easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu istri seorang brahmana dari suku Bhāradvāja, seorang brahmana perempuan bernama Dhanañjāni, berkeyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhamma dan Saṅgha.1 Suatu hari, ketika brahmana perempuan Dhanañjāni sedang membawa makanan untuk si brahmana, ia tersandung, lalu ia mengucapkan kata-kata inspiratif sebanyak tiga kali: “Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna!”2

Ketika hal ini diucapkan, brahmana dari suku Bhāradvāja berkata kepadanya: “Karena hal sepele ini perempuan celaka ini <345> mengucapkan pujian kepada petapa gundul itu! Perempuan celaka, aku akan membantah ajaran dari Gurumu itu.”3

“Aku tidak melihat siapa pun, brahmana, di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, yang dapat membantah ajaran Sang Bhagavā, Sang Arahant, Tercerahkan Sempurna. Tetapi pergilah, brahmana. Ketika engkau pergi, maka engkau akan memahami.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja, menjadi marah dan tidak senang, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia lalu duduk di satu sisi [161] dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:4

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih? <346> Apakah satu hal, O Gotama, Yang pembunuhannya Engkau setujui?”

[Sang Bhagavā:]

“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; Pembunuhan kemarahan, O brahmana, Dengan akar beracun dan pucuk bermadu: Ini adalah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, Karena setelah membunuh itu, seseorang tidak bersedih.”

Ketika hal ini diucapkan, brahmana dari suku Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Guru Gotama, seperti menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama, dan kepada Dhamma dan kepada Bhikkhu Saṅgha. Bolehkah aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, bolehkah aku menerima penahbisan yang lebih tinggi?”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Bhāradvāja, dengan merealisasikan oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang tiada bandingnya yang dicari oleh orang-orang yang meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah. <347> Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.”5 Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bharadvāja si pemaki, mendengar:6 “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan [162] mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Bagaimana menurutmu, brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan kepada mereka?” <348>

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

“Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, brahmana, kami – yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun – menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan makian yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya – ia dikatakan memakan makanan, memasuki pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, brahmana! Itu masih tetap milikmu, brahmana!”

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahant, namun Guru Gotama masih bisa marah.”7

[Sang Bhagavā:]

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri seorang yang tidak memiliki kemarahan, Dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar. <349> Dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna, Dalam diri seorang yang stabil yang berdiam dalam kedamaian?8

“Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan Dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya. Tanpa membalas kemarahan dengan kemarahan, Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak - Dirinya dan orang lain – Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah, Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak - Dirinya dan orang lain – Orang-orang yang menganggapnya dungu Adalah tidak terampil dalam Dhamma.”9 [163]

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! … Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Bolehkah aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, bolehkah aku menerima penahbisan yang lebih tinggi?”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian … <350> … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Asurindaka Bhāradvāja mendengar:10 “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā tetap diam. Kemudian Brahmana Asurindaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Engkau kalah, Petapa! Engkau kalah, Petapa!”

[Sang Bhagavā:]

“Si dungu merasa kemenangan telah diperoleh Ketika dengan ucapan, ia mencerca dengan kasar; Tetapi bagi ia yang mengerti, Menahankan dengan sabar adalah kemenangan sejati.11

“Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan … (syair =616-18) … <351> Adalah tidak terampil dalam Dhamma.” [164]

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Asurindaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Bilaṅgika Bhāradvāja mendengar:12 “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Dengan marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan berdiri si satu sisi sambil berdiam diri.13 <352>

Kemudian Sang Bhagavā, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui refleksi dalam pikiran brahmana Bilaṅgika Bhāradvāja, berkata kepadanya dalam syair:

“Jika seseorang melakukan kesalahan terhadap orang yang tidak bersalah, Seorang yang murni tanpa noda, Kejahatan itu akan kembali kepada si dungu itu sendiri Bagaikan debu halus yang ditebarkan melawan angin.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Bilaṅgika Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Di Sāvatthī. Brahmana Ahiṃsaka Bhāradvāja, Bhāradvāja yang Tidak Berbahaya, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.14 Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi [165] dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku Ahiṃsaka yang Tidak Berbahaya, Guru Gotama. Aku Ahiṃsaka yang Tidak Berbahaya, Guru Gotama.”

[Sang Bhagavā:] <353>

“Jika seseorang adalah apa yang disiratkan oleh namanya Maka engkau adalah seorang yang tidak berbahaya. Tetapi adalah seorang yang tidak melakukan kejahatan sama sekali Melalui badan, ucapan, dan pikiran, Yang sesungguhnya menjadi seorang yang tidak berbahaya Karena ia tidak membahayakan orang lain.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Ahiṃsaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Ahiṃsaka Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Di Sāvatthī. Brahmana Jaṭā Bhāradvāja, Bhāradvāja yang Kusut, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Kusut di dalam, kusut di luar, Generasi ini terjerat dalam kekusutan. Aku menanyakan hal ini kepadamu, O Gotama, Siapakah yang mampu menguraikan kekusutan ini?” <354>

[Sang Bhagavā:]

“Seorang yang kokoh dalam moralitas, bijaksana, Mengembangkan pikiran dan kebijaksanaan, Seorang bhikkhu yang tekun dan waspada: Ia mampu menguraikan kekusutan ini.

“Bagi mereka yang nafsu dan kebencian Bersama dengan ketidaktahuan telah dihapuskan, Para Arahant dengan noda dihancurkan: Bagi mereka kekusutan terurai.

“Di mana nama-dan-bentuk lenyap, Berhenti tanpa sisa, Dan juga kontak dan persepsi bentuk: Di sinilah kekusutan dipotong.”

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Jaṭā Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

  1. Suddhika

Di Sāvatthī. Brahmana Suddhika Bhāradvāja mendatangi Sang Bhagavā <355> dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi [166] dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Di dunia ini tidak ada brahmana yang suci Walaupun ia bermoral dan keras dalam latihan; Seorang yang sempurna dalam pengetahuan dan perilaku adalah suci, Bukan yang lain, orang-orang biasa.”15

[Sang Bhagavā:]

“Meskipun seseorang melantunkan banyak mantra, Seseorang tidak menjadi brahmana melalui kelahiran Jika seseorang busuk batinnya dan tercemar, Menyokong dirinya dengan cara-cara curang.

“Apakah khattiya, brahmana, vessa, sudda, Caṇḍala atau pemungut sampah, Jika seseorang bersemangat dan teguh, Kokoh dalam daya-upaya, Ia mencapai kesucian tertinggi: Ketahuilah, O Brahmana, demikianlah adanya.” <356>

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Suddhika Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu nasi-susu dengan ghee telah dipersiapkan untuk brahmana Aggika Bhāradvāja, yang berniat: “Aku akan memberikan pengorbanan api, aku akan melakukan persembahan api.”16

Kemudian, pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubahNya dan, membawa mangkuk dan jubah, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Sambil berjalan menerima dana makanan tanpa terputus di Rājagaha, Sang Bhagavā mendatangi rumah brahmana Aggika Bhāradvāja dan berdiri di satu sisi. Brahmana Aggika Bhāradvāja melihat Sang Bhagavā berdiri untuk menerima dana makanan dan berkata kepada Beliau dalam syair: <357>

“Seseorang yang memiliki tiga pengetahuan, Berkelahiran baik, banyak belajar, Sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, Boleh menerima makanan nasi-susu ini.”17

[Sang Bhagavā:]

“Meskipun seseorang melantunkan banyak mantra, Seseorang tidak menjadi brahmana melalui kelahiran Jika seseorang busuk batinnya dan tercemar, Dengan pengikut yang diperoleh dengan cara-cara curang. [167]

“Seseorang yang telah mengetahui kehidupan lampaunya, Yang telah melihat surga dan alam sengsara, Yang telah mencapai hancurnya kelahiran, Seorang bijaksana sempurna dalam pengetahuan langsung.18

“Dengan tiga jenis pengetahuan ini Seseorang menjadi brahmana dengan tiga pengetahuan. Orang ini yang sempurna dalam pengetahuan dan perilaku Boleh menerima makanan nasi-susu ini.” <358>

[Brahmana Aggika Bhāradvāja:]

“Silakan Guru Gotama makan. Seorang brahmana yang layak menerimanya.”

[Sang Bhagavā:]

“Makanan yang diperoleh setelah syair-syair dilantunkan Tidaklah layak bagiKu untuk memakannya. Ini, brahmana, bukanlah prinsip Yang dijalankan oleh mereka yang melihat. Yang Tercerahkan menolak makanan demikian Yang diperoleh setelah syair-syair dilantunkan. Prinsip demikian ada, O brahmana, Ini adalah aturan perilaku mereka.

