan alami dari bukti ini adalah bahwa ada perbedaan dalam makna, mungkin suatu perkembangan historis. Bukannya menjadi suatu percikan kebijaksanaan cerah yang seragam, literatur komentar malah menjadi suatu sistem pembelajaran yang kompleks dan berkembang. Tradisi itu sendiri cukup gembira mencatat perbedaan-perbedaan opini yang tidak dapat dipertemukan itu. Bagaimanapun juga, tugas yang telah saya tentukan untuk diri sendiri adalah untuk menjelaskan apa yang dikatakan oleh sutta-sutta, dan oleh karena itu saya menghindari mengandalkan komentar-komentar. Dengan dua pengecualian, saya juga tidak mengandalkan pada testimoni para meditator kontemporer, karena testimoni demikian adalah bervariasi dan tidak dapat dibuktikan.
Persoalan yang timbul: karena bahkan para terpelajar tidak sepakat atas makna kalimat-kalimat dari sutta, apakah acuan di atas ada gunanya? Tentu saja kita tidak berharap akan adanya kesepakatan total. Ada banyak kemungkinan pembacaan pada setiap teks. Hal ini menjadi lebih buruk karena kita tidak mengetahui latar belakang dan konteks dari sutta-sutta itu. Namun demikian, dua prinsip interpretasi yang berhubungan dapat membantu dalam menjelaskan kalimat-kalimat yang tersamar. Yang pertama kita sebut prinsip proporsional, dan yang ke dua adalah prinsip perspektif historis.
Prinsip proporsional menilai tingkat pentingnya dan keterpercayaan kalimat-kalimat sutta dengan menggunakan berbagai kriteria objektif yang dapat diterima. Jika terdapat area abu-abu, anomali, atau konflik yang mungkin terjadi, maka kalimat yang lebih penting dan lebih terpercaya harus lebih diutamakan. Tidak perlu menganggap bahwa ada atau tidak ada kontradiksi dalam teks-teks sutta seperti yang kita temui, juga tidak perlu menganggap bahwa kalimat sekunder adalah tidak otentik, hanya bahwa kalimat primer yang harus diberikan otoritas lebih tinggi.
Pertimbangkan bagaimana sutta-sutta itu disusun. Pertama-tama, Sang Buddha mengajar; para siswaNya akan menghafalkan ajaranNya dan kemudian memasukkannya ke dalam kerangka waktu dan tempat. Hal ini menunjukkan bahwa adalah doktrin itu sendiri, bukannya kisah latar belakang atau anekdot-anekdot, yang harus diutamakan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan membandingkan kedua paragraf berikut ini, yang masing-masingnya mencantumkan sutta yang sama, yaitu Samaññaphala. Yang pertama bersumber dari Vinaya Cūḷavagga, yang menceritakan sejarah pembacaan Sutta dan Vinaya oleh Sangha setelah Sang Buddha wafat.
‘Ānanda, di manakah Sāmaññaphala dibabarkan?’ ‘Di Rājagaha, Bhante, di Hutan-mangga Jīvaka.’ ‘Kepada siapakah?’ ‘Kepada Ajātasattu Vedehiputta.’ Demikianlah Yang Mulia Mahā Kassapa menanyai Yang Mulia Ānanda tentang situasi dan individu-individu. Dengan menggunakan metode yang sama, ia bertanya tentang kelima Nikāya dan Yang Mulia Ānanda menjawab semua pertanyaan.5
Dari Sāmaññaphala Sutta yang tercatat dalam Dīgha Nikāya:
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan-mangga Jīvaka Komārabhacca, bersama dengan sejumlah besar Sangha yang terdiri dari seribu dua ratus lima puluh bhikkhu. Pada saat itu Ajātasattu, Raja Magadha, duduk di teras atas istananya, saat itu adalah hari Uposatha purnama bulan ke empat, bulan Komudi, dikelilingi oleh para menterinya.6
Walaupun kisah itu pada intinya adalah serupa, namun bentuknya berbeda dan banyak detail telah ditambahkan. Bahkan kata-kata ‘Demikianlah yang kudengar’ tidak ada dalam versi Cūḷavagga. Dari konteks lain, jelas bahwa frasa ‘Demikianlah yang kudengar’ dimaksudkan untuk mengisahkan peristiwa dari orang ke dua.7 Jika ia benar-benar hadir di sana, maka digunakan frasa ‘Dengan berhadapan langsung Aku telah mendengar’. Oleh karena itu, ‘Demikianlah yang kudengar’ bukanlah diucapkan oleh Yang Mulia Ānanda karena ia memang hadir ketika sutta-sutta dibabarkan. Frasa ini mungkin ditambahkan oleh para terpelajar belakangan, khususnya untuk mengakui fakta bahwa sutta-sutta itu adalah materi yang diturunkan yang bukan mereka pelajari langsung dari Sang Buddha.
Sang Buddha menjelaskan ajaranNya sebagai ‘Sutta-sutta yang dibabarkan oleh Sang Tathagatha’, dan tampaknya dari penjelasan di atas, para siswa awalNya juga menganggap ‘sutta’ sebagai otoritas tertinggi yang diucapkan oleh Sang Buddha (atau para siswaNya yang telah tercerahkan), seperti yang terlihat dari detail di mana dibabarkan dan kepada siapa, dan sebagainya.
Pertimbangan logis lainnya juga harus diingat ketika menerjemahkan sutta-sutta. Ajaran-ajaran minor harus menyerah pada tema-tema penting dan menjadi inti ajaran, khususnya yang dianggap istimewa oleh Sang Buddha sendiri. Puisi biasanya kurang tepat dalam hal ketepatan dan kerincian hal-hal yang bersifat doktrin dibandingkan dengan prosa; sebagai tambahan, kebanyakan puisi dalam Tipiṭaka tampaknya adalah berasal dari masa belakangan dibandingkan dengan prosa. Oleh karena itu, ketika mengutip syair-syair, kami akan berusaha membatasi diri pada syair-syair yang berasal dari masa-masa awal. Perumpamaan, kesimpulan, dan kalimat-kalimat yang meragukan atau interpretasi kontroversial juga diperlakukan sebagai pertimbangan sekunder.
Selama berabad-abad sutta-sutta diturunkan secara lisan, kebanyakan penghafal berkonsentrasi mempelajari teks-teks dari satu Nikāya. Para penyusun sutta-sutta secara wajar akan menyunting materi mereka agar ajaran inti terdapat dalam tiap-tiap Nikāya, Nikāya ke lima (minor) adalah pengecualian. Dengan cara ini, dengan mempelajari satu Nikāya, maka seseorang akan mampu memahami dengan tepat seluruh ajaran utama. Nikāya-nikāya berbeda dalam hal perspektif dan penekanan, tetapi tidak dalam hal doktrin. Kesimpulan yang menarik adalah bahwa tidaklah mungkin suatu teks penting untuk menentukan suatu hal yang berhubungan dengan doktrin penting dapat ditemukan hanya dalam satu atau dua Nikāya.
Sang Buddha jelas merasa bahwa setidaknya beberapa khotbahNya tidak memerlukan penafsiran.
‘Kedua ini salah memahami Sang Tathagata … seorang yang menunjukkan sebuah sutta yang maknanya memerlukan penjelasan lebih lanjut sebagai tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut; dan seorang yang menunjukkan sebuah sutta yang maknanya tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut sebagai memerlukan penjelasan lebih lanjut.’8
Oleh karena itu maka tidak ada pembenaran bagi pernyataan kaum Theravada modern bahwa sutta-sutta hanya mengajarkan ajaran konvensional dan bersifat sementara, sementara Abhidhamma menjelaskan realitas tertinggi; kedua metode ini terdapat dalam sutta-sutta itu sendiri. Sutta-sutta dipenuhi dengan kiasan, perumpamaan, dan ajaran-ajaran singkat dan penuh teka-teki yang memerlukan penafsiran. Kadang-kadang Sang Buddha menjelaskannya, atau mendorong seorang siswa untuk menjelaskan. Sering kali juga diserahkan kepada pendengar, Sang Buddha rupanya mengetahui bahwa proses penyelidikan yang sungguh-sungguh ke dalam makna dapat lebih bernilai daripada memberikan semua jawaban ke atas piring. Oleh karena itu, harus berhati-hati, untuk menghindari menghubungkan makna yang keliru pada kalimat-kalimat demikian.
Kalau begitu apakah ajaran utama tentang praktik? Pada bukti internal dari teks-teks itu sendiri, saya akan menyarankan bahwa ada tiga kerangka ajaran yang harus dianggap sebagai ajaran primer.
Yang pertama adalah kumpulan tujuh kelompok Dhamma, yang belakangan dikenal sebagai tiga puluh tujuh sayap menuju pencerahan, yang sering diajarkan dalam sutta-sutta, dan yang oleh Sang Buddha sesaat sebelum Beliau meninggal dunia, digambarkan sebagai ajaran ‘yang harus dilatih, dikembangkan, dan dipentingkan, agar kehidupan suci ini akan bertahan lama, demi manfaat dan kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada dunia, demi manfaat dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’9
Kerangka ajaran ke dua agak kurang terkenal, tetapi harus dilihat sebagai penting karena merupakan aplikasi praktis dari kemunculan bergantungan. Dikatakan bahwa ia yang melihat Dhamma berarti melihat kemunculan bergantungan, dan ia yang melihat kemunculan bergantungan berarti melihat Dhamma; pentingnya kausalitas dalam ajaran Buddha digaris-bawahi dalam syair terkenal dari Yang Mulia Assaji, yang dianggap sebagai ringkasan Dhamma yang ideal.
‘Segala fenomena muncul dari suatu sebab – Penyebabnya dan lenyapnya. Demikianlah doktrin Sang Tathagata Sang Bijaksana Agung’10
Aspek praktis dari kauasalitas dapat dijelaskan sebagai ‘kebebasan bergantungan’.
Akhirnya, Sang Buddha berkata bahwa praktik dalam Dhamma-vinaya adalah bertahap, tidak ada penembusan pengetahuan secara tiba-tiba; latihan bertahap ini terdapat dalam sutta ke dua hingga sutta ke dua belas dalam Digha Nikāya dan banyak lainnya.
Tiga ajaran ini – sayap-sayap menuju pencerahan, kebebasan bergantungan, dan latihan bertahap – dibahas secara terperinci di bawah.
Ini adalah prinsip pertama penafsiran, prinsip proporsi, yang kami usulkan sebagai pedoman logis untuk memecahkan konflik dalam pemahaman doktrin. Dapatkah kita sungguh-sungguh beranggapan bahwa Sang Buddha menyisakan suatu pertanyaan penting yang menyokong keseluruhan praktik pada kisah latar belakang, kategori minor, atau kesimpulan meragukan? Tentu saja akan lebih masuk akal untuk menganggap bahwa Beliau telah menjelaskan cara praktik dengan sangat hati-hati, mendefinisikan istilah-istilahnya dengan jelas, dan sering mengulang-ulangnya. Oleh karena itu, ketika menghadapi area abu-abu atau kalimat-kalimat yang tidak jelas, kita harus menginterpretasikan pernyataan-pernyataan minor agar selaras dengan pernyataan-pernyataan utama, bukan sebaliknya.
Pedoman interpretasi ke dua kita adalah prinsip perspektif historis. Dalam 2500 tahun sejak Sang Buddha, diskusi, sistematisasi, dan mungkin modifikasi makna atas apa yang beliau katakan tanpa mereda. Tidaklah tepat membaca terminologi dan konsep yang berasal dari masa belakangan ke dalam teks-teks dari masa-masa awal. Kesalahan ini muncul terjadi dalam berbagai cara: terminologi baru mungkin diciptakan untuk gagasan-gagasan lama; kata-kata lama mungkin memerlukan makna-makna baru; atau konsep-konsep yang sama sekali baru diciptakan dan ditanamkan ke dalam teks-teks lama.
Ingat bahwa dalam teks yang dikutip pada awal buku ini Sang Buddha menyerahkan otoritas tunggal pada sutta dan vinaya; bukan abhidhamma dan jelas bukan komentar. Abhidhamma tidak ada pada masa Sang Buddha, tetapi, bersama dengan beberapa karya belakangan yang ditambahkan ke dalam sutta-sutta, dikembangkan selama masa kira-kira empat abad setelah Sang Buddha wafat. Komentar-komentar belum ditetapkan hingga 1000 tahun sejak masa Sang Buddha, pada periode yang sama ketika sūtra-sūtra Mahāyana disusun.
Beberapa orang mengatakan bahwa bahkan jika teks-teks ini tidak ada dalam bentuk seperti sekarang ini, namun intinya tetap dibabarkan oleh Sang Buddha dan para siswaNya. Pengakuan ini, walaupun bukan sama sekali tanpa dasar, namun menyesatkan. Banyak materi dalam abhidhamma dan komentar yang bersesuaian dengan sutta-sutta dan mungkin benar-benar diturunkan dari sabda-sabda Sang Buddha. Akan tetapi, banyak ajaran-ajarannya yang sama sekali berbeda dengan sutta-sutta baik dalam bentuk maupun isinya, dan adalah kalimat-kalimat ini yang memunculkan kontroversi.
Untungnya, kita dapat menghindari pertanyaan apakah ajaran-ajaran ini hanya berbeda dalam kata atau juga dalam maknanya sebagai topik terpisah dan sekunder. Yang pertama dari rujukan utama yang dikutip di atas merujuk pada ajaran bahwa seorang bhikkhu mengaku telah mendengar langsung dari mulut Sang Buddha; bahkan ini pun harus diterima hanya jika selaras dengan sutta dan vinaya. Oleh karena itu maka sutta hanya dapat diterima dalam kata-katanya sendiri, dan untuk semua hal penting, sutta-sutta seharusnya sudah mencukupi. Menganggap bahwa Sang Buddha tidak mampu menjelaskan apa yang Beliau maksudkan dalam suatu pertanyaan penting sehubungan dengan jalan menuju pencerahan adalah suatu fitnah atas kemampuanNya.
Apakah ajaran-ajaran belakangan ini? Tradisi Theravada membentuk serangkaian terminologi dan konsep yang, walaupun tidak dikenal dalam sutta-sutta, namun merupakan kosa kata standar dari ajaran Buddhis kontemporer. Istilah-istilah ini termasuk samādhi ‘saat-ke-saat’ dan ‘akses’; ‘vipassanā jhāna’, ‘samatha jhāna’, dan ‘jhāna transendental’; ‘yang kendaraannya adalah ketenangan’ dan ‘yang kendaraannya adalah pandangan terang murni (atau kering)’. Begitu meluasnya pengaruh istilah-istilah ini sehingga konsep jalan meditasi yang dimaksudkan itu diterima oleh hampir semua buku tentang meditasi, dan telah ‘diotorisasi’ oleh sisipan dalam buku-buku rujukan standar. Dengan demikian seseorang yang tertarik pada meditasi Buddhis dapat memilih berbagai jenis buku dari berbagai sumber, baik yang sederhana maupun yang kompleks, semuanya menegaskan gagasan yang sama. Fakta bahwa konsep-konsep khusus ini didasarkan atas tulisan-tulisan para terpelajar yang berasal dari masa setelah Sang Buddha dan khas aliran Theravada menjadi samar-samar.
Jika kita ingin memahami sutta-sutta seperti mereka yang mendengarkannya secara langsung, maka pertama-tama kita harus memeriksa pentingnya istilah-istilah penting itu secara kontekstual. Analisis tekstual yang mendalam harus dilakukan dari konteks yang jelas sebagai dasar untuk menarik kesimpulan atas makna dari konteks yang tidak jelas. Segala penafsiran yang membaca makna-makna tidak standar ke dalam kalimat-kalimat yang tidak jelas harus ditolak seketika.
Samādhi adalah sinonim dari ‘keterpusatan pikiran’ (cittekaggatā) atau ‘konsentrasi’ (ekodibhāva). Baik ‘samādhi’ maupun ‘konsentrasi’ muncul dalam formula jhāna ke dua, sedangkan di tempat lain ‘konsentrasi’ juga dikatakan telah muncul dalam jhāna pertama.11 Bentuk kata kerja dari ‘konsentrasi’ (ekodihoti atau ekodikaroti), yang biasanya muncul berdampingan dengan samādhiyati, juga merujuk pada jhāna pertama.12 Berikut ini adalah definisi standar dari samādhi dari sutta-sutta:
‘Keterpusatan pikiran dengan ketujuh faktor [jalan] ini sebagai prasyarat disebut samādhi benar mulia dengan kondisi dan prasyarat vitalnya.’13
Samādhi benar, atau keterpusatan pikiran dalam konteks sang jalan, adalah empat jhāna.14 Kita akan melihat di bawah bahwa ketika samādhi secara eksplisit didefinisikan dalam kategori ajaran inti, yang dimaksudkan adalah selalu empat jhāna.
Tidak diragukan bahwa hal ini adalah makna yang sangat penting dari samādhi dalam sutta-sutta. Namun demikian, adalah mungkin, dengan sedikit mencari, untuk menemukan kasus-kasus yang menyiratkan bahwa samādhi dapat memiliki makna yang lebih luas.
Dalam sangat sedikit konteks makna itu, tidak dijelaskan oleh konteks, mungkin berarti jhāna, atau mungkin juga hanya sekedar ‘konsentrasi’ dalam makna biasa kata itu.15 Satu paragraf membicarakan tentang seorang bhikkhu yang menegakkan ‘pikiran terpusat dalam samādhi’ selagi berada dalam seluruh empat postur, termasuk berjalan.16 Hal ini tampaknya sulit diselaraskan dengan pemahaman jhāna secara umum, walaupun tidak bertentangan dengan sutta-sutta. Walaupun semua hal lainnya dalam sutta cukup standar – moralitas, meninggalkan rintangan-rintangan, energi, perhatian, ketenangan jasmani (yang sedikit mengherankan saya dalam konteks berjalan), dan samādhi, dengan sebuah syair yang memuji baik samatha maupun vipassanā. Mungkin kita akan mencurigai suatu penyuntingan yang sedikit janggal; dan kita tidak boleh melupakan seringnya meditator duduk bersila sebelum memasuki samādhi.
Sering kali, samādhi digunakan untuk menggambarkan kondisi meditatif vipassanā atau kebebasan. Ini termasuk tiga dari empat jenis ‘pengembangan samādhi’,17 ‘landasan peninjauan kembali’,18 dan ‘samādhi-pikiran tanpa gambaran’.19 Ini bukanlah pengganti jhāna dalam kategori doktrin penting manapun juga; sesungguhnya, ini mengikuti setelah jhāna. Harus diperhatikan bahwa ‘pengembangan’ (bhāvanā) sering kali merujuk bukan pada penegakan dasar suatu subjek meditasi, melainkan lebih jauh lagi, pengembangan lanjutan.20 Diduga, dengan menegakkan keterpusatan-pikiran dalam jhāna memungkinkan pikiran untuk mempertahankan suatu tingkat keterpusatan yang sebanding dengan keterpusatan dalam tugas vipassanā yang lebih kompleks lagi, membatasi istilah samādhi.
Sangat jarang, samādhi digunakan sebagai suatu kondisi meditasi yang mendahului jhāna. Paragraf unik berikut ini menggambarkan samādhi sebelum jhāna itu.
‘Bagi seorang bhikkhu yang menekuni pikiran yang lebih tinggi, terdapat noda-noda kasar – perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Bhikkhu yang waspada dan kompeten meninggalkan, mengusir, melenyapkan, dan memusnahkannya. ‘Ketika hal-hal itu ditinggalkan … terdapat noda-noda menengah – pikiran kenikmatan indria, niat buruk, dan kekejaman … ‘Ketika hal-hal itu ditinggalkan … terdapat noda-noda halus – pikiran pada keluarga, negara, dan reputasi. Bhikkhu yang waspada dan kompeten meninggalkan, mengusir, melenyapkan, dan memusnahkannya. ‘Ketika hal-hal itu ditinggalkan dan dilenyapkan, mulai dari sana hanya ada pikiran tentang Dhamma.21 Samādhi itu tidak cukup damai, juga tidak cukup halus, juga tidak memiliki ketenangan, juga tidak terpusat, melainkan secara aktif dikendalikan dan dikekang. Akan tiba saatnya ketika pikiran menjadi kokoh, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi dalam samādhi. Samādhi itu damai, halus, memiliki ketenangan, terpusat, dan tidak secara aktif dikendalikan atau dikekang. Ia dapat mengarahkan pikirannya untuk melihat dengan pengetahuan langsung prinsip apapun yang dapat dilihat dengan pengetahuan langsung, dan menjadi seorang saksi-mata dalam setiap kasus, dengan landasan yang bersesuaian.’22
Hanya setelah samādhi menjadi ‘damai dan halus’, dengan kata lain samādhi sejati, maka ini mengarah pada buah praktik. Pencapaian-pencapaian sang jalan yang lebih tinggi ini umumnya dikatakan sebagai hasil jhāna, maka dalam konteks demikian adalah logis untuk menyimpulkan bahwa samādhi di sini bermakna jhāna, seperti biasanya.23 Hingga rintangan-rintangan minor telah diatasi sepenuhnya, dan pikiran berhenti berpikir, bahkan ‘berpikir tentang Dhamma’, maka pikiran tidak dapat memasuki jhāna dan menembus pandangan terang yang lebih dalam.24 Satu-satunya nilai penting dari samādhi sebelum jhāna adalah untuk mendahului samādhi sesungguhnya, dan karena itu diabaikan dalam semua penjelasan samādhi benar.
Menurut Pali-English Dictionary dari Pali Text Society: ‘[Jhāna] tidak pernah bermakna samar-samar sebagai “meditasi”. Ini adalah istilah teknis untuk suatu pengalaman religius khusus yang dicapai dalam suatu urutan kondisi pikiran tertentu. Awalnya dibagi menjadi empat kondisi demikian.’ Makna tegas ini muncul ratusan kali.
Sehubungan dengan samādhi, jika kita mencari di antara ribuan teks Buddhist awal, maka adalah mungkin untuk menemukan beberapa penggunaan berbeda. Yang sangat jarang, misalnya, jhāna merujuk pada bentuk penyiksaan-diri non-Buddhis seperti ‘jhāna tanpa-nafas’.25
Dalam bentuk awalan, jhāna sering bermakna ‘merenungkan’, ‘memikirkan’. Kadang-kadang bentuk awalan sederhana digunakan bersamaan dalam makna mencela. Terlepas dari keganjilan nyata ini, saya mempertahankan kata ‘jhāna’ dalam paragraf berikut ini demi konsistensi.
‘Kemudian, ketika Māra Dūsi telah merasuki para brahmana perumah tangga, mereka memaki, mencaci, mengusik para bhikkhu bermoral yang berkarakter baik sebagai berikut: “Para bhikkhu gundul ini, berkulit gelap yang dilahirkan dari kaki leluhur ini, mengaku: ‘Kami sedang melakukan jhāna! Kami sedang melakukan jhāna!’ dan dengan bahu turun, kepala menunduk, dan tertatih-tatih mereka melakukan jhāna, mengulangi jhāna, melampaui jhāna, dan melakukan jhāna secara keliru. Bagaikan seekor burung hantu di atas sebuah dahan yang menunggu seekor tikus … bagaikan seekor serigala di tepi sungai yang menunggu ikan … bagaikan seekor kucing di tiang pintu atau di tempat sampah atau di saluran air yang menunggu seekor tikus … bagaikan seekor keledai keletihan yang berputar mengelilingi tiang pintu atau tempat sampah atau saluran air melakukan jhāna, mengulangi jhāna, melampaui jhāna, dan melakukan jhāna secara keliru …”’26
Tidak perlu dikatakan bahwa jhāna jenis ini bukanlah apa yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada para siswaNya untuk dipraktikkan! Namun demikian, paragraf ini memberikan suatu petunjuk pada makna jhāna yang mendasar dan tidak khusus: pengamatan yang dekat, terus-menerus, terkonsentrasi pada satu titik.
Gambaran penting dari ‘makanan’ sebagai objek jhāna muncul dalam paragraf luar biasa berikut ini, yang meliputi makna ‘jhāna’ secara lebih luas.
‘Sandha, engkau harus melatih jhāna kuda perkasa berdarah murni, bukan jhāna kuda tua kikuk. Apakah jhāna kuda tua kikuk? ‘Kuda tua kikuk, Sandha, ketika diikat pada palung makanan melakukan jhāna sebagai berikut: “Makanan! Makanan!” Karena alasan apakah? Ia tidak berpikir: “Tugas apakah yang akan diberikan oleh pelatih kepadaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuknya sebagai balasan?” Dengan terikat pada palung makanan, ia hanya melakukan jhāna sebagai berikut: “Makanan! Makanan!” Dengan cara yang sama, seorang kuda tua kikuk yang telah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke tempat kosong, berdiam dengan pikiran yang dikuasai dan diliputi dengan nafsu indria … niat buruk … kelambanan & ketumpulan … kegelisahan & penyesalan … keragu-raguan. Ia tidak memahami jalan membebaskan diri dari hal-hal ini sebagaimana adanya. Setelah membentuk hal-hal ini dalam dirinya, ia melakukan jhāna, mengulangi jhāna, melampaui jhāna, dan melakukan jhāna secara keliru. Ia melakukan jhāna dengan bergantung pada tanah … air … api … udara … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi … dunia ini … dunia sana … dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, dicerap, dikenali, dicapai, dicari, dan diperiksa oleh pikiran. Ini adalah jhāna seorang kuda tua kikuk. ‘Apakah jhāna seorang kuda perkasa berdarah murni? ‘Seekor kuda perkasa berdarah murni yang baik, ketika diikat pada palung makanan tidak melakukan jhāna sebagai berikut: “Makanan! Makanan!” Karena alasan apakah? Ia berpikir: “Tugas apakah yang akan diberikan oleh pelatih kepadaku hari ini? Apakah yang dapat kulakukan untuknya sebagai balasan?” … Seekor kuda perkasa berdarah murni yang baik menganggap penggunaan cambuk sebagai hutang, hukuman, kerugian, dan kemalangan. Dengan cara yang sama, seorang kuda perkasa berdarah murni yang baik … tidak berdiam dengan pikiran dikuasai oleh lima rintangan … ia tidak melakukan jhāna dengan bergantung pada tanah … dengan bergantung pada apa yang dilihat, didengar, dicerap, dikenali, dicapai, dicari, dan diperiksa oleh pikiran. Namun ia mempraktikkan jhāna.’27
Paragraf ini menyajikan sejumlah hal sehubungan dengan penggunaan kata ‘jhāna’. Perumpamaan-perumpamaannya membedakan antara pikiran yang terarah pada satu hal dan pikiran yang terlibat dalam perenungan reflektif – yang pertama disebut ‘jhāna’, dan yang ke dua bukan. Rangkaian empat turunan ‘jhāna’ dengan penambahan awalan selalu digunakan sehubungan dengan kelima rintangan, bukan dengan empat jhāna. Penyebutan empat elemen tampaknya adalah merupakan ungkapan yang merujuk pada empat jhāna ‘berbentuk’. Untuk mempertahankan konsistensi, teks menghubungkan jhāna sebagai pencapaian-pencapaian tanpa-bentuk – suatu penggunaan umum dalam literatur belakangan tetapi mungkin tidak umum dalam sutta-sutta. ‘Jhāna’ yang disebutkan dalam frasa terakhir mungkin merujuk pada buah pencapaian Kearahantaan. Perhatikan bahwa pengalaman pencerahan meditatif ini dibedakan dari jhāna berbentuk dan tanpa bentuk.
Walaupun teks tidak secara tegas memuji jhāna, namun itu bukanlah jhāna yang sedang dibicarakan, melainkan orang yang mempraktikkannya, yang dikritik oleh Sang Buddha, dan hanya diperbandingkan dengan Arahant. Seperti yang akan kita lihat di bawah, gagasan ‘makanan’ dan ‘kebergantungan’ menyiratkan kemunculan bergantungan; bahwa segala sesuatu yang terkondisi dianggap cacat di sini dari sudut pandang kebijaksanaan tertinggi sebagai mengarah pada kelahiran kembali. Harus ditekankan bahwa penggunaan kata jhāna secara luas ini – di sini sebutkan demi kelengkapan – adalah sangat jarang.
Ini adalah satu-satunya makna dari kata jhāna dan samādhi yang secara jelas diambil dari sutta-sutta awal. Karena kedua kata ini muncul begitu sering dengan makna yang sangat jelas, sepertinya cukup logis untuk menganggap bahwa kata ini merujuk pada empat jhāna kecuali terdapat bukti kontekstual sebaliknya. Akan tetapi, berhubung kadang-kadang samādhi mungkin memiliki makna yang lebih luas, kita akan berusaha untuk mencocokkannya dengan makna kontekstual jika memungkinkan.
Istilah kontroversial vipassanā jhāna tampaknya berakar dari pengembangan historis dalam penggunaan kata ‘samatha’ dan ‘vipassanā’.
Dalam sutta-sutta, tidak ada label pada teknik meditasi, seperti mengatakan ‘kasiṇa dan cinta kasih adalah samatha, satipaṭṭhāna adalah vipassana’. Kecenderungan yang berkembang yang memisahkan dan mensistematisasikan berbagai subjek meditasi berkembang menjadi praktik umum yang mengidentifikasikan samatha dan vipassanā dengan subjek-subjek meditasi itu sendiri, bukannya dengan kualitas-kualitas pikiran yang dikembangkan oleh teknik-teknik itu. Setelah melabeli suatu teknik tertentu sebagai ‘vipassanā’, ditemukan bahwa pengalaman kegembiraan, ketenangan dan kebahagiaan muncul selama ‘vipassanā’. Maka pengalaman-pengalaman ini disebut vipassanā jhāna.
Tetapi kualitas-kualitas emosi ini adalah persis sama dengan apa yang dirujuk oleh ‘samatha’. Ini bukanlah suatu jenis baru dari ‘jhāna’ yang terjadi dalam ‘vipasanā’, ini adalah samatha murni dan sederhana. Ini hanya terjadi ketika mempraktikkan teknik meditasi yang tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan vipassanā.
Kita mungkin mendengar bahwa ‘vipassanā’ membantu meredakan stress, memecahkan ketidak-seimbangan psikologis, atau meningkatkan belas kasihan; namun hal-hal ini adalah aspek-aspek samatha, ‘pengembangan pikiran’, terlepas dari label apa yang diberikan pada teknik itu. Akan tetapi, selama pikiran masih bergerak, dan selama kelima indria eksternal masih ada, maka ini masih belum jhāna sejati – pikiran benar-benar diam beristirahat dalam pikiran itu sendiri.
Lebih lanjut lagi, ada satu konsep yang harus dibahas: ‘transendental jhāna’ (lokuttarajjhāna), yang telah dipaksakan menjadi pengganti ‘samatha jhāna’ untuk memenuhi faktor sang jalan samādhi benar. Gagasan ini berdasarkan pada Paṭisambhidāmagga, salah satu dari buku-buku terakhir Sutta Piṭaka, serta teks-teks Abhidhamma kanonis. Ini disusun dan dikembangkan oleh para guru komentar dengan menggunakan konsep pribadi mereka.
Menurut teori komentar yang berkembang, ‘transendental jhāna adalah jhāna jenis khusus yang muncul hanya pada saat menembus jalan dan buah mulia. Samādhi ini jelas muncul dengan faktor-faktor batin yang sama dengan salah satu dari empat jhāna, namun dibedakan dengan menggunakan Nibbana sebagai objeknya dan dengan melenyapkan secara permanen, bukan sekedar menekan, kekotoran-kekotoran yang bersesuaian dengan masing-masing jalan. Keempat jalan masing-masing berlangsung selama satu ‘momen pikiran’28 – konsep komentar lainnya – muncul hanya satu kali, sedangkan buah dapat dimasuki berulang-ulang oleh para mulia dengan persiapan seperlunya. ‘momen sang jalan’ ini dianggap berlangsung kurang dari seper satu milyar dari kilasan halilintar.29
Dengan pengecualian yang mungkin dari pencapaian buah,30 tidak ada satu pun dari gagasan ini yang mendapatkan dukungan sutta-sutta. Pendukung teori ini biasanya merujuk pada Mahācattārīsaka Sutta, yang membedakan antara jalan transensdental dan non-transendental untuk lima faktor pertama dari sang jalan. Akan tetapi teks tidak menyebutkan perbedaan faktor-faktor dari kelompok samādhi.31 Perbedaan dalam penyajian bukanlah tanpa alasan. Tujuan dari sutta adalah untuk menunjukkan bagaimana seluruh faktor sang jalan berfungsi mendukung samādhi pada seorang yang mengembangkan jalan mulia. Kelima faktor pertama mendapatkan definisi khusus yang sesuai dengan konteks samādhi. Khususnya, pandangan benar dan kehendak benar didefinisikan melalui fungsi kognitif bukan melalui muatan objektif. Tetapi tiga faktor terakhir dari formula normal sudah secara langsung berhubungan dengan samādhi, maka tidak diperlukan definisi khusus di sini. Bagaimana pun juga, sekedar menyebutkan kata-kata ‘mulia, bebas-racun, transendental, faktor sang jalan’ bahkan jika diterapkan pada jhāna tidak akan menyiratkan detail-detail teori komentar.32
Definisi indria spiritual samādhi juga diperlukan untuk mendukung tesis ini. Dalam bagian yang membahas indria-indria spiritual saya menawarkan suatu interpretasi alternatif, menempatkan kritik teknis dari posisi komentar dalam Apendiks A.
Di atas landasan lemah ini terletak keseluruhan bangunan penjelasan teori komentar. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Sang Buddha, yang biasanya begitu tepat dalam memilih kata-kata, telah memilih kata-kata seperti ‘jalan’ dan ‘individu’ untuk menggambarkan suatu ‘momen-pikiran’. Gagasan-gagasan demikian mungkin berkembang dari catatan kasus-kasus penembusan Dhamma yang terjadi seketika. Tampaknya sang jalan dimasuki pada satu waktu, dikembangkan secara bertahap, dan matang dalam buah di saat lainnya, setelah suatu interval pendek atau panjang.33 Hal ini dijelaskan dengan perumpamaan anak ayam yang memecah cangkangnya setelah periode inkubasi, atau runtuhnya tali-temali kapal setelah lama lapuk dalam cuaca.34
Gagasan komentar bahwa ‘sang jalan’ terjadi dalam waktu seketika, dan oleh karena itu seluruh paragraf yang merujuk pada ‘sang jalan’ dalam makna teknisnya merujuk hanya pada momen itu, sungguh suatu gagasan yang mengherankan, dan tidak didukung oleh sutta. Sebaliknya, sutta-sutta secara terus-menerus membicarakan seseorang yang berada dalam sang jalan sebagai seorang yang mengembangkan sang jalan selama periode tertentu. Paragraf sutta penting tentang sang jalan dikumpulkan di bawah.
‘Seperti halnya, para bhikkhu, samudera raya ini bertambah dalam secara bertahap, condong secara bertahap, melandai secara bertahap, tanpa jurang tiba-tiba, demikian pula dalam Dhamma-vinaya ini terdapat latihan bertahap, pekerjaan bertahap, praktik bertahap, tanpa penembusan tiba-tiba pada pengetahuan yang mendalam. … ‘Seperti halnya samudera raya yang menjadi rumah bagi banyak makhluk-makhluk agung … Demikian pula Dhamma-vinaya ini adalah rumah bagi banyak makhluk-makhluk agung; pemasuk-arus, seorang yang berada pada jalan melihat buah memasuki-arus [dan seterusnya.].’35
‘Ketika ia mengembangkan samatha sebelum vipassanā, sang jalan muncul dalam dirinya. Ia melatih, mengembangkan, dan mengutamakan sang jalan itu.’36
‘Seseorang yang, menghargai kata-kata Dhamma yang diajarkan dengan baik,
Hidup dalam Sang Jalan, terkendali dan penuh perhatian
Melatih kondisi-kondisi tanpa cela –
Ini adalah jenis bhikkhu ke tiga, hati dari sang jalan.’37
‘Empat pasang makhluk, delapan individu, ini adalah Sangha para siswa Sang Bhagavā; layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, kayak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya di dunia.’38
‘Delapan individu yang dipuji itu
Empat pasang siswa Sang Bhagavā
Mereka layak menerima persembahan
Apa pun yang diberikan kepada mereka akan menghasilkan buah.’39
‘Persembahan yang diberikan kepada seorang yang berada pada jalan melihat buah memasuki-arus dapat diharapkan akan memperoleh balasan yang tidak terhitung; apalagi persembahan yang diberikan kepada seorang pemasuk-arus?’40
Pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan adalah dua jenis individu yang berada pada jalan memasuki-arus. Jika gagasan komentar diterima, maka kedua ini hanyalah satu ‘momen pikiran’. Namun sutta-sutta secara konstan memperlakukannya sebagai ‘individu’:
‘Ia tidak mampu lagi melakukan perbuatan yang jika dilakukan dapat mengakibatkannya terlahir kembali di neraka, dalam rahim binatang, atau alam hantu. Ia tidak akan meninggal dunia sebelum menyaksikan buah memasuki-arus.’41
‘Seperti halnya seekor anak sapi lembut yang baru lahir, karena didorong oleh lenguhan induknya juga mengarungi arus Gangga dan menyeberang dengan selamat sampai di pantai seberang, demikian pula para bhikkhu itu yang adalah pengikut-Dhamma, pengikut-keyakinan – dengan mengarungi arus Māra maka mereka juga akan dengan selamat sampai di pantai seberang.’42
‘Bagaimana menurutmu, Bhaddāli? … Misalkan ada seorang bhikkhu yang adalah seorang pengikut-Dhamma … seorang pengikut-keyakinan, dan Aku berkata kepadanya: “Marilah, bhikkhu, jadilah sehelai papan bagiku untuk melewati lumpur.” Akankah ia berjalan sendiri, atau akankah ia menolak memberikan tubuhnya, atau akankah ia berkata “Tidak”?’ ‘Tidak, Bhante.’43
‘Ketika Yang Mulia itu menggunakan tempat tinggal yang sesuai, bergaul dengan teman-teman baik, dan menenangkan indria-indria spiritualnya, ia akan menyaksikan … tujuan tertinggi … ia masih memiliki tugas yang harus dilakukan dengan tekun.’44
Dalam paragraf sutta berikut ini, salah satu umat awam terkemuka menceritakan tentang bagaimana ia mengetahui pencapaian para bhikkhu.
‘Tidak mengherankan, Bhante, ketika aku mengundang Sangha, para dewa itu mendatangiku dan memberitahuku: “Bhikkhu itu, perumah tangga, adalah seorang yang terbebaskan pada kedua sisi; yang itu terbebaskan melalui pemahaman; yang itu adalah seorang saksi personal; yang itu telah mencapai pandangan; yang itu terbebaskan melalui keyakinan; yang itu adalah seorang pengikut-Dhamma; yang itu adalah seorang pengikut-keyakinan; yang itu adalah seorang yang bermoral, dengan kualitas-kualitas baik; yang itu tidak bermoral, dengan kualitas-kualitas buruk.”’45
Melihat beberapa pengembara dari sekte lain melintas, Raja Pasenadi bertanya kepada Sang Buddha:
‘Bhante, Adakah di antara mereka di dunia ini yang adalah Arahant atau yang mencapai jalan menuju Kearahantaan?’46 ‘Sulit, Baginda, bagimu sebagai seorang awam yang menikmati kenikmatan indria, berdiam dengan dikelilingi oleh anak-anak, menggunakan cendana yang didatangkan dari Benares, mengenakan kalung bunga, wewangian dan riasan, dan menerima emas dan uang, untuk mengetahui apakah mereka ini adalah para Arahant atau mereka yang mencapai jalan menuju Kearahantaan.’
Atau dengan cara serupa, dalam membicarakan bhikkhu jenis apa yang melakukan pengorbanan hewan, Sang Buddha berkata:
‘Tidak ada Arahant atau mereka yang mencapai jalan menuju Kearahantaan yang akan menerima pengorbanan demikian. Mengapa tidak? Karena memukul dan membantai [hewan-hewan pengorbanan] terlihat di sana. Tetapi para Arahant atau mereka yang mencapai jalan menuju Kearahantaan akan menerima jenis pengorbanan di mana pemberian dari keluarga secara rutin diberikan kepada para bhikkhu bermoral.’47
Di antara kita yang tidak dapat membayangkan satu ‘momen-pikiran’ berbaring di atas lumpur atau menerima makanan atau menerima pemberian akan menyimpulkan bahwa teori ‘jalan-seketika’ dari komentar tidak dapat diandalkan untuk menjelaskan sutta-sutta.
Teori ‘momen-pikiran’ dari sang jalan tidak hanya bertentangan dengan beberapa paragraf minor, hal ini adalah ganjil dibandingkan dengan sifat samādhi seperti yang diajarkan dalam sutta-sutta. Sutta-sutta umumnya membicarakan samādhi sebagai suatu penenangan aktivitas-aktivitas secara bertahap dalam penyatuan pikiran yang stabil yang berlangsung selama periode waktu yang cukup lama, yang ke dalamnya seseorang ‘masuk dan berdiam’. Kata ‘berdiam’ (viharati) secara khusus dan eksklusif digunakan dalm Pali untuk menyebutkan suatu situasi atau peristiwa yang sedang berlangsung. Suatu contoh yang khas adalah:
‘Dan demikianlah, Anuruddha, berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh Aku merasakan cahaya terbatas dan melihat bentuk-bentuk terbatas, Aku merasakan cahaya tanpa batas dan melihat bentuk-bentuk tanpa batas bahkan selama sepanjang malam hari, sepanjang siang hari, sepanjang malam hari dan siang hari.’48
Ini adalah prinsip interpretasi kita yang ke dua, yaitu perspektif historis. Prinsip ini melindungi dari permainan ‘Bisikan Cina’ [penj: nama permainan di mana seseorang membisikkan suatu pesan kepada orang lainnya yang kemudian disampaikan lagi pada serangkaian orang hingga pemain terakhir mengumumkannya pada kelompok tersebut] pada Dhamma, dengan mengandalkan pada suatu interpretasi dari pembabaran yang diulang kembali dari ringkasan atas apa yang dianggap telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ajaran asli masih tersedia untuk kita. Sungguh besar hutang kita pada para bhikkhu yang melestarikan dan menurunkan sutta-sutta, sungguhkah kita menganggap bahwa mereka mampu menjelaskan Dhamma dengan lebih baik dari Sang Buddha sendiri? Gagasan bahwa konsep komentar atau abhidhamma diperlukan agar dapat menginterpretasikan sutta-sutta dengan benar nyaris tidak sesuai dengan penjelasan Sang Buddha sendiri atas ajarannya yang membebaskan.
‘Sempurna dalam segala aspek, memenuhi segala aspek, tidak kurang dan tidak lebih, dibabarkan dengan sempurna dan lengkap sepenuhnya.’49
Dalam mengakui bahwa ajaranNya lengkap, Sang Buddha, tentu saja, tidak berpura-pura bahwa Beliau telah menjawab semua pertanyaan dan membeberkan semua fakta. Akan tetapi, Beliau memang mengakui, telah memperlihatkan dengan detail yang cukup, jelas dan tepat suatu kerangka pemahaman yang mencukupi yang berfungsi sebagai penuntun bagi semua pertanyaan penting atas teori dan praktik. Hal ini diilustrasikan dengan perumpamaan terkenal segenggam daun.
Kemudian Sang Bhagavā, dengan tangannya mengambil sedikit daun siṁsapa, dan berkata kepada para bhikkhu: ‘Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Manakah yang lebih banyak, sedikit daun di tanganKu atau dedaunan di atas pepohonan sana?’ ‘Sedikit daun yang ada di tangan Sang Bhagavā adalah lebih sedikit, Bhante; dedaunan di atas pepohonan tentu saja lebih banyak.’ ‘Demikianlah, para bhikkhu, hal-hal yang Kuketahui langsung tetapi tidak Kunyatakan kepada kalian adalah lebih banyak; apa yang telah Kunyatakan adalah lebih sedikit. Dan mengapakah hal-hal itu tidak Kunyatakan? Hal-hal itu tidak penting, tidak berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, tidak mengarah pada kejijikan, peluruhan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana. Oleh karena itu hal-hal itu tidak Kunyatakan. Dan apakah yang Kunyatakan? Ini adalah penderitaan … Ini adalah asal-mula penderitaan … Ini adalah lenyapnya penderitaan … Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan. Dan mengapakah hal-hal ini Kunyatakan? Hal-hal ini penting, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, mengarah pada kejijikan, peluruhan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana. Oleh karena itu hal-hal ini Kunyatakan.
‘Misalkan, bhikkhu, seorang raja memiliki sebuah kota perbatasan dengan benteng, dinding, dan atap yang kokoh, dan enam pintu gerbang. Penjaga gerbang adalah seorang yang pandai, kompeten, dan cerdas, dan menjaga orang-orang asing tetap di luar tetapi memperbolehkan orang-orang yang dikenal masuk. Sepasang utusan cepat dari dari arah timur bertanya kepada si penjaag gerbang sebagai berikut: “Di manakah, sahabat, pemimpin dari kota ini?” “Ia di sana, Tuan, ia sedang duduk di tengah-tengah persimpangan jalan.” Kemudian pasangan utusan cepat itu akan menyampaikan pesan sebagaimana adanya kepada pemimpin kota dan pergi melalui dari arah mana mereka datang. Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan sebuah makna. Dan ini adalah maknanya: “Kota” adalah sebutan untuk jasmani ini yang tersusun dari empat unsur utama, dihasilkan dari ibu dan ayah, dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, gesekan, keusangan, kerusakan, penguraian. “Enam pintu gerbang” adalah sebutan untuk enam landasan indria internal dan eksternal. “Penjaga gerbang” adalah sebutan untuk perhatian. “Sepasang utusan cepat” adalah sebutan untuk samatha dan vipassanā. “Pemimpin kota” adalah sebutan untuk kesadaran. “Di tengah-tengah persimpangan jalan” adalah sebutan untuk empat unsur utama … “Pesan yang sebagaimana adanya” adalah sebutan untuk Nibbana. “dari arah mana mereka datang” adalah sebutan untuk Jalan Mulia Berunsur Delapan.’
~ Sang Buddha, SN 35.245
Ketika kita menyelidiki makna dari terminologi meditasi kita, adalah bijaksana untuk melakukannya dengan suatu tingkat kehati-hatian. Kita sedang membahas kondisi kesadaran yang sangat abstrak dan halus, dan hal-hal demikian tidaklah mudah dijelaskan hanya dengan kata-kata. Bahasa kita terbentuk dari apa yang ada di sekeliling kita, lingkungan nyata kita, dan hal-hal yang berhubungan. Lama-kelamaan kata-kata itu memisahkan diri dari asal-mula sesungguhnya dan menyusup ke dalam penggunaan-penggunaan yang lebih abstrak. Inilah sebabnya maka adalah berguna untuk pertama-tama mempertimbangkan bagaimana suatu kata dipergunakan dalam bahasa biasa, di mana kita bisa menentukan makna sederhana dengan tingkat kejelasan yang lebih tinggi, sebelum mendekati penggunaan yang lebih halus.
Dalam penggunaan biasa, samatha berarti ‘menenangkan, mendiamkan, menenteramkan’, misalnya, perselisihan dan perkara;50 di sini maknanya mendekati ‘berhentinya’. Makna menyelesaikan masalah dalam Sangha menunjukkan bagaimana samatha dan vipassanā bekerja sama. Pihak-pihak yang berselisih harus kembali bersama dalam kerukunan; secara seksama memeriksa segala sesuatu menurut Dhamma; dan sepakat atas suatu solusi. Demikianlah kita menemukan vipassanā juga digunakan dalam konteks hukum.
‘Dan ketika Pangeran Vipassi lahir, mata dewa terbentuk padanya sebagai akibat dari perbuatan masa lampau, yang dengannya ia mampu melihat hingga sejauh satu liga keliling baik siang ataupun malam. Dan ketika Pangeran Vipassī lahir, ia waspada tanpa berkedip, bagaikan para dewa Tavatiṁsa. [Orang-orang berkata:] ‘Sang Pangeran waspada tanpa berkedip’, dan demikianlah Pangeran Vipassī diberi nama Vipassī’. Dan kemudian, ketika Raja Bandhumā sedang duduk mengadili suatu kasus hukum, ia mendudukkan Pangeran Vipassī di pangkuannya dan mengajarinya sehubungan dengan kasus hukum. Dan Pangeran Vipassī, bahkan selagi duduk di pangkuan ayahnya, setelah dengan seksama menyelidiki kasus itu, ia menarik kesimpulan sehubungan dengan kasus hukum itu dengan metode logika … dan demikian Pangeran Vipassi semakin disebut ‘Vipassī’.51
Di sini, ada dua aspek vipassanā. Pertama, pengamatan penembusan dan penglihatan jernih atas apa yang sedang terjadi pada masa kini. Dan ke dua, kemampuan menarik kesimpulan benar dengan memeriksa secara seksama atas bukti di depan mata seseorang, dan memahaminya sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang benar.52
Petunjuk tepat dari samatha dan vipassanā dalam konteks meditasi dapat diturunkan dari paragraf yang dikutip secara lebih lengkap di bawah. Samatha adalah mengokohkan pikiran, mendiamkannya, menyatukan, dan mengkonsentrasikan dalam samādhi. Oleh karena itu hal ini serupa dengan makna keterpusatkan pikiran, kualitas pikiran jhāna atau samādhi yang paling menonjol.53 Vipassanā adalah melihat dan mengeksplorasi aktivitas-aktivitas. Oleh karena itu merujuk pada kebijaksanaan dalam modus penyelidikan yang halus ke dalam sifat realitas sebagai pengalaman.
Definisi-definisi ini mengungkapkan inti samatha dan vipassanā. Akan tetapi, samatha dan vipassanā juga muncul sebagai rangkuman komprehensif atas aspek meditatif dari sang jalan, dan paragraf berikutnya memperlakukannya sebagai mengarah berturut-turut pada pengembangan pikiran dan kebijaksanaan. Hal ini menyiratkan bahwa samatha dan vipassanā juga dianggap dalam makna yang lebih umum sebagai termasuk kualitas-kualitas pikiran yang mengarah pada kedamaian dan pada kebijaksanaan. Keduanya hampir selalu muncul berpasangan dalam sutta-sutta, dan sebagai pasangan kualitas pikiran yang harus dikembangkan melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.
‘Para bhikkhu, kedua prinsip ini bekerja sama dalam penembusan. Apakah dua ini? Samatha dan Vipassanā. “Ketika samatha dikembangkan, tujuan apakah yang diperoleh? Pikiran terkembang. Ketika pikiran terkembang, tujuan apakah yang diperoleh? Nafsu ditinggalkan. ‘Ketika vipassanā dikembangkan, tujuan apakah yang diperoleh? Pemahaman terkembang. Ketika pemahaman terkembang, tujuan apakah yang diperoleh? Kebodohan ditinggalkan. ‘Para bhikkhu, pikiran yang dinodai oleh nafsu adalah tidak terbebaskan.; pemahaman yang dinodai oleh kebodohan adalah tidak terkembang. Demikianlah kebebasan batin adalah bergantung pada meluruhnya nafsu; kebebasan melalui kebijaksanaan adalah bergantung pada meluruhnya kebodohan.’54
Kadang-kadang frasa ‘kebebasan batin’ dan ‘kebebasan melalui pemahaman’ menunjukkan jenis-jenis Arahant berbeda yang dibedakan dengan penekanannya apakah pada samādhi atau kebijaksanaan. Akan tetapi, biasanya, seperti juga di sini, keduanya merujuk pada dua aspek yang saling mendukung pada kebebasan semua Arahant. Demikianlah samatha dan vipassanā berfungsi secara berpasangan, bukan hanya pada latihan persiapan, tetapi juga sampai pada kebebasan tertinggi. Ini adalah mengapa Sang Buddha menyebut Nibbana sebagai ‘samatha dari segala aktivitas’, dengan menekankan bahwa samatha merujuk pada mendiamkan, menenangkan, dan menenteramkan penderitaan.
Perhatikan bahwa samatha menghasilkan meluruhnya nafsu, vipassanā menghasilkan meluruhnya kebodohan. Nafsu adalah sebutan bagi aspek emosi kekotoran; kebodohan adalah sebutan bagi aspek intelektual. Maka dalam pengertian paling umum, samatha dapat dianggap sebagai berhubungan dengan pengembangan emosi, vipassanā berhubungan dengan pengembangan intelektual.
Kata ‘emosi’ dan ‘intelektual’ dimaksudkan di sini dalam konotasi yang paling luas yang memungkinkan. Dengan menggunakan kata ‘emosi’ kita diharapkan tidak lebih berperasaan dan impulsif daripada ‘intelektual’ yang mana maksudnya adalah pemikiran logis dan rasional. Sebaliknya, kita merujuk pada kedua sisi pengalaman, setengah dari pikiran atau dunia kita yang berhubungan dengan perasaan dan intuisi, sisi lembut yin, dan yang berhubungan dengan pemahaman dan analisis, sisi penembusan yang. Kita semua memiliki kedua aspek ini dalam diri kita. Masing-masing aspek ini terdiri dari beberapa hal baik dan beberapa hal buruk dan harus dikembangkan dengan cara seimbang jika kita ingin mencapai kebebasan – kita tidak dapat mencerahkan hanya setengah dari pikiran kita.
Banyak perumpamaan dapat menggambarkan kondisi saling mendukung ini. Vipassanā saja adalah bagaikan berusaha menebang pohon dengan pisau cukur; samatha saja adalah bagaikan berusaha menebang pohon dengan palu. Bersama-sama kedua ini bagaikan menggunakan kapak tajam – keduanya menembus dan kuat. Atau samatha adalah bagaikan sisi bawah perangko – bagian yang menempel – sedangkan vipassanā adalah bagaikan sisi atasnya – bagian yang memberikan informasi. Atau samatha adalah bagaikan kaki kiri, vipassanā bagaikan kaki kanan – seseorang hanya bisa melangkahkan satu kakinya dengan bertumpu pada kaki lainnya. Atau samatha adalah bagaikan angin sejuk di puncak gunung, dan vipassanā adalah bagaikan pemandangan di pinggir pedesaan. Atau samatha adalah bagaikan tangan yang mencengkeram anak tangga berikutnya di atas, vipassanā bagaikan tangan yang melepaskan anak tangga di bawahnya. Perumpamaan ini berisi peringatan – jika seseorang melepas kedua tangan sebelum mencapai puncak tangga, maka ia akan berakhir sebagai gumpalan jatuh yang ada di kaki tangga.
Sutta-sutta selalu mengatakan bahwa baik samatha maupun vipassanā adalah penting dan harus dikembangkan. Misalnya, berikut ini adalah sebuah sutta di mana Yang Mulia Ānanda mengatakan bahwa pencerahan harus bergantung pada kombinasi samatha dan vipassanā.
