easter-japanese

Demikianlah yang kudengar.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di bawah Pohon Banyan Penggembala tidak lama setelah mencapai pencerahan sempurna. Kemudian, ketika Sang Bhagavā sedang sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikiranNya: “Dhamma ini yang Kutemukan adalah dalam, sulit dilihat, sulit dimengerti, damai dan luhur, di luar jangkauan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Tetapi generasi ini gembira dalam keterikatan, bersenang-senang dalam keterikatan, bersukacita dalam keterikatan.2 Untuk generasi demikian, kondisi ini adalah sulit dilihat, yaitu, kondisionalitas khusus, kemunculan yang bergantungan. Dan kondisi ini juga sulit dilihat, yaitu, penenangan semua bentukan, <299> pelepasan semua perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.3 Jika Aku harus mengajarkan Dhamma dan jika orang lain tidak dapat memahamiKu, maka itu akan sungguh melelahkan bagiKu, sungguh menyulitkan.”

Selanjutnya syair-syair yang mengejutkan ini yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncul pada Sang Bhagavā:4

“Cukup sudah dengan mengajar Apa yang Kutemukan dengan susah-payah; Dhamma ini tidak mudah dipahami Oleh mereka yang dikuasai oleh nafsu dan kebencian.

“Mereka yang terbakar oleh nafsu, dikaburkan oleh kegelapan, Tidak akan pernah melihat Dhamma yang sangat mendalam ini, Dalam, sulit dilihat, halus, Bergerak melawan arus.” [137]

Sewaktu Sang Bhagavā merenungkan demikian, pikiranNya condong pada hidup dengan nyaman, bukan mengajar Dhamma.5 <300>

Kemudian Brahmā Sahampati, setelah dengan pikirannya sendiri mengetahui perenungan Sang Bhagavā, berpikir: “Aduh, dunia ini sudah tersesat! Aduh, dunia ini segera musnah, karena Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, condong pada hidup dengan nyaman, bukan mengajar Dhamma.”6 Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di depan Sang Bhagavā. Ia merapikan jubahnya di atas salah satu bahunya, berlutut dengan kaki kanannya menyentuh tanah, merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, mohon Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma; mohon Yang Sempurna mengajarkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh jika mereka tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada orang-orang yang memahami Dhamma.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Setelah mengatakan hal ini, ia lebih jauh lagi mengatakan:

“Di masa lalu, muncul di antara orang-orang Magadha Dhamma tidak murni yang ditemukan oleh mereka yang masih ternoda. Bukalah pintu ini yang menuju Tanpa-kematian! Biarkan mereka mendengarnya <301> Dhamma yang ditemukan oleh Yang Tanpa Noda.7

“Bagaikan seseorang yang berdiri di puncak gunung Dapat melihat orang-orang di segala arah di bawahnya, Demikian pula, O Yang Bijaksana, Mata Universal, Naiklah ke istana yang terbuat dari Dhamma, Karena diriMu terbebas dari kesedihan, lihatlah orang-orang Tenggelam dalam kesedihan, tertekan oleh kelahiran dan kerusakan.

“Bangkitlah, O Pahlawan, Pemenang dalam pertempuran! O Pemimpin rombongan, yang bebas dari hutang, mengembaralah di dunia ini. Ajarilah Dhamma, O Bhagavā: Akan ada di antara mereka yang memahami.”8 [138]

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami permohonan Brahmā, dan demi belas kasih kepada makhluk-makhluk mengamati dunia ini dengan mata seorang Buddha.9 Sewaktu Ia melakukan hal itu, Sang Bhagavā melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas baik dan dengan kualitas buruk, mudah diajari dan sulit diajari, <302> dan sedikit yang berdiam dengan melihat kebakaran dan ketakutan dalam dunia lain.10 Bagaikan di dalam sebuah kolam teratai berwarna biru atau merah atau putih, beberapa teratai mungkin bertunas di dalam air, tumbuh di dalam air, dan berkembang di dalam air, tanpa keluar dari air; beberapa teratai mungkin bertunas di dalam air, tumbuh di dalam air, dan berkembang tepat di permukaan air; beberapa teratai mungkin bertunas di dalam air, tumbuh di dalam air, kemudian tumbuh keluar dari air dan berdiri tanpa dikotori oleh air – demikian pula, setelah mengamati dunia ini dengan mata Buddha, Sang Bhagavā melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas baik dan dengan kualitas buruk, mudah diajari dan sulit diajari, dan sedikit yang berdiam dengan melihat kebakaran dan ketakutan dalam dunia lain.

Setelah melihat hal ini, Beliau menjawab Brahmā Sahampati dalam syair: <303>

“Terbukalah bagi mereka pintu menuju Tanpa-kematian: Biarlah mereka yang memiliki telinga memberikan keyakinan. Meramalkan kesulitannya, O Brahmā, Aku tidak mengajarkan Dhamma mulia yang unggul dan mulia di antara manusia.”

Kemudian Brahmā Sahampati, berpikir, “Sang Bhagavā telah memberikan persetujuan [atas permohonanku] sehubungan dengan pengajaran Dhamma,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan lenyap dari sana.11

Demikianlah yang kudengar.12 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di bawah Pohon Banyan Penggembala tidak lama setelah Beliau mencapai pencerahan sempurna. [139] Kemudian, ketika Sang Bhagavā sedang sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikiranNya sebagai berikut: “Seseorang akan berdiam dalam penderitaan jika ia adalah seorang yang tidak memiliki penghargaan dan rasa hormat. Sekarang petapa atau brahmana manakah yang harus Kusembah dan hormati dan berdiam dengan bergantung padanya?”

Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Adalah demi untuk memenuhi kelompok moralitas yang belum terpenuhi maka Aku harus menyembah, menghormat dan berdiam dengan bergantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi, di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, <304> dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmna, para deva dan manusia, Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal moralitas daripada diriKu, yang dapat Kusembah dan hormati dan berdiam dengan bergantung padanya.

“Adalah demi untuk memenuhi kelompok konsentrasi yang belum terpenuhi maka Aku harus menyembah, menghormat dan berdiam dengan bergantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal konsentrasi daripada diriKu …

“Adalah demi untuk memenuhi kelompok kebijaksanaan yang belum terpenuhi maka Aku harus menyembah, menghormat dan berdiam dengan bergantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal kebijaksanaan daripada diriKu …

“Adalah demi untuk memenuhi kelompok pembebasan yang belum terpenuhi maka Aku harus menyembah, menghormat dan berdiam dengan bergantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal pembebasan daripada diriKu …

“Adalah demi untuk memenuhi kelompok pengetahuan dan penglihatan pada pembebasan yang belum terpenuhi maka Aku harus menyembah, menghormat dan berdiam dengan bergantung pada petapa atau brahmana lain. Akan tetapi … Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam hal pengetahuan dan penglihatan pembebasan daripada diriKu yang dapat Kusembah dan hormati dan berdiam dengan bergantung padanya.13 <305>

“Biarlah Aku menyembah, menghormati, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma ini yang dengannya Aku menjadi sadar sepenuhnya.”

Kemudian, setelah mengetahui perenungan Sang Bhagavā melalui pikirannya sendiri, secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di depan Sang Bhagavā. Ia merapikan jubahnya di atas salah satu bahunya, berlutut dengan kaki kanannya menyentuh tanah, merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā, dan berkata kepada Beliau: [140] “Demikianlah, Bhagavā! Memang demikian, Yang Sempurna! Yang Mulia, mereka, para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau – para Bhagavā itu juga menyembah, menghormati dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma itu sendiri. Mereka, para Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan – para Bhagavā itu juga menyembah, menghormati, dan berdiam dengan bergantung pada Dhamma itu sendiri. Biarlah Sang Bhagavā juga, yang adalah Arahant masa kini, Yang Tercerahkan Sempurna, menyembah, menghormati dan berdiam dengan bergantung hanya pada Dhamma itu sendiri.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Setelah mengatakan ini, ia lebih jauh lagi mengucapkan syair berikut: <306>

“Para Buddha di masa lampau, Para Buddha di masa depan, Dan Ia yang menjadi Buddha masa kini, Yang melenyapkan kesedihan banyak orang –

“Semuanya telah berdiam, akan berdiam, dan berdiam, Dengan sangat menghormati Dhamma sejati: Bagi para Buddha Ini adalah hukum alam.

“Oleh karena itu seseorang yang menginginkan kebaikannya sendiri, Menginginkan kemajuan spiritual, Harus sangat menghormati Dhamma sejati, Mengingat Ajaran Para Buddha.”14

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang brahmana perempuan memiliki seorang putra bernama Brahmadeva <307> yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Sang Bhagavā.

Kemudian, dengan berdiam sendirian, menyendiri, tekun, rajin, dan teguh, Yang Mulia Brahmadeva, dengan merealisasikan oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini juga masuk dan berdiam dalam tujuan kehidupan suci yang tanpa bandingnya yang dicari oleh seseorang baik yang dengan benar meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk kondisi makhluk ini.” Dan Yang Mulia Brahmadeva menjadi salah satu di antara para Arahant.15

Kemudian, pagi harinya, Yang Mulia Brahmadeva merapikan jubahnya dan, membawa mangkuk dan jubahnya memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Dengan berjalan tanpa putus menerima dana makanan di Sāvatthī, ia sampai di rumah ibu kandungnya.16 [141] Pada saat itu brahmana perempuan, ibu kandung Yang Mulia Brahmadeva, telah secara rutin memberikan persembahan kepada Brahmā.17 Kemudian Brahmā Sahampati berpikir: “Brahmana perempuan ini, ibu kandung Yang Mulia Brahmadeva, telah secara rutin memberikan persembahan kepada Brahmā. Aku akan mendatanginya dan membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya.”

Kemudian, <308> secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul kembali di rumah ibu kandung Yang Mulia Brahmadeva. Kemudian sambil berdiri di udara, Brahmā Sahampati berkata kepada brahmana perempuan itu dalam syair:

“Alam brahmā, ibu, adalah jauh dari sini Yang kepadanya engkau memberikan persembahan secara rutin. Brahmā tidak memakan makanan seperti itu, ibu: Mengapa berkomat-kamit, tidak mengetahui jalan menuju Brahmā?18

“Brahmadeva ini, ibu, Tanpa perolehan, telah melampaui para deva. Tidak memiliki apa-apa, tidak memberi makan siapa pun, Bhikkhu itu telah memasuki rumahmu untuk menerima dana makanan.19

“Layak menerima pemberian, guru-pengetahuan, terkembang batinnya, <309> Ia layak menerima persembahan dari umat manusia dan para deva. Setelah mengusir semua kejahatan, tanpa noda, Sejuk hatinya, ia datang mencari dana makanan.