“Berilah makanan dan minuman lain Yang sempurna, sang bijaksana mulia Dengan noda dihancurkan dan penyesalan ditenangkan, Karena Beliau adalah ladang bagi ia yang mencari jasa.”19

Ketika hal ini dikatakan, brahmana Aggika Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! ” … Dan Yang Mulia Aggika Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara penduduk Kosala di tepi Sungai Sundarika. Pada saat itu <359> Brahmana Sundarika Bhāradvāja sedang melakukan pengorbanan api dan persembahan api di tepi Sungai Sundarika. Kemudian Brahmana Sundarika, setelah melakukan pengorbanan api dan persembahan api, bangkit dari duduknya dan mengamati empat penjuru di sekeliling, berpikir: “Siapakah sekarang yang akan memakan kue persembahan ini?”20

Brahmana Sundarika melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon dengan kepala tertutup. Setelah melihatNya, ia mengambil kue persembahan dengan tangan kirinya dan kendi air dengan tangan kanannya dan mendekati Sang Bhagavā. Ketika Sang Bhagavā mendengar suara langkah kaki sang brahmana, Beliau membuka tutup kepalaNya. Kemudian Brahmana Sundarika Bhāradvāja berpikir, “Orang Mulia ini gundul, [168] Orang Mulia ini kepalanya tercukur,” ingin berbalik; <360> namun ia berpikir: “Beberapa brahmana di sini juga gundul. Aku akan mendekatiNya dan menanyakan kelahiranNya.”

Kemudian Brahmana Sundarika Bhāradvāja mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya: “Apakah kelahiran Yang Mulia?”

[Sang Bhagavā:]

“Jangan tanyakan kelahiran tapi tanyakan perilaku: Api sesungguhnya dihasilkan dari kayu apa pun. Seorang bijaksana yang teguh, walaupun dari keluarga rendah, Adalah berdarah murni yang dikendalikan oleh rasa malu.21

“Pemberi korban harus mengundang yang satu ini: Seorang yang jinak oleh kebenaran, sempurna dalam menjinakkan, Yang telah mencapai pengetahuan terakhir, Yang memenuhi kehidupan suci. Kemudian ia melakukan persembahan tepat pada waktunya Kepada seorang yang layak menerima persembahan.”22 <361>

[Brahmana Sundarika Bhāradvāja:]

“Tentu saja pengorbananku dilakukan dengan baik Karena aku telah berjumpa dengan seorang Guru-Pengetahuan. Karena aku belum pernah bertemu mereka yang sepertiMu Orang-orang lain memakan kue persembahan. “Silahkan Guru Gotama makan. Seorang brahmana yang layak menerimanya.”

[Sang Bhagavā:]

“Makanan yang diperoleh setelah syair-syair dilantunkan … (syair = 636-37) … Karena Beliau adalah ladang bagi ia yang mencari jasa.” <362>

“Kalau begitu, Guru Gotama, haruskah aku memberikan kue persembahan ini kepada orang lain?”

“Aku tidak melihat siapa pun, brahmana, di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, yang dapat memakan dan mencerna kue persembahan ini dengan baik [169] kecuali Sang Tathāgata atau siswa Sang Tathāgata.23 Oleh karena itu, brahmana, buanglah kue persembahan ini di tempat di mana terdapat sedikit tanaman atau buanglah di air di mana tidak terdapat makhluk hidup.”

Kemudian Brahmana Sundarika Bhāradvāja membuang kue persembahan itu ke dalam air di mana tidak terdapat makhluk hidup. Ketika dibuang ke dalam air, kue persembahan itu mendesis dan mengeluarkan uap dan asap.24 Bagaikan sebuah bajak, yang terkena panas sepanjang hari, mendesis dan mengeluarkan uap dan asap ketika diletakkan ke dalam air, demikian pula kue persembahan itu, <363> ketika dibuang ke dalam air, mendesis dan mengeluarkan uap dan asap.

Kemudian Brahmana Sundarika Bhāradvāja terkejut dan ketakutan, mendekati Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian berkata kepadanya dalam syair:

“Ketika membakar kayu, brahmana, jangan membayangkan Perbuatan eksternal ini membawa kemurnian; Karena para ahli mengatakan tidak ada kemurnian yang diperoleh Oleh seseorang yang mencarinya di luar.

“Setelah memadamkan api yang berasal dari kayu, Sendirian, Aku menyalakan, O brahmana, api di dalam. Selalu menyala, pikiranKu selalu terkonsentrasi, Aku adalah seorang Arahant yang menjalani kehidupan suci.

“Keangkuhan, O brahmana, adalah beban bahumu, <364> Kemarahan adalah asap, kebohongan adalah abu; Lidah adalah sendoknya, hati adalah altar, Diri yang terjinakkan dengan baik adalah cahaya bagi seseorang.25

“Dhamma adalah sebuah danau dengan kanal penyeberangan moralitas - Jernih, dipuji oleh orang-orang baik kepada orang-orang baik – Di mana para guru-pengetahuan mandi, Dan, dengan tubuh kering, menyeberang ke pantai seberang.26

“Kebenaran, Dhamma, pengendalian, kehidupan suci, Pencapaian Brahmā berdasarkan yang tengah: [170] Berilah hormat, O Brahmana, kepada mereka yang lurus; Aku menyebut orang itu sebagai seorang yang terdorong oleh Dhamma.”27

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Sundarika Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Sundarika Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant. <365>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu empat belas sapi milik seorang brahmana dari suku Bhāradvāja hilang. Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja itu, sewaktu mencari sapi-sapi itu, pergi ke hutan itu di mana Sang Bhagavā berdiam. Di sana ia melihat Sang Bhagavā duduk bersila, dengan tubuh tegak, dengan perhatian penuh ke arah depanNya. Setelah melihat Beliau, ia mendekat dan melantunkan syair-sair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Empat belas ekor sapi [yang hilang], Tidak terlihat sejak enam hari lalu: Karenanya Petapa ini bahagia.28

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Ladang dengan tanaman wijen yang terkena hama, Beberapa terkena satu daun, beberapa terkena dua: Karenanya Petapa ini bahagia. <366>

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Tikus-tikus dalam lumbung kosong Yang menari dengan gembira: Karenanya Petapa ini bahagia.

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Selimut yang selama tujuh bulan Telah dipenuhi dengan kawanan kutu: Karenanya Petapa ini bahagia.

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Tujuh putri yang ditinggal menjanda, Beberapa dengan satu anak, beberapa dengan dua: Karenanya Petapa ini bahagia. 29

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Istri berkulit coklat dengan wajah penuh bercak Yang membangunkanNya dengan tendangan: Karenanya Petapa ini bahagia.

“Pasti Petapa ini tidak memiliki Penagih hutang yang menagih saat fajar, Membentaknya, ‘Bayar! Bayar!’: <367> Karenanya Petapa ini bahagia.

[Sang Bhagavā:]

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Empat belas sapi [yang hilang], Tidak terlihat sejak enam hari lalu: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia. [171]

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Ladang dengan tanaman wijen yang terkena hama, Beberapa terkena satu daun, beberapa terkena dua: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia.

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Tikus-tikus dalam lumbung kosong Yang menari dengan gembira: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia.

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Selimut yang selama tujuh bulan Telah dipenuhi dengan kawanan kutu: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia.

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Tujuh putri yang ditinggal menjanda, Beberapa dengan satu anak, beberapa dengan dua: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia. <368>

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Istri berkulit coklat dengan wajah penuh bercak Yang membangunkanKu dengan tendangan: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia.

“Tentu saja, Brahmana, Aku tidak memiliki Penagih hutang yang menagih saat fajar, Membentaknya, ‘Bayar! Bayar!’: Karenanya, O Brahmana, Aku bahagia.”

Ketika hal ini dikatakan, brahmana dari suku Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama!” … Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu di antara para Arahant.30 <369>

[172]

Demikianlah yang kudengar.31 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Magadha di Dakkhiṇāgiri dekat desa brahmana Ekanāḷa. Pada saat itu Brahmana Kasi Bhāradvāja, Bhāradvāja si Pembajak Sawah, memasang lima ratus bajak ke gandarnya pada waktu penanaman.32 Kemudian pagi hari itu, Sang Bhagavā merapikan jubahNya dan, membawa mangkuk dan jubah, pergi ke tempat di mana Kasi Bhāradvāja sedang bekerja.

Pada saat itu sedang berlangsung pembagian makanan Kasi Bhāradvāja.33 Kemudian Sang Bhagavā mendekati tempat pembagian makanan <370> dan berdiri di satu sisi. Brahmana Kasi Bhāradvāja melihat Sang Bhagavā berdiri untuk menerima dana makanan dan berkata kepada Beliau:

“Petapa, aku membajak dan menanam, dan ketika aku telah membajak dan menanam, aku makan. Engkau juga, Petapa, seharusnya membajak dan menanam; kemudian, ketika Engkau telah membajak dan menanam, Engkau boleh makan.”

“Aku juga, brahmana, membajak dan menanam, dan ketika Aku telah membajak dan menanam, Aku makan.”

“Tetapi kami tidak melihat gandar atau bajak atau tongkat atau galah pengendali atau sapi milik Guru Gotama; namun Guru Gotama mengatakan, ‘Aku juga, brahmana, membajak dan menanam, dan ketika Aku telah membajak dan menanam, Aku makan.’”

Kemudian Brahmana Kasi Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <371>

“Engkau mengaku sebagai seorang yang bekerja dengan bajak, Tetapi aku tidak melihat alat bajakMu. Jika Engkau adalah seorang pembajak sawah, jawablah: Bagaimana kami memahami pembajakanMu?”