‘Teman-teman, para bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menyatakan pencapaian Kearahantaan di hadapanku telah sampai di sana melalui empat jalan atau salah satunya. Apakah empat ini? Di sini, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan samatha sebelum vipassanā. Sewaktu ia sedang mengembangkan samatha sebelum vipassanā sang jalan muncul padanya. Ia melatih, mengembangkan, dan mengutamakan jalan itu. Sewaktu ia melakukan hal itu belenggu-belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan mendasarnya dilenyapkan. Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan vipassanā sebelum samatha … Kemudian, teman-teman, seorang bhikkhu mengembangkan samatha dan vipassanā berbarengan … Kemudian, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh kegelisahan pada Dhamma. Ketika pikirannya tenang, menjadi kokoh, terpusat, dan terkonsentrasi dalam samādhi, maka sang jalan muncul padanya. Ia melatih, mengembangkan, dan mengutamakan jalan itu. Sewaktu ia melakukan hal itu belenggu-belenggunya ditinggalkan dan kecenderungan mendasarnya dilenyapkan.’55
Dalam sutta ini, Yang Mulia Ānanda membatasi empat pengelompokan urutan praktik secara komprehensif. Urutan dasarnya adalah sama untuk seluruh empat cara. Pertama-tama samatha dan vipassanā dikembangkan, kemudian sang jalan muncul; kemudian sang jalan dikembangkan lebih lanjut. Satu-satunya variasi adalah pada cara praktik pendahuluan pada samatha dan vipassanā. ‘Sang jalan’ jelas adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pada tahap permulaan jalan ini adalah jalan menuju tingkat memasuki-arus. Khotbah ini menunjukkan bahwa semua meditator yang bercita-cita mencapai kebebasan akan mengembangkan baik samatha maupun vipassanā sebelum memasuki alam para mulia. Beberapa guru vipassanā mencoba menginterpretasikan paragraf ini sebagai suatu pernyataan bahwa seseorang dapat mengembangkan vipassanā terlebih dulu dan kemudian samatha (sebagai jhāna transendental) bersamaan dengan munculnya sang jalan; atau dengan kata lain, bahwa seseorang mengembangkan vipassanā hingga mencapai tingkat memasuki-arus dan kemudian samatha untuk menopang tingkat-tingkatan yang lebih tinggi. Namun tulisan ini tidak didukung oleh teks, yang sangat jelas mengatakan bahwa baik samatha maupun vipassanā adalah perlu sebelum munculnya jalan mulia.
Mari kita melihat lebih dekat pada bagaimana cara-cara berbeda ini dijelaskan dalam sutta-sutta. Contoh dari cara pertama muncul paling sering dalam buku ini, jadi saya akan mengesampingkannya dulu untuk sekarang. Vipassanā sebelum samatha dicontohkan sebagai berikut. Dalam paragraf ini, ‘ketanpa-gangguan’ merujuk pada dua pertama dari pencapaian tanpa bentuk.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: “Kenikmatan-kenikmatan indria … persepsi-persepsi indria … bentuk-bentuk fisik … di sini dan saat ini dan dalam kehidupan mendatang adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah tidak selayaknya dinikmati, tidak selayaknya disambut gembira, tidak selayaknya dilekati.” Ketika ia berlatih dengan cara ini dan berulang-ulang berdiam demikian, maka pikirannya menjadi jernih sehubungan dengan landasan ini. Ketika ada kejernihan penuh maka ia mencapai ketanpa-gangguan pada saat ini, atau ia memutuskan dengan pemahaman. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa arus kesadarannya akan mengalir pada ketanpa-gangguan … ‘Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia, setelah pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: “Ini kosong dari diri atau dari apa yang dimiliki diri.” Ketika ia berlatih dengan cara ini dan berulang-ulang berdiam demikian, maka pikirannya menjadi jernih sehubungan dengan landasan ini. Ketika ada kejernihan penuh maka ia mencapai landasan kekosongan pada saat ini atau ia memutuskan dengan pemahaman. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa arus kesadarannya akan mengalir pada landasan kekosongan …’56
Dalam paragraf ini, perenungan pada ketidak-kekalan atau bukan-diri mengarahkan pikiran menuju kebosanan dan ketidak-melekatan. Hal ini memungkinkan sang meditator mencapai kedamaian mendalam dalam samādhi, yang mana hal ini pun bukan merupakan tujuan akhir, karena mereka masih terlahir kembali.
Jalan samatha dan vipassanā berpasangan dengan selaras secara eksplisit dijelaskan hanya di satu tempat.
‘Para bhikkhu, ketika seseorang mengetahui dan melihat sebagaimana adanya pada mata … bentuk-bentuk terlihat … kesadaran mata … kontak mata … perasaan yang muncul dari kontak mata, maka ia tidak terbakar oleh nafsu pada hal-hal ini. Ketika ia berdiam tanpa terbakar oleh nafsu, tidak melekat, tidak bingung, merenungkan bahaya, maka kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan kemelekatan menjadi berkurang pada dirinya di masa depan, dan keinginannya yang menghasilkan kelahiran berulang, yang disertai dengan kenikmatan & nafsu, menyenangkan di sana sini, ditinggalkan. Kesusahan jasmani dan batin, siksaan, dan demam ditinggalkan, dan ia mengalami kebahagiaan jasmani dan batin. Pandangan ‘seorang yang demikian’ adalah pandangan benar. Kehendaknya adalah kehendak benar, usahanya adalah usaha benar, perhatiannya adalah perhatian benar, dan samādhinya adalah samādhi benar. Tetapi perbuatan jasmani, perbuatan ucapan, dan penghidupannya telah dimurnikan sebelumnya. Demikianlah Jalan Mulia Berunsur Delapan terpenuhi baginya melalui pengembangan [dan juga sayap-sayap lain menuju pencerahan]. Kedua kualitas ini, samatha dan vipassanā, bekerja dalam dirinya secara selaras dan seimbang.’ [dan seterusnya untuk telinga, dan seterusnya.]57
Seperti biasanya, praktik ini melibatkan ‘samādhi benar’; dengan kata lain, empat jhāna.
Dalam bagian terakhir dari empat cara Ānanda, sang meditator yang terjebak oleh kegelisahan pada Dhamma harus beralih pada samatha untuk penyembuhan.58
‘Bagaimanakah ia mengokohkan pikirannya dalam dirinya, mendiamkannya, memusatkannya, dan mengkonsentrasikannya dalam samādhi? Di sini, Ānanda, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.’59
Kegelisahan pada Dhamma mungkin adalah belenggu halus kegelisahan yang masih tersisa untuk dipotong oleh yang-tidak-kembali. Tampaknya bahwa jika kegelisahan ini terlalu kuat, maka sang meditator akan memberikan penekanan berlebihan pada vipassanā dengan mengabaikan samatha, sementara jika ‘nafsu akan [alam jhāna] berbentuk’ dan ‘nafsu akan [alam jhāna] tanpa bentuk terlalu kuat, maka mereka akan memberikan penekanan berlebih pada samatha dengan mengabaikan vipassanā. Ketidak-seimbangan ini harus dikoreksi untuk mewujudkan sang jalan.
Maka dalam empat cara yang disajikan oleh Ānanda, yang menurutnya telah dipraktikkan oleh semua Arahant yang ia kenal, semuanya menuntut keharmonisan antara samatha dan vipassanā. Dalam menyatakan hal ini, Ānanda hanya menegaskan kembali suatu prinsip dasar yang tercantum berulang-ulang dalam berbagai sutta.
Kesaling-bergantungan kedua kualitas ini ditekankan sekali lagi dalam paragraf sutta berikut.
‘Seseorang yang memiliki samatha pikiran dalam dirinya tetapi tidak memiliki vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi60 harus mendatangi seorang yang memiliki vipassanā dan bertanya: “Bagaimanakah seharusnya aktivitas-aktivitas dilihat? Bagaimanakah seharusnya hal-hal itu diselidiki? Bagaimanakah seharusnya hal-hal itu diamati dengan vipassanā?” Dan kemudian ia dapat memperoleh vipassanā … ‘Seorang yang memiliki vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi tetapi tidak memiliki samatha pikiran dalam dirinya harus mendatangi seorang yang memiliki samatha dan bertanya: “Bagaimanakah seharusnya pikiran dikokohkan? Bagaimanakah seharusnya pikiran didiamkan? Bagaimanakah seharusnya pikiran dipusatkan? Bagaimanakah seharusnya pikiran dikonsentrasikan dalam samādhi?” Dan kemudian ia dapat memperoleh samatha … ‘Seorang yang tidak memiliki keduanya harus menanyakan tentang keduanya [dan ‘harus mengerahkan semangat, usaha, daya upaya, pengerahan yang besar, tanpa mengendur, dan dengan pemahaman jernih untuk memperolehnya, seperti halnya jika turban seseorang terbakar, maka ia akan mengerahkan usaha besar untuk memadamkan apinya” …61] ‘Seorang yang memiliki keduanya, mantap dalam kualitas-kualitas bermanfaat ini harus berusaha lebih jauh lagi untuk melenyapkan racun-racun.’62
‘Seperti halnya, Nandaka, ada seekor binatang berkaki empat dengan satu kakinya kecil dan pendek, maka ia menjadi tidak terpenuhi dalam faktor itu; demikian pula, seorang bhikkhu yang berkeyakinan dan bermoral tetapi tidak memperoleh samatha pikiran dalam dirinya adalah tidak terpenuhi dalam faktor itu. Faktor itu harus dipenuhi olehnya … seorang bhikkhu yang memiliki tiga ini tetapi tidak memiliki vipassanā ke dalam prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi adalah tidak terpenuhi dalam faktor itu. Faktor itu harus dipenuhi olehnya.’63
Maka semua meditator didorong untuk mengembangkan baik samatha maupun vipassanā, dengan menerapkan berbagai strategi untuk mengatasi berbagai kekotoran.
‘Oleh seorang bhikkhu yang kokoh dalam kelima prinsip ini [yaitu: persahabatan yang baik, moralitas berperilaku, pembahasan Dhamma, semangat, kebijaksanaan], empat prinsip harus dikembangkan lebih jauh lagi: [meditasi pada] kejijikan harus dikembangkan untuk meninggalkan nafsu; cinta kasih harus dikembangkan utuk meninggalkan kemarahan; perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk memotong pemikiran; persepsi ketidak-kekalan harus dikembangkan untuk melenyapkan keangkuhan “aku.”64
Dengan mengingat pemahaman dasar atas samatha dan vipassanā ini, sekarang kita melanjutkan dengan memeriksa tiga kerangka praktik yang dirujuk di atas. Masing-masing kerangka ini menyebutkan kembali keseimbangan dan keselarasan antara kualitas emosi dan intelektual.
‘Tidak ada jhāna bagi seorang yang tanpa kebijaksanaan, Tidak ada kebijaksanaan bagi seorang yang tanpa jhāna; Tetapi bagi seorang yang memiliki jhāna dan kebijaksanaan Nibbana adalah dekat.’65
‘Prinsip-prinsip itu yang Kuajarkan kepada kalian setelah secara langsung mengetahuinya – yaitu, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria spiritual, lima kekuatan spiritual, tujuh faktor pencerahan, jalan mulia berunsur delapan – kalian semua harus melatih prinsip-prinsip ini dalam kerukunan, dengan saling menghormati, tanpa perselisihan.’*
~Sang Buddha, MN 103.3
Ketujuh kelompok ini, berjumlah tiga puluh tujuh ‘sayap menuju pencerahan’, sering muncul dalam sutta-sutta, ditekankan secara khusus oleh Sang Buddha, dan menjadi kerangka doktrin standar bagi semua aliran Buddhisme. Sebagai yang paling penting dan komprehensif dari kelompok-kelompok ini, kita akan membahas Jalan Mulia Berunsur Delapan terlebih dulu.
Dalam khotbah pertama Sang Buddha, Dhammacakkappavatana Sutta, Beliau memperingatkan agar tidak mengejar dua ekstrim: menuruti sensualitas dan menuruti penyiksaan diri. Kemudian Beliau mendefinisikan ‘jalan tengah’ Buddhisme yang terkenal yang tidak mendekati kedua ekstrim ini melainkan menuntun menuju kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana. Ini persisnya adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan: pandangan benar; kehendak benar; ucapan benar; perbuatan benar; penghidupan benar; usaha benar; perhatian benar; samādhi benar.
Ketengahan jalan tengah tidak berhubungan dengan kompromi; ini bukanlah jalan ‘pertengahan’. Melainkan jalan yang menghindari mencari solusi atas permasalahan kehidupan di luar, dalam kenikmatan dan kesakitan jasmani, sebaliknya mengarah ke dalam pada kedamaian batin. Untuk alasan ini, Sang Buddha kadang-kadang menyusun ulang ajaran dasarNya tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan empat jhāna menggantikan Jalan Berunsur Delapan secara keseluruhan.
‘Bhante, Sang Bhagavā tidak mengejar kenikmatan sensualitas, yang rendah, vulgar, biasa, tidak mulia, dan tidak berarti; juga tidak mengejar penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak mulia, dan tidak berarti. Sang Bhagavā adalah seorang yang memperoleh empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi, dan merupakan kediaman yang membahagiakan di sini dan saat ini sekehendaknya, tanpa kesusahan atau kesulitan.’66
Bukan hanya di sini, sutta-sutta menekankan bahwa ‘samādhi adalah jalan’,67 menempatkan jhāna-jhāna di posisi sang jalan secara keseluruhan. Bahkan para penyusun kanon menyerah mencoba menguraikan semua cara yang digunakan oleh Sang Buddha dalam memuji jhāna, hanya berkomentar: ‘Koleksi khotbah-khotbah berkelompok tentang jhāna harus dijelaskan seperti halnya koleksi khotbah berkelompok tentang sang jalan.’68
Jhāna bukan sekedar pelengkap atau hiasan bagi ‘kendaraan suci’, Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ketika Sang Buddha mengilustrasikan sang jalan dengan perumpamaan kereta, ia berkata bahwa jhāna adalah sumbunya – poros yang stabil di mana roda berputar.69
Penjelasan terperinci dari sang jalan adalah sebagai berikut:
‘Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pengetahuan penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan. Ini adalah pandangan benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar? Kehendak meninggalkan keduniawian, tanpa niat-buruk, dan tanpa-kekejaman. Ini adalah kehendak benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar? Menghindari berbohong, memfitnah, ucapan kasar, dan gosip tanpa arah. Ini adalah ucapan benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar? Menghindari membunuh makhluk hidup, dari mencuri, dan dari hubungan seksual yang salah. Ini adalah perbuatan benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa mulia, setelah meninggalkan penghidupan salah, mencari penghidupannya melalui penghidupan benar. Ini adalah penghidupan benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu membangkitkan semangat, mencoba, mengerahkan energi, mengokohkan pikiran, dan berusaha untuk tidak memunculkan kejahatan yang belum muncul, kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … untuk meninggalkan kejahatan yang telah muncul, kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat … untuk memunculkan kualitas-kualitas yang bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan, mencegah penurunan, meningkatkan, mematangkan, dan pemenuhan dari kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul. Ini, para bhikkhu, adalah usaha benar. ‘Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani … perasaan di dalam perasaan … pikiran di dalam pikiran … dhamma di dalam dhamma – tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan pada dunia. ‘Dan apakah, para bhikkhu, samādhi benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang memiliki awal & kelangsungan pikiran, dan kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Dengan mendiamkan awal pikiran & kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, di mana ada kejernihan batin dan keterpusatan, tanpa awal & kelangsungan pikiran, melainkan ada kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari samādhi. Dengan meluruhnya kegembiraan ia berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, secara pribadi mengalami kebahagiaan yang dikatakan oleh para mulia: “Seimbang dan penuh perhatian, ia berdiam dalam kebahagiaan”, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga. Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kenikmatan dan kesakitan, tetapi memiliki perhatian yang dimurnikan sepenuhnya oleh keseimbangan. Ini, para bhikkhu, adalah samādhi benar.70
Faktor pertama, pandangan benar, termasuk dalam pengetahuan sang jalan itu sendiri. Ini, sebagai titik awal, adalah kebijaksanaan dalam peran pendahuluan memberikan pemahaman teoritis atas Sang Jalan sebagai prasyarat yang diperlukan untuk memulai perjalanan. Pemahaman keliru atas sang jalan pasti akan bertindak sebagai penghalang efektif bagi keberhasilan dalam mencapai akhir. Sesungguhnya, ada banyak meditator yang, memulai praktik dengan pandangan salah, menginterpretasikan pengalaman meditasi mereka untuk mengkonfirmasi dan memaksakan konsep keliru mereka.71
Tetapi pemahaman intelektual ini tidaklah cukup. Ini harus disertai dengan suatu perasaan pada makna penderitaan, suatu respon emosi pada dilema kehidupan jika ingin memberikan suatu motivasi efektif bagi tindakan. Karena itu, faktor sang jalan ke dua adalah kehendak benar, pendamping emosional dari pandangan benar, yang memungkinkan pemahaman menjadi matang dalam kebijaksanaan bukannya lenyap dalam muslihat. Dengan memiliki kedua ini, seseorang dapat dengan benar menjalankan moralitas.
Praktik benar moralitas juga memerlukan dua kualitas tambahan. Pertama, suatu pemahaman atas apa yang benar dan apa yang salah bersama-sama dengan keterampilan dalam bertindak sesuai; ke dua, suatu perasaan belas kasihan dan takut berbuat salah sebagai motivasi. Kedua kualitas ini akan bekerja sama dalam meditasi sebagai samatha dan vipassanā hingga memuncak dalam belas kasihan universal dan kebijaksanaan transendental dari Arahant.
Suatu manfaat penting dari perilaku etis adalah bahwa hal ini ‘menuntun menuju samādhi’.72 Di antara aturan moral dasar, yang menghindari membunuh dan ucapan kasar melawan rintangan niat buruk, yang menghindari mencuri dan hubungan seksual yang salah melawan keinginan indria, dan yang menghindari berbohong dan minuman memabukkan melawan delusi. Ketekunan dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab – suatu aspek penting dari moralitas – memerangi kelambanan dan ketumpulan, sedangkan pengendalian indria dan kepuasan mengurangi keinginan indria lebih jauh lagi. Tiap-tiap sisi dari moralitas melenyapkan tekanan, konflik, dan penderitaan, memunculkan kenyamanan batin dan keyakinan pikiran. Pengekangan kekotoran kasar ini membentuk landasan kerja bagi tugas samādhi yang lebih halus lagi. Demikianlah maka Sang Buddha menyatakan bahwa kemurnian moral dan pandangan benar adalah ‘titik awal dari kualitas-kualitas bermanfaat’, yang harus ditegakkan sebelum melaksanakan meditasi.73
Tiga faktor terakhir dari sang jalan merupakan ‘kelompok samādhi’. Usaha benar, ‘prasyarat meditasi’, melenyapkan rintangan kelambanan dan ketumpulan. Yang paling menarik dari empat usaha benar adalah yang terakhir. Yang menunjuk pada pentingnya tidak berpuas diri dengan sebaik apa pun pencapaian yang telah diperoleh. Tugas pertama dari sang meditator yang telah mencapai suatu tingkat ketenangan tertentu adalah tidak tergesa-gesa mengejar pandangan terang, melainkan menggabungkan samādhi. Juga harus diingat bahwa ‘usaha’ bukanlah sinonim dari ‘menyiksa-diri’.
‘Seorang malas berdiam dalam penderitaan, diliputi oleh kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat, dan menghancurkan banyak kebaikan-kebaikannya. Seorang dengan semangat terbangkitkan berdiam dalam kebahagiaan, terasing dari kualitas-kualitas buruk yang tidak bermanfaat. Bukanlah oleh orang hina maka kondisi tertinggi dicapai; adalah oleh yang tertinggi kondisi tertinggi dicapai. Kehidupan suci ini, para bhikkhu, adalah yang tertinggi, dan sang guru ada tepat di hadapan kalian. Oleh karena itu maka kalian harus membangkitkan semangat untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk menyaksikan apa yang belum disaksikan.’74
Perhatian benar didefinisikan sebagai empat satipaṭṭhāna. Karena kompleksitas topik ini, maka kita akan membahasnya dalam bagian tersendiri sebagai salah satu kelompok dari sayap-sayap menuju pencerahan, bukannya dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Hal ini tentu saja bukan untuk menyembunyikan fakta penting bahwa satipaṭṭhāna mewarisi aspek pentingnya dari fakta bahwa empat ini adalah salah satu faktor sang jalan. Karena dimasukkan dalam bagian ‘samādhi’, bukan dalam ‘bagian kebijaksanaan’, tujuan utamanya adalah untuk menuntun menuju pencapaian jhāna, sebagai faktor terakhir dari sang jalan: samādhi benar.
‘Ketika seorang siswa mulia ingin meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, ia bagaikan pohon koral surgawi di Tāvatimsa ketika dedaunannya berubah coklat. ‘Ketika seorang siswa mulia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah celupan dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, ia bagaikan pohon koral surgawi … ketika dedaunannya berguguran. ‘Ketika seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, ia bagaikan pohon koral surgawi … ketika bunganya masih menguncup ‘Ketika seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, ia bagaikan pohon koral surgawi … ketika pucuk bunganya muncul ‘Ketika seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, ia bagaikan pohon koral surgawi … ketika bunganya terbentuk ‘Ketika seorang siswa mulia … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, ia bagaikan pohon koral surgawi … ketika bunganya seperti teratai merah. ‘Ketika seorang siswa mulia … karena menguapnya racun-racun, masuk dan berdian dalam kebebasan pikiran tanpa racun, kebebasan melalui kebijaksanaan, setelah menyaksikannya dengan pengetahuan langsungnya sendiri, ia bagaikan pohon koral surgawi di Tāvatimsa ketika mekar sempurna. ‘Pada saat itu para dewa bumi menyerukan: ‘Yang Mulia bernama ini, murid dari Yang Mulia itu, yang meninggalkan keduniawian dari desa ini atau kota itu, telah menyaksikan … menguapnya racun-racun!” … Dan persis pada momen itu juga, pada saat itu juga, berita itu membubung ke atas [melewati berbagai kelompok para dewa] hingga ke alam Brahmā. Demikianlah keagungan dari seorang yang telah menguapkan racun-racun.’75
Samādhi benar membawa ketujuh faktor sang jalan lainnya bersama-sama, menghasilkan pengetahuan dan pembebasan benar.
‘Betapa baiknya telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Sang Buddha yeng tercerahkan sempurna tentang tujuh prasyarat samādhi demi pengembangan dan pemenuhan samādhi benar. Apakah tujuh ini? Pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan perhatian benar. Keterpusatan pikiran dengan tujuh faktor ini sebagai prasyarat disebut samādhi benar mulia dengan kondisi-kondisi vital dan prasyarat-prasyaratnya.’76
Saya mengartikan ‘keterpusatan pikiran’ dalam konteks jhāna sebagai menyiratkan kemanunggalan kesadaran dan objek. Yaitu, jhāna yang muncul berdasarkan hanya pada kesadaran-pikiran, tanpa keragaman pencerapan kesadaran; dan kesadaran-pikiran ini hanya mengetahui satu hal.
Kata ‘terpusat’ adalah terjemahan dari kata Pali agga (= ‘acme’), yang memiliki makna berlebihan secara konotatif yang sulit dipadankan dalam terjemahan. Kata ini bukan bermakna bahwa jhāna-jhāna adalah kondisi pikiran yang terkekang dan sempit; sebaliknya, jhāna-jhāna biasanya digambarkan sebagai ‘luas, luhur, tanpa batas’.
Keraguan kadang-kadang muncul sehubungan dengan apakah semua aktivitas kelima indria eksternal harus lenyap dalam jhāna atau tidak. Dari bukti sutta-sutta, hal ini tampaknya demikian. Formula jhāna dimulai dengan ‘cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria’. Kāma dapat, dalam ungkapan Pali yang khas, merujuk baik pada ketertarikan batin pada indria-indria, atau pada objek-objek indria itu sendiri. Di sini, frasa selanjutnya ‘terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat’ jelas termasuk keinginan indria, maka ‘terasing dari kenikmatan indria’ seharusnya merujuk pada, atau setidaknya termasuk, objek-objek indria. Sebenarnya, jika digunakan dalam bentuk jamak, seperti di sini, kata kāma biasanya berarti objek-objek indria; jika membicarakan keinginan akan objek, maka digunakan bentuk tunggal.
Sutta-sutta biasanya mempertentangkan pluralitas pengalaman indria dengan kesatuan jhāna, dan demikianlah Sang Buddha berkata bahwa: ‘suara adalah duri bagi jhāna pertama.’77 Ini dapat dipahami sebagai pernyataan bahwa ‘ketika suara muncul di dalam jhāna pertama maka itu adalah gangguan.’ Akan tetapi, bukan demikian yang dimaksudkan, seperti yang dijelaskan dengan membandingkan dengan pernyataan berikutnya: ‘Awal & kelangsungan pikiran adalah duri bagi jhāna ke dua. Kegembiraan adalah duri bagi jhāna ke tiga’ dan seterusnya. Awal & kelangsungan pikiran tidak selaras dengan jhāna ke dua, tidak dapat berada di dalamnya, dan jika awal & kelangsungan pikiran muncul, hal ini berarti bahwa ia telah jatuh dari jhāna ke dua. Demikian pula, suara – dan juga objek-objek indria lainnya – adalah tidak selaras dengan jhāna pertama, tidak dapat berada di dalamnya, dan kemunculannya berarti bahwa ia telah jatuh dari jhāna pertama.
Paragraf berikut ini berhubungan dengan pertanyaan ini.
Dan kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada para bhikkhu: ‘Di sini, teman-teman, ketika aku telah mencapai samādhi tanpa gangguan di tepi Sungai Sappinikā, aku mendengar suara gajah-gajah meloncat ke air, menyeberang, dan memekik.’ [Yang mana Sang Buddha berkomentar:] ‘Artinya adalah bahwa samādhi itu tidak sepenuhnya murni. Moggallāna mengatakan sebenarnya.’78
Episode ini diduga merujuk pada periode singkat namun sulit dari Yang Mulia Mahā Moggallāna dalam usahanya untuk mencapai pencerahan. ‘Tanpa gangguan’ biasanya berarti paling sedikit jhāna ke empat, atau, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, kadang-kadang berarti pencapaian-pencapaian tanpa bentuk.79 Mahā Moggallāna sedang menceritakan situasi yang tidak biasanya, suatu kisah yang cukup penting yang layak disebutkan secara khusus. Jika mendengar suara dalam samādhi adalah normal, maka tidak diperlukan penjelasan. Jelas bahwa para bhikkhu meragukan maksud Mahā Moggallāna, dan oleh karena itu Sang Buddha menjawab dengan mengkonfirmasi bahwa samādhi itu belum sempurna, sehingga ia masih mendengar suara-suara.
Empat jhāna adalah manifestasi tertinggi dari psikologi kebahagiaan. Jhāna pertama muncul dengan berakhirnya lima indria eksternal dan lima rintangan. Dengan terbebaskan dari beban-beban ini, pikiran menjadi ringan dan nyaman, dipenuhi hanya oleh satu objek, refleksi halus dari pikiran yang diturunkan dari subjek meditasi dasar. Akan tetapi, karena kedekatan aktivitas indria dan kekotoran, maka pikiran harus secara aktif diarahkan pada objek itu, pertama-tama mengarahkan kemudian menekan. Penekanan ini menyebabkan objek menjadi menyusut sedikit, sehingga pikiran harus diarahkan kembali, dan seterusnya dalam suatu proses otomatis yang menyebabkan riak-riakan kecil atau keraguan dalam kesadaran. Ketika pikiran memperoleh lebih banyak keyakinan maka pikiran tidak lagi perlu diarahkan, tetapi dapat menyatu dengan objek. Efek getaran memudar, menyisakan karakteristik ke-diam-an jernih dari jhāna ke dua. Jhāna ke tiga ditandai oleh matangnya respon emosional pada perasaan bahagia. Getaran halus kegembiraan menjadi lebih mendalam pada kewaspadaan keseimbangan yang netral. Perhatian dan pemahaman jernih, walaupun sama seperti keseimbangan yang ada sejak jhāna pertama, maju ke depan seperti seorang yang sepenuhnya tenggelam dalam kebahagiaan tanpa menjadi gembira karenanya. Tetapi bahkan kebahagiaan yang murni itu mengerahkan tarikan lembut dan harus dilepaskan ketika pikiran memasuki jhāna ke empat – kewaspadaan murni cemerlang. Keseimbangan sekarang hadir baik sebagai warna perasaan maupun sikap emosional, memungkinkan perhatian mencapai kejernihan dan kekuatan maksimum.
Stabilitas relatif dari empat jhāna dapat diukur dari lamanya kelahiran kembali yang dihasilkan. Dengan mempraktikkan jhāna pertama, kita akan terlahir kembali di alam Brahmā selama satu kappa; untuk jhāna ke dua – dua kappa; jhāna ke tiga – empat kappa; dan jhāna ke empat memastikan kelahiran kembali selama lima ratus kappa penuh.80 Tampaknya, adalah stabilitas dari perasaan netral dalam jhāna ke empat yang memberikan potensi demikian. Tidak perlu dikatakan bahwa peran jhāna dalam praktik Buddhis bukanlah untuk mencapai kondisi-kondisi demikian; tetapi ukuran ini membantu dalam mempertimbangkan bobot jhāna-jhāna. Tampaknya bahwa kekuatan yang sama ini yang memunculkan kelahiran kembali yang sangat lama, bagi mereka yang mengejar hal demikian, juga menjadi kekuatan yang menuntun kepada pandangan terang yang paling dalam; dan jhāna ke empat secara khusus biasanya digunakan sebagai landasan untuk penembusan.
Samādhi benar lebih lanjut lagi dijelaskan sebagai memiliki lima faktor: diliputi kegembiraan, diliputi kebahagiaan, diliputi pikiran, diliputi cahaya, ini adalah landasan peninjauan kembali.’81 Perhatikan bahasa ungkapan ‘khas’ yang digunakan oleh Sang Buddha untuk menjelaskan samādhi. Faktor terakhir, ‘landasan peninjauan kembali’ adalah samādhi sebagai landasan bagi pengetahuan penyelidikan peninjauan kembali yang dikembangkan persis setelah keluar dari jhāna, seperti dijelaskan dalam paragraf berikut ini,
‘Seperti halnya, para bhikkhu, seseorang harus meninjau kembali orang lain, atau seorang yang berdiri harus meninjau kembali seorang yang duduk, atau seorang yang sedang duduk harus meninjau kembali seorang yang berbaring, dengan cara yang sama seorang bhikkhu memiliki landasan peninjauan kembali yang dipahami dengan baik, dituruti dengan baik, diingat dengan baik, ditembus dengan baik melalui pemahaman.’82
Adalah ajaran dari aliran vipassanā modern bahwa jhāna adalah praktik pra-Buddhis, dan karena itu diduga, bukan vipassanā Buddhis yang ‘sesungguhnya’. Akan tetapi, walaupun tidak diragukan beberapa praktik samādhi ada di antara para petapa pra-Buddhis, namun hal ini tidak sama dengan samādhi Buddhis. Murid brahmana Subha mengatakan bahwa:
‘Aku tidak melihat kelompok samādhi mulia yang lengkap demikian di luar Buddhisme di antara para petapa dan brahmana.’83
Bagaimanakah samādhi Buddhis itu berbeda? Saya akan mengatakan bahwa hal ini adalah karena ‘samādhi benar yang mulia dengan prasyarat-prasyaratnya’, yaitu, ketujuh faktor sang jalan sebelumnya, yang dimulai dari pandangan benar. Kondisi konsentrasi sesungguhnya mungkin serupa, namun memainkan peranan berbeda dalam jalan spiritual.
Hal ini berhubungan dengan lima pengetahuan:
‘Para bhikkhu, kembangkanlah samādhi yang tanpa batas, mahir, dan penuh perhatian. Ketika samādhi dikembangkan yang tanpa batas, mahir, dan penuh perhatian, maka lima pengetahuan pribadi muncul. Apakah lima ini? Pengetahuan pribadi muncul: “Samādhi ini membahagiakan saat ini dan mengakibatkan kebahagiaan di masa depan.” … “Samādhi ini mulia dan spiritual.” … “Samādhi ini tidak dilatih oleh orang-orang jahat.” … “Samādhi ini damai dan halus, tenang, terpusat, tidak secara aktif dikendalikan atau dikekang.” … “Aku masuk dan keluar dari samādhi ini dengan penuh perhatian.”’84
Penggambaran ini tidak berhubungan dengan konsep ‘samādhi saat-ke-saat’ atau samādhi ‘momen-sang-jalan’ transendental. Penggambaran ini hanya merujuk pada praktik jhāna oleh seorang yang mengembangkan jalan mulia.
Konsep sang jalan sebagai penyokong samādhi benar mulia dapat dijelaskan sebagai berikut. Perjalanan meditasi dari seseorang yang berada di jalan mulia telah diperhalus oleh pandangan benar yang telah melenyapkan atau melemahkan kekotoran-kekotoran tertentu, seperti keragu-raguan atau keinginan indria, menurut tingkat kemajuannya. Lebih jauh lagi, pada waktu benar-benar mengembangkan samādhi, pandangan benar yang dikembangkan sebelumnya bermanifestasi sebagai kesadaran jernih atas apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat, serta sebagai pemahaman atas hubungan sebab-akibat antara faktor-faktor batin yang menuntun menuju kedamaian pikiran. Faktor sang jalan kehendak benar bermanifestasi sebagai pengarahan tidak tergoyahkan pada objek meditasi, sedangkan moralitas yang telah dimurnikan sebelumnya memunculkan kegembiraan ketidak-menyesalan. Bersama-sama dengan energi dan perhatian, faktor-faktor ini menuntun ke arah jhāna. Jhāna-jhāna sebagai samādhi benar yang mulia ini serupa dalam hal fungsi dan ciri dasar dengan jhāna yang dipraktikkan di luar Jalan Mulia Berunsur Delapan. Akan tetapi, berkat kemurnian faktor-faktor yang membantu dalam pencapaiannya, jhāna-jhāna ini sangat jernih dan tenang, menghasilkan suatu bunga kebijaksanaan intuitif. Setelah keluar dengan penuh perhatian, yang mulia itu akan meninjau kembali jhāna itu dengan kebijaksanaan. Mereka akan melihat bahwa kebahagiaan dalam jhāna itu muncul dari melepas, dan bahwa melanjutkan proses melepas itu akan memuncak dalam kebahagiaan tertinggi Nibbāna.
Samādhi benar yang mulia menutup lingkaran: walaupun merupakan faktor terakhir dari sang jalan, namun buahnya adalah kesempurnaan faktor pertama, pandangan benar yang biasanya dihubungkan dengan pemasuk-arus. Sang jalan memasukkan kebenaran-kebenaran, kebenaran-kebenaran memasukkan sang jalan. Dhamma adalah bagaikan gambaran hologram: ketika pecah, tiap-tiap potongannya terdiri dari bukan sebagian, melainkan keseluruhan gambaran aslinya.
‘Para bhikkhu, kembangkanlah samādhi. Seorang bhikkhu yang memiliki samādhi memahami sebagaimana adanya. Apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Ia memahami: Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.’85
Perhatian benar, ‘landasan samādhi’,86 adalah penjaga gerbang yang memperbolehkan baik samatha maupun vipassanā masuk dengan pesan sebagaimana adanya. Di sini, nimitta, diterjemahkan sebagai ‘basis’, juga dapat bermakna ‘gambaran’, karena samādhi pasti dikarakteristikkan oleh perhatian yang tanpa halangan; tetapi makna kontekstual yang dimaksudkan tampaknya adalah bahwa satipaṭṭhāna adalah suatu pendukung samādhi yang penting. Untuk menyelaraskan dengan tema tulisan ini, yaitu kesaling-harmonisan antara seluruh aspek sang jalan, mari kita melihat lebih dekat pada hubungan perhatian dengan samatha dan vipassanā.
Dalam analisis berikutnya, saya tidak akan banyak mengutip dari Satipaṭṭhāna Sutta sebagaimana adanya. Hal ini telah diketahui dan tersedia secara luas, dan jika anda belum membacanya, maka anda harus membacanya. Tujuan saya bukanlah menjelaskan Satipaṭṭhāna Sutta, melainkan untuk menunjukkan integrasinya yang kaya dan mendalam dengan banyak ajaran praktik lainnya yang terdapat dalam teks-teks.
Perhatian dapat dikarakteristikkan sebagai kualitas pikiran yang merenungkan dan memusatkan kesadaran dalam suatu kerangka referensi yang bersesuaian, dengan mengingat apa, mengapa, dan bagaimana tugas-tugas yang harus dilakukan. Perhatian sebagai kualitas pikiran memainkan peran penting dalam merenungkan ajaran dan menerapkannya pada momen saat ini, dengan demikian mendukung pandangan benar. Dengan mengingatkan seseorang pada apa yang benar dan apa yang salah, berarti juga mendukung makna hati nurani yang penting bagi moralitas.
Satipaṭṭhāna, ‘penegakan perhatian’, merujuk pada sekelompok latihan perenungan yang spesifik dan terperinci di mana perhatian memainkan peranan yang menonjol. ‘Pengembangan satipaṭṭhāna’ merujuk pada penggunaan lanjutan dari latihan dasar perenungan ketidak-kekalan. ‘Jalan praktik menuju pengembangan satipaṭṭhāna’ adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan.87 Dalam analisis ini, ‘satipaṭṭhāna’ tampaknya memiliki fungsi mendukung samādhi, ‘pengembangan satipaṭṭhāna’ yang mendukung pandangan terang, sedangkan kedua ini dalam konteks sang jalan secara keseluruhan menuntun menuju kebebasan.
Formula klasik menggunakan ungkapan refleksif, dengan mengatakan seseorang merenungkan ‘jasmani di dalam jasmani’. Ini dijelaskan dalam sutta sebagai: ‘nafas masuk-dan-keluar adalah suatu tubuh tertentu [di antara tubuh-tubuh].’88 Oleh karena itu hal ini menyiratkan fokus pada aspek tertentu dari keseluruhan kerangka. Penjelasan modern dari frasa itu bermakna ‘merenungkan jasmani sebagai jasmani (dan bukan sebagai diri atau jiwa)’ tidak cukup benar karena frasa ini lebih banyak berhubungan dengan samādhi daripada dengan pandangan terang.
Tiap-tiap perenungan dalam satipaṭṭhāna disyaratkan dengan empat kata. Kata pertama, ‘tekun’ merujuk pada semangat; ke dua, ‘memahami dengan jernih’ merujuk pada pemahaman; ke tiga adalah perhatian itu sendiri.
Kata ke empat menunjukkan ditinggalkannya keinginan dan penolakan, yang merupakan yang utama di antara kelima rintangan.89 Frasa ini tidak didefinisikan lebih lanjut lagi di sini, tetapi syair-syair berikutnya mungkin berhubungan. Dengan mengingat bahwa urutan dalam syair-syair tersebut sering kali sangat longgar, kita dapat melihat bahwa syair-syair ini mengukuti ajaran khususnya tentang moralitas, termasuk makna pengendalian, tetapi jhāna dan samādhi juga disebutkan.
‘Dan kemudian ada lima noda ini di dunia Pelenyapannya harus dilatih oleh ia yang penuh perhatian. Ia harus mengatasi nafsu pada bentuk-bentuk terlihat Suara-suara, rasa kecapan, bau-bauan, dan sentuhan-sentuhan. ‘Setelah melenyapkan keinginan akan fenomena-fenomena ini, Seorang bhikkhu, penuh perhatian, dengan pikiran yang terbebaskan dengan baik Dengan benar memeriksa Dhamma pada waktu yang tepat Terpusat, ia menghalau kegelapan.’90
Serangkaian empat ‘langkah Dhamma’ menguraikan kebebasan dari keinginan, kebebasan dari niat buruk, perhatian benar, dan samādhi benar. Tampaknya bahwa penaklukkan awal atas rintangan-rintangan ini melalui makna pengendalian, dan seterusnya, mempersiapkan pikiran untuk praktik perhatian, yang merupakan landasan bagi pelenyapan rintangan sepenuhnya melalui samādhi benar.
‘Seseorang harus berdiam tanpa keinginan Dengan pikiran bebas dari niat buruk Penuh perhatian, ia harus terpusatkan pikirannya Terkonsentrasi baik dalam samādhi.’91
Perenungan rintangan yang hadir dalam pikiran adalah bagian dari pengembangan awal satipaṭṭhāna. Tetapi selama perjalanan praktik, rintangan-rintangan ini harus sepenuhnya ditinggalkan jika seseorang ingin menembus ‘keluhuran pengetahuan & penglihatan yang melampaui prinsip manusia yang sungguh-sungguh mulia’, yang termasuk jhāna, kekuatan batin, tingkat-tingkatan pencerahan, dan satipaṭṭhāna itu sendiri sebagai satu faktor jalan mulia.92
‘Para bhikkhu, lima rintangan ini mencekik pikiran, merampas kekuatan pemahaman. Apakah lima ini? ‘Keinginan indria; niat buruk; kelambanan & ketumpulan; kegelisahan & penyesalan; dan keragu-raguan adalah halangan dan rintangan. ‘Tentu saja, para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun dengan pemahaman yang lemah dan kekuatan yang terampas, belum meninggalkan kelima rintangan yang mencekik pikiran, merampas kekuatan pemahaman, dapat mengetahui kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan makhluk lain, atau kesejahteraan keduanya, atau menyaksikan keluhuran mulia yang sesungguhnya dari pengetahuan & penglihatan melampaui prinsip-prinsip manusia: itu adalah tidak mungkin. ‘Tetapi tentu saja, para bhikkhu, bahwa bhikkhu manapun dengan pemahaman yang kuat, setelah meninggalkan kelima rintangan yang mencekik pikiran, merampas kekuatan pemahaman, dapat mengetahui kesejahteraannya sendiri, kesejahteraan makhluk lain, atau kesejahteraan keduanya, atau menyaksikan keluhuran mulia yang sesungguhnya dari pengetahuan & penglihatan melampaui prinsip-prinsip manusia: itu adalah mungkin.’93
Adalah suatu gaya bahasa umum dalam Pali bahwa hal yang sama dapat disampaikan dalam makna positif ataupun negatif, sebagai mencapai atau meninggalkan. Misalnya, proses pencerahan dapat digambarkan apakah sebagai urutan ditinggalkannya kekotoran-kekotoran pandangan-salah, keragu-raguan, dan seterusnya berturut-turut, atau sebagai pencapaian tingkat-tingkatan memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan Arahant. Kalau begitu apakah padanan positif dari ditinggalkannya rintangan-rintangan?
‘Jhāna pertama, teman, meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor. Di sini, teman, ketika seorang bhikkhu telah memasuki jhāna pertama, maka kenikmatan indria, niat buruk, kelambanan & ketumpulan, kegelisahan & penyesalan, dan keragu-raguan ditinggalkan. Awal & kelangsungan pikiran, kegembiraan, kebahagiaan, dan keterpusatan pikiran muncul.’94
Perlawanan antara jhāna dan kelima rintangan bukanlah ajaran sampingan, melainkan adalah doktrin utama, sering diulang. Bahkan ditempatkan dalam kosmologi Buddhisme dasar, yang melihat alam-alam kelahiran kembali sebagai bersesuaian dengan tingkat pengembangan pikiran. Seorang yang masih terikat oleh keinginan indria akan terlahir kembali di alam indria (kāmaloka), sedangkans seseorang yang mencapai jhāna akan terlahir kembali di alam Brahma. Tidak ada alam ‘akses’.
‘Apakah yang harus dilakukan, Anuruddha, oleh seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian? Sementara ia masih belum memperoleh kegembiraan & kebahagiaan yang terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat, atau sesuatu yang lebih damai daripada hal itu, keinginan menyerbu pikirannya dan menetap di sana, niat buruk … kelambanan & ketumpulan … kegelisahan & penyesalan … keragu-raguan … sinisme … kelesuan menyerbu pikirannya dan menetap di sana. Ketika ia mencapai kegembiraan & kebahagiaan … atau sesuatu yang lebih damai daripada itu, keinginan tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana, niat buruk … kelambanan & ketumpulan … kegelisahan & penyesalan … keragu-raguan … sinisme … kelesuan tidak menyerbu pikirannya dan tidak menetap di sana.’95
Pernyataan berikut oleh Yang Mulia Ānanda menyatakan standar yang dianggap Sang Buddha sebagai meditasi yang layak dipuji, mampu melampaui rintangan-rintangan.
‘Jhāna jenis apakah yang tidak dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai dan menjadi mangsa nafsu akan kenikmatan indria … niat buruk … kelambanan & ketumpulan … kegelisahan & penyesalan … keragu-raguan. Dengan memendam kualitas-kualitas ini, dan tidak memahami jalan membebaskan diri dari kualitas-kualitas ini sebagaimana adanya, mereka melakukan jhāna, mengulangi jhāna, melampaui jhāna, dan melakukan jhāna secara keliru. Sang Bhagavā tidak memuji jhāna jenis ini. ‘Tetapi jhāna jenis apakah yang dipuji oleh Sang Bhagavā? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Sang Bhagavā memuji jhāna jenis ini.’96
Bahkan kebijaksanaan transendental para mulia tidak mampu menekan rintangan-rintangan tanpa dukungan jhāna.
‘Bahkan walaupun seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan pemahaman benar sebagaimana adanya bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, banyak keputus-asaan, dengan bahaya besar, selama ia tidak mencapai kegembiraan & kebahagiaan yang terpisah dari kenikmatan indria, terpisah dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, maka iaterlibat dalam kenikmatan indria … Tetapi ketika ia mencapai kegembiraan & kebahagiaan … maka ia tidak terlibat kenikmatan indria.’97
Paragraf ini adalah salah satu dari apa yang sering digunakan untuk menyiratkan bahwa jhāna tidak mutlak diperlukan. Menggunakan jenis logika yang tampaknya sangat meyakinkan bagi aliran-aliran vipassanā, sebuah paragraf yang diajarkan untuk secara eksplisit memuji jhāna dan penekanan pada pentingnya digunakan untuk memperdebatkan bahwa seorang siswa mulia tidak harus memiliki jhāna. Tetapi konteks ini tidak mendukung hal ini. Sutta-sutta diajarkan oleh Sang Buddha kepada Mahānāma, seorang umat awam Sakya. Permasalahannya bukanlah, ‘Apakah jalan praktik untuk menjadi seorang pemasuk-arus?’ melainkan ‘Sekarang aku adalah seorang pemasuk-arus, bagaimanakah aku harus menghadapi keinginan-keinginan indria yang muncul dari waktu ke waktu?’ Sang Buddha mengingatkannya bahwa, karena kecenderungan mencari kesenangan kita begitu kuat, hanya melalui kebahagiaan jhāna maka kita dapat benar-benar melepaskan kenikmatan-kenikmatan indria. Ini adalah praktik Mahānāma, sekarang, ini adalah persoalannya, bukan praktik yang awalnya membawanya menuju tingkat memasuki-arus. Tidak diragukan ia telah mencapai suatu kondisi meditasi yang damai dan mendalam yang menuntunnya menuju pandangan terang, tetapi, seperti kebanyakan dari kita, mengalami kesulitan untuk mempertahankannya dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pencapaiannya, tentu saja, tidak akan menurun, tetapi selama ia belum tercerahkan sempurna maka kekotoran-kekotoran dapat muncul dari waktu ke waktu yang akan menghalangi kemajuannya lebih jauh lagi.
Sang Buddha membandingkan jhāna dengan emas. Selama noda-nodanya belum sepenuhnya dilenyapkan, emas itu tidak lunak, tidak dapat dibentuk, dan tidak bercahaya.
‘Demikian pula, ada lima noda pikiran ini, yang dengan ternoda demikian maka pikiran menjadi tidak lunak, tidak dapat dibentuk, juga tidak bercahaya, melainkan rapuh, dan tidak memiliki samādhi benar untuk menguapnya racun-racun. Apakah lima ini? Keinginan indria, niat buruk, kelambanan & ketumpulan, kegelisahan & penyesalan, dan keragu-raguan … Tetapi ketika pikiran terbebaskan dari lima noda ini, maka pikiran menjadi lunak, dapat dibentuk, bercahaya, tidak rapuh, memiliki samādhi benar untuk menguapnya racun-racun.’98
Frasa ‘setelah melenyapkan keinginan dan penolakan terhadap dunia’, yang banyak terdapat dalam formula satipaṭṭhāna, dapat diganti dengan ‘samādhi’.
‘Para bhikkhu, para bhikkhu ini yang masih baru, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja mendatangi Dhamma dan vinaya ini harus dipacu, didorong, dan ditegakkan oleh kalian dalam pengembangan empat penegakan perhatian. Apakah empat ini? “Marilah teman, berdiamlah dengan merenungkan jasmani dalam jasmani … peraasan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma – tekun, dengan pemahaman jernih, menyatu, dengan kejernihan pikiran, terkonsentrasi dalam samādhi, dengan pikiran terpusat untuk memperoleh pengetahaun jasmani … perasaan … pikiran … dhamma sebagaimana adanya.” ‘Para bhikkhu itu yang adalah para pelajar, belum mencapai tujuan mereka, yang bercita-cita untuk mencapai keamanan tanpa bandingnya dari belenggu, mereka juga berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani … peraasan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma [dengan cara yang sama] untuk memperoleh akan hal-hal ini. ‘Para bhikkhu itu yang adalah para Arahant, mereka juga berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani … peraasan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma [dengan cara yang sama] tetapi terlepas dari hal-hal ini.’99
Paragraf-paragraf demikian menunjukkan bahwa satipaṭṭhāna, bukannya terpisah atau bertentangan dengan samatha, justru pada kenyataannya tidak terpisahkan darinya. Perhatikan bahwa paragraf di atas, secara khas, membedakan antara individu-individu pada berbagai tingkat pengembangan secara tujuan praktik, bukan pada caranya. Tidak ada tersirat bahwa seseorang yang berada dalam tahap permulaan pengembangan tidak perlu mengembangkan jhāna, dan bahwa hal ini hanya diperlukan untuk pencapaian-pencapaian lebih tinggi. Sebaliknya, asspek penyelidikan dari satipaṭṭhāna harus seimbang dengan kualitas-kualitas emosi kegembiraan dan ketenangan jika rintangan-rintangan harus diatasi dan pandangan terang harus diperdalam. Proses ini dapat berlangsung dalam berbagai cara:
‘Oleh karena itu, bhikkhu, engkau harus berlatih sebagai berikut: “Pikiranku akan diam dan kokoh, dan kualitas-kualitas buruk dan tidak bermanfaat yang muncul tidak akan menyerbu pikiranku dan menetap di sana.” ‘Ketika hal ini telah dicapai, engkau harus berlatih sebagai berikut: “Aku akan mengembangkan kebebasan pikiran melalui cinta kasih … belas kasihan … kegembiraan altruistik … keseimbangan.” ‘Ketika samādhi ini telah dikembangkan demikian dan diutamakan, maka engkau harus mengembangkan samādhi ini dengan awal & kelangsungan pikiran, tanpa awal namun dengan kelangsungan pikiran; tanpa awal atau kelangsungan pikiran; dengan kegembiraam; tanpa kegembiraan; dengan kenikmatan; dengan keseimbangan … ‘Ketika samādhi telah dikembangkan demikian, terkembang dengan baik, maka engkau harus berlatih sebagai berikut: “Aku akan berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani – tekun, dengan pemahaman jernih, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan pada dunia.” ‘Ketika samādhi ini telah dikembangkan demikian dan diutamakan, maka engkau harus mengembangkan samādhi ini dengan awal & kelangsungan pikiran, tanpa awal namun dengan kelangsungan pikiran; tanpa awal atau kelangsungan pikiran; dengan kegembiraam; tanpa kegembiraan; dengan kenikmatan; dengan keseimbangan … [dan seterusnya untuk perasaan, pikiran, dan dhamma].’100
Di sini, satipaṭṭhāna diperlakukan sama dengan jhāna. Hal ini mungkin merujuk pada jhāna yang dikembangkan menggunakan salah satu latihan yang termasuk dalam empat satipaṭṭhāna. Jika cara awal satipaṭṭhāna seseorang gagal mengarahkannya menuju samādhi, maka sang meditator harus mencari cara lain untuk mengangkat pikirannya.
‘Berdiam demikian merenungkan jasmani dalam jasmani [perasaan … pikiran … dhamma …], gangguan jasmani muncul berdasarkan pada jasmani [perasaan … pikiran … dhamma …], atau pikiran menjadi malas, atau pikiran tertarik ke luar. Bhikkhu itu harus mengarahkan pikirannya pada suatu landasan yang menginspirasi. Dengan melakukan itu, kegembiraan muncul padanya. Dalam diri seseorang yang bergembira, maka sukacita muncul. Dalam diri seorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmani menjadi tenang. Seorang dengan jasmani yang tenang merasakan kebahagiaan. Dalam diri seorang yang bahagia, pikirannya memasuki samādhi. Ia merenungkan sebagai berikut: “Aku telah mencapai tujuan yang karenanya aku mengarahkan pikiranku; sekarang aku akan menarik.” Ia menarik, dan tidak ada awal juga tidak ada kelangsungan pikiran. Ia memahami: ‘Aku tanpa awal & kelangsungan pikiran, aku penuh perhatian and bahagia dalam diriku.”’101
Tetapi ungkapan paling sederhana dari makna frasa ‘setelah melenyapkan keinginan dan penolakan pada dunia’ adalah sebagai berikut:
‘Ia memahami: “Ketika aku berdiam merenungkan jasmani dalam jasmani … perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma – tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, aku bahagia.”’102
Perenungan jasmani dimulai dengan perhatian pada pernafasan. Oleh karena itu hal ini adalah praktik satipaṭṭhāna yang paling mendasar. Jika ini diingat, maka keakraban antara satipaṭṭhāna dengan samādhi yang terbukti dalam paragraf di atas menjadi mudah dimengerti.
‘Ketika perhatian pada pernafasan dikembangkan dan dilatih, maka ini memenuhi empat penegakan perhatian. Ketika empat penegakan perhatian dikembangkan dan dilatih, maka ini memenuhi tujuh faktor pencerahan. Ketika tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih, maka ini memenuhi penembusan dan pembebasan.’103
Perenungan jasmani kemudian berlanjut pada pengembangan kesadaran pada postur-postur tubuh, bagian-bagian tubuh, unsur-unsur, dan mayat. Perenungan bagian-bagian tubuh dan mayat terutama adalah praktik samatha yang dirancang untuk melenyapkan nafsu, dan dengan demikian meditator dikatakan ‘tidak mengabaikan jhāna’.104
Perenungan postur-postur tubuh selama aktivitas sehari-hari agak sedikit aneh di sini. Praktik demikian tampaknya tidak cukup untuk menghasilkan jhāna, dan karena itu munculnya praktik ini di sini adalah bagian penting dari gagasan modern bahwa pengamatan postur-postur tubuh bahkan dapat menggantikan meditasi konsentrasi. Sesungguhnya praktik ini adalah salah satu dari persiapan untuk mengembangkan meditasi, bukan sebagai praktik meditasi itu sendiri, seperti terlihat melalui kemunculannya yang terus-menerus dalam Latihan Bertahap sebelum satipaṭṭhāna. Hanya dalam satu kasus terpisah ini (yang diulang dalam Kāyagatasati Sutta) praktik ini diperlakukan seolah-olah menjadi bagian dari meditasi itu sendiri. Kebanyakan versi Satipaṭṭhāna Sutta non-Pali bahkan menghilangkan praktik ini atau menempatkannya sebelum meditasi nafas. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa perhatian yang terus-menerus sepanjang hari adalah penting baik bagi samatha maupun vipassanā. Seperti yang ditunjukkan oleh kata ‘kemudian dan melampaui’ pada awal dari tiap-tiap bagian Satipaṭṭhāna Sutta, masing-masing latihan menyumbang sebagian pada keseluruhan pengembangan meditasi.
Kāyagatasati Sutta mengulangi tiap-tiap perenungan ini, tetapi membawa sisi samatha, dengan mengatakan pada tiap-tiap kasus:
‘Ketika ia berdiam demikian dengan rajin, tekun, dan teguh, ingatan-ingatan dan kehendak-kehendaknya yang berdasarkan pada kehidupan rumah tangga menjadi ditinggalkan. Dengan ditinggalkannya, maka pikirannya menjadi kokoh dalam dirinya, diam, terpusat, dan terkonsentrasi dalam samādhi. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.’105
Tujuan dasar dari perenungan bagian-bagian tubuh, unsur-unsur, dan mayat adalah untuk naik di atas sensualitas. Jika seseorang percata bahwa sensualitas adalah kualitas intrinsik dari sifat alami manusia, maka tujuan ini tampak bertentangan, suatu penekanan tidak wajar yang mengarah pada gangguan kejiwaan. Nafsu memang dapat mengarah pada gangguan kejiwaan jika tidak dikenali dan tidak dilawan. Tetapi dengan mlihat keinginan indria, bukan sebagai sesuatu yang kekal, melainkan sebagai fenomena terkondisi, maka seseorang bebas menyelidiki dampaknya pada kebahagiaan pikiran.
