easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada suatu pagi, Bhikkhunī Āḷavikā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan.1 Ketika ia telah pergi menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali lagi, setelah makan ia pergi ke Hutan Orang-orang Buta untuk mencari keheningan.2

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Āḷavikā, ingin membuatnya jatuh dari keheningan, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Tidak ada jalan membebaskan diri di dunia ini, Jadi apa yang akan engkau lakukan dengan keheningan? Nikmatilah kegembiraan kenikmatan indria: Jangan menyesal kelak!”

Kemudian Bhikkhunī Āḷavikā berpikir: “Siapakah yang melantunkan syair itu – seorang manusia ataukah bukan manusia?” Kemudian <282> ia berpikir: “Ini adalah Māra si Jahat, yang telah melantunkan syair ini dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari keheningan.”

Kemudian Bhikkhunī Āḷavikā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Ada jalan membebaskan diri di dunia ini Yang aku sendiri nyaris menyentuhnya dengan kebijaksanaan. O Yang Jahat, kerabat kelengahan, Engkau tidak mengetahui kondisi itu.3

“Kenikmatan indria adalah seperti pedang dan tombak; Kelompok-kelompok unsur kehidupan seperti bantalan pemotong. Apa yang engkau sebut kegembiraan indria Bagiku telah menjadi ketidak-gembiraan.”4 [129]

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Āḷavikā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana. <283>

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Somā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan.5 Ketika ia telah pergi menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali lagi, setelah makan ia pergi ke Hutan Orang-orang Buta untuk melewatkan siang itu. Setelah memasuki Hutan Orang-orang Buta, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Somā, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Kondisi itu sungguh sulit dicapai Yang harus dicapai oleh para bijaksana, Tidak mungkin dicapai oleh seorang perempuan Dengan kebijaksanaan dua-jari.”6

Kemudian Bhikkhunī Somā berpikir: “Siapakah yang melantunkan syair itu – seorang manusia ataukah bukan manusia?” Kemudian ia berpikir: “Ini adalah Māra si Jahat, yang telah melantunkan syair ini dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.”

Kemudian Bhikkhunī Somā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut: <284>

“Apakah persoalannya bagi keperempuanan Ketika pikiran terkonsentrasi dengan baik, Ketika pengetahuan mengalir terus-menerus Ketika seseorang melihat Dhamma dengan benar.7

“Seorang yang berpikir, ‘Aku adalah seorang perempuan’ atau ‘Aku adalah seorang laki-laki’ Atau ‘Aku adalah apa saja’ – Adalah layak bagi Māra untuk berbicara dengannya.”8

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Somā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Kisāgotamī merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan.9 Ketika ia telah pergi menerima dana makanan di Sāvatthī dan telah kembali lagi, setelah makan ia pergi ke Hutan Orang-orang Buta untuk melewatkan siang itu. Setelah memasuki Hutan Orang-orang Buta, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang. <285>

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Kisāgotamī, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Mengapa sekarang, ketika putramu telah meninggal dunia, Engkau duduk sendirian dengan wajah basah oleh air mata? Setelah memasuki hutan sendirian, Apakah engkau mencari seorang laki-laki?”

Kemudian Bhikkhunī Kisāgotamī berpikir: “Siapakah yang melantunkan syair itu – seorang manusia ataukah bukan manusia?” Kemudian ia berpikir: “Ini adalah Māra si Jahat, yang telah melantunkan syair ini dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.”

Kemudian Bhikkhunī Kisāgotamī, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Aku telah melewati kematian putraku; Dengan ini, pencarian laki-laki telah berakhir. Aku tidak bersedih, aku tidak menangis, Juga tidak takut padamu, sahabat.10

“Kegembiraan di mana pun telah dihancurkan, Gumpalan kegelapan telah dibuyarkan. <286> Setelah menaklukkan bala tentara Kematian, Aku berdiam tanpa noda yang mengotori.”11

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Kisāgotamī mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

Di Sāvatthi. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Vijayā merapikan jubah … ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.12

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Vijayā, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair: [131]

“Engkau begitu muda dan cantik, Dan aku juga muda dalam tahap utama kehidupan. Marilah, nyonya mulia, mari kita bergembira Dengan musik dari lima alat musik.”13

Kemudian Bhikkhunī Vijayā berpikir: “Siapakah …? Ini adalah Māra si Jahat … dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.” <287>

Kemudian Bhikkhunī Vijayā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Bentuk-bentuk, suara-suara, rasa-rasa kecapan, bau-bauan, Dan objek-objek sentuhan yang menyenangkan – Aku kembalikan padamu, Karena aku, O Māra, tidak membutuhkannya.