[Sang Bhagavā:]

“Keyakinan adalah benih, latihan keras adalah hujan, Kebijaksanaan adalah gandar dan bajak; Rasa malu adalah galah, pikiran adalah pengikat-gandar, Perhatian adalah mata bajak dan tongkat kendaliKu.34

“Terkendali dalam jasmani, terkendali dalam ucapan, Terkendali dalam nafsu makan, Aku menggunakan kebenaran sebagai pencabut-rumput, Dan kelembutan sebagai pelepas gandar.35 [173]

“Semangat adalah kuda-bebanKu, membawaKu ke tempat yang aman dari belenggu. Yang berjalan maju tanpa berhenti Ke mana, setelah pergi, seseorang tidak bersedih.36

Demikianlah pembajakan ini dilakukan Yang menghasilkan Tanpa-kematian sebagai buahnya. Setelah menyelesaikan pekerjaan membajak ini, <372> Seseorang terbebaskan dari segala penderitaan.”

“Silahkan Guru Gotama makan! Seorang Pembajak yang layak menerima persembahan, karena Guru Gotama membajak bahkan Tanpa-kematian sebagai buahnya.”

“Makanan yang diperoleh setelah syair-syair dilantunkan … (syair = 636-37) … Karena Beliau adalah ladang bagi ia yang mencari jasa.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Kasi Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Guru Gotama, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap bagi mereka yang memiliki mata agar dapat meliat bentuk-bentuk. <373> Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Sang Bhagavā merapikan jubahNya dan, membawa mangkuk dan jubah, mendatangi rumah Brahmana Udaya. Kemudian Brahmana Udaya mengisi mangkuk Sang Bhagavā dengan nasi. Untuk ke dua kalinya di pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubahNya dan, membawa mangkuk dan jubah, mendatangi rumah Brahmana Udaya … Untuk ke tiga kalinya di pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubahNya dan, membawa mangkuk dan jubah, mendatangi rumah Brahmana Udaya.37 Kemudian untuk ke tiga kalinya Brahmana Udaya mengisi mangkuk Sang Bhagavā dengan nasi, [174] setelah itu ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Petapa Gotama pengganggu ini selalu datang kembali lagi dan lagi.”38

[Sang Bhagavā:]

“Lagi dan lagi, mereka menanam benih; Lagi dan lagi, dewa langit menurunkan hujan; <374> Lagi dan lagi, pembajak membajak sawah; Lagi dan lagi, hasil panen masuk ke lumbung.

“Lagi dan lagi, pengemis mengemis; Lagi dan lagi, si donor memberi; Ketika si donor memberi lagi dan lagi, Lagi dan lagi mereka pergi ke surga.

“Lagi dan lagi, pemerah susu memerah susu; Lagi dan lagi, anak sapi mendatangi ibunya; Lagi dan lagi, seseorang lelah dan gemetar; Lagi dan lagi, si dungu memasuki rahim; Lagi dan lagi, seseorang lahir dan mati; Lagi dan lagi, mereka membawa seseorang ke pemakaman.

“Tetapi ketika seseorang telah memperoleh Sang Jalan Yang membawa menuju ketiadaan penjelmaan baru, Setelah memiliki kebijaksanaan luas, Seseorang tidak terlahir lagi dan lagi!”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Udaya berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” <375>

Di Sāvatthī. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang masuk angin dan Yang Mulia Upavāṇa adalah pelayanNya.39 Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Upavāṇa sebagai berikut: “Pergilah, Upavāṇa, carikan air panas untukKu.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Upavāṇa menjawab. Kemudian ia merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, pergi ke rumah Brahmana Devahita, di mana ia berdiri diam di satu sisi. Brahmana Devahita melihat Yang mulia Upavāṇa berdiri diam di satu sisi dan berkata kepadanya dalam syair: [175]

“Dengan diam, Yang Mulia berdiri, Kepala tercukur, berpakaian jubah jahitan. Apa yang engkau inginkan, apa yang engkau cari, Untuk meminta apakah engkau datang ke sini?”

[Yang Mulia Upavāṇa:]

“Sang Arahant, Yang Sempurna di dunia ini, Sang Bijaksana, sedang masuk angin, <376> Jika ada air panas, brahmana, Mohon berikan untuk Sang Bijaksana.

“Ia disembah oleh mereka yang layak menerima persembahan, Dimuliakan oleh mereka yang layak dimuliakan, Dihormati oleh mereka yang layak dihormati, Untuk Beliaulah aku ingin membawanya.”

Kemudian Brahmana Devahita memerintahkan pelayannya untuk mengambil pikulan dengan air panas dan memberikan sekantung sirup gula kepada Yang Mulia Upavāṇa. Kemudian Yang Mulia Upavaṇa mendatangi Sang Bhagavā. Ia memandikan Sang Bhagavā dengan air hangat, dan ia mencampur sirup gula dengan air panas dan mempersembahkannya kepada Beliau. Kemudian penyakit Sang Bhagavā mereda.

Kemudian Brahmana Devahita mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, setelah itu ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Ke manakah seseorang seharusnya memberikan pemberian yang benar? <377> Ke manakah sebuah pemberian menghasilkan buah yang besar? Bagaimanakah, bagi seseorang yang memberikan persembahan, Suatu persembahan itu membawa keberhasilan – bagaimanakah?”40

[Sang Bhagavā:]

“Seseorang yang telah mengetahui masa lampaunya, Yang melihat alam surga dan alam sengsara, Yang telah mencapai hancurnya kelahiran, Seorang bijaksana yang sempurna dalam pengetahuan langsung:

Di sini seseorang harus memberikan pemberian yang benar, Di sini suatu pemberian menghasilkan buah besar. Itulah bagaimana, bagi seseorang yang memberikan persembahan, Suatu persembahan yang membawa keberhasilan – demikianlah!”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Devahita berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Di Sāvatthī.41 Seorang brahmana kaya raya, lusuh, berpakaian jubah usang, [176] mendatangi Sang Bhagavā <378> dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, ia duduk di satu sisi dan Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Mengapa, brahmana, engkau begitu lusuh, berpakaian jubah usang?”

“Guru Gotama, keempat putraku, dihasut oleh istri mereka, telah mengusirku dari rumah.”

“Baiklah, Brahmana, pelajarilah syair ini dan lantunkanlah ketika banyak orang telah berkumpul di aula pertemuan dengan putra-putramu duduk bersama di sana:

“Mereka yang kelahirannya membuatku gembira Dan yang keberhasilannya sangat kuinginkan, Karena dihasut oleh istri mereka, Mengusirku keluar seperti anjing mengusir babi.

“Anak-anak jahat ini memang jahat, Walaupun mereka memanggilku, ‘Ayah, Ayah sayang.’ Mereka adalah siluman dalam samaran anak <379> Untuk meninggalkanku ketika aku telah tua.

“Bagaikan seekor kuda tua yang tidak berguna Dijauhkan dari palung makanannya, Demikian pula ayah tua ini dari anak-anaknya Meminta makanan dari rumah lain.

“Tongkat yang kugunakan lebih baik buatku Daripada putra-putra tidak patuh itu; Karena tongkatku mengusir sapi liar Dan mengusir anjing liar.

“Dalam gelap ia berjalan di depanku, Di tempat yang dalam ia memberiku pegangan. Berkat kekuatan yang ramah dari tongkat ini, Jika aku tersandung aku tetap berdiri tegak.”

Kemudian brahmana kaya raya itu, setelah mempelajari syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā, melantunkannya ketika banyak orang telah berkumpul di aula pertemuan dengan putra-putranya duduk bersama di sana:

“Mereka yang kelahirannya membuatku gembira … <380> Jika aku tersandung aku tetap berdiri tegak.” [177]

Kemudian putra-putra itu menuntun brahmana kaya raya itu ke rumah mereka, memandikannya, dan masing-masing memberikan sepasang pakaian. Kemudian brahmana kaya raya itu, setelah mengambil sepasang pakaian, mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. <381> Kemudian ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, kami para brahmana mencari ongkos guru bagi guru kami. Sudilah Guru Gotama menerima ongkos guru dariku.” Sang Bhagavā menerimanya demi belas kasihnya.

Kemudian brahmana kaya raya itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang brahmana bernama Mānatthaddha, yang angkuh, sedang menetap di Sāvatthī.42 Ia tidak menghormat kepada ibu atau ayahnya, juga tidak kepada gurunya atau saudara tuanya. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma dikelilingi oleh banyak orang. <382> kemudian Brahmana Mānatthaddha berpikir: “Petapa Gotama ini sedang mengajarkan Dhamma dengan dikelilingi oleh banyak orang. Aku akan mendekatiNya. Jika Petapa Gotama berbicara kepadaku, maka aku akan berbicara padaNya sebagai balasan. Tetapi jika Ia tidak berbicara kepadaku, maka aku juga tidak akan berbicara padaNya.”

Kemudian Brahmana Mānatthaddha mendekati Sang Bhagavā dan berdiri diam di satu sisi, tetapi Sang Bhagavā tidak berbicara kepadanya. Kemudian Brahmana Mānatthaddha berpikir, “Petapa Gotama ini tidak tahu apa-apa,”43 ingin berbalik, [178] tetapi Sang Bhagavā, setelah mengetahui pikiran si brahmana itu dengan pikiranNya sendiri, berkata kepada Brahmana Mānatthaddha dalam syair:

“Mengembangkan keangkuhan adalah tidak pernah baik Bagi seseorang yang bersemangat demi kesejahteraannya, Brahmana. Engkau seharusnya mengembangkan tujuan itu Yang karenanya engkau datang ke sini.”44 <383>

Kemudian Brahmana Mānatthaddha, berpikir, “Petapa Gotama mengetahui pikiranku,” ia bertiarap di sana dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā. Ia mencium kaki Sang Bhagavā, menepuknya dengan tangannya, dan menyebutkan namanya: “Aku Mānatthaddha, Guru Gotama! Aku Mānatthaddha, Guru Gotama!”