Nafsu indria dibahan-bakari dengan berfokus pada kemenarikan tubuh. Dengan melawan arus kebiasaan, memusatkan perhatian pada aspek tidak menarik dari tubuh, nafsu indria dapat dilihat dalam relief tajam. Ini bukanlah penekanan; malah bertentangan, ini memperluas pengalaman kita untuk menerima aspek tidak menyenangkan dari kemanusiaan kita yang biasanya lebih suka kita tekan. Ketika api keinginan kehilangan bahan bakarnya, maka api itu padam, dan pikiran mengalami kesejukan dan kebahagiaan. Kemudian ia mengetahui bahwa penekanan sesungguhnya, perlawanan sesungguhnya, gangguan jiwa sesungguhnya adalah ketagihan pada pemuasan indria, terkunci dengan menyangkal kesia-siaan kenikmatan indria.
Tetapi perenungan-perenungan ini tidak hanya memberikan kematangan emosional, kehormatan, dan ketidak-tergantungan yang datang bersama dengan kebebasan dari ketagihan. Karena berdasarkan pada penyelidikan ke dalam realitas, maka perenungan-perenungan ini juga berfungsi untuk memperdalam kebijaksanaan. Penggambaran yang paling sesuai bagi perenungan bagian-bagian tubuh memperlakukan hal ini sebagai suatu batu-loncatan untuk memahami kesadaran yang tidak mati bersama dengan jasmani.
‘Ada, Bhante, empat pencapaian penglihatan ini. Di sini, seorang petapa atau brahmana tertentu dengan semangat, usaha, pengabdian, kehati-hatian, dan perhatian benar mengontak suatu bentuk samādhi-pikiran sedemikian sehingga ketika pikirannya berada dalam samādhi ia meninjau kembali tubuh ini, ke atas dari telapak kaki dan ke bawah dari ujung rambut, dibungkus oleh kulit dan penuh dengan berbagai jenis kekotoran sebagai berikut: “Dalam tubuh ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang-belulang, sum-sum tulang, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.” Ini adalah pencapaian penglihatan pertama. ‘Kemudian, setelah melakukan hal ini dan melampauinya, ia meninjau kembali kulit, daging, darah, dan tulang-belulang orang lain. Ini adalah pencapaian penglihatan ke dua. ‘Kemudian, setelah melakukan hal ini dan melampauinya, ia memahami arus kesadaran seseorang yang tidak terputus pada kedua sisi, terarah pada dunia ini dan pada dunia berikutnya. Ini adalah pencapaian penglihatan ke tiga. ‘Kemudian, setelah melakukan hal ini dan melampauinya, ia memahami arus kesadaran seseorang yang tidak terputus pada kedua sisi, terarah bukan pada dunia ini dan bukan pada dunia berikutnya. Ini adalah pencapaian penglihatan ke empat.’106
Frasa pembuka agak tidak biasa, tetapi muncul kembali belakangan dalam sutta yang sama dan juga adlam Brahmājala Sutta;107 dalam kedua tempat ‘samādhi-pikiran’ adalah bermakna jhāna. Pencapaian ke tiga adalah penembusan kelanjutan kesadaran menurut kemunculan bergantungan, yang merupakan penembusan pemasuk-arus. Pencapaian ke empat menggambarkan Arahant. Karena itu paragraph ini menunjukkan bahwa, ketika digunakan sebagai suatu landasan bagi samādhi dan pandangan terang, perenungan tubuh bukan hanya merupakan suatu cara untuk melampaui keinginan, tetapi juga menuntun kea rah kebebasan dari penderitaan.
Dalam paragraph berikut ini, perenungan empat unsur membentuk suatu bagian praktik yang diarahkan pada ‘ketanpa-gangguan’, yang telah dikatakan, biasanya merujuk pada jhāna ke empat.
‘Kemudian, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: “Ada kenikmatan indria di sini & saat ini dan kenikmatan indria dalam kehidupan mendatang. Bentuk fisik apa pun juga, adalah empat unsur utama dan bentuk fisik diturunkan dari empat unsur utama.” Dengan mempraktikkan seperti ini dan sering berdiam demikian, maka pikirannya menjadi jernih pada landasan ini. Ketika ada kejernihan penuh maka ia mencapai ketanpa-gangguan saat ini atau ia memutuskan berdasarkan pemahaman. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa arus kesadarannya akan berlanjut menuju ketanpa-gangguan.’108
Perhatikan urutan ajaran ini: sensualitas; perenungan tubuh; jhāna; memahami kelahiran kembali. Tampaknya bukan kebetulan bahwa penggambaran ‘pengalaman hampir mati’ begitu menyerupai pengalaman jhāna. Kita akan kembali lagi pada hubungan erat antara pikiran dalam jhāna yang terbebas dari jasmani dan pemahaman proses kelahiran kembali.
Biasanya dalam Buddhisme, ‘perasaan’ (vedanā) merujuk pada warna hedonis atau emosional dari pengalaman. Satipaṭṭhāna Sutta menjelaskan perenungan perasaan sebagai pemahaman pada perasaan menyenangkan, menyakitkan, dan netral, baik jasmani maupun spiritual. Akan tetapi, bagian yang bersesuaian dari Ānāpānasati Sutta menyebutkan kegembiraan – respon emosional atas perasaan menyenangkan – dan aktivitas pikiran (cittasaṅkhārā), yang didefinisikan dalam konteks perhatian pada pernafasan sebagai perasaan dan persepsi.109 Hal ini tampaknya memperluas cakupan perasaan di sini hingga pada ‘emosi’, ‘suasana hati’.
Akan tetapi, hal yang penting adalah bahwa ketika ‘perasaan-perasaan’ ini secara eksplisit dianalisis dalam sutta-sutta, perasaan-perasaan ini diidentifikasikan dengan perasaan-perasaan yang dialami dalam jhāna.
‘Para bhikkhu, apakah kegembiraan jasmani? Kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria. Apakah kegembiraan spiritual? Di sini, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua. Apakah kegembiraan spiritual yang lebih lagi? Kegembiraan yang muncul ketika seorang bhikkhu yang padanya racun-racun telah menguap meninjau kembali pikirannya yang terbebas dari nafsu, kebencian, dan delusi.’110
Perasaan menyenangkan dan netral dijelaskan dengan kata-kata serupa, kecuali perasaan menyenangkan spiritual yang muncul pada tiga jhāna pertama, sedangkan perasaan netral spiritual hanya muncul dalam jhāna ke empat. Analisis perasaan-perasaan ini dijelaskan secara khusus dalam Satipaṭṭhāna Sutta, dan sutta-sutta tidak memberikan penjelasan lain. Kadang-kadang, adalah benar bahwa ‘kegembiraan spiritual’ digunakan sebelum jhāna, tetapi ini bukanlah bagian dari perenungan lengkap seperti yang dijelaskan dalam Satipaṭṭhāna Sutta; terlebih lagi, dalam konteks demikian hal ini muncul sebagai salah satu kondisi yang mengarah menuju samādhi penuh, bukan penggantinya.111 Membaca secara langsung dari sutta-sutta, perenungan perasaan dalam satipaṭṭhāna memerlukan pengalaman jhāna.
Yang terakhir dari perenungan-perenungan ini adalah ‘pengetahuan peninjauan kembali’ dari Arahant. Hal ini secara khusus dibedakan dari perasaan-perasaan dalam jhāna-jhāna, dan karena itu tidak dapat diperdebatkan bahwa ini dapat menggantikan jhāna.112
‘Pikiran’ (citta), dalam Pali maupun Bahasa Indonesia, dapat menyampaikan makna konotasi yang bervariasi. Di sini, seperti yang akan kita klarifikasi di bawah, ini secara khusus berarti ‘kognisi’, yaitu, kemampuan kesadaran itu sendiri, yang dibedakan dari faktor-faktor yang berhubungan seperti perasaan, emosi, buah pemikiran kehendak, dan sebagainya. Indria mengetahui internal ini menerima informasi yang disampaikan melalui indria-indria, ditambahkan dan diproses oleh faktor-faktor yang berhubungan ini.
Seperti halnya ‘pemimpin kota yang duduk di persimpangan jalan’ ini adalah inti pengalaman; tetapi seperti halnya semua pemimpin, posisinya hanya dapat dipertahankan dengan bantuan para pembantunya. Kualitas informasi yang diterima adalah penentu penting bagi kualitas kesadarannya. Juga seperti halnya semua pemimpin, sering kali para pembantunya menghalang-halangi dan bukannya memfasilitasi arus informasi. Semakin kita berusaha melihat sang ‘pemimpin,’ semakin kita dibelokkan pada beberapa bawahan.
Tahap pendahuluan dari bagian ini melibatkan perenungan pikiran seperti yang diwarnai oleh adanya atau tiadanya keserakahan, kebencian, dan delusi. Faktor-faktor penyerta ini kasar dan berkuasa, dan akibatnya perenungan juga kasar dan tidak lengkap. Dalam tahap lanjut pikiran direnungkan dalam bentuk murninya, sebagai ‘luhur’, ‘tidak tertandingi’, ‘terkonsentrasi’, ’terbebaskan’ – semuanya adalah sebutan bagi jhāna. Seperti halnya perenungan perasaan yang memuncak pada keseimbangan tertinggi jhāna ke empat, di sini juga kata ‘tidak tertandingi’ menyiratkan ‘kemurnian perhatian dan keseimbangan yang tidak tertandingi’ dari jhāna ke empat.113
Perenungan pikiran, dengan perbedaan implisit antara pikiran dan kekotoran-kekotoran yang mengotorinya, mengingatkan pada pernyataan terkenal – dan terkenal karena dikutip secara keliru – tentang pikiran yang bersinar. Kata ‘pikiran asli’ atau ‘bersinar secara alami’ tidak muncul di sini atau di tempat lain dalam sutta-sutta. ‘Pikiran yang bersinar’ adalah sebutan untuk jhāna.114 Di sini, ‘pengembangan pikiran’ tampaknya bersinonim dengan ‘samādhi benar yang mulia’. Makna penting dari pikiran yang bersinar secara sederhana adalah sebagai berikut – ketika lampu menyala, seseorang yang berpandangan jernih dapat melihat apa yang ada di sana.
‘Para bhikkhu, pikiran ini bersinar, tetapi ternoda oleh noda-noda sementara. Seorang biasa yang tidak terlatih tidak memahami hal ini sebagaimana adanya. Itulah sebabnya maka Aku mengatakan bahwa tidak ada pengembangan pikiran bagi seorang biasa yang tidak terlatih. ‘Para bhikkhu, pikiran ini bersinar, dan terbebaskan dari noda-noda sementara. Seorang siswa mulia yang terlatih memahami hal ini sebagaimana adanya. Itulah sebabnya maka Aku katakana bahwa ada pengembangan pikiran bagi seorang siswa mulia yang terlatih.’115
Apakah yang dimaksud dengan dhamma di sini? Dhamma dalam Satipaṭṭhāna Sutta muncul dalam peran yang menampung segalanya, melingkupi apa yang dialami (fenomena-fenomena), bagaimana pengalaman bekerja (prinsip-prinsip), dan penggambaran penuh makna dari pengalaman (ajaran-ajaran). Dalam riset lanjutan setelah publikasi awal buku ini, saya menyimpulkan bahwa spesifikasi perenungan dhamma aslinya adalah lebih sempit, hanya terdiri dari lima rintangan dan tujuh faktor pencerahan. Dalam History of Mindfulness saya telah memperdebatkan hal ini secara terperinci. Akan tetapi, dalam buku yang sekarang ini, saya memilih untuk melanjutkan dengan berdasarkan pada Teks Pali sebagaimana adanya.
Perenungan dhamma sering kali diterjemahkan sebagai perenungan ‘fenomena-fenomena pikiran’ atau ‘objek-objek pikiran’. Praktik ini dijelaskan secara terperinci dalam sutta, akan tetapi, meliputi cakupan yang lebih luas daripada ‘fenomena-fenomena pikiran’. Perenungan fenomena-fenomena pikiran, yang tidak terdapat dalam Satipaṭṭhāna Sutta seperti itu, adalah suatu praktik minor yang hanya diajarkan sekali-sekali; menyadari perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan pikiran-pikiran pada saat munculnya, berlangsung, dan berakhir.116 Praktik ini disebut ‘pengembangan samādhi’. Dalam urutan ajaran hal ini muncul setelah jhāna dan sebelum perenungan kelima kelompok unsur kehidupan. Buahnya dikatakan adalah ‘perhatian & pemahaman jernih’, tetapi tidak dikatakan mengarah pada pencerahan seperti itu. Hal ini karena fenomena-fenomena pikiran adalah yang diketahui, bukan yang mengetahui; pandangan terang hanya membebaskan ketika ketidak-kekalan kesadaran itu sendiri dibawa ke dalam cakupannya.
Perenungan dhamma dimulai dengan perenungan kelima rintangan yang ada maupun tiada. Keberagaman rintangan-rintangan ini menuntut keberagaman pendekatan untuk pelenyapannya.
Keinginan indria mewarnai pikiran bagaikan air yang dicelup dengan warna biru atau jingga, membuatnya menarik namun buram.117 Langkah-langkah perlawanan yang paling penting adalah pengendalian indria dan meditasi pada kejijikan.
Niat buruk adalah api yang memanaskan pikiran hingga mendidih, bergelembung, dan beruap. Ini diatasi dengan cinta-kasih; Sang Buddha menekankan bahwa hanya dengan menggunakan perhatian saja adalah tidak mungkin untuk sepenuhnya mengatasi niat buruk.
‘Adalah selalu bagi bagi yang penuh perhatian Seorang yang penuh perhatian maju dalam kebahagiaan Adalah semakin baik bagi seorang yang penuh perhatian Tetapi ia tidak terbebaskan dari permusuhan ‘Seorang yang pikirannya sepanjang siang dan malam hari Menemukan kegembiraan dalam ketidak-mencelakai Yang memiliki cinta-kasih pada semua makhluk hidup Baginya tidak ada permusuhan.’118
Kelambanan & ketumpulan adalah bagaikan lumut, tanaman berlumpur yang tumbuh menyelimuti air jernih pikiran. Ini diatasi dengan inisiatif, dengan mengerahkan usaha, dengan pengerahan terus-menerus, dengan tidak berpuas diri; subjek meditasi yang disarankan adalah persepsi cahaya.
Kegelisahan & penyesalan adalah bagaikan angin kencang yang mengibaskan dan mengaduk pikiran menjadi riak-riakan dan gelombang-gelombang. Kegelisahan berwujud sebagai ketidak-mampuan untuk berdiam bersama objek selama waktu yang cukup lama. Sang Buddha sangat eksplisit tentang bagaimana mengatasi hal ini:
‘Samatha harus dikembangkan untuk meninggalkan kegelisahan.’119
Atau yang lain:
‘Perhatian pada penafasan harus dikembangkan untuk meninggalkan pikiran yang berhamburan.’120
Penyesalan (kukkucca, secara literal ‘keburukan-perbuatan’) adalah kekhawatiran utama atas pelanggaran moral, atau penyesalan atas perbuatan buruk yang telah dilakukan atau tidak dilakukan di masa lalu. Kegelisahan bergerak ke masa depan; penyesalan menggali masa lalu. Penawarnya, menjaga kepuasan pikiran di sini & saat ini, adalah kebahagiaan: basah yang meliputi seluruh kesadaran dengan ketenangan, keluhuran, kegembiraan meluap yang terus-menerus.
Keragu-raguan membuat pikiran menjadi keruh, berlumpur, dan gelap. Ini diatasi dengan ‘mengarahkan perhatian pada akar’.121 ‘Akar’ atau landasan meditasi adalah objek meditasi itu sendiri. Kontinuitas tidak tergoyahkan dalam mendefinisikan objek akan menghalau keragu-raguan.
Patut diperhatikan bahwa perhatian tidak ada di mana pun perhatian dipilih menjadi faktor batin yang mampu mengatasi rintangan apa pun. Hanya ketika bekerja sama dengan faktor-faktor jhāna lainnya maka hal ini dapat terjadi. Paragraf berikut ini menjelaskan hal ini; tetapi paragraf berikutnya menunjukkan bahwa ‘satipaṭṭhāna’ ini sesungguhnya adalah jhāna pertama. Untuk memperdalam satipaṭṭhāna maka seseorang harus memperdalam praktik jhāna.
‘Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, noda-noda pikiran yang merampas kekuatan pemahaman, ia berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani … perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma … ‘Kemudian Sang Tathagata menuntunnya lebih lanjut lagi: “Ayo bhikkhu, berdiamlah dengan merenungkan jasmani dalam jasmani … perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … dhamma dalam dhamma … tetapi jangan mengarahkan pikiran pada hal-hal ini.” Dengan mendiamkan awal & kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …’122
Setelah membahas rintangan-rintangan, bagian selanjutnya dalam Satipaṭṭhāna Sutta Pali membahas latihan vipassanā klasik yaitu mengamati muncul dan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan.
‘Para bhikkhu, kembangkanlah samādhi. Seorang bhikkhu yang memiliki samādhi memahami sebagaimana adanya. Apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Asal mula dan berakhirnya bentuk fisik, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas konseptual, dan kesadaran. Apakah asal-mula bentuk fisik? … Bagi seorang yang menyukai, menyambut, dan melekat pada bentuk fisik, maka kesukaan muncul. Menyukai bentuk fisik adalah kemelekatan. Karena kemelekatan sebagai kondisi maka ada penjelmaan [berkelanjutan]. Karena penjelmaan sebagai kondisi, maka ada kelahiran. Karena kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan & kematian, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [dan seterusnya untuk keempat kelompok unsur lainnya.] ‘Dan apakah akhir dari bentuk fisik? … Bagi seorang yang tidak menyukai, tidak menyambut, dan tidak melekat pada bentuk fisik, maka kesukaan lenyap. Dengan lenyapnya kesukaan, maka lenyap pula kemelekatan. Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan [berkelanjutan]. Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran. Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan & kematian, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [dan seterusnya untuk keempat kelompok unsur lainnya.]’123
Di sini, memahami ketidak-kekalan bukanlah persepsi pada muncul dan lenyapnya secara cepat fenomena-fenomena terkondisi, melainkan memahami bagaimana kemelekatan mengarah pada kelahiran kembali sesuai dengan kemunculan bergantungan. Seperti biasanya, pandangan terang yang mendalam demikian muncul dari kejernihan pikiran dalam samādhi.
Selanjutnya, yang masih berhubungan erat, praktik adalah pengamatan pada enam landasan indria internal dan eksternal, dan belenggu-belenggu yang mengikatnya. Sekali lagi, praktik ini secara eksplisit dikatakan bergantung pada pengembangan samādhi.
‘Para bhikkhu, kembangkanlah samādhi. Seorang bhikkhu yang memiliki samādhi memahami sebagaimana adanya. Apakah yang ia pahami sebagaimana adanya? Ia memahami: “mata adalah tidak kekal. Bentuk-bentuk terlihat adalah tidak kekal. Kesadaran-mata adalah tidak kekal. Kontak-mata adalah tidak kekal. Perasaan yang muncul dari kontak mata … adalah tidak kekal. [dan seterusnya untuk telinga, dan seterusnya].’124
Perenungan dhamma juga termasuk perenungan ketujuh faktor pencerahan – perhatian, penyelidikan dhamma, semangat, kegembiraan, ketenangan, samādhi, dan keseimbangan, dibahas secara lebih terperinci di bawah – dan ‘pemenuhan melalui pengembangan’nya. Di sini, samādhi tidak hanya sekedar disiratkan, seperti pada bagian lain dari Satipaṭṭhāna Sutta, tetapi juga disebutkan namanya, dan meditator satipaṭṭhāna diinstruksikan untuk memenuhi samādhi ini melalui pengembangan.
Bagian terakhir adalah perenungan pada empat kebenaran mulia. Di tempat lain, Sang Buddha berkata bahwa ini diajarkan untuk ‘seorang yang merasakan’:
‘Adalah untuk ia yang merasa maka Aku menyatakan: “Ini adalah penderitaan; ini adalah asal-mula penderitaan; ini adalah lenyapnya penderitaan; ini adalah jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.”’125
Intinya di sini adalah bahwa pengalaman penderitaan adalah dasar bagi pencarian spiritual kita. Kesakitan bukanlah kebetulan dalam praktik, melainkan mendasarinya. Untuk memahami empat kebenaran mulia bukan berarti membuat seseorang semakin kesakitan, melainkan memahami bagaimana melampaui kesakitan dengan cara melepaskannya. Kebahagiaan jhāna adalah ajaran penting, menunjukkan kepada kita dengan jelas dan langsung bahwa penderitaan muncul dari kemelekatan kita. Itulah sebabnya maka dianggap sebagai rasa pendahuluan dari Nibbana.
Empat kebenaran mulia secara singkat disebutkan dalam Satipaṭṭhāna Sutta (Majjhima Nikāya 10), tetapi dijelaskan secara terperinci dalam Mahā Satipaṭṭhāna Sutta (Dīgha Nikāya 22). Sesungguhnya, DN 22 tidak lebih dari pengembangan belakangan dari MN 10, dengan tambahan bagian empat kebenaran mulia yang diambil dari Saccavibhaṅga Sutta (MN 141) dan disisipkan oleh para redaktur. Sutta ini bukanlah ajaran otentik dari Sang Buddha, namun demikian sutta ini memberikan gagasan tentang bagaimana hal-hal ini dipahami oleh para redaktur Theravāda, mungkin 200-300 tahun setelah Sang Buddha.126
Kebenaran mulia pertama adalah berbagai jenis penderitaan yang dimulai dari kelahiran, penuaan, dan kematian; ke dua adalah ‘bahwa keinginan yang menghasilkan penjelmaan berulang’; sedangkan ke tiga adalah berakhirnya keinginan yang sama itu. Kebenaran mulia ke empat, jalan praktik, adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan seperti dijelaskan di bawah, termasuk empat jhāna sebagai samādhi benar. Demikianlah, sekali lagi, naskah Theravada secara eksplisit memasukkan jhāna sebagai bagian integral dari praktik satipaṭṭhāna.
Masing-masing latihan dalam empat penegakan perhatian ditutup dengan sebuah paragraf yang menjelaskan berbagai aspek pengembangan pandangan terang. ‘pengulangan pandangan terang’ ini adalah sebuah pola untuk memahami bagaimana praktik-praktik ini diaplikasikan dalam konteks ini.
‘Bagian pengulangan’ ini agak bervariasi antara versi-versi yang berbeda, dan sutta Pali ini adalah salah satu dari sedikit yang sangat menekankan pada vipassanā di sini. Misalnya, dalam versi materi ini yang terdapat dalam Vibhaṅga Abhidhamma Pali, tidak disebutkan pengulangan vipassanā ini.
Tampaknya adalah bahwa dengan adanya pengulangan ini, yang terus-menerus memaksakan pesan vipassanā, yang menimbulkan gagasan bagi Theravāda modern bahwa satipaṭṭhāna adalah suatu praktik vipassanā yang penting. Adalah penting untuk memahami bahwa pengulangan ini adalah ciri yang tidak biasa dari teks tertentu, dan tidak mewakili ajaran satipaṭṭhāna yang terdapat di tempat lain. Dalam lebih dari 70 sutta yang membahas satupaṭṭhāna dalam Kanon Pali saja, hanya dua atau tiga lainnya yang menyebutkan ketidak-kekalan. Berlawanan dengan banyak kasus di mana satipaṭṭhāna dihubungkan dengan samādhi. Doktrin modern tentang ‘satipaṭṭhāna = vipassanā’ adalah suatu produk dari teks-teks pilihan dan salah dipahami.
Namun demikian, terlepas dari keberatan kita pada keotentikan paragraf ini, dan penekanan berlebihan dalam ajaran modern, kita tetap harus melihatnya dan menunjukkan bahwa, walaupun vipassanā sangat ditekankan, khususnya dalam bagian muncul dan lenyapnya, ini bukanlah terpisah dari samatha.
Pertama-tama, seseorang merenungkan ‘di dalam dirinya sendiri’ dan ‘secara eksternal.’ Frasa ini umum disebutkan dalam Pali, tetapi jarang didefinisikan secara eksplisit. Paragraf berikut ini mungkin adalah satu-satunya tempat di mana kita memperoleh gagasan yang lebih jelas tentang perenungan ini dalam konteks satipaṭṭhāna. Seperti biasa, sutta-sutta sendiri mengatakan bahwa samādhi dan satipaṭṭhāna berhubungan erat.
‘Di sini, sahabat, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani dalam dirinya sendiri – tekun, dengan pemahaman jernih, dan penuh perhatian, setelah melenyapkan keinginan dan penolakan pada dunia. Ketika ia berdiam demikian maka ia menjadi terkonsentrasi dengan samādhi benar, dengan kejernihan benar. Terkonsentrasi dengan benar dan jernih, ia memunculkan pengetahuan & penglihatan jasmani orang lain secara eksternal. [Dan seterusnya untuk perasaan, pikiran, dan dhamma.]’127
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perenungan ‘internal’ adalah meditasi satipaṭṭhāna pendahuluan yang menuntun menuju jhāna. Hal ini biasanya adalah salah satu objek seperti nafas. Nafas adalah ‘internal’ bagi pengalaman seseorang pada jasmaninya sendiri. Dengan memusatkan perhatian di sana, pikiran menjadi terkendali dari mengembara ‘di luar’ dan menjadi damai dan diam ‘di dalam’, dari perspektif subjektif si meditator. Hanya ketika proses ini selesai maka sang meditator kemudian melanjutkan dengan perhatian ‘ke luar’.
Frasa ‘pengetahuan & penglihatan’ merujuk pada berbagai kekuatan batin, seperti telinga dewa atau mata dewa, yang memungkinkan seorang meditator yang telah mengembangkan kesadaran jhāna yang sangat halus untuk mengarahkan kesadarannya ke luar. Karena pada tahap ini pikiran masih sangat diam dan rintangan-rintangan sama sekali tidak ada, maka tidak ada bahaya bahwa sang meditator akan menjadi teralihkan perhatiannya dalam perenungan ‘eksternal’ ini.
Aspek ke dua dari pengembangan pandangan terang adalah perenungan prinsip-prinsip asal-mula dan lenyapnya. Berikut ini adalah kisah yang memberikan contoh pendekatan pragmatis sutta-sutta terhadap ketidak-kekalan.
‘Dulu, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Araka, seorang penyeberang sungai, bebas dari nafsu pada kenikmatan indria, memiliki ratusan siswa. Araka sang guru mengajarkan Dhamma kepada para siswanya sebagai berikut: “Kehidupan manusia adalah singkat, terbatas dan sia-sia, dengan banyak penderitaan, banyak keputus-asaan. Bangunlah dengan pikiran kalian! Lakukan kebajikan! Jalani kehidupan suci! Tidak ada yang dilahirkan yang tidak mengalami kematian! Bagaikan setetes embun di ujung helai rumput ketika matahari terbit … Bagaikan gelembung air di air ketika hujan … Bagaikan garis yang digambarkan di atas air dengan sebatang kayu … Bagaikan sungai di gunung, yang mengalir jauh, mengalir deras, menyapu segala yang ada di depannya, tidak pernah berhenti sekejap, sedetik, sesaat, melainkan terus-menerus mengalir, bergulir, bergelombang … Bagaikan seseorang yang menggumpal ludahnya diujung lidahnya dan meludahkannya dengan mudah … Bagaikan sebongkah daging yang dilemparkan di atas sebuah lempengan besi yang dijemur sepanjang hari … Bagaikan seekor sapi yang dituntun ke tempat penjagalan, dengan setiap langkahnya membawanya lebih dekat pada pembunuhan, lebih dekat pada kematian; dengan cara yang sama kehidupan manusia adalah bagaikan sapi yang akan disembelih, terbatas dan sia-sia, dengan banyak penderitaan, banyak keputus-asaan. Bangunlah dengan pikiran kalian! Lakukan kebajikan! Jalani kehidupan suci! Tidak ada yang dilahirkan yang tidak mengalami kematian!” Pada saat itu, para bhikkhu, umur kehidupan manusia adalah enam puluh ribu tahun, dan gadis-gadis menikah pada usia lima ratus tahun. Manusia hanya memiliki enam kesusahan: dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil. Namun demikian walaupun manusia berusia sangat panjang, dan sedikit kesusahan, tetapi Araka tetap mengajarkan Dhamma dengan cara itu … Tetapi sekarang ketika manusia hanya berusia seratus tahun atau sedikit lebih daripada itu … Aku telah melakukan apa yang harus dilakukan oleh seorang Guru yang mengusahakan kesejahteraan para siswanya demi belas kasihan. Di sini, para bhikkhu, ada bawah pepohonan, di sana ada gubuk-gubuk kosong. Praktikkanlah jhāna, para bhikkhu! Jangan lengah! Jangan menyesalinya kemudian! Ini adalah instruksi kami kepada kalian.’128
Ini adalah dongeng, sebuah legenda tempo dulu, dan tidaklah penting apakah dimaksudkan untuk dianggap secara literal untuk memahami pesannya: segala sesuatu yang kita pegang dalam hidup ini akan lenyap.
Saya telah mengatakan sebelumnya bahwa di luar Satipaṭṭhāna Sutta, sutta-sutta jarang sekali membahas tentang ketidak-kekalan dalam konteks satipaṭṭhāna. Akan tetapi untungnya, dalam kasus utama di mana hal ini terjadi, teks memberikan penjelasan yang jelas dan eksplisit. Sutta itu adalah sebagai berikut:
‘Jasmani berasal-mula dari asal-mula makanan; jasmani berakhir dengan lenyapnya makanan. Perasaan berasal-mula dari asal-mula kontak; perasaan berakhir dengan lenyapnya kontak. Pikiran berasal-mula dari asal-mula batin & bentuk fisik; pikiran berakhir dengan lenyapnya batin & bentuk fisik. Dhamma berasal-mula dari asal-mula perhatian; dhamma berakhir dengan lenyapnya perhatian.’129
Secara berdiri sendiri, paragraf ini mungkin tidak memiliki makna penting. Tetapi tiap-tiap kata ini didefinisikan dengan baik dalam sutta-sutta.
Asal-mula jasmani dikatakan adalah ‘makanan’ (āhāra), yang di sini berarti makanan materi. Pada tingkat dasar, ini berarti bahwa makanan adalah apa yang mempertahankan jasmani, dengan segala makna yang tersirat. Kita bergantung pada cara-cara menghasilkan makanan, untuk memastikan ada makanan di meja makan telah menjadi salah satu kebutuhan manusia yang paling mendesak, hingga hari ini. Selama kita masih berada di alam ini, dalam ‘tubuh yang dibangun dari nasi dan roti’ ini, maka pencarian dan kebergantungan pada makanan tidak akan pernah berakhir. Selama energi pikiran kita berputar di sekitar makanan, mencari, mempersiapkan, dan memakannya. Agak mengherankan bahwa Sang Buddha menunjukkan bahwa kemelekatan pada makanan adalah salah satu kekuatan yang mendorong kelahiran kembali.
‘Bagaikan seorang pelukis dengan cat atau pewarna jingga, biru, atau merah yang melukis gambar seorang laki-laki atau seorang perempuan di atas papan halus atau kanvas; demikian pula, jika ada nafsu, kesukaan, and kegemaran akan makanan materi, maka kesadaran menjadi terarah padanya dan berkembang. Di mana kesadaran terarah dan berkembang, maka ada penjelmaan kembali batin & bentuk fisik … pertumbuhan aktivitas-aktivitas konseptual … kemunculan dalam penjelmaan berulang di masa depan … kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan … yaitu dukacita, kesedihan, dan penuh keputus-asaan, Aku katakan.’130
Asal-mula perasaan dikatakan adalah ‘kontak’ (mungkin ‘stimulus’ adalah terjemahan yang lebih baik dari Pali phassa). ‘Kontak’ adalah kondisi normal bagi perasaan dalam kemunculan bergantungan (dan juga merupakan kondisi bagi persepsi dan aktivitasi-aktivitas konseptual).131 Kontak dikatakan sebagai muncul bersama dengan tiga hal: organ indria internal (misalnya ‘mata’), organ indria eksternal (‘bentuk’) dan kesadaran yang bersesuaian (‘kesadaran penglihatan’). Paragraf berikut ini menunjukkan dengan indah betapa dalamnya pandangan terang ke dalam kebergantungan perasaan pada kontak yang dihubungkan dengan samādhi. ‘keseimbangan murni’ yang dimaksudkan, tentu saja, adalah keseimbangan jhāna ke empat.
[Ketika perenungan kelima unsur materi selesai:] ‘Kemudian, bhikkhu, di sana hanya ada kesadaran, murni, dan cerah. Dan apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? Ia mengenali: “kesenangan” – “kesakitan” – “bukan kesakitan juga bukan kesenangan.” Bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai kesenangan maka muncul perasaan menyenangkan. Dengan merasakan perasaan menyenangkan itu, ia memahami: “Aku merasakan perasaan menyenangkan.” Ia memahami: “Dengan lenyapnya kontak itu yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan menyenangkan yang bersesuaian … lenyap dan diam.” [Dan seterusnya untuk perasaan-perasaan sakit dan netral.] ‘Seperti halnya dari kontak dan gesekan dua tongkat kayu, maka muncul panas, muncul api, dan dengan dipisahkannya dan diletakkannya kedua tongkat kayu yang sama itu maka panasnya mereda dan diam … ‘Dan lebih lanjut lagi di sana hanya ada keseimbangan, murni dan cerah, lunak, dapat dibentuk, dan bersinar. Misalkan seorang pandai emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan tungku dan memanaskan wadah, mengambil sedikit emas menggunakan penjepit dan meletakkannya ke dalam wadah. Kemudian dari waktu ke waktu ia akan meniupkan angin, dari waktu ke waktu ia akan memercikkan air, dan dari waktu ke waktu ia akan mengamati dengan keseimbangan. Emas itu akan menjadi halus, sangat halus, halus sepenuhnya, bersih, bebas dari kotoran, lunak, dapat dibentuk, and bersinar, dan dapat digunakan untuk membuat perhiasan apa pun yang diinginkan. Demikian pula, di sana hanya ada keseimbangan, murni dan cerah, lunak, dapat dibentuk, dan bersinar. ‘Ia memahami sebagai berikut: “Jika aku mengarahkan keseimbangan ini yang murni dan cerah pada landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, yang bergantung pada itu, mencengkeramnya sebagai bahan bakarnya, akan berlangsung dalam waktu yang lama …” Ia memahami sebagai berikut: “Itu terkondisi [oleh aktivitas-aktivitas konseptual].” ‘Ia tidak membentuk niat atau tindakan kehendak apapun akan penjelmaan atau tanpa-penjelmaan … ia tidak mencengkeram pada apa pun di dunia. Dengan tidak mencengkeram, maka ia tidak gelisah. Dengan tidak gelisah, ia secara pribadi mencapai Nibbana. Ia memahami: “Kelahiran telah dihancurkan; kehidupan suci telah dijalani; apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan kembali lagi pada kondisi kehidupan ini.” ‘Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan … menyakitkan … bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, ia memahami : “Hal itu adalah tidak kekal …” “Hal itu tidak layak dilekati …” “Hal itu tidak memuaskan …” ia merasakannya seperti seorang yang terlepas. Merasakan suatu perasaan berakhirnya jasmani ia memahami: “Aku merasakan perasaan berakhirnya jasmani.” Merasakan suatu perasaan berakhirnya kehidupan ia memahami: “Aku merasakan perasaan berakhirnya kehidupan.” Ia memahami: “Dengan hancurnya jasmani, pada akhir kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak memuaskan, akan menjadi dingin di sini.” ‘Seperti halnya sebuah pelita yang menyala dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dengan berakhirnya minyak dan sumbu itu, tanpa bahan bakar lainnya, akan menjadi padam kehabisan bahan bakar …’131
Dalam pembahasan kondisi-kondisi bagi empat satipaṭṭhāna, Sang Buddha berkata bahwa kondsisi bagi pikiran adalah ‘batin & jasmani’ (nāma-rūpa). Sekali lagi, definisi ini, walaupun awalnya tidak jelas, merujuk pada suatu kelompok konsep yang didefinisikan dengan baik yang digunakan dalam kemunculan bergantungan.
Ada perbedaan dalam hal bahwa dalam kemunculan bergantungan digunakan kata viññāṇa (‘kesadaran’) bukannya citta (pikiran). Sesungguhnya, di sini seperti biasanya kedua kata ini adalah bersinonim. Perbedaannya bukanlah pada makna kata-kata ini, melainkan dalam hal konotasinya. Citta sering digunakan dalam konteks praktik, di mana kata ini menyiratkan ‘pikiran yang terkembang’ samādhi; sedangkan viññāṇa secara lebih khusus digunakan dalam konteks analitis gaya-vipassanā. Dengan kata lain, citta berhubungan dengan kebenaran mulia ke empat, sedangkan vinññāṇa berhubungan dengan tiga kebenaran pertama. Dalam satipaṭṭhāna, kita memiliki konteks yang, walaupun khususnya digunakan untuk mengajarkan tentang bagaimana mengembangkan citta sebagai bagian dari kebenaran mulia ke empat, namun di sini diperluas hingga mencakup pemahaman ketidak-kekalan, dan karena itu diperlakukan dengan cara yang serupa dengan vinññāṇa.
Dalam konteks kemunculan bergantungan, ‘batin’ didefinisikan sebagai perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian. ‘Bentuk fisik’ adalah unsur-unsur tanah, air, api, dan udara, serta bentuk fisik yang diturunkan.132 Bersama-sama, hal-hal ini bersesuaian dengan empat pertama dari lima kelompok unsur kehidupan (bentuk fisik, perasaan, persepsi, aktvitas-aktivitas konseptual), yang disebut ‘Stasiun untuk kesadaran’.133 Dengan kata lain, faktor-faktor ini adalah penyokong yang padanya kesadaran berkembang.
Faktor-faktor ini mendukung kesadaran dalam berbagai cara. Bentuk fisik secara langsung mendukung kesadaran sebagai objek-objek indria eksternal, serta dalam ‘bentuk-bentuk’ halus – gambaran-gambaran, dan sebagainya – yang, walaupun muncul dalam kesadaran-pikiran, namun menyimpan kualitas-kualitas fisik tertentu, seperti warna dan bentuk. Sebagai tambahan, bentuk-bentuk fisik membentuk tubuh, yang memberikan landasan fisik bagi organ-organ indria.
Komponen-komponen batin dapat mendukung kesadaran secara langsung sebagai objek – sebagai, misalnya, ketika seseorang menyadari suatu perasaan atau ingatan – atau secara tidak langsung dengan melakukan fungsi-fungsi kognisi penting. Misalnya, perasaan memberikan warna emosi yang menarik atau menolak kesadaran; persepsi memberikan kerangka untuk memaknai pengalaman, dan seterusnya. Pada tingkat dasar faktor-faktor ini membuat kesadaran-indria bekerja; pada tingkat yang lebih kompleks faktor-faktor ini menyatukan elemen-elemen pengalaman yang berbeda-beda menjadi bangunan besar bahasa dan konsep yang mendetail. Inilah sebabnya mengapa kata Pali yang kita terjemahkan sebagai ‘batin’ adalah nāma, secara literal berarti ‘nama’.
Semua ini adalah eksternal, atau objektif, bagi kesadaran, yang mendefinisikan, menentukan, dan membatasi pengalaman subjektif.
Terminologi nāma-rūpa diadopsi oleh Sang Buddha dari filosofi Upaniṣad pra-Buddhis. Dalam Upaniṣad, nāma-rūpa merujuk pada ‘nama-nama’ dan ‘bentuk-bentuk’ yang terbatas dan bermacam-ragam di dunia, yang masing-masingnya memiliki identitasnya sendiri-sendiri, seperti sungai; tetapi bagi yang tercerahkan hal-hal ini mengalir dan bergabung menjadi kesadaran tanpa batas, bagaikan samudera raya. Dalam menyebutkan bahwa kesadaran bergantung pada nāma-rūpa, Sang Buddha sedang mengolah gagasan Upaniṣad ini dalam kepalaNya. Kesadaran bukanlah suatu kemutlakan metafisik yang mandiri, melainkan merupakan bagian dari realitas empiris sehari-hari, yang serapuh dan setergantung hal-hal lainnya. Kesadaran tumbuh dan memudar bersama dengan nāma-rūpa pada setiap tahap kehidupan seseorang.
‘Jika, Ānanda, kesadaran tidak terlahir kembali dalam rahim ibu, apakah batin & bentuk fisik akan terbentuk di rahim ibu?’ ‘Tidak, Bhante.’ ‘Jika, Ānanda, kesadaran setelah terlahir kembali dalam rahim ibu, namun keguguran, apakah batin & bentuk fisik akan terbentuk di rahim ibu?’ ‘Tidak, Bhante.’ ‘Jika, Ānanda, kesadaran dari seorang anak muda laki-laki atau perempuan diputuskan, apakah batin & bentuk fisik akan tumbuh, berkembang, dan dewasa?’ ‘Tidak, Bhante.’ … ‘Jika, Ānanda, kesadaran tidak terarah pada batin & bentuk fisik, apakah kelahiran, penuaan, kematian, dan asal-mula penderitaan di masa depan dapat dihasilkan?’ ‘Tidak, Bhante.’134
Adalah sifat pikiran untuk berlalu, tetapi isinya tidaklah pergi tanpa meninggalkan jejak; sebaliknya, bagian internal pikiran diperkuat melalui dorongan kamma menuju alam kelahiran kembali, juga disebut ‘stasiun untuk kesadaran.’135
Proses ini bergantung pada gagasan ‘diri’, yang berhubungan erat dengan label dan bahasa. Kita melekat pada label dengan mengatakan ‘aku, diriku, milikku’ pada berbagai benda-benda bagasi dalam pengalaman, yang kemudian membuat seseorang merasa berkewajiban untuk mengakuinya dan membawanya. Dari saat ke saat, tahun demi tahun, kehidupan demi kehidupan, bagasi itu berubah namun pesan pada labelnya tetap sama. Konstruksi ‘diri’, yang menghabiskan banyak energi pikiran kita, adalah suatu alat untuk meyakinkan diri kita bahwa “aku” akan bertahan selamanya, terlepas dari bukti empiris yang nyata bahwa segala sesuatu berubah. Bahkan kematian tidak cukup bagi kita untuk melepaskan. Demikianlah pesona pikiran dengan pembentukannya adalah benang yang menenun kain waktu.
‘Sejauh itulah, Ānanda, seseorang dilahirkan, menua, mati, berlalu, dan terlahir kembali; sejauh itulah jangkauan sebutan; sejauh itulah jangkauan bahasa; sejauh itulah jangkauan konsep; sejauh itulah wilayah pemahaman; sejauh itulah pusaran lingkaran untuk menggambarkan kondisi kehidupan ini, yaitu: batin & bentuk fisik bersama dengan kesadaran.’136
Selanjutnya, Ketidak-kekalan dan kesaling-bergantungan nāma-rūpa dan kesadaran, adalah suatu hal yang sangat mendalam, mungkin yang paling mendalam dari pandangan terang Sang Buddha. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang hanya mengamati muncul dan lenyapnya pengalaman yang muncul pada momen ini. Ini adalah menguraikan kehidupan; akhir dari waktu itu sendiri.
‘Seperti halnya ketika ghee atau minyak terbakar, tidak ada abu atau jelaga yang dapat ditemukan, demikian pula ketika Dabba Mallaputta melayang ke angkasa dan, duduk bersila di angkasa, mencapai Nibbana akhir setelah mencapainya dan menarik diri dari elemen api, tubuhnya terbakar habis dan tidak ada abu atau jelaga yang dapat ditemukan.’ Dan Sang Bhagavā, memahami makna itu, kemudian mengucapkan kata-kata inspiratif ini:
‘Tubuh hancur, persepsi berhenti Perasaan-perasaan semuanya lenyap Aktivitas-aktivitas konseptual ditenangkan Dan kesadaran sampai pada akhirnya.’137
Sekali lagi, pernyataan bahwa ‘dhamma dimulai oleh perhatian’ tampak kabur, tetapi sedikit penyelidikan menunjukkan maknanya dengan cukup jelas. ‘Perhatian’ adalah terjemahan umum dari Pali manasikāra. Ini merujuk pada tindakan mengalihkan pikiran, misalnya pada suatu bidang indria atau topik penyelidikan. Dalam psikologi Buddhis hal ini sangat erat berhubungan dengan penyelidikan ke dalam kausalitas; maka manasikāra biasanya diawali oleh yonisa. Yoni adalah rahim, jadi yonisa manasikāra adalah mengarahkan perhatian pada akar atau sebab; lawannya, ayoniso manasikāra, berarti mengalihkan perhatian dari akar; dengan kata lain, membiarkan pikiran terhanyut dari apa yang penting, mengembara dari topik dan bingung pada apa yang sedang terjadi.
Dalam mengatakan bahwa dhamma dimulai oleh perhatian, Sang Buddha secara khusus menunjukkan hubungan antara kelima rintangan dan ketujuh faktor pencerahan. Kedua kelompok dhamma ini sering kali dipertentangkan satu sama lain. Sang meditator dikatakan memunculkan rintangan karena ‘perhatiannya teralih dari akar’, sedangkan faktor-faktor pencerahan dikembangkan dengan ‘mengarahkan perhatian pada akar’. Hal ini merujuk pada sifat keterkondisian dari kualitas-kualitas pikiran. Kualitas-kualitas baik dan buruk tidak terjadi begitu saja – kualitas-kualitas ini memiliki sebabnya. Dengan memahami sebab itu, dan menggunakan pikiran dengan cara yang benar, maka kualitas-kualitas buruk dapat dibatalkan dan kualitas-kualitas baik ditingkatkan.
Studi perbandingan yang saya lakukan pada bagian ini dari Satipaṭṭhāna Sutta telah meyakinkan saya bahwa ini adalah apa yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa dhamma dimulai oleh perhatian, suatu kesimpulan yang didukung oleh komentar tradisional tentang frasa ini. Namun demikian, pada masa sekarang, teks ini memiliki aplikasi yang lebih luas, karena ‘mengarahkan perhatian pada akar’ adalah mendasar bagi penyelidikan atas kelompok-kelompok lainnya yang termasuk dalam perenungan dhamma, seperti kelima kelompok unsur kehidupan, keenam indria, dan khususnya keempat kebenaran mulia.
Karena tidak mengarahkan perhatian pada dhamma yang tidak selayaknya diperhatikan dan mengarahkan perhatian pada dhamma yang selayaknya diperhatikan, maka racun-racun yang belum muncul tidak muncul dan racun-racun yang telah muncul ditinggalkan. Ia mengarahkan perhatian pada akar: “Ini adalah penderitaan” …”Ini adalah asal-mula penderitaan” … “Ini adalah lenyapnya penderitaan” … “Ini adalah jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.” Dengan mengarahkan perhatian seperti ini, tiga belenggu ditinggalkan olehnya: pandangan identitas, keragu-raguan, dan kesalah-pahaman pada ritual & upacara.’138
Dengan membawa penyelidikan pada kausalitas secara eksplisit di sini, Sang Buddha menekankan peran penting yang dimainkan oleh kebijaksanaan dalam bagian terakhir dari satipaṭṭhāna.139 Tetapi penyelidikan ini tidak terpisah dari ketenangan yang telah menjadi karakteristik kuat pada keseluruhan pendekatan meditasi oleh Sang Buddha. Sebaliknya, adalah pemahaman atas bagaimana sebab dan akibat bekerja dalam proses meditasi itu sendiri, seperti yang ditunjukkan dalam ajaran ‘sembilan dhamma yang sangat membantu’.
‘Apakah sembilan dhamma yang sangat membantu? Sembilan dhamma yang berakar dalam pengarahan perhatian pada akar. Pada seseorang yang mengarahkan perhatian pada akar, maka kegembiraan muncul. pada seseorang yang gembira, maka sukacita muncul. pada seseorang yang pikirannya bersukacita, tubuhnya menjadi tenang. Pada seseorang yang tubuhnya tenang, maka ia merasakan kebahagiaan. Pada seseorang yang berbahagia, pikirannya memasuki samādhi. Dengan pikiran dalam samādhi, ia mengetahui & melihat sebagaimana adanya. Dengan mengetahui & melihat sebagaimana adanya, ia menjadi jijik. Dengan jijik, nafsunya memudar. Karena memudar, ia terbebaskan. Ini adalah sembilan dhamma yang sangat membantu.’140
Paragraf ini menyiratkan makna ‘mengarahkan perhatian pada akar’: suatu penyelidikan yang sistematis dan seksama, tidak teralihkan oleh hal-hal kecil, dengan kesadaran yang terpusat tepat di mana diarahkan, menetap di titik itu hingga membuka pada kebijaksanaan, dan pikiran tidak bergerak ke luar, melainkan ke dalam; bukan dari satu daun ke daun lainnya dan ke daun lainnya lagi, melainkan dari satu daun ke dahan ke batang hingga ke akar.
Aspek ke tiga dari pengembangan pandangan terang melibatkan penegakan perhatian hanya untuk suatu ukuran pengetahuan dan perhatian. Jenis pengetahuan yang dapat dikembamgkan tidak dijelaskan lebih jauh. Interpretasi aliran-aliran vipassanā akan memasukkan apa yang disebut ‘pengetahuan pandangan terang’ di sini. Tetapi daftar ini berasal dari masa berabad-abad setelah Sang Buddha dan pasti bukan apa yang dimaksudkan di sini. Untungnya, ada sebuah sutta di mana Yang Mulia Anuruddha memerinci jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui satipaṭṭhāna. Sebagian besar biasanya berhubungan dengan praktik samādhi, khususnya berbagai jenis pengetahuan kekuatan psikis. Tetapi dalam sutta-sutta pengetahuan-pengetahuan ini secara tegas termasuk dalam kelompok kebijaksanaan. Seperti halnya semua kebijaksanaan mendalam, sutta-sutta menyebutkan bahwa pengetahuan-pengetahuan ini adalah ‘untuk seorang yang memiliki samādhi, bukan untuk seorang yang tanpa samādhi.’141
‘Adalah dari pengembangan dan sangat mementingkan empat penegakan perhatian ini maka Aku telah mencapai pengetahuan langsung yang begitu besar … Aku secara langsung mengetahui seribu dunia …’ ‘Aku mengingat seribu kappa …’ ‘Aku mengusai berbagai jenis kekuatan batin …’ ‘Aku memiliki telinga dewa yang murni, yang melampaui manusia …’ ‘Aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain …’ ‘Aku memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin, dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin …’ ‘Aku memahami sebagaimana adanya buah dari perbuatan-perbuatan masa lalu, masa depan, dan masa sekarang …’ ‘ … tujuan-tujuan dari semua jalan praktik …’ ‘berbagai jenis unsur …’ ‘… berbagai watak makhluk-makhluk …’ ‘… indria-indria spiritual makhluk-makhluk lain …’ ‘… kekotoran, pembersihan, dan munculnya jhāna-jhāna, kebebasan-kebebasan, samādhi, dan pencapaian-pencapaian …’ ‘Aku mengingat banyak kehidupan lampau …’ ‘Dengan mata dewa Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut menurut perbuatan-perbuatan mereka …’ ‘Aku masuk dan berdiam, berkat menguapnya racun-racun, dalam kebebasan pikiran yang bebas dari racun, kebebasan melalui pemahaman, setelah menyaksikannya di sini & saat ini dengan pengetahuan langsungKu sendiri.’142
Bagian pandangan terang dari Satipaṭṭhāna Sutta ditutup dengan pernyataan berikut ini:
‘Seseorang berdiam dengan tidak tergantung, tidak mencengkeram pada apa pun di dunia.’143
Bagi para praktisi yang telah maju hal ini diajarkan sebagai keterlepasan komprehensif dari segala aspek kehidupan.144 Tetapi aspek lain ‘ketidak-tergantungan’ secara khusus berhubungan dengan tingkat memasuki-arus.
‘Empat satipaṭṭhāna diajarkan dan dijelaskan olehKu untuk meninggalkan dan mengatasi ketergantungan-ketergantungan pada pandangan-pandangan yang berhubungan dengan masa lalu dan ketergantungan-ketergantungan pada pandangan-pandangan yang berhubungan dengan masa mendatang.’145
Paragraf ini memberikan suatu hubungan langsung antara praktik satipaṭṭhāna dan penanggulangan pandangan-pandangan. Pandangan-pandangan yang berhubungan dengan masa lalu adalah menyangkut gagasan ‘diri’ sebagai yang menghubungkan antara kehidupan ini dan kehidupan sebelumnya, sedangkan pandangan-pandangan masa depan adalah menyangkut kehidupan-kehidupan masa depan. Dengan kata lain, jika kita menganggap ‘diri’ kita sebagai suatu inti yang identik dan tidak berubah, maka dalam memahami masa lalu kita sewajarnya akan menyimpulkan bahwa ‘diri’ yang sama ini ada dalam kehidupan-kehidupan lampau, dan akan ada dalam kehidupan-kehidupan mendatang.
Berpikir seperti ini akan menghalangi sifat sejati kondisi-kondisi, fakta bahwa, bahkan di sini & saat ini, kita secara terus-menerus berubah dan berganti menurut kondisi, apa lagi di masa lalu dan di masa depan? Kenyataannya adalah bahwa semua pengalaman di masa lalu atau di masa depan adalah berdasarkan pada prinsip-prinsip kondisi yang dapat diamati di sini pada masa sekarang. Dengan demikian suatu pemahaman atas kehidupan lampau dan kehidupan mendatang muncul bukan dari teori metafisik atas ‘diri’, melainkan dengan mengamati sifat perubahan kesadaran menurut kemunculan bergantungan.
‘Semua petapa dan brahmana yang menganut pandangan-pandangan tentang masa lalu dan masa depan, dan menegaskan atas enam puluh dua landasan berbagai teori konseptual yang merujuk pada masa lalu dan masa depan, mengalami perasaan-perasaan ini hanya dengan kontak berulang-ulang melalui enam landasan kontak. Dengan perasaan sebagai kondisi, maka muncullah keinginan. Dengan keinginan sebagai kondisi, maka muncullah kemelekatan. Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka muncullah penjelmaan. Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka muncullah kelahiran. Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncullah penuaan & kematian, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputus-asaan. Ketika seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya asal-mula, berakhirnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan enam landasan kontak ini, maka ia memahami apa yang ada di luar semua pandangan-pandangan ini.’146
Dalam paragraf ini, pandangan-pandangan ditelusuri hingga suatu asal-mula yang tidak membahayakan dalam proses persepsi indria ini. ‘Kontak’ adalah di mana internal dan eksternal bertemu; perantara antara diri dan dunia. Momen itu bukanlah suatu rekaman data yang netral, seperti halnya kamera. Semua yang kita lihat, dengar, cerap, diinterpretasikan, diklasifikasikan, disortir oleh pikiran; dan yang paling penting adalah apakah kita menyukai atau tidak menyukai atau netral. Hal ini membentuk pikiran yang dinamis yang bergerak, ditarik ke sana dan ke sini oleh pengalaman indria. Nafsu dan keinginan kita tumbuh, and kita membentuk berbagai teori identifikasi, seperti dengan mengatakan, ‘Ini milikku, ini bukan milikku’. Melalui proses ini kemelekatan kita pada kelahiran kembali mendorong kita maju dalam kehidupan demi kehidupan.
Pandangan-pandangan ‘diri’ di masa lalu dan di masa depan dikelompokkan oleh Buddhisme sebagai ‘nihilisme’ dan ‘eternalisme’. Masing-masing dari kelompok pandangan ini mencakup banyak variasi. Tetapi bentuk nihilisme yang paling terkenal adalah kepercayaan bahwa alam fisik ini adalah hanya ini, dan setelah kematian tidak ada lagi kehidupan lain. Eternalisme biasanya menyimpulkan suatu jiwa abadi yang selamat dari kematian dan hidup selamanya dalam – kondisi - kebahagiaan atau kesakitan. Menurut Sang Buddha, pandangan-pandangan ini adalah ekstrim, keduanya tidak dengan benar memahami kompleksitas dan nuansa dari kenyataan seperti apa yang kita alami.