“Aku jijik dan malu Oleh tubuh yang kotor, menjijikkan ini, Yang pasti mengalami kehancuran, mudah rusak: Aku telah mencabut ketagihan indriawi.14

“Sedangkan bagi mereka yang mengembara di tengah-tengah bentuk, Dan mereka yang berdiam dalam tanpa-bentuk, Dan mereka yang mencapai kedamaian juga: Di mana-mana kegelapan telah dihancurkan.”15

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Vijayā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

<288> Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Uppalavaṇṇā merapikan jubah … ia berdiri di bawah sebatang pohon sal yang sedang berbunga lebat.16

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Uppalavaṇṇā, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Setelah pergi ke pohon sal yang sedang berbunga lebat, Engkau berdiri di bawahnya sendirian, Bhikkhunī. Tidak ada orang yang kecantikannya dapat menyaingimu: Gadis dungu, tidakkah engkau takut pada penjahat?”17

Kemudian Bhikkhunī Uppalavvaṇṇā berpikir: [132] “Siapakah …? Ini adalah Māra si Jahat … berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.” <289>

Kemudian Bhikkhunī Uppalavaṇṇā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Walaupun seratus ribu penjahat Sepertimu datang ke sini, Tidak sehelai rambutku pun tergetar, aku tidak merasa takut; Bahkan sendirian, Māra, aku tidak takut padamu.18

“Aku dapat membuat diriku menghilang Atau aku dapat masuk ke dalam perutmu. Aku dapat berdiri di antara alis matamu Namun engkau tidak dapat menangkap bayanganku.

“Aku adalah majikan dari pikiranku, Landasan-landasan kekuatan batin telah terkembang dengan baik; Aku terbebas dari segala belenggu, Oleh karena itu aku tidak takut padamu, sahabat.”19 <290>

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Uppalavaṇṇā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Cālā merapikan jubah … ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.20

Kemudian Māra si Jahat mendekati Bhikkhunī Cālā dan berkata kepadanya: “Apakah yang tidak engkau setujui, bhikkhunī?”

“Aku tidak menyetujui kelahiran, sahabat.”

“Mengapa engkau tidak menyetujui kelahiran? Begitu terlahir, seseorang menikmati kenikmatan indria. Siapakah yang mengajari engkau tentang ini: ‘Bhikkhunī, jangan menyetujui kelahiran’?”

[Bhikkhunī Cālā:]

“Bagi seseorang yang terlahir maka ada kematian; Begitu terlahir, seseorang menjumpai penderitaan – Belenggu, pembunuhan, kesusahan – Karenanya seseorang seharusnya tidak menyetujui kelahiran.21

“Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma, <291> Yang melampaui kelahiran; Untuk melepaskan segala penderitaan Beliau telah mengukuhkan aku dalam kebenaran. [133]

“Sedangkan bagi mereka yang mengembara di tengah-tengah bentuk, Dan mereka yang berdiam dalam tanpa-bentuk - Belum memahami pemadaman, Mereka terlahir kembali dalam penjelmaan baru.”22

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhuni Cālā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Upacālā merapikan jubah … ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.

Kemudian Māra si Jahat mendekati Bhikkhunī Upacālā dan berkata kepadanya: “Di manakah engkau ingin terlahir kembali, bhikkhunī?”

“Aku tidak ingin terlahir kembali di mana pun, sahabat.”

“Ada para deva Tāvatiṃsa dan Yāma, Dan para devatā di alam Tusita, Para deva yang bergembira dalam penciptaan, <292> Dan para deva yang mengendalikan. Arahkan pikiranmu ke sana [ke alam-alam itu] Dan engkau akan mengalami kegembiraan.”23

[Bhikkhunī Upacālā:]

“Ada para deva Tāvatiṃsa dan Yāma, Dan para devatā di alam Tusita, Para deva yang bergembira dalam penciptaan, Dan para deva yang mengendalikan. Mereka masih terikat oleh belenggu indria, Mereka kembali lagi di bawah kuasa Māra.

“Semua alam berapi, Semua alam terbakar, Semua alam menyala, Semua alam berguncang.