Kemudian kerumunan orang banyak itu terkesima dengan pemandangan itu dan orang-orang berkata: “Sungguh menakjubkan, Tuan! Sungguh mengagumkan, Tuan! Brahmana Mānatthaddha ini tidak menghormat ibu dan ayahnya, juga tidak kepada guru atau saudara tuanya, namun ia memperlihatkan penghormatan tertinggi kepada Petapa Gotama.”45

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Mānatthaddha: “Cukup, Brahmana! Bangun dan duduklah di tempatmu, karena pikiranmu telah berkeyakinan padaKu.”

Kemudian Brahmana Mānatthaddha duduk di tempat duduknya dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Kepada siapakah seseorang harus menghindari keangkuhan? Kepada siapakah seseorang harus menunjukkan penghormatan? Kepada siapakah seseorang harus menghormat? <384> Siapakah yang selayaknya dihormati secara mendalam?”

[Sang Bhagavā:]

“Pertama ibu dan ayah seseorang, Kemudian saudara kandung yang lebih tua, Kemudian gurunya sebagai yang keempat: Kepada orang-orang ini ia seharusnya menghindari keangkuhan; Kepada orang-orang ini ia seharusnya menghormat; Orang-orang ini seharusnya dihormati dengan baik; Orang-orang ini baik sekali dihormati secara mendalam.

“Setelah menaklukkan keangkuhan, rendah hati, Seseorang harus memberi hormat kepada para Arahant, Mereka yang berhati sejuk, tugas-tugasnya telah selesai, Yang tanpa-noda, tiada bandingnya.”

Kemudian Brahmana Mānatthaddha berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … <385> Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [179]

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang brahmana bernama Paccanikasāta, Peminat Kontradiksi, sedang menetap di Sāvatthī. Kemudian Brahmana Paccanīkasāta berpikir: “Aku akan mendatangi Petapa Gotama dan membantah apa pun yang ia katakan.”

Pada saat itu Sang Bhagavā sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Brahmana Paccanīkasāta mendatangi Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau selagi Beliau sedang berjalan mondar-mandir: “Bicarakanlah Dhamma, Petapa!”

[Sang Bhagavā:]

“Nasihat yang disampaikan dengan baik adalah sulit dipahami Oleh ia yang menyukai kontradiksi, Oleh ia yang berpikiran buruk <386> Yang suka menyerang.

“Tetapi jika seseorang telah melenyapkan minat menyerang Dan ketidak-percayaan dalam hatinya, Jika ia telah menyingkirkan ketidak-senangan, Ia dapat memahami nasihat yang disampaikan dengan baik.”

Ketika hal ini diucapkan, Brahmana Paccanīkasāta berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu Brahmana Navakammika Bhāradvāja sedang menyelesaikan pekerjaan di hutan itu.46 Brahmana Navakammika Bhāradvāja melihat Sang Bhagavā sedang duduk bersila di bawah pohon sal. Dengan tubuh tegak, dan penuh perhatian ke arah depanNya. Setelah melihat Beliau, ia berpikir: <387> “Aku gembira dalam menyelesaikan pekerjaanku di hutan ini. Dalam menyelesaikan apakah Petapa Gotama ini bergembira?”

Kemudian Brahmana Navakammika Bhāradvāja mendekati Sang Bhagavā [180] dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Pekerjaan apakah yang Engkau lakukan Di sini di hutan sal ini, Bhikkhu, Yang karenanya Engkau bergembira Sendirian di dalam hutan ini, Gotama?”

[Sang Bhagavā:]

“Tidak ada yang perlu Kulakukan di hutan ini; Setelah memotong akar, hutanKu mengering. Tanpa pepohonan dan tanpa-duri, ketidak-puasan lenyap, Aku bergembira sendirian di dalam hutan.”47 <388>

Ketika hal ini diucapkan, Brahmana Navakammika Bharadvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu sejumlah anak brahmana, murid-murid seorang brahmana dari suku Bhāradvāja, mendatangi hutan sewaktu mengumpulkan kayu bakar. Setelah mendekat, mereka melihat Sang Bhagavā sedang duduk bersila di bawah pohon sal. Dengan tubuh tegak, dan penuh perhatian ke arah depanNya. Setelah melihat Beliau, mereka mendatangi brahmana dari suku Bhāradvāja dan berkata kepadanya: “Lihatlah, Guru, engkau harus tahu bahwa di hutan itu ada seorang Petapa sedang duduk bersila, dengan tubuh tegak, dan penuh perhatian ke arah depanNya.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja itu, bersama dengan anak-anak brahmana itu, pergi ke hutan. Ia melihat Sang Bhagavā sedang duduk di sana … <389> … penuh perhatian ke arah depanNya. Ia kemudian mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya dalam syair:

“Setelah memasuki hutan yang kosong, terpencil, Jauh di dalam hutan di mana banyak teror mengintai, [181] Dengan tubuh tidak bergerak, kokoh, elok, Bagaimana Engkau bermeditasi, Bhikkhu, dengan begitu indah!48

“Di dalam hutan di mana tidak ada suara musik atau nyanyian, Sang Bijaksana penyendiri masuk ke hutan! Ini membuatku terheran-heran – bahwa Engkau berdiam Dengan pikiran gembira sendirian di dalam hutan.

“Aku menduga Engkau menginginkan tiga surga tertinggi, Bersama dengan raja para dewa penguasa dunia ini. <390> Oleh karena itu Engkau memasuki hutan terpencil ini: Engkau mempraktikkan penebusan untuk mencapai Brahmā.”49

[Sang Bhagavā:]

“Apa pun keinginan dan kegembiraan yang banyak itu Yang selalu melekat pada banyak unsur, Keinginan itu muncul dari akar ketidak-tahuan: Semuanya telah Kuhancurkan hingga ke akar-akarnya.50

“Aku tanpa keinginan, tanpa kemelekatan, tanpa kesibukan; PenglihatanKu atas segala sesuatu telah murni. Setelah mencapai - Pencerahan Tertinggi – yang mengagumkan Penuh keyakinan, brahmana, Aku bermeditasi sendirian.”51

Ketika hal ini diucapkan, Brahmana dari suku Bhāradvāja itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

<391> Di Sāvatthi. Seorang brahmana yang menyokong ibunya mendekati Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, aku mencari nafkah dengan benar, dan dengan cara demikian menyokong ibu dan ayahku. Dalam melakukan itu, apakah aku melakukan kewajibanku?”

“Tentu saja, Brahmana, dalam melakukan demikian engkau melakukan kewajibanmu. Seseorang yang mencari nafkah dengan benar [182] dan dengan cara demikian menyokong ibu dan ayahnya menghasilkan banyak jasa.

“Ketika seseorang dengan benar menyokong orang tuanya, Karena pelayanan ini terhadap mereka Para bijaksana memujinya di sini di dunia ini Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.” <392>

Ketika hal ini diucapkan, brahmana yang menyokong ibunya itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Di Sāvatthī. Seorang brahmana peminta-minta mendekati Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, aku adalah seorang peminta-minta dan Engkau adalah seorang peminta-minta. Apakah perbedaan antara kita dalam hal ini?”52

[Sang Bhagavā:]

“Seseorang disebut peminta-minta bukanlah, Karena ia meminta dana makanan dari orang lain. Jika seseorang menjalankan praktik rumah tangga, Ia masih belum menjadi seorang bhikkhu.53

“Tetapi seseorang yang menjalani hidup suci, Setelah mengusir kebaikan dan kejahatan, <393> Yang mengembara di dunia ini dengan pemahaman: Ia sesungguhnya disebut seorang bhikkhu.”

Ketika hal ini diucapkan, Brahmana peminta-minta itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

Di Sāvatthī. Pada saat itu seorang brahmana bernama Saṅgārava sedang menetap di Sāvatthī. Ia adalah seorang praktisi pemurnian-air, seorang yang meyakini pemurnian oleh air, yang berlatih dengan cara merendam tubuhnya dalam air pada petang hari dan fajar.

Kemudian, pagi hari itu, Yang Mulia Ānanda merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Setelah berjalan untuk menerima dana makanan di Sāvatthī, ketika ia telah kembali dari menerima dana makanan, setelah makan ia mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, [183] dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, seorang brahmana bernama Saṅgārava sedang menetap di Sāvatthī. Ia adalah seorang praktisi pemurnian-air … berlatih dengan cara merendam tubuhnya di air pada petang hari dan fajar. Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mendatangi rumah Brahmana Saṅgārava <394> demi belas kasih kepadanya.” Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian, pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah, mendatangi rumah Brahmana Saṅgārava, di mana ia duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian Brahmana Saṅgārava mendekati Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau, setelah itu ia duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, Brahmana, bahwa engkau adalah seorang praktisi pemurnian-air, seorang yang meyakini pemurnian oleh air, yang berlatih dengan cara merendam tubuhnya dalam air pada petang hari dan fajar?”