Dalam hidup ini, kita tidak pernah benar-benar mengalami suatu momen kesadaran yang benar-benar berakhir, tanpa ada kelanjutannya. Karena ini bukanlah bagian dari pengalaman kita, bagaimana mungkin kita memaksakan bahwa inilah yang terjadi setelah kematian? Demikian pula, kita tidak pernah mengalami suatu kondisi kekal atau abadi, atau bahkan kita tidak dapat membayangkan seperti apa kondisi itu. Kedua pandangan ini gagal melewati ujian sederhana dari metode empiris Buddhis: mungkinkah pandangan-panadngan itu disimpulkan dari pengalaman nyata?
Hidup melibatkan perubahan dan kontinuitas, kesatuan dan keberagaman. Filosofi Buddhis menerima kedua aspek ini, dan mendesak bahwa kedua ini tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang mutlak. Kedua pendekatan filosofis ini memerlukan kedua jawaban meditatif: samatha dan vipassanā. Samatha adalah kegembiraan terjun ke dalam ke-satu-an, air pikiran. Ketika kita mengalami berakhirnya kelima indria eksternal, maka kita tidak lagi percaya bahwa hanya eksternal yang nyata, and kita akan berpaling dari nihilisme. Vipassanā pada gilirannya mengungkapkan keterputusan kesadaran secara radikal, menghalau kepercayaan pada suatu jiwa yang abadi.
Karena hanya penderitaan yang lenyap, berhentinya aktivitas-aktivitas secara bertahap dialami sebagai kebahagiaan luar biasa oleh sang meditator. Seseorang pada akhirnya dapat benar-benar tidak tergantung, ketika ia mengalami untuk dirinya sendiri memudarnya penderitaan. Keyakinan dalam proses ini memungkinkan sang meditator untuk melonggarkan, kemudian melepaskan belenggu yang mengikat pikirannya pada dunia, bebas dari ketakutan bahwa di sana ada suatu jenis ‘diri’ yang harus dihancurkan. Ini adalah pandangan benar seorang pemasuk-arus.
‘Aktivitas-aktivitas adalah tidak kekal Bersifat muncul dan lenyap Setelah muncul, kemudian lenyap Berhentinya hal-hal itu adalah kebahagiaan’147
Perenungan muncul dan lenyapnya merujuk bukan pada suatu penyelidikan fenomena ‘di luar sana’ yang objektif dan tidak-ilmiah, tidak tergantung pada pengamat, melainkan untuk melihat cara pikiran menjerat dirinya sendiri dalam dunia, mengubah apa yang diketahui melalui tindakan mengetahui. Hal ini menyiratkan bahwa itu adalah pemahaman pikiran itu sendiri, indria mengetahui, yang merupakan elemen penting dalam proses halus penguraian. Kesadaran pikiran adalah tempat tujuan kelima indria, pusat fungsional yang mengkoordinasikan pengalaman, dan makna subjektif dari identitas individual yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan berikut. Sementara samādhi memainkan peran penting dalam segala aspek pandangan terang, ‘landasan utama’nya adalah perenungan pikiran. Jadi samādhi adalah jalan langsung dari moralitas menuju kebijaksanaan, memusatkan perhatian tepat pada jantung persoalan dan memberikan suatu perspektif bagi aspek-aspek pandangan terang lainnya.
Yaitu: semangat, kegigihan, pikiran, dan penyelidikan.
‘Dengan bergantung pada semangat [… kegigihan … pikiran … penyelidikan], seseorang memperoleh samādhi, ia memperoleh keterpusatan pikiran; ketika memiliki usaha aktif, ini adalah landasan kekuatan batin yang terdiri dari semangat [… kegigihan … pikiran … penyelidikan].’148
Demikianlah berbagai kualitas pikiran ini yang menonjol dalam memperoleh samādhi. ‘Semangat’ adalah modus keinginan yang bermanfaat; bukan keinginan duniawi untuk ‘menjadi’ atau ‘memiliki’, melainkan secara khusus dalam konteks samādhi, keinginan untuk mengetahui, baik semangat maupun kegigihan dikelilingi oleh faktor sang jalan usaha benar dalam perannya sebagai ‘prasyarat samādhi’. ‘Penyelidikian’ adalah kebijaksanaan dalam modus penyelidikian ke dalam alasan-alasan bagi kemajuan atau kemunduran dalam meditasi. ‘Pikiran’ di sini menunjukkan samādhi itu sendiri. Kata ‘pikiran’ (citta) adalah sinonim yang umum untuk samādhi. Hal ini tidak didefinisikan lebih lanjut di sini, tetapi karena ini adalah landasan kekuatan batin, maka maknanya tidak diragukan lagi.
‘Bahwa seorang bhikkhu tanpa samādhi yang halus, damai, tenang dan terpusat dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin … atau menyaksikan menguapnya racun-racun: itu adalah tidak mungkin.’149
Suatu analisi menarik menjelaskan cara mengembangkan seluruh empat faktor ini.
‘Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdiri dari samādhi berkat semangat [… kegigihan … pikiran … penyelidikan] dan usaha aktif, dengan berpikir: “Demikianlah semangatku tidak terlalu kendur juga tidak terlalu kuat, dan juga tidak mengerut ke dalam [karena kelambanan & ketumpulan] juga tidak teralihkan ke luar [karena kenikmatan indria].” Ia berdiam dengan melihat sebelum dan sesudah: “Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya; seperti sesudahnya, demikian pula sebelumnya; seperti di bawah, demikian pula di atas; seperti di atas, demikian pula di bawah; seperti pada siang hari, demikian pula pada malam hari; seperti pada malam hari, demikian pula pada siang hari.” Demikianlah dengan pikiran terbuka dan tidak terselubung, ia mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan kilauan.’150
‘Seperti di bawah, demikian pula di atas’ dijelaskan dalam sutta sehubungan dengan meditasi pada bagian-bagian tubuh ‘ke atas dari telapak kaki, dan ke bawah dari ujung rambut’. ‘Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya’ mungkin merujuk pada kesetaraan dalam memperhatikan subjek meditasi sepanjang sesi. Frasa ‘dipahami dengan baik, diperhatikan dengan baik, diingat dalam pikiran, ditembus dengan baik melalui pemahaman’ digunakan di sini seperti halnya dengan ‘landasan peninjauan kembali’, menyiratkan bahwa meninjau kembali dan menyelidiki ke dalam penyebab-penyebab adalah kunci untuk mengembangkan kesetaraan ini.
Penyelidikan ini akan menyelidiki hubungan sebab-akibat antara landasan-landasan kekuatan batin itu sendiri, selaras dengan hubungan serupa yang dijelaskan di tempat lain. Semangat adalah keinginannya, motivasi untuk melakukan pekerjaan memurnikan pikiran. Usaha adalah pengerahan kegigihan secara aktual untuk melakukan pekerjaan. Pikiran yang murni adalah hasil dari pekerjaan itu. Dan dalam kejernihan pikiran yang murni, sebab dan kondisi bagi kemurnian itu dapat terlihat melalui penyelidikan.
Kualitas-kualitas ini bekerja sama bagaikan lampu listrik. Semangat bagaikan tegangan dalam sirkuit. Kegigihan bagaikan arus listrik yang mengalir ketika saklar dinyalakan. Pikiran bagaikan bohlam yang menyala. Dan ketika ruangan menjadi terang, adalah mudah untuk melihat apa yang ada di sana.
Indria-indria dan kekuatan-kekuatan spiritual adalah aspek-aspek berbeda dari kelompok prinsip-prinsip yang sama,151 yaitu: keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman. Berikut ini adalah satu penjelasan tentang bagaimana Indria-indria dan kekuatan-kekuatan itu bekerja bersama-sama.
‘Bhante, seorang siswa mulia yang sungguh-sungguh berbakti pada Sang Tathagata, dengan keyakinan penuh tidak akan meragukan atau menyangsikan Sang Tathagata atau Ajaran Sang Tathagata. Adalah dapat diharapkan, Bhante, pada seorang siswa mulia yang berkeyakinan bahwa ia akan berdiam dengan membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mengusahakan kualitas-kualitas bermanfaat, bahwa ia akan menjadi kuat, kokoh dalam pengerahan, tidak melalaikan kewajibannya sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat. Kegigihannya adalah indria spiritual kegigihan. ‘Adalah dapat diharapkan, Bhante, pada seorang siswa mulia kegigihannya terbangkitkan bahwa ia akan penuh perhatian, memiliki perhatian tertinggi dan menguasai [indria-indria], mampu mengingat apa yang telah dikatakan dan dilakukan lama sebelumnya. Perhatiannya adalah indria spiritual perhatian. ‘Adalah dapat diharapkan, Bhante, pada seorang siswa mulia kegigihannya terbangkitkan dan perhatiannya ditegakkan bahwa, setelah menjadikan pelepasan sebagai penyokongnya, ia akan memperoleh samādhi, ia akan memperoleh keterpusatan pikiran. Samādhinya adalah indria spiritual samādhi. ‘Adalah dapat diharapkan, Bhante, pada seorang siswa mulia kegigihannya terbangkitkan, yang perhatiannya ditegakkan dan yang pikirannya terkonsentrasi dalam samādhi bahwa ia akan memahami: “awal saṁsāra adalah tidak terbayangkan. Karena makhluk-makhluk terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan, titik awal pengembaraan dan perjalanan adalah tidak ditemukan. Tetapi peluruhan dan pelenyapan tanpa sisa dari kumpulan gelap kebodohan itu – keadaan itu adalah damai, keadaan itu adalah luhur, yaitu, samatha dari segala aktivitas, lepasnya segala kepemilikan, menguapnya keinginan, meluruhnya, lenyapnya, Nibbana.” Pemahamannya adalah indria spiritual pemahaman. ‘Siswa mulia yang berkeyakinan itu, setelah berulang-ulang berlatih, berusaha, mengingat, samādhi, dan memahami demikian memiliki keyakinan sebagai berikut: “Prinsip-prinsip ini yang sebelumnya hanya kudengar sekarang telah kudiami setelah menyentuhnya secara pribadi, dan melihatnya setelah menembusnya dengan pemahaman.”’152
Prinsip-prinsip ini dijelaskan dalam kelompok-kelompok empat yang memudahkan, menyelaraskannya dengan faktor-faktor sang jalan yang bersesuaian: keyakinan harus dilihat dalam empat faktor memasuki-arus (keyakinan dalam Buddha, Dhamma, Sangha, dan moralitas sempurna); kegigihan dalam empat usaha benar; perhatian dalam empat satipaṭṭhāna; samādhi dalam empat jhāna; dan pemahaman dalam empat kebenaran mulia.153Akan tetapi, pemahaman adalah yang paling sering didefinisikan sebagai ‘pemahaman penembusan yang mulia terhadap muncul dan lenyapnya yang mengarah pada menguapnya penderitaan sepenuhnya.’154
Frasa ‘setelah menjadikan pelepasan sebagai penyokongnya, ia akan memperoleh samādhi’ adalah khusus untuk indria spiritual. Makna tepatnya dapat diartikan dalam banyak cara, yang saya bahas di bawah. Akan tetapi kita mengartikannya, bukan sebagai suatu alternatif bagi jhāna, karena frasa ini kadang-kadang diikuti oleh formula lengkap jhāna.155
Kekuatan-kekuatan spiritual didefinisikan dengan cara serupa, satu-satunya perbedaan adalah tiadanya frasa ‘setelah menjadikan pelepasan sebagai penyokongnya’.156 Karena indria-indria dan kekuatan-kekuatan spiritual adalah identik, maka frasa itu tidak menambahkan apa pun yang penting pada definisi, atau memperluas cakupan indria spiritual samādhi melampaui empat jhāna.
Masing-masing dari indria-indria dan kekuatan-kekuatan spiritual lebih jauh lagi dijelaskan sebagai dikembangkan bersama-sama dengan masing-masing dari empat jhāna.157 Seseorang yang berlatih dengan cara ini, bahkan selama waktu sejentikan jari, telah ‘melakukan perintah Sang Guru, mengikuti instruksi, dan tidak menyia-nyiakan dana makanan yang dipersembahkan.’
Yang mengherankan, teks-teks menempatkan kelompok indria-indria spiritual terpisah dari kelompok-kelompok lainnya yang terdapat dalam sayap-sayap menuju pencerahan dengan memperlakukannya di dalam seluruh empat kebenaran mulia, bukan hanya kebenaran ke empat.158 Biasanya, tentu saja semua kelompok ini dianggap berada dalam topik Sang Jalan sebagai kebenaran mulia ke empat. Dengan memperlakukan indria-indria spiritual di dalam seluruh empat kebenaran mulia, sutta-sutta mengundang kita untuk merenungkan bahwa sang jalan, juga adalah terkondisi, tidak kekal, dan masih tunduk pada penderitaan. Ini adalah tugas indria spiritual pemahaman itu sendiri, yang didefinisikan persis sebagai pemahaman muncul dan lenyapnya.
Maka, untuk memiliki indria-indria, seseorang harus memahami indria-indria. Indria-indria harus dilihat sebagai muncul dengan saling bergantung satu sama lain, dan kesaling-tergantungan ini menunjukkan bagaimana pikiran bekerja, bukan hanya dalam konteks indria-indria spiritual, melainkan dalam segala hal. Seorang yang menyempurnakan ‘pemahaman sebagaimana adanya’ ini adalah pemasuk-arus.159
Karena itu, walaupun sebagai kualitas-kualitas pikiran, indria-indria ini harus dikembangkan oleh orang biasa, tetapi hanya dengan memasuki jalan mulia maka indria-indria ini memperoleh kekuasaan, menjadi watak yang berkuasa pada bidangnya masing-masing, demikianlah maka disebut ‘indria-indria spiritual’.160
Bukan hanya keberadaan atau ketiadaan indria-indria spiritual ini yang membedakan sorang biasa dan para mulia, namun kekuatan relatif dari indria-indria ini menjadi kriteria kunci untuk mengelompokkan para mulia dalam hal potensi spiritual, tingkat pencapaian, dan cara praktik.
Kembali pada frasa yang tidak jelas, ‘setelah menjadikan pelepasan sebagai penyokongnya’, kita harus mempertimbangkan hal ini dalam cahaya paragraf-paragraf seperti berikut ini, ‘noda-noda pikiran’ tidak merujuk pada kelima rintangan seperti di tempat-tempat lain, melainkan pada perwujudan keserakahan, kebencian, dan delusi yang ditinggalkan melalui tahap-tahapan jalan mulia.
‘Ketika ia telah menghentikan, mengusir, mengeluarkan, meninggalkan, dan melepaskan [noda-noda pikiran] sebagian, ia berpikir: “Aku memiliki keyakinan kuat dalam Sang Buddha [… Dhamma … Sangha].” Ia memperoleh inspirasi dalam makna, inspirasi dalam Dhamma, kegembiraan sehubungan dengan Dhamma. Pada seorang yang bergembira, muncul sukacita. Pada seorang yang pikirannya bersukacita, jasmaninya menjadi tenang. Seorang yang jasmaninya tenang merasakan kebahagiaan. Pikiran seorang yang berbahagia memasuki samādhi.’161
Paragraf ini menjelaskan bagaimana seseorang yang telah mencapai setidaknya tingkat memasuki-arus menemukan kegembiraan dalam kenyataan ini; kegembiraan dan keringanan pikiran ini karena telah mengatasi beberapa penderitaan pikiran paling dalam itu sendiri menjadi landasan untuk memperoleh samādhi.
‘Keyakinan kuat’ adalah kejernihan karena telah mengalami lepasnya kekotoran-kekotoran selamanya, dengan demikian berarti berjalan di jejak langkah Sang Buddha, melihat Dhamma, dan menjadi satu di antara Sangha mulia. Di sini, indria spiritual keyakinan adalah menonjol dalam subjek meditasi perenungan pada Tiga Permata; kegigihan terwujud dalam pelaksanaan meditasi; sedangkan perhatian adalah tindakan merenungkan. Samādhi di sini jelas adalah ‘samādhi benar mulia’, yang sama dengan indria spiritual samādhi.
Kata ‘pelepasan’ (paṭinissagga) adalah suatu bentuk yang agak berbeda dari kata dalam indria spiritual samādhi (vossagga), tetapi maknanya adalah jelas sama. Jika kita berada pada jalur yang benar, maka hal ini tampaknya menjadi alasan mengapa frasa khas ‘setelah menjadikan pelepasan sebagai penyokongnya’ muncul sebelum formula jhāna dalam definisi indria spiritual samādhi dihubungkan dengan fakta bahwa hanya para mulia yang memiliki indria-indria spiritual dalam makna sesungguhnya. Hanya mereka yang memiliki jalan meditasi mereka yang diperhalus oleh pelenyapan kekotoran-kekotoran pada tingkat akar. Dengan didukujng oleh pelepasan kekotoran-kekotoran, maka adalah jauh lebih mudah bagi mereka untuk memperoleh samādhi.
Dalam sutta di atas, bhikkhu itu selanjutnya mengembangkan kediaman brahma, dan kemudian sutta menunjukkan bagaimana kebijaksanaan tertinggi dicapai:
‘Ia memahami sebagai berikut: “Ada ini, ada yang rendah, ada yang tinggi, dan di luar sana terdapat jalan membebaskan diri dari seluruh bidang persepsi ini.”’
Seperti yang sering terdapat dalam sutta-sutta, frasa singkat ini tampak sengaja disamarkan. Tetapi frasa ‘bidang persepsi’ mengundang perbandingan dengan paragraf-paragraf seperti dalam Poṭṭhapāda Sutta, yang memberikan suatu kunci dalam menginterpretasikan.162 ‘Ini’ mungkin merujuk pada kediaman brahma; ‘yang rendah’ merujuk pada alam indria; ‘yang tinggi’ merujuk pada kebebasan tanpa bentuk; sedangkan ‘jalan membebaskan diri’ adalah Nibbana. Maka indria-indria spiritual, dengan mengandalkan pelepasan kekotoran-kekotoran sebagian oleh para pelajar, matang dalam pelepasan kekotoran-kekotoran secara total oleh Arahant.
‘Hal-hal ini menuntun menuju pencerahan, oleh karena itu disebut faktor-faktor pencerahan.’163
Tujuh faktor pencerahan adalah: perhatian, penyelidikan dhamma, kegigihan, kegembiraan, ketenangan, samādhi, dan keseimbangan. Umumnya, hal-hal ini dapat dianggap sebagai suatu presentasi aspek-aspek meditative dari sang jalan, yang melengkapi landasan-landasan kekuatan batin dan indria-indria spiritual. Akan tetapi, sutta pertama dari koleksi sutta tentang faktor-faktor pencerahan menekankan pentingnya perilaku etis bermoral sebagai landasannya.164
‘Perhatian’ dan ‘penyelidikan dhamma’, mencakup perenungan dan penyelidikan pada ajaran-ajaran serta perenungan pembedaan pada fenomena-fenomena yang muncul pada saat ini. ‘Kegigihan’ dan ‘ketenangan’ mencakup aspek-aspek fisik dan batin. ‘Kegembiraan’ dan ‘samādhi’ muncul dengan awal & kelangsungan pikiran (dalam jhāna pertama) atau tanpa keduanya (dalam jhāna-jhāna lebih tinggi). ‘Keseimbangan’ adalah kualitas puncak dari samatha, yang mencapai kesempurnaan dalam jhāna ke empat dan kediaman brahma ke empat.
Keseluruhan rangkaian teks membahas pertentangan antara faktor-faktor pencerahan dengan kelima rintangan. Hal ini disajikan sebagai penilaian umum atas kedua kelompok baik sebagai yang menuntun menuju maupun yang menghalangi pencerahan, dan sebagai suatu analisis spesifik, khususnya dalam hal ‘makanan’ khusus bagi masing-masing faktor. Perpaduan bertahap dari makanan-makanan melalui perhatian berulang-ulang akan memelihara pertumbuhan baik kualitas-kualitas baik maupun buruk.
Kadang-kadang suatu faktor pencerahan tertentu berlawanan dengan rintangan tertentu. Makanan bagi ‘penyelidikan dhamma’ – membedakan antara baik dan buruk – melaparkan rintangan keragu-raguan. Makanan kegigihan – elemen pembangkitan usaha, kegigihan – melaparkan rintangan kemalasan & ketumpulan. Ketenangan melawan kegelisahan & penyesalan. Samādhi diperlihara oleh ‘landasan samatha, landasan pikiran-tidak-berhamburan’.165
Sutta-sutta tidak secara langsung memperlawankan samādhi dan kegembiraan dengan rintangan-rintangan tertentu, tetapi di tempat lain komentar-komentar berturut-turut memperlawankannya dengan ketenangan dan samādhi, berfungsi untuk menenangkan pikiran yang gelisah, sedangkan penyelidikan, kegigihan, dan kegembiraan membangunkan pikiran yang lembam. Perhatian selalu bergunda. Perhatian, kegembiraan, dan keseimbangan tidak diberikan makanan spesifik; mungkin Sang Buddha menyerahkannya kepada ‘penyelidikan dhamma’ kita sendiri untuk melihat hal ini.
Masing-masing dari faktor-faktor pencerahan dapat dikembangkan dengan menghubungkannya dengan berbagai subjek meditasi: tulang-belulang; mayat yang membusuk; kediaman brahma; perhatian pada pernafasan; dan persepsi kejijikan, kematian, kejiijkan makanan, kebosanan pada seluruh dunia, peluruhan, dan lenyapnya. Dengan pengembangan dalam cara ini, meditasi-meditasi ini berbuah dan bermanfaat besar, mengarah menuju Kearahantaan atau yang-tidak-kembali, menuju kebaikan yang lebih besar, keselamatan dari belenggu, desakan religius, dan kediaman yang nyaman.166
Satu paragraf menjelaskan bagaimana faktor-faktor pencerahan muncul melalui perenungan Dhamma para mulia. Di sini, ‘kegembiraan spiritual’ tampaknya mencakup kegembiraan yang muncul sebelum jhāna, tetapi tentu saja, hanya sebagai pendahuluan jhāna, bukan sebagai penggantinya.
‘Pada suatu ketika, saat seorang bhikkhu yang berdiam dengan terasing mengingat dan memikirkan Dhamma itu, maka faktor pencerahan perhatian dibangkitkan, dikembangkan, dan terpenuhi. Dengan berdiam demikian dengan penuh perhatian, ia menyelidiki, mengeksplorasi, dan melihat ke dalam Dhamma itu dengan pemahaman … Kegigihannya bangkit dan menetap … Kegembiraan spiritual muncul … Pada seorang yang bergembira, maka jasmani dan pikirannya menjadi tenang … Pada seorang yang jasmaninya tenang, maka di sana ada kebahagiaan. Pikiran dari seseorang yang jasmaninya tenang dan bahagia akan memasuki samādhi … Ia mengamati dari dekat dengan keseimbangan pada pikiran yang terkonsentrasi demikian dalam samādhi.’ [Demikianlah seluruh faktor pencerahan dibangkitkan, dikembangkan, dan terpenuhi.167
Samatha dan vipassanā terjalin erat melalui ajaran-ajaran ini. Walaupun, perlu dicatat, bahwa sebagian besar dari faktor-faktor ini berhubungan dengan samatha, sedangkan hanya penyelidikan dhamma yang berhubungan secara khusus dengan vipassanā, dan bahkan hal ini umumnya diperlakukan dalam caranya mendukung samādhi. Sesungguhnya, ketujuh dhamma ini kadang-kadang hanya menggantikan samādhi dalam pengelompokan: moralitas, dhamma, pemahaman.168 Penekanan menyeluruh hanyalah pada pengembangan pikiran. Banyak kata yang digunakan pada prinsip-prinsip ini – ‘keterasingan’, ‘peluruhan’, ‘lenyapnya’, ‘pelepasan’, ‘ditinggalkannya’, ‘berakhirnya’, ‘pen-diam-an’, dan lain-lain – juga digunakan pada empat jhāna, vipassanā, dan bahkan pada Nibbana sendiri, menggaris-bawahi pertalian erat yang penting dari sisi-sisi sang jalan dan tujuan ini.
Dengan memeriksa ketiga puluh tujuh sayap menuju pencerahan ini, muncul suatu pola yang konsisten. Urutan-urutannya dimulai dengan kualitas-kualitas yang lebih mendasar: keyakinan, atau semangat, atau kegigihan. Penempatan penyelidikan dhamma di dekat awal faktor-faktor pencerahan mengingatkan pada penempatan pandangan benar di awal Jalan Delapan. Dengan bekerjanya kegigihan dan perhatian, maka pikiran mengembangkan kegembiraan yang menuntun menuju samādhi, matang dalam kebijaksaan yang membebaskan. Prinsip-prinsip mendasar dari sifat pikiran diwujudkan dalam formulasi-formulasi ini. Pada tiap-tiap tahapan kualitas-kualitas emosional dan intelektual diseimbangkan dan saling mendukung satu sama lain, sedangkan variasi-variasinya memperingatkan agar tidak mengambil pendekatan yang terlalu kaku dalam pengembangannya. Pada bab selanjutnya kita akan memeriksa lebih terperinci hubungan antara kualitas-kualitas ini.
‘Demikianlah, Ānanda, moralitas-moralitas bermanfaat secara perlahan bergerak ke paling atas.’169
‘Para bhikkhu, seorang yang bermoral tidak perlu berharap: “Semoga aku bebas dari penyesalan.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang bermoral terbebas dari penyesalan.
‘Seorang yang bebas dari penyesalan tidak perlu berharap: “Semoga aku bergembira.” Adalah suatu kewajaran bahwa pada seorang yang bebas dari penyesalan, maka muncul kegembiraan.
‘Seorang yang gembira tidak perlu berharap: “Semoga aku merasakan sukacita.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang gembira merasakan sukacita.*
‘Seorang yang merasakan sukacita tidak perlu berharap: “Semoga jasmaniku tenang.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang merasakan sukacita memiliki jasmani yang tenang.*
‘Seorang yang jasmaninya tenang tidak perlu berharap: “Semoga aku merasakan kebahagiaan.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang jasmaninya tenang merasakan kebahagiaan.*
‘Seorang yang berbahagia tidak perlu berharap: “Semoga pikiranku terkonsentrasi dalam samādhi.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang berbahagia memiliki samādhi.*
‘Seorang yang memiliki samādhi tidak perlu berharap: “Semoga aku mengetahui & melihat sebagaimana adanya.” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang memiliki samādhi akan mengetahui & melihat sebagaimana adanya.*
‘Seorang yang mengetahui & melihat sebagaimana adanya tidak perlu berharap: “Semoga aku terhindar [dari penderitaan].” Adalah suatu kewajaran bahwa seorang yang mengetahui & melihat sebagaimana adanya terhindarkan.*
‘Seorang yang terhindarkan tidak perlu berharap: “Semoga nafsu memudar.” Adalah suatu kewajaran bahwa nafsu memudar pada seorang yang terhindar.*
‘Seorang yang nafsunya memudar tidak perlu berharap: “Semoga aku menyaksikan pengetahuan & penglihatan pembebasan.” Adalah suatu kewajaran bahwa nafsu memudar akan menyaksikan pengetahuan & penglihatan pembebasan …*
‘Demikianlah, para bhikkhu, dhamma mengalir dan memenuhi dhamma untuk menyeberang dari pantai sini ke pantai seberang.’*
~ Sang Buddha, AN 11.2
Tidak ada kata yang dapat diterima umum untuk kerangka doktrin ini, jadi saya menciptakan istilah ‘Kebebasan bergantungan’.170 Banyak versi terdapat dalam sutta-sutta, tetapi dengan pola yang serupa, memperlihatkan pengungkapan kondisional dari kebebasan sebagai suatu evolusi dari kualitas-kualitas yang lebih halus. Semua variasi mengikuti urutan moralitas, samādhi dan kebijaksanaan. Sering kali kategori luas ini dibagi lagi, mengungkapkan struktur dalamnya sebagai terdiri dari urutan-urutan kondisional yang lebih jauh lagi. Seperti paragraf di atas, yang memperlakukan bagian samādhi secara sangat terperinci, muncul dalam banyak sutta.
Beberapa pemahaman pada prinsip-prinsip kausalitas sangat membantu untuk sepenuhnya menghargai pentingnya ajaran ini. Sebab-sebab dapat dianalisis dalam dua jenis: kondisi yang diperlukan dan kondisi yang mencukupi. Sebuah kondisi yang diperlukan adalah kondisi yang tanpanya maka tidak mungkin akibatnya dapat dihasilkan. Misalnya, sebuah kondisi yang diperlukan untuk menjadi seorang perempuan adalah menjadi seorang manusia; jika seseorang bukan manusia, maka tidaklah mungkin baginya untuk menjadi seorang perempuan. Sebuah kondisi yang mencukupi adalah yang kehadirannya membuat akibatnya pasti muncul. misalnya, kondisi yang mencukupi untuk menjadi manusia adalah menjadi seorang perempuan; jika seseorang adalah perempuan, maka pasti ia adalah seorang manusia.
Keduanya tidak harus bersifat eksklusif seperti pada contoh di atas. Misalnya, sebuah kondisi yang diperlukan dan mencukupi untuk menjadi seorang manusia adalah menjadi makhluk berkaki dua tanpa bulu; jika seseorang bukan makhluk berkaku dua tanpa bulu, maka ia tidak dapat menjadi seorang manusia dan jika ia adalah makhluk berkaki dua tanpa bulu, maka dipastikan bahwa ia adalah seorang manusia. Atau sebuah kondisi mungkin tidak diperlukan juga tidak mencukupi. Misalnya, menjadi seorang anak laki-laki adalah kondisi yang tidak diperlukan juga tidak mencukupi untuk menjadi seorang manusia dewasa, melainkan hanya mendukung.
Perbedaan ini adalah penting. Jika dalam dunia-pikiran dari sutta-sutta ‘x adalah sebuah kondisi bagi y’ artinya ‘x adalah kondisi yang mencukupi untuk y’, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hal-hal lainnya juga mencukupi. Moralitas, samādhi, dan pemahaman menuntun menuju Nibbana; tetapi mungkin ada hal lain lagi, atau banyak jalan lain menuju ke gunung yang sama. Akan tetapi, jika ‘x adalah kondisi bagi y’ artinya ‘x adalah kondisi yang diperlukan untuk y’, maka kita harus menganggap semua ‘x’ – tiap-tiap faktor yang termasuk dalam hubungan kausal itu – sebagai diperlukan.
Untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif yang berlaku dalam ajaran-ajaran sutta tentang kausalitas, mari kita memulai dengan formula yang paling umum untuk kausalitas dalam kemuculan bergantungan, yang dikenal sebagai ‘kondisionalitas spesifik’:171
‘Jika ini ada, maka itu ada; dengan munculnya ini, maka muncullah itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu.’
Pasangan prinsip pertama menyiratkan kondisionalitas yang mencukupi. Jika sesuatu ada, maka hal lainnya juga ada. Akan tetapi, sebuah pemeriksanaan kontekstual secara seksama mengungkapkan bahwa hal ini bukanlah demikian. Berikut ini adalah satu contoh di mana seseorang memiliki suatu kondisi awal untuk kemajuan spiritual, yaitu perilaku etis, tetapi tidak mencapai tingkat yang lebih tinggi.
‘Siswa mulia itu, puas dengan moralitas yang disukai para mulia, tidak berusaha lebih jauh dalam keterasingan siang dan malam hari. Dengan berdiam dalam kelengahan demikian, kegembiraan tidak muncul. jika tidak ada kegembiraan, maka tidak ada sukacita. Jika tidak ada sukacita, maka tidak ada ketenangan. Jika tidak ada ketenangan, maka ia berdiam dalam penderitaan. Pikiran dari seseorang yang menderita tidak akan memasuki samādhi. Dhamma tidak bermanifestasi dalam pikiran yang tanpa samādhi. Karena dhamma tidak bermanifestasi maka ia disebut seorang yang berdiam dalam kelengahan.’172
Jika urutan demikian didasarkan pada konsep kondisionalitas yang mencukupi, maka tidak ada gunanya mengerahkan usaha. Seseorang yang memiliki etika sudah sewajarnya memperoleh samādhi, terlepas dari apakah ia berusaha bermeditasi atau tidak.
Ini bukanlah satu contoh terpisah. Dalam urutan baku dari kemunculan bergantungan, dikatakan bahwa ‘perasaan adalah kondisi bagi keinginan’. Jika ‘perasaan’ adalah kondisi yang mencukupi bagi ‘keinginan’, maka tidak ada seorang pun, termasuk Sang Buddha, yang terkecualikan dari keinginan. Semua praktik spiritual menjadi tidak berguna.
Sebenarnya ada banyak kondisi yang dibiarkan tidak disebutkan dalam konteks-konteks ini. Adalah sesuatu yang mendasar pada kausalitas Buddhis bahwa banyak faktor hadir sepanjang waktu, saling berinteraksi dalam cara-cara yang kompleks. Sutta-sutta tidak selalu memberikan sebuah analisis lengkap atas setiap faktor; sebaliknya, sutta-sutta menunjukkan apa yang bermanfaat, apa yang perlu.
Dalam konteks praktik, gagasan kondisi yang mencukupi berlaku hanya pada seorang siswa mulia yang pada akhirnya pasti mencapai kebebasan bahkan jika seandainya, seperti di atas, mereka ‘lengah’.173
Jika hubungan kausal utama yang dibicarakan dalam Buddhisme bukanlah ‘kondisi yang mencukupi’, maka haruskah dilihat sebagai ‘kondisi yang diperlukan’? sesungguhnya hubungan ‘yang diperlukan’ adalah salah satu yang disebutkan dalam banyak paragraf. Berikut ini adalah salah satu contoh, dalam konteks kemunculan bergantungan:
‘Jika tidak ada kelahiran dari berbagai jenis makhluk menjadi berbagai [kehidupan]; jika segala jenis kelahiran tidak ada, maka karena lenyapnya kelahiran, apakah ada penuaan & kematian?’ ‘Tidak, Bhante.’174
Cukup jelas bahwa kelahiran adalah kondisi yang diperlukan bagi penuaan & kematian. Adalah juga benar bahwa kelahiran merupakan kondisi yang mencukupi bagi kematian; akan tetapi bukan kondisi yang mencukupi bagi penuaan (karena sesosok makhluk yang baru dilahirkan mungkin saja mati sebelum mengalami penuaan). Maka gagasan ‘yang mencukupi’ tidak melekat dalam spesifikasi kausal itu; hal ini harus disimpulkan dari konteksnya.
Di bawah kita akan melihat pertalian antara kemunculan bergantungan dan kebebasan bergantungan, bagaikan sebuah gambaran dan pantulannya, yang diungkapkan dalam berbagai cara dalam sutta-sutta. Dan seperti halnya kausalitas dalam kemunculan bergantungan terutama adalah kondisionalitas yang diperlukan, maka semua perumpamaan-perumpamaan utama yang menggambarkan kebebasan bergantungan juga menyiratkan ‘yang diperlukan’ – hujan mengisi sungai di pegunungan, dedaunan yang memelihara pohon, atau setiap tahap perjalanan yang membawa seseorang menuju tempat berikutnya.175 Hal ini berarti bahwa paragraf-paragraf ini mengandung suatu sifat alami yang tanpa kecuali: jika kondisi-kondisi ini tidak terpenuhi, maka adalah tidak mungkin akibatnya dapat terjadi.
Akan tetapi, paragraf pertama kita di atas menunjukkan suatu proses yang lebih aktif daripada sekedar ‘yang diperlukan’. Kondisi-kondisi sebelumnya tidak sekedar memperbolehkan munculnya kondisi-kondisi selanjutnya, melainkan adalah suatu energi yang secara aktif mendukung kemunculannya. Penekanan utama bukanlah bahwa ketiadaan kondisi-kondisi dengan segera menghancurkan fenomena hasilnya, melainkan bahwa tanpa kondisi-konisi pendukung maka hasilnya tidak mendapatkan makanan hingga terpenuhi dan lengkap. Walaupun hal ini tidak berlaku pada semua hubungan kausal yang terdapat dalam sutta-sutta, adalah suatu aspek penting dari konteks yang membahas praktik – sebagai arahan dan dorongan maju. Mengikuti cara dunia, urutan kemunculan bergantungan dimulai dari kebodohan, seseorang tersapu di sepanjang arus kelahiran, penuaan, dan kematian. Tetapi urutan yang dimulai dari keyakinan dan moralitas akan menyapu seseorang di sepanjang jalan menuju Nibbana.
Beberapa penulis telah berusaha mengecilkan kondisionalitas Buddhis menjadi ‘saling pengondisian’, yaitu, ketika dua faktor bertindak saling mendukung satu sama lain, seperti halnya ketika dua ikat jerami yang saling bersandar satu sama lain. Jika semua kondisi Buddhis adalah saling mendukung, maka hal ini juga akan berlaku pada samatha dan vipassanā – keduanya akan menjadi pasangan yang setara. Tetapi kondisi jenis ini, walaupun penting, namun terbatas pada beberapa konteks. Dalam banyak konteks, hubungan ini secara jelas dibantah.176 Adalah sulit untuk menyimpulkan dari sutta-sutta bahwa ungkapan normal bagi hubungan kondisional dapat bermakna kondisi yang ‘muncul bersama’ (atau ‘saling mendukung’). Beberapa kejadian di mana hubungan demikan dibahas dengan menekankan bagaimana sulitnya dan tidak-biasanya hal ini dimengerti.178 Dan bahkan di sini klausul konditional standar tidak secara mandiri menanggung beban mengungkapkan kondisionalitas dua-arah. Sebagai gantinya Kemunculan bersama dijelaskan dengan dua pernyataan bayangan-cermin terpisah dari kondisionalitas satu-arah.
Tidak adanya kesaling-tergantungan penuh ini ditekankan dalam hubungan antara samādhi dan kebijaksanaan. Dalam Poṭṭhapāda Sutta, Sang Buddha pertama-tama menggambarkan ‘persepsi’ dalam hal pemurnian persepsi berturut-turut melalui jhāna-jhāna yang mengarah menuju pengetahuan pandangan terang. Paragraf ini membahas hubungan antara persepsi – bagaimana segala sesuatu tampak – yang muncul dalam samādhi, dan pengetahuan – bagaimana segala sesuatu adanya – yang merupakan vipassanā.
‘Tetapi Bhante, apakah persepsi muncul terlebih dulu dan pengetahuan setelahnya, atau apakah pengetahuan muncul terlebih dulu dan persepsi setelahnya?’ ‘Persepsi, Poṭṭhapāda, muncul terlebih dulu, pengetahuan setelahnya; karena munculnya persepsi maka muncullah pengetahuan. Seseorang memahami sebagai berikut: “Tampaknya pengetahuanku muncul karena kondisi itu.”’177
Dalam jenis hubungan ini, kualitas sebelumnya adalah kondisi yang diperlukan bagi kondisi selanjutnya; kemudian kualitas selanjutnya dapat mendukung dan memperkuat kualitas yang dikembangkan sebelumnya. Tetapi tidak pernah dalam suatu hubungan yang saling mendukung atau setara. Hal ini bagaikan hubungan seorang ibu dengan anaknya. Seorang anak ketika dewasa akan memberikan dukungan dan bantuan kepada ibunya sesuai kemampuannya, tetapi tidak akan pernah membalas pemberian kehidupannya. Demikian pula, kebijaksanaan dapat bertindak sebagai kondisi pendukung untuk memperdalam kejernihan kesadaran, tetapi hanya dapat melihatnya dengan sangat bergantung pada kejernihan yang telah ada. Maka walaupun, seperti yang telah berkali-kali dikatakan, kedua kualitas ini sangat berhubungan erat dan saling mendukung, namun demikian dalam kasus ini, dalam analisis akhir, samādhi adalah pendahulu bagi kebijaksanaan penembusan.
Tetap saja, ini adalah kasus bahwa kebijaksanaan dapat, dan sesungguhnya harus, dikembangkan sejak awal praktik. Tiga modus utama kebijaksanaan yang mendahului samādhi dapat dilihat. Pertama, pemahaman konseptual dari mendengar dan merenungkan ajaran-ajaran. Ke dua, penyelidikan ke dalam sebab-sebab samādhi. Ke tiga, vipassanā, penglihatan pada realitas terkondisi dengan mata yang jernih dan baik. Sekarang jelas bahwa ketiga aspek ini terhubung erat, dan penyebutan salah satunya dalam konteks tertentu seharusnya dipahami secara penekanannya, bukan pengecualiannya. Benang yang mengikat seluruh modus ini adalah kebijaksanaan yang dijelaskan dalam suatu hubungan dengan samādhi, bukan terpisah darinya. Pemahaman pendahuluan ini melayani berbagai fungsi persiapan, tetapi hanya dengan matangnya faktor-faktor sang jalan lainnya maka kematangan ke dalam kebijaksanaan itu disebut seagai ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’.
‘Para bhikkhu, seperti halnya sebuah rumah beratap lancip. Selama atap lancipnya belum terpasang, maka kasau-kasaunya tidak kokoh, tidak stabil. Tetapi ketika atap lancipnya telah terpasang, maka kasau-kasaunya menjadi kokoh dan stabil. Demikian pula, selama pengetahuan mulia belum muncul dalam diri seorang siswa mulia, maka empat indria spiritual [lainnya] tidak kokoh, tidak stabil. Tetapi ketika pengetahuan mulia telah muncul dalam diri seorang siswa mulia, maka empat indria spiritual [lainnya] menjadi kokoh dan stabil.’178
Kasau-kasau keyakinan, kegigihan, perhatian, dan samādhi harus terpasang sebelum atap lancip pemahaman mulia dapat dipasang. Kasau-kasau itu adalah kondisi pendahulu yang diperlukan bagi kebijaksanaan yang membebaskan. Pemahaman pada gilirannya melindungi dan memperkuat keempat indria yang telah ada. ‘putaran balik’ jenis ini memiliki penerapan umum – segala kualitas lanjutan dapat memperkuat kualitas yang telah dikembangkan sebelumnya. Akan tetapi, hal ini seharusnya tidak mengalihkan paradigma yang berlaku dari kondisi berurutan. Karena itu sutta-sutta menyebutkan dengan jelas:
‘Bahwa seseorang dapat memenuhi kelompok pemahaman tanpa sebelumnya memenuhi kelompok samādhi: itu adalah tidak mungkin.’179
Tidak ada paragraf serupa yang menyebutkan bahwa pengembangan pemahaman harus dipenuhi sebelum seseorang memperoleh samādhi.
Pertimbangan-pertimbangan ini merujuk pada suatu pemahaman kausalitas yang pasti dan terstruktur. Sang Buddha tidak mengajarkan kausalitas dengan filosofi main-main demikian seperti ‘Segala sesuatu adalah saling berkaitan.’ Beliau mengajarkan kondisionalitas spesifik – ini adalah penyebab dari itu. Pola yang sama muncul berulang-ulang. Keinginan adalah penyebab dari penderitaan; tetapi seperti halnya teratai yang tumbuh dalam lumpur, pengalaman penderitaan adalah motivasi penting bagi praktik spiritual yang akan mengakhiri penderitaan.
Dalam Upanisā Sutta, hubungan antara kemunculan bergantungan normal dengan urutan yang membebaskan disebutkan secara eksplisit.180 Urutan itu dimulai seperti biasa dengan kebodohan hingga kelahiran dan penderitaan; tetapi penderitaan bukan memunculkan keputus-asaan, melainkan keyakinan. Keyakinan emosional ini kemudian memicu urusan yang sama dari kegembiraan, sukacita, ketenangan, kebahagiaan, samādhi, pandangan terang, dan kebebasan yang dijelaskan di atas yang dimulai dari moralitas.181 Urutan dua belas faktor, yang dimulai dari penderitaan, adalah padanan positif dari dua belas faktor modus lenyapnya dari kemunculan bergantungan normal. Yang mengherankan, kemunculan bergantungan dalam modus kemunculan disebut ‘jalan praktik yang salah’, seperti halnya jalan delapan yang salah, sedangkan modus lenyapnya disebut ‘jalan praktik yang benar’, seperti halnya jalan delapan yang benar. Hal ini meruntuhkan perbedaan antaar teori dan praktik, antara ajaran tengah dan jalan tengah.182
Mahā Nidāna Sutta juga menjelaskan berakhirnya penderitaan dalam makna positif, dengan fokus pada dua jenis Arahant.183 Yang pertama adalah ‘terbebaskan melalui pemahaman’. Di sini hal ini dijelaskan sebagai pemahaman pada asal-mula, akhirnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal ketujuh stasiun kesadaran dan dua landasan. Ini adalah semua alam yang mana kelahiran kembali dapat terjadi bergantung pada tingkat pengembangan kesadaran, dengan penekanan tertentu pada pencapaian-pencapaian meditatif. Di sini identitasnya adalah jelas antara kesadaran sebagai sebuah mata rantai dalam kemunculan bergantungan, sebagai kondisi pikiran yang dikembangkan dalam meditasi, dan sebagai arus kesadaran yang mengalir menuju kelahiran kembali dalam berbagai alam. Jenis Arahant ke dua adalah ‘terbebaskan kedua-sisi’, yang dibedakan dengan kemahiran dalam segala pencapaian meditatif. Demikianlah pikiran samādhi yang transparan memiliki peran kunci dalam menguraikan kekusutan saṁsāra.
‘Kemunculan bergantungan adalah mendalam, dan tampak mendalam. Tanpa tercerahkan padanya dan tidak menembus prinsip ini, maka generasi ini menjadi bagaikan bola benang yang kusut, terjalin bagaikan sarang burung, kusut bagaikan sekumpulan rumput kasar, dan tidak berkembang melampaui alam-alam rendah, takdir-takdir yang buruk, jurang, dan saṁsāra.’184
Bola benang yang kusut tidak akan pernah terurai dengan sendirinya, dan demikian pula pikiran yang kusut dalam urusan-urusan duniawi tidak akan pernah melepaskan simpul penderitaan. Perbedaan kunci antara makhluk tercerahkan dan tidak tercerahkan adalah ketulusan pengabdiannya pada praktik spiritual.
‘Bagi si dungu [demikian pula si bijaksana], yang terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu, tubuh [kesadaran] ini telah diperoleh. Demikianlah ada dualitas tubuh ini dan batin & jasmani eksternal. Dengan bergantung pada dualitas ini, maka ada kontak. Terdapat enam jenis landasan indria, yang dengan kontak melaluinya – atau melalui salah satunya – si dungu [dan si bijaksana] mengalami kenikmatan dan kesakitan. Apakah perbedaan, kesenjangan, antara si dungu dan si bijaksana?’ … ‘Bagi si dungu, kebodohan ini belum ditinggalkan dan nafsu ini belum menguap. Karena alasan apakah? Karena si dungu tidak menjalani kehidupan suci demi menguapnya sepenuhnya penderitaan. Oleh karena itu dengan hancurnya jasmani, si dungu berlanjut pada tubuh [yang baru]. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan Aku katakan. ‘Tetapi bagi si bijaksana, kebodohan ini telah ditinggalkan dan nafsu ini telah menguap. Karena alasan apakah? Karena si bijaksana telah menjalani kehidupan suci demi menguapnya sepenuhnya penderitaan. Oleh karena itu dengan hancurnya jasmani, si dungu tidak berlanjut pada tubuh [yang baru]. Ia terbebaskan dari kelahiran, penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputus-asaan; ia terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Ini adalah kesenjangan, perbedaan, antara si dungu dan si bijaksana, yaitu, menjalani kehidupan suci.’185
‘Kehidupan suci’ biasanya diidentifikasikan sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan.186 Penerapannya dalam konteks ini iilustrasikan dalam Mahātaṇhāsaṅkhaya Sutta. Sutta ini adalah sutta terpenting tentang kemunculan bergantungan, dibabarkan secara khusus untuk membantah pandangan bahwa adalah ‘kesadaran yang sama’ ini yang mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali. Ini adalah salah satu konteks yang menyiratkan bahwa kata ‘kesadaran’ telah diperkenalkan pada bahasa pra-Buddhis untuk prinsip yang mendasari kelahiran kembali. Seperti yang sering Belau lakukan, Sang Buddha menerima terminonologi konvensional, tetapi mendefinsikan ulang menurut sistem yang Beliau ajarkan, mendesak bahwa kesadaran muncul menurut kondisinya.
Sang Buddha juga mengambil-alih pandangan brahmanis bahwa penjelmaan kembali embrio muncul bersamaan dengan tiga hal: pertemuan ibu dan ayah; kesuburan ibu; dan kehadiran makhluk yang akan dilahirkan.187 Setelah terlahir kembali, seseorang dipelihara oleh ibu, bermain permainan anak-anak, dan, seiring dengan matangnya indria-indria, terlibat dalam perasaan-perasaan yang disukai maupun tidak disukai, yang memunculkan nafsu dan kelahiran kembali di masa depan. Lingkaran lenyapnya ditunjukkan dengan latihan bertahap penuh, dari munculnya Sang Tathagata dan pelepasan keduniawian, hingga ditinggalkannya rintangan-rintangan.
‘Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, noda-noda pikiran yang merampas kekuatan pemahaman … ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Melihat suatu bentuk terlihat dengan mata, ia tidak bernafsu akan penglihatan pada objek terlihat yang menyenangkan itu. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani ditegakkan, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui pemahaman dimana fenomena-fenomena tidak bermanfaat ini lenyap tanpa sisa. Setelah meninggalkan perasaan-perasaan yang disukai maupun tidak disukai, perasaan apa pun yang ia rasakan, apakah menyenangkan, atau menyakitkan, atau bukan-menyenangkan juga bukan-menyakitkan, ia tidak menyukai, tidak menyambut, atau tetap melekatinya … kesukaan pada perasaan lenyap dalam dirinya. Karena lenyapnya kesukaan ini, maka nafsu juga lenyap. Karena lenyapnya nafsu, maka penjelmaan [selanjutnya] lenyap. Karena lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap. Karena lenyapnya kalahiran, maka penuaan & kematoan, dukacita, ratapan, kesakitan jasmani, penderitaan batin, dan keputusasaan lenyap. Demikianlah lenyapnya keseluruhan penderitaan ini. [Dan demikian pula untuk telinga, dan seterusnya.]’188
Sesuatu dari hubungan mendalam antara urutan dhamma berputar yang dimulai dari keyakinan atau moralitas dan inti Dhamma mulai muncul, bagaimana proses ini menjadi ‘yang diperlukan untuk’ dan ‘sangat kuat mendorong’ menuju kebebasan. Saya telah menciptakan istilah ‘kondisi vital’ untuk menjelaskan kedua aspek ini.
‘Para bhikkhu, jika tidak ada perhatian dan pemahaman jernih, dalam diri seseorang yang tanpa perhatian dan pemahaman jernih, maka kondisi vital bagi nurani dan rasa takut akan perbuatan-salah hancur. ‘Jika tidak ada nurani dan rasa takut akan perbuatan-salah … maka kondisi vital bagi pengendalian indria hancur. ‘Jika tidak ada pengendalian indria … maka kondisi vital bagi moralitas hancur. ‘Jika tidak ada moralitas … maka kondisi vital bagi samādhi benar hancur. ‘Jika tidak ada samādhi benar, dalam diri seseorang yang tanpa samādhi benar, maka kondisi vital bagi pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya hancur. ‘Jika tidak ada pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya … maka kondisi vital bagi kejijikan dan peluruhan hancur. ‘Jika tidak ada kejijikan dan peluruhan … maka kondisi vital bagi pengetahuan & penglihatan kebebasan hancur. ‘Seperti halnya, para bhikkhu, jika sebatang pohon tanpa dedaunan dan ranting-rantingnya, maka dahan-dahan, kulit kayu, lapisan dalam kulit kayu, dan inti kayu tidak akan mencapai pemenuhan …’189
Hubungan penting di sini adalah antara ‘samādhi benar’ (=jhāna) dan ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’. Frasa ini merujuk pada ‘penglihatan Dhamma’ seorang pemasuk-arus. Dengan kata lain, paragraf ini mengatakan bahwa jhāna adalah kondisi yang diperlukan untuk memasuki-arus.190
Cukup mengherankan bahwa di sini, serta dalam banyak paragraf lainnya, tidak secara jelas disebutkan tentang vipassanā. Komentar memperlakukan ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’ sebagai vipassanā yang belum matang. Tetapi hal ini tidaklah demikian, karena vipassanā yang belum matang dikembangkan sebelum jhāna, sementara di sini dikatakan bahwa jhāna adalah kondisi vital. Vipassanā demikian tampaknya menjadi salah satu faktor yang tidak disebutkan dalam urutan itu.
Paragraf ini lebih jauh lagi menjelaskan dua hal dalam interpretasi penjelasan lain dari kebebasan bergantungan atau sang jalan secara umum. Pertama, samādhi sebagai penyokong penting untuk kebebasan berarti samādhi benar, yaitu empat jhāna. Ketika kita sampai pada penjelasan lain dari sang jalan yang merujuk pada atau yang menyiratkan samādhi secara kurang eksplisit, maka kita harus menyimpulkan bahwa adalah jhāna yang dimaksudkan. Ini adalah situasi normal dalam sutta-sutta, karena urutan kegembiraan, sukacita, ketenangan, kebahagiaan, dan samādhi di tempat lain berfungsi untuk memperkenalkan empat jhāna;191 kadang-kadang juga kediaman-brahma;192 atau jika tidak maka hal ini mengembangkan indria-indria spiritual, kekuatan-kekuatan, dan faktor-faktor pencerahan.193
Ke dua, samādhi benar ini adalah suatu komponen penting dari sang jalan, bukan suatu tambahan yang bersifat pilihan. Dalam konteks seperti latihan bertahap, yang memasukkan tambahan-tambahan seperti kekuatan-kekuatan batin, kita harus memahami bahwa samādhi, yang tidak kurang penting daripada moralitas atau kebijaksanaan, tidak boleh diabaikan.
Ketuju pemurnian memberikan penjelasan lebih lanjut pada ‘kebebasan bergantungan’. Tujuh pemurnian ini hanya muncul satu kali dalam sutta-sutta, dan sekali lagi dengan kedua pemurnian ditambahkan, dan tidak dianalisis secara terperinci. Walaupun tidak terlalu dipentingkan dalam sutta-sutta, namun digunakan sebagai kerangka Visuddhimagga, dengan demikian dianggap sangat penting oleh tradisi penafsiran Theravāda. Di sini, moralitas dan samādhi diperlakukan secara ringkas, fokusnya diarahkan lebih pada perincian tingkat-tingkat pandangan terang. Kecenderungan ini berlanjut lebih jauh dalam Paṭisambhidāmagga, dan lebih jauh lagi dalam Visuddhimagga. Mungkin karena alasan inilah maka ketujuh pemurnian ini memainan peran kunci dalam usaha untuk menemukan suatu kendaraan ‘vipassanā murni’ dalam sutta-sutta. Saya akan berusaha untuk menghimpun apa yang dikatakan oleh sutta-sutta tentang tingkat-tingkatan ini. Pertama-tama, pernyataan dasar dari sumber utama, Rathavinīta Sutta.
‘Pemurnian moralitas adalah untuk pemurnian pikiran. Pemurnian pikiran adalah untuk pemurnian pandangan. Pemurnian pandangan adalah untuk pemurnian mengatasi keragu-raguan. Pemurnian mengatasi keragu-raguan adalah untuk pemurnian pengetahuan & penglihatan atas apa yang jalan dan apa yang bukan jalan. Pemurnian pengetahuan & penglihatan atas apa yang jalan dan apa yang bukan jalan adalah untuk pemurnian pengetahuan & penglihatan pada sang jalan. Pemurnian pengetahuan & penglihatan pada sang jalan adalah untuk pemurnian pengetahuan & penglihatan. Pemurnian pengetahuan & penglihatan adalah untuk Nibbana akhir tanpa kemelekatan.’194
Sutta ini memberikan perumpamaan suatu perjalanan menggunakan rangkaian kereta. Kereta pertama membawa seseorang hingga kereta ke dua, tetapi tidak lebih jauh lagi. Kereta ke dua membawa seseorang hingga kereta ke tiga, tetapi tidak lebih jauh lagi. Masing-masing kereta memiliki peran tertentu untuk dimainkan, yang tidak bisa diabaikan. Seperti biasa, tingkat-tingkatan itu adalah kondisi-kondisi yang diperlukan dan membantu, tetapi tidak mencukupi.