“Baginya tidak ada apa pun di belakang atau di depan - Damai, tidak berasap, tidak terganggu, tanpa keinginan; Ia telah meletakkan tongkat pemukul terhadap yang lemah mau pun yang kuat: Biarkan ia memakan persembahanmu, makanan pilihan.20

“Jauh dari keramaian, dengan pikiran tenang, Bagaikan nāga ia mengembara, jinak, tidak kacau. Seorang bhikkhu dengan moralitas murni, terbebaskan dalam pikiran: Biarkan ia memakan persembahanmu, makanan pilihan.21

“Dengan berkeyakinan padanya, bebas dari keraguan, [142] Serahkan persembahanmu kepada seorang yang layak menerimanya. Setelah melihat seorang bijaksana yang telah menyeberangi banjir, O ibu, lakukanlah kebajikan yang dapat membawamu ke kebahagiaan di masa depan.”22 <310>

“Dengan berkeyakinan padanya, bebas dari keraguan, Ia menyerahkan persembahannya kepada seorang yang layak menerimanya. Setelah melihat seorang bijaksana yang telah menyeberangi banjir, Perempuan itu melakukan kebajikan yang dapat membawanya ke kebahagiaan di masa depan.”23

Demikianlah yang kudengar.24 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu pandangan salah spekulatif muncul dalam diri Brahmā Baka: “Ini kekal, ini stabil, ini abadi, ini lengkap, ini tidak dapat musnah. Sesungguhnya, ini adalah di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali; dan tidak ada kebebasan lain yang lebih unggul dari ini.”25

Kemudian, setelah dengan pikiranNya sendiri mengetahui perenungan dalam pikiran Brahmā Baka, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. <311> Dari jauh Brahmā Baka melihat kedatangan Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Mari, Yang Mulia! Selamat datang, Yang Mulia! Sudah lama sekali, Yang Mulia, sejak Engkau berkesempatan datang ke sini. Sesungguhnya, Yang Mulia, ini kekal, ini stabil, ini abadi, ini lengkap, ini tidak dapat musnah. Sesungguhnya, ini adalah di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali; dan tidak ada kebebasan lain yang lebih unggul dari ini.”

Ketika hal ini diucapkan, Sang Bhagavā berkata kepada Brahmā Baka: “Aduh, Brahmā Baka tenggelam dalam ketidaktahuan! Aduh, Brahmā Baka tenggelam dalam ketidaktahuan, selama ia akan mengatakan apa yang sesungguhnya tidak kekal sebagai kekal; dan akan mengatakan apa yang sesungguhnya tidak stabil sebagai stabil; dan akan mengatakan apa yang sesungguhnya tidak abadi sebagai abadi; [143] dan akan mengatakan apa yang sesungguhnya tidak lengkap sebagai lengkap; dan akan mengatakan apa yang sesungguhnya dapat musnah sebagai tidak dapat musnah; dan sehubungan dengan [alam] di mana seseorang dilahirkan, menjadi tua, mati, meninggal dunia, dan terlahir kembali, akan mengatakan bahwa: ‘Sesungguhnya, ini adalah di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali’; dan ketika ada jalan kebebasan yang lebih unggul dari ini, akan mengatakan, ‘Tidak ada pembebasan lain yang lebih unggul dari ini.’”

[Brahmā Baka:]

“Kami tujuh puluh dua, Gotama, adalah pelaku-kebajikan; <312> Sekarang kami memiliki kekuatan, melampaui kelahiran dan penuaan. Ini, guru-pengetahuan, adalah pencapaian tertinggi Brahmā kami. Banyak orang yang merindukan kami.”26

[Sang Bhagavā:]

“Umur kehidupan di sini adalah singkat, tidak lama, Walaupun engkau, Baka, menganggapnya lama. Aku tahu, O Brahmā, umur kehidupanmu adalah Seratus ribu nirabbuda.27

[Brahmā Baka:]

“O Bhagavā, [Engkau mengatakan]: ‘Aku adalah seorang dengan penglihatan tanpa batas Seorang yang telah mengatasi kelahiran, penuaan, dan kesedihan.’ Apakah praktikku dalam hal tekad dan kebajikan di masa lampau? Jelaskan padaku agar aku mengerti.”28

[Sang Bhagavā:]

“Engkau memberikan minuman kepada banyak orang Yang haus, diserang oleh panas: Itulah praktikmu dalam hal tekad dan kebajikan di masa lampau, <313> Yang kuingat seolah-olah baru terjaga.29

“Ketika orang-orang terperangkap di tepi Sungai Antelop, Engkau membebaskan para tawanan yang disandera. Itulah praktikmu dalam hal tekad dan kebajikan di masa lampau, Yang kuingat seolah-olah baru terjaga.

“Ketika sebuah kapal terjebak di Sungai Gangga Oleh nāga ganas yang menginginkan daging manusia, Engkau dengan gagah berani membebaskan kapal itu: Itulah praktikmu dalam hal tekad dan kebajikan di masa lampau, Yang kuingat bagaikan baru bangun tidur. [144]

“Aku adalah muridmu bernama Kappa; Engkau mengajarkannya kecerdasan dan ketaatan: Itulah praktikmu dalam hal tekad dan kebajikan di masa lampau, Yang kuingat seolah-olah baru terjaga.”30

[Brahmā Baka:] <314>

“Tentu saja Engkau mengetahui umur kehidupanku; Yang lainnya juga Engkau mengetahuinya, karena Engkau adalah Buddha. Demikianlah keagungan gemilang ini adalah milikMu Yang bahkan menerangi alam brahmā.”

Di Sāvatthī. Pada saat itu pandangan salah spekulatif berikut ini muncul dalam diri brahmā tertentu: “Tidak ada petapa atau brahmana yang dapat datang ke sini.” Kemudian, setelah dengan pikirannya sendiri mengetahui perenungan dalam pikiran Brahmā itu, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. Sang Bhagavā duduk bersila di udara di atas brahmā itu, setelah memasuki meditasi pada unsur api.31

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berpikir: “Di manakah Sang Bhagavā berada sekarang?” Dengan kekuatan batin mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Yang Mulia Mahāmoggallāna melihat Sang Bhagavā duduk bersila di udara di atas brahmā itu, setelah memasuki meditasi pada unsur api. Setelah melihat ini, <315> secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna menempatkan dirinya di sisi timur dan duduk bersila di udara di atas brahmā itu – lebih rendah dari Sang Bhagavā – setelah memasuki meditasi pada unsur api.

Kemudian Yang Mulia Mahākassapa berpikir: “Di manakah Sang Bhagavā berada sekarang?” Dengan kekuatan batin mata-dewa … Yang Mulia Mahākassapa melihat Sang Bhagavā duduk bersila di udara di atas brahmā itu … Setelah melihat ini, … <145> Yang Mulia Mahākassapa lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. Kemudian Yang Mulia Mahākassapa menempatkan dirinya di sisi selatan dan duduk bersila di udara di atas brahmā itu – lebih rendah dari Sang Bhagavā – setelah memasuki meditasi pada unsur api.

Kemudian Yang Mulia Mahākappina berpikir: “Di manakah Sang Bhagavā berada sekarang?” Dengan kekuatan batin mata-dewa … Yang Mulia Mahākappina melihat Sang Bhagavā duduk bersila di udara di atas brahmā itu … Setelah melihat ini, … Yang Mulia Mahākappina lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. Kemudian Yang Mulia Mahākappina menempatkan dirinya di sisi barat <316> dan duduk bersila di udara di atas brahmā itu – lebih rendah dari Sang Bhagavā – setelah memasuki meditasi pada unsur api.

Kemudian Yang Mulia Anuruddha berpikir: “Di manakah Sang Bhagavā berada sekarang?” Dengan kekuatan batin mata-dewa … Yang Mulia Anuruddha melihat Sang Bhagavā duduk bersila di udara di atas brahmā itu … Setelah melihat ini, … Yang Mulia Anuruddha lenyap dari Hutan Jeta dan muncul kembali di alam brahmā. Kemudian Yang Mulia Anuruddha menempatkan dirinya di sisi utara dan duduk bersila di udara di atas brahmā itu – lebih rendah dari Sang Bhagavā – setelah memasuki meditasi pada unsur api.

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada brahmā itu dalam syair:

“Hari ini, sahabat, apakah engkau masih menganut pandangan itu, Yang engkau anut sebelumnya? Apakah engkau lihat pancaran sinar Yang melampaui sinar di alam brahmā?”32 <317>

“Aku tidak lagi menganut pandangan itu, Yang Mulia, Pandangan yang aku anut sebelumnya. Sungguh aku melihat pancaran sinar Yang melampaui sinar di alam brahmā. Hari ini, bagaimana aku dapat mempertahankan,
‘Aku kekal dan abadi’?”33

Kemudian, setelah membangkitkan rasa keterdesakan dalam diri brahmā itu, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Sang Bhagavā lenyap dari alam brahmā dan muncul kembali di Hutan Jeta.

Kemudian brahmā itu berkata kepada salah satu anggota kelompoknya. “Marilah, tuan, dekatilah Yang Mulia Mahāmoggallāna dan katakan padanya, “Tuan Moggallāna, adakah siswa Sang Bhagavā lainnya yang lebih kuat [146] dan perkasa seperti Yang Mulia Moggallāna, Kassapa, Kappina dan Anuruddha?’”

“Baik, tuan,” anggota kelompok Brahmā itu menjawab. Kemudian ia mendekati Yang Mulia Mahāmoggallāna dan bertanya: “Tuan Moggallāna, adakah siswa Sang Bhagavā lainnya yang lebih kuat dan perkasa seperti Yang Mulia Moggallāna, Kassapa, Kappina dan Anuruddha?”

Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada anggota kelompok Brahmā itu dalam syair:

“Banyak siswa Sang Buddha Yang adalah para Arahant dengan noda-noda dihancurkan, Pembawa tiga pengetahuan dengan kekuatan batin, Terampil dalam membaca pikiran makhluk-makhluk lain.’”34 <318>

Kemudian anggota kelompok Brahmā itu, senang dan gembira mendengar pernyataan Yang Mulia Mahāmoggallāna, mendekati brahmā itu dan memberitahunya: “Tuan, Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata seperti ini:

“Banyak siswa Sang Buddha … Terampil dalam membaca pikiran makhluk-makhluk lain.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh anggota kelompok Brahmā itu. Gembira, brahmā itu senang mendengar pernyataan itu.

Di Sāvatthī. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang melewatkan siang dan sedang berada dalam keheningan. Kemudian brahmā mandiri bernama Subrahmā dan Suddhavāsa mendatangi Sang Bhagavā dan masing-masing berdiri di satu tiang pintu.35 Kemudian brahmā mandiri Subrahmā berkata kepada brahmā mandiri Suddhāvāsa: <319> “Ini bukanlah waktu yang tepat, teman, untuk mengunjungi Sang Bhagavā. Sang Bhagavā sedang melewatkan siang dan sedang berada dalam keheningan. Alam-alam brahmā tertentu adalah kaya dan makmur, dan ada brahmā di sana yang berdiam dalam kelengahan. Mari, teman, marilah kita pergi ke alam brahmā itu dan membangkitkan rasa keterdesakan dalam diri brahmā itu.” [147]

“Baiklah, teman,” brahmā mandiri Suddhāvāsa menjawab.

Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, brahmā mandiri Subrahmā dan Suddhāvāsa lenyap dari hadapan Sang Bhagavā dan muncul kembali di alam brahmā itu. Dari jauh brahmā itu melihat kedatangan kedua brahmā itu dan berkata kepada mereka: “Sekarang, dari manakah kalian datang, tuan-tuan?” <320>

“Kami datang, tuan, dari hadapan Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Tuan, engkau seharusnya pergi melayani Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.”

Ketika hal ini dikatakan, brahmā itu menolak menerima nasihat mereka. Setelah menciptakan seribu perubahan wujudnya, ia berkata kepada brahmā mandiri Subrahmā: <321> “Lihatkah engkau, tuan, betapa besar kekuatan dan keperkasaanku?”

“Aku melihat, tuan, bahwa engkau memiliki kekuatan dan keperkasaan yang tinggi.”

“Tetapi, tuan, jika aku begitu kuat dan perkasa, petapa atau brahmana manakah yang harus kulayani?”

Kemudian brahmā mandiri Subrahmā, setelah menciptakan dua ribu perubahan wujudnya, berkata kepada brahmā itu: “Lihatkah engkau, tuan, betapa besar kekuatan dan keperkasaanku?”

“Aku melihat, tuan, bahwa engkau memiliki kekuatan dan keperkasaan yang tinggi.”

“Sang Bhagavā itu, tuan, adalah lebih kuat dan perkasa daripada kalian berdua dan aku. Engkau harus pergi, tuan, untuk melayani Sang Bhagavā itu, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.”

Kemudian brahmā itu berkata kepada brahmā mandiri Subrahmā dalam syair: [148]

“Tiga [ratus] supaṇṇa, empat [ratus] angsa, Dan lima ratus elang: Istana ini, O Brahmā, milik sang meditator bersinar Menerangi penjuru utara.”36

[Brahmā mandiri Subrahmā:]

“Walaupun istanamu itu bersinar Menerangi penjuru utara, <322> Setelah melihat cacat dari bentuk, guncangannya yang kronis, Sang bijaksana tidak bergembira di dalam bentuk.”37

Kemudian brahmā mandiri Subrahmā dan Suddhāvāsa, setelah membangkitkan rasa keterdesakan dalam diri brahmā itu, lenyap dari sana. Dan kelak, brahmā itu datang melayani Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna.

Di Sāvatthī. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang melewatkan siang dan sedang berada dalam keheningan. Kemudian brahmā mandiri bernama Subrahmā dan Suddhāvāsa mendatangi Sang Bhagavā dan masing-masing berdiri di satu tiang pintu. Kemudian, dengan merujuk pada bhikkhu Kokālika, brahmā mandiri Subrahmā melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:38

“Apa yang dicari orang bijaksana di sini untuk menegaskan Seorang yang tak terukur dengan mengukurnya? <323> Ia yang mengukur seorang yang tidak terukur Pastilah, aku pikir, seorang kaum duniawi yang terhalangi.”39

Di Sāvatthī … (seperti di atas) … Kemudian, dengan merujuk pada Bhikkhu Katamorakastissaka, brahmā mandiri Suddhāvāsa melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā.40 [149]

“Apa yang dicari orang bijaksana di sini untuk menegaskan Seorang yang tak terukur dengan mengukurnya? Ia yang mengukur seorang yang tidak terukur Pastilah, aku pikir, seorang bodoh yang terhalangi.”

<324> Di Sāvatthī. Pada saat itu Bhikkhu Kokālika sedang sakit, menderita, sakit parah. Kemudian, pada larut malam, brahmā mandiri Tudu, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Bhikkhu Kokālika.41 Setelah mendekat, ia berdiri di udara dan berkata kepada Bhikkhu Kokālika: “Berkeyakinanlah pada Sāriputta dan Moggallāna, Kokālika. Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

“Siapakah engkau, sahabat?”

“Aku adalah brahmā mandiri Tudu.”

“Bukankah Sang Bhagavā menyatakan bahwa engkau adalah seorang Yang-Tidak-Kembali, sahabat? Mengapa engkau kembali ke sini? Lihat berapa jauh engkau telah melanggar.”42

[Brahmā Tudu:]

“Ketika seseorang telah terlahir Sebuah kapak muncul di dalam mulutnya Yang dengannya si dungu memotong dirinya sendiri Dengan mengucapkan fitnah. <325>

“Ia yang memuji seseorang yang layak dicela, Atau mencela seseorang yang layak dipuji, Melakukan lemparan tidak beruntung dengan mulutnya Yang dengannya ia tidak menemukan kebahagiaan.43

“Kata-kata tidak berguna adalah lemparan tidak beruntung Yang membawa kehilangan kekayaan pada permainan dadu, [Kehilangan] segalanya, termasuk dirinya; Yang jauh lebih buruk lagi – lemparan tidak beruntung ini Adalah memendam kebencian terhadap para yang sempurna.44

“Selama seratus ribu nirabbuda Dan tiga puluh enam lebih , dan lima abbuda, Yang mencela para Mulia pergi ke neraka, Setelah mengucapkan kata-kata jahat dan memendam pikiran jahat terhadap mereka .”45

Di Sāvatthī.46 Bhikkhu Kokālika mendekati Sang Bhagavā, [150] <326> memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Yang Mulia, Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan-keinginan buruk; mereka dikuasai oleh keinginan-keinginan buruk.”

Ketika hal ini diucapkan, Sang Bhagavā berkata kepada Bhikkhu Kokālika: “Jangan berkata demikian, Kokālika! Jangan berkata demikian, Kokālika! Berkeyakinanlah pada Sāriputta dan Moggallāna, Kokālika. Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Untuk ke dua kalinya Bhikkhu Kokālika berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, walaupun aku berkeyakinan dan percaya pada Sang Bhagavā, namun aku tetap mengatakan bahwa Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan-keinginan buruk; mereka dikuasai oleh keinginan buruk.” Dan untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu Kokālika: “Jangan berkata demikian, Kokālika! … Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Untuk ke tiga kalinya Bhikkhu Kokalika berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, walaupun aku berkeyakinan dan percaya pada Sang Bhagavā, namun aku tetap mengatakan bahwa Sāriputta dan Moggallāna memiliki keinginan-keinginan buruk; mereka dikuasai oleh keinginan buruk.” Dan untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada: “Jangan berkata demikian, Kokālika! … Sāriputta dan Moggallāna berperilaku baik.”

Kemudian Bhikkhu Kokālika bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan pergi, dengan Beliau di sisi kanannya. Tidak lama setelah Bhikkhu Kokālika pergi, sekujur tubuhnya menjadi penuh dengan bisul sebesar biji moster. <327> Kemudian bisul-bisul ini tumbuh menjadi sebesar kacang hijau; kemudian seukuran kacang kedelai; kemudian seukuran batu jujube; kemudian seukuran buah jujube; kemudian seukuran myrobalan; kemudian seukuran buah beluva yang belum matang; kemudian seukuran buah beluva yang telah matang. Ketika telah tumbuh hingga seukuran buah beluva matang, bisul-bisul itu pecah, meneteskan nanah dan darah. Kemudian, karena penyakitnya itu, Bhikkhu Kokālika meninggal dunia, [151] dan karena ia memendam permusuhan terhadap Sāriputta dan Moggallāna, setelah kematiannya ia terlahir kembali di Neraka Paduma.47

Kemudian, ketika malam telah larut, Brahmā Sahampati, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, berdiri di satu sisi <328> dan berkata kepadanya: “Yang Mulia, Bhikkhu Kokālika telah meninggal dunia, dan karena ia memendam permusuhan terhadap Sāriputta dan Moggallāna, setelah kematiannya ia telah terlahir kembali di Neraka Paduma.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sahampati. Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, tadi malam, ketika malam telah larut, Brahmā Sahampati mendatangiKu dan berkata kepadaKu … (seperti di atas) … Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepadaKu, dengan Aku di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.”

Ketika hal ini dikatakan, seorang bhikkhu tertentu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Berapa lamakah umur kehidupan di Neraka Paduma?”