“Benar, Guru Gotama.”

“Dengan mempertimbangkan manfaat apakah engkau melakukan hal ini, Brahmana?”

“Di sini, Guru Gotama, kejahatan apa pun yang telah kulakukan selama hari ini aku mencucinya dengan mandi di petang hari. Kejahatan apa pun yang telah kulakukan pada malam hari, aku mencucinya saat fajar.” <395>

[Sang Bhagavā:]

“Dhamma, Brahmana, adalah sebuah danau dengan kanal penyeberangan moralitas - Jernih, dipuji oleh orang-orang baik kepada orang-orang baik – Di mana para guru-pengetahuan mandi, Dan, dengan tubuh kering, menyeberang ke pantai seberang.”54

Ketika hal ini diucapkan, Brahmana Saṅgārava berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” [184]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Sakya di mana terdapat sebuah Kota Sakya bernama Khomadussa.55 Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah, memasuki Khomadussa untuk menerima dana makanan.

Pada saat itu para brahmana perumah tangga Khomadussa telah berkumpul dalam dewan untuk suatu urusan ketika turun hujan gerimis. <396> Kemudian Sang Bhagavā mendekati dewan itu. Dari jauh para brahmana perumah tangga Khomadussa melihat Sang Bhagavā datang dan berkata: “Siapakah para petapa gundul ini? Apakah mereka tidak mengetahui aturan komunitas?”56

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para brahmana perumah tangga Khomadussa dalam syair:

“Tidak ada dewan di mana orang baik tidak hadir; Mereka yang tidak membicarakan Dhamma bukanlah orang baik. Tetapi setelah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, Mereka yang membicarakan Dhamma adalah orang baik.”

Ketika hal ini dikatakan, para brahmana perumah tangga Khomadussa berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai cara oleh Guru Gotama, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap bagi mereka yang memiliki mata agar dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Sudilah Guru Gotama mengingat kami sebagai para umat awam yang telah menyatakan berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.” <397>


Catatan Kaki
  1. Kisah yang diceritakan di sini juga terdapat dalam Dhp-a IV,161-63; baca BL 3:288-89. Bagian pembukaannya mirip dengan yang terdapat pada MN No.100 (II 209,21 foll.), mengenai seorang brahmana perempuan bernama sama, di sana tertulis Dhānanñjāni.

    Spk: Suku Dhanañjāni memiliki reputasi sebagai suku brahmana tertinggi. Mereka percaya bahwa sementara para brahmana lain terlahir dari mulut Brahmā, mereka terlahir dari ubun-ubun Brahmā. Perempuan ini adalah seorang siswa mulia, seorang Pemasuk-Arus, namun suaminya dengan tegas menolak pengajaran Sang Buddha dan menutup telinganya ketika istrinya memuji Tiga Permata. ↩︎

  2. Spk: Brahmana itu telah mengundang lima ratus teman brahmana dalam suatu acara pesta makan. Sehari sebelumnya ia memohon agar istrinya tidak mempermalukannya dengan memuji Sang Buddha di depan teman-temannya. Ketika ia tersandung tumpukan kayu bakar sewaktu menghidangkan makanan kepada para brahmana, ia berlutut dan memberi hormat pada Sang Buddha. Terkejut dengan hal ini, para brahmana itu memarahi suaminya dan pergi tanpa menyelesaikan makanan mereka. ↩︎

  3. Vasalī, di sini diterjemahkan, “perempuan celaka,” adalah istilah penghinaan kasar, biasanya digunakan oleh para brahmana untuk menyebut orang dari kasta rendah. ↩︎

  4. Syair ini telah muncul pada 1:71 dan 2:3, dengan narasi yang berbeda. Sekali lagi mengilustrasikan bagaimana “gumpalan mengambang” dari syair-syair ajaran dapat dengan bebas dijadikan sumber untuk menyesuaikan dengan tuntutan pengajaran yang berbeda.

    Spk: ia memformulasikan pertanyaannya dengan maksud sebagai berikut: “Jika Beliau mengatakan, ‘Aku menyetujui pembunuhan tertentu,’ maka aku akan menyebutNya pembunuh dan menantang pengakuanNya sebagai seorang petapa; tetapi jika Ia tidak menyetujui pembunuhan apa pun, aku akan mengatakan, ‘Maka Engkau tidak berkeinginan untuk membunuh nafsu, dan sebagainya, jadi mengapa Engkau mengembara sebagai seorang petapa?’ Dengan demikian Petapa Gotama akan terjebak di ujung tanduk dilema ini, tidak dapat menelan atau memuntahkannya.” Ia menyapa Sang Buddha dengan ramah untuk menyembunyikan kemarahannya. ↩︎

  5. Baca n.376↩︎

  6. Saya memberikan julukan baik dalam Pāli maupun Skt. Spk, yang mengidentifikasikannya sebagai adik dari brahmana Bhāradvāja pertama, mengatakan bahwa julukan itu ditambahkan oleh para redaktur Kanon karena ia datang dan menghina (akkosanto) Sang Tathāgata dalam lima ratus syair. ↩︎

  7. Spk: Ia telah mendengar bahwa para petapa (isi) menjatuhkan kutukan ketika mereka marah, jadi ketika Sang Buddha berkata, “Itu masih tetap milikmu, brahmana!” ia menjadi takut, berpikir, “Petapa Gotama, sepertinya, menjatuhkan kutukan kepadaku.” Oleh karena itu ia berkata demikian. ↩︎

  8. Saya menerjemahkan tādi sebagai “Yang Stabil” sesuai dengan kemasan dalam komentar, tādilakkhaṇaṃ pattassa, yang menyinggung penjelasan tādi pada Nidd I 114-16: “Arahant adalah tādi karena Beliau ‘stabil’ (tādi) dalam hal untung dan rugi, dan sebagainya; Beliau adalah tādi karena Beliau telah melepaskan segala kekotoran; Beliau adalah tādi karena Beliau telah menyeberangi empat banjir, dan seterusnya, Beliau adalah tādi karena pikiranNya telah terbebas dari segala kekotoran; dan Beliau adalah tādi sebagai penggambaran diriNya dalam hal kualitas-kualitasNya” (ringkasan). Definisi serupa tetapi sedikit berbeda sehubungan dengan Sang Buddha muncul dalam Nidd I 459-61. ↩︎

  9. Be dan Ee1 & 2 membaca pāda a: ubhinnaṃ tikichantānaṃ, yang mana Spk (Be) memasukkan dalam lema dan mengemasnya abhinnaṃ tikicchantaṃ, menambahkan: “Atau yang terakhir itu sendiri adalah tulisannya.” Dalam Se dan Spk (Se) tulisan itu terbalik. Karena maknanya menuntut suatu bentuk tunggal akusatif, tulisan ubhinnaṃ tikicchantaṃ taṃ, ditemukan pada Th 444a, tidak merusak tata bahasa maupun irama. Ee2 mengadopsi persis tulisan ini pada syair yang sama dalam v.882. di bawah, tetapi anehnya berbalik menjadi ubhinnaṃ tikichantānaṃ, dalam syair yang sama ke tiga, v.891↩︎

  10. Ia adalah yang paling muda dari Bhāradvāja bersaudara. ↩︎

  11. Spk: “Bagi seseorang yang memahami keluhuran dari ketabahan, kemenangan ini – kesabaran ketabahan – adalah miliknya sendiri (yā titikkhā vijānato adhivāsanāya guṇaṃ vijānantassa titikkhā adhivāsanā, ayam tassa vijānato va jayo).” Perhatikan bahwa jayaṃ yang netral di sini bersifat nominatif. ↩︎

  12. Spk: Ia adalah saudara Bhāradvāja yang lainnya. Nama Bilaṇgika diberikan kepadanya oleh para redaktur karena ia menjadi kaya dari hasil menjual bubur yang enak (kañjika, sinonim dari bilaṇga). ↩︎

  13. Spk: Ia begitu marah karena ketiga saudaranya telah ditahbiskan menjadi bhikkhu sehingga ia tidak bisa berkata-kata. ↩︎

  14. Spk mengatakan bahwa nama Ahiṃsaka mungkin diberikan kepadanya oleh para redaktur karena ia “mengajukan pertanyaan” (yaitu menegaskan) mengenai ketidak-berbahayaan; atau, mungkin juga, Ahiṃsaka adalah nama aslinya. Dari pernyataan pembuka dan jawaban Sang Buddha, sepertinya alternatif ke dua lebih mungkin. ↩︎

  15. Spk-pṭ menjelaskan sīla yang dirujuk dalam pāda b sebagai pañcavidhaniyama, perumpamaan yang jelas atas bagian ke dua dari sistem Yoga Patañjali.

    Spk: Dengan pengetahuan (vijja) yang ia maksudkan adalah Tiga Veda, dengan perilaku (caraṇa), perilaku dari suku seseorang (gottacaraṇa; Spk-pṭ: suku itu sendiri, disebut perilaku).