Tingkat-tingkatan itu secara berdiri sendiri tidak didefinisikan dalam Rathavinīta Sutta, jadi kita harus melihat di tempat lain. Suatu ajaran yang berhubungan oleh Yang Mulia Ānanda memberikan penjelasan terhadap beberapa faktor. Tingkat-tingkatan pemurnian ditunjukkan di sini, bukan sebagai yang-mencukupi-secara-mandiri, melainkan sebagai didukung oleh suatu kerangka faktor-faktor pendukung. Walaupun kebijaksanaan bekerja pada seluruh tingkat, tetapi seperti biasanya hanya setelah ‘pemurnian pikiran’ secara eksplisit dijelaskan sebagai empat jhāna, maka hal ini matang menjadi ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’.
‘Dan apakah, Vyagghapajja, faktor usaha dalam pemurnian moralitas? Di sini, seorang bhikkhu bermoral; ia berlatih dalam aturan-aturan latihan yang telah ia terima. Ini disebut pemurnian moralitas. [Ia berpikir:] “Aku akan memenuhi bentuk pemurnian itu yang ketika belum terpenuhi, atau ketika telah terpenuhi, maka aku akan membantunya di mana pun dengan pemahaman.” Semangat di sana, usaha, ketekunan, daya upaya, tidak mengendur, penuh perhatian, dan dengan pemahaman jernih; ini disebut faktor usaha dalam pemurnian moralitas. ‘Dan apakah, Vyagghapajja, faktor usaha dalam pemurnian pikiran? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini disebut pemurnian pikiran … Semangat [dan seterusnya] di sana; ini disebut faktor usaha dalam pemurnian pikiran. ‘Dan apakah, Vyagghapajja, faktor usaha dalam pemurnian pandangan? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan” … “Ini adalah asal-mula penderitaan” … “Ini adalah lenyapnya penderitaan” … “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.” Ini disebut pemurnian pandangan … Semangat [dan seterusnya] di sana; ini disebut faktor usaha dalam pemurnian pandangan. ‘Dan apakah, Vyagghapajja, faktor usaha dalam pemurnian kebebasan? Siswa mulia itu, dengan memiliki faktor usaha pemurnian moralitas … pikiran … pandangan, meluruhkan nafsu dari pikirannya sehubungan dengan fenomena yang memicu nafsu, dan membebaskan pikirannya dari fenomena yang harus dibebaskan. Setelah melakukan itu, ia menyentuh kebebasan benar. Ini disebut pemurnian kebebasan. [Ia berpikir:] “Aku akan memenuhi bentuk pemurnian itu yang ketika belum terpenuhi, atau ketika telah terpenuhi, maka aku akan membantunya di mana pun dengan pemahaman.” Semangat di sana, usaha, ketekunan, daya upaya, tidak mengendur, penuh perhatian, dan dengan pemahaman jernih; ini disebut faktor usaha dalam pemurnian kebebasan.’195
Dalam urutan ini, pemurnian pandangan adalah penglihatan pada empat kebenaran mulia, yang seperti kita lihat di atas, biasanya berhubungan dengan pemasuk-arus.196 ‘Pemurnian pandangan’ dalam kelompok empat ini menempati tempat yang sama di mana ketujuh pemurnian menyebutkan tiga faktor: pemurnian pandangan, mengatasi keragu-raguan, dan pengetahuan & penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan. Ini bersesuaian persis dengan ketiga belenggu yang ditinggalkan oleh pemasuk-arus – pandangan identitas, keragu-raguan, dan kesalah-pahaman pada upacara & ritual.
Sebuah bacaan yang mungkin adalah bahwa ketiga pemurnian ini merupakan suatu penjelasan yang diperluas dari pemurnian pandangan, yang memerinci urutan di mana belenggu-belenggu ini ditinggalkan selama perjalanan vipassanā yang memuncak dalam penglihatan pada empat kebenaran mulia. Setelah dengan jelas melihat apa sang jalan itu, sang pemasuk-arus berada dalam posisi untuk menyempurnakan pemurnian pengetahuan & penglihatan pada sang jalan. Hal ini menempati posisi yang sama dalam urutan seperti halnya ‘kejijikan’ dan ‘peluruhan’ di tempat lain. Sebelumnya kita perhatikan bahwa hal ini berhubungan secara eksklusif pada tingkat-tingkatan mulia; dan dalam paragraf di atas juga, teks berubah dari ‘bhikkhu’ menjadi ‘siswa mulia’ untuk pemurnian akhir, meluruhnya nafsu setelah melihat empat kebenaran mulia.197 Pengembangan pandangan terang memuncak pada pemurnian pengetahuan & penglihatan, di sini pasti pengetahuan & penglihatan yang berhubungan dengan Kearahantaan.198
Gagasan komentar bahwa ketujuh tingkat ini diselesaikan oleh pemasuk-arus, dan bahwa pencapai jalan yang lebih tinggi mengulangi kembali, setiap kalinya mengulangi urutan pengetahuan-pengetahuan vipassanā,199 tidak didukung oleh sutta-sutta dan bertentangan dengan teks-teks dan perumpamaan-perumpamaan dasar, yang mengatakan kemajuan satu arah dan setahap demi setahap. Tujuan mengembangkan pemurnian pengetahuan & penglihatan bukanlah untuk pemurnian pandangan terang lebih jauh melalui jalan-jalan yang lebih tinggi, melainkan untuk mencapai Nibbana akhir tanpa kemelekatan.
Sekarang adalah benar bahwa dalam kehidupan nyata segala sesuatu tidaklah selalu lurus secara langsung, dan kausalitas Buddhis bergantung pada nuansa-nuansa dan akibat-akibat ini. Tetapi hal ini bukan berarti kita berkuasa untuk menyimpulkan interpretasi-interpretasi tanpa landasan tekstual. Urutan-urutan Rathavinīta jelas dimaksudkan untuk mengungkapkan urutan kondisional utama dari praktik, yang mana elemen-elemen lain – faktor-faktor tambahan, umpan balik, dan sebagainya – harus dianggap sebagai lebih rendah.
Interpretasi ini agak sedikit rumit dibandingkan dengan sembilan pemurnian yang disebutkan dalam Dasuttara Sutta, yang menambahkan pemurnian pemahaman dan pemurnian kebebasan pada ketujuh ini.200 Dua tambahan ini, hanya muncul dalam sutta terakhir dan formalistis ini, mungkin dapat dibaca sebagai penjelasan yang diperluas dari pemurnian pengetahuan & penglihatan.
Walaupun interpretasi persis dari tingkat-tingkatan pandangan terang yang membebaskan tidak berpengaruh pada pentingnya jhāna sebagai pemurnian pikiran dan mendahului semua tingkat-tingkatan ini.
Pemurnian pandangan dapat dijelaskan dari sudut berbeda.
Seorang bhikkhu tertentu mendatangi bhikkhu lain dan bertanya: ‘Apakah yang dirujuk oleh “penglihatan yang murni sempurna”? Bhikkhu itu menjawab: ‘Ketika seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya asal-mula dan berakhirnya enam landasan kontak …’ Tidak puas dengan penjelasan itu, ia mendatangi bhikkhu lain, yang menjawab: ‘Ketika seorang bhikkhu memahami … kelima kelompok unsur kehidupan …’ dan bhikkhu lain lagi menjawab: ‘Ketika seorang bhikkhu memahami … empat unsur utama …’ dan bhikkhu lainnya lagi menjawab: ‘Ketika seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan, semua itu tunduk pada lenyapnya,” itu adalah apa yang dirujuk oleh “penglihatan yang murni sempurna”.
Tidak puas dengan semua jawaban ini, bhikkhu itu mendatangi Sang Bhagavā, yang menjawab: ‘Masing-masing dari mereka menjelaskan bagaimana penglihatan dimurnikan menurut watak mereka masing-masing, dengan cara yang sama penglihatan mereka dimurnikan.’201
Kemudian Sang Buddha melanjutkan dengan memberikan perumpamaan kota yang telah diberikan di atas, menunjukkan bahwa semua cara melihat realitas disampaikan kepada pikiran melalui samatha dan vipassanā. Pemurnian mengatasi keragu-raguan merujuk pada keragu-raguan seperti: ‘Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku? Apakah aku akan ada di masa depan?’ semua spekulasi itu adalah berdasarkan pada gagasan diri yang kekal. Melihat Bhikkhu Revata yang ragu-ragu dalam meninjau kembali pemurniannya pada mengatasi keragu-raguan, Sang Buddha berkata:
‘Keragu-raguan apa pun tentang dunia ini atau dunia selanjutnya Perasaan diri sendiri atau orang lain [tentang pandangan-pandangan] Hati kehidupan suci meninggalkannya semua Dengan tekun melatih jhāna.’202
Ungkapan inspiratif Sang Buddha yang pertama setelah pencerahannya menjelaskan bagaimana Beliau mengatasi keragu-raguan melalui penglihatan pada kondisi-kondisi. Keluar dari samādhi tujuh hari tercerap dalam ‘kebahagiaan kebebasan’, Beliau merenungkan kemunculan bergantungan dan mengucapkan syair-syair berikut ini.
‘Ketika dhamma-dhamma bermanifestasi sepenuhnya Pada brahmana yang tekun dalam jhāna Maka keragu-raguannya semua lenyap Karena ia memahami dhamma-dhamma dan penyebab-penyebabnya. ‘Ketika dhamma-dhamma bermanifestasi sepenuhnya Pada brahmana yang tekun dalam jhāna Maka keragu-raguannya semua lenyap Karena ia telah merealisasi menguapnya kondisi-kondisi. ‘Ketika dhamma-dhamma bermanifestasi sepenuhnya Pada brahmana yang tekun dalam jhāna Ia berdiri menghalau gerombolan Māra Bagaikan matahari yang menerangi angkasa.’203
‘Pengetahuan dan penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan’ tampaknya hanya muncul dalam satu paragraf lain. Dalam paragraf ini, kata ‘semesta’ adalah istilah teknis bagi samādhi yang berdasarkan pada persepsi suatu elemen warna.204
‘Ini dikatakan, Bhante, oleh Sang Bhagavā dalam Pertanyaan Gadis Cilik”:
“Pencapaian tujuan, kedamaian pikiran Setelah menaklukkan bala tentara, yang tampak indah dan menyenangkan Sendirian, melakukan jhāna, aku tercerahkan pada kebahagiaan Oleh karena itu saya tidak bergabung dengan orang-orang Kebersamaan dengan siapa pun bukanlah untukku.”
‘Bhante, bagaimanakah makna terprinci dari pernyataan singkat oleh Sang Bhagavā ini dipahami?’ ‘Saudari, beberapa petapa dan brahmana, melampaui pencapaian semesta-tanah, menjadikan itu sebagai tujuan. Tetapi jangkauan keunggulan dalam pencapaian semesta-tanah diketahui secara langsung oleh Sang Bhagavā. Dengan secara langsung mengetahui demikian, Beliau melihat awal, bahaya, jalan membebaskan diri dan pengetahuan & penglihatan pada apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan jalan.'' BagiNya, karena melihat hal-hal ini, pencapaian tujuan, kedamaian pikiran, diketahui.’ [Dan seterusnya untuk sembilan semesta lainnya, diakhiri dengan semesta-kesadaran.]205
Maka pengetahuan ini melibatkan mengembangkan pandangan terang ke dalam samādhi berdasarkan pada pengalaman langsung. Ketujuh pemurnian demikian melibatkan samādhi, bukan sekedar sebagai pra-kondisi bagi pandangan terang pada pemurnian pikiran, melainkan pada tiap-tiap langkah pengembangan pandangan terang, khususnya termasuk tingkat-tingkatan pandangan terang yang berhubungan dengan tingkat memasuki-arus.
Penutup
Dalam bab ini kita telah mempelajari sifat dari hubungan kondisional yang mengatur jalan paktik. Sang jalan memasukkan prinsip-prinsip Dhamma dalam bentuk praktis. Praktik dan teori Dhamma hanya dapat dipisahkan secara sementara; bagi para praktisi yang tulus setiap saat adalah perenungan Dhamma. Ketenangan yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari dan dalam meditasi mereka adalah bukti pengalaman atas keringnya banjir kekotoran.
‘Ketika langit mencurahkan hujan dalam tetes-tetesan besar di puncak gunung, airnya mengalir ke bawah dan memenuhi celah dan retakan. Ketika celah dan retakan gunung itu penuh, maka air itu memenuhi kolam-kolam kecil. Ketika kolam-kolam kecil penuh, air itu memenuhi kolam-kolam besar. Ketika kolam-kolam besar penuh, air itu memenuhi sungai-sungai kecil. Ketika sungai-sungai kecil penuh, air itu memenuhi sungai-sungai besar. Ketika sungai-sungai besar penuh, air itu memenuhi samudera raya.’206
Latihan bertahap mempraktikkan sang jalan yang dijelaskan di atas dalam abstrak. Karena ini adalah suatu contoh, bukan suatu prinsip universal, maka adalah wajar jika terdapat beberapa variasi ketika diterapkan pada kompleksitas dunia nyata. Tidak semua orang akan mencapai semua yang dijelaskan di sini; misalnya, bukanlah suatu keharusan untuk mengembangkan kekuatan batin. Namun demikian, keunggulan latihan bertahap dan peran utamanya dalam memperlihatkan bekerjanya sang jalan secara terperinci menyumbangkan otoritas tingginya. Sesungguhnya, pengembangan seluruh faktor kunci dari latihan bertahap dikatakan sebagai perlu untuk meninggalkan penderitaan.207 Sang Buddha menekankan bahwa tiap-tiap tahap latihan harus diselesaikan agar si praktisi berhasil maju pada tahap selanjutnya.208
Dari semua versi latihan bertahap209 tidak satu pun yang dapat menandingi Sāmaññaphala Sutta. Khotbah yang sangat panjang ini adalah catatan percakapan antara Sang Buddha dengan Raja Ajātasattu yang baru diangkat. Ini adalah sebuah khotbah yang benar-benar agung, sebuah literatur klasik, and sebuah tragedi dengan proporsi dongeng. Kekuatannya diperkuat oleh fakta bahwa pergulatan psikologis putus-asa dari sang raja yang berada di latar-belakang, hampir tidak disebutkan dalam khotbah. Demi keringkasan, sayangnya, kita harus puas dengan versi ringkas daripada terjemahan lengkap. Sang raja, yang tersiksa oleh penyesalan atas suatu kejahatan berat, bertanya kepada Sang Buddha tentang kebahagiaan.
‘Bhante, berbagai para ahli dan pekerja menikmati di sini & saat ini buah yang terlihat dari keterampilan mereka, membawa kenikmatan dan kegembiraan kepada mereka dan keluarga mereka, dan menyokong para bhikkhu, yang menuntun menuju kebahagiaan di alam surga. Mungkinkah, Bhante, untuk menunjukkan buah demikian dari kehidupan pertapaan yang terlihat di sini & saat ini, yang berhubungan dengan kehidupan ini?’ ‘Mungkin saja, Baginda … Di sini, seorang Tathagata muncul di dunia, seorang Arahant, seorang Buddha yang tercerahkan sempurna, sempurna dalam pencapaian dan perilaku, maha mulia, pengenal segenap alam, pelatih yang tanpa tandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau mengungkapkan dunia ini dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, generasi ini dengan para petapa dan brahmana, para pangeran dan penduduk, setelah menyaksikannya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di tengah, indah di akhir, yang penuh makna dan kata-kata yang baik, dan Beliau membabarkan kehidupan suci yang lengkap dan murni sepenuhnya. ‘Seorang perumah tangga mendengar Dhamma itu dan memperoleh keyakinan pada Sang Tathagata. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: “Kehidupan rumah tangga terkekang dan kotor, tetapi kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah selagi berdiam dalam rumah menjalani kehidupan suci yang lengkap dan murni sepenuhnya bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah celupan dan meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?” dan setelah beberapa lama, setelah meninggalkan sejumlah kekayaan yang banyak atau sedikit, setelah meninggalkan sanak keluarga yang banyak atau sedikit, ia meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah. ‘Ketika ia telah meninggalkan keduniawian ia berdiam dengan terkendali dalam aturan-aturan monastik, sempurna dalam perilaku dan tempat-tempat yang biasa dikunjungi, melihat bahaya bahkan dalam kesalahan terkecil, berlatih dalam aturan-aturan yang telah ia terima; memiliki perbuatan jasmani dan ucapan; dengan penghidupan yang murni; sempurna dalam moralitas; dengan pintu-pintu indria terjaga; memiliki perhatian dan pemahaman jernih; merasa puas. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas? ‘Di sini seorang bhikkhu telah meninggalkan perbuatan membunuh makhluk-makhluk hidup, ia telah meletakkan tongkat pemukul dan pedang, dan berdiam dengan berbelas kasihan demi kesejahteraan semua makhluk hidup … ‘Ia telah meninggalkan perbuatan mencuri, mengambil hanya apa yang diberikan … ‘Ia telah meninggalkan apa yang bukan kehidupan suci, hidup jauh dari perbuatan seksual yang vulgar … ‘Ia telah meninggalkan ucapan salah, mengatakan apa yang benar dan dapat dipercaya, bukan penipu dunia … ‘Ia telah meninggalkan ucapan yang memecah-belah, bergembira dan bersukacita dalam kerukunan … ‘Ia telah meninggalkan ucapan kasar, mengatakan apa yang menyenangkan di telinga, masuk ke dalam hati, indah dan menyenangkan banyak orang … ‘Ia telah meninggalkan gosip, mengatakan apa yang benar dan bermakna pada waktu yang tepat … ‘Ia makan satu kali sehari … ‘Ia menghindari menari, bernyanyi, memainkan musik, dan melihat pertunjukan … ‘Ia menghindari menerima emas dan uang … ‘Ia menghindari menyimpan makanan dan kepemilikan materi … ‘Ia menghindari memberi petunjuk dan saran, menggunakan benda-benda materi untuk memperoleh benda-benda materi lainnya … ‘Ia menghindari mencari penghidupan melalui berbagai ilmu remeh seperti menafsirkan pertanda dan mimpi, meramal, membaca garis tangan, astrologi, matematika, puisi dan pelajaran duniawi, tata ruang [feng shui], dan pengobatan … ‘Dan demikianlah, Baginda, seorang bhikkhu yang sempurna demikian dalam moralitas, bagaikan seorang pemimpin prajurit tanpa musuh, tidak takut melihat segala penjuru. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini ia mengalami kebahagiaan tanpa cela dalam dirinya … ‘Dan bagaimanakah, Baginda, seorang bhikkhu menjaga pintu-pintu indrianya? ‘Ketika melihat suatu bentuk dengan mata; mendengar suara dengan telinga; mencium suatu bau dengan hidung; mengecap suatu rasa dengan lidah; menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan; dan mencerap suatu fenomena dengan pikiran ia tidak menggenggam ciri-ciri umum maupun khususnya. Karena jika ia tidak mengendalikan organ-organ indrianya maka ia mungkin dapat diliputi oleh keinginan dan penolakan, oleh kualitas-kualitas buruk dan tidak bermanfaat, ia melatih pengendalian dan menjaga organ-organ indrianya. Dengan memiliki kelompok pengendalian indria mulia ini, ia mengalami kebahagiaan tanpa cela dalam dirinya … ‘Dan bagaimanakah, Baginda, seorang bhikkhu memiliki perhatian dan pemahaman jernih? ‘Di sini, seorang bhikkhu bertindak dengan pemahaman jernih ketika pergi dan pulang; ketika melihat ke depan atau ke samping; ketika membungkuk atau meregangkan bagian-bagian tubuhnya; ketika membawa jubah dan mangkuk; ketika makan dan minum; ketika buang air kecil dan air besar; ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri. ‘Dan bagaimanakah, Baginda, seorang bhikkhu merasa puas? ‘Di sini, seorang bhikkhu puas dengan jubahnya untuk melindungi tubuhnya dan makanan untuk memelihara perutnya. Ke manapun ia pergi, ia hanya membawa hal-hal ini dengannya, bagaikan seekor burung yang terbang, hanya terbebani oleh sayap-sayapnya … ‘Dan demikianlah, Baginda, dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, pengendalian indria mulia ini, perhatian dan pemahaman jernih mulia ini, dan kepuasan mulia ini ia mendatangi tempat kediaman yang terasing – ke hutan rimba, bawah pohon, gunung, belantara, gua, tanah pekuburan, hutan kecil, ruang terbuka, atau tumpukan jerami. Kemudian setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia duduk bersila, menegakkan tubuh, dan menegakkan perhatian di depannya. ‘Setelah meninggalkan keinginan ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari keinginan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kemarahan, ia berbelas kasihan demi kesejahteraan semua makhluk hidup. Setelah meninggalkan kelambanan & ketumpulan, ia mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih. Setelah meninggalkan kegelisahan & penyesalan ia berdiam dengan tenang, dengan pikiran tenang. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia tidak bimbang sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat. Ia memurnikan pikirannya dari kelima rintangan ini. ‘Ketika seorang penghutang melunasi hutangnya, atau seorang yang sakit menjadi sembuh, atau seorang yang dipenjara dibebaskan, atau seorang budak dibebaskan, atau seorang pengembara yang berjalan di padang pasir mencapai tempat yang aman, untuk alasan itu mereka akan memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu merenungkan kelima rintangan ini ketika belum ditinggalkan dari dalam dirinya sebagai hutang, sakit, terpenjara, budak, perjalanan di padang pasir. Ia merenungkan kelima rintangan ini ketika telah ditinggalkan dari dalam dirinya sebagai tanpa hutang, sehat, terbebas dari penjara, kebebasan, tempat aman. ‘Pada seorang yang merenungkan ditinggalkannya kelima rintangan dalam dirinya, maka kegembiraan muncul. pada seorang yang gembira, maka sukacita muncul. pada seorang yang pikirannya bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang jasmaninya tenang merasakan kebahagiaan. Pikiran dari seorang yang berbahagia memasuki samādhi. ‘Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Ia merendam, membasahi, mengisi, dan meliputi dirinya dengan sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan, sehingga tidak ada bagian yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaan. Seperti halnya seorang petugas mandi yang terampil membuat adonan sebongkah bubuk mandi, keseluruhan bongkahan itu akan basah oleh air namun tidak ada air yang bocor ke luar. Demikian pula ia meliputi dirinya dengan sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Ini, Baginda, adalah buah dari hidup pertapaan yang terlihat di sini & saat ini, yang berhubungan dengan kehidupan ini, yang lebih mulia dan luhur daripada yang telah dijelaskan sebelumnya. ‘Dan kemudian, Baginda, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua. Ia merendam, membasahi, mengisi, dan meliputi dirinya dengan sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari samādhi, sehingga tidak ada bagian yang tidak terliputi. Seperti halnya sebuah kolam air yang tidak menerima pasokan air dari sungai atau hujan; melainkan sebuah mata air memancar dari dasarnya akan merendam, membasahi, mengisi, dan meliputi seluruh kolam dengan air sejuk, sehingga tidak ada bagian kolam yang tidak terliputi oleh air sejuk itu. Demikian pula ia meliputi dirinya dengan sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari samādhi. Ini juga, Baginda, adalah buah yang lebih mulia dan luhur dari kehidupan pertapaan. ‘Dan kemudian, Baginda, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga. Ia merendam, membasahi, mengisi, dan meliputi dirinya dengan kebahagiaan yang hampa dari sukacita, sehingga tidak ada bagian yang tidak terliputi. Seperti halnya teratai yang tumbuh dan berkembang di air tanpa keluar ke permukaan, keseluruhan tanaman itu dari akar hingga pucuknya terendam, basah, dipenuhi dan diliputi oleh air sejuk, sehingga tidak ada bagian dari tanaman itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu. Demikian pula ia meliputi dirinya dengan sukacita dan kebahagiaan yang hampa dari sukacita. Ini juga, Baginda, adalah buah yang lebih mulia dan luhur dari kehidupan pertapaan. ‘Dan kemudian, Baginda, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat. Ia duduk setelah meliputi dirinya dengan pikiran yang murni cerah, sehingga tidak ada bagian yang tidak terliputi dengan pikiran murni cerah. Seperti halnya jika seseorang duduk dengan sepenuhnya ditutupi, termasuk kepalanya, dengan kain putih, sehingga tidak ada bagian dirinya yang tidak terliputi oleh kain puti, demikian pula ia meliputi dirinya dengan pikiran murni cerah. Ini juga, Baginda, adalah buah yang lebih mulia dan luhur dari kehidupan pertapaan. ‘Dan demikianlah ketika pikirannya telah terkonsentrasi demikian dalam samādhi, murni, cerah, bebas dari cela, bebas dari noda, lunak, dapat diarahkan, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya pada pengetahuan & penglihatan. Ia memahami: “Jasmaniku ini adalah materi, tersusun dari empat unsur utama, dihasilkan oleh ibu dan ayah, dibangun dari nasi dan bubur, tunduk pada ketidak-kekalan, pada gesekan, keusangan, kehancuran, dan tercerai-berai; dan kesadaranku ini terjebak dan terikat di dalamnya.” Seperti halnya seorang yang berpenglihatan baik memeriksa permata beryl di tangannya, dengan mengatakan: “Permata beryl ini indah, dibuat dengan baik, jernih, dan transparan; dan melaluinya terlintas sehelai benang biru, kuning, merah, putih atau coklat.” Demikian pula ia mencondongkan pikirannya pada pengetahuan & penglihatan. juga, Baginda, adalah buah yang lebih mulia dan luhur dari kehidupan pertapaan. ‘Dan demikianlah ketika pikirannya telah terkonsentrasi demikian dalam samādhi, murni, cerah, bebas dari cela, bebas dari noda, lunak, dapat diarahkan, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya pada menciptakan tubuh-ciptaan-pikiran … pada mengerahkan berbagai kekuatan batin … pada telinga dewa … pada pengetahuan pikiran makhluk-makhluk lain … pada ingatan kehidupan-kehidupan lampau … pada mata dewa yang melihat kematian dan kemunculan kembali makhluk-makhluk menurut perbuatan mereka … semua ini adalah buah kehidupan pertapaan yang terlihat di sini dan saat ini, berhubungan dengan kehidupan ini, yang lebih mulia dan luhur daripada yang telah dijelaskan sebelumnya. ‘Dan demikianlah ketika pikirannya telah terkonsentrasi demikian dalam samādhi, murni, cerah, bebas dari cela, bebas dari noda, lunak, dapat diarahkan, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya pada pengetahuan menguapnya racun-racun. Ia memahami sebagaimana adanya: “Ini adalah penderitaan” … “Ini adalah asal-mula penderitaan” …” Ini adalah lenyapnya penderitaan” … “Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan” … “Ini adalah racun-racun” … “Ini adalah asal-mula racun-racun” … “Ini adalah lenyapnya racun-racun” … “Ini adalah jalan menuju lenyapnya racun-racun.” Baginya dengan mengetahui & melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari racun-racun kenikmatan indria, penjelmaan, dan kebodohan. Ketika terbebaskan ia mengetahui: “Terbebaskan.” Ia memahami: “Kelahiran telah menguap; kehidupan suci telah dijalani; apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan kembali pada kondisi kehidupan ini.” ‘Seperti halnya, Baginda, terdapat sebuah kolam di gunung, jernih dan bersih, seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di tepinya akan melihat bebatuan, kerikil, dan kulit-kulit kerang, dan akan melihat ikan berenang kesana kemari atau diam di tempat … Demikian pula ia mengetahui … “Tidak akan kembali pada kondisi kehidupan ini.” ‘Ini, Baginda, adalah buah kehidupan pertapaan yang terlihat di sini & saat ini, yang berhubungan dengan kehidupan ini, yang lebih mulia dan luhur daripada yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan, Baginda, tidak ada buah kehidupan pertapaan yang lebih mulia dan lebih luhur daripada ini.”210
Raja Ajātasattu adalah satu contoh sempurna bagi dilema masyarakat duniawi yang mencari kedamaian batin. Ia jelas memiliki potensi spiritual yang besar, dan menghormati mereka yang menekuni jalan meninggalkan keduniawian. Tetapi, karena terpengaruh oleh bhikkhu jahat Devadatta, ia telah membunuh ayahnya Raja Bimbisāra, seorang pemasuk-arus, demi tahta, dengan demikian menghancurkan kesempatannya melihat Dhamma. Adalah karena konflik yang tak terhindarkan antara ambisi duniawi dan cita-cita spiritual maka Sang Buddha menekankan pada jalan meninggalkan keduniawian.
Latihan bertahap adalah paradigma kunci bagi praktik monastik. Kecermatan dan perhatian pada pemurnian perilaku, keterasingan, pengendalian, kepuasan, dan disiplin, hari demi hari, tahun demi tahun, memberikan kondisi pendukung optimal bagi kondisi pikiran yang murni yang menuntun ke arah kebebasan. Begitu eratnya hubungan antara meditasi dan kehidupan terasing di dalam hutan sehingga keduanya sebetulnya sama, seperti dalam kritik Sang Buddha pada para brahmana berikut ini, yang sayangnya meramalkan jalan yang akan dilalui oleh Buddhisme. Terdapat suatu permainan kata Pali: kata terpelajar (ajjhāyaka) juga bermakna ‘meditator tanpa-jhāna’.
‘Mereka membangun gubuk-gubuk daun di hutan dan berlatih jhāna di dalamnya. Mereka pergi ke kota atau desa untuk mengumpulkan dana makanan … dan kemudian kembali ke gubuk mereka dan berlatih jhāna. Orang-orang melihat hal ini dan memperhatikan bagaimana mereka bermeditasi sehingga mereka memperkenalkan gelar “meditator jhāna” bagi mereka … Tetapi beberapa di antara mereka, karena tidak mampu melakukan jhāna, menetap di sekitar kota dan desa dan menggubah naskah-naskah. Orang-orang melihat mereka melakukan hal ini dan tidak bermeditasi, sehingga mereka memperkenalkan gelar “kaum terpelajar” bagi mereka … Pada masa itu hal ini dianggap sebagai gelar rendah, tetapi sekarang menjadi lebih tinggi.’211
Akan tetapi, Sang Buddha tidak pernah memaksa para pengikutnya harus meninggalkan kehidupan awam. Seperti dalam segala hal, Beliau mengandalkan kematangan individual untuk memilih jalan perbuatan yang sesuai. Bagi mereka yang memiliki untuk tetap menjalani kehidupan rumah tangga, Beliau akan menunjukkan bagaimana menjalani kehidupan itu dengan baik, untuk mengendalikan kekotoran-kekotoran, dan untuk secara bertahap condong ke arah Dhamma. Apakah awam atau monastik, praktik Dhamma, pada intinya, adalah sama.
‘Ada lima hal yang mendorong lenyapnya Dhamma sejati. Apakah lima ini? Ketika para bhikkhu dan bhikkhunī, umat awam laki-laki dan perempuan hidup dengan tidak menghargai dan tidak menghormati Buddha … Dhamma … Sangha … latihan … samādhi.’212
Perbedaan antara umat awam dan monastik hanya dalam hal perilaku moral; yaitu, pada perbuatan jasmani dan ucapan. Dunia pikiran, walaupun bergantung pada moralitas, namun terletak di luarnya, mengikuti prinsip-prinsip alami di mana gaay hidup, jenis kelamin, ras, atau kebangsaan ditinggalkan. Bhikkhunī Somā secara tegas mengatakan hal ini ketika mencela ejekan Māra tentang ‘pemahaman dua jari’ dari seorang perempuan.
‘Apakah pentingnya perempuan Ketika pikiran terkonsentrasi baik dalam samādhi Ketika pengetahuan mengalir mantap Saat seseorang dengan benar melihat Dhamma dengan vipassanā? ‘Seseorang yang padanya hal ini muncul “Aku adalah perempuan” atau “aku adalah laki-laki” Atau “ aku adalah sesuatu” Adalah layak diajak bicara oleh Māra’213
Latihan bagi umat awam adalah serupa dalam hal prinsip dengan latihan monastik. Dalam kedua kasus Sang Buddha mendorong kita untuk menghindari ‘jalan yang salah’.
‘Para bhikkhu, Aku tidak memuji praktik salah baik bagi perumah tangga ataupun mereka yang meninggalkan keduniawian … Apakah praktik salah? Pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, samādhi salah.’214
Sementara Sang Buddha menekankan dasar-dasar kedermawanan, keyakinan, dan moralitas bagi umat awam, Beliau mendorong mereka untuk maju lebih jauh daripada itu dan, seperti halnya monastik, untuk berusaha mengembangkan kebahagiaan meditasi.
‘Perumah tangga, engkau telah menyediakan jubah, dana makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan untuk Sangha para bhikkhu, namun engkau tidak boleh puas hanya dengan itu. Oleh karena itu engkau harus berlatih: “Ayo, dari waktu ke waktu aku harus masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.”’215
Walaupun dalam Buddhisme konvensional komunitas umat awam umumnya didorong untuk melatih kedermawanan dan moralitas, namun sering kali dilupakan bahwa praktik-praktik baik ini menghasilkan manfaat tertinggi ketika mereka melakukan meditasi mendalam. Dalam paragraf berikut, perempuan bijaksana Visākhā menjelaskan kepada Sang Buddha mengapa ia memohon hak untuk menyediakan delapan jenis benda kebutuhan kepada Sangha di Sāvatthī.
‘Bhante, ketika para bhikkhu datang ke Sāvatthī pada saat masa vassa telah selesai untuk bertemu dengan Sang Bhagavā, mereka akan mendatangi Sang Bhagavā dan bertanya: “Bhante, seorang bhikkhu itu telah meninggal dunia – bagaimanakah takdirnya, perjalanan masa depannya?” Sang Bhagavā akan menjelaskan hal itu sebagai buah memasuki-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, atau Kearahantaan. Aku akan mendatangi mereka dan bertanya: “Bhante, apakah Yang Mulia itu pernah datang ke Sāvatthī? Jika mereka menjawab “Pernah”, maka aku akan berkesimpulan bahwa pasti Yang Mulia itu menggunakan jubah hujan, atau makanan bagi mereka yang datang atau pergi, atau makanan bagi yang sakit atau mereka yang merawat yang sakit, atau obat-obatan bagi yang sakit, atau bubur. Dengan mengingat hal itu, kegembiraan akan muncul padaku. Karena gembira, maka sukacita akan muncul padaku. Karena bersukacita, maka jasmaniku menjadi tenang. Karena jasmani yang tenang, aku akan merasakan kebahagiaan. Karena berbahagia, maka pikiranku akan memasuki samādhi. Hal itu akan mengembangkan indria-indria spiritual, kekuatan-kekuatan spiritual, dan faktor-faktor pencerahan dalam diriku. Melihat manfaat ini, Bhante, aku memohon delapan kemurahan ini dari Sang Tathagata.’ ‘Sadhu! Sadhu! Sadhu!. Baik sekali bahwa dengan melihat manfaat ini engkau memohon delapan kemurahan ini dari Sang Tathagata. Aku memperbolehkan engkau, Visākhā, memperoleh delapan kemurahan ini.’216
Pada zaman modern, para guru vipassanā sering kali berkata bahwa ke-diam-an mendalam dari meditasi samatha tidaklah cocok untuk para praktisi awam. Akan tetapi, walaupun umat awam berlatih satipaṭṭhāna ‘dari waktu ke waktu’,217 namun tidak pernah dipilih sebagai cocok untuk mereka. Satipaṭṭhāna Samyutta mencatat satipaṭṭhāna diajarkan kepada umat awam hanya dalam dua kejadian – keduanya ditujukan kepada yang-tidak-kembali menjelang mereka meninggal dunia.218 Secara lebih umum, para meditator awam didorong untuk mengembangkan kediaman brahma atau enam perenungan.
Sang Buddha tidak pernah mengajarkan retreat meditasi awam atau mendirikan pusat meditasi awam. Retreat intensif tampaknya hanya untuk monastik. Hal ini cukup selaras dengan latihan bertahap, yang melihat keadaan pikiran yang lebih tinggi yang muncul, bukan dari usaha keras selama jangka waktu yang singkat dalam kondisi terpisah dari kehidupan sehari-hari yang dibuat-buat, melainkan dari gaya hidup holistik yang sederhana, kepuasan, dan pengendalian. Ciri yang membedakan pengajaran Buddha adalah salah satu ‘monumen Dhamma’ yang dinyatakan oleh Raja Pasenadi.
‘Bhante, saya melihat beberapa petapa dan brahmana yang menjalani kehidupan suci secara terbatas selama sepuluh, dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun, dan kemudian pada kesempatan lain saya melihat mereka berpenampilan rapi dan diminyaki dengan baik, dengan rambut dan janggut dipotong rapi, memuaskan diri mereka dengan menikmati kelima utas kenikmatan indria. Tetapi di sini saya melihat para bhikkhu menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna seumur hidup.’219
Dalam retreat meditasi Theravada, para meditator biasanya akan menerima janji pertapaan yang agak lunak berupa delapan aturan selama retreat berlangsung, yang termasuk tidak makan setelah tengah hari. Melewatkan makan malah bagi beberapa orang adalah pertapaan yang keras; tetapi bagi beberapa lainnya ini adalah kesempatan untuk mengurangi berat badan. Berikut ini adalah lelucon Sang Buddha tentang manfaat-manfaat spiritual dari kelaparan sekali-sekali.
‘[Beberapa petapa] makan satu kali dalam sehari …. atau satu kali dalam seminggu … atau sekali dalam dua minggu; mereka berdiam dengan melakukan praktik makan pada interval yang telah ditentukan.’ ‘Tetapi apakah mereka bertahan dengan begitu sedikit, Aggivessana?’ ‘Tidak, Guru Gotama. Kadang-kadang mereka memakan berbagai jenis makanan enak, makanan lezat, dan minuman-minuman. Dengan itu mereka mendapatkan kembali kekuatan mereka, membentengi diri mereka, dan menjadi gemuk.’ ‘Apa yang mereka tinggalkan sebelumnya, Aggivessana, belakangan mereka ambil kembali. Itulah maka terjadi peningkatan dan penurunan tubuh ini.’220
Bukannya terjun ke dalam kehidupan spiritual pada meditasi intensif, umat-umat awam didorong untuk melewatkan satu hari dalam seminggu di vihara, menjalankan delapan sila, mendengarkan Dhamma, dan berlatih meditasi. Praktik ini masih berlanjut di beberapa tempat pada masa sekarang ini.
‘Sekarang apakah kalian para Sakya menjalankan hari Uposatha dengan menjaga delapan sila?’ ‘Ya, kadang-kadang kami melakukannya, Bhante, dan kadang-kadang tidak.’ ‘Tidaklah menguntungkan bagi kalian, adalah kerugian bahwa dalam kehidupan ini dengan ketakutan pada kesedihan, ketakutan pada kematian, kalian kadang-kadang menjalankan hari Uposatha dan kadang-kadang tidak. Bagaimana menurut kalian, para Sakya? … Bagaimana jika seseorang hari demi hari mendapatkan seratus dolar, seribu dolar dan menyimpan pendapatannya sepanjang hidupnya yang selama seratus tahun, akankah ia memiliki banyak kekayaan?’ ‘Benar, Bhante.’ ‘Baik, akankah orang itu berkat kekayannya, karena kekayaannya, berdiam senantiasa mengalami kebahagiaan selama sehari semalam? Atau setengah hari?’ ‘Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Kenikmatan indria, Bhante, adalah tidak kekal, hampa, palsu, dan menipu.’ ‘Di sini, para Sakya, salah satu siswaKu berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh, berlatih menuruti instruksiKu … selama sehari semalam akan berdiam senantiasa mengalami kebahagiaan selama seratus tahun, seratus kali seratus tahun, seratus kali seribu tahun. Dan ia akan menjadi seorang yang-kemnbali-sekali, seorang yang-tidak-kembali, atau tidak perlu ditanya, seorang pemasuk-arus. Tidaklah menguntungkan bagi kalian, adalah kerugian bahwa dalam kehidupan ini dengan ketakutan pada kesedihan, ketakutan pada kematian, kalian kadang-kadang menjalankan hari Uposatha dan kadang-kadang tidak.’ ‘Mulai hari ini dan seterusnya, Bhante, kami akan menjalankan hari Uposatha dengan menjaga sila.’
Beberapa umat awam terampil bahkan dalam pencapaian tertinggi meditasi. Di sini, Uttarā Nandamātā, umat awam perempuan yang terkemuka dalam hal praktik jhāna, menjelaskan kepada Yang Mulia Sāriputta tentang bagaimana ia mengetahui sebelumnya kedatangan Sangha. Sesosok dewa yang kebetulan lewat, sebagai pemasuk-arus saudara laki-laki Nandamātā dalam Dhamma, berhenti untuk mendengarkan ucapannya.221
‘Setelah bangun pada malam sebelum fajar, Bhante, dan setelah membacakan “Jalan menuju Seberang,”222 aku berdiam diri. Kemudian Raja Dewa Vessavaṇa memahami bahwa aku telah selesai membaca, mengucapkan selamat kepadaku: “Sadhu, Saudari! Sadhu, Saudari!” ‘”Tetapi siapakah yang berpenampilan agung ini?” ‘”Aku, Saudari, adalah saudaramu, Raja Dewa Vessavaṇa.” ‘”Sadhu, Yang Mulia! Semoga kalimat Dhamma yang telah kubacakan itu menjadi persembahan untukmu.” ‘”Sadhu, Saudari! Maka biarlah ini menjadi persembahan untukku: besok Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sāriputta dan Moggallāna akan tiba di sini di Veḷukaṇṭaka sebelum makan. Setelah memberi makan kepada Sangha para bhikkhu semoga engkau mempersembahkan persembahan itu kepadaku, maka itu akan menjadi persembahan untukku.” ‘Maka biarlah jasa atas persembahan ini demi kebahagiaan Raja Dewa Vessavaṇa.’ ‘Sungguh mengagumkan, Nandamātā, sungguh menakjubkan bahwa engkau dapat berbicara langsung dengan Raja Dewa Vessavaṇa, dewa yang memiliki daya dan kekuatan yang besar!’ ‘Ini bukan satu-satunya kualitas mengagumkan dan menakjubkan dari saya, Bhante … Ketika penguasa untuk alasan tertentu mengambil puteraku yang tercinta dengan paksa dan membunuhnya … Aku tahu tidak ada perubahan dalam pikiranku … ‘Ketika suamiku, yang telah meninggal dunia dan muncul kembali di alam hantu, memperlihatkan dirinya padaku dalam bentuk lamanya, Aku tahu tidak ada perubahan dalam pikiranku karena hal itu … ‘Sejak aku masih gadis yang dibawa kepada suamiku yang masih muda, aku tahu tidak ada pengkhianatan padanya dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan? … ‘Sejak aku menyatakan diriku sebagai seorang umat awam, aku tahu tidak ada pelanggaran yang disengaja terhadap aturan latihan … ‘Sejauh yang kukehendaki, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … ‘Aku tidak melihat satu pun dari kelima belenggu yang lebih rendah yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang belum ditinggalkan dari dalam diriku …’ ‘Mengagumkan, Nandamātā! Menakjubkan, Nandamātā!’223
Demikianlah para siswa awam yang maju yang mencapai tingkat-tingkatan itu dengan mengikuti latihan harian yang komprehensif yang sebisa mungkin menyerupai jalan monastik. Sang Buddha menyuruh Ānanda menjelaskan hal ini.
‘Ānanda, jelaskanlah praktik seorang pelajar kepada para Sakya dari Kapilavatthu …’ ‘Di sini, Mahānāma, seorang siwa mulia adalah bermoral, menjaga organ-organ indrianya, makan secukupnya, dan menekuni kesadaran. Ia memiliki tujuh kualitas baik (keyakinan, nurani, ketakutan akan perbuatan-salah, pembelajaran, kegigihan, perhatian, dan pemahaman) dan sesuai kehendaknya ia tanpa kesusahan atau kesulitan mencapai empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan kediaman yang berbahagia di sini & saat ini …’224
Beberapa orang mengatakan bahwa zaman telah berubah dan tidak lagi mungkin menemukan ketenangan dan keterasingan yang diperlukan bagi samādhi mendalam. Hal ini ada benarnya, dengan berkurangnya hutan-hutan dan berkembangnya teknologi dan polusi suara. Tetapi hal ini memang selalu sulit, dan seharusnya tidak menghentikan usaha kita. Bahkan pada masa sekarang ini terdpat puluhan ribu Bhikkhu, Bhikkhuni, dan umat awam Buddhis yang terus-menerus atau selama jangka waktu tertentu hidup dalam tempat yang damai dan terasing yang cocok untuk bermeditasi. Sebagian besar tempat ini, pada masa sekarang ini, memiliki kamar-kamar kosong atau gubuk-gubuk kosong untuk siapa pun yang ingin berlatih.
‘Hiduplah dengan menikmati retreat, para bhikkhu, hiduplah dengan bergembira dalam retreat, kembangkanlah samatha pikiran, jangan melalaikan jhāna, miliki vipassanā, dan sering mengunjungi tempat-tempat kosong. Jika kalian melakukan hal itu, salah satu dari dua buah dapat diharapkan – pengetahuan mendalam di sini & saat ini atau, jika masih ada kekotoran tersisa, buah tingkat yang-tidak-kembali.225
‘Seorang bhikkhu yang mengembangkan dan mementingkan empat jhāna miring, mengalir, dan condong ke arah Nibbana.’
~ Sang Buddha, SN 53.1
Mengapakah demikian? Sang Buddha sering memuji jhāna-jhāna sebagai ‘kediaman yang bahagia di sini & saat ini’. Apakah ini menyiratkan bahwa jhāna-jhāna hanyalah pelarian, suatu bentuk halus dari keburukan keterasingan? Mengapakah jhāna-jhāna membahagiakan? Untuk memahami ini, kita pertama-tama harus mempertimbangkan sifat kenikmatan. Sang Buddha menjelaskan perbedaan antara sensualitas yang dianggap sebagai kenikmatan di dunia, dan kedamaian pikiran yang Beliau sendiri lihat sebagai sumber kebahagiaan sejati.
‘Terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk terlihat yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menggoda, menyenangkan, berhubungan dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.’226 ‘Misalkan, Aggivessana, terdapat sebuah gunung tinggi tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan dua sahabat meninggalkan desa atau pemukiman itu dan mendatangi gunung itu bersama-sama. Setelah sampainya, salah satu sahabat tetap berada di kaki gunung sedangkan yang lainnya mendaki ke puncaknya. Kemudian sahabat yang tetap berada di kaki gunung akan berkata kepada temannya yang berada di puncak: “Baiklah, sahabat, apakah yang engkau lihat, dengan berdiri di puncak gunung?” dan yang lainnya menjawab: “Aku melihat taman-taman, hutan-hutan, padang-padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.” Kemudian sahabat pertama akan berkata: “Tidak mungkin, sahabat, adalah mustahil bahwa selagi berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman, hutan-hutan, padang-padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.” ‘Kemudian sahabat yang lain itu menuruni gunung, menggandeng tangan sahabatnya, dan membawanya mendaki puncak gunung itu. Setelah memberinya kesempatan untuk beristirahat sejenak, ia akan bertanya: “Baiklah, Sahabat, dengan berdiri di puncak gunug, apakah yang engkau lihat?” dan ia akan menjawab: “Sambil berdiri di puncak gunung ini, Sahabat, Aku melihat taman-taman, hutan-hutan, padang-padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.” Kemudian sahabat lainnya itu akan berkata: “Sahabat, baru saja kami mendengar engkau mengatakan: ‘Tidak mungkin, sahabat, adalah mustahil bahwa selagi berdiri di puncak gunung engkau dapat melihat taman-taman, hutan-hutan, padang-padang rumput, dan kolam-kolam yang indah.’ Tetapi sekarang kami mendengar engkau mengatakan [yang sebaliknya].” Kemudian sahabat pertama itu akan menjawab: “Karena aku terhalang oleh gunung tinggi ini, Sahabat, Aku tidak melihat apa pun yang ada di sana yang dapat dilihat.” ‘Demikian pula, Aggivessana, Pangeran Jayasena terhalangi, terintangi, terblokir, dan terselimuti oleh kumpulan yang bahkan lebih besar daripada ini – kumpulan kebodohan. Dengan demikian adalah tidak mungkin bahwa Pangeran Jayasena, selagi hidup di tengah-tengah kenikmatan indria, menikmati kenikmatan indria, dilahap oleh pikiran-pikiran kenikmatan indria, dihabiskan oleh demam kenikmatan indria, dapat mengetahui, melihat, atau menyaksikan apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai melalui pelepasan keduniawian, disaksikan melalui pelepasan keduniawian.’227 ‘Aku belum pernah melihat atau mendengar seorang raja atau seorang menteri raja di masa lampau, di masa depan, yang menikmati kelima utas kenikmatan indria, yang tanpa meninggalkan nafsu dan demam akan kenikmatan indria, mampu berdiam dengan pikiran … damai dalam dirinya. ‘Sebaliknya, Māgandiya, para petapa dan brahmana di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, yang berdiam dengan pikiran damai dalam diri mereka, semuanya melakukannya setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, berakhirnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria, dan setelah meninggalkan nafsu dan demam akan kenikmatan indria.’228 ‘Di mana kenikmatan-kenikmatan indria berakhir dan mereka yang telah sepenuhnya mengakhiri kenikmatan indria berdiam, pasti para mulia itu sudah tanpa-keinginan dan padam, menyeberang dan melampaui sehubungan dengan faktor itu, Aku katakan. Di manakah kenikmatan-kenikmatan indria ini berakhir dan mereka yang sepenuhnya mengakhiri kenikmatan indria ini berdiam? Siapa pun yang mengatakan: “Aku tidak mengetahui atau melihat itu” harus diberitahu: “Di sini, teman, seorang bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … di sini kenikmatan-kenikmatan indria dan mereka yang sepenuhnya mengakhiri kenikmatan indria berdiam.” Pasti, para bhikkhu, orang yang jujur dan berterus-terang akan berseru: “Sadhu!” dan bergembira dan memuji apa yang telah dikatakan, menghargai dan menghormati si pembicara dengan merangkapkan tangan sebagai penghormatan.’229
Nafsu indria tidak terbatas pada nafsu seksual, atau nafsu pada makanan, dan sebagainya. Ini hanyalah gejala nyata dari kelaparan akan rangsangan yang terus-menerus menguasai pikiran makhluk-makhluk. Segala ketertarikan atau minat apa pun yang berhubungan dengan mengalami kenikmatan, kepuasan, atau kenyamanan melalui mata, telinga, hidung, atau badan, atau pikiran, ingatan, atau harapan apa pun dari pengalaman demikian termasuk dalam jangkauan rintangan utama ini. Ini adalah karakteristik yang mendefinisikan makhluk-makhluk dalam ‘alam indria’ dan alasan utama bagi kelahiran kembali di alam ini. Setelah terlahir kembali di sini, sebagian besar kehidupan ditujukan untuk memaksimalkan pengalaman kenikmatan indria. Hampir tidak ada beberapa detik pun berlalu sepanjang perjalanan kehidupan yang benar-benar bebas dari godaan oleh ketertarikan pada kenikmatan indria. Bahkan bagi mayoritas para praktisi religius – dan di sini kaum Buddhis juga tidak terkecuali – sangat termotivasi oleh keinginan indria, apakah keinginan untuk mengalami onjek-objek indria yang halus di alam surga, atau keinginan untuk menikmati hubungan dengan kenyamanan materi dengan pikiran yang damai.
Kenikmatan indria adalah sempit, terjadi hanya dalam zona terbatas dari totalitas kesadaran, dengan demikian memaksa suatu penyesakan kesadaran. Hal ini cenderung memudar, memaksakan usaha terus-menerus untuk mencari kenikmatan baru. Hal ini merangsang, menggelisahkan pikiran sehingga tidak dapat mengalami kenikmatan itu sepenuhnya, tetapi senantiasa dengan gelisah melewatkannya, dengan demikian menyembunyikan ketidak-cukupan kepuasan yang diberikan oleh kenikmatan itu. Hal ini kasar, mengasari pikiran dengan menghalangi kesadaran akan realitas-realitas halus. Hal ini senantiasa terjalin dengan perasaan menyakitkan, menekan pikiran untuk menolak atau menyangkal sebagian pengalaman. Hal ini adalah egois, menghalangi hubungan dengan orang lain yang berdasarkan pada belas kasihan dan altruistik sejati. Dan karena semua hal ini, meningkatkan pertumbuhan pikiran-pikiran dan kehendak-kehendak tidak bermanfaat, mengarah pada penderitaan dalam kehidupan di masa depan dan menghalangi jalan menuju Nibbana. Kebahagiaan pikiran damai tidak mengandung cacat-cacat ini. Hal ini menyerap ke seluruh wilayah kesadaran, sehingga pikiran menjadi lega dan santai. Walaupun tentu saja tidak kekal, namun lebih stabil dan bertahan lama daripada kebahagiaan indriawi. Ini adalah damai, menyejukkan pikiran yang demam, menarik pikiran ke dalam ketenangan mendalam, memperpanjang perenungan. Ini melampaui kehalusan, batas-batas perasaan, menunjukkan jalan menuju pelampauan pikiran. Ini adalah kebahagiaan murni tanpa campuran kesakitan, membantu perkembangan kesadaran holistik sejati. Ini melenyapkan segala motivasi pada hubungan yang berdasarkan pada keinginan egois; melihat kelembutan pikiran sendiri, seseorang akan mengerut dari segala tindakan yang dapat melukai pikiran orang lain. Dan karena segala hal ini, maka ini hanya berhubungan dengan pikiran-pikiran dan kehendak-kehendak bermanfaat, yang mengarah pada kebahagiaan bukan hanya dalam kehidupan ini, melainkan juga pada kurun waktu yang tidak terbayangkan di masa depan. Ini adalah jalan raya menuju kebahagiaan tertinggi Nibbana.
Tidak lama setelah pencerahanNya, Sang Buddha, setelah mencapai kesakitan lura biasa dalam penyiksaan-diri, merenungkan pengalaman jhāna yang perah ia alami ketika masih kanak-kanak, dan bertanya pada diri sendiri suatu pertanyaan penting:
‘Mengapa aku takut pada kebahagiaan yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat? Aku berpikir: “Aku tidak takut pada kebahagiaan itu, karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat.”’230
Menurut prinsip dasar filosofi Buddhis, adalah pikiran yang menciptakan dunia. Pikiran, yang dibahan-bakari oleh nafsu dan kemelekatan, memasak kelima indria untuk memberi makanan, mengalihkan, dan menghiburnya, untuk menghindari kemungkinan buruk dari keharusan melawan realitas mengerikan di balik kepuasan yang menyenangkannya. Dengan menyerbu pikiran dengan input yang berlebihan, kelima rintangan, bersama-sama dengan kelima indria, membingungkan dan menodai kemampuan untuk mengetahui dengan jelas.
‘Kebodohan memiliki makanan, Aku katakan. Apakah makanan kebodohan itu? ‘”Kelima rintangan” adalah jawabannya.’231
Pentingnya pernyataan ini mungkin dapat dilebih-lebihkan. Ini menggaungkan kebenaran fundamental bahwa seseorang yang berada dalam samādhi mengetahui & melihat sebagaimana adanya pada empat kebenaran mulia. Praktik jhāna, dengan memotong kelima rintangan, melaparkan kebodohan. Tetapi bagaimanakah persisnya samādhi mencapai hal ini?