“Yang tidak berguncang atau menyala, Yang tidak disukai oleh kaum duniawi, Di mana tidak ada tempat bagi Māra: Di sanalah pikiranku bergembira.”24

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Upacālā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

<293> Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Sisupacālā merapikan jubah … ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.

Kemudian Māra si Jahat mendekati Bhikkhunī Sisupacālā dan berkata kepadanya: “Kepercayaan siapakah yang engkau setujui, bhikkhuni?”

“Aku tidak menyetujui kepercayaan siapa pun, sahabat.”

“Di bawah siapakah engkau mencukur rambutmu? Engkau terlihat seperti seorang petapa, Namun engkau tidak menyetujui kepercayaan apa pun, Mengapa mengembara seolah-olah kebingungan?”25

[Bhikkhuni Sisupacālā:]

“Di luar dari sini para pengikut kepercayaan-kepercayaan Menempatkan keyakinan mereka dalam pandangan-pandangan. Aku tidak menyetujui ajaran mereka; Mereka tidak terampil dalam Dhamma. [134]

“Tetapi ada seorang yang terlahir dari suku Sakya, Yang Tercerahkan, tanpa tandingan, <294> Penakluk segalanya, penakluk Māra, Yang tidak terkalahkan di mana pun, Terbebaskan dan tidak melekat di mana pun, Seorang dengan penglihatan yang melihat segalanya.

“Mencapai akhir segala kamma, Terbebaskan dalam padamnya perolehan, Sang Bhagavā itu adalah Guruku: AjaranNya adalah ajaran yang kusetujui.”26

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Sisupacālā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Selā merapikan jubah … ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.27

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Selā, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Oleh siapakah boneka ini dibuat? Di manakah pembuat boneka ini? Di manakah boneka itu muncul? Di manakah boneka itu lenyap?”28 <295>

Kemudian Bhikkhunī Selā berpikir: “Siapakah …? Ini adalah Māra si Jahat … dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.”

Kemudian Bhikkhunī Selā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Boneka ini tidak terbuat dengan sendirinya, Kesengsaraan ini juga bukan dibuat oleh orang lain. Ia muncul bergantung pada suatu penyebab; Dengan hancurnya penyebab maka ia lenyap.

“Ketika suatu benih disemai di suatu ladang Ia tumbuh bergantung pada sepasang faktor: Ia memerlukan nutrisi tanah Dan persediaan kelembaban yang mencukupi:

“Demikian pula dengan kelompok-kelompok unsur kehidupan dan unsur-unsur, Dan enam landasan kontak ini, Muncul dengan bergantung pada suatu penyebab; Dengan hancurnya penyebab itu maka ia lenyap.”29

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Selā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.

<296> Di Sāvatthī. Pada suatu pagi, Bhikkhunī Vajirā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan.30 Ketika ia telah pergi menerima dana makanan di Sāvatthī [135] dan telah kembali lagi, setelah makan ia pergi ke Hutan Orang-orang Buta untuk melewatkan siang itu. Setelah memasuki Hutan Orang-orang Buta, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan siang.

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Bhikkhunī Vajirā, ingin membuatnya jatuh dari konsentrasi, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Oleh siapakah makhluk ini diciptakan? Di manakah pencipta makhluk ini? Di manakah makhluk ini muncul? Di manakah makhluk ini lenyap?”

Kemudian Bhikkhunī Vajirā berpikir: “Siapakah yang melantunkan syair itu – seorang manusia ataukah bukan manusia?” Kemudian ia berpikir: “Ini adalah Māra si Jahat, yang telah melantunkan syair ini dengan niat untuk menakuti, menimbulkan kegentaran, menerorku, berniat menjatuhkanku dari konsentrasi.”

Kemudian Bhikkhunī Vajirā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si jahat,” menjawab dalam syair-syair berikut:

“Mengapa sekarang engkau menganggap ada ‘makhluk’? Māra, apakah itu adalah pandangan spekulatifmu? <297> Ini bukan lain hanyalah timbunan bentukan-bentukan: Tidak ada makhluk di sini.

“Bagaikan, dengan merangkai bagian demi bagian, Kata ‘kereta’ digunakan, Demikian pula, ketika kelompok-kelompok unsur kehidupan muncul, Ada konvensi ‘makhluk’.

“Itu hanyalah penderitaan yang menjelma, Penderitaan yang berlangsung dan lenyap. Bukan lain hanyalah penderitaan yang muncul, Bukan lain hanyalah penderitaan yang lenyap.”31

Kemudian Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhunī Vajirā mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, lenyap dari sana.