“Umur kehidupan di Neraka Paduma adalah panjang, Bhikkhu, tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam tahun, atau ratusan tahun, atau ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun.” <329>

“Apakah mungkin dengan perumpamaan, Yang Mulia?” [152]

“Mungkin saja, bhikkhu. Misalkan, bhikkhu, terdapat satu kereta dari Kosala yang berisi dua puluh takaran biji wijen. Di akhir setiap seratus tahun seseorang akan mengambil sebutir dari sana. Kereta dari Kosala yang berisi dua puluh takaran biji wijen itu akan menjadi kosong lebih cepat daripada satu Neraka Abbuda berlalu. Dua puluh Neraka Abbuda adalah setara dengan satu Neraka Nirabbuda; dua puluh Neraka Nirabbuda adalah setara dengan satu Neraka Ababa; dua puluh Neraka Ababa adalah setara dengan satu Neraka Aṭaṭa; dua puluh Neraka Aṭaṭa adalah setara dengan satu Neraka Ahaha; dua puluh Neraka Ahaha adalah setara dengan satu Neraka Kumuda; dua puluh Neraka Kumuda adalah setara dengan satu Neraka Soghandika; dua puluh Neraka Soghandika adalah setara dengan satu Neraka Uppala; dua puluh Neraka Uppala adalah setara dengan satu Neraka Puṇḍarika; dua puluh Neraka Puṇḍarika adalah setara dengan satu Neraka Paduma. Sekarang, bhikkhu, Bhikkhu Kokālika telah terlahir kembali di Neraka Paduma karena memendam permusuhan dengan Sāriputta dan Moggallāna.”48 <330>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan hal berikut ini:

592-95. “Ketika seseorang telah terlahir kembali

(syair = 588-91) … [153] <331>

Setelah mengucapkan kata-kata jahat dan memendam pikiran jahat terhadap mereka .”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di tepi Sungai Sappini. Kemudian, pada larut malam, Brahmā Sanaṅkumāra, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh tepian Sungai Sappini, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi.49 Sambil berdiri di satu sisi, ia melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā: <332>

“Khattiya adalah yang terbaik di antara manusia Bagi mereka yang menggunakan ukuran kasta, Tetapi seseorang yang sempurna dalam pengetahuan dan perilaku Adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Brahmā Sanaṅkumāra. Sang Guru menyetujuinya. Kemudian Brahmā Sanaṅkumāra, dengan berpikir, “Sang Guru menyetujuiku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Puncak Gunung Hering tidak lama setelah Devadatta pergi.50 Kemudian, pada larut malam, Brahmā Sahampati, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Puncak Gunung Hering, mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. [154] Sambil berdiri di satu sisi, dengan merujuk pada Devadatta, ia melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Bagaikan buahnya sendiri yang membawa kehancuran Bagi pohon pisang, bambu, dan buluh, Bagaikan janin yang menghancurkan bagal, <333> Demikian pula kehormatan menghancurkan orang jahat.”51

Pad suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Magadha di Andhakavinda. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka di kegelapan malam, dan pada saat itu turun hujan gerimis. Kemudian, pada larut malam. Brahmā Sahampati … mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepadaNya, dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, ia melantunkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Seseorang seharusnya menyukai tempat tinggal-tempat tinggal terpencil, Berlatih agar terbebas dari belenggu-belenggu. Tetapi jika seseorang tidak gembira di sana, Maka ia harus terkendali dan penuh perhatian, berdiam dalam Saṅgha.52 <334>

“Berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah, Indria-indria terjaga, waspada, penuh perhatian, Seseorang seharusnya menyukai tempat tinggal-tempat tinggal terpencil, Terbebas dari ketakutan, bebas dalam tanpa-ketakutan.53

‘Di mana ular mengerikan merayap, Di mana kilat menyambar dan langit bergemuruh, Dalam kepekatan malam gelap ini Duduk seorang bhikkhu yang hampa dari ketakutan.54

“Karena ini sungguh telah terlihat olehku, Ini bukanlah sekedar kabar angin: Dalam satu kehidupan suci Seribu telah meninggalkan Kematian.55

“Terdapat lima ratus lebih pelajar, Dan sepuluh kali sepuluh kali lipat sepuluh: Semuanya telah memasuki arus, Tidak pernah kembali ke alam binatang.

“Sedangkan bagi orang-orang lainnya yang tersisa - <335> Yang, menurutku, adalah pelaku kebajikan – Aku bahkan tidak mampu menghitungnya Karena takut mengucapkan yang salah.”56 [155]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī … di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau terdapat seorang raja bernama Aruṇava yang memiliki ibu kota kerajaan bernama Aruṇavati. Sang Buddha Sikhī, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, berdiam dengan bergantung pada ibu kota Aruṇavati.57 Pasangan siswa utama Sang Buddha Sikhī bernama Abhibhū dan Sambhava, pasangan yang sempurna. Kemudian Sang Buddha Sikhī berkata kepada Bhikkhu Abhibhū, ‘Marilah, <336> brahmana, mari kita pergi ke alam brahmā tertentu sampai waktu makan siang’ – ‘ Baik, Yang Mulia,’ Bhikkhu Abhibhū menjawab.

“Kemudian, para bhikkhu, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, demikianlah Sang Buddha Sikhī, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan Bhikkhu Abhibhū lenyap dari ibu kota Aruṇavati dan muncul kembali di alam brahmā itu. Kemudian Sang Buddha Sikhī berkata kepada Bhikkhu Abhibhū sebagai berikut: ‘Babarkanlah khotbah Dhamma, brahmana, kepada Brahmā, pengikut Brahmā dan kumpulan Brahmā.’ – ‘Baik, Yang Mulia,’ Bhikkhu Abhibhū menjawab. Kemudian, melalui khotbah Dhamma ini, ia mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan Brahmā dan pengikut Brahmā dan kumpulan Brahmā. Selanjutnya Brahmā dan pengikut Brahmā dan [156] kumpulan Brahmā menemukan cacat dalam khotbah ini, mengeluhkan: ‘Sungguh menakjubkan, Tuan! Sungguh menakjubkan, Tuan! Bagaimana <337> mungkin seorang siswa mengajarkan Dhamma di hadapan Sang Guru?’

“Kemudian, para bhikkhu, Sang Buddha Sikhī berkata kepada Bhikkhu Abhibhū sebagai berikut: ‘Brahmana, Brahmā dan pengikut Brahmā dan kumpulan Brahmā mengeluhkan dengan mengatakan, “Sungguh menakjubkan, Tuan! Sungguh menakjubkan, Tuan! Bagaimana mungkin seorang siswa mengajarkan Dhamma di hadapan Sang Guru?” Baiklah, brahmana, kobarkanlah lebih besar lagi rasa keterdesakan dalam diri Brahmā, dalam diri pengikut Brahmā dan dalam diri kumpulan Brahmā.’ – ‘Baik, Yang Mulia,’ Bhikkhu Abhibhū menjawab. Kemudian ia mengajarkan Dhamma dengan tubuhnya terlihat, dan dengan tubuhnya tidak terlihat, dan dengan bagian bawah tubuhnya terlihat dan bagian atas tidak terlihat, dan dengan bagian atas tubuhnya terlihat dan bagian bawah tidak terlihat.58 Selanjutnya, para bhikkhu, Brahmā dan pengikut Brahmā dan kumpulan Brahmā kagum dan terkesima, berkata, ‘Sungguh menakjubkan, Tuan! Sungguh menakjubkan, Tuan! Bagaimana mungkin seorang petapa seperti dia memiliki kekuatan dan keperkasaan begitu besar!’

“Kemudian, para bhikkhu, Bhikkhu Abhibhū berkata kepada Sang Buddha Sikhī, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna: ‘Aku ingat, Yang Mulia, setelah membuat pernyataan ini di tengah-tengah bhikkhu Saṅgha <338> “Teman-teman, selagi berdiri di alam brahmā aku dapat membuat suaraku terdengar di seluruh seribu sistem dunia.”’ – ‘Sekaranglah waktunya untuk melakukan hal itu, brahmana! Sekaranglah waktunya untuk melakukan hal itu, brahmana! Selagi berdiri di alam brahmā engkau dapat membuat suaramu terdengar di seluruh seribu sistem dunia.’ – ‘Baik, Yang Mulia,’ Bhikkhu Abhibhū menjawab. Kemudian sambil berdiri di alam Brahmā, ia melantunkan syair-syair ini:59

“‘Bangkitkan usahamu, berjuanglah! Kerahkan dirimu dalam Ajaran Sang Buddha. Usirlah bala tentara Kematian Seperti seekor gajah melakukannya pada gubuk terbuat dari buluh. [157]

“’Seseorang yang berdiam dengan tekun Dalam Dhamma dan Disiplin ini, Setelah meninggalkan pengembaraan dalam kelahiran Akan mengakhiri penderitaan.’

“Kemudian, para bhikkhu, setelah membangkitkan rasa keterdesakan dalam diri Brahmā, dalam diri pengikut Brahmā dan dalam diri kumpulan Brahmā, secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, demikianlah Sang Buddha Sikhī, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan Bhikkhu Abhibhū lenyap dari alam brahmā itu dan muncul kembali di ibu kota Aruṇavati <339> Kemudian Sang Buddha Sikhī berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, apakah kalian mendengar syair-syair yang dilantunkan oleh Bhikkhu Abhibhū selagi ia berdiri di alam brahmā?’ – ‘Kami mendengarnya, Yang Mulia.’ - ‘Syair-syair apakah yang kalian dengar, para bhikkhu’ – ‘Kami mendengar syair-syair Bhikkhu Abhibhū sebagai berikut:

“Bangkitkan usahamu, berjuanglah! … Akan mengakhiri penderitaan.”

Demikianlah syair-syair yang kami dengar yang dilantunkan oleh Bhikkhu Abhibhū sewaktu ia berdiri di alam brahmā.’ – ‘Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian mendengar syair-syair yang dilantunkan oleh Bhikkhu Abhibhū sewaktu ia berdiri di alam brahmā.’” <340>

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu itu senang dan gembira mendengar pernyataan Sang Bhagavā.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusinārā di Upavattana, hutan pohon sal milik orang-orang Malla, di antara pohon sal kembar, menjelang Nibbāna akhir.60 Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Sekarang [158] Aku berkata kepada kalian, para bhikkhu: Bentukan-bentukan pasti akan lenyap. Berjuanglah dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan.” Ini adalah kata-kata terakhir dari Sang Tathāgata.

Kemudian Sang Bhagavā mencapai jhāna pertama. Setelah keluar dari jhāna pertama, Beliau mencapai jhāna ke dua. Setelah keluar dari jhāna ke dua, Beliau mencapai jhāna ke tiga. Setelah keluar dari jhāna ke tiga, Beliau mencapai jhāna ke empat. Setelah keluar dari jhāna ke empat, Beliau mencapai landasan ruang tanpa batas. Setelah keluar dari landasan ruang tanpa batas, Beliau mencapai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah keluar dari landasan kesadaran tanpa batas, Beliau mencapai landasan kekosongan. Setelah keluar dari landasan kekosongan, Beliau mencapai landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah keluar dari landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, Beliau mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan. <341>

Setelah keluar dari lenyapnya persepsi dan perasaan, Beliau mencapai landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah keluar dari landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, Beliau mencapai landasan kekosongan. Setelah keluar dari landasan kekosongan, Beliau mencapai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah keluar dari landasan kesadaran tanpa batas, Beliau mencapai landasan ruang tanpa batas. Setelah keluar dari landasan ruang tanpa batas, Beliau mencapai jhāna ke empat. Setelah keluar dari jhāna ke empat, Beliau mencapai jhāna ke tiga. Setelah keluar dari jhāna ke tiga, Beliau mencapai jhāna ke dua. Setelah keluar dari jhāna ke dua, Beliau mencapai jhāna pertama.

