easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjara di bawah Pohon Banyan Penggembala, sesaat setelah mencapai penerangan sempurna.1 Kemudian, Ketika Sang Bhagavā sedang sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikiranNya: “Sungguh aku telah terbebas dari pertapaan keras itu! Baik sekali bahwa Aku telah terbebas dari pertapaan keras itu! Baik sekali bahwa, dengan teguh dan penuh perhatian, Aku telah mencapai pencerahan!”2

Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui melalui pikirannya sendiri apa yang direnungkan oleh Sang Bhagavā, mendatangi Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Setelah menyimpang dari praktik keras Yang dengannya manusia memurnikan diri mereka, Meskipun tidak suci, Engkau menganggap Engkau suci: <232> Engkau telah kehilangan jalan menuju kesucian.”3

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab dalam syair:

“Setelah mengetahui bahwa semua praktik keras adalah tidak berguna Yang ditujukan pada kondisi keabadian,4 Bahwa semua penebusan adalah sia-sia Bagaikan dayung dan kemudi di atas tanah kering,5

“Dengan mengembangkan jalan menuju pencerahan - Moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan – Aku telah mencapai kesucian tertinggi: Engkau terkalahkan, Pembuat-akhir!”6

Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Sang Bhagavā mengenaliku, Yang Sempurna mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, ia lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di bawah Pohon Banyan Penggembala sesaat setelah mencapai pencerahan sempurna. [104] <223> Saat itu Sang Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka dalam kegelapan malam yang ketika itu turun hujan gerimis.7

Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Sang Bhagavā, dengan berwujud raja gajah raksasa dan mendatangi Sang Bhagavā. Kepalanya seperti batu besar; gadingnya bagaikan perak murni; belalainya bagaikan alat membajak berukuran besar.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:

“Engkau berkelana melalui jalan yang panjang Menciptakan bentuk yang indah maupun menakutkan. Cukuplah, Yang Jahat, dengan tipuanmu itu: Engkau terkalahkan. Pembuat-akhir!”8

Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Sang Bhagavā mengenaliku, Yang Sempurna mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, ia lenyap dari sana.

<234> Ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka dalam kegelapan malam yang ketika itu turun hujan gerimis. Ketika itu Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Sang Bhagavā, mendekati Sang Bhagavā dan, tidak jauh dari Beliau, ia memperlihatkan berbagai bentuk cemerlang, baik yang indah maupun yang menakutkan. Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:

“Engkau berkelana melalui jalan yang panjang Menciptakan bentuk yang indah maupun menakutkan. Cukuplah, Yang Jahat, dengan tipuanmu itu: Engkau terkalahkan, Pembuat-akhir!”

“Mereka yang terkendali dengan baik Dalam jasmani, ucapan dan pikiran, Tidak jatuh dalam kuasa Māra Juga tidak menjadi pengikut Māra.”9

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana. [105]

<235> Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārānasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” 10

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan perhatian seksama, dengan usaha benar yang seksama, Aku telah sampai pada kebebasan yang tiada bandingnya, Aku telah merealisasikan kebebasan yang tiada bandingnya. Kalian juga, para bhikkhu, dengan perhatian seksama, dengan usaha benar yang seksama, pasti sampai pada kebebasan yang tiada bandingnya, pasti merealisasikan kebebasan yang tiada bandingnya.”11

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya dalam syair:12

“Engkau terikat oleh jerat Māra Baik surgawi maupun manusiawi; Engkau terikat oleh belenggu Māra: Engkau tidak dapat menghindariku, Petapa!”13

[Sang Bhagavā:]

“Aku terbebas dari