Salah satu faktor penentu dalam meditasi adalah persepsi (saññā). Persepsi adalah modus mengetahui yang relatif dangkal yang mengenali ciri-ciri fenomena pada permukaannya, menginterpretasikannya menurut pengalamana masa lalu. Hal ini menandai satu bagian data indria sehingga dapat diperlakukan sebagai satu unit. Misalnya, adalah persepsi yang men-generalisasi dan menyimpulkan data dalam gambaran visual, mengenalinya sebagai ‘Ini biru, ini kuning, ini merah.’ Persepsi menyaring, menyederhanakan, dan mengabstrakkan kuantitas data indria yang tipis membingungkan, memprosesnya menjadi informasi, simbol-simbol, dan label-label yang dapat ditata. Persepsi membentuk landasan konsep. Sementara persepsi mengenali ciri-ciri umum dari fenomena-fenomena, konsep menggabungkan sekelompok ciri-ciri menjadi gambaran pikiran atau gagasan. Untuk membangun sesuatu yang bertahan sesingkay sebuah konsep, maka pikiran harus secara aktif dialihkan dari kehebohan pengalaman indria dan diarahkan ke dalam.
Formasi sebuah konsep dapat dianalisis dalam dua tahap. Pertama, ada konsepsi awal dari gagasan verbal, sebuah pemikiran (vitakka). Ke dua, rangkaian keberlangsungan dari pemikiran-pemikiran ini yang saling terhubung membentuk suatu pertimbangan logis (vicāra). Pada tahap ini, berpikir dan mempertimbangkan masih dikuasai oleh persepsi pengalaman indria; tetapi pikiran untuk pertama kalinya mampu menyadari suatu objek pikiran yang berbeda dari pengalaman itu, dan karenanya melalui refleksi menyimpulkan keberadaan suatu ‘pikiran’ sebagai yang mengalami. Pengembangan ini, walaupun penting baik bagi psikologi maupun filosofi, namun memperkenalkan distorsi halus dalam pengalaman. Dengan merepresentasikan dunia sebagai lebih logis dan bermakna daripada realitas sesungguhnya, hal ini mengundang godaan berbahaya dengan khayalan alam konsep, kastil peri imajinasi, yang terpisah dari ketidak-pastian realitas. Proses ini dijelaskan dengan ketepatan luar biasa dalam paragraf terkenal dari Madhupiṇḍika Sutta.
‘Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk terlihat maka muncul kesadaran-mata. Berkumpulnya ketiga ini disebut kontak. Karena kontak maka ada perasaan. Apa yang dirasakan seseorang, itulah yang ia tangkap. Apa yang ia tangkap, itulah yang ia pikirkan. Apa yang dipikirkan seseorang, itulah yang diproliferasikan. Apa yang diproliferasikan seseorang adalah sumber yang darinya gagasan diturunkan dari proliferasi persepsi yang menyerbu seseorang sehubungan dengan bentuk-bentuk terlihat di masa lalu, masa depan, dan masa sekarang yang dikenali oleh mata [dan seterusnya].’232
Langkah pertama dari paragraf ini mengulangi penjelasan dasar atas bagaimana kesadaran bekerja seperti yang dianalisis dalam kemunculan bergantungan. Pengalaman indria utama kita adalah ‘yang diberikan’, bahan baku yang umum bagi semua makhluk hidup.
Karena pengalaman indria ini merangsang respons suka, tidak suka, atau tidak peduli, akan tetapi, perasaan-perasaan ini bergerak ke arah respons yang lebih aktif pada indria, yang mana tercermin dalam paragraf kita dengan suatu struktur sintaksis yang baru. Kata benda statis digantikan oleh kata kerja – momentumnya adalah mengambil. Pikiran meningkatkan pengalaman, dan di sini persepsi memainkan peran kunci, di bawah pengaruh empat ‘kekeliruan persepsi’ – melihat kekekalan dalam apa yang tidak kekal, kebahagiaan dalam apa yang merupakan penderitaan, diri dalam apa yang bukan-diri, dan keindahan dalam apa yang buruk.233 Persepsi melihat karakteristik umum, sehingga masing-masing pengalaman menyarankan suatu hubungan dengan fenomena-fenomena yang lebih jauh lagi. Hubungan-hubungan ini menjadi terungkapkan secara internal ketika gambaran pikiran disebut ‘berpikir’. Berpikir kemudian meluas dan menjadi tidak terkendali dalam ‘proliferasi’ (papañca). Syair berikut ini menghubungkan ‘proliferasi’ secara erat dengan ‘keangkuhan’, gagasan ‘diri’.
‘Seseorang harus secara seksama menggali akar Gagasan-gagasan yang muncul dari desakan untuk berproliferasi [Yaitu, gagasan:] “Aku adalah pemikir.”’234
‘Proliferasi’ adalah jalan pikiran yang tidak disiplin, dengan mengidentifikasikan dan bergembira dalam proses berpikir ini, meledak dalam limpahan komentar-komentar pikiran remeh dan berulang-ulang. Maka pada titik ini paragraf itu bergerak dari analisis yang murni dalam hal faktor-faktor pikiran – ‘individu’ diperkenalkan. Perkembang-biakan telah melahirkan konsep seorang ‘pemikir’ yang mekar sempurna yang diliputi oleh proses konseptual yang dengannya mereka dilahirkan, yang sekarang berputar tidak terkendali.
Yang penting, pada titik yang sama waktu diperkenalkan. ‘individu’ adalah entitas yang stabil dan tidak berubah itu yang dianggap ada sepanjang masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
‘Gagasan’ yang dibicarakan dalam paragraf bermakna mendekati ‘konsep’; tetapi makna literal ‘penghitungan, pengelompokan’ menyiratkan secara lebih spesifik pada manipulasi penghitungan pikiran atas data pengalaman, bagaikan juru bicara yang menegaskan diri dan posisinya di dunia.
Inti dari paragraf ini adalah untuk menunjukkan bagaimana perkembang-biakan yang tidak terkendali bukan saja menjadi sumber kecemasan, kebingungan, atau gangguan emosional, melainkan menjadi bagian dari asal-mula penderitaan. Karena kasusnya seperti ini, maka manfaat-manfaat meditasi yang dapat mengatasi walaupun tidak terbatas pada kenyamanan psikologis jangka pendek. Kita telah menemui meditasi demikian sebelumnya.
‘Perhatian pada pernafasan harus dikembangkan untuk memotong pemikiran.’235
Terlihat di atas bagaimana persepsi menyederhanakan pengalaman menjadi unit-unit yang bermakna. Fungsi penting ini digali ketika pemikiran yang berkembang-biak melipat-gandakan pengalaman, sehingga hanya satu kata dapat memicu bermenit-menit atau berjam-jam monolog pikiran yang berhamburan. Kualitas istimewa dari perhatian pada pernafasan, yang pada tingkat tertentu sama dengan subjek-subjek meditasi lainnya, adalah untuk memotong proses ini sebelum tumbuh dengan cara menetap pada kesatuan persepsi tunggal. Ketika disiplin sepanjang meditasi, fungsi penyederhanaan persepsi secara radikal mengurangi jumlah data dalam pengalaman, memungkinkan pengembangan kesadaran yang lebih halus dan lebih sensitif.
Jika kita ingin memahami proses ini sedikit lebih baik, maka kita harus memulai dengan merenungkan tentang apa ‘nafas’ itu secara tepat. Ada pengalaman tertentu pada awal dari tiap-tiap nafas, sebuah pengalaman berbeda di tengah, dan yang lain lagi di akhir. Pengalaman-pengalaman ini hanyalah kesadaran pada elemen udara; tetapi adalah persepsi yang menandainya sebagai ‘nafas’. Hanya sentuhan fisik udara pada ujung syaraf yang tercatat oleh kesadaran badan. Kesadaran badan itu ‘melaporkan’ pada kesadaran pikiran, yang melakukan tugas-tugas kognisi yang lebih rumit seperti pengenalan, interpretasi, dan seterusnya.
Fungsi vitakka untuk mengawali pikiran-pikiran dan vicāra untuk mempertahankan rantai pikiran-pikiran ditransformasikan dengan mengarahkannya bukan pada persepsi bentukan verbal melainkan pada persepsi nafas, secara aktif mengalihkan pikiran dari keberagaman pengalaman indria kepada nafas. Dengan melakukan demikian berulang-ulang, ciri-ciri umum nafas menjadi jelas. Dengan menggabungkan ciri-ciri umum nafas yang dikenali oleh persepsi dan dengan mengabaikan data yang tidak berhubungan, pikiran membentuk suatu konsep yang stabil dan logis atau gambaran pikiran pada nafas. Ketika perenungan semakin mendalam, nafas fisik menjadi sangat halus, sehingga sentuhannya, yang awalnya kasar, memudar dan pikiran yang diam lebih dihargai oleh kesadaran pikiran yang halus. Di sini, meditator melampaui empat langkah pertama dari perhatian pada pernafasan yang jatuh dalam perenungan jasmani.
Kegembiran spiritual muncul; pikiran melayang bagaikan balon yang terlepas dari pemberatnya ketika beban berat tubuh menghilang. Refleksi pikiran yang halus dalam nafas sekarang hampir menjadi satu-satunya objek dalam kesadaran. Konsep halus ini, karena mengabaikan fluktuasi secara terperinci, memiliki suatu kualitas tahan lama yang memperpanjang fenomena fisik yang berubah turunannya, sama seperti konsep ‘diri’ yang memiliki kualitas tahan lama yang memperpanjang tubuh.236 Hal ini biasanya muncul pada meditator sebagai cahaya terang yang mengagumkan, dan indah.
Ketika fluktuasi dalam kesadaran mendatar, perubahan meluruh. Seseorang tidak perlu lagi mengandalkan pada ingatan-ingatan pengalaman lampau untuk menginterpretasikan momen sekarang. Perbedaan yang bergantung pada waktu yang mana tidak jelas, dan masa lalu dan masa depan lenyap dalam aliran masa sekarang tanpa terputus; kemanunggalan dalam waktu. Isi pengalaman menjadi begitu jernih sehingga gambaran-gambaran dan ringkasan-ringkasan dibawakan berlebihan. Muncul suatu modus pengetahuan yang lebih mendalam.
‘Dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, seseorang masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … persepsi kenikmatan indria sebelumnya menjadi lenyap. Pada saat itu terdapat persepsi kegembiraan & kebahagiaan yang halus & sejati yang muncul dari keterasingan. Demikianlah dengan latihan maka beberapa persepsi muncul dan beberapa persepsi lenyap … Kemudian, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan. Persepsi landasan kesadaran tanpa batas sebelumnya lenyap. Pada saat itu terdapat persepsi landasan kekosongan yang halus & sejati … Demikianlah dengan latihan maka beberapa persepsi muncul dan beberapa persepsi lenyap. Paṭṭhapāda, sejak ketika seorang bhikkhu memperoleh persepsi [pikiran]nya sendiri, ia kemudian secara bertahap mencapai puncak persepsi. Dengan berdiri di puncak persepsi ia berpikir: “Kehendak adalah buruk bagiku; tanpa-kehendak adalah lebih baik. Jika aku membentuk niat dan tindakan berkehendak, maka persepsiku ini akan lenyap, dan persepsi lainnya, yang lebih kasar akan muncul. bagaimana jika aku tidak membentuk niat juga tidak membentuk tindakan berkehendak?” … Persepsi-persepsi itu lenyap dan persepsi lainnya, yang lebih kasar, tidak muncul. ia mencapai lenyapnya. Demikianlah, Poṭṭhapāda, terdapat pencapaian secara bertahap atas lenyapnya persepsi yang lebih tinggi dengan pemahaman jernih.’237
Jika seseorang tidak tertarik dalam kelima indria ini dan mengalihkan perhatian darinya, bagaimanakah indria-indria itu bisa terus ada? Ini adalah persoalan sederhana, salah satu dari apa yang dapat kita amati setiap hari dalam tugas-tugas biasa kita yang tanpa perhatian. Apa yang kita tidak tertarik, kita beralih darinya, dan hal itu lenyap dari bidang kesadaran kita. Hal ini terjadi pada kita semua setiap menit setiap hari, dan dalam samādhi ciri umum dari pikiran ini dikembangkan hingga suatu tingkat yang sama sekali baru – seperti halnya banyak hal dalam samādhi.
Kelima indria lenyap, bersama dengan perasaan-perasaan yang berhubungan, persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, ingatan-ingatan, kehendak-kehendak, dan kesadaran. Ketika semua itu berhenti, terdapat pemahaman atas pengalaman pertama dari ‘lenyapnya’ pada tingkat yang sangat dalam. Ini adalah mengapa keseluruhan jalan praktik disebut ‘pelenyapan bertahap’. Dan pelenyapan dapat menjadi sesuatu yang menakutkan. Bagi seseorang yang tidak memiliki dasar dalam pengalaman ini, fajar pencapaian atas kelemahan dan kekosongan pada segala sesuatu yang ia sayangi dapat menimbulkan suatu krisis trauma eksistensial.
‘Di sini, bhikkhu, beberapa orang memiliki pandangan sebagai berikut: “Ini adalah diri, ini adalah dunia. Setelah kematian aku akan menjadi kekal, bertahan selamanya, abadi, tidak tuntuk pada perubahan, dan akan selalu ada seperti halnya keabadian.” Ia mendengar Sang Tathagata atau seorang siswa Sang Tathagata mengajarkan Dhamma demi lenyapnya segala pandangan, tekad, godaan, paksaan, dan desakan, demi dilepaskannya segala kepemilikan, demi menguapnya nafsu, demi peluruhan, pelenyapan, Nibbana. Ia berpikir: “Sungguh menyedihkan! Aku akan musnah! Sungguh menyedihkan! Aku kan binasa! Sungguh menyedihkan! Aku tidak akan ada lagi!” Ia berdukacita, bersedih, dan meratap, memukul dadanya, dan menjadi kebingungan.’238
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kita mengatasi hal ini? Bagaimana kita mempersiapkan batin kita, sedikit demi sedikit, untuk menerima kekosongan? Sekali lagi, di sini adalah di mana jhāna berperan. Jhāna memberikan, pada tingkat yang lebih rendah, kebahagiaan lenyapnya yang adalah Nibbana. Sesungguhnya, jhāna-jhāna disebut, dengan kualifikasi, ‘keabadian’, ‘Nibbana di sini & saat ini’, ‘Nibbana’, bahkan ‘Nibbana akhir’.239 Kediaman bertahap dalam jhāna, menyaksikan diamnya aktivitas-aktivitas berturut-turut, mempersiapkan batin untuk menerima bahwa Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, tepatnya karena semua perasaan telah berakhir.
Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu: ‘Nibbana adalah kebahagiaan, teman-teman, Nibbaha adalah kebahagiaan.’ Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyin berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Tetapi apakah kebahagiaan di sana, ketika tidak ada apa pun yang dirasakan?’ ‘Itu adalah kebahagiaan di sana, ketika tidak ada apa pun yang dirasakan … Kebahagiaan & kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria; ini disebut kebahagiaan kenikmatan indria. Di sini, seorang bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Jika persepsi dan perhatian yang berhubungan dengan kenikmatan indria menyerang seseorang yang berdiam demikian, maka ini adalah kesusahan baginya, seperti halnya kesakitan muncul dalam diri seseorang yang berbahagia. Kesusahan disebut penderitaan oleh Sang Bhagavā. Melalui metode ini harus dipahami bagaimana Nibbana adalah kebahagiaan …’240
Begitu pikiran telah mengalami jhāna, maka pikiran akan memahami secara mendalan penderitaan dari aktivitas-indria dan akan menjadi enggan untuk terlibat, dengan tetap terbebas dari kekotoran selama jangka waktu yang lama. Pikiran kemudian dapat menekuni perenungan Dhamma tanpa dialihkan oleh pikiran-pikiran yang kacau, kantuk, atau keinginan, dan dapat menekuni segala tema meditasi selama yang ia kehendaki.241
‘Ketika pikiran terbebaskan dari kelima noda [rintangan] ini, maka pikiran menjadi lunak, dapat diarahkan, bersinar, tidak rapuh, memiliki samādhi benar untuk menguapkan racun-racun. Ia dapat mengarahkan pikirannya untuk menyaksikan dengan pengetahuan langsung segala prinsip yang dapat disaksikan dengan pengetahuan langsung, dan menjadi seorang saksi-mata dalam segala hal, jika ada landasan yang sesuai.’
Pengetahuan-pengetahuan langsung ini telah bertemu dengan yang disebutkan di atas dalam pemeriksaan satipaṭṭhāna dan latihan bertahap. Walaupun tidak benar-benar diperlukan, seringnya kemunculannya dalam sutta-sutta menunjukkan bahwa hal-hal ini tidak boleh dianggap remeh. Pengetahuan-pengetahuan ini termasuk kekuatan-kekuatan batin yang penting seperti kemampuan mengingat kehidupan-kehidupan lampau dan untuk melihat bagaimana makhluk-makhluk terlahir kembali sesuai perbuatan mereka. Hal ini menegaskan melalui pengalaman pribadi tentang kebenaran perbuatan dan kelahiran kembali, yang merupakan pandangan benar non-transendental. Hal ini akan matang menjadi pandangan benar transendental Empat Kebenaran Mulia – Bagaimana proses kelahiran kembali bekerja dan bagaimana mengakhirinya. Ini adalah jenis-jenis pengetahuan yang luhur; tetapi yang lebih jelas adalah pengetahuan rincian kelahiran kembali, yang lebih mudah adalah memahami prinsip-prinsip kelahiran kembali. Praktik jhāna secara alami akan mengarah pada jenis pemahaman ini dengan memperlihatkan bagaimana pikiran dapat cukup berbahagia ketika terbebaskan dari beban tubuh. Bukanlah kebetulan bahwa laporan-laporan tentang pengalaman hampir-mati – ditarik ke dalam terowongan cahaya, berjumpa dengan makhluk-makhluk surgawi, merasakan kebahagiaan luar biasa – begitu mirip dengan pengalaman-pengalaman yang dialami ketika berada di ambang jhāna. Untuk memasuki jhāna, maka seseorang harus mematikan tubuh.
Saya mencatat di atas bagaimana kemampuan pikiran untuk membentuk konsep-konsep menjadi landasan baik bagi gagasan ‘diri’ maupun pencapaian jhāna. Seperti halnya si bijaksana yang tidak terlihat, ‘pemimpin kota di tengah persimpangan jalan’, pikiran adalah tempat kunjungan utama bagi ‘diri’. Kesadaran pikiran memainkan suatu peran dalam memproses segala jenis kesadaran, dan oleh karena itu dapat dengan mudah disalah-pahami sebagai suatu pengalaman bawah sadar yang kekal. Lebih jauh lagi, karena adalah dalam pikiran bahwa gagasan ‘diri’ itu muncul,maka ketika pikiran mencari beberapa aspek pengalaman yang sesuai sebagai ‘diri’, hal ini secara otomatis lebih cenderung berbalik kepada dirinya sendiri daripada mencari ke luar. Jadi, kita telah melihat bahwa kebebasan dari kemelekatan pada pikiran adalah wilayah eksklusif para mulia. Bagi mereka yang memulai praktik dengan pandangan-pandangan salah, maka, pikiran dalam jhāna jelas menjadi tempat bagi teori-teori tentang diri. Tetapi seseorang yang memulai praktik dengan pandangan benar akan menggunakan jhāna sebagai suatu landasan bagi pandangan terang ke dalam sifat kesadaran.
Jhāna adalah ‘akhir dunia’.242 Lima jenis kesadaran kasar telah lenyap, menyisakan hanya kesadaran pikiran yang murni. di sini, kesadaran secara langsung dapat dijangkau oleh perenungan mendalam. Bukan melihat sekilas di sana-sini bagaikan kupu-kupu yang beterbangan di keremangan senja di hutan, melainkan menatap secara langsung dalam jangka waktu yang lama, bagaikan seekor kupu-kupu yang hinggap di tangan seseorang dalam terangnya siang hari. Sebelumnya, ‘diri’ selalu dapat mengubah landasannya ketika ditantang. Tetapi sekarang telah dibawa pada benteng terakhirnya: kesadaran itu sendiri. Tetapi mengapa penjelasannya begitu panjang?
‘Terdapat empat cara ini untuk mengejar kenikmatan, Cunda, yang mendorong secara eksklusif menuju kejijikan, peluruhan, lenyapnya, kedamaian, pengetahuan langsung, pencerahan, Nibbana. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. ‘Jika para pengembara dari aliran lain berkata: ‘Para bhikkhu yang adalah putera-putera Sakya berdiam dalam empat cara ini untuk mengejar kenikmatan”. Mereka harus dijawab: “Benar!” Karena mereka mengatakan dengan benar, tanpa salah memahami kebenaran. ‘Jika para pengembara dari aliran lain bertanya: “Berapa banyakkah buah dan manfaat yang dihasilkan dari empat cara mengejar kenikmatan ini?” Mereka harus dijawab: “Ada empat buah, empat manfaat. Apakah empat ini? Di sini, seorang bhikkhu … menjadi seorang pemasuk-arus … seorang yang-kembali-sekali … seorang yang-tidak-kembali … seorang Arahant.”’243
‘Empat yang berada dalam sang jalan Dan empat yang kokoh dalam buah – Ini adalah Sangha yang lurus Dengan pemahaman, moralitas, dan samādhi.’
~ Sang Buddha, SN 1.916
Kita telah melihat bahwa semua penjelasan tentang sang jalan memasukkan samādhi sebagai elemen sentral. Oleh karena itu, kita harus berharap bahwa samādhi dapat menjadi salah satu kualitas intrinsik yang dimiliki oleh para individu mulia, mereka yang menghidupkan sang jalan.
Menurut Buddhisme, jalan menuju pencerahan dibagi menjadi empat tahap, masing-masingnya dibagi lagi menjadi ‘jalan menuju’ dan ‘penembusan dari’ masing-masing tahap. Delapan jenis individu tercerahkan ini dirujuk dalam berbagai cara dalam sutta-sutta: ‘yang mulia’ (ariya), ‘manusia sejati’ (sappurisa), ‘pelajar’ (sekha), dan sebagainya.
Dalam bab ini pernyataan sutta yang menjadi kunci tentang samādhi para mulia dikumpulkan, dimulai dari Arahant yang tercerahkan sempurna dan menurun hingga mereka yang hanya memasuki sang jalan. Dalam paragraf berikut, frasa ‘yang mulia’ merujuk pada Arahant, bukan pada semua tingkat pencerahan, seperti biasanya.
‘Para bhikkhu, ada sepuluh cara penghidupan mulia, yang dengannya para mulia telah menjalaninya di masa lampau, akan menjalaninya di masa depan, dan sedang menjalaninya pada masa sekarang. Apakah sepuluh ini? ‘Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu telah meninggalkan kelima rintangan; memiliki keseimbangan terhadap enam indria; menjaga perhatian; didukung dengan menggunakan, menahankan, menghindari, atau menghalau setelah merenungkan; telah menolak spekulasi pribadi tentang kebenaran; telah sepenuhnya meninggalkan segala pencarian; memiliki kehendak yang jernih; setelah menenangkan aktivitas tubuh [nafas] … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat; memiliki pikiran yang terbebaskan dengan ditinggalkannya nafsu, kebencian, dan delusi; dan memiliki pemahaman yang terbebaskan dengan baik melalui pemahaman bahwa nafsu, kebencian, dan delusi telah tercabut selamanya. Para mulia mana pun yang hidup di masa lampau, yang akan hidup di masa depan, atau sedang hidup pada masa sekarang, semuanya hidup sesuai dengan sepuluh cara penghidupan mulia ini.’244
Di tempat lain, jhāna pertama ditunjukkan sebagai prasyarat minimum bagi Kearahantaan;245 tetapi sutta ini mengkonfirmasi bahwa semua Arahant akan memiliki jhāna ke empat setelah pencapaian mereka. Perhatikan bahwa jhāna ke empat ini muncul dengan menenangkan nafas. Ini jelas merujuk pada proses bertahap men-diam-kan, yang terjadi setidaknya selama beberapa menit. Hal ini mengesampingkan segala samādhi ‘momen-ke-momen’ atau samādhi ‘momen-jalan’ transendental.
Bagi Arahant, karena bebas dari segala kekotoran, maka tidak ada yang menghalangi pencapaian jhāna.
‘Bhikkhu, setelah meninggalkan enam hal maka seseorang dapat masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Apakah enam ini? Keinginan indria, niat buruk, kelambanan & ketumpulan, kegelisahan & penyesalan, keragu-raguan; dan bahaya dalam kenikmatan indria yang telah terlihat dengan baik melalui pemahaman benar sebagaimana adanya.’246
Untuk menganggap bahwa seorang Arahant tidak mencapai berarti menyiratkan bahwa mereka masih tunduk pada kekotoran-kekotoran sisa.
Konteks historis di sini mengungkapkan. Dalam semua aliran Buddhisme lainnya, tiga pengembangan muncul bersamaan dengan pengembangan Arahant tanpa-jhāna dalam Theravāda. Pertama, Sang Buddha dimuliakan sebagai seorang manusia sempurna hingga sebagai dewa; ke dua, Arahant diturunkan, dianggap tunduk pada sensualitas sisa, tidak memiliki pengetahuan universal, bahkan egois; dan ke tiga, sosok Bodhisattva ideal muncul dari ketidak-jelasan untuk mengisi celah yang ditimbulkan sebagai jalan praktik alternatif. Kecenderungan-kecenderungan ini memuncak dalam Mahāyāna. Dalam bentuk yang lebih lemah, kecenderungan pertama dan ke tiga juga terdapat dalam kometar Theravāda. Oleh karena itu tidak mengherankan jika menemukan bahwa status Arahant perlahan-lahan telah terkikis.
Akan tetapi, beberapa kaum terpelajar, berusaha untuk menurunkan Arahant tanpa-jhāna yang digambarkan dalam sutta-sutta sebagai ‘terbebaskan melalui pemahaman’. Akan tetapi, hal ini sangat jauh dari bagaimana ‘seseorang yang terbebaskan dari pemahaman’ yang digambarkan dalam sutta-sutta.
‘”Terbebaskan melalui pemahaman, terbebaskan melalui pemahaman”, dikatakan, teman. Apakah yang dimaksud oleh Sang Bhagavā ketika Beliau mengatakan tentang seorang yang terbebaskan melalui pemahaman’?” ‘Di sini, teman, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Ia memahami hal itu. Ini adalah apa yang dimaksudkan oleh Sang Bhagavā, dengan kualifikasi, ketika Beliau mengatakan tentang seorang yang terbebaskan melalui pemahaman. Kemudian … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi … lenyapnya persepsi dan perasaan. Setelah melihatnya dengan pemahaman, racun-racunnya seluruhnya menguap. Ia memahami hal itu. Ini adalah apa yang dimaksudkan oleh Sang Bhagavā, tanpa kualifikasi, ketika Beliau mengatakan tentang seorang yang terbabaskan melalui pemahaman.’247
Akan tetapi, di tempat lain, Arahant yang terbebaskan melalui pemahaman adalah, agak tidak konsisten, dikatakan bukan berdiam dalam pencapaian-pencapaian tanpa bentuk.250 Intinya adalah bukan tingkat samādhi yang dicapai, melainkan penekannya pada kebijaksanaan pada setiap tingkat. Tidak ada dalam sutta-sutta disebutkan atau disiratkan bahwa seorang Arahant yang terbebaskan melalui pemahaman tidak mencapai empat jhāna.
Maka, cukup jelas bahwa semua Arahant pasti memiliki jhāna, menurut pernyataan-pernyataan tegas dan jelas dari sutta-sutta. Kalau begitu, bagaimana dengan yang mulia berikutnya yang lebih rendah, yang-tidak-kembali (anāgāmi)? Yang-tidak-kembali sama dengan Arahant dalam hal ‘sempurna dalam samādhi’. Dengan suatu perumpamaan khas yang mengesankan, Sang Buddha menjelaskan kepada Yang Mulia Ānanda bagaimana yang-tidak-kembali memotong kelima belenggu yang lebih rendah.
‘Ada sebuah jalan, Ānanda, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah. Di mana seseorang, tanpa menjalani jalan itu, cara itu, dapat mengetahui atau melihat atau meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah [dan menjadi seorang yang-tidak-kembali]: itu adalah tidak mungkin. Seperti halnya jika ada sebatang pohon besar berinti kayu, tidaklah mungkin bahwa seseorang dapat memotong inti kayunya tanpa terlebih dulu memotong menembus kulit luar dan kulit dalamnya … Tetapi bahwa seseorang, dengan menjalani jalan itu, cara itu, dapat mengetahui dan melihat dan meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah: itu adalah mungkin. ‘Dan apakah, Ānanda, jalan itu? Di sini, dengan keterasingan dari kepemilikan, ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat, penenangan sepenuhnya gangguan tubuh, dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan. Apa pun yang ada di sana, apakah perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas konseptual, dan kesadaran [juga bentuk fisik hanya dalam empat jhāna], ia melihat fenomena-fenomena itu sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, tumor, duri, bencana, kesusahan, makhluk asing, kehancuran, kosong, bukan-diri. Ia mengalihkan pikirannya dari fenomena-fenomena ini dan mengarahkannya ke arah elemen keabadian sebagai berikut: “Ini adalah damai, ini adalah luhur; yaitu, samatha dari segala aktivitas, lepasnya segala kepemilikan, menguapnya nafsu, meluruhnya, lenyapnya, Nibbana.” Dengan berdiri pada itu ia mencapai menguapnya racun-racun [atau pada kondisi yang-tidak-kembali] … Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan kelima belenggu yang lebih rendah.’ ‘Dalam hal itu, Bhante, bagaimanakah bahwa beberapa bhikkhu terbebaskan pikirannya dan beberapa terbebaskan melalui pemahaman?’ ‘Perbedaannya di sini, Ānanda, adalah dalam hal indria-indria spiritual mereka, Aku katakan.’”248
Di sini juga perumpamaan itu menegaskan bahwa bukan hanya tiap-tiap tahap itu mutlak diperlukan, tetapi juga harus sesuai dengan urutan yang benar; pertama kulit kayu, kemudian kulit dalam, kemudian inti kayu. Samādhi di sini muncul dengan ‘penenangan gangguan tubuh’, yang seperti biasanya bukan merujuk pada ‘momen-jalan’ dari samādhi.249 Hal ini ditegaskan sekali lagi dalam batang tubuh teks, yang memperlakukan samādhi secara eksklusif sebagai landasan bagi vipassanā, bukan sebagai pengalaman pencerahan.
Sutta-sutta tidak mencatat pernyataan yang kuat dan tegas bahwa samādhi diperlukan oleh ‘para pelajar’ (sekha) lainnya – pemasuk-arus, yang-kembali-sekali, yang-tidak-kembali, dan mereka yang berada dalam sang jalan – namun posisi dasarnya cukup tegas.
‘Di sini, seorang bhikkhu memiliki pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan samādhi benar seorang pelajar. Itu adalah apa yang dirujuk oleh “pelajar”.250
‘Sejak lama, Bhante, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ada pengetahuan bagi seseorang yang memiliki samādhi, bukan bagi seseorang yang tanpa samādhi. Tetapi manakah yang lebih dulu, samādhi atau pengetahuan?’ …’Mahānāma, moralitas, samādhi, dan pemahaman baik dari pelajar maupun yang mahir telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā … Dan apakah samādhi dari pelajar? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.’251
Tanpa ragu atau berbelit-belit, Yang Mulia Ānanda menyebutkan bahwa samādhi dari seorang pelajar – yaitu, semua ariya atau ‘para mulia’ kecuali Arahant – adalah empat jhāna. Jawaban Ānanda atas pertanyaan Mahānāma tidak sangat eksplisit, tetapi tampaknya menyiratkan bahwa samādhi dari seorang pelajar muncul sebelum pemahamannya, namun pemahaman seorang pelajar muncul sebelum samādhi dari seorang yang mahir.
Pertanyaan yang langsung dan terus terang bahwa pelajar memiliki jhāna bukanah hal yang jarang terjadi. Berikut ini adalah beberapa contoh.
‘Seseorang berlatih dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan pemahaman yang lebih tinggi, oleh karena itu bhikkhu itu disebut seorang pelajar.’252
‘Apakah latihan dalam pikiran yang lebih tinggi itu? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.’253
‘Dan apakah manusia sejati? Di sini, seseorang yang berpandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan samādhi benar.’254
‘Bagaimanakah seseorang disebut seorang petapa yang tidak tergoyahkan [yaitu, seorang pemasuk-arus]? Di sini seorang bhikkhu memiliki pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan samādhi benar.’255
‘Sāriputta, seseorang yang memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan ini disebut seorang pemasuk-arus, yang mulia bernama ini dan suku itu.’256
‘Di sini, seorang bhikkhu telah memenuhi moralitas dan memiliki samādhi dan pemahaman pada tingkat tertentu … dengan menguapnya tiga belenggu ia menjadi seorang pemasuk-arus …’257
‘Seorang siswa mulia yang taat, setelah berulang-ulang melatih usaha keras, mengingat, samādhi, dan pemahaman, memiliki keyakinan kuat sebagai berikut: “Prinsip-prinsip ini yang sebelumnya hanya kudengar sekarang telah kudiami setelah mencapainya secara pribadi, dan telah melihatnya setelah menembusnya dengan pemahaman.”’258
Ada sedikit ruang untuk berdalih dalam semua paragraph-paragraf ini. Seorang pemasuk-arus memiliki sang-jalan, termasuk jhāna sebagai samādhi benar.
Kadang-kadang Sang Buddha menjelaskan jalan berunsur delapan salah sebagai ‘jalan yang buruk’.259 Karena samādhi adalah puncak sang jalan, jelas bahwa jalan yang buruk tidak memasukkan samādhi benar. Di sini hal ini disebutkan secara spesifik.
‘Samādhi adalah sang jalan; tanpa samādhi adalah jalan yang buruk.’260
Dan, seperti yang dapat diharapkan seseorang, adalah tidak mungkin untuk mencapai tingkatan mulia selagi masih melatih ‘jalan yang buruk’. Akan tetapi, secara lebih spesifik, paragraf berikut ini membicarakan tentang pandangan identitas, keragu-raguan, dan kesalah-pahaman pada upacara & ritual, yang merupakan tiga belenggu yang ditinggalkan oleh pemasuk-arus.
‘Tanpa ditinggalkannya perhatian yang teralihkan dari akar, pelatihan jalan yang buruk, dan kemalasan pikiran, adalah tidak mungkin untuk meninggalkan pandangan identitas, keragu-raguan, dan kesalah-pahaman pada upacara & ritual.’261
Jika ‘sang jalan’ yang dengannya ketiga belenggu ini ditinggalkan oleh pemasuk-arus adalah, atau lebih sederhana, termasuk samādhi, maka dapat disimpulkan bahwa mereka yang berada pada jalan memasuki-arus juga memiliki samādhi.
Karena ditakdirkan untuk mencapai pencerahan,262 para individu ini dalah sangat penting bagi yang bercita-cita untuk mencapai pencerahan, walaupun karena tradisi Theravāda menurunkan statusnya menjadi ‘momen pikiran’ maka mereka sering kali diremehkan. Jika mereka memiliki jhāna maka sudah sewajarnya bahwa tingkat-tingkatan yang lebih tinggi juga sama. Mari kita melihat apa yang dikatakan oleh sutta-sutta tentang para individu ini. Mereka selalu dipuji sebagai memiliki lima indria spiritual.
‘Seorang yang telah sepenuhnya memenuhi kelima indria spiritual ini adalah seorang Arahant. Jika mereka lebih lemah, maka ia adalah seorang yang berada pada jalan menuju tingkat menyaksikan buah Kearahantaan. Jika mereka lebih rendah dari itu maka ia adalah seorang yang-tidak-kembali … seorang yang berada pada jalan yang-tidak-kembali … seorang yang-kembali-sekali … seorang yang berada pada jalan yang-kembali-sekali … seorang pemasuk-arus … Jika mereka lebih rendah dari itu maka ia adalah seorang yang berada pada jalan menuju tingkat menyaksikan buah memasuki-arus. Tetapi para bhikkhu, Aku katakan bahwa seseorang yang padanya kelima indria spiritual ini sepenuhnya dan semuanya tidak ada adalah seorang yang berada di luar, seorang yang berdiri dalam kelompok orang-orang biasa.’263
Jadi seorang yang berada pada jalan memasuki-arus memiliki indria spiritual samādhi, dengan kata lain, jhāna, selemah apapun. ‘Lemah’ tentu saja berbeda dengan ‘sama sekali tidak ada’. Seorang praktisi yang berhasil adalah seorang yang dapat memasuki kondisi-kondisi demikian sesuai kehendaknya, kapan pun mereka inginkan, selama yang mereka inginkan, dan dalam cara apapun yang mereka inginkan. Mereka yang berada pada jalan memasuki-arus tidak harus memiliki kemahiran demikian, tetapi mereka harus memiliki pengalaman sang jalan. Di bawah kita akan memeriksa beberapa paragraf yang menjelaskan tentang mereka yang berada pada jalan memasuki-arus secara terperinci, yang membantu untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan ‘lemah’.
Seorang yang berada pada jalan memasuki-arus lebih jauh lagi dijelaskan sebagai ‘pengikut-Dhamma’ dan ‘pengikut-keyakinan’. Istilah-istilah ini secara umum digunakan untuk membedakan antara mereka yang berada pada jalan memasuki-arus dengan penekanan pada pemahaman atau keyakinan. Akan tetapi, dalam beberapa paragraf keduanya tampak tidak berbeda, sehingga keduanya merujuk pada mereka yang berada pada jalan memasuki-arus sebagai satu kelompok yang sama.264 Sebenarnya, perlakuan sutta-sutta pada pengelompokan berbeda dari individu-individu mulia (terlepas dari kelompok empat pasang standar) adalah agak longgar, dan harus secara sensitive dinilai dalam masing-masing konteks. Bahkan jika dibedakan, pengikut-Dhamma juga memiliki indria spiritual keyakinan, dan pengikut-keyakinan juga memiliki indria spiritual pemahaman, sehingga tidak diragukan bahwa perbedaan itu hanyalah sekedar penekanan, dan menjelaskan bagaimana kedua istilah ini juga dapat diterapkan pada mereka yang berada pada jalan memasuki-arus tanpa perbedaan.
Paragraf berikut membandingkan pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan dengan pemasuk-arus. Dalam paragraf ini, istilah ‘kebenaran’ merujuk pada Jalan Mulia Berunsur Delapan.265
‘Para bhikkhu, mata … telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah tidak kekal, berubah, menjadi sebaliknya. Seorang yang memiliki keyakinan dan kepastian dalam prinsip-prinsip ini disebut sebagai seorang pengikut-keyakinan, seorang yang telah memasuki jalan pasti, memasuki alam manusia sejati, dan melampaui alam orang-orang biasa. Ia tidak mampu lagi melakukan perbuatan apa pun yang jika setelah dilakukan maka ia akan terlahir kembali di neraka, di rahim binatang, atau alam hantu. Ia tidak akan meninggal dunia tanpa menyaksikan buah memasuki-arus. ‘Para bhikkhu, mata … telinga … hidung … lidah … badan … pikiran adalah tidak kekal, berubah, menjadi sebaliknya. Seorang yang menerima prinsip-prinsip ini setelah merenungkan dengan pemahaman pada tingkat tertentu disebut sebagai seorang pengikut-Dhamma, seorang yang telah memasuki jalan pasti, memasuki alam manusia sejati, dan melampaui alam orang-orang biasa. Ia tidak mampu lagi melakukan perbuatan apa pun yang jika setelah dilakukan maka ia akan terlahir kembali di neraka, di rahim binatang, atau alam hantu. Ia tidak akan meninggal dunia tanpa menyaksikan buah memasuki-arus. ‘Seorang yang mengetahui & melihat prinsip-prinsip ini disebut sebagai seorang pemasuk-arus, tidak akan [terlahir kembali di] jurang dalam, pasti dalam takdir, ditakdirkan untuk mencapai pencerahan.’266
Sementara paragraf di atas membahas tentang pemahaman dari mereka yang berada pada jalan menuju tingkat memasuki-arus, yang berikut ini membahas samādhi mereka.
‘Orang jenis apakah seorang pengikut-Dhamma? Di sini, para bhikkhu, seseorang tertentu tidak, setelah melampaui bentuk-bentuk, secara pribadi mencapai dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan tanpa bentuk yang damai itu, dan racun-racunnya belum sepenuhnya menguap setelah dilihat dengan pemahaman. Tetapi ia menerima prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Sang Tathagata setelah merenungkannya dengan pemahaman pada tingkat tertentu, dan ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria spiritual keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman … ‘Orang jenis apakah seorang pengikut-keyakinan? Di sini, para bhikkhu, seseorang tertentu tidak, setelah melampaui bentuk-bentuk, secara pribadi mencapai dan berdiam dalam kebebasan-kebebasan tanpa bentuk yang damai itu, dan racun-racunnya belum sepenuhnya menguap setelah dilihat dengan pemahaman. Tetapi ia memiliki keyakinan dan kesetiaan pada tingkat tertentu terhadap Sang Tathagata, dan ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria spiritual keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman …’267
Di sini sekali lagi, individu-individu yang berada pada jalan memasuki arus ini adalah secara spesifik dikatakan memiliki indria spiritual samādhi, empat jhāna.
Dalam paragraf berikut ini, ‘pemahaman tertawa’ dan ‘pemahaman cepat’ merujuk pada Arahant dan yang-tidak-kembali, ‘kebebasan’ merujuk hanya pada Arahant. Walaupun istilah-istilah ini tidak digunakan, ‘seorang tertentu’ pertama jelas adalah pengikut-Dhamma, dan yang ke dua adalah pengikut-keyakinan.
‘Di sini, Mahānāma, seorang tertentu tidak memiliki keyakinan kuat dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, juga tidak memiliki pemahaman tertawa, pemahaman cepat, atau kebebasan. Namun ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria spiritual keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman; dan ia menerima Dhamma yang diajarkan oleh Sang Tathagata setelah merenungkan dengan tingkat pemahaman tertentu. Bahkan orang ini juga tidak akan menuju neraka, rahim binatang, alam hantu, atau alam rendah, takdir buruk, atau jurang yang dalam. ‘Di sini, Mahānāma, seorang tertentu tidak memiliki keyakinan kuat dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha, juga tidak memiliki pemahaman tertawa, pemahaman cepat, atau kebebasan. Namun ia memiliki kualitas-kualitas ini: indria spiritual keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman; dan ia memiliki keyakinan dan kesetiaan pada tingkat tertentu terhadap Sang Tathagata. Bahkan orang ini juga tidak akan menuju neraka, rahim binatang, alam hantu, atau alam rendah, takdir buruk, atau jurang yang dalam.’268
Mereka yang berada pada jalan memasuki-arus tidak bertentangan dengan pemasuk-arus dalam hal tingkat samādhi mereka. Kedua kelompok orang ini akan memiliki indria spiritual samādhi, atau jhāna. Perbedaannya adalah dalam hal bagaimana mereka memahami Dhamma. Pemasuk-arus ‘mengetahui & melihat’ secara langsung, sementara mereka yang berada pada jalan memasuki-arus menerima melalui keyakinan atau melalui pemahaman, yaitu dengan emosi atau penerimaan utama pada ajaran-ajaran.
Jenis penerimaan ini adalah dua di antara lima cara mengetahui yang disebutkan di tempat lain, yang mengarah menuju kesimpulan benar atau salah, dan yang bukan merupakan ‘pencerahan pada kebenaran’. Akan tetapi, jika dipahami dengan benar – sebagai pemahaman sementara, bukan kesimpulan – keduanya membentuk bagian dari praktik untuk pencerahan.269 Sebenarnya, penerimaan yang selaras dengan ajaran adalah diperlukan sebelum seseorang dapat memasuki jalan ini.270
Walaupun pertentangan ini konsisten dengan pernyataan normal ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’ yang ditujukan pada pemasuk-arus, di tempat lain para mulia secara keseluruhan dijelaskan sebagai “mengetahui secara langsung’ berlawanan dengan orang biasa, yang sekedar ‘menganggap’.271
Daripada menjelaskan mereka yang berada pada jalan memasuki-arus sebagai mengetahui secara langsung atau tidak, mungkin adalah lebih baik menjelaskannya sebagai makhluk yang dalam proses mengetahui. Bagaikan waktu menjelang matahari terbit: dibandingkan dengan tengah malam adalah terang, tetapi dibandingkan dengan tengah hari adalah masih gelap. Ketika dibandingkan dengan orang biasa, maka dapat dikatakan bahwa mereka memiliki pengetahuan langsung, tetapi jika dibandingkan dengan pemasuk-arus, maka pengetahuan mereka hanyalah konseptual. Kepemilikan indria spiritual pemahaman, walaupun terbatas dalam cara ini, menyiratkan suatu tingkatan pandangan terang introspektif langsung. Belum sepenuhnya melihat Dhamma, juga tidak memiliki ‘keyakinan kuat’. Sebelumnya, kita melihat hal ini sebagai bahan utama dari ‘pelepasan’ yang mendukung samādhi dari pemasuk-arus. Mereka yang berada pada jalan memasuki-arus akan mengandalkan pada kualitas-kualitas intrinsik mereka sendiri: cinta kasih Sang Buddha, kebebasan dari keragu-raguan terhadap ajaran-ajaran, dan tidak memiliki penyesalan akan perbuatan salah.
Walaupun teks-teks memperlihatkan beberapa dalih terhadap indria pemahaman dan keyakinan dari mereka yang berada pada jalan memasuki-arus, namun tidak ada keraguan diungkapkan sehubungan dengan indria samādhi mereka. Sang Buddha secara spesifik menjawab pertanyaan sehubungan dengan tingkat samādhi yang diperlukan sebagai titik awal untuk memasuki sang jalan. Serupa dengan Arahant yang terbebaskan melalui pemahaman (kadang-kadang), mereka yang berada pada jalan memasuki-arus tidak memiliki kebebasan tanpa bentuk. Tetapi mereka berulang-ulang dinyatakan memiliki indria spiritual samādhi, yaitu jhāna. Walaupun Sang Buddha berusaha keras agar pencapaian jalan memasuki-arus itu tampak mudah, dengan menekankan kualitas-kualitas yang tidak dimiliki oleh pengikut-Dhamma dan pengikut-keyakinan, namun tidak pernah disebutkan bahwa jhāna termasuk dalam kualitas-kualitas yang tidak mereka miliki.
Kelemahan indria spiritual samādhi dapat dijelaskan melalui kelemahan ‘pelepasan’ pendukung. Kelemahan indria ini, harus dicatat, bukan berarti menyiratkan kelemahan samādhi. Bahkan orang-orang biasa, ketika sama sekali kehilangan indria ini, mungkin saja sangat mahir dalam semua pencapaian samādhi. Istilah ‘indria spiritual’ lebih menyiratkan bahwa prinsip-prinsip ini menjadi kecenderungan kuat yang berkuasa, yang dominan di bidangnya, dan tidak terkalahkan. Bagi orang-orang biasa, ramalan jangka panjang menurun dari ketinggian yang telah mereka capai, dan akhirnya mungkin kelahiran kembali bahkan di neraka; sementara bagi para pelajar, walaupun mereka masih memiliki kesulitan-kesulitan jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan membawa hanya kemajuan.
Jika mereka yang berada pada jalan memasuki-arus memiliki jhāna, maka mengapa seperti kita lihat di atas, samādhi tidak disebutkan secara langsung dalam kebebasan bergantungan sebagai kondisi vital bagi pencapaian ini? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sulit dipahami, dan dengan ketiadaan pernyataan langsung dari sutta-sutta, kita mungkin dapat dimaafkan karena berpikir bahwa hal itu adalah kesamaran dalam kata-kata. Dan lagipula, seperti yang sering terjadi dalam Dhamma, ada suatu permainan logika yang halus di sini.
Perhatikan struktur Jalan Mulia Berunsur Delapan. Seseorang mulai dari pandangan benar konseptual, dan kemudian mengembangkan faktor-faktor lainnya yang memuncak pada samādhi benar, yang memasukkan pengetahuan peninjauan kembali, sebuah praktik kebijaksanaan. Pada titik ini semua faktor sang jalan telah terpenuhi hingga pada tingkat yang bagi beberapa orang cukup untuk memasuki sang jalan. Jadi tampaknya bahwa pencapaian samādhi benar itu sendiri adalah sama dengan memasuki sang jalan. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa samādhi benar adalah sebuah kondisi untuk memasuki sang jalan, karena tidak ada yang dapat menjadi kondisi untuk dirinya sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa mereka semua yang berpandangan benar yang mengembangkan samādhi menjadi para mulia; hal ini bergantung pada kematangan spiritual, khususnya kedalaman kebijaksanaan atau keyakinan.
Karena mereka yang berada pada jalan memasuki-arus pasti tidak terhindarkan akan mencapai tingkat memasuki-arus dalam kehidupan ini, bahkan jika latihannya terhalang oleh, misalnya, penyakit berat atau kematian mendadak, adalah sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa mereka tidak perlu lagi mengembangkan meditasi mereka setelah memasuki sang jalan. Hal ini masuk akal jika kita memahami bahwa pencapaian sang jalan memerlukan pengembangan seluruh faktor sang jalan hingga tingkat yang mencukupi, sehingga kondisi-kondisi untuk memasuki-arus telah terpenuhi, hanya memerlukan waktu untuk memetik buahnya. Tampaknya tidak ada metode yang diberikan untuk memastikan secara tepat seberapa banyak faktor-faktor sang jalan harus dikembangkan untuk mencapai titik ini. Tentu saja, umumnya karakter individu-individu itu haruslah bergembira dalam meditasi, dan Sang Buddha menasihati mereka lebih jauh lagi agar mengerahkan usaha untuk mempersingkat waktu mereka dalam saṁsāra.
Penutup
Semua para mulia secara konsisten dan berulang-ulang dikatakan memiliki samādhi sebagai satu faktor sang jalan dan indria spiritual, memiliki samādhi seorang pelajar, dan berlatih dalam pikiran yang lebih tinggi. Semua ini didefinisikan sebagai jhāna.
Menurut pendapat saya, kesimpulan ini tidak dapat dielakkan: jhāna adalah perlu untuk seluruh tingkat kebebasan mulia. Jalan Mulia memiliki delapan faktor. Jhāna adalah salah satu dari faktor-faktor tersebut. Hanya dengan pemenuhan seluruh delapan faktor maka seseorang dapat dianggap sebagai berada pada sang jalan.
Pada akhir perjalanan sutta-sutta ini, kita kembali pada prinsip yang sederhana dan langsung ini. Eksplorasi kita pada dunia sutta-sutta yang halus dan kadang-kadang membingungkan berfungsi untuk menerangi rancangan ini, mengungkapkan nuansa yang tidak terduga, kedalaman yang tidak terukur. Tetapi selalu dan di mana-mana, tema kedamaian meresapi sang jalan.
‘Aku katakan, Bhikkhu, bahwa menguapnya racun-racun adalah bergantung pada jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … landasan ruang tanpa batas … landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan … landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi … lenyapnya persepsi dan perasaan.’272
Setelah menyelesaikan penelitian kita, sekarang kita beralih pada sebuah diskusi atas beberapa paragraf sutta yang telah diambil untuk menunjukkan bahwa jhāṅa-jhāna adalah tidak diperlukan bagi kebebasan. Kita telah melihat bahwa sutta-sutta menjelaskan sang jalan dengan jelas dan secara eksplisit, mendekati subjek dari segala arah, tetapi selalu memasukkan jhāna sebagai elemen intrinsik. Jika kita hendak menemukan suatu jalan tanpa-jhāna maka kita harus melakukan pendekatan serupa.
Prinsip proporsional dan prinsip perspektif historis, yang saya usulkan pada bab pertama, sekarang maju ke depan. Ajaran-ajaran minor harus dilihat dalam konteks. Kisah-kisah latar belakang harus secara hati-hati diperiksa ke-otentik-annya. Kita harus bertanya: ‘Apakah Sang Buddha di sini mengubah Jalan Berunsur Delapan, atau menjelaskan suatu jalan yang berbeda? Atau apakah Beliau menjelaskan rincian-rincian, dengan menekankan pada aspek tertentu atau cara mempraktikkan jalan berunsur delapan?’
Sejauh yang dapat saya lihat, ada dua hasil yang mungkin dari pembahasan ini. Apakah bantahan ini sebenarnya tidak menyiratkan bahwa jhāna-jhāna adalah tidak diperlukan, atau terlihat adanya kontradiksi dalam ajaran-ajaran. Kita harus tetap hidup pada kedua hasil yang mungkin terjadi itu. Dalam banyak kasus kesulitan-kesulitan adalah siap untuk dipecahkan. Akan tetapi, jika interpretasi-interpretasi yang kita berikan – beberapa di antaranya tetap bersifat sementara karena tidak adanya pernyataan-pernyataan definitif dalam paragraf-paragraf itu sendiri, suatu indikasi dari status sekundernya – tidak dirasakan sebagai dapat diterima dalam beberapa kasus, kita tidak dapat sekedar mengabaikan otoritas paragraf-paragraf sutta pada bab sebelumnya.
Susīma Sutta sering kali digunakan untuk menyokong klaim bahwa seorang Arahant tidak perlu memiliki Jhāna. Menurut versi Pali dari sutta ini, pengembara Susīma secara curang memasuki Sangha dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan ketenaran. Ia bertanya kepada sejumlah bhikkhu yang telah menyatakan Kearahantaan, dan mereka membantah memiliki kekuatan batin atau pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Hal ini cukup selaras dengan posisi umum dari sutta-sutta. Jhāna tidak disebutkan, walaupun seperti biasanya selalu disiratkan jika sutta itu dibaca dalam cahaya dari pernyataan-pernyataan sutta lain. Misalnya, pernyataan Kearahantaan mereka memasukkan frasa, ‘Kehidupan suci telah dijalani,’ yang berarti mereka telah sepenuhnya mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Mereka mengatakan bahwa mereka ‘terbebaskan melalui pemahaman’; kita telah melihat di atas bahwa pencapaian demikian umumnya memasukkan jhāna, walaupun, seperti di sini, mungkin tidak termasuk pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, yang merupakan tambahan dan di luar dari empat jhāna.
Yang Mulia Susīma jelas terheran-heran dengan pernyataan para bhikkhu, karena tampaknya ia menganggap bahwa tujuan praktik Buddhis adalah pencapaian kekuatan-kekuatan batin atau pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, yang tampaknya menjadi kepercayaan umum di antara kaum non-Buddhis masa itu. Sang Buddha tidak secara eksplisit menegaskan klaim Kearahantaan para bhikkhu itu,273 tetapi menjelaskan situasinya sebagai berikut:
‘Pertama-tama ada pengetahuan keteraturan atas prinsip-prinsip alam; setelah itu ada pengetahuan Nibbana.’274
Pernyataan ini menekankan kembali pentingnya kausalitas dan urutan pengetahuan yang benar. Tanpa suatu pemahaman pada prinsip kausal yang mendasari penderitaan dan prinsip kausal dari praktik untuk terbebas dari penderitaan, adalah tidak mungkin untuk mencapai Nibbana. Kemudian Sang Buddha mengajarkan satu paragraf dari Anattalakkhaṇa Sutta kepada Yang Mulia Susīma yang memuncak pada kebebasan Kearahantaan.275 Kebebasan ini digambarkan dalam Anattalakkhaṇa Sutta sebagai ‘kebebasan pikiran’. Kita melihat di atas bahwa kebebasan pikiran ini adalah karena meluruhnya nafsu; dan meluruhnya nafsu adalah karena pengembangan pikiran melalui samatha.276 Sang Buddha melanjutkan dengan mengajarkan kemunculan bergantungan. Yang Mulia Susīma mengatakan bahwa ia memahami ajaran-ajaran itu, dan karena merasa menyesal, ia mengakui pelanggarannya kepada Sang Buddha.