Setelah keluar dari jhāna pertama, Beliau mencapai jhāna ke dua. Setelah keluar dari jhāna ke dua, Beliau mencapai jhāna ke tiga. Setelah keluar dari jhāna ke tiga, Beliau mencapai jhāna ke empat. Setelah keluar dari jhāna ke empat, segera setelah ini Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir.61

Ketika Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir, bersamaan dengan Nibbāna akhir ini Brahmā Sahampati melantunkan syair ini:

“Semua makhluk di dunia Akhirnya akan membaringkan tubuhnya, Karena bahkan seseorang seperti Sang Guru, Manusia tanpa bandingan di dunia ini, Sang Tathāgata yang memiliki kekuatan-kekuatan, Sang Buddha, telah mencapai Nibbāna akhir.”62 <342>

Ketika Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir, bersamaan dengan Nibbāna akhir ini Sakka, raja para deva, melantunkan syair ini:

“Bentukan-bentukan adalah tidak kekal; Bersifat muncul dan lenyap. Setelah muncul, kemudian lenyap: Ketenangannya sungguh membahagiakan.”63

Ketika Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir, bersamaan dengan Nibbāna akhir ini Yang Mulia Ānanda melantunkan syair ini:64

“Kemudian muncul ketakutan, Kemudian muncul kegentaran, Ketika seseorang yang sempurna dalam segala kualitas mulia, Sang Buddha, mencapai Nibbāna akhir.” [159]

Ketika Sang Bhagavā mencapai Nibbāna akhir, bersamaan dengan Nibbāna akhir ini Yang Mulia Anuruddha melantunkan syair ini:

“Tidak ada lagi nafas masuk-dan-keluar Dalam diri Yang Stabil yang berpikiran teguh Ketika tidak tergoyahkan, condong pada kedamaian, Yang memiliki Penglihatan mencapai Nibbāna akhir.65

“Dengan pikiran tidak mengerut Beliau menahankan sakit; Bagaikan padamnya pelita Demikianlah pembebasan pikiran.”66 <343>


Catatan Kaki
  1. Peristiwa ini juga tercatat pada Vin I 4-7 dan MN I 167-169, dan pada DN II 36-40 dengan Buddha Vipassī dan Mahābrahmā sebagai pembicara. Spk menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada minggu ke delapan setelah penerangan sempurna. Kisah yang sama versi BHS pada Mvu III 314-19, sedikit lebih banyak hiasan, mencatat beberapa variasi tradisi pertemuan, kurang lebih sesuai dengan versi Pāli; baca Jones, 3:302-9. ↩︎

  2. Spk menjelaskan ālaya secara objektif sebagai lima utas kenikmatan indria, disebut “kelekatan” karena adalah pada lima ini makhluk-makhluk melekat; dan lagi, secara subjektif, karena 108 pemeriksaan batin digerakkan oleh ketagihan (taṇhāvicaritāni, baca AN II 212,8 – 213,2), karena inilah yang melekat pada objek-objeknya. ↩︎

  3. Spk: Semua sebutan ini sinonim dengan Nibbāna. Karena bergantung pada hal tersebut (taṃ āgamma), semua pergerakan bentukan-bentukan menjadi diam dan tenang; semua perolehan dilepaskan; semua ketagihan dihancurkan; semua kekotoran nafsu meluruh; dan semua penderitaan padam. Spk-pṭ: Bergantung pada hal tersebut: ketergantungan pada hal tersebut, karena merupakan kondisi objek bagi jalan mulia. ↩︎

  4. Arti yang pasti dari anacchariyā tidak dapat dipastikan. Spk (dan komentar lainnya) hanya memberikan solusi verbal, yang bukan merupakan solusi semantik: Anacchariyā ti anuacchariyā (“pengulangan (atau menuruti) acchariyā”). Kebanyakan penerjemah yang menerjemahkannya “secara spontan” jelas mengambil kata dasar acchara = “saat”; namun para komentator sepertinya memahami bahwa kata dasarnya adalah acchariya = “mengagumkan.”

    Spk-pṭ mengusulkan suatu etimologi tambahan yang memberikan makna yang sama: Vuddhippattā vā acchariyā anacchariyā; vuddhi-attho pi hi a-kāro hoti yathā asekkhā dhammā ti; “Atau ketidak-indahan adalah keindahan yang telah meningkat, karena suku kata a (awalan negatif) juga menunjukkan apa yang telah meningkat, seperti dalam ‘kualitas seorang non-pelajar’ (yaitu, seorang Arahant, ‘seorang yang melampaui latihan’).” Walaupun turunan ini agak menimbulkan persoalan, karena kurangnya alternatif saya menyesuaikan dengan kebiasaan sekarang dan menggunakan “mengejutkan” sebagai penekanan.

    Spk-pṭ mengatakan: “Syair-syair ini memiliki kualitas ‘mengejutkan’ karena menunjukkan bahwa setelah memenuhi kesempurnaan (pārami) selama empat asaṅkhyeyya dan 100.000 kappa demi berbagi Dhamma dengan dunia dan para devanya, sekarang setelah Beliau mencapai tahta kerajaan Dhamma Beliau ingin hidup nyaman. Adalah ‘hal-mengejutkan’ ini yang ditekankan [oleh awalan negatif an-].”

    Von Hinüber berpendapat bahwa “anacchariyā mewakili Skt *an-akṣar-ikā (baca “Anacchariyā pubbe assutapubbā,” dalam Selected Papers, pp. 17-24), tetapi argumentasinya bersandar pada asumsi bahwa pubbe assutapubbā akan berlebihan dan oleh karena itu pubbe harus dianggap berlawanan dengan annachariyā yang disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, asumsi ini, berlawanan dengan DN I 184,27-29 di mana kita menemukan pubbe … sutapubbā sebagai satu kesatuan. Yang menarik, tidak ada kata yang bersesuaian yang dapat ditemukan dalam versi Mvu dan Lalitavistara untuk peristiwa yang sama. ↩︎

  5. Spk: Hidup dengan nyaman (appossukkatā, secara literal “keinginan sedikit”) berarti tidak berkeinginan untuk mengajar. Tetapi mengapakah pikirannya condong demikian setelah Beliau bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan, memenuhi kesempurnaan, dan mencapai kemahatahuan? Karena ketika Beliau merenungkan, ketebalan kekotoran makhluk-makhluk dan kedalaman Dhamma terlihat olehNya. Juga, Ia mengetahui bahwa jika Ia cenderung untuk hidup dengan nyaman, Brahmā akan memohon kepadaNya untuk mengajar, dan karena makhluk-makhluk menghormati Brahmā, hal ini akan menanamkan dalam diri mereka keinginan untuk mendengar Dhamma. Mengenai ussukka, baca n.54↩︎

  6. Brahmā Sahampati muncul dalam peran dramatis pada titik penting dalam pengajaran Buddha dan juga mengucapkan syair pertama saat parinibbāna Beliau (v. 608 di bawah). Baca 48:57 mengenai dirinya tentang bagaimana ia menjadi deva yang berkuasa di alam brahmā. Kemunculannya yang lain dalam SN adalah pada 6:2, 3, 10, 12, 13, 11:17; 22:80; 47:18, 43. Dalam versi Mvu dewa yang datang hanya disebutkan sebagai Mahābrahmā, tanpa nama diri. Ia datang disertai oleh banyak dewa lain termasuk Sakka.

    Dalam bab ini (dan tempat-tempat lainnya dalam terjemahan ini), saya menggunakan “Brahma” jika kata ini merupakan bagian dari nama diri dan “brahmā” jika ini merujuk secara umum pada suatu makhluk atau sekelompok makhluk. Kadang-kadang tidak ada batasan yang jelas antara keduanya. ↩︎

  7. Spk mengidentifikasikan pintu menuju Tanpa-kematian (amatassa dvāra) sebagai jalan mulia, “pintu menuju Nibbāna yang tanpa-kematian.” Walaupun teks di sini menggunakan bentuk tunggal dvāra, persis di bawah menggunakan bentuk jamak dvārā. ↩︎

  8. Saya menerjemahkan pāda c sesuai dengan tulisan dalam Be, Se, dan Ee2, desassu bhagavā dhammaṃ, ditemukan secara konsisten dalam Teks Sinhala. Ee1 desetu (juga ditemukan dalam DN dan Vin bagian yang sama) sepertinya merupakan bentuk normalisasi yang dipengaruhi oleh prosa bagian sebelumnya. Syair ini diucapkan kembali oleh Brahmā Sahampati pada v.919. Sang Buddha disebut “pemimpin rombongan yang tanpa bandingan” pada v.736b; baca n.517↩︎

  9. Spk: Mata Buddha (buddhacakkhu) adalah sebutan untuk pengetahuan tingkat kematangan indria makhluk-makhluk (indriyaparopariyattañāṇa) dan pengetahuan watak dan kecenderungan tersembunyi makhluk-makhluk (āsayānusayañāṇa). Pengetahuan kemahatahuan disebut mata universal (samantacakkhu, pada v.559d). pengetahuan atas tiga pengetahuan yang lebih rendah disebut mata Dhamma (atau “penglihatan Dhamma,” dhammacakkhu). Bersama dengan mata dewa (dibbacakkhu: baca 6:5, 12:70) dan mata daging (maṃsacakkhu), semua ini menjadi “lima mata” dari seorang Buddha. ↩︎

  10. Paralokavajjabhayadassāvino. Pada MLDB, p.261, kata majemuk bermakna ganda ini diterjemahkan “melihat ketakutan dalam celaan dan dalam alam lain.” Ini sesuai dengan komentar, yang memecahnya: paralokañ c’ eva vajjañ ca bhayato passanti. Akan tetapi, pada Dhp 317-18, bhaya dan vajja diperlakukan sebagai istilah yang paralel, yang mengusulkan bahwa kata majemuk itu harus dipecah: paraloke vajañ c’ eva bhayañ ca passanti. ↩︎