Catatan Kaki
  1. Thī tidak menganggap bahwa ada syair-syair yang berasal dari seorang bhikkhunī bernama Āḷavikā, tetapi dua di antara syair-syair dalam sutta ini ditemukan di antara syair-syair Selā: v.519 = Thī 57 dan v.521 = Thī 58. Thī-a 60 mengonfirmasi identitas kedua bhikkhunī, menjelaskan bahwa Selā dipanggil Āḷavikā karena ia adalah putri Raja Āḷavaka. Ia mendengar khotbah Sang Buddha dan menjadi umat awam. Kemudian ia ditahbiskan menjadi bhikkhunī dan mencapai Kearahattaan. Baca Pruitt, Commentary on the Verses of Therī, pp. 83-87. ↩︎

  2. Spk menjelaskan asal-mula nama ini: Setelah Buddha Kassapa parinibbāna, seorang siswa awam bernama Yasodhara, ketika membawa uang untuk membangun cetiya untuk relik-relik, disergap dan matanya dibutakan oleh sekelompok pencuri. Karena Yasodhara adalah seorang siswa mulia, para pencuri itu seketika kehilangan penglihatan mereka sebagai akibat langsung dari kamma tersebut. Mereka terus menetap di sana dan demikianlah tempat itu menjadi dikenal sebagai Hutan Orang-orang Buta. Para bhikkhu dan bhikkhunī pergi kesana untuk bermeditasi. Terletak sekitar tiga kilometer sebelah selatan Sāvatthī dan dijaga oleh para pengawal kerajaan. ↩︎

  3. Anehnya, syair ini, jawaban yang sesuai atas ejekan Māra, tidak terdapat dalam Thī. Spk: Jalan membebaskan diri (nissaraṇa) adalah Nibbāna. Dengan kebijaksanaan (paññā): dengan pengetahuan peninjauan. Spk-pṭ: niatnya adalah: “Kalau demikian, berapa banyak lagikah, dengan pengetahuan jalan dan buah?” ↩︎

  4. Dalam pāda b, khandhāsaṃ harus dipecah menjadi khandhā esaṃ. Spk mengemas khandhā tesaṃ. Baca di atas n.209 dan EV II, n. atas 58. ↩︎

  5. Thī-a 64 mengidentifikasikannya sebagai putri brahmana kerajaan Raja Bimbisāra. Dua syair di sini = Thī 60-61, juga diduga berasal dari Somā, tetapi syair ke tiga berbeda dengan yang terdapat dalam dua sumber. Untuk latar belakangnya, baca Commentary on the Verses, pp.87-90. ↩︎

  6. Spk: Kondisi itu (ṭhāna): Kearahattaan. Dengan kebijaksanaan dua-jari (dvaṅgulapaññāya): dengan kebijaksanaan terbatas (parittapaññāya); atau dengan kata lain ini dikatakan sehubungan dengan perempuan karena mereka memotong benang sambil memegang gulungan kapas di antara dua jari. Spk-pṭ dan Thī-a 65 memberikan penjelasan berbeda: “Sejak berusia tujuh tahun mereka selalu memastikan nasi yang dimasak dengan cara mengambil beras dari dalam panci dan menekannya dengan kedua jari. Oleh karena itu mereka dikatakan memiliki “kebijaksanaan dua jari.” Harus diperhatikan bahwa adalah Māra yang mengucapkan bias kuno itu. Baca juga Mvu III 391,19, di mana kita menemukan dvaṅgulaprajñāye-strīmātrāye. ↩︎

  7. Spk: Ketika pengetahuan mengalir terus-menerus (ñāṇamhi vattamānamhi): selagi pengetahuan pencapaian buah muncul (phalasamāpattiñāṇe pavattamāne). Ketika seseorang melihat Dhamma dengan benar (sammā dhammaṃ vipassato): melihat Dhamma Empat Kebenaran, atau lima kelompok unsur kehidupan yang membentuk objek pandangan cerah dalam tahap persiapan praktik.