Yang menarik, dalam versi Cina teks ini, walaupun doktrin dasar dari kemunculan bergantungan ini serupa dan begitu asli, namun kisah latar belakangnya agak berbeda. Di sana, Yang Mulia Susīma, setelah secara curang memasuki Sangha, namun demikian ia dengan cepat memetik cukup banyak pengetahuan doktrin diungkapkan kepadanya dengan cara menanyai beberapa bhikkhu yang membual telah tercerahkan (salah satu dari pelanggaran vinaya berat). Seperti yang ditunjukkan dalam teks ini para bhikkhu yang buruk tidak mungkin ditiru. Sementara para bhikkhu tercela memang harus ditampilkan sepanjang Vinaya Piṭaka, namun sutta-sutta hampir selalu fokus pada sisi positif. Mungkin kisah latar beakang dalam versi Pali telah ditulis ulang untuk menutupi cacat dalam Sangha. Hal ini bisa saja terjadi ketika kanon Pali dari aliran Theravāda telah terpisah dari versi belakangan yang dilestarikan dalam Bahasa Cina. Pemisahan ini terjadi bukan sebelum Konsili ke tiga, lebih dari satu abad setelah wafatnya Sang Buddha.277 Hal ini memaksakan prinsip bahwa kita tidak boleh menggunakan kasus-kasus khusus itu untuk menolak ajaran-ajaran sentral, yang semuanya terbukti hampir identik dalam semua tradisi Buddhis awal.
Dalam beberapa tempat Sang Buddha membicarakan tentang dua ‘cara praktik’, yang dapat dianggap sebagai menunjukkan perbedaan antara jalan meditatif yang berdasarkan pada apakah termasuk atau tidak termasuk jhāna. ‘Cara praktik yang menyakitkan’ terdiri dari persepsi kejijikan pada jasmani, kejijikan pada makanan, kebosanan pada seluruh dunia, kematian, dan ketidak-kekalan segala aktivitas. ‘cara praktik yang menyakitkan’ ini dipertentangkan (tidak menyenangkan) dengan ‘cara praktik yang menyenangkan’ yang terdiri dari jhāna.278 Kita harus memperhatikan bahwa cara menyakitkan tidak pernah diidentifikasikan dengan vipassanā; tujuan dasar dari sebagian besar perenungan ini adalah untuk melenyapkan nafsu indria, yang merupakan satu aspek samatha. Juga tidak berhubungan dengan perenungan perasaan-perasaan yang menyakitkan. Terlebih lagi, perbedaan antara cara-cara praktik ini jelas bukan dimaksudkan sebagai suatu pembagian yang kaku. Praktik dari Yang Mulia Sāriputta adalah cara yang menyenangkan, namun ia juga menyempurnakan perenungan jasmani.279 Praktik dari Yang Mulia Moggallāna adalah cara yang menyakitkan, namun ia memiliki keterampilan dalam semua tingkat samādhi.280 Perbedaannya hanyalah sekedar dalam penekanan. Praktik jhāna yang menyenangkan tidak menggantikan ketujuh faktor jalan lainnya; demikian pula dengan praktik menyakitkan juga tidak menggantikan jhāna. Sesungguhnya, seseorang yang mempraktikkan masing-masing perenungan dari cara praktik yang menyakitkan diajarkan agar ‘tidak mengabaikan jhāna’281 dan agar memiliki lima indria spiritual, walaupun lemah.282
Paragraf lainnya yang telah ditampilkan untuk mendemonstrasikan kelebihan jhāna adalah ketika Sang Buddha berkata kepada Mahānāma orang Sakya bahwa sensualitas dapat muncul dalam diri seorang mulia jika mereka tidak mencapai jhāna.283 Akan tetapi, frasa ini dalam bentuk kalimat kini, ‘tidak mencapai’, bukan ‘tidak pernah mencapai’. Tampaknya bahwa bahkan setelah seorang pemasuk-arus melihat Dhamma, samādhi mereka dapat jatuh jika mereka tidak mendedikasikan waktu yang cukup untuk meditasi, dan oleh karena itu kekotoran tertentu dapat muncul kembali.284 Para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali belum ‘sempurna dalam samādhi’. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak pernah mengalami jhāna apa pun, hanya bahwa mereka tidak mengalami seluruh empat jhāna, atau mungkin tidak mahir dalam jhāna.
Sekali lagi, enam perenungan – Sang Buddha, Dhamma, Sangha, moralitas, kedermawanan, dan para dewa – diajarkan sebagai landasan untuk Kearahantaan,285 bahkan walaupun menurut Visuddhimagga perenungan-perenungan itu hanya menuntun pada samādhi akses. Beberapa guru berpendapat bahwa hal ini menunjukkan bahwa Kearahantaan tidak perlu didasarkan atas jhāna. Bagi saya hal ini tampaknya lebih sebagai keputus-asaan untuk menampilkan sutta-sutta demikian, yang mengajarkan samatha untuk mencapai Kearahantaan dengan tidak menyebutkan vipassanā, untuk menegakkan jalan ‘vipassanā murni’.
Terlebih lagi, pengakuan Visuddhimagga bahwa praktik-praktik ini tidak menuntun menuju jhāna adalah tidak dapat dipertahankan. Sutta-sutta mengatakan bahwa meditasi-meditasi ini akan meninggalkan kelima utas kenikmatan indria, sehingga sang meditator berdiam ‘dengan pikiran dalam segala cara bagaikan angkasa – luas, luhur, tanpa batas, bebas dari kebencian dan niat buruk.’286 Jhāna-jhāna ini disebut ‘kediaman yang bahagia di sini & saat ini yang berhubungan dengan pikiran yang lebih tinggi, untuk pemurnian pikiran yang belum murni, untuk mencerahkan pikiran yang tumpul.’287 Jhāna-jhāna menuntun ke arah ditinggalkannya ‘noda-noda pikiran’.288 Masing-masing dari frasa ini menyiratkan jhāna. Kita tidak dapat membedakan dengan berdasarkan sutta-sutta perbedaan antara samādhi yang dihasilkan dari perenungan-perenungan ini dan samādhi yang dihasilkan dari subjek meditasi lainnya. Sang Buddha hanya mengkonfirmasi interpretasi langsung ini dengan mengatakan bahwa seseorang yang mengembangkan perenungan-perenungan ini ‘tidak mengabaikan jhāna’.289
Alasan utama mengapa Visuddhimagga berpikir bahwa perenungan-perenungan ini tidak dapat mendorong jhāna adalah karena perenungan-perenungan ini melibatkan ingatan dan renungan atas keberagaman kualitas Sang Buddha, dan sebagainya, dan oleh karena itu hanya dapat menuntun menuju samādhi akses (yang merupakan suatu pengakuan yang kebetulan bahwa samādhi akses itu tidak benar-benar terpusat).290 Tetapi tampaknya tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat meninggalkan perenungan pada keberagaman kualitas itu dan fokus pada hanya satu kualitas untuk membangkitkan jhāna. Suatu proses serupa direkomendasikan dalam Visuddhimagga itu sendiri untuk beberapa meditasi lainnya, seperti bagian-bagian tubuh. Teknik ini, yang berdasarkan pada pengulangan dalam hati pada kata ‘buddho’, adalah metode yang disukai untuk mengembangkan jhāna di Thailand masa kini.
Mungkin menjadi paragraf-paragraf yang sangat mengherankan dan sangat berpengaruh, yang oleh banyak orang dipercaya sebagai menyiratkan kelebihan jhāna, adalah kisah latar belakang monastik dan umat awam yang mencapai berbagai tingkat Dhamma tanpa menyebutkan pengembangan meditasi sebelumnya, biasanya ketika sedang mendengarkan suatu khotbah. Biasanya tidak ada apa pun yang secara positif mengabaikan kemungkinan adanya pencapaian jhāna sebelumnya, tetapi dalam banyak kasus hal ini tampaknya tidak mungkin. Dianggap sebagai luar biasa dan patut diingat, kasus-kasus ‘pencerahan instan’ demikian muncul dalam proporsi kecil dalam sutta-sutta (misalnya, kurang lebih setengah lusin kali dalam Majjhima Nikāya), hampir selalu ketika Sang Buddha sendiri yang mengajarkan. Akan tetapi, Sang Buddha jarang secara pribadi mengkonfirmasi pencapaian-pencapaian ini dengan pujian. Sebenarnya, pada saat itu Beliau enggan melakukan hal itu, biasanya Beliau lebih suka menunjukkan bagaimana seseorang dapat mengetahui untuk dirinya sendiri.291
Pencapaian yang paling umum adalah tingkat memasuki-arus, begitu banyak yang menyimpulkan bahwa paragraf-paragraf demikian menyiratkan bahwa pencapaian ini tidak memerlukan jhāna. Akan tetapi, sejumlah penggambaran yang mengherankan dari orang-orang yang mencapai Kearahantaan dalam situasi di mana sepertinya tidak mungkin bahwa mereka sebelumnya telah mengembangkan jhāna. Jadi tampaknya jika kisah-kisah demikian menyiratkan seorang pemasuk-arus tanpa jhāna maka kita juga harus mengakui adanya Arahant tanpa-jhāna. Tetapi saya lebih suka membalikkan logikanya; teks-teks secara tegas menyatakan bahwa para Arahant pasti memiliki jhāna, maka kisah-kisah ini tidak dapat membuktikan keberadaan para Arahant tanpa-jhāna. Oleh karena itu, kisah-kisah itu juga tidak dapat membuktikan adanya pemasuk-arus tanpa-jhāna.
Di sini saya akan memajukan tiga baris argumen untuk mendukung kesimpulan ini. Pertama, kisah-kisah demikian sering kali dipertanyakan keotentikannya. Ke dua, kisah-kisah itu sering kali menggambarkan sejenis samādhi yang diperoleh tidak lama sebelum pengalaman pencerahan yang dapat berarti jhāna. Dan ke tiga, kisah-kisah itu berarti mengarah pada sang jalan, bukan menggantikannya.
Pertama mengenai persoalan historis. Penggambaran ‘pencerahan instan’ tersebar di seluruh kanon. Umumnya adalah bagian dari narasi latar belakang. Narasi-narasi demikian, tidak seperti doktrin-doktrin, bukan berasal dari Sang Buddha atau para siswaNya. Narasi-narasi demikian muncul dalam teks-teks, dengan penulis yang tidak diketahui, waktu penulisan yang tidak diketahui, sumbernya juga tidak diketahui. Siapakah yang mengetahui tingkat pencerahan apakah yang telah dicapai oleh orang-orang itu pada waktu itu? Dapat dimengerti bahwa para siswa berbakti dari seorng guru besar seperti Sang Buddha akan mendengarkan dan mengingat dengan baik, dengan suatu tingkat penerimaan, kata-kata yang diucapkan pada suatu kesempatan. Tetapi suatu tingkat pencapaian spiritual tidaklah mudah diketahui.
Maka tidak perlu heran, jika dalam membandingkan sutta-sutta dalam Pali dan Cina, kita menemukan, berulang-ulang, isi ajaran yang pada intinya sama, sedangkan tingkat pencapaian pendengarnya sama sekali berbeda. Setelah mendengarkan khotbah yang sama, dalam satu versi si pendengar dikatakan menjadi seorang pemasuk-arus, sedangkan pada versi lain ia pergi meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang Arahant; atau kasus lain, dalam satu versi ia hanya mendengarkan dengan penuh hormat, sedangkan dalam versi lain ia menerima tiga perlindungan. Hal ini mengingatkan kita pada fakta dasar, yang begitu jelas sehingga nyaris diabaikan: pernyataan pencapaian demikian bukanlah ‘sutta-sutta yang dibabarkan oleh Sang Buddha’. Itu adalah narasi-narasi yang membingkai yang dimaksudkan untuk memberikan sebuah konteks pada sutta-sutta yang dibabarkan oleh Sang Buddha.
Kisah-kisah ini terlihat sangat jelas dalam bab pertama Vinaya Mahāvagga. Oleh karena itu saya akan berkonsentrasi pada teks ini, walaupun saya percaya bahwa banyak ciri-ciri yang saya cantumkan di sini juga muncul dalam konteks-konteks lain.
Bab ini menceritakan tentang berdirinya Buddhisme. Dimulai dari di bawah pohon Bodhi di mana Sang Buddha merenungkan bagaimana Dhamma menjadi jelas bagi ‘brahmana yang tekun dalam jhāna’. Dilanjutkan dengan bagaimana Sang Buddha mengkonversi para pengikut pertamaNya dan mendirikan kelompok monastik, dengan demikian berfungsi untuk memperkenalkan Vinaya. Teks ini, bersama-sama dengan Mahā Parinibbanāna Sutta – yang banyak terdapat kemiripan – membentuk dasar bagi semua biografi Sang Buddha yang disusun belakangan. Aliran awal lainnya juga memiliki versi mereka atas teks ini, beberapa di antaranya mengembangkannya hingga menjadi suatu biografi yang panjang dan lengkap. Walaupun sutta-sutta awal menyediakan sedikit waktu bagi biografi, namun para penulis belakangan menganggap bahwa kisah hidup Sang Buddha memberikan ‘sentuhan personal’ pada ajaran-ajaran yang ideal untuk memperkenalkan ajaran. Kisah ini mungkin dimasukkan untuk memberikan suatu latar belakang dan teori-teori ajaran kepada siswa-siswa Vinaya, untuk melengkapi pendidikan mereka.
Dan, untuk menambahkan semangat pada materi Vinaya yang kadang-kadang terasa kering, bab ini penuh dengan segala peristiwa yang mengagumkan dan menakjubkan – penampakan para dewa; pertunjukan kekuatan batin; Sang Buddha bahkan bertempur dengan naga ganas bernafas api, menjinakkannya, dan memasukkannya ke dalam mangkuknya! Kejadian terakhir ini penuh dengan hiasan syair ringkasan yang berlebihan292 - jelas suatu ciri literatur belakangan. Kisah-kisah peristiwa gaib agak terkendali dalam versi awal kanon. Kegaiban ini meningkat dalam versi belakangan, dan berkembang liar dalam literatur belakangan.
Tidak kurang mengagumkan dan menakjubkan adalah ‘keajaiban konversi’. Diharapkan bahwa para pendiri agama seharusnya menganggap kemurnian tertinggi yang mungkin adalah berasal dari para pengikut pertama. Tampaknya hampir semua orang yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam bulan-bulan pertama minimal menjadi pemasuk-arus. Ini termasuk, misaknya, Raja Bimbisāra bersama dengan seratus ribu perumah tangga terkemuka dari Magadha. (Tidak disebutkan bagaimana kumpulan yang begitu besar dapat tertampung di sekeliling tempat kediaman di dalam hutan di mana Sang Buddha sedang menetap.) Kecenderungan demikian, juga, berkembang dalam tulisan-tulisan belakangan; Milinda Pañha dengan penuh pemujaan memberitahukan kita bahwa lebih dari satu juga umat awam telah menembus Dhamma. Terdapat suatu anomali di sini. Tidak lama sebelumnya, Sang Buddha, merenungkan halusnya Dhamma dan kuatnya kekotoran, meragukan ada orang yang mampu memahami dan dianggap enggan apakah akan mengajar atau tidak sama sekali.
A.K. Warder mencurigai suatu pengaruh politik bekerja di sini. walaupun pusat operasi utama Sang Buddha adalah di sekitar kerajaan Kosala, namun tidak ada kisah kisah pembanding tentang penembusan massal di sana. Pada periode teks ini sedang disusun, bintang Kosala sedang memudar, sedangkan Magadha sedang berkembang, seiring kebijakan perluasan agresif yang dicetuskan oleh Ajatasattu dan memuncak pada Kekaisaran Buddhis Asoka. Tentu saja sangat menyenangkan bagi meningkatnya politik Sangha pada masa itu untuk menekankan tradisi Buddhis awal di Magadha. Tampaknya bukan mustahil untuk melihat dalam penekanan bab ini pada biografi, aktivitas mmisionari, keajaiban-keajaiban, konversi awam masal, dan efektivitas mendengarkan ajaran untuk mencapai kebebasan sebagai berhubungan erat dengan Buddhisme yang populer, berkembang dan skolastik yang tumbuh pada masa Asoka.
Saya menangkap kesan bahwa bab pertama Mahāvagga ini mungkin diselesaikan sekitar periode yang sama dengan bab terakhir Cūḷavagga, yang menceritakan tentang Konsili ke dua, yang terjadi seratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Walaupun benih-benih doktrin yang padanya teks ini mengkristal – Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, Kemunculan Bergantungan – tumbuh dari jantung pencerahan Sang Buddha, rincian dari biografi penghubung mencatat tradisi populer hingga pengungkapan pencerahan. Dan walaupun narasi populer tampaknya menggambarkan orang-orang yang mencapai tingkat memasuki-arus tanpa praktik meditasi sebelumnya, namun doktrin-doktrin yang menginspirasi pencapaian-pencapaian itu adalah persis sama dengan yang di tempat lain: Jalan Mulia Berunsur Delapan, Empat Kebenaran Mulia, Kemunculan Bergantungan.
Seperti yang telah saya sebutkan, ‘pencerahan instan’ juga muncul di tempat lain dalam kanon Pali. Setelah melihat keotentikan teks yang meragukan di mana peristiwa-peristiwa ini muncul dengan sangat menonjol, kita boleh curiga bahwa kejadian-kejadian lainnya mungkin memiliki cacat serupa. Kisah-kisah yang teringat seperti konversi para pembunuh yang diutus oleh Devadatta dan kemudian konversi seluruh pengikut Devadatta.
Sekarang saya tidak ingin memberikan kesan bahwa semua kisah itu adalah palsu. Beberapa paragraf doktrin yang akan kita periksa di bawah memberikan kesan bahwa adalah mungkin untuk menembus Dhamma selama suatu khotbah, dan siapa yang tahu apakah suatu kisah historis adalah asli. Akan tetapi, saya memang ingin memberikan kesan bahwa bukti historis yang menegaskan penembusan Dhamma tanpa praktik sebelumnya adalah sangat sedikit. Sering kali hanya pada peristiwa-peristiwa ketika tampaknya sangat tidak mungkin si pendengar telah mengembangkan jhāna sebelumnya yang terbukti menjadi yang paling dipertanyakan secara historis.
Selanjutnya pada argumen ke dua saya. Paragraf-paragraf yang menggambarkan ‘pencerahan instan’ sering kali menekankan tentang bagaimana kegembiraan mendengarkan Dhamma memurnikan pikiran dalam kesiapan untuk penembusan. Walaupun teks-teks tidak sepenuhnya eksplisit pada titik ini, penggambaran kondisi pikiran ini tentu saja selaras dengan jhāna. Paragraf standarnya adalah sebagai berikut:
‘Kemudian Sang Bhagavā memberikan instruksi bertahap kepada perumah tangga Upāli; yaitu, khotbah tentang memberi, moralitas, dan alam surga. Beliau menjelaskan bahaya, keburukan, dan kekotoran dalam kenikmatan indria dan keuntungan dari meninggalkan keduniawian. Ketika Beliau mengetahui bahwa pikiran perumah tangga Upāli telah siap, lunak, bebas dari rintangan, gembira, bersih dari keragu-raguan, maka Beliau membabarkan kepadanya ajaran istimewa para Buddha: Penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Seperti halnya sehelai kain bersih dengan segala noda telah disingkirkan akan menerima celupan secara merata, demikian pula selagi perumah tangga Upāli duduk di sana, mata Dhamma yang bersih dan tanpa noda muncul padanya: “Apa pun yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.”’293
Paragraf ini menekankan sifat bertahap dan progresif dari ajaran, yang paralel dengan sifat bertahap dan progresif dari sang jalan. Kita telah melihat bagaimana jhāna-jhāna, ‘kebahagiaan pelepasan keduniawian’, adalah jalan membebaskan diri dari kenikmatan indria; bagaimana kebebasan dari rintangan-rintangan disamakan dengan jhāna pertama; dan bagaimana samādhi adalah kondisi yang tidak bisa diabaikan untuk melihat empat kebenaran mulia. Kita juga telah melihat bahwa seorang pemasuk-arus mengetahui bahwa: ‘Prinsip-prinsip ini, yang sebelumnya hanya kudengar, sekarang telah kudiami setelah mencapainya secara pribadi, dan melihatnya setelah menembusnya dengan pemahaman.’ perumpamaan kain bersih lebih jauh lagi menekankan perlunya kemurnian pikiran untuk melihat Dhamma. Mungkinkah mencapai jhāna ketika mendengarkan khotbah?
‘Ketika seorang siswa mulia mengarahkan telinganya untuk mendengar Dhamma, menyimak dengan penuh perhatian sebagai sesuatu yang sangat penting, mengarahkan segenap pikirannya pada Dhamma itu, pada saat itu kelima rintangan tidak ada, pada saat itu ketujuh faktor pencerahan terpenuhi melalui pengembangan.’294
Di sini, samādhi ditandai dalam dua aspek, aspek negatif sebagai ditinggalkannya rintangan-rintangan, dan aspek positif sebagai pemenuhan – bukan sekedar pembangkitan awal – dari faktor pencerahan samādhi. Saya tidak melihat bagaimana hal ini dapat bermakna apa pun yang lebih rendah daripada jhāna penuh. Sementara paragraf di atas merujuk pada seseorang yang telah menjadi seorang siswa mulia, paragraf berikut ini merujuk pada seseorang yang memasuki jalan memasuki-arus.295
‘Dengan memiliki kelima kualitas ini, para bhikkhu, seseorang yang mendengarkan Dhamma sejati tidak mampu memasuki jalan pasti kebenaran sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat. Apakah lima ini? Ia mengkritik ajaran-ajaran; ia mengkritik sang guru; ia mengkritik gurunya sendiri; ia mendengarkan Dhamma dengan pikiran berhamburan, bukan dengan pikiran terpusat; dan ia mengalihkan perhatiannya dari akar. [Tetapi jika ia memiliki kualitas-kualitas sebaliknya, maka ia mampu.]’296
Jika keterpusatan di sini sekedar bermakna menyimak dengan penuh perhatian pada ajaran, maka paragraf ini dapat bermakna tingkat konsentrasi pra-jhāna sudah mencukupi untuk menembus Dhamma pada saat mendengarkan khotbah. Tetapi ‘kebenaran’ bermakna Jalan Mulia Berunsur Delapan, termasuk jhāna; dan samādhi dari seseorang yang berlatih untuk mencapai tingkat memasuki-arus adalah indria spiritual samādhi, dan seterusnya. Kita juga telah melihat bahwa satu-satunya paragraf yang menganalisis samādhi pra-jhāna yang jelas secara terperinci menggambarkannya sebagai ‘tidak terpusat’.297 Oleh karena itu paragraf ini tampaknya menyiratkan jhāna yang dicapai sebelum atau selama khotbah itu berlangsung. Jika demikian, maka hal ini sangat mendukung perlunya jhāna untuk memasuki sang jalan. Paragraf berikut ini menggambarkan proses secara terperinci.
‘Ada, para bhikkhu, kelima landasan bagi kebebasan ini di mana seorang bhikkhu yang berdiam dengan rajin, tekun, dan teguh maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, racun-racunnya yang belum menguap menjadi menguap, and keamanan tertinggi dari belenggu yang belum tercapai menjadi tercapai. Apakah lima ini? ‘Di sini, Sang Guru atau seorang sahabat yang dihormati dalam kehidupan suci mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu … ‘… Atau seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma yang telah ia pelajari kepada orang lain … ‘ … Atau seorang bhikkhu mengulangi secara terperinci Dhamma yang telah ia pelajari … ‘ … Atau seorang bhikkhu memikirkan, memeriksa, dan dalam pikirannya ia mengeksplorasi Dhamma yang telah ia pelajari … ‘ … Atau suatu landasan samādhi tertentu telah dipahami dengan baik, ditekuni dengan baik, digenggam dengan baik dalam pikiran, dan ditembus dengan baik dengan pemahaman … [Dalam semua kasus di atas:] ‘Ia terinspirasi oleh makna dan Dhamma. Karena terinspirasi oleh makna dan Dhamma, kegembiraan muncul dalam dirinya. Dalam diri seorang yang gembira, muncul sukacita. Dalam diri seorang dengan pikiran bersukacita, tubuhnya menjadi tenang. Seorang yang tubuhnya tenang merasakan kebahagiaan. Pikiran dari seorang yang berbahagia memasuki samādhi … Ini adalah lima landasan kebebasan …’298
Situasi-situasi ini bersesuaian dengan pengembangan faktor-faktor pencerahan,299 dengan landasan kekuatan batin ‘dengan bergantung pada penyelidikian, seseorang memperoleh samādhi, seseorang memperoleh keterpusatan pikiran’, dengan sang jalan yang mengembangkan vipassanā sebelum samatha, dan dengan sembilan dhamma yang sangat membantu.300 Kondisi-kondisi penting bagi jhāna hadir persis seperti biasanya, dan samādhi, sebuah sinonim umum dari jhāna, muncul seperti biasanya di antara kebahagiaan dan pandangan terang yang membebaskan.
Tidak seperti paragraf-paragraf sebelumnya, di sini tidak ada alasan khusus untuk beranggapan bahwa pencapaian samādhi harus bersamaan dengan mendengar Dhamma, dan seterusnya. Sebaliknya, mendengar Dhamma, dan seterusnya adalah pemantik bagi pengembangan samādhi. Walaupun kita melihat di atas bahwa catatan historis hampir selalu menghubungkan peristiwa-peristiwa demikian dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri, paragraf-paragraf doktrin ini tidak membedakan antara apakah Sang Buddha atau siswa yang mengajarkan; juga tidak menyiratkan bahwa si guru pasti memiliki kekuatan batin. Kita dapat melihat bahwa hanya satu kali dalam sutta-sutta seorang bhikkhu menjadi tercerahkan selama pengajaran berlangsung, dan dalam hal itu si bhikkhu telah menjadi seorang yang-tidak-kembali.301 Sebenarnya, mendengarkan Dhamma adalah satu-satunya dari kejadian-kejadian yang disebutkan secara terus-menerus untuk mencapai tingkat memasuki-arus; tetapi kita harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan apa pun dari hal ini. Lagipula, sutta-sutta mencatat ajaran-ajaran verbal, bukan pengalaman-pengalaman meditasi.
Paragraf ini harus dipertimbangkan bersama-sama dengan khotbah tentang ‘Yang berdiam dalam Dhamma’.302 Di sana, empat jenis pertama dari para bhikkhu – pelajar, guru, pengulang, dan pemikir – dipertentangkan secara negatif dengan ‘yang berdiam dalam Dhamma’, yang ‘tidak mengabaikan retreat, yang menekuni samatha pikiran’. Hal ini merujuk kembali pada frasa ‘rajin, tekun, dan teguh’ – belajar hanya menghasilkan buah jika dipasangkan dengan meditasi.
Kasus Brahmana Dhānañjāni juga boleh disebutkan sehubungan dengan hal ini. Seorang pengumpul pajak yang korup, namun ia mampu mengembangkan kediaman brahma menjelang kematiannya melalui nasihat yang diberikan oleh Yang Mulia Sāriputta, dan melalui pencapaian jhāna itu ia terlahir kembali di alam Brahmā.303
Berdasarkan pada semua paragraf ini bersama-sama, tampaknya adalah mungkin bagi orang tertentu untuk mencapai jhāna ketika pengajaran Dhamma sedang berlangsung, dan menggunakannya untuk mengembangkan pandangan terang yang menuntun menuju kebebasan.
Saya menyisakan argumen yang paling penting hingga saat terakhir. Paragraf-paragraf ini tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan atau mengubah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tujuannya adalah untuk menginspirasi, membangkitkan, mengarahkan pada ajaran-ajaran. Paragraf-paragraf ini harus mendorong kita untuk menyelidiki ajaran-ajaran secara seksama dan untuk mengarahkan pikiran kita sepenuhnya pada praktik untuk menembus Dhamma sepenuhnya. Janganlah kita menangkap ular di ekornya. Mengeksploitasi paragraf-paragraf demikian untuk mengabaikan aspek penting sang jalan tentu saja mengacaukan tujuan dari ajaran-ajaran.
Walaupun semuanya telah dikatakan dan dilakukan, paragraf-paragraf ini tetap merupakan yang paling sulit diselaraskan dengan pentingnya jhāna secara integral dalam sang jalan. Sesungguhnya, paragraf-paragraf ini bersandar dengan tidak nyaman pada pemahaman dasar kita bahwa pencapaian Dhamma adalah penembusan pikiran secara langsung yang melampaui konsep-konsep. Pada suatu titik dalam khotbah, si pendengar harus mengarahkan pengetahuan konseptual yang telah mereka peroleh pada perenungan pengalaman langsung. Hal ini disiratkan oleh ‘mengarahkan pikirannya pada akar’. Jika pengalihan pikiran pada vipassanā ini dapat terjadi, maka tampaknya tidak ada alasan kaku mengapa pengalihan pikiran pada jhāna tidak dapat terjadi.304 Tentu saja, tidak ada paragraf-paragraf sutta yang mengabaikan hal ini. Mungkin kita hanya harus menerima bahwa peristiwa ini hampir tidak terbayangkan yang terjadi pada para individu yang sangat istimewa.
Demi tujuan-tujuan praktis, pertanyaan sehubungan dengan apakah peristiwa-peristiwa demikian menyiratkan jhāna atau bukan adalah mungkin tidak mengesampingkan pentingnya. Setidaknya paragraf-paragraf itu menegaskan bahwa beberapa individu dapat mengalami kemajuan yang cepat pada sang jalan. Paragraf-paragraf itu bukan merupakan sebuah jalan yang terpisah. Cara terbaik untuk memaksimalkan kesempatan kita untuk menembus Dhamma selagi mendengarkan sebuah khotbah adalah dengan tanpa mengenal lelah mengembangkan samatha dan vipassanā. Pandangan benar terbantu tidak hanya melalui pembelajaran, dan tidak hanya melalui meditasi, melainkan melalui ‘moralitas, pembelajaran (atau ‘mendengarkan’), diskusi, samatha, dan vipassanā.’305
Paragraf-paragraf di atas semuanya menyebutan samādhi. Akan tetapi, Dhamma sering kali diajarkan tanpa menyebutkan samādhi sama sekali. Misalnya, khotbah ke dua dan ke tiga yang dibabarkan oleh Sang Buddha tidak menyebutkan samādhi, namun kedua sutta itu menuntun pendengarnya menuju Kearahantaan.306 Bagaimanakah hal ini dipahami?
Di tempat lain, Dhamma diajarkan dengan tidak menyebutkan kebijaksanaan. Misalnya, syair terkenal yang dikenal sebagai ‘nasihat dalam aturan berperilaku’ yang berfokus pada moralitas, tetapi memasukkan dua frasa yang menyiratkan meditasi: ‘mencerahkan pikiran’ dan ‘pikiran yang lebih tinggi’. Ini secara spesifik merujuk pada samādhi. Vipassanā yang merupakan ‘pemahaman yang lebih tinggi’ tidak disebutkan di sini. setelah mengajarkan hanya moralitas dan samādhi, Sang Buddha menutupnya dengan mengatakan: ‘Ini adalah ajaran para Buddha.’307 Apakah kita harus memahami bahwa kebijaksanaan adalah bagian yang bisa diabaikan dari jalan Buddhis? Atau apakah kita lebih baik mengingat prinsip interpretasi yang kita andalkan selama ini?
Soṇadaṇḍa Sutta memberikan contoh tentang bagaimana menginterpretasikan konteks-konteks ini dan konteks serupa. Seorang brahmana memberitahu Sang Buddha:
‘Pemahaman dimurnikan oleh moralitas, dan moralitas dimurnikan oleh pemahaman; di mana yang satu ada, maka yang lain juga ada; seorang yang bermoral memiliki pemahaman, dan seorang yang memiliki pemahaman adalah bermoral; dan kombinasi pemahaman dan moralitas disebut sebagai yang tertinggi di dunia.’ ‘Tetapi, Brahmana, apakah moralitas, apakah pemahaman …? ‘Di sini, seorang siswa meninggalkan keduniawian [seperti dalam Sāmaññaphala Sutta] … menjalankan sila … menjaga indria-indrianya … mengembangkan perhatian dan pemahaman jernih … puas, dan sebagainya. Itu, Brahmana, adalah moralitas. ‘Ia masuk dan berdiam dalam empat jhāna … mengembangkan pengetahuan-pengetahuan langsung … dan mencapai menguapnya racun-racun … Itu, Brahmana, adalah pemahaman.’308
Ketika sang jalan diajarkan secara singkat, aspek-aspek tertentu bisa ditekankan atau yang lainnya dihilangkan untuk menyesuaikan dengan situasi. Akan tetapi, penjelasan dari ajaran singkat ini harus diberikan dalam keseluruhan kerangka. Jika jhāna tidak disebutkan secara spesifik, maka dapat termasuk dalam kebijaksanaan.
Aliran vipassanā modern memperingatkan bahwa samādhi menuntun menuju kemelekatan. Tampaknya ada suatu ketakutan mendalam pada kenikmatan yang mendasari doktrin ini. Tetapi tema ini tidak memperoleh dukungan yang cukup dari sutta-sutta. ‘Bahaya’ dalam samādhi diperlakukan secara identik dengan ‘bahaya’ dalam perhatian dan pemahaman; yaitu, sama-sama bukan tujuan akhir.309 Meninggalkan kenikmatan halus dari kebahagiaan samādhi – yang dikenal sebagai belenggu-belenggu nafsu pada bentuk dan tanpa-bentuk, dan dalam hal nafsu, yaitu racun-racun, dan dorongan penjelmaan yang tersembunyi – adalah tugas utama dari yang-tidak-kembali.310 Topik kemelekatan pada samādhi dijelaskan dalam analis berikut ini oleh Yang Mulia Mahā Kaccāna atas suatu pernyataan membingungkan dari Sang Buddha.
‘Seorang bhikkhu harus memeriksa sedemikian rupa sehingga ketika ia melakukan pemeriksaan kesadarannya tidak teralihkan dan tidak berserakan secara eksternal, tidak terjebak di dalam, dan dengan tidak menggenggam ia tidak menjadi gelisah. Jika ia melakukan demikian, maka tidak ada produksi kelahiran, penuaan, dan asal-mula penderitaan baginya di masa depan.’ … ‘Bagaimanakah, teman-teman, kesadaran disebut “teralihkan dan berserakan secara eksternal”? setelah melihat suatu bentuk terlihat dengan mata, kesadaran seorang bhikkhu mengikuti ciri-ciri bentuk terlihat itu, terikat, terkungkung, dan terbelenggu oleh belenggu kepuasan dalam ciri-ciri bentuk terlihat itu. [Dan seterusnya.] ‘Dan bagaimanakah, teman-teman, kesadaran disebut “tidak teralihkan dan tidak berserakan secara eksternal”? setelah melihat suatu bentuk terlihat dengan mata, kesadaran seorang bhikkhu tidak mengikuti ciri-ciri bentuk terlihat itu, tidak terikat, tidak terkungkung, dan tidak terbelenggu oleh belenggu kepuasan dalam ciri-ciri bentuk terlihat itu. [Dan seterusnya.] ‘Dan bagaimanakah, teman-teman, pikiran311 disebut “terjebak di dalam”? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Kesadarannya mengikuti kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan, terikat, terkungkung, dan terbelenggu oleh belenggu kepuasan dalam kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. [Dan seterusnya dengan “kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari samādhi” untuk jhāna ke dua; “kebahagiaan dengan keseimbangan” untuk jhāna ke tiga; dan “bukan kenikmatan juga bukan kesakitan” untuk jhāna ke empat.] ‘Dan bagaimanakah, teman-teman, pikiran disebut “tidak terjebak di dalam”? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Kesadarannya tidak mengikuti kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan, tidak terikat, tidak terkungkung, dan tidak terbelenggu oleh belenggu kepuasan dalam kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. [Dan seterusnya.]312
Penjelasan Yang Mulia Mahā Kaccāna adalah halus dan tepat. Ketiga jenis pemeriksaan bersesuaian dengan tiga latihan. Jenis pertama terhubung erat dengan pengendalian indria, satu aspek dari moralitas. Perhatikan bahwa ‘fenomena-fenomena pikiran’ di sini diperlakukan sebagai ekternal bagi kesadaran, seperti halnya objek-objek indria lainnya. Kemudian bagian samādhi menyusul sesuai lanjutan biasa setelah moralitas. Analisis ini menunjukkan bahwa jalan melampaui kemelekatan pada kebahagiaan spiritual bukanlah dengan menghindari jhāna. Bhikkhu yang ‘tidak terjebak di dalam; mempraktikkan jhāna dengan cara yang sama, tetapi menggunakan kebijaksanaan halus yang diperkuat oleh samādhi untuk mengalihkan kemelekatan. Sutta-sutta secara konsisten merekomendasikan samādhi sebagai bagian dari praktik untuk mengatasi kemelekatan pada samādhi.313
Seperti pada banyak sutta, teks ini merujuk pada pengembangan bertahap. Pertama seseorang mengatasi keterserakan pikiran, yang dicapai melalui samādhi. Tanpa kebahagiaan dan ke-diam-an samādhi, adalah mustahil menarik pikiran dari kehebohan aktivitas indria. Berikutnya, hanya setelah ia mencapai ini, maka ia harus melampaui ke-diam-an samādhi. Teks menampilkan hal ini dengan frasa umum, ‘dengan tidak menggenggam ia menjadi tidak gelisah’. Analisis atas frasa ini, yang tidak saya masukkan dalam terjemahan di atas, menjelaskan tentang bagaimana, jika kelima kelompok unsur kehidupan dianggap sehubungan dengan ‘diri’, kegelisahan muncul jika terjadi perubahan. Tingkat pandangan terang yang mendalam ini menyusul, seperti biasanya, dari pengembangan samādhi.
Sutta tidak mengomentari frasa terakhir: ‘produksi kelahiran, penuaan, kematian, dan asal-mula penderitaan di masa depan.’ Akan tetapi, frasa yang identik muncul di Mahā Nidāna Sutta. Di sana frasa ini merujuk pada keterpusatan kesadaran pada batin & jasmani. Hal ini menyiratkan peran ganda kesadaran, sebagai pusat pengalaman hidup dan sebagai fungsi identitas yang mengalir dalam kelahiran kembali. Syair yang mengikuti ringkasan pendahuluan yang sama dalam Itivuttaka menegaskan bahwa yang dimaksudkan adalah kelahiran kembali.314
Hal ini berhubungan dengan penolakan yang terkenal Sang Bodhisatta pada guru-guru sebelumnya yang dari mereka Beliau mencapai pencapaian tanpa bentuk tertinggi. Ketika Sang Bodhisatta pertama berlatih dari guru-guru ini, Beliau mulai mempelajari teori-teori doktrin. Hal ini tidak dijelaskan secara terperinci, tetapi pasti menempatkan praktik samādhi dalam kerangka konseptual, mungkin menempatkan kehidupan abadi dari jiwa yang berbahagia di alam kelahiran kembali yang bersesuaian dengan pencapaian samādhi. Samādhi apa pun yang dihasilkan dari pandangan salah demikian pasti adalah samādhi salah.
Namun demikian Sang Bodhisatta memuji guru-gurunya karena memiliki keyakinan, kegigihan, perhatian, samādhi, dan pemahaman ( di sini hal-hal ini tidak disebut sebagai ‘indria-indria spiritual’), membantah segala gagasan bahwa perhatian dan pemahaman adalah khas Buddhisme. Serta dalam memahami kamma dan kelahiran kembali, guru-guru ini juga telah dengan baik menunjukkan bahwa hampir segala sesuatu adalah tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri, melekat hanya pada pandangan diri yang halus.
Tetapi Sang Bodhisatta memulai pencarian spiritualNya untuk mencari apa yang tidak tunduk pada kelahiran, penuaan, dan kematian, dan karena itu ia menolak samādhi salah dari kaum sektarian ini, yang menuntun hanya pada kelahiran kembali di alam-alam kehidupan yang luhur. Akan tetapi, hormat dan terima kasihnya pada mantan guru-guruNya terlihat, karena mereka adalah orang-orang pertama yang terpikirkan olehNya untuk diajari setelah pencerahanNya; setelah lama memiliki ‘sedikit debu di mata mereka’ maka mereka akan dengan cepat memahami Dhamma. Ia tidak memberikan kehormatan yang sama pada penyiksa-diri dari kelompok lima bhikkhu seperti yang Beliau lakukan pada para praktisi samādhi, melainkan sekedar berkomentar bahwa ‘mereka telah sangat membantu’.315
Adalah menarik bahwa ketika Sang Bodhisatta, sesaat sebelum pencerahanNya, merenungkan praktik samādhi yang pernah ia lakukan sebelumnya, Beliau melewatkan pengalamannya dengan guru-guru sektarian, sebaliknya mengingat episode yang jauh dari masa mudaNya ketika Beliau duduk di bawah pohon jambu dan mencapai jhāna pertama. Ingatan ini menunjukkan padaNya bahwa samādhi tidak harus terkurung dalam kerangka metafisik dogmatis, tetapi pada intinya adalah hanya suatu ungkapan alami dari arus Dhamma yang indah.
Penutup
Secara kesimpulan, paragraf-paragraf yang telah digunakan untuk melemparkan keragu-raguan pada perlunya jhāna terdiri dari pernyataan-pernyataan doktrin minor dan kisah-kisah latar belakang. Bahkan jika kita menemukan pernyataan langsung tentang berlebih-lebihannya jhāna dalam materi-materi demikian, dapatkah hal ini lebih banyak daripada kumpulan besar ajaran jelas tentang sang jalan? Lebih baik mencoba untuk menggelincirkan kereta api barang dengan tusuk gigi. Dan tentu saja, tidak ada pernyataan langsung demikian. Sang Buddha tidak akan menempatkan jhāna dalam jantung sang jalan hanya untuk membalikkan dan menyatakan suatu jalan yang seluruhnya kepala, tanpa jantung.
Kita tidak boleh lupa bahwa kausalitas adalah ciri sentral dari Dhamma, yang mendasari analisis baik pada problem kehidupan maupun solusi praktis. Faktor spesifik dari sang jalan, yang berfungsi sebagai kondisi yang diperlukan untuk dihasilkannya akibat spesifik, memberikan contoh kondisionalitas spesifik dari fenomena-fenomena secara umum, yaitu, kemunculan bergantungan. Menyiratkan bahwa salah satu faktor sang jalan bisa jadi bersifat opsional yang memperkenalkan ketidakjelasan pada sang jalan, mundur dari paradigma kausal menjadi paradigma korelasi. Sang jalan menjadi sekedar sebuah koleksi cara-cara terampil, bukan sebagai perwujudan prinsip-prinsip universal. Benar bahwa beberapa praktik, seperti praktik-praktik pertapaan, pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, dan kekuatan-kekuatan batin adalah berguna namun tidak sangat penting. Tetapi hal-hal ini tidak muncul dalam sayap-sayap menuju pencerahan atau kemunculan bergantungan; hal-hal itu bukanlah faktor-faktor kunci dari sang jalan dalam makna yang menjadi pertimbangan di sini.
Bermain di sekitar faktor kunci dari sang jalan melepaskan serombongan kesulitan teoritis. Jika satu faktor sang jalan adalah bersifat opsional, bagaimana dengan yang lainnya? Mungkin terdapat lebih dari satu jalan? Kalau begitu, ada berapa banyak? Bagaimanakah banyak manfaat jhāna itu dicapai tanpa jhāna? Bagaimana mengatasi kegelisahan ketika pikiran masih bergerak? Bagaimana melampaui konsep-konsep ketika pikiran masih melabelkan? Bagaimana melihat kebenaran-kebenaran yang halus dengan kesadaran yang kasar? Jika seseorang dapat melampaui rintangan-rintangan dengan hanya perhatian saja, mengapa seseorang tidak dapat sekedar memusatkan pikiran dan memasuki jhāṅa? Apakah yang menghalangi jhāna jika bukan rintangan-rintangan? Karena tidak mampu mencapai samatha jhāna persiapan, bagaimana mungkin seseorang dapat mencapai samatha Nibbana yang tertinggi?
Menghilangkan jhāna dari sang jalan akan berarti lebih dari sekedar merujuk pada beberapa paragraf yang mendukung; hal ini memerlukan suatu model komprehensif dari sang jalan untuk mempertimbangkan kesulitan-kesulitan demikian. Inilah mengapa doktrin sang jalan tanpa jhāna hanya dikembangkan dalam aliran Theravāda berabad-abad setelah Sang Buddha, dan tidak menonjol hingga masa kita sekarang. Demikianlah betapa lamanya waktu yang ditempuh untuk membentuk sekumpulan interpretasi dan penjelasan yang memperbolehkan para ahli teori untuk secara sistematis menjelaskan semua pernyataan tentang posisi sentral pada jalan Sang Buddha. Tetapi, seperti yang telah saya perlihatkan berulang-ulang, model komentar adalah tidak dapat diandalkan, dan sering kali berlawanan dengan paragraf-paragraf sutta yang dijelaskan. Siapa pun yang ingin mengabaikan jhāna memerlukan paradigma baru.
‘”Dhamma ini adalah untuk seseorang yang memiliki samādhi, bukan untuk seseorang yang tanpa samādhi.” Demikianlah dikatakan. Untuk alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang bhikkhu … masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat.’
~ Sang Buddha, AN 8.30
Sang Buddha tidak pernah membagi tema meditasi menjadi dua kelompok: praktisi samatha dan praktisi vipassanā. Beliau mengajarkan pengembangan pikiran untuk berakhirnya penderitaan. Karena pikiran bermacam-macam, maka demikian pula cara pengembangan juga bermacam-macam. Tetapi jika kita membekukan cara-cara berbeda ini menjadi jalan-jalan berbeda maka kita mematahkan kesatuan Dhamma. Beberapa orang akan berjalan di sebelah kiri, beberapa lainnya di sebelah kanan; beberapa orang berjalan lebih cepat, beberapa lainnya lebih lambat; beberapa orang berjalan dengan mudah, beberapa lainnya dengan susah-payah; tetapi jalan itu sendiri adalah satu.
‘[Jalan Mulia Berunsur Delapan] ini adalah jalan satu-satunya Tidak ada jalan lain untuk pemurnian penglihatan.’316
Saya menyadari dengan baik bahwa dengan memaksakan bahwa jhāna diperlukan bagi kebebasan saya mencari resiko disebut sebagai tidak toleran. Banyak orang, yang berhati-hati terhadap kaum fanatik agama, mencari landasan yang sama antar agama atau antara cabang-cabang dari agama yang sama dengan mengakui perbedaan permukaan, muncul sebagai respons yang sah terhadap situasi waktu dan tempat, menyembunyikan kesatuan yang mendasari.
Saya percaya ini keliru. Tentu saja, Sang Buddha membantah bahwa ajarannya adalah sama dengan ajaran lainnya. Sementara banyak perbedaan sesungguhnya mengambang hanya di permukaan, menurut pendapat saya sebuah penilaian yang jujur menunjukkan bahwa, di antara banyak persamaan, beberapa perbedaan penting terdapat dalam kedalaman struktur agama-agama – dalam filosofinya, dalam pengalaman-pengalaman pemuka-pemukanya, dan dalam sabda-sabda pendirinya. Tetapi tentu saja, tanpa-identitas bukan berarti sepenuhnya terpisah atau kontradiktif; hal ini berarti berbeda namun berhubungan.
Lagipula, sekedar toleran adalah nilai yang pelit. Kita harus melakukan lebih dari sekedar toleran, kita harus menghargai kebaikan di manapun kita menemukannya. Kita harus bergembira dalam kedamaian, kebijaksanaan, dan pemenuhan apa pun yang dicapai oleh praktisi spiritual mana pun dalam cara yang mereka pilih. Kita harus berbahagia dalam hidup bersama, berbicara bersama, dan berlatih bersama dalam semangat saling menghormati, saling rukun, dan saling mendukung bahkan jika kita harus berbeda pandangan atau praktik.
Ucapan: ‘Kita harus bisa rukun dengan mereka karena, pada akhirnya, mereka adalah sama dengan kita’ mungkin adalah pandangan yang paling toleran. Kita menghargai orang lain karena mereka memenuhi standar kita; tetapi kita tidak boleh menilai orang lain karena nilai intrinsik mereka, karena mereka memenuhi standar mereka sendiri. Yang lebih penting lagi, mereka memperlakukan kebenaran dengan buruk. Kebenaran adalah satu hal, dan tidak tunduk pada tingkah-pola kebiasaan. Di sini, tentu saja, semuanya sepakat. Keberagaman agama dan doktrin filosofis di dunia adalah usaha untuk menyajikan kebenaran itu.
Pandangan bahwa ‘Semuanya adalah sama pada akhirnya’ adalah satu pandangan sendiri. Tetapi pandangan ini beresiko tidak toleran terhadap penyelidikan logis. Menyatakan hal-hal sensitif yang melewati batas karena takut akan timbulnya perselisihan adalah cara yang pasti untuk meredam vitalitas agama, menurunkannya pada stagnasi dan penyimpangan. Melakukan kritik yang logis dan penuh pertimbangan memberikan perhatian bermartabat pada pandangan-pandangan itu, dan memberikan keterlibatan bermartabat dalam penyelidikan demikian pada para pengikut pandangan-pandangan itu. Jika kritik itu relevan maka mereka dapat mengoreksi gagasan-gagasan mereka; jika kritik itu keliru maka mereka dapat mengembangkan pembelaan yang lebih rumit atas gagasan-gagasan mereka. Penyelidikan dapat membedakan antara perbedaan-perbedaan opini yang remeh maupun yang penting, dan membuka jalan untuk rekonsiliasi yang bermanfaat.
‘Perselisihan-perselisihan tentang penghidupan atau aturan perilaku adalah hal remeh, Ānanda. Tetapi jika perselisihan-perselisihan muncul dalam Sangha sehubungan dengan sang jalan atau cara praktik [tiga puluh tujuh sayap menuju pencerahan], maka hal itu akan mencelakai dan menimbulkan bencana bagi banyak orang.’317
‘Hanya ini yang benar – semua yang lainnya adalah dungu’: ini adalah satu pandangan ekstrim. ‘Semuanya adalah sama pada akhirnya’: ini adalah pandangan ekstrin ke dua. Sang Buddha mengajarkan kita untuk menghindari ekstrim-ekstrim ini melalui analisis dan penyelidikan: ‘Apakah yang sama? Apakah yang berbeda?’
Jika kita menjelajahi seluruh padang pasir di atas permukaan bumi yang luas ini kita tidak akan menemukan bahkan dua butir pasir yang benar-benar identik. Lebih kecil lagi kemungkinan kita dapat menemukan dua butir pasir yang sama sekali berbeda. Landasan sejati dari belas kasihan dan penghormatan bukanlah identitas yang diasumsikan atas kepercayaan atau jalan, melainkan kesamaan kita sebagai makhluk hidup. Kita semua merasakan sakit. Kita bersama-sama dalam perahu bumi itu, terombang-ambing di samudera tanpa arah, merindukan pemandangan akan daratan.
Seperti halnya kita berbagi kesedihan kita, demikian pula kita berbagi kegembiraan kita. Dan dari semua kegembiraan, tidak ada yang dapat menandingi kegembiraan melepaskan. Kegembiraan ini bukan milik seseorang, tidak menetap di negara tertentu. Ini juga bukan ‘Buddhis’, dan bukan ditemukan oleh Sang Buddha. Jhāna bukanlah suatu kesulitan atau problem yang harus kita takuti, melainkan suatu janji bahwa kehidupan spiritual yang menuntun ke arah kenikmatan yang menakjubkan.
‘”Seseorang harus tahu bagaimana mendefinisikan kebahagiaan, dan mengetahui itu, maka ia harus mengejar kebahagiaan dalam dirinya sendiri.” Demikianlah dikatakan. Karena alasan apakah hal ini dikatakan? ‘Kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria disebut kebahagiaan kenikmatan indria – kebahagiaan yang kotor, kasar, dan tidak mulia. Aku katakan bahwa kebahagiaan ini seharusnya tidak dilatih, seharusnya tidak dikembangkan, seharusnya tidak dipentingkan, sebaliknya harus ditakuti. ‘Di sini, seorang bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat. Ini disebut kebahagiaan meninggalkan keduniawian, kebahagiaan keterasingan, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan. Aku katakan bahwa kebahagiaan ini seharusnya dilatih, seharusnya dikembangkan, seharusnya dipentingkan, dan seharusnya tidak ditakuti.’318
Seperti yang saya tekankan di awal, makna tidak terdapat dalam sebuah teks. Lebih tidak ada lagi yang dapat disarikan dan disaring menjadi suatu formula definitif dan universal. Sebaliknya, hal ini muncul dalam respons dari pembaca. Masing-masing pembaca akan merespons menurut caranya masing-masing. Hal ini bukan berarti bahwa analisis tekstual adalah tidak relevan, karena dalam beberapa kasus kita dapat menghilangkan bacaan-bacaan yang menyesatkan, dan dalam beberapa kasus interpretasi-interpretasi yang mungkin dapat dikonfirmasi melalui pengalaman. Tetapi pada akhirnya satu hal adalah pasti – Dhamma tidak berhenti pada kata-kata tertulis.
‘Apakah, Bhante, yang dirujuk oleh “yang berdiam dalam Dhamma”? …’Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma – sutta-sutta, syair-syair, penjelasan-penjelasan, bait-bait, sabda-sabda inspirasi, sabda-sabda “demikianlah yang dikatakan”, kisah-kisah kelahiran, ajaran-ajaran mengagumkan, dan tanya-jawab.319 Ia tidak membuang-buang harinya dengan Dhamma yang telah ia pelajari itu, ia tidak mengabaikan retreat, ia menekuni samatha pikiran. Demikianlah, bhikkhu, seorang bhikkhu disebut “yang berdiam dalam Dhamma”. “Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan kepada kalian tentang bhikkhu yang banyak belajar, yang banyak mengajar, yang banyak mengulang, yang banyak berpikir, dan yang berdiam dalam Dhamma. Aku telah melakukan untuk kalian apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan bagi para siswaNya demi belas kasihan. Ini, bhikkhu, ada bawah pepohonan, di sini ada gubuk-gubuk kosong. Praktikkanlah jhāna, bhikkhu! Jangan lengah! Jangan menyesalinya kelak! Ini adalah instruksi kami kepada kalian.’320
Dhamma bukanlah kegiatan melewatkan malam minggu. Suatu kursus singkat dalam meditasi tidak dapat diharapkan memberikan efek yang penting dan transformasi yang bertahan lama. Jika kita meinginkan hasil yang cepat maka kita justru akan berakhir dengan kekecewaan atau tertipu. Tetapi jika kita mengizinkan kehidupan kita menerima sentuhan lunak Dhamma, maka pikiran kita akan tumbuh menjadi lebih damai dan lebih damai lagi seiring kemelekatan kita yang semakin berkurang. Samatha bukanlah tentang usaha keras untuk meratakan puncak gunung; ini adalah tentang menjadi puas dengan kebahagiaan bermanfaat di momen sekarang. Ini bukanlah hal yang mustahil. Kita biasanya meremehkan tugas ini; tetapi kita lebih meremehkan potensi kita sendiri.
‘Aku teringat suatu waktu ketika ayahku seorang Sakya sedang bekerja dan Aku sedang duduk di bawah keteduhan pohon jambu, di mana dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kualitas-kualitas tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan awal & kelangsungan pikiran, dan kegembiraan & kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Aku berpikir: “Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?” Kemudian dengan mengikuti ingatan itu muncullah kesadaran:
“Itu sesungguhnya adalah jalan menuju pencerahan.”’321
Demi kemudahan dalam membaca dan keringkasan saya telah menggunakan sedikit kebebasan dengan menyingkat dan menyesuaikan terjemahan, dan memisahkan paragraf-paragraf pilihan dari konteks aslinya. Di lain pihak, saya telah memperlakukan istilah-istilah dan paragraf-paragraf doktrin dengan sekonsisten mungkin, kadang-kadang jatuh ke sumber terakhir dari penerjemah yang tidak selayaknya – terjemahan kata per kata. Saya lebih sering mengandalkan terjemahan yang lebih awal, khususnya karya-karya mengagumkan dari Bhikkhu Ñāṇamoli dan Bhikkhu Bodhi, namun pilihan terjemahan terakhir dalam semua kasus adalah berasal dari saya sendiri. Saya mempertahankan istilah Pali pada terminologi meditasi yang penting dalam semua temuan, dengan pengecualian pada kata satipaṭṭhāna, yang kadang-kadang saya terjemahkan sebagai ‘penegakan perhatian’. Dalam konteks lainnya, Pali dipertahankan hanya beberapa kata yang mungkin lebih dikenal oleh Buddhis daripada artinya dalam Bahasa Inggris – arahant (yang sempurna), vinaya (disiplin), sādhu (bagus!), bhante (yang mulia), saṁsāra (perjalanan kelahiran kembali). Saya biasanya menghindari penggunaan huruf kapital untuk istilah-istilah doktrin karena tidak dijelaskan baik oleh Pali maupun oleh Bahasa Inggris sekarang. Karena kata-kata seperti sutta, vinaya, dan abhidhamma memiliki makna yang kurang penting dalam Pali awal, maka saya membubuhkan huruf kapital hanya jika secara tegas merujuk pada teks sesungguhnya.