  11. Katāvakāso kho ‘mhi bhagavatā dhammadesanāya. Ee1 bhagavato di sini pasti adalah kesalahan. Pada MLDB, p.262, sesuai dengan kebiasaan umum frasa ini diterjemahkan, “Saya telah membuat kesempatan bagi Sang Buddha untuk mengajar Dhamma.” CPD (s.v. katāvakāsa) mengatakan bahwa kesimpulan ini “adalah secara tata bahasa tidak mungkin dan secara konteks adalah mustahil.” Terjemahan di sini, berdasarkan pada saran dari VĀT, menggunakan bentuk aktif menggantikan konstruksi pasif yang janggal meniru Pāli. ↩︎

  12. Spk mengatakan bahwa sutta ini terjadi pada minggu ke lima setelah penerangan sempurna. Sutta ini juga terdapat pada AN II 20-21 dengan paragraf tambahan. ↩︎

  13. Spk: empat kualitas pertama – moralitas, dan seterusnya – adalah duniawi dan juga adi-duniawi. Pengetahuan dan pandangan kebebasan adalah hanya duniawi saja, karena ini adalah pengetahuan peninjauan (paccavekkhaṇañāṇa). Mengenai istilah terakhir ini, baca n.376 di bawah. ↩︎

  14. Dalam pāda a. Se dan Ee1 membaca atthakāmena, juga pada AN II 21,23, bukannya attakāmena oleh Be dan Ee2, juga pada AN IV 91,1. Spk mengemas abhikaṇkhatā dalam pāda c sebagai patthayamānena. Saraṃ dalam pāda d kemungkinan adalah kata bantu yang terpotong yang dikemas oleh Spk sebagai sarantena; akan tetapi, Norman, menyarankan, ini mungkin saja bentuk absolutif ṇamul (baca n.235 di atas dan EV II, n. atas 26). ↩︎

  15. Ini adalah penjelasan kanonikal atas pencapaian Kearahattaan. Kalimat ini dimulai dengan “Ia mengetahui secara langsung,” menurut Spk, menunjukkan “bidang peninjauan” (paccavekkhaṇabhūmi).

    Komentar mengusulkan dua cara untuk menginterpretasikan nāparaṃ itthattāya, bergantung pada apakah kata terakhir dianggap sebagai datif atau ablatif. Spk: “Sekarang tidak ada pengembangan sang jalan lagi ‘untuk keadaan ini’ (itthabhāvāya = itthattāya sebagai datif), yaitu, untuk kondisi enam belas tugas atau untuk penghancuran kekotoran-kekotoran. (‘Enam belas tugas’ adalah empat tugas Sang Jalan – pemahaman penuh, pelepasan, penembusan, dan pengembangan (seperti pada 56:11; V 422,3-30) – menganggap dalam penggabungan tiap-tiap dari empat jalan adi-duniawi.) Atau dengan kata lain: itthattāya = ithabhāvato (ablatif, ‘melampaui ini’). Sekarang tidak ada lagi kelompok-kelompok unsur kehidupan melampaui kelompok-kelompok unsur kehidupan yang sekarang ini. Lima kelompok unsur kehidupan ini dipahami sepenuhnya bagaikan pohon yang dipotong akarnya.”

    Saya menganggap itthattāya sebagai makna datif “kondisi makhluk ini”, yaitu, penjelmaan dalam kondisi makhluk apa pun, sehingga frasa itu memberikan makna yang sama dengan alternatif “auman kebebasan,” natthi dāni punabbhavo, “Sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru” (baca 22:27 (III 29,30), dan lain-lain). Di tempat lain (misalnya pada DN I 17,33; MN II 130,16 foll.’ AN I 63,30 – 64,18) itthatta menunjukkan kondisi manusia (atau mungkin keseluruhan alam indria) sebagai lawan dari makhluk dengan kondisi tinggi. Karena bentuk dasar itthatta adalah jelas netral, adalah sulit menerima penjelasan komentar mengenai itthattāya sebagai bentuk ablatif. ↩︎

  16. Berjalan menerima dana makanan secara tanpa terputus (supadānaü piṇḍaya caramāno) adalah praktik pertapaan dengan cara mendatangi setiap rumah dalam perjalanan itu untuk menerima makanan; tanpa membedakan mereka yang memberi secara rutin dan mereka yang tidak memberi; baca Vism 60,19-24 (Ppn 2:6), 67-68 (Ppn 2:31). ↩︎

  17. Ahutiṃ niccaṃ paggaṇhāti. Dari penjelasan Spk, sepertinya ini adalah upacara lengkap yang mana nasi-susu yang manis dipersembahkan kepada Brahmā dengan disertai ritual pemanggilan. ↩︎

  18. Spk: “Jalan menuju Brahmà (brahmāoatha) adalah sebutan untuk empat jhāna. Hasil dari jhāna ini disebut jalan kehidupan (jivitapatha). Tanpa mengetahui jalan ini, mengapa engkau mengomel dan berkomat-kamit? Karena brahmā hidup dari jhāna yang nikmat; mereka tidak memakan susu beku yang dicampur dengan daun dan biji-bijian.” Biasanya empat brahmaviharā disebut jalan untuk bergabung dengan Brahmā, seperti pada DN I 250,32 – 251,21 dan MN II 207,14 – 208,8. ↩︎

  19. Spk menjelaskan nirūpadhika dalam pāda b sebagai seorang yang tanpa upadhi kekotoran, bentukan kehendak, dan kenikmatan indria. Spk-pṭ: Upadhi kelompok-kelompok unsur kehidupan tidak disebutkan karena kelompok-kelompok unsur kehidupan masih ada. Telah melampaui deva (atidevapatto). Spk: Ia telah mencapai keadaan deva yang melampaui para deva, keadaan brahmā yang melampaui para brahmā. (Terdapat bukti permainan kata di sini atas nama bhikkhu). Mengenai akiñcana, “tidak memiliki apa-apa,” baca n.73. Tidak memberi makan siapa pun (anaññaposi). Spk: Hal ini dikatakan karena ia tidak memelihara istri dan anak-anak, atau karena ia tidak memelihara jasmani lainnya setelah yang sekarang ini. ↩︎

  20. Spk: Apa yang di belakang (pacchā) adalah masa lalu, apa yang di depan (purattham) adalah masa depan. Ia tidak memiliki apa yang di belakang ataupun di depan karena ia tidak memiliki keinginan dan nafsu pada kelompok-kelompok unsur kehidupan masa lalu dan masa depan. Ia tanpa asap (vidhūmo) dengan lenyapnya asap kemarahan. Mengenai dikotomi “depan-belakang”, baca Dhp 348, 421; Sn 949; Th 537. ↩︎

  21. Spk menjelaskan visenibhūto dalam pāda a sebagai “tanpa senjata, tanpa bala tentara kekotoran” (kilesasenāya viseno jāto). Akan tetapi, di sini, saya mengikuti saran Norman (pada GD, pp.307-8, n. atas 793) bahwa viseni bersesuaian dengan visreṇi pada BHS, yang artinya “tanpa teman.” Pada Uv. 11:12, kita menemukan viseṇtkṛtvā (diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dalam suatu ungkapan yang berarti “bebas dari kerumunan”). ↩︎

  22. Mengenai oghatiṇṇaṃ baca n.2. ↩︎

  23. Spk: Syair ini ditambahkan oleh para redaktur. ↩︎

  24. Prosa pembukaan sutta ini identik dengan yang terdapat dalam MN No. 49, kecuali bahwa yang dalam MN terjadi di Ukaṭṭha. Kisah dan syairnya membentuk Brahmā Baka Jataka (Ja No .405). Nama brahmā ini berarti “bangau”, dalam tradisi India dianggap sebagai burung licik dan penuh muslihat. ↩︎

  25. Spk mengemas kevalaṃ sebagai akaṇḍaṃ sakalaṃ, “tidak rusak, utuh,” dan menjelaskan latar belakangnya sebagai berikut: Dalam kehidupan sebelumnya sebagai manusia brahmā ini telah mengembangkan jhāna dan terlahir kembali di alam Brahmā Vehapphala, alam jhāna ke empat dengan umur kehidupan lima ratus kappa. Selanjutnya ia terlahir kembali di alam Brahmā Subhakiṇha, alam jhāna ke tiga dengan umur kehidupan enam puluh empat kappa. Berikutnya ia terlahir kembali di alam Brahmā Ābhassara, alam jhāna ke dua dengan umur kehidupan delapan kappa. Kemudian ia terlahir kembali di alam jhāna pertama dengan umur kehidupan satu kappa. Awalnya ia mengingat kamma masa lampau dan alam kehidupannya sendiri, tetapi dengan berlalunya waktu ia melupakan keduanya dan menganut pandangan eternalis. ↩︎

  26. Pāda a membaca: Dvāsattati Gotama puññakammā. Saya menerjemahkan sesuai dengan tulisan Spk: “Guru Gotama, kami tujuh-puluh-dua orang yang memiliki kamma baik [Spk-pṭ: yaitu, pelaku perbuatan baik] telah terlahir kembali di sini karena kamma baik itu (bho Gotama mayaṃ dvasattati janā puññakammā [Spk-pṭ: puññakārino] tena puññakammena idha nibbattā.” Baik Spk maupun Spk-pṭ tidak memberikan petunjuk lebih jauh sehubungan dengan apa yang dirujuk oleh tujuh-puluh-dua itu. Saya dan Ee2 membaca pāda c sebagai mengandung brahmapatti bukannya brahmuppatti atau brahmupapatti dalam edisi lainnya.

    Spk mengemas abhijappanti dalam pāda d sebagai patthenti pihenti, “merindukan, menginginkan.” Ja III 359,25-29 menggunakan tiga kata kerja: “Banyak orang, dengan tangan dirangkapkan sebagai penghormatan, menyembah kami, merindukan kami, menginginkan kami (namassanti patthenti pihayanti), dengan berkata, ‘Ia adalah Yang Mulia Brahmā, Mahābrahmā,’ dan seterusnya. Mereka mengharapkan, ‘Oh, kami juga ingin menjadi seperti itu.’” ↩︎

  27. Untuk nirabbuda, baca n.409. Spk mengatakan bahwa ini adalah lamanya umur kehidupan yang tersisa. ↩︎

  28. Saya mengikuti Spk dalam menebak bahwa pernyataan “Aku adalah seorang yang memiliki penglihatan tanpa batas …” adalah berasal dari Sang Buddha. Jika teks itu dibaca tanpa komentar, maka kata-kata itu berasal dari Baka. Akan tetapi, permohonan yang mengikuti, sepertinya menegaskan interpretasi Spk.