    Spk-pṭ: Dengan menyebutkan munculnya pengetahuan pencapaian buah, komentator menunjukkan bahwa ia telah berdiam dalam keadaan tanpa-delusi sehubungan dengan Empat Kebenaran (catūsu saccesu asammohavihāro). Melihat ke dalam (vipassantassa; atau “melihat dengan pandangan cerah”); bagi seorang yang melihat dengan jelas melalui penembusan ketanpa-delusian; bagi seorang yang melihat ke dalam kelompok-kelompok unsur kehidupan dalam tahap persiapan (dari latihan) sebelum melanjutkan menuju kebenaran-kebenaran (asammohapaṭivedhato visesena passantassa khandhapañcakam eva saccābhisamayato pubbabhāge vipassantassa).

    Spk menjelaskan dalam hal pengetahuan pencapaian buah karena Somā, yang telah mencapai kesucian Arahant, pasti sedang berdiam dalam konsentrasi buah. Dalam menjelaskan vipasaantassa, Spk-pṭ, dalam klausa pertama, menghubungkan kata ini dengan penembusan Empat Kebenaran Mulia dalam situasi jalan lokuttara; ke dua, Spk-pṭ menganggap kata ini menunjukkan vipassana dalam makna teknis tugas persiapan meditasi pandangan terang yang mengarah menuju jalan dan buahnya. ↩︎

  8. Spk mengatakan seseorang yang memelihara pikiran-pikiran demikian sehubungan dengan ketagihan, keangkuhan, dan pandangan-pandangan. Dalam pāda c, saya bersama dengan Ee1 & 2 membaca asmī ti, bukannya aññasmiṃ seperti dalam Be dan Se. Anehnya, walaupun ini memberikan pukulan kepada Māra, namun syair ini tidak terdapat pada Thī. ↩︎

  9. Spk merangkum kisah terkenal tentang pencariannya atas biji moster untuk menghidupkan kembali anaknya, diceritakan dengan lengkap pada Dhp-a II 270-75; baca BL 2:257-60 dan Commentary on the Verses, pp. 222-24. Syair-syairnya pada Thī 213-23 tidak bersesuaian dengan syair-syair di sini. ↩︎

  10. Pāda ab tertulis: Accantaṃ mataputtāmhi/Purisā etadantikā. Sebuah permainan kata yang sepertinya dimaksudkan antara dua pengertian sebagai “melewati kematian putraku.” Saya menerjemahkannya sesuai dengan kalimat dalam Spk: “Aku telah ‘melewati kematian putraku’ sebagai seorang yang kematian putranya telah berlalu dan selesai. Sekarang aku tidak akan pernah lagi menjalani kematian putraku … Akhir dari kematian putraku adalah akhir dari laki-laki. Sekarang adalah tidak mungkin aku mencari seorang laki-laki.” Etadantika juga muncul pada Thī 138b. ↩︎

  11. Bait pertama adalah lazim dalam Thī, terdapat pada vv.59,142,195,203,235, dan sebagainya. Spk menjelaskan: “Kegembiraan ketagihan telah dihancurkan bagiku sehubungan dengan semua kelompok unsur kehidupan, landasan-landasan indria, unsur-unsur, jenis-jenis kehidupan, modus asal-mula, alam kelahiran kembali, lingkungan, dan alam. Kumpulan kebodohan telah dihancurkan dengan pengetahuanku.” ↩︎

  12. Thī-a 156 mengatakan bahwa dalam kehidupan awam ia adalah teman dari Khemā, permaisuri Raja Bimbisāra. Ketika ia mendengar bahwa Khemā telah meninggalkan keduniawian di bawah Sang Buddha, ia mengunjunginya dan menjadi sangat terinspirasi oleh perbincangan mereka sehingga ia juga memohon penahbisan. Khemā menjadi penahbisnya, baca Commentary on the Verses, pp. 204-6. Syairnya terdapat pada Thī 169-74. Sementara syair-syair di sini tidak ada di antaranya, namun yang menarik vv.528 dan 530 (dengan perbedaan kecil) terdapat di antara syair-syair Khemā, Thī 139 dan 140. ↩︎

  13. Spk mencantumkan lima alat musik: ātata, vitata, ātaatavitata, susira, ghana. Spk-pṭ menjelaskan ātata sebagai suatu alat musik dengan satu permukaan tertutup kulit, seperti tambur (kumbha); vitata, suatu alat musik dengan dua permukaan ditutup kulit, seperti bheri dan tambur mudiṅga; ātatavitata, suatu alat musik dengan bagian kepala ditutup kulit dan diikat dengan senar, seperti lute (viṇā); susira, alat musik tiup, termasuk suling, kulit kerang, dan trompet; dan ghana adalah kelompok alat musik perkusi (tidak termasuk tambur), seperti simbal, tamburin, dan gong. ↩︎