Berikut ini adalah penjelasan dari pendekatan yang saya lakukan pada beberapa terminologi teknis.
Anusaya merujuk pada modus fundamental kekotoran-kekotoran, yang, walaupun tidak aktif sekarang, namun tidak dapat dihindari akan muncul dalam kondisi yang tepat. Sebaliknya, ‘kecenderungan’ merujuk sekedar pada kecenderungan. Saya menggunakan kata ‘dorongan yang melekat’.
Avakkanti biasanya diterjemahkan mengikuti etimologinya sebagai ‘turunan’, tetapi tampaknya lebih masuk akal untuk mengikuti makna kontekstual yang jelas dalam kemunculan bergantungan dan di tempat lain sebagai ‘reinkarnasi’. Konteksnya seharusnya menjelaskan bahwa kata ini merujuk pada arus kesadaran terkondisi, bukan sebagai jiwa yang abadi.
Asava diterjemahkan sebagai ‘racun’ bukan sebagai ‘noda’ yang lemah, yang telah digunakan untuk upakkilesa.
Upanisā telah diturunkan oleh para terpelajar dari kata upanisīdati (demikian menurut sub-komentar), atau dari kata upanissāya (menurut komentar). Yang pertama mendukung terjemahan ‘kondisi terdekat’, sedangkan yang terakhir mendukung terjemahan ‘kondisi vital’. ‘Moralitas adalah upanisā bagi samādhi’ adalah suatu penggunaan istilah yang sering diulang dan bersifat idiom; tetapi kondisi terdekat bagi samādhi bukanlah moralitas melainkan kebahagiaan. Upanisā dapat menggantikan paccaya sebagai suatu istilah umum bagi ‘kondisi’; tetapi penggunaannya yang paling berbentuk idiom adalah dalam kebebasan bergantungan, dan di sana makna utamanya adalah ‘kondisi vital’. Kita telah bertemu dengan upanisā dengan makna ini dalah definisi samādhi benar pada MN 117.1, dan sebagainya. Pada AN 9.1 persahabatan yang baik, moralitas, dan khotbah tentang keinginan yang sedikit, dan sebagainya, kegigihan, dan pemahaman dikatakan sebagai upanisā bagi pengembangan sayap-sayap menuju pencerahan. Pada AN 3.67, mengarahkan telinga (untuk mendengarkan Dhamma) adalah upanisā bagi pengetahuan langsung, dan seterusnya. Hal-hal ini adalah diperlukan322 dan, seperti yang ditekankan dalam paragraf itu, berpengaruh besar, tetapi buka kondisi-kondisi yang dekat. Oleh karena itu saya mengartikan hal ini sebagai makna dasar, yang diterapkan dengan fleksibel pada konteks-konteks lainnya.
Kāya biasanya berarti ‘tubuh’, tetapi dalam samādhi kelima indria yang membentuk tubuh telah lenyap. Pencapaian-pencapaian tanpa bentuk, keabadian, kebenaran mutlak,323 dan lenyapnya dikatakan sebagai disentuh ‘dengan kāya’. Hal ini juga mengecualikan ‘nāmakāya’ (tubuh batin). Pada DN 27.9, kāya tampaknya bersinonim dengan ‘bhūta’: ‘telah menjadi dhamma, menjadi suci’. Dalam ungkapan lain juga, misalnya ‘saksi-kāya’,324 kāya menekankan kelangsungan dari keterlibatan personal. Pengertian ini cocok dalam konteks samādhi, maka saya menggunakan ‘pribadi’ atau ‘secara pribadi’. Sebaliknya, ‘ketenangan-kāya’ yang muncul sebelum samādhi tentu saja bersesuaian dengan tingkat meditasi nafas yang terdiri dari ‘menenangkan aktivitas-aktivitas kāya’. Ini adalah nafas masuk-dan-keluar, dan karena itu merujuk pada hanya tubuh fisik.
Khaya adalah lebih lunak daripada ‘kehancuran’, yang memiliki kata lain dalam Pali. Ini berarti ‘mengering’ (aliran air), ‘habis terpakai’ (bahan-bahan persediaan), ‘menyusut’ (bulan setelah purnama), dan sebagainya. Saya menerjemahkan sebagai ‘menguapnya’.
Dhamma telah dibiarkan tidak diterjemahkan, atau diterjemahkan sebagai ‘prinsip’, ‘kualitas’, ‘fenomena-fenomena’, atau ‘ajaran’, bukan sebagai ‘kondisi’ yang tidak tepat, dan sama sekali bukan apa yang dimaksudkan. Bhikkhu Bodhi secara mengherankan meminta kita untuk menerima terjemahan ini dengan melepaskan kata ini dari denotasi utamanya – kondisi yang ada dari seseorang atau sesuatu – dan konotasi – kestatisan (MLDB, hal. 54). Pilihan terjemahan ini mungkin merupakan ungkapan pembentukan ontologis dari konsep ‘dhamma’
Nipaka (kata sifat) atau nepakka (kata benda) muncul paling menonjol sebagai bagian dari kata majemuk satinepakka dalam definisi perhatian sebagai indria spiritual, dan sebagainya, kemiripan kata majemuk ini dengan satisampajañña (perhatian dan pemahaman jernih) mungkin telah mempengaruhi komentar untuk mengemas nepakka sebagai ‘pemahaman’. Tetapi konteks lainnya tampaknya menunjukkan suatu hubungan yang lebih erat dengan makna padanan Sanskrit ‘pemimpin, majikan’.
‘Kalian harus berdiam dengan pintu-pintu indria terjaga (gutta), dengan perhatian terlindung (ārakkhasati), dengan menguasai perhatian (nipakasati), memiliki pikiran yang terlindungi, dengan pikiran terlindungi oleh perhatian.’
Makna ‘menguasai indria-indria’ juga dapat diterapkan dalam urutan moralitas, nipaka, satipaṭṭhāna pada MN 51.3 dan pada SNp 144. sebagai kualitas seorang sahabat baik (SNp 45, SNp 283) nipaka dapat berarti ‘penguasaan-diri, pengendalian-diri). Nipaka juga muncul sebagai kualitas samādhi pada AN 5.27 (dikutip di atas), dan dalam kata majemuk ekodinipaka pada SN 1.290 dan SNp 962. Di sini juga tampaknya berarti penguasaan:
‘Dengan moralitas dan penguasaan (nipaka) yang konstan dalam jhāna Yang pikirannya dikuasai (vasībhūta), terpusat dalam samādhi Sang Bijaksana itu, membuyarkan kegelapan Dengan tiga pencapaian, adalah penghancur Kematian.’
Nimitta dalam sutta-sutta mungkin tidak pernah bermakna ‘pantulan cahaya dalam meditasi’. Sebaliknya kata ini merujuk pada ‘cahaya dan penglihatan pada bentuk-bentuk’, ‘pikiran yang bercahaya’, dan sebagainya. Penggunaan nimitta pada komentar untuk cahaya ini mungkin dipengaruhi oleh paragraph-paragraf seperti berikut ini:
‘Ketika, teman-teman, nimitta terlihat, penerangan muncul dan cahaya berwujud, kemudian Brahma terwujud.’
Pada AN 5.193 berbagai kotoran dan gangguan pada air, dibandingkan dengan kelima rintangan, mencegah seseorang melihat ‘nimitta (pantulan) wajahnya sendiri’. Istilah komentar ‘memahami gambaran’ (uggaha nimitta) mungkin diturunkan dari paragraph-paragraf seperti pada AN 6.68 dan SN 47.8; tetapi di sini maknanya sepertinya adalah ‘memahami karakter pikiran’, bagaimana pikiran merespons berbagai ‘makanan’. AN 6.68 menunjukkan bahwa ‘memahami nimitta pikiran’ adalah tahap persiapan meditasi, sebelum memenuhi pandangan benar dan kemudian samādhi benar. Dalam sedikitnya beberapa konteks meditasi nimitta hanya bermakna ‘sebab’.325 Hal ini merujuk pada suatu kualitas, aspek, atau ciri pengalaman yang, ketika diperhatikan, akan menumbuhkan kualitas serupa atau berhubungan. Makna ini cocok dengan konteks dalam buku ini, jadi saya mengadopsi terjemahan ‘landasan’ bukannya ‘gambaran’, yang tidak membawa makna kausal. AN 3.19 mengatakan bahwa seorang bhikkhu ‘dengan hati-hati bertekad’ pada samādhi nimitta mereka (di sini = subjek meditasi, mungkin satipaṭṭhāna) di pagi hari, siang hari, atau malam hari tidak akan dapat menumbuhkan kualitas-kualitas baik. Pada MN 128.28 frasa ‘Aku memperhatikan nimitta-cahaya’ muncul, tetapi bahan di sini saya akan menganggap istilah ‘memperhatikan’ sebagai petunjuk pada makna kausal, yang konsisten dengan penggunaan sebelumnya dalam sutta.
Rūpa merujuk pada dunia fisik seperti yang muncul dalam pikiran. Ini termasuk kegigihan, tejodhātu, dan dengan demikian lebih luas daripada ‘materi’ atau bahkan ‘jasmani’. Terjemahan ‘bentuk fisik’ berusaha menangkap baik lebarnya maupun subjektivitas rūpa, dan mempertahankan hubungan dengan rūpa sebagai objek penglihatan, ‘bentuk terlihat’.
Vitakka dan vicāra bukan berarti ‘berpikir’ dalam konteks jhāna. Berpikir melibatkan serangkaian objek pikiran berbeda dan oleh karena itu tidak berlaku pada keterpusatan jhāna. Jhāna adalah suatu keadaan kesadaran yang berubah, dan ini hanya diharapkan bahwa istilah psikologis akan memberikan makna yang baru dan lebih halus. Paragraf berikut ini memberikan perbedaannya.
‘Aku memahami sebagai berikut: “Pikiran (vitakka) meninggalkan keduniawian ini … tanpa niat-buruk … tanpa kekejaman yang telah muncul tidak mengarah pada kesusahan diriku, orang lain, atau keduanya. Hal ini mematangkan pemahaman, meredakan penderitaan, dan mengarah menuju Nibbana. Tetapi jika aku memikirkan dan merenungkan (anuvitakka, anuvicāra) terlalu lama, tubuhku menjadi tegang. Jika tubuh menjadi tegang maka pikiran menjadi kacau, dan pikiran yang kacau adalah jauh dari samādhi.” Maka aku mengokohkan, mendiamkan, menyatukan, dan mengkonsentrasikan pikiranku dalam samādhi di dalam diriku. Karena alasan apakah? Agar pikiranku tidak menjadi kacau … ‘… Kegigihanku bangkit dan tidak mengendur; perhatianku ditegakkan dan tidak bingung; tubuhku tenang dan rileks …Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan awal & kelangsungan pikiran (vitakka, vicāra).’326
Lebih jauh lagi, perhatian pada pernafasan diajarkan untuk memotong berpikir (vitakka),327 dan pada MN 20 diajarkan lima metode untuk memadamkan pikiran; kedua praktik ini adalah untuk pengembangan pikiran yang lebih tinggi, yaitu jhāna, termasuk faktor jhāna awal pikiran (vitakka). Jika perbedaan implisit ini diwujudkan dalam terjemahan, maka tidak diperlukan terjemahan vitakka yang tidak dapat diturunkan dalam konteks demikian sebagai ‘pikiran-pikiran kacau’. Semua pikiran, bahkan pikiran tentang Dhamma,328 harus ditinggalkan agar pikiran dapat menjadi damai.
Vossaggārammaṇam karitvā diterjemahkan oleh komentar sebagai bermakna ‘menjadikan Nibbana sebagai objek [dari pikiran dalam samādhi]’. Hal ini diidentifikasikan sebagai samādhi transcendental dari (momen) dan jalan mulia dan buah. Terlepas dari kritik umum kita pada konsep jalan momen-ke-momen, ada beberapa alasan untuk meragukan interpretasi demikian. Biasanya bentuk absolutif Pali – di sini ditunjukkan dengan kata ‘setelah’ – mengungkapkan suatu perbuatan tambahan yang dilakukan terlebih dulu sebelum perbuatan utama dalam kalimat. Ini adalah bentuk kata kerja biasa dalam frasa-frasa pada awal formula jhāna untuk menyiratkan berakhirnya halangan-halangan pada jhāna atau pemenuhan kualitas-kualitas yang mengarah pada jhāna. Misalnya: ‘dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria’ atau ‘setelah meninggalkan kelima rintangan ini’. Kalimat: ‘Idha bhikkhave ariyasāvako vossaggārammaṇam karitvā labhati samādhim labhati cittass’ekaggatam’ adalah jelas secara sintaksis, jadi tidak ada alasan untuk mengusulkan interpretasi tidak baku apa pun. Bandingkan formula untuk landasan-landasan kekuatan batin: ‘Chandam ce bhikkhave nissāya labhati samādhim, labhati cittass’ekaggatam …’ Akan tetapi, penjelasan komentar memerlukan kejadian yang bersamaan dari perbuatan utama dengan klausul tambahan. Hal ini adalah mungkin secara tata bahasa (hampir semua aturan tata bahasa memperbolehkan beberapa pengecualian), tetapi nyaris tidak mungkin. Bhikkhu Bodhi (CDB hal. 1930), mungkin terpengaruh oleh komentar, menganggap vossaggārammaṇam karitvā sebagai kata keterangan bagi ‘samādhi’ (secara tata bahasa sebagai objek penderita dari kalimat, dalam bentuk akusatif) bukannya ‘siswa mulia’ (pelaku, dalam bentuk nominatif). Ini tentu saja tidak biasa; Warder (Introduction to Pali, hal. 48) menguraikan tidak ada penggunaan absolutif demikian).
Frasa ini dapat dibandingkan dengan paragraf tentang pengembangan enam perenungan: ‘Setelah menjadikan ini sebagai pendukung (idam ārammaṇam karitvā), beberapa makhluk di sini dimurnikan.’329 Di sini ārammaṇam karitvā jelas adalah kata keterangan bagi ‘makhluk-makhluk’, si pelaku. Paragraf ini juga memberikan suatu gagasan bagus sebagai makna ārammaṇa sebagai ‘pendukung’ atau ‘landasan’; kualitas-kualitas baik yang dikembangkan sebelumnya yang menyokong pengembangan lebih lanjut. Suatu penggunaan yang berhubungan muncul pada MN 21.11 – seseorang yang mengembangkan cinta kasih terhadap satu orang, dan kemudian, dengan mengandalkan hal itu (tadārammaṇam), terhadap semua makhluk. Dalam konteks-konteks demikian maknanya mendekati ‘subjek meditasi’. Makna ini mungkin adalah apa yang dimaksudkan dalam Jhānasamyutta (belakangan?).330 Dari sini, mungkin, berkembang penggunaan ārammaṇa sebagai ‘objek (kesadaran)’, yang menonjol dalam abhidhamma namun tidak ada dari sutta-sutta, yang mana komentar-komentar mengandalkannya untuk menerjemahkan vossaggārammaṇam karitvā.
Ada kesulitan-kesulitan lain sehubungan dengan penjelasan komentar. Definisi dari beberapa indria spiritual lainnya, misalnya perhatian sebagai ‘ingatan atas apa yang dikatakan dan dilakukan jauh sebelumnya’, jelas tidak berhubungan dengan ‘momen sang jalan’. Oleh karena itu komentar terpaksa menyimpulkan suatu pembagian sulit dari indria-indria spiritual sebagai transendental, non-transendental, dan campuran. Hal ini secara langsung berlawanan dengan sutta-sutta yang membatasi indria-indria spiritual pada individu-individu mulia. Juga, karena samādhi ‘transendental’ muncul sebelum pemahaman ‘non-transendental’, maka hal ini menjadikan segala gagasan pengembangan bertahap menjadi tidak masuk akal.
Saṅkhāra memiliki suatu makna aktif dalam segala kasus, jadi saya telah merenungkan hal ini dengan menerjemahkannya menjadi ‘aktivitas-aktivitas’ bukannya ‘bentukan-bentukan’. Hal ini mempertahankan hubungannya dengan turunan etimologisnya ‘perbuatan’ (kamma), yang sering digunakan sebagai pengganti. Saṅkhāra sebagai mata rantai ke dua dari kemunculan bergantungan dan kelompok unsur kehidupan ke empat yang didefinisikan sebagai kehendak (cetanā). Akan tetapi, khususnya sebagai kelompok unsur kehidupan ke empat, abhidhamma menganggapnya lebih luas daripada itu, meliputi cakupan luas fenomena pikiran. Dari fungsi dasar seperti kontak hingga emosi rumit seperti keseimbangan. Walaupun terjemahan ‘aktivitas-aktivitas konseptual’ terlalu sempit untuk hal ini, namun lebih luas daripada ‘aktivitas-aktivitas kehendak’, dan ini menekankan fungsi konseptual dan linguistik yang sangat khas pada kelompok unsur ini, serta aspek yang padat dan kausatif.
Sacchikaroti telah diterjemahkan secara literal sebagai ‘menyaksikan’, dengan demikian mempertahankan hubungan dengan ‘saksi personal’ (kāyasakkhi), dan menyediakan ‘penembusan’ untuk vijja bukannya pengulangan yang tidak perlu ‘pengetahuan sejati’, pada gilirannya memungkinkan ‘pengetahuan’ untuk secara konsisten disediakan untuk kata-kata yang berdasarkan pada akar ñāṇa.
‘Samādhi benar sebagai mata rantai terakhir dari jalan berunsur delapan didefinisikan sebagai empat penyerapan meditatif [jhāna-jhāna]
BHIKKHU ÑĀṆATILOKA
Buddhist Dictionary
‘… Sutta-sutta sendiri tidak mengatakan apa pun tentang suatu sistem meditasi hanya pandangan terang …’
BHIKKHU BODHI
The Connected Discourse of the Buddha
‘Piṭaka Pali menjelaskan samādhi benar sebagai empat jhāna.’
MAHASI SAYADAW
A Discourse on Salekkha Sutta
‘Menurut sutta-sutta, konsentrasi sekuat jhāna diperlukan untuk terwujudnya sang jalan.’
BHIKKHU ÑAṆAMOLI
Path of Purification (Visuddhimagga)
Catatan pendahuluan 21
Jalan Berunsur Delapan memasukkan baik pandangan benar maupun samādhi benar. Seseorang yang ingin memperoleh kebebasan harus mengembangkan seluruh delapan faktor sang jalan ini. Jika tidak maka mereka tidak akan dapat memperoleh kebebasan.’
PRA AJAHN MUN BHŪRIDATTA
A Heart Release
‘Kebijaksanaan adalah buah samatha.’
PRA AJAHN CHAH BODHIÑĀṆA
A Taste of Freedom
‘Samādhi benar adalah empat jhāna.’
PROFESSOR AK WARDER
Indian Buddhism
‘Kebijaksanaan dan samādhi adalah ‘sepasang dhamma’ yang berjalan bersama dan tidak terpisahkan.’
PRA AJAHN MAHĀ BUA ÑĀṆASAMPANNO
Wisdom Develops Samadhi
‘Kebijaksanaan yang dapat melepaskan kemelekatan adalah kebijaksanaan istimewa, bukan kebijaksanaan biasa. Hal ini memerlukan samādhi sebagai landasan jika ingin melepaskan.’
PRA AJAHN FUANG JOTIKO
Awareness Itself
‘Kebijaksanaan vipassanā bukanlah sesuatu yang dapat dibentuk melalui pengaturan. Sebaliknya, kebijaksanaan ini muncul dari samādhi yang telah dikuasai hingga baik dan solid.’
PRA AJAHN THATE DESARAṀSĪ
Buddho
‘Jika pikiran berkeliaran tanpa henti, maka pikiran tidak benar-benar melihat penderitaan. Pikiran harus diam jika ingin melihatnya.’
PRA AJAHN LEE DHAMMADHARO
The Skill of Release
‘Empat Jhāna semuanya termasuk dalam perjalanan latihan lengkap yang ditetapkan untuk para siswa. Keempatnya termasuk dalam latihan sebagai disiplin dalam kesadaran yang lebih tinggi, konsentrasi benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan indria dan kekuatan konsentrasi.’
DR HENEPOLA GUṆARATANA
A Critical Analysis of the Jhānas In Theravāda Buddhist Meditation
Semuanya tampak begitu mudah. Duduk bersimpuh di kaki Sang Buddha yang tercerahkan sempurna, membiarkan kegembiraan bakti meliputi pikiran seseorang, dan mengandalkan Sang Buddha untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menanamkan benih pencerahan. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang meditasi, pelepasan keduniawian, etika. Gagasan pencerahan instan telah digunakan untuk membenarkan sejumlah tesis, di masa lalu dan masa sekarang, yang semuanya saya rasa menyelewengkan orientasi utama ajaran Sang Buddha seperti yang tercatat dalam Nikaya-nikaya/Agama, misalnya:
- Bahwa pencapaian meditatif jhāna tidak diperlukan untuk menembus Dhamma. 2) Bahwa sang jalan dalam makna tertinggi hanyalah momen-pikiran. 3) Pencapaian Dhamma hanya mungkin berkat instruksi langsung secara pribadi dari seorang Buddha. 4) Bahwa dalam waktu kemunduran kita ini adalah tidak mungkin untuk menembus Dhamma.
Dalam teks utama saya memperdebatkan bahwa ajaran-ajaran tentang pencerahan instan seperti yang tercatat dalam kanon Pali tidak memberikan dukungan nyata bagi segala pandangan ini. Lebih jauh lagi, saya berpendapat bahwa ada banyak ciri dari episode-episode demikian yang menyiratkan bahwa banyak di antaranya yang merupakan penambahan belakangan. Secara singkat saya menunjukkan bahwa:
- Teks-teks yang secara menonjol mencirikan episode-episode demikian cenderung merupakan tambahan belakangan 2) Seringnya kemunculan episode-episode itu meningkat pesat seiring berlalunya waktu. 3) Beberapa peristiwa itu secara intrinsik tidak masuk akal. 4) Kisah-kisah demikian biasanya hanyalah kisah latar belakang, bukan berasal dari atau dikonfirmasi oleh Sang Buddha. 5) Siapapun dapat mengingat di mana sebuah khotbah dibabarkan dan apa yang dibabarkan, tapi sedikit yang mampu dengan tepat menilai pencapaian-pencapaian transcendental.
Studi banding sutta-sutta Pali dengan teks-teks dari tradisi lain lebih jauh lagi menimbulkan keraguan pada paragraf-paragraf ini. Berikut ini adalah beberapa contoh jenis perbedaan yang secara khas kita temukan dalam kisah-kisah pencapaian yang terjadi selama khotbah Dhamma berlangsung. Ini bukanlah suatu studi yang menyeluruh, hanya beberapa catatan yang saya lakukan dari tulisan Thich Minh Chau berjudul The Chinese Madhyama Āgama and the Theravāda Majjhima Nikāya.
1) Ākankheyya Sutta (MN 6/ MA 105)
MA 105 ditutup dengan para bhikkhu pergi memasuki keterasingan, berusaha keras, dan mencapai Kearahantaan. MN 6 tidak menjelaskan apa pun tentang ini. (CMA & PMN p227)
2) Vatthūpama Sutta (MN 7/MA 93)
Di akhir MN 7, Brahmana Suṇḍarika Bhāradvāja menerima perlindungan, memohon penahbisan, dan kemudian, setelah berusaha, mencapai Kearahantaan. Dalam MA 93 ia hanya menerima perlindungan dan tetap menjadi umat awam. (CMA & PMN p232)
3) Upāli Sutta (MN 56/MA 133)
Dalam kedua versi, Upāli, si penyokong kaya kaum Jain, dikonversi oleh Sang Buddha pada waktu yang sama ketika Sang Buddha mengajarkan latihan bertahap kepadanya, ia mencapai penglihatan Dhamma. (CMA & PMN p285f).
4) Māgandiya Sutta (MN 75/MA 153)
Dalam MN 153 Māgandiya, seorang pengembara dari sekte lain, awalnya kritis pada Sang Buddha, kemudian dikonversi oleh Beliau, ia mengalami penglihatan Dhamma, meninggalkan keduniawian, dan setelah berusaha ia mencapai Kearahantaan. MN 75 menghilangkan bagian munculnya penglihatan Dhamma, tetapi bagian lainnya serupa. (CMA & PMN p62).
5) Vekhaṇassa Sutta (MN 80/MA 209)
MA 209 serupa dengan MA 153 di atas, Vekhaṇassa awalnya kritis pada Sang Buddha, kemudian dikonversi oleh Beliau, ia mengalami penglihatan Dhamma, meninggalkan keduniawian, dan setelah berusaha ia mencapai Kearahantaan. Akan tetapi, MN 80 hanya melaporkan bahwa Vekkhaṇassa menerima perlindungan sebagai seorang umat awam. (CMA & PMN p62).
6) Raṭṭhapāla Sutta (MN 82/MA 132)
Dalam kedua versi Raṭṭhapāla meninggalkan keduniawian, berusaha, dan mencapai Kearahantaan. (CMA & PMN p294ff).
7) Poṭaliya Sutta (MN 54/MA 203)
Dalam MA 203 perumah tangga Poṭaliya mencapai penglihatan Dhamma selama khotbah berlangsung, kemudian menerima perlindungan sebagai umat awam, MN 54 menghilangkan bagian munculnya penglihatan Dhamma dan puas dengan Poṭaliya menerima perlindungan. (CMA & PMN p71).
8) Brahmāyu Sutta (MN 91/ MA 161)
Kedua sutta sepakat bahwa Brahmāyu, seorang brahmana terpelajar dan terhormat, mencapai penglihatan Dhamma selama khotbah berlangsung, meninggal dunia tidak lama kemudian, dan Sang Buddha menyatakannya bahwa ia telah menjadi seorang yang-tidak-kembali. Versi Cina mengkhianati suntingan yang tidak rapi di sini dengan mengatakan bahwa Brahmāyu bergembira mendengar pernyataan penutup Sang Buddha, bahkan walaupun ia telah mati! (CMA & PMN p311ff)
9) Bakkula Sutta (MN 124/MA 34)
Acelakassapa bertanya kepada sahabat lamanya Yang Mulia Bakkula suatu pertanyaan yang bersifat pribadi dan menerima jawaban berupa kisah pencapaian-pencapaian tinggi dari Yang Mulia Bakkula dan pertapaan kerasnya. Dalam MN 124 ia memohon pelepasan keduniawian, berusaha, dan mencapai Kearahantaan. MA 34 menghilangkan rincian ini. Hal ini menyiratkan bahwa Theravāda telah menekankan cara praktik yang lebih keras dan terasing daripada Sarvastivada. (CMA & PMN p75).
10) Dhātuvibhanga Sutta (MN 140/MA 162)
Dalam MA 162 Pukkusāti dikatakan telah mencapai penglihatan Dhamma selama khotbah berlangsung. Akan tetapi MN 140 menghilangkan hal ini, dengan mengatakan bahwa, setelah mendengarkan khotbah dan memohon pelepasan keduniawian, Pukkusāti terbunuh oleh seekor sapi dan Sang Buddha menyatakan bahwa ia adalah seorang yang-tidak-kembali. Akan tetapi, komentar Theravāda juga mengatakan bahwa Pukkusati mencapai penglihatan Dhamma selama khotbah berlangsung, dengan demikian sepakat dengan versi Sarvāstivāda. Kesepakatan ini dapat dianggap menyiratkan bahwa hal ini adalah tradisi awal yang diturunkan dalam komunitas Theravāda tetapi untuk suatu alasan tidak dimasukkan dalam kisah kanonis. Di pihak lain, dengan mengingat bahwa komentar memiliki penjelasan panjang lebar tentang kisah latar belakang atas sutta ini, maka hal ini merupakan aslah satu dari sejumlah rincian umum yang umum disisipkan dalam kisah-kisah para siswa besar. (CMA & PMN p70).
11) Chachakka (MN 148/MA 86)
MA 149 mengaku bahwa 60 bhikkhu menjadi Arahant selagi mendengarkan khotbah ini. MA 86 tidak berkomentar. Komentar Theravāda lebih lanjut melebih-lebihkan episode pencerahan instan ini pada pembabaran khotbah ini yang berikutnya, menegaskan kesan bahwa kaum Theravāda cemas dalam mengagungkan gaya analisis abhidhamma-asli ini. (CMA & PMN p206). Demikianlah, dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan pencapaian-pencapaian individu tertentu secara umum, ada tiga yang sama (Upāli, Raṭṭhapāla, dan Brahmāyu) sedangkan delapan lainnya berbeda. Dari pernyataan-pernyataan yang merujuk secara spesifik pada pencapaian selama khotbah berlangsung, ada dua yang sama (Upāli dan Brahmāyu), sedangkan lima lainnya berbeda (Poṭaliya, Māgandiya, Vekkhaṇassa, Dhātuvibhanga, Chachakka). Korelasi ini sekitar 30% harus dibandingkan dengan identitas dekat dari doktrin-doktrin kunci seperti Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan Kemunculan Bergantungan. Bahkan suatu detail remeh seperti situasi sutta-sutta menunjukkan korelasi 80%. Perhatikan juga bahwa hanya ada dua khotbah yang sepakat dalam menyebutkan penglihatan Dhamma pada seorang siswa baru selagi mendengarkan khotbah berasal dari dua kendaraan propaganda yang paling jelas dalam keseluruhan kanon. Upāli Sutta dibabarkan kepada seorang siswa utama Jain yang kaya (dan kita tidak perlu heran menemukan bahwa kisah ini yang terjadi pada hari-hari terakhir guru Jain Mahāvira seperti dicatat oleh Buddhis tidak selaras dengan kisah-kisah dalam literature Jain). Brahmāyu Sutta dibabarkan kepada salah satu sesepuh brahmana yang paling dihormati.
Dengan mengingat hal ini, bersama dengan pertimbangan-pertimbangan yang saya sampaikan pada awal buku ini, saya menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan pada catatan historis tentang pencapaian-pencapaian dalam Majjhima mendekati nol. Hal ini tidak berarti bahwa peristiwa itu tidak terjadi – pikiran adalah suatu tempat yang aneh dan menakjubkan. Tetapi kita harus sangat berhati-hati sebelum menarik kesimpulan apapun tentang Dhamma dengan berdasarkan pada asumsi bahwa suatu peristiwa pencerahan instan tertentu itu adalah fakta historis secara literal.
Teks Pali | |
---|---|
DN | Dīgha nikāya |
MN | Majjhima nikāya |
SN | Saṁyutta Nikāya |
AN | Aṅguttara Nikāya |
Dhp | Dhammapada |
Ud | Udāna |
Iti | Itivuttaka |
SNp | Sutta Nipāta |
Thag | Theragātha |
Vin | Vinaya |
Cv | Cūḷavagga |
Mv | Mahāvagga |
Pj | Pārājika |
Vsm | Visuddhimagga |
DNA (dst) | Dīgha Nikāya Aṭṭhakathā (dst) |
Āgama Cina | |
---|---|
MA | Madhyama Āgama (Taishō no. 26) |
Terjemahan | |
---|---|
LDB | Long Discourses of the Buddha (WALSHE) |
MLDB | Middle Length Discourses of the Buddha (ÑĀṆAMOLI, BODHI) |
DB | Connected Discourses of the Buddha (BODHI) |
Rujukan-rujukan pada sutta-sutta adalah pada sutta dan bagian dari LDB dan MLDB; saṁyutta dan sutta dari CDB (yang berbeda dengan yang diakui dalam teks-teks sebelumnya dan terjemahannya, khususnya dalam SN 35), atau nomor syair untuk Sagāthāvagga; pada nipāta dan sutta untuk Aṅguttara Nikāya dan Itivuttaka; vagga dan sutta untuk Udāna; dan nomor syair untuk Dhammapada, Sutta Nipāta, dan Theragāthā.
MN 52 ↩︎
AN 4.180; DN 16 4.8-4.11 ↩︎
AN 5.79 ↩︎
Vin Cv 11.1.8. ↩︎
AN 2.3 ↩︎
Vin Mv 1.23 ↩︎
MN 43.19 dikutip di bawah, MN 111.4 ↩︎
SN 40.1, MN 12.7 dikutip di bawah. Ketiadaan kata-kata ini dalam formula umum jhāna pertama tampaknya menyiratkan suatu kondisi apakah jhāna pertama sungguh-sungguh terpusat atau tidak, tidak diragukan hal ini berhubungan dengan bekerjanya awal & kelangsungan pikiran secara terus-menerus. ↩︎
Vin Cv 5.3, AN 5.29, AN 5.151 dikutip di bawah. ↩︎
AN 4.12 ↩︎
DN 33.1.11, AN 4.41 ↩︎
AN 5.28 ↩︎
DN 16.2.25, MN 121.11, MN 122.7, SN 22.80, SN 40.9, SN 43.12.6-8, SN 41.7, AN 7.53, cp. MN 43.7ff. ↩︎
Misalnya MN 44.12 ↩︎
‘Pikiran tentang Dhamma’ bermakna persis seperti itu. Komentar menegaskan bahwa frasa itu merujuk pada sepuluh ‘noda vipassanā’. Tetapi hal ini bukan saja suatu tulisan yang bertentangan yang berasal dari konsep belakangan yang menyusup ke dalam teks awal, konteks ini juga tidak berhubungan dengan vipassanā. Cp. AN 5.73, Iti 3.86 ↩︎
AN 3.100 ↩︎
Misalnya DN 1.1.31, DN 6.6, AN 6.26, AN 6.61. baca juga landasan-landasan kekuatan batin yang dibahas di bawah. ↩︎
Dalam membicarakan rintangan-rintangan pada meditasi paragraf ini hanya menyebutkan noda-noda halus tertentu, oleh karena itu – mungkin disengaja – tidak cukup menjelaskan apakah ‘samādhi’ disertai dengan ‘pikiran tentang Dhamma’ telah sepenuhnya bebas dari rintangan atau tidak – tidak disebutkan tentang kelambanan dan ketumpulan, dan seterusnya. Kita dapat menduga bahwa rintangan-rintangan, bahkan jika tidak benar-benar muncul, mungkin dapat muncul setiap saat karena kurangnya keterpusatan, yang merupakan karakteristik yang mendefinisikan samādhi benar. ↩︎
MN 36.21ff ↩︎
MN 50.13; cp. MN 108.26-27, dikutip di bawah ↩︎
AN 11.10 ↩︎
Baca Vsm 22.15ff. ↩︎
Untuk penjelasan terperinci, baca Dr Henepola Gunaratana, A Critical Analysis of the Jhānas in Theravada Buddhist Meditation. ↩︎
Beberapa pencapaian demikian tampaknya harus diuji, setidaknya untuk Arahant, melalui sejumlah paragraf, yang tidak kita temui di atas. Akan tetapi, paragraf-paragraf ini, tidak membenarkan penjelasan dari teori komentar. Pembahasan terperinci tentang buah berada di luar cakupan penjelasan tentang sang jalan ini. ↩︎
MN 117. ↩︎
Baca misalnya DN 28.18. Pada AN 5.79 yang dikutip di atas, sutta-sutta itu sendiri dikatakan sebagai ‘transendental’ (lokuttara). ↩︎
Baca Vin Pj 4.3 ↩︎
SN 22.101 ↩︎
AN 4:200-1 cp. Vin Cv 9.1.4, Ud 5.5 ↩︎
AN 4.170 ↩︎
SNp 88 ↩︎
SNp 227 ↩︎
MN 142.6 ↩︎
SN 25 ↩︎
MN 34.10 ↩︎
MN 65.11 ↩︎
MN 70.21-22, cp.AN 7.53 ↩︎
AN 8.22 ↩︎
Perhatikan di sini bahwa kata ‘jalan’ (magga) jarang digunakan dalam sutta-sutta untuk merujuk pada mereka yang mengembangkan sang jalan; sinomin dari ‘jalan’ (paṭipadā), yang didefinisikan hanya sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (SN 45.31) adalah sebutan biasa. Juga sang jalan tidak seperti biasanya dibagi menjadi empat seperti demikian; sang jalan adalah hanya Jalan Mulia Berunsur Delapan, melainkan mereka yang berada pada berbagai tingkat praktik berbeda untuk mencapai tujuan yang berbeda. Oleh karena itu, frasa ‘jalan menuju Kearahantaan’ merujuk hanya pada Jalan Mulia Berunsur Delapan. ↩︎
MN 128.29 ↩︎
MN 104.13 ↩︎
DN 14.1.37. LDB di sini, seperti juga biasanya, sama sekali tidak dapat diandalkan. ↩︎
Kedua aspek vipassanā ini tercermin dalam konteks kemunculan bergantungan melalui ‘pengetahuan sehubungan dengan Dhamma’ – memahami tiap-tiap faktor menurut Empat Kebenaran Mulia – dan ‘pengetahuan sehubungan dengan akibat’ – pemahaman bahwa mereka semua yang melihat Dhamma, di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, akan melihatnya dengan cara yang sama. Jenis pengetahuan lainnya yang serupa disebut ‘pengetahuan keteraturan prinsip-prinsip alami’ – memahami bahwa hubungan kondisional antara faktor-faktor selalu bekerja dengan cara yang sama. SN 12.34 ↩︎
Cp. SN 46.51, di mana samatha sama dengan ‘tidak-banyak-arah’ (avyagga, tidak berserakan), suatu sinonim yang jelas bagi keterpusatan. ↩︎
AN 2:3.10 ↩︎
AN 4.170 ↩︎
MN 106.5, 7. Walaupun Bhikkhu Bodhi mengatakan bahwa jhāna ke empat dapat dimasukkan di sini sebagai ‘ketanpa-gangguan’, namun perenungan pada bahwa bentuk fisik menjadikan hal ini tidak mungkin (baca MLDB catatan kaki 1000, 1007). ↩︎
MN 149.9-10 ↩︎
Akan tetapi, Vsm mengidentifikasikan ‘kegelisahan pada Dhamma’ sebagai ‘noda-noda vipassanā’ dan merekomendasikan lebih banyak vipassanā lagi. Baca Vsm 20.106, 126f. ↩︎
MN 122.7 cp. MN 19.8-10, MN 20, MN 4.22, SN 40.1 ↩︎
Saya mengartikan frasa ‘yang berhubungan dengan pemahaman yang lebih tinggi’ sebagai menyiratkan, tidak harus berupa tingkat lanjut dari vipassanā, melainkan pemahaman ketidak-kekalan, dan seterusnya, bukan sebagai pemahaman atas perbuatan,kelahiran kembali, dan sebagainya yang bersifat ‘duniawi’. ↩︎
AN 10.54 ↩︎
AN 4.94 ↩︎
AN 9.4 ↩︎
Ud 4.1 ↩︎
Dhp 372 ↩︎
DN 28.19 Catatan: paragraf ini secara keliru diberi nomor 20 dalam edisi Pali PTS. ↩︎
AN 6.64 ↩︎
SN 53 ↩︎
Baca SN 45.4 ↩︎
Misalnya AN 4.52 ↩︎
SN 47.3 ↩︎
SN 12.22 ↩︎
AN 7.65 ↩︎
AN 10.72 ↩︎
Vin Pj 4 ↩︎
Kata ‘tanpa gangguan’ adalah terjemahan dari Pali aneñja, yang tampaknya merupakan frasa umum yang menjelaskan pikiran yang telah mengembangkan jhāna ke empat sebagai landasan bagi pengetahuan yang lebih tinggi: evaṁ samāhite citte parisuddhe pariyodāte vigatūpakkilese mudubhūte kammaniye ṭhite āneñjappatte … ↩︎
AN 4.123. satu kappa dalam kosmologi Buddhs (atau secara lebih luas: India) secara kasar tampaknya setara dengan gagasan ilmiah moderan tentang periode dari satu dentuman besar ke dentuman besar berikutnya. ↩︎
AN 5.28 ↩︎
DN 34: 1.6, AN 5.27 ↩︎
SN 56.1 ↩︎
MN 44.12. Lihat Apendiks A ↩︎
SN 47.40 ↩︎
MN 118; frasa dalam kurung dihilangkan pada SN 54.10, 13, 16 ↩︎
Domanassa = niat buruk pada SNp 1106 = AN 3.32 ↩︎
SNp 974, 975 ↩︎
AN 4.29; cp. AN 4.30 ↩︎
Vin Pj 4.4 ↩︎
AN 5.51 ↩︎
MN 43.20 ↩︎
MN 68.6 ↩︎
MN 108.26-27 ↩︎
MN 14.4; cp. MN 68.6 ↩︎
AN 5.13 ↩︎
SN 47.4 ↩︎
AN 8.63 ↩︎
SN 47.10 ↩︎
SN 47.10 ↩︎
MN 118.15 ↩︎
AN 1:20. walaupun saya merujuk pada bab ini beberapa kali, namun ini adalah paragraf yang sangat skematik, mungkin disusun belakanganm dan sebagian tidak tepat. Misalnya, seorang yang mengembangkan ucapan benar dikatakan ‘tidak mengabaikan jhāna’, yang tidak cukup logis jika kita menginterpretasikan jhāna di sini secara luas sebagai ‘meditasi.’ ↩︎
MN 119.4ff ↩︎
MN 106.4 ↩︎
MN 44.14 ↩︎
SN 36.31; cp. Thag 85 ↩︎
Misalnya SN 46.3 dikutip di bawah ↩︎
‘Perasaan-perasaan spiritual yang lebih lagi’ ini tampaknya serupa dengan ‘perasaan-perasaan yang berdasarkan pada meninggalkan keduniawian’ yang disebutkan di tempat lain, yang karena melanjutkan setelah ‘melihat dengan pemahaman benar sebagaimana adanya’, maka tampak lebih luas, berhubungan dengan tingkat memasuki-arus dan seterusnya. Baca MN 137.11, 15. ↩︎
MN 54.22-24, MN 53.20-22 ↩︎
SN 46.33, AN 5.23 ↩︎
AN 1: 6.1, 2 ↩︎
Perumpamaan-perumpamaan ini terdapat pada AN 3.193 ↩︎
SN 1.813, 814 ↩︎
AN 6.116 ↩︎
AN 6.115 ↩︎
AN 1.2 ↩︎
MN 125.22-25 diringkas ↩︎
SN 22.5 ↩︎
SN 35.99; cp. SN 35.160 ↩︎
AN 3.61 ↩︎
Ini dibahas secara terperinci dalam A History of Mindfulness ↩︎
AN 7.70 ↩︎
SN 47.42 ↩︎
SN 12.64 ↩︎
MN 140.19-24 ↩︎
SN 22.55 dan seterusnya. Nāma dalam sutta-sutta tidak memasukkan kesadaran, dan karena itu hal ini bukanlah kata yang mewakili keempat kelompok unsur batin, walaupun sering digunakan dalam makna demikian dalam literatur belakangan. ↩︎
Ud 8.9 ↩︎
MN 2.10, 11 ↩︎
‘Perhatian’ adalah ciri menonjol dalam konteks kemunculan bergantungan, misalnya DN 14.2.18. secara kebetulan, dalam frasa yang terdapat di bawah pada DN_14:_Mahāpadāna_Sutta#2.21DN 14.2.21 ‘jalan vipassanā menuju pencerahan’, kata ‘vipassanā’ disisiplan ke dalam Pali PTS dari komentar terlepas dari kurangnya dukungan teks. ↩︎
AN 6.64 ↩︎
SN 52.6, 11-24 ↩︎
Misalnya MN 143 ↩︎
DN 16.6.10 dan seterusnya ↩︎
SN 51.13 diringkas ↩︎
AN 6.70 ↩︎
SN 51.20 ↩︎
SN 48.43 ↩︎
SN 48.50 ↩︎
SN 48.8 ↩︎
SN 48.9 ↩︎
SN 48.10 ↩︎
AN 7.4, AN 5.14, AN 5.15 ↩︎
AN 1.20 ↩︎
SN 48.2-7. Perlakuan ini menandakan pengembangan terminologi, yang telah disebutkan dalam sutta-sutta, ‘indria; sebagai klasifikasi fenomenologi paralel dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, dan unsur-unsur. ↩︎
Misalnya SN 48.2.3; baca juga SN 22.109, M2.11, dan sebagainya. ↩︎
MN 26.21. walaupun kata ‘indria-indria spiritual’ digunakan di sini dalam makna yang lebih umum, namun ini tidak diidentifikasikan dengan kelompok lima itu. ↩︎
MN 7.8 ↩︎
SN 46.5 ↩︎
SN 46.1 ↩︎
SN 46.51 ↩︎
SN 46.57ff. ↩︎
SN 46.3 ↩︎
Pengelompokan ini muncul beberapa kali dalam sutta-sutta, biasanya dikemas oleh komentar sebagai ‘dhamma yang berhubungan dengan samādhi’, tetapi sejauh yang saya tahu hanya dijelaskan dalam sutta-sutta dalam Iti 3.97 sebagai ‘tujuh dhamma yang merupakan sayap-sayap menuju pencerahan’, yang sering diterjemahkan sebagai ‘tujuh kelompok dhamma yang menjadi sayap-sayap menuju pencerahan’. Sekarang sudah dikenal bahwa ketiga puluh tujuh ini tidak disebut ‘sayap-sayap menuju pencerahan’ dalam sutta-sutta. Akan tetapi, kata yang digunakan untuk indria-indria spiritual, dan karena ada banyak kata-kata penjelasan yang sama baik untuk indria-indria spiritual maupun untuk faktor-faktor pencerahan, saya merasa akan lebih mudah bagi suatu sebutan dipindahkan dari satu kelompok ke kelompok lain daripada dipindahkan dari satu kelompok ke keseluruhan kelompok. Terlebih lagi, ‘dhamma’ secara ungkapan lebih sering digunakan oleh anggota-anggota kelompok daripada keseluruhan kelompok. ↩︎
AN 10.1 ↩︎
Di tempat lain ini disebut ‘kemunculan bergantungan transendental’. ↩︎
SN 12.37 dan seterusnya ↩︎
SN 55.40 ↩︎
SNp 230 ↩︎
Perumpamaan-perumpamaan serupa diaplikasikan pada kemunculan bergantungan dalam SN 12.23, SN 12.55, SN 12.69 ↩︎
SN 14.3, 5, 8, 10 ↩︎
SN 48.52 ↩︎
AN 5.22 ↩︎
SN 12.23 ↩︎
Dalam indria-indria spiritual, moralitas termasuk dalam keyakinan. SN 48.8 cp. SN 55.3, dan sebagainya. ↩︎
SN 12.3, SN 45.23 ↩︎
SN 12.19 ↩︎
SN 45.39 ↩︎
MN 38 ↩︎
Baca MN 93.18 ↩︎
AN 8.81; cp. AN 5.24, AN 5.168, AN 6.50, AN 7.61, AN 10.3-5, AN 11.3-5 ↩︎
Akan tetapi, hal ini tidak dengan sendirinya mengonfirmasi perlunya jhāna bagi mereka yang berada dalam jalan menuju tingkat memasuki-arus, karena mereka tidak memiliki ‘pengetahuan & penglihatan sebagaimana adanya’. Baca SN 25.1 tentang para pencapai sang jalan ini di bawah. ↩︎
MN 7.8ff dikutip di bawah, MN 40.8 ↩︎
Vin Mv 8.15 dikutip di bawah ↩︎
MN 24.15 ↩︎
AN 4.194 ↩︎
Kontra Vsm 182 ↩︎
Kontra Vsm 21.135. ↩︎
Kontra Vsm 22.1 ↩︎
Vsm 22.22f ↩︎
DN 34.22 ↩︎
SN 35.245 diringkas. ↩︎
Ud 5.7; cp. SNp 474. pandangan-pandangan disebut perasaan-perasaan dalam DN 1.3.32ff. ↩︎
Ud 1.1-3 ↩︎
Kata Pali-nya adalah kasiṇa, tetapi dalam sutta-sutta ini bukan bermakna ‘sebuah piringan atau elemen yang digunakan untuk persiapan meditasi’, seperti dijelaskan dalam Visuddhimagga. Baca Apendiks A untuk pembahasan mengenai ini. ↩︎
AN 10.26 ↩︎
SN 12.23 ↩︎
Baca misalnya AN 10.76 ↩︎
MN 107.3ff. ↩︎
MN 27, MN 38, MN 39, MN 51, MN 53, MN 107, MN 125, dan sebagainya ↩︎
SN 16.13 ↩︎
SN 45.24 ↩︎
AN 5.176 ↩︎
Vin Mv 8.15 ↩︎
MN 51.4 ↩︎
SN 47.29, SN 47.30 ↩︎
MN 89.10 ↩︎
MN 36.5 ↩︎
AN 10.46 ↩︎
SNp 1032-1123. ‘Vatthugātha’ dalam bentuk yang sekarang tidak diragukan lagi adalah teks belakangan. ↩︎
AN 7.50. ↩︎
MN 53.6 ↩︎
Iti 2.45 ↩︎
MN 13.7 dan seterusnya ↩︎
MN 125.9 ↩︎
MN 75.17-18. ↩︎
AN 9.33 ↩︎
MN 36.32 ↩︎
AN 10.61 ↩︎
MN 18.16. kedinamisan halus dari paragraf ini dieksplorasi oleh Bhikkhu Ñāṇānanda dalam bukunya Concept and Reality. ↩︎
AN 4.49 ↩︎
SNp 916 ↩︎
Ud 4.1, dan seterusnya ↩︎
Akan tetapi, hal ini tidak menyiratkan bahwa konsep-konsep tidak dikelompokkan sebagai terkondisi dan tidak kekal, seperti yang disarankan oleh beberapa orang. Baca SN 15.20. ↩︎
MN 22.20 ↩︎
AN 9.48ff ↩︎
AN 9.34 ↩︎
AN 5.23; cp. SN 46.33 ↩︎
AN 9.38 ↩︎
AN 10.20 diringkas. ↩︎
Misalnya MN 64, AN 9.36 ↩︎
AN 6.73 ↩︎
AN 9.44 ↩︎
MN 64.7ff ↩︎
Duṭṭhulla, kadang-kadang diterjemahkan sebagai ‘kelambanan’, tetapi seseorang tidak dapat menenangkan kelambanan. ↩︎
SN 45.13 ↩︎
AN 3.73 ↩︎
AN 3.84; cp. MN 48.12 ↩︎
AN 3.88, 89 ↩︎
SN 45.25 ↩︎
AN 4.89 ↩︎
SN 55.5 ↩︎
AN 3.86, 9.12 ↩︎
SN 48.50 ↩︎
MN 19.26 ↩︎
AN 6.64 ↩︎
AN 10.76 ↩︎
MN 22.46 ↩︎
SN 48.18 ↩︎
Misalnya MN 22.46, MN 34.10. hal ini mengingatkan pada penggunaan istilah serupa ‘kebebasan pikiran, kebebasan melalui pemahaman’ yang tertulis secara singkat di atas (Bab 2.11) ↩︎
SN 45.21 ↩︎
SN 25.1 ↩︎
MN 70.20-21 ↩︎
SN 55.24 ↩︎
MN 95.14ff; cp. SN 12.68 ↩︎
AN 6.88, AN 6.98ff ↩︎
Misalnya MN 1, SN 48.5 ↩︎
AN 9.36 ↩︎
Baca MN 105 ↩︎
SN 12.70 ↩︎
SN 22.59 ↩︎
AN 2.3.10 (dikutip di atas) ↩︎
Informasi ini berasal dari Richard Gombrich dalam tulisannya How Buddhism Began, yang memasukkan satu bab yang mencoba untuk menelusuri awal dari kemunduran samādhi hingga periode setelah wafatnya Sang Buddha, ketika ajaran-ajaran dikumpulkan dan disusun. Ia menggunakan suatu logika berbeda untuk sampai pada penanggalan yang serupa dengan yang saya berikan dalam teks. ↩︎
AN 4.163 ↩︎
AN 4.168 ↩︎
AN 4.167, SN 40.1-9 ↩︎
AN 1.20 ↩︎
AN 4.162 ↩︎
MN 14.4, dikutip di atas. ↩︎
Cp. SN 55.40, dikutip di atas ↩︎
AN 6.26 ↩︎
AN 6.26 ↩︎
AN 5.179 ↩︎
AN 3.70 ↩︎
AN 1.20 ↩︎
Vsm 7.67 ↩︎
Secara keliru dituliskan sebagai prosa dalam Pali PTS dan terjemahannya. ↩︎
MN 56.18 ↩︎
SN 46.38 ↩︎
Cp. SN 25, dikutip di atas. ↩︎
AN 5.151 ↩︎
AN 3.110, dikutip di atas. ↩︎
AN 5.26 ↩︎
SN 46.3 ↩︎
SN 22.89 ↩︎
AN 5.73 ↩︎
MN 97 ↩︎
Saya pernah mendengar bukti lelucon yang tampaknya mengkonfirmasi kemungkinan ini. ↩︎
MN 43.14, AN 5.25 ↩︎
SN 22.59, SN 35.28. ↩︎
DN 14.3.28; cp. MN 128.32, AN 7.65 ↩︎
SN 48.2-7 ↩︎
Baca misalnya, Iti 3.96 ↩︎
Di sini Yang Mulia Mahā Kaccāna menukar ‘kesadaran’ dengan ‘pikiran’. Walaupun umumnya merujuk pada hal yang sama, namun sutta-sutta cenderunga memperlakukan ‘kesadaran’ dalam konteks kebenaran mulia pertama – ‘untuk diketahui sepenuhnya’ – dan ‘pikiran’ dalam konteks kebenaran mulia ke empat – ‘untuk dikembangkan’. ↩︎
MN 138. MLDB mengabaikan frasa ‘terbelenggu oleh belenggu kepuasan’ pada MN 138.12. Terjemahannya juga keliru dengan menghilangkan sukha dalam frasa yang mengikuti setelah kebahagiaan dan keseimbangan’ pada MN 138.14. Pali PTS menuliskan upekkhā hanya pada bagian pertama; semua yang berikutnya dan paralelnya menuliskan upekkhāsukha yang lebih disukai. ↩︎
Baca misalnya MN 8.14.18, MN 113.21ff ↩︎
Iti 3.94 ↩︎
MN 26.22ff ↩︎
Dhp 274 ↩︎
MN 104.5 ↩︎
MN 139.9; cp. 66.19-21 ↩︎
Ini adalah sembilan aṅga yang menjadi pengelompokan teks-teks Buddhis sebelum pengembangan sistem nikāya ↩︎
AN 5.73 ↩︎
MN 36.31, MN 85, MN 100 ↩︎
Para Buddha tidak termasuk – konteksnya adalah latihan untuk para siswa. ↩︎
MN 70.23 ↩︎
Misalnya AN 9.43; baca juga SN 48.50 dikutip di atas, SN 48.53 ↩︎
Pada SN 48.40 nimitta=nidāna, saṅkhāra, paccaya, dan pada MN 128.16 nimitta=hetu, paccaya. ↩︎
MN 19 ↩︎
Ud 4.1 ↩︎
AN 3.100, AN 5.73 ↩︎
AN 6.26 dikutip di atas. ↩︎
SN 34.5. secara tidak sengaja, tidakkah seharusnya gocara pada SN 34.6 bermakna satipaṭṭhāna, habitat asal si meditator’? (baca SN 37.6). ↩︎