    Karena vijjācaraṇasampanna adalah satu dari sembilan gelar utama Sang Buddha dan juga digunakan untuk menggambarkan Arahant (baca v.596), bait ke dua, jika dibaca terpisah dari penjelasan komentar, lebih mengungkapkan Buddhistis daripada sudut pandang Brahmanis. Baca juga argumen Sang Buddha terhadap pemuda brahmana Ambaṭṭha dalam DN I 99,19-100,16. ↩︎

  16. Seorang brahmana dengan nama ini ditemukan dalam Vasala Sutta (Sn I, 7; p.21), tetapi ia sepertinya orang yang lain. Menurut Spk, brahmana ini mendapat julukan “Aggika” karena ia memelihara api suci. ↩︎

  17. Spk: Ia membicarakan seseorang yang memiliki “tiga pengetahuan” (tīhi vijjāhi) sehubungan dengan Tiga Veda. Dengan “kelahiran baik” (jatimā) yang ia maksudkan adalah kelahiran murni dalam tujuh generasi. ↩︎

  18. Jawaban Sang Buddha merujuk pada tevijjā dari sistem ajaranNya sendiri: pāda a, pada pengetahuan mengingat kehidupan masa lampau; pāda b, pada mata dewa, yaitu, pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk; dan pāda c, pada pengetahuan penghancuran noda-noda. ↩︎

  19. Spk menuliskan gagasan di balik vv.636-37 sebagai berikut: “Walaupun Aku berdiri dalam waktu yang lama menunggu dana makanan, engkau tidak akan memberikan bahkan sesendok pun; tetapi sekarang, setelah Aku mengungkapkan kualitas-kualitas Buddha kepadamu seperti menebarkan biji wijen di atas tatakan, (engkau ingin memberi). Makanan ini diperoleh, dengan cara melantunkan nyanyian; oleh karena itu, karena telah ‘dilantunkan dengan syair’ (gathābhigīta) maka tidaklah layak dimakan olehKu. Karena prinsip demikian ada (dhamme sati), demi Dhamma, dibangun di atas Dhamma, para Buddha memelihara hidupNya. Ini adalah aturan perilaku para Buddha; ini adalah penghidupan para Buddha (esā vutti ayaṃ ājivo). Makanan demikian harus dibuang dan hanya apa yang diperoleh dengan benar yang boleh dimakan.”

    Praktik Sang Buddha didiskusikan pada Mil 228-32. CPD (s.v. abhigīta) menyarankan alasan Sang Buddha menolak makanan demikian karena telah “dibacakan mantra” – oleh brahmana sewaktu melantunkan nyanyian pujian pengorbanan – tetapi bagi saya adalah meragukan bahwa Sang Buddha menolak karena alasan tersebut. Lebih jauh lagi, menurut MW, gāthā tidak digunakan sehubungan dengan syair-syair Veda, dan dengan demikian di sini kata-kata tersebut kemungkinan besar merujuk pada syair-syair Sang Buddha sendiri.

    Spk tidak mengomentari tentang kevalinaṃ, “yang sempurna,” dalam pāda a, tetapi Pj II 153,9-10 (atas Sn 82) mengatakan: Kevalinan ti sabbaguṇaparipuññaṃ sabbayogavisaṃyuttaṃ vā; “seorang yang sempurna adalah seorang yang lengkap dalam segala kualitas baik atau seorang yang terbebas dari segala belenggu.” Spk II 276,32 – 277,1 (atas SN III 59,34) menjelaskan: kevalino ti sakalino katasabbakiccā; “yang sempurna adalah keseluruhan, mereka telah menyelesaikan semua tugas mereka.” Untuk pilihan lebih lanjut dari kalimat-kalimat yang relevan, baca GD, p.161, n. atas 82. untuk refleksi atas maksud dari istilah tersebut, baca Ñāṇananda, SN-Anth 2:100-1.

    Spk menjelaskan kukkuccavūpasantaṃ sebagai berikut: hatthakukkuccādīnaṃ vasena vūpasantakukkuccaṃ; “seorang yang penyesalannya telah ditenangkan dengan penenangan perilaku gelisah dengan tangan, dan sebagainya.” Di sini kukkucca dipahami dalam makna literal “aktivitas buruk” atau “perilaku gelisah” daripada dalam makna luas gelisah dan khawatir, satu dari lima rintangan. ↩︎

  20. Spk: Ini adalah pikirannya: “Bagian nasi-susu yang diletakkan dalam api telah dimakan oleh Mahābrahmā. Jika sisanya diberikan kepada seorang brahmana, seorang yang lahir dari mulut Brahmā, maka ayah dan putraku akan berbahagia dan aku akan pergi menuju alam brahmā.” Baca Deussen, Sixty Upaniṣads of the Veda. 1:148: “Sisa (ucchiṣṭaṃ) dari persembahan itu, yaitu apa yang tertinggal dalam sendok, dalam panci, atau kendi, hanya boleh dimakan oleh seorang brāhmaṇa, yang bukan di rumahnya sendiri; ksatria atau vaisya tidak boleh memakannya.” Ini mengungkapkan mengapa brahmana itu, persis di bawah ini, begitu mementingkan kasta Sang Buddha. ↩︎

  21. Api sesungguhnya dihasilkan dari kayu apa pun (kaṭṭhā have jāyati jātavedo). Spk: Intinya adalah: “Bukan hanya api yang dihasilkan dari kayu berjenis murni, seperti kayu pohon sal, yang dapat memenuhi fungsi api, dan tidak bagi api yang dihasilkan dari kayu palung makanan anjing, dan sebagainya. Namun, dari pembakarannya, api yang dihasilkan dari kayu apa pun dapat melaksanakan fungsi api. Maka Anda tidak seharusnya berpikir bahwa hanya seorang yang terlahir dalam keluarga brahmana yang layak menerima persembahan, tetapi tidak bagi seorang yang terlahir dari keluarga caṇḍala, dan sebagainya. Apakah dari keluarga rendah atau keluarga mulia, seorang Arahant adalah berdarah murni – teguh, terkendali oleh rasa malu.” Sehubungan dengan hal ini, baca argumen dalam MN II 129-30, 151-53. ↩︎

  22. Spk menjelaskan seorang yang telah mencapai pengetahuan akhir (vedāntagū) dalam pāda b sebagai berikut: “seorang yang telah pergi hingga ke akhir dari empat jalan pengetahuan, atau seorang yang telah pergi hingga ke akhir kekotoran melalui empat jalan pengetahuan” (catunnaṃ maggavedānaṃ antaṃ, catūhi vā maggavedehi kilesānaṃ antaṃ gato). Jelas, Sang Buddha di sini dengan sengaja menggunakan terminologi brahmanis untuk menyesuaikan Dhamma terhadap watak brahmana tersebut. ↩︎

  23. Spk: mengapa Beliau mengatakan hal ini? Dikatakan bahwa ketika brahmana itu mempersembahkan makanan kepada Sang Buddha, para deva dari empat penjuru, dan lain-lain, menambahkan bahan nutrisi (ojā) yang dihasilkan melalui kekuatan surgawi mereka. Dengan demikian menjadi sangat halus. Terlalu halus bagi sistem pencernaan kasar dari manusia biasa untuk mencerna dengan baik; namun, karena makanan tersebut berbentuk materi kasar, juga terlalu kasar bagi para deva untuk mencernanya. Bahkan para Arahant berpandangan terang-tanpa jhāna tidak dapat mencernanya. Hanya para Arahant yang memiliki delapan pencapaian meditatif yang dapat mencernanya dengan kekuatan pencapaian mereka, sedangkan Sang Buddha dapat mencernanya dengan kekuatan pencernaan alamiNya. ↩︎

  24. Spk: Ini tidak muncul melalui kekuatan makanan itu sendiri tetapi melalui kekuatan Sang Buddha. Sang Buddha melakukan tekad demikian sehingga brahmana itu berkeinginan untuk mendengarkan Dhamma. ↩︎

  25. Khāribhāra, “beban bahu,” adalah alat untuk membawa barang-barang yang umum digunakan di Asia Selatan, terdiri dari dua wadah yang masing-masing diikatkan pada ujung galah yang dipikul di bahu.

    Spk: “Keangkuhan, O brahmana, adalah beban bahumu: Ketika beban bahu dibawa, dalam setiap langkah berat beban mengakibatkan wadah bersentuhan dengan tanah; demikian pula, walaupun keangkuhan menopang seseorang sehubungan dengan kelahiran, suku, keluarga, dan sebagainya, keangkuhan menyebabkan kecemburuan muncul dan karenanya menarik seseorang ke bawah ke empat alam sengsara. Kemarahan adalah asap: karena api pengetahuan tidak bersinar jika dikotori oleh asap kemarahan. Ucapan salah adalah abu: karena api pengetahuan tidak membakar jika tertutupi oleh ucapan salah. Lidah adalah sendoknya: lidahKu [Sang Buddha] adalah sendok yang mempersembahkan pengorbanan Dhamma. Hati adalah altar: hati makhluk-makhluk adalah altar, perapian, bagi persembahan pengorbanan Dhamma olehKu. Diri (atta) adalah pikiran.” ↩︎

  26. Spk: “Bagaikan, setelah engkau menyembah api, engkau masuk ke sungai Sundarikā dan mencuci abu, jelaga, dan keringat dari tubuhmu, demikian pula bagiKu Dhamma Jalan Delapan adalah danau di mana Aku memandikan ribuan makhluk. Danau itu jernih (anāvila) karena, tidak seperti sungaimu yang menjadi keruh setelah empat atau lima kali mandi dalam waktu yang sama, danau Dhamma tetap jernih dan bening bahkan setelah ratusan ribu makhluk mandi di dalamnya.” Mengenai “mandi tanpa air,” baca v.198ef dan n.119↩︎

  27. Spk menyarankan beberapa skema alternatif yang dengannya ketiga istilah dalam pāda a – sacca, dhamma, dan saṃyama – dapat dihubungkan dengan Jalan Delapan: misalnya, sacca = ucapan benar; saṃyama = perbuatan benar dan penghidupan benar; dhamma = kelima faktor lainnya. Spk menjelaskan brahmacariya seolah-olah sama dengan keseluruhan Jalan Delapan (magga brahmacariya), tetapi sepertinya lebih mungkin bahwa di sini istilah itu awalnya dimaksudkan dalam makna khusus selibat, harus dipahami sebagai yang ke empat bersama dengan tiga sebelumnya dan bukan sebagai istilah yang memayungi faktor-faktornya.