  14. Walaupun tiga edisi membaca pāda c bhindanena, Ee2 dan SS membaca bhindarena, yang mungkin menunjuk pada suatu tulisan bersejarah bhidurena. Padanan dalam Thī, v.140, membaca āturena, namun Thī 35a berisikan frasa bhiduro kāyo. Bhindana dan bhidura, keduanya dikemas secara identik dalam komentarnya masing-masing sebagai bhijjanasabhāva, “mengalami kehancuran.” ↩︎

  15. Spk: Pāda a merujuk pada alam berbentuk, pāda b merujuk pada alam tanpa bentuk, dan pāda c merujuk pada delapan pencapaian meditasi duniawi. Dengan menyebutkan dua alam yang lebih tinggi, alam indriawi juga termasuk. Karena itu ia mengatakan, “Di mana-mana kegelapan ketidaktahuan telah dihancurkan.” ↩︎

  16. Dia adalah bhikkhunī yang paling unggul dalam hal kekuatan batin (iddhi), yang ia akui dalam vv.534-35. Syair-syairnya pada Thī 224-35. vv.532-35 bersesuaian dengan Thī 230-33, namun dengan beberapa perbedaan signifikan. Thī 234 identik dengan v.521 di sini yang diduga berasal dari Āḷavikā. ↩︎

  17. Pāda c: Na c’ atthi te dutiyā vaṇṇadhātu. Saya menerjemahkan secara bebas sesuai dengan kemasan Spk: “Tidak ada unsur kecantikan ke dua seperti unsur kecantikanmu; tidak ada bhikkhunī lain yang menyerupai engkau.” Permainan kata pada nama bhikkhunī mungkin disengaja. Se dan Ee1 & 2 mencantumkan sebuah pāda tambahan antara pāda c dan d, idh’ āgatā tādisikā bhaveyyuṃ, yang tidak terdapat dalam Be dan Thī 230. Bagi saya, ini sepertinya adalah kesalahan penulisan, karena identik dengan pāda b dari syair berikutnya. ↩︎

  18. Spk menjelaskan pāda ab seolah-olah bermakna: “Walaupun seratus ribu penjahat datang ke sini, mereka akan diperlakukan sepertimu dalam hal mereka tidak akan mendapatkan keramahan dan kasih sayang.” Akan tetapi, saya menerjemahkan, sesuai dengan makna yang jelas, yang juga memperoleh dukungan dari kemasan Thī-a pada Thī 231. ↩︎

  19. Iddhipādā, “landasan kekuatan batin,” adalah kondisi pendukung untuk mempraktikkan iddhi atau kekuatan gaib yang dijelaskan pada syair sebelumnya. Baca 51:11↩︎

  20. Cālā, Upacālā, dan Sīupacālā – yang syair-syairnya muncul dalam 5:6-8 berturut-turut – adalah adik-adik perempuan dari Sāriputta, dalam urutan umur menurun. Sair-syair mereka terdapat pada Thī 182-88, 189-95, 196-203. Akan tetapi, bukan hanya kesesuaian antara dua koleksi tersebut, namun juga penulis sumbernya juga berbeda. Syair Cālā v.537 bersesuaian dengan Thī 191, dan v.538 secara samar-samar bersesuaian dengan Thī 192, yang keduanya diduga bersumber dari Upacālā. Syair Upacālā vv.540-43 bersesuaian dengan Thī 197, 198, 200 dan 201, di sana diduga bersumber dari Sīsupacālā. Dan syair Sīsupacālā vv.544-46 bersesuaian dengan Thī 183-85, namun diduga berasal dari Cālā. ↩︎

  21. Dalam pāda b saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca phussati dengan, dan bukannya seperti Ee1 passati ↩︎

  22. Pada pāda ab, baca n.345↩︎

  23. Syair ini menyinggung lima dari enam alam surga indria. Hanya alam terendah, alam Empat Raja Deva, yang tidak disebutkan. ↩︎

  24. Dalam pāda a, saya bersama dengan Se membaca ajalitaṃ. Be apajjalitaṃ, walaupun dengan penambahan suku kata, memberikan makna yang sama. Ee1 & 2 acalitaṃ, jelas diturunkan dari SS, yang berarti “tidak tergoyahkan.” ↩︎