    Spk mengemas: Vatasīlavattan ti vuccati sīlam eva (“Adalah hanya moralitas yang dirujuk sebagai ‘praktik ritual dan moralitas’”). Spk-pṭ: “Adalah ritual (vatabhūtaṃ) karena dijalankan secara resmi, dan praktik moralitas (sīlavattaṃ) karena dipraktikkan melalui perilaku bermoral, tetapi kedua istilah ini sebenarnya merujuk pada satu hal; dengan demikian komentar mengatakan, ‘adalah hanya moralitas.’” ↩︎

  29. Spk menceritakan kisah lengkap di balik tiap-tiap peristiwa yang dirujuk dalam vv.575-77. Baca juga DPPN, 2:259-60. Akan tetapi, kesalahan Malalasekera, dalam menyebutkan bahwa semua peristiwa terjadi pada kehidupannya sebagai Kesava. Sepertinya Spk menduga bahwa v.578 berasal dari kehidupan Kesava. ↩︎

  30. Syair ini merujuk pada Kesava Jātaka (Ja No.346; baca juga Dhp-a I 342-44). Dalam pāda a, baddhacara dikemas oleh Spk sebagai antevāsika; baca n.268. Saya dan Be membaca kata kerja dalam pāda b sebagai amaññi (atau amañña dalam Ee2) bukannya amaññiṃ = “Aku pikir” dalam Se dan Ee1. walaupun Spk menganggap bahwa baris itu berarti Kappa berpikir demikian mengenai gurunya, namun saya mengikuti Jātaka, yang mana sang guru Kesava menghormati muridnya Kappa sebagai cerdas dan berbudi sementara Kesava sendiri nyaris dungu. ↩︎

  31. Spk: Ia melakukan persiapan untuk *kasiṇa-*api, keluar dari jhāna dasar, dan bertekad: “Semoga api memancar dari tubuhku.” Dengan kekuatan tekadnya, api memancar dari seluruh tubuhnya. ↩︎

  32. Saya menerjemahkan pāda cd sesuai dengan Spk: “Apakah engkau melihat cahaya, aura, dari Sang Buddha, Sang Bhagavā, melampaui aura-aura lain dari tubuh brahmā, istana dan hiasan-hiasan di alam brahmā?” ↩︎

  33. Menurut Spk, brahmā ini menganut dua pandangan: pertama, pandangan bahwa tidak ada petapa yang mampu datang ke alam ini; dan ke dua, pandangan eternalis. Yang pertama ditinggalkan ketika ia melihat Sang Buddha dan para siswaNya datang ke alam itu. Selanjutnya Sang Buddha membabarkan khotbah kepadanya yang pada akhirnya ia mencapai buah Memasuki-Arus, dan dengan demikian, melalui Jalan Memasuki-Arus, ia melepaskan pandangan eternalisnya. ↩︎

  34. Tiga pengetahuan yang dinyatakan melalui “pembawa tiga-pengetahuan” (tevijjā) adalah: pengetahuan mengingat kehidupan lampau, mata dewa (juga disebut pengetahuan kematian dan kelahiran makhluk-makhluk), dan pengetahuan hancurnya noda. Bersama dengan kekuatan batin (iddhi) dan kemampuan membaca pikiran makhluk lain, ini menjadikan lima dari enam abhiññā atau pengetahuan langsung. Spk mengatakan bahwa yang ke enam, telinga dewa, juga termasuk. ↩︎

  35. Spk-pṭ: paccekabrahmā adalah brahmā yang bepergian sendirian, tanpa pengikut. Spk: mereka berdiri di luar pintu bagaikan pengawal. ↩︎

  36. Spk mengatakan bahwa satā dalam pāda b seharusnya dihubungkan dengan tayo dan caturo dalam pāda a; angka-angka dapat diinterpretasikan sebagai sosok individual (rūpa) atau baris-baris (panti). Supaṇṇa identik dengan garuḍa, elang raksasa dalam mitologi India; baca 30:1. Spk menjelaskan byagghīnisā sebagai makhluk buas serupa dengan macan (byagghasadisā), tetapi kata ini muncul pada Ja VI 538,9 dalam daftar burung-burung; di sana dikemas sebagai sena, burung elang. Sepertinya sosok-sosok ini hanyalah ilusi ciptaan dari kekuatan meditatif brahmā. Spk: “Ia menunjukkan, ‘Inilah kemegahan istana milikku, meditator.’” ↩︎

  37. Pāda c tertulis: rūpe raṇaṃ disvā sadā pavedhitaṃ. Spk: Setelah melihat cacat dari bentuk – cacat (dosa) yang terdiri dari kelahiran, penuaan, dan kerusakan; setelah melihat guncangannya yang kronis – bentuk itu selalu berguncang, bergetar, diserang oleh penyakit, dan sebagainya. Sang Bijaksana adalah Sang Guru (Sang Buddha).

    Sementara dewa itu membanggakan bentuk-bentuk – bentuk-bentuk yang menghias istananya – Subrahmā mencelanya dengan mengambil “bentuk” sebagai makna teknis, sebagai yang pertama dari lima kelompok unsur kehidupan, dan mengungkapkan bahayanya. ↩︎

  38. Kisah Kokālika diceritakan di bawah pada 6:10. ↩︎

  39. Spk: Seorang yang tidak terukur (appameyyaṃ) adalah Arahant; seseorang mengukurnya dengan menentukan, “Ia memiliki moralitas sebanyak ini, konsentrasi sebanyak ini, kebijaksanaan sebanyak ini.” Spk-pṭ: Kondisi yang dijadikan ukuran (pamāṇakara) adalah nafsu, kebencian, dan delusi, dan dengan pelenyapannya adalah tidak mungkin “mengukur” Arahant dari nafsu, dan seterusnya. Sehubungan dengan ini baca 41:7 (IV 297,11-14 = MN I 298,8-11). ↩︎

  40. Dalam Be dan Ee1 & 2 nama bhikkhu ini ditulis “ –modaka-.” Ia adalah seorang pembelot yang bergabung dengan Devadatta dalam melakukan aksi memecah-belah Saṅgha. Spk menjelaskan akissava, dalam pāda d, sebagai nipaññā, kissava sama dengan paññā. Spk-pṭ menurunkan kissava, mungkin oleh “etimologi rakyat,” dari “yang dengannya seseorang mendengarkan sesuatu” (kinti suṇāti etāya ti), yaitu, mempelajari apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, dan sebagainya. ↩︎

  41. Dalam Be nama dewa ini adalah Turu. Spk menjelaskan bahwa dalam kelahiran lampaunya ia adalah penahbis Kokālika; ia meninggal dunia sebagai Yang-tidak-kembali dan terlahir kembali di alam brahmā. Ia mendengar tentang usaha Kokālika memfitnah Sāriputta dan Moggallāna dan datang untuk menasihatinya agar meninggalkan perilakunya yang tidak baik. ↩︎

  42. Karena Sang Buddha telah menyatakan bahwa Tudu adalah seorang Yang-tidak-kembali, Kokālika mencelanya karena muncul kembali di alam manusia. Brahmā Yang-tidak-kembali tentu saja tidak terlahir kembali di alam manusia, namun ia dapat memperlihatkan dirinya kepada manusia. Spk mengatakan: “Ia tidak melihat bisul di keningnya sendiri, namun ia berpikir bahwa ia sebaiknya mencelaku karena jerawat sebesar biji moster.” Kemudian Tudu menyadari bahwa kerusakan itu tidak dapat diperbaiki dan mengucapkan syair berikut. ↩︎

  43. Dalam v.589 saya menerjemahkan pāda c sedikit lebih bebas untuk membuatnya lebih jelas sehubungan dengan v.590. Secara literal seharusnya diterjemahkan: “Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.” Kali berarti kalah dalam melempar dadu atau suatu bencana. ↩︎

  44. Spk menuliskan pāda a-c: “Kemalangan ini adalah permasalahan kecil, yaitu, kehilangan harta pada permainan dadu bersama dengan semua kepemilikannya juga, termasuk dirinya.” Spk mengemas sugatesu, “yang beruntung,” dalam pāda e sebagai sammaggatesu puggalesu, “orang-orang yang telah mencapai dengan benar”; dengan demikian istilah tersebut di sini merujuk lebih luas kepada semua Arahant, bukan hanya Sang Buddha. Syair ini juga terdapat pada Uv 8:4, tidak termasuk pāda c (yang mana Norman menganggap sebagai penambahan belakangan), dan pada P-Dhp 301, yang termasuk pāda c tetapi dengan saddhammam pi menggantikan tempat sabbassā pi dari SN. Untuk teori sehubungan dengan sejarah evolusi dari syair ini, baca GD, p.268, n. atas 659. ↩︎

  45. Hubungan dari sosok-sosok di sini akan dijelaskan dalam n.409↩︎

  46. Sutta ini juga terdapat pada Sn III, 10 (pp. 123-31), dengan nama Kokāliya. Bagian prosa identik, tetapi Sn 661-78 memberikan penjelasan terperinci atas siksaan neraka yang tidak termasuk di sini. AN V 170-74 menggabungkan 6:9 dan 6:10. Latar belakang dendam Kokālika terhadap kedua siswa utama diceritakan dalam prolog atas Ja No. 480; baca juga Dhp-a IV 90-93; BL 3:247-49. ↩︎

  47. Spk: Neraka Paduma bukanlah alam neraka terpisah tetapi berupa suatu tempat tertentu di dalam neraka besar Avīci di mana lamanya siksaan dihitung berdasarkan unit paduma. Hal yang sama berlaku untuk neraka Abbuda, dan sebagainya yang disebutkan di bawah. ↩︎

  48. Spk menjelaskan skala pengukuran waktu ini sebagai berikut: satu koṭi = sepuluh juta tahun; satu koṭi koṭi= satu pakoṭi; satu koṭi pakoṭi = satu koṭipakoṭi; satu koṭi koṭipakoṭi = satu nahuta; satu koṭi nahuta = satu ninnahuta; satu koṭi ninnahuta = satu abbuda; dua puluh abbuda = satu nirabbuda. ↩︎