    Dalam pāda b, pencapaian Brahmā (brahmapatti): pencapaian yang terbaik (seṭṭhapatti). Berdasarkan yang tengah (majjhesitā): menghindari ekstrim eternalis dan nihilis. [Spk-pṭ: Yaitu, berdasarkan pada pengembangan jalan tengah dengan menghindari segala ekstrim seperti kelambanan dan kegelisahan, yang mana pasangan eternalis dan nihilis hanyalah salah satu contoh.]

    Dalam pāda c, yang lurus (ujjubhūtesu): para Arahant. Spk menjelaskan bahwa sat di sini mewakili tvaṃ, -t- hanyalah sekedar konsonan penyambung (padasandhi). Walaupun tidak umum digunakan untuk menyampaikan makna orang pertama, kata ganti orang ke tiga kadang-kadang digunakan dengan makna orang ke dua. ↩︎

  28. Dalam pāda c, ajjasaṭṭhiṃ na dissanti dikemas oleh Spk, “mereka tidak terlihat selama enam hari sejak hari ini,” menunjukkan bahwa saṭṭhi di sini adalah bentuk alternatif dari chaṭṭha, ke enam. Spk-pṭ: Ajjasaṭṭhiṃ adalah bentuk akusatif yang digunakan untuk menunjukkan alur waktu yang berkesinambungan (accantasaṃyoge c’ etaṃ upayogavacanaṃ). ↩︎

  29. Spk: selama brahmana itu kaya raya, walaupun putrinya janda, mertuanya akan memperbolehkannya tinggal di rumah suaminya. Tetapi ketika brahmana itu jatuh miskin, maka mertua putrinya itu akan memulangkannya ke rumah ayahnya. Kemudian, ketika ia hendak makan, anak-anak mereka akan meletakkan tangan mereka di piringnya dan ia tidak mendapatkan tempat untuk tangannya sendiri. ↩︎

  30. Spk menambahkan kisah yang menceritakan bagaimana Sang Buddha membawa si brahmana (setelah penahbisannya menjadi samaṇera) menghadap Raja Pasenadi. Raja melunasi hutangnya, demi kesejahteraan putri-putrinya, dan mengangkat istrinya sebagai neneknya sendiri, dengan demikian, melenyapkan rintangan untuk penahbisan lebih tinggi sebagai seorang bhikkhu. ↩︎

  31. Sutta ini juga ditemukan pada Sn I, 4 (pp. 12-16), tetapi bagian prosa menambahkan keanehan kue mendesis yang digambarkan dalam 7:9. Sutta ini juga memiliki bagian permohonan si brahmana untuk menjadi bhikkhu dan mencapai Kearahattaan. Mungkin merupakan topik umum bagi khotbah ini, karena komentar atas sutta ini panjang dan lengkap. Sutta ini juga termasuk dalam Maha Pirit Pota “Kitab Perlindungan”, koleksi standar sutta-sutta perlindungan di Sri Lanka. ↩︎

  32. Spk: Ia dipanggil demikian karena ia mencari nafkah dengan membajak. Peristiwa ini terjadi bukan pada hari kerja biasa tetapi suatu festival khusus yang menandai permulaan penanaman (paṃsuvappa). Spk memberikan penjelasan terperinci sehubungan dengan persiapan dan kegiatan festival. ↩︎

  33. Spk: Saat pembagian makanan (parivesanā) lima ratus pembajak membawa mangkuk perak mereka, dan lain-lain, dan duduk sementara makanan dibagikan kepada mereka. Kemudian Sang Buddha tiba dan berdiri di tempat tinggi dalam jangkauan si brahmana, cukup dekat sehingga mereka dapat berbicara. ↩︎

  34. Spk: Mengapa Sang Bhagavā memulai dengan keyakinan? Karena brahmana ini memiliki reputasi sebagai orang cerdas (paññavā) tetapi kurang dalam hal keyakinan. Dengan demikian khotbah mengenai keyakinan akan membantunya. Mengapa keyakinan disebut benih (saddhā bījaṃ)? Karena merupakan landasan bagi semua kualitas baik. Ketika sebutir benih di tanam di tanah, maka ia akan kokoh berakar dan memunculkan tunas. Melalui akar, ia menyerap nutrisi dari tanah dan air, dan tumbuh melalui batang untuk menghasilkan padi. Setelah berkembang dan masak, akhirnya menghasilkan buah yang berisi banyak butiran beras. Demikian pula keyakinan menjadi kokoh dengan akar moralitas dan memunculkan tunas ketenangan dan pandangan terang. Dengan menyerap nutrisi ketenangan dan pandangan terang melalui akar moralitas, ia tumbuh melalui batang jalan mulia untuk menghasilkan buah mulia. Akhirnya, setelah berkembang melalui enam tingkat pemurnian, dan menghasilkan getah pemurnian oleh pengetahuan dan penglihatan, memuncak pada buah Kearahattaan yang membawa banyak pengetahuan pembedaan dan pengetahuan langsung (anekapaṭisambhidābhiññā). Oleh karena itu dikatakan, “Keyakinan adalah benih.”

    Mengenai latihan keras (tapa), baca n.119. Spk: Di sini yang dimaksudkan adalah pengendalian indria. Kebijaksanaan (paññā) adalah pandangan terang bersama dengan kebijaksanaan-jalan. Bagaikan brahmana yang memiliki gandar dan bajak, demikian pula Sang Bhagavā memiliki dua: pandangan terang dan kebijaksanaan(-jalan).

    Spk menyajikan beberapa halaman untuk analogi antara faktor-faktor jalan dan kegiatan membajak. Saya mengadopsi terjemahan istilah membajak dari GD, p.9. ↩︎

  35. Spk: Dalam beberapa tempat kelembutan (soracca) menunjukkan perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak melanggar, tetapi ini bukanlah yang dimaksudkan di sini. Di sini yang dimaksudkan adalah buah Kearahattaan, karena itulah yang dimaksud dengan soracca (kata benda abstrak dari su + rata) karena menemukan kegembiraan dalam Nibbāna yang baik (sundare nibbāne ratattā). Apa yang Beliau katakan adalah: “Dengan mencapai Kearahattaan di bawah pohon Bodhi, Aku terbebaskan, dan tidak akan pernah lagi berada di bawah gandar.” ↩︎

  36. Spk menjelaskan yogakkhemā sebagai Nibbāna “karena aman dari belenggu” (yogehi khemattā). Empat belenggu adalah identik dengan empat banjir, yang mengenai ini baca n.1. Untuk diskusi atas sejarah literal dari yogakkhema, baca EV I, n. atas 32.

    Ke mana, setelah pergi, seseorang tidak bersedih (yattha gantvā na socati). Spk: Pergi menuju yang tanpa kondisi yang dikenal sebagai Nibbāna, yang adalah pencabutan semua anak panah kesedihan. ↩︎

  37. Spk menjelaskan bahwa frasa “ke dua kali” dan “ke tiga kali” berarti hari berikutnya dan hari setelahnya. Walaupun teks itu sendiri menyampaikan kesan bahwa Sang Buddha pergi ke rumah yang sama untuk menerima dana makanan sebanyak tiga kali pada pagi yang sama, ini berlawanan dengan etika monastik yang benar, jadi Spk dapat dipercaya dalam hal ini. ↩︎

  38. Pakaṭṭhaka < Skt prakarṣaka, “pengusik, pengganggu,” dari prakṛṣ, mengacau, mengganggu (SED). Spk mengemas dengan rasagiddha, “serakah pada rasa-kecapan.” Spk-pṭ menjelaskan: “Ia ditarik maju oleh keinginan akan rasa kecapan” (rasataṇhāya pakaṭṭho). ↩︎

  39. Yaitu, ia diserang oleh penyakit yang muncul dari angin, satu dari tiga elemen tubuh menurut sistem pengobatan ayurveda India; mengenai angin sebagai salah satu dari delapan penyebab penyakit, baca 36:21.