  25. Pāsaṇḍa, dalam pāda c, merujuk pada sistem “pandangan salah” di luar Ajaran Buddha. Saya menerjemahkannya, secara tidak memadai, sebagai “kepercayaan.” Spk menjelaskan penurunan kata secara “etimologi rakyat”: “Mereka disebut pāsaṇḍa karena mereka menebar jala (Be: pāsaṃ ḍenti; Se: pāsaṃ oḍḍenti); maksudnya adalah bahwa mereka melempar jalan pandangan ke pikiran makhluk-makhluk. Tetapi Ajaran Buddha membebaskan seseorang dari jala tersebut, maka tidak disebut pāsaṇḍa; pāsaṇḍa hanya terdapat di luar ajaran.” MW mendefinisikan pāsaṇḍa sebagai “suatu pandangan salah … siapa saja yang secara keliru menerima karakteristik ortodoks Hindu, seorang Jaina, seorang Buddhis, dan lain-lain; ajaran keliru, takhyul.” ↩︎

  26. Spk menjelaskan vimutto upadhisaṅkhaye dalam pāda d sebagai berikut: “Ia terbebaskan ke Nibbāna, yang dikenal sebagai padamnya perolehan, sebagai objek.” Ungkapan ini juga terdapat dalam MN I 454,3-4 dan II 260,22-23. Spk-pṭ mendefinisikan “akhir dari semua kamma” (sabbakammakkhaya) sebagai Kearahattaan dan “padamnya perolehan” sebagai Nibbāna. Baca juga 4:25 dan n.324↩︎

  27. Tidak ada cara untuk memastikan apakah bhikkhunī ini adalah sama dengan Āḷavikā; baca n.331. Syair-syair ini tidak terdapat dalam Thī. ↩︎

  28. Spk: Boneka (bimba) di sini dan kesengsaraan (agha) pada v.549b, merujuk pada penjelmaan individu (attabhāva), dalam hal kesengsaraan, karena penjelmaan individu adalah landasan bagi penderitaan.

    Para filsuf pada masa Sang Buddha terbagi dalam kelompok yang mempertanyakan apakah penderitaan ditimbulkan oleh diri sendiri (attakata) atau oleh makhluk lain (parakata). Yang pertama adalah posisi eternalis, yang menganut adanya diri yang kekal yang berpindah dari kehidupan ke kehidupan memetik buah dari perbuatannya sendiri. Yang kedua adalah posisi nihilis, yang menganut bahwa makhluk musnah pada saat kematian dan tidak ada apa pun yang bertahan, karenanya seseorang mengalami penderitaan dan kebahagiaan sepenuhnya karena kondisi eksternal. Baca debat yang tercatat pada 12:17, 18, 24, 25↩︎

  29. Satu kunci untuk menginterpretasikan jawaban Selā adalah AN I 223-24, di mana dikatakan bahwa kamma adalah ladang, kesadaran adalah benih, dan keinginan adalah kelembaban, untuk memproduksi penjelmaan baru mendatang. Kemudian, penyebab (hetu), adalah kesadaran bentukan kamma yang disertai oleh ketidaktahuan dan ketagihan. Ketika ini melebur melalui pelenyapan ketidaktahuan dan ketagihan maka tidak ada lagi produksi kelompok-kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, dan landasan-landasan indria dalam kehidupan berikutnya. Perumpamaan benih dan tanaman muncul pada 22:54, yang juga membantu dalam mencerahkan syair-syair ini. ↩︎

  30. Spk tidak memberikan identifikasi personal, dan tidak ada syair-syair atas namanya muncul dalam Thī. ↩︎

  31. Perumpamaan kereta dijelaskan dalam Mil 27-28, yang mengutip syair sebelumnya. Vism 593,18-19 (Ppn 18:28) juga mengutip kedua syair ini untuk mengonfirmasi bahwa “tidak ada makhluk di luar nama-dan-bentuk.” Vv.553-54 dikutip pada Abhidh-k-bh pp.465-66, diduga berasal dari Arahant Bhikkhunī Ṥailā (=Selā); baca Enomoto, CSCS, p.42.

    Dalam v.555 penderitaan berarti ketidak-puasan yang melekat pada lima kelompok unsur kehidupan (pañcakkhandhadukkha), yang identik dengan timbunan bentukan-bentukan (suddhasaṅkhārapuñja) dalam v.553c. Baca juga 12:15 “Apa yang muncul hanyalah munculnya penderitaan; apa yang lenyap hanyalah lenyapnya penderitaan.” ↩︎