  49. Spk: Ketika masih muda Pañcasikha mengembangkan jhāna dan terlahir kembali di alam brahmā. Karena ia mempertahankan penampilan seorang pemuda mereka mengenalnya sebagai Kumara, tetapi karena usianya yang sudah tua ia disebut Sanaṅkumāra, “Selalu Muda”. Ia melakukan penampilan dramatis dalam DN II 210-19, pada MN I 358,28-29 Ānanda mengucapkan syair setelah ia memberikan analisa terperinci atas dua istilah, pengetahuan (vijja) dan perilaku (caraṇa). ↩︎

  50. Spk mengatakan bahwa ini terjadi tidak lama setelah Devadatta menciptakan perpecahan dan pergi dari Hutan Bambu menuju Kepala Gayā; baca Vin II 199. Akan tetapi, dalam versi Vin, Sang Buddha mengucapkan syair ini, bukan setelah Devadatta menciptakan perpecahan, tetapi ketika ia menguasai si pembunuh ayah, Raja Ajātasattu; baca Vin II 188. ↩︎

  51. Perumpamaan ini dijelaskan pada 17:35, diikuti oleh syair yang sama. Cp. v.383↩︎

  52. Dalam pāda b, -vippamokhā dapat dipahami sebagai bentuk datif yang terpotong (Spk = -vippamokkhatthāya). ↩︎

  53. Spk: Walaupun seseorang bergabung dengan Saṅgha, ia seharusnya tidak berdiam di sana bergaul dengan umat-umat penyokongnya. Setelah membuat pikirannya terlatih, setelah meliputinya dengan kegembiraan dan kepuasan, ia seharusnya bertempat tinggal di tempat yang terpencil. Pāda d dijelaskan: “Terbebas dari ketakutan saṃsāra, seseorang harus berdiam dalam kebebasan (vimutto) – yaitu, teguh pada (adhimutto hutvā) – keadaan tanpa ketakutan, Nibbāna.” ↩︎

  54. Spk: Dengan ini ia menjelaskan: “Bhagavā, seperti halnya Engkau saat ini duduk tanpa memperhatikan objek-objek menakutkan di sana, atau ular-ular, atau kilat dan halilintar, demikian pula para bhikkhu duduk ketika mereka berusaha.” ↩︎

  55. Spk menjelaskan itihitaṃ dalam pāda b seolah-olah itu dipertimbangkan atau secara logika atau disimpulkan dari naskah kitab (idaṃ itiha itihā tin a takkahetu vā nayahetu vā piṭakasampadānena vā ahaṃ vadāmi). Akan tetapi, penggunaan idiom di tempat lain, menunjukkan bahwa ini secara khusus berhubungan dengan tradisi oral, misalnya, pada MN I 520,4: so anussavena itihītihaparamparāya piṭakasampadāya dhammaṃ deseti; “ia mengajarkan doktrin dengan tradisi oral, dengan transmisi kabar angin, dengan apa yang diturunkan dalam kitab-kitab.” Baca juga MN II 169,12.

    Dalam pāda d, seribu telah meninggalkan Kematian (sahassaṃ maccuhāniyaṃ) adalah para Arahant. ↩︎

  56. Saya menerjemahkan angka-angka dalam v.602 dengan bantuan Spk, bahkan walaupun hal ini mengarah kepada kesimpulan yang kurang meyakinkan bahwa jumlah Pemasuk-Arus tidak jauh lebih banyak daripada jumlah Arahant (cp. 55:5, V 406,11-30). Saya bersama dengan Be, Se dan Ee2 membaca pāda b sebagai dasā ca dasadhā dasa bukannya dasā ca dasadhā sataṃ dalam Ee1. Walaupun yang ke dua memberikan angka yang sepuluh kali lebih besar, tetapi tidak sesuai dengan komentar, yang mengemas dasadhā dasā ti sataṃ. Tidak jelas bagi saya apakah “lima ratus lebih pelajar” (bhiyo pañcasatā sekkha) berarti bahwa terdapat seribu lima ratus pelajar antara tingkat Arahant dan tingkat Memasuki-Arus ditambah seribu Pemasuk-Arus tambahan, atau seribu lima ratus pelajar yang adalah para Pemasuk-Arus. V.603 juga terdapat dalam DN II 218,6-9, diucapkan oleh Brahmā Sanaṅkumāra setelah ia mengatakan bahwa dua juta empat ratus ribu (bukan dua ribu empat ratus, seperti disebutkan oleh Walshe pada LDP, p.299) para pengikut dari Magadha telah meninggal dunia sebagai Pemasuk-Arus dan Yang-kembali-sekali. Menurut Spk-pṭ, “Orang-orang lain yang juga melakukan kebajikan” (itarā pajā puññabhāgā) adalah mereka yang telah melakukan kebajikan yang ditujukan untuk mengakhiri lingkaran (tetapi, yang diduga, belum mencapai tingkat jalan atau buah apa pun). ↩︎

  57. Sikhī adalah Buddha ke lima masa lampau dihitung mundur dari Buddha Gotama. Beliau muncul tiga puluh satu kappa lalu (Baca DN II 2,14-16). ↩︎

  58. Untuk penjelasan terperinci atas kekuatan transformasi Abhibhū (vikubbanā-iddhi) baca Paṭis II 210,14-30. ↩︎

  59. Peristiwa ini dirujuk di tempat lain oleh Ānanda, dan sebagai jawaban Sang Buddha menggambarkan struktur alam semesta (AN I 227-28). Di sana Sang Buddha mengakui bahwa Ia sendiri mampu membuat suaraNya terdengar hingga tiga ribu kali seribu alam semesta.

    Spk: Sang Bhikkhu pertama-tama bertanya kepada diriNya sendiri Dhamma apakah yang disukai dan menyenangkan bagi setiap orang, dan kemudian Ia menyadari bahwa semua deva dan manusia memuji usaha. Demikianlah Ia mengajarkan khotbah yang berhubungan dengan usaha (viriya-paṭisaṃyutta). Kedua syair berasal dari Abhibhūta Thera pada Th 256-57; mungkin kemiripan nama diakibatkan oleh kerusakan dalam penyampaian lisan. Baca terjemahan Horner atas Mil, Milinda’s Question, 2:51, n. 5, untuk asal-usul dari syair pertama dalam literatur Buddhis Pāli dan Skt. ↩︎

  60. Sutta ini bersesuaian dengan sebagian dari Mahāparinibbāna Sutta yang menyajikan proses sesungguhnya ketika Sang Buddha meninggal dunia (DN II 156, 1 – 157,19). Terlihat beberapa perbedaan antara keduanya. Penghilangan bagian pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan, tercatat oleh C.Rh.D, sepertinya khas Ee1; kalimat ini terdapat pada Be, Se dan Ee2 serta pada lema dalam Spk. Akan tetapi, seluruh empat edisi, menghilangkan penegasan Ānanda bahwa Sang Bhagavā (selagi diam dalam lenyapnya) telah mencapai Parinibbāna dan koreksi oleh Anuruddha. Versi SN juga menghilangkan bagian gempa bumi dan halilintar, yang disebutkan pada DN II 156, 35-37. ↩︎

  61. Spk: Di sini ada dua jenis “segera setelah” (samanantarā): segera setelah jhāna dan segera setelah peninjauan. Dalam kasus pertama seseorang keluar dari jhāna ke empat, turun ke bhavaṅga, dan mencapai parinibbāna. Dalam kasus ke dua, seseorang keluar dari jhāna ke empat, kembali meninjau faktor-faktor jhāna, kemudian turun ke bhavaṅga, dan mencapai parinibbāna. Dalam kasus Sang Bhagavā, parinibbāna terjadi dalam cara ke dua. Tetapi makhluk-makhluk apa pun juga, dari para Buddha hingga semut dan rayap, meninggal dunia dengan kesadaran bhavaṅga yang tidak dapat ditentukan secara kamma. ↩︎

  62. Mengenai Brahmā Sahampati, baca n.367. Kekuatan (bala) adalah sepuluh kekuatan Tathāgata, dijelaskan dalam MN I 69-71. ↩︎

  63. Dalam v.21 kita membaca syair yang sama dengan tulisan sabbasaṅkhārā menggantikan vata saṅkhārā dalam pāda a. Baca n.20↩︎

  64. Dalam versi DN syair-sair Anuruddha mendahului sair-syair Ānanda. ↩︎

  65. VĀT mengomentari: tidak adanya nafas masuk dan keluar (dalam pāda a) merujuk pada kondisi jhāna ke empat, di mana nafas lenyap, yang dari sana Sang Buddha meninggal dunia. Ini bukan pelenyapan nafas biasa seperti yang terjadi pada siapa pun saat meninggal dunia. Syair ini menyebutkan sesuatu yang menakjubkan : bahwa sebelum ‘meninggal dunia’, sudah tidak ada nafas.” Mengenai “Yang Stabil” (tādi), baca di bawah n.435. Mengenai lenyapnya nafas dalam jhāna ke empat, baca 36:11 (IV 217,8-9).

    Spk: Condong pada kedamaian (santiṃ ārabbha): Condong pada, bergantung pada, bersandar ke arah Nibbāna tanpa sisa. Yang Memiliki Penglihatan – Beliau yang memiliki lima mata – mencapai Nibbāna akhir melalui pemadaman sepenuhnya kelompok-kelompok unsur kehidupan (khandhaparinibbāna). Mengenai lima mata, baca n.370; mengenai dua jenis parinibbāna, baca Pendahuluan Umum, p.50.

    Pada DN II 157, 13, pāda ini tertulis: yaṃ kālam akarī muni; “ketika Sang Bijaksana meninggal dunia.” ↩︎

  66. Pāda cd tertulis: Pajjotasseva nibbānaṃ/Vimokkho cetaso ahā. Kata nibbāna digunakan di sini dalam makna literal tetapi dengan penekanan doktrin yang sesuai dengan konteksnya. Spk: PembebasanNya, tidak terhalangi oleh apa pun, ia mendekati kondisi yang sama sekali tidak tergambarkan (sabbaso apaññatti bhāvūpagamo), mirip dengan memadamkan pelita. Syair-syair Anuruddha mengenai Parinibbāna Sang Buddha dalam Th termasuk syair tambahan ini, Th 907. ↩︎