    Spk: Sang Buddha rentan terhadap penyakit-penyakit ringan yang berhubungan dengan perut sebagai akibat dari enam tahun praktik pertapaan keras sebelum penerangan sempurna. ↩︎

  40. Untuk analisa lengkap dari dua pertanyaan ini, baca 3:24 dan nn.253, 254. Saya menganggap kathaṃ di sini, dan evaṃ dalam v.678d, hanya sekedar pelengkap irama. ↩︎

  41. Versi yang jauh lebih lengkap dari pertemuan yang sama ini terdapat pada Dhp-a IV 7-15, yang mana membentuk kisah latar belakang atas Dhp 324; baca BL 3:201-5. Kisah tersebut digabungkan ke dalam Spk. ↩︎

  42. Th-a II 179-80 menceritakan kisah yang persis sama mengenai Bhikkhu Jenta (Th 423-28), putra brahmana kerajaan Raja Kosala. Pada masa mudanya ia kaku oleh keangkuhan (mānatthaddha, digunakan sebagai keterangan, bukan sebuah nama), namun direndahkan hatinya oleh Sang Buddha dengan syair yang persis sama dengan yang disajikan di sini. Ia menjadi seorang Pemasuk-Arus setelah mendengarkan syair Sang Buddha, meninggalkan keduniawian sebagai seorang bhikkhu, dan mencapai Kearahattaan. ↩︎

  43. Spk: Ia berpikir: “Ketika seorang brahmana berkelahiran tinggi sepertiku datang, Petapa ini tidak memperlihatkan keramahan khusus; berarti Ia tidak tahu apa-apa.” ↩︎

  44. Dalam pāda a, sepertinya lebih baik mengikuti Se dan Ee2 membaca mānabrūhaṇā, bukannya mānaṃ brāhmaṇa seperti dalam Be dan Ee1. Versi Th-a tertulis brāhmaṇa dalam tiga edisi yang saya miliki. ↩︎

  45. Evarūpam paramanipaccākāraṃ karoti. Ungkapan ini muncul pada MN II 120,6, merujuk pada jenis perbuatan yang sama (dengan yang ditunjukkan oleh Raja Pasenadi terhadap Sang Buddha); baca juga 48:58, yang membahas alasan seorang Arahant menunjukkan “penghormatan tertinggi” terhadap Sang Buddha dan AjaranNya. ↩︎

  46. Spk: Ia disebut Navakammika (“Pekerjaan Baru”) karena ia mencari nafkah dengan menebang pohon di hutan, mewarnai kayu itu untuk pekerjaan konstruksi, dan menjualnya di kota. ↩︎

  47. Dalam pāda b, ucchinnamūlaṃ sering muncul dalam formula yang menggambarkan kebebasan Arahant dari kekotoran (misalnya, 12:35 (II 62,20 – 63,11); 22:3 (III 10,27,33); 35:104 (IV 85,9,14); 54:12 (V 327,26 – 328,6)); demikianlah kiasan yang sudah jelas ini ditegaskan lagi oleh Spk: “Hutan kekotoran telah ditebang hingga ke akarnya.” Dalam pāda b, saya mengikuti SS, visukkhaṃ, “mengering” yang juga diadopsi oleh Ee2, daripada Be dan Se visūkaṃ dan Ee1 visukaṃ.

    Spk mengemas nibbanatho dalam pāda c sebagai nikkilesavano. Ini melibatkan permainan kata yang sulit diterjemahkan. Secara literal, vanatha berarti hutan, tetapi kata ini sering digunakan untuk menunjukkan, secara metafora, “hutan kekotoran,” khususnya ketagihan. Di sini saya menerjemahkan nibbanatha sebagai “tanpa hutan” untuk mempertahankan permainan kata. Akan tetapi, pada v.712, di mana makna literal hanya sedikit mendukung keseluruhan syair, saya menerjemahkan nibbanatha dengan makna metaforanya. Permainan kata dalam analogi atas vana dan vanatha terdapat pada 14:16 (baca juga II, n. 245), dan juga pada Dhp 283-84 dan 344 (yang, secara kebetulan, menjawab pertanyaan pengamatan Norman pada EV I, n. atas 338, bahwa Kanon sepertinya tidak memasukkan contoh apa pun atas permainan kata pada makna ganda dari vanatha untuk menyesuaikan dengan permainan kata vana). Sang Buddha adalah “tanpa anak panah” (visallo) karena ia telah mencabut anak panah keinginan (baca v.214c). ↩︎

  48. Dalam baris ke tiga saya menambahkan “tubuh” sebagai penghargaan atas Spk, yang menjelaskan alat-alat yang memenuhi syarat sebagai tubuh (kāyavisesanāni). Spk mengemas sucārurūpaṃ dengan atisundaraṃ. ↩︎

  49. Spk: Dewa penguasa dunia (lokādhipati) adalah Mahābrahmā, tiga surga tertinggi (tidivam anuttaraṃ) disebutkan sehubungan dengan alam brahmā. Saya menerjemahkan pāda cd lebih sebagai penegasan berdasarkan pada variasi tulisan tasmā yang terdapat dalam beberapa SS dan diadopsi oleh Ee daripada sebagai pertanyaan yang diisyaratkan oleh kasmā, tulisan ini terdapat dalam Be, Se, dan Ee1. ↩︎

  50. Spk menjelaskan keinginan (kaṅkhā), kesenangan (abhinandanā), dan kerinduan (pajappitā) sebagai modus-modus ketagihan (taṇhā). Akar dari tidak-mengetahui (aññāṇamūla) adalah ketidaktahuan (avijjā). Syair yang sama dengan syair ini terdapat pada Nett 24 dan Pet 17, tetapi dengan pāda a tertulis āsā pihā ca abhinandanā ca. ↩︎

  51. Dalam pāda a, saya bersama dengan Be, Se da Ee2 membaca asito, bukannya apiho “tanpa keiri-hatian” dalam Ee1. Spk menganggap “penglihatanKu yang murni atas segala sesuatu” sebagai kiasan atas pengetahuan Kemahatahuan. Dalam pāda c, Spk mengemas sivaṃ dengan seṭṭhaṃ, dan sambodhim anuttaraṃ dengan arahatta. ↩︎

  52. “Peminta-minta” adalah terjemahan dari kata bhikkhaka, yang tentu saja berhubungan dengan bhikkhu, bhikkhu Buddhis yang telah ditahbiskan sepenuhnya. ↩︎

  53. Ee1 bikkhavo dalam pāda b harus diperbaiki menjadi bhikkhate. Spk menjelaskan vissaṃ dhammaṃ dalam pāda berikutnya sebagai duggandhaṃ akusaladhammaṃ, “bau busuk kondisi tidak bermanfaat” mengasumsikan bahwa vissa < Skt visra, daging mentah. Spk-pṭ menambahkan: “Menghasilkan bau busuk, karena itu disebut vissa, yaitu, bau menjijikkan” (virūpaṃ gandhaṃ pasavatā ti visso duggandho). Dhp-a III 393,2 (mengomentari syair pada Dhp 266) mengatakan: “Vissa adalah ajaran yang tidak adil (visamaṃ dhammaṃ); atau dengan kata lain, bau busuk dari perbuatan jasmani, dan sebagainya (vissagandhaṃ vā kāyakammādikaṃ dhammaṃ), yang setelah menjalaninya seseorang tidak lagi disebut seorang bhikkhu.” Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh Brough, istilah asli ini dalam bahasa Pāli mungkin diturunkan dari Veda veśman, domestic (Gandhāri Dharmapada, pp.191-92, n. atas 67). Vesma dalam Pāli pada Ja V 84,17. Uv 32:18, syair yang sama dalam Skt, menuliskan veśmāṃ dharmaṃ.

    Dalam syair berikutnya, dalam pāda b, saya bersama dengan Se dan SS membaca brahmacariyavā, bukannya brahmacariyaṃ seperti dalam edisi lainnya. Yang terakhir sepertinya tidak sesuai secara sintaksis, karena bukan merupakan subjek atau objek dari kata kerja. Karena di sini Sang Buddha mendefinisikan seorang bhikkhu sebagai seorang yang telah mengusir kebaikan dan kejahatan (puññañ ca pāpañ ca bāhitvā), ini berarti Beliau menyamakan seorang bhikkhu sejati hanya dengan Arahant. ↩︎

  54. Baca n.453↩︎

  55. Nama Khomadussa berarti “kain linen”. Spk mengatakan bahwa kota ini diberi nama demikian karena terdapat banyak linen di sana. Dari apa yang tertulis selanjutnya sepertinya kota ini adalah wilayah milik seorang brahmana yang dikuasai oleh khattiya Republik Sakya. Dalam reaksi kemarahan para brahmana atas kedatangan Sang Buddha kita dapat mendeteksi adanya permusuhan yang berakar pada kasta. ↩︎

  56. Terjemahan saya tidak kaku secara literal tetapi dimaksudkan untuk menyampaikan makna kemarahan. Spk: “aturan perkumpulan” (sabhādhammaṃ, secara literal “aturan dewan”) adalah bahwa yang datang belakangan harus masuk melalui pintu samping sehingga tidak mengganggu mereka yang telah duduk dengan nyaman di tempatnya masing-masing. Tetapi Sang Buddha masuk dari depan, maka para brahmana itu berkata dengan marah.

    Sang Buddha menggunakan kata dhamma, dalam makna aturan, dan berbicara sehubungan dengan doktrin sejati. Juga terdapat permainan kata pada sabhā sebagai dewan (atau aula pertemuan) dan santo sebagai orang baik. Menurut Spk, Sang Buddha membuat hujan turun melalui tekad untuk memberikan alasan bagiNya untuk memasuki aula pertemuan. Contoh yang lebih jelas dari hujan yang diciptakan melalui kekuatan batin terdapat pada 41:4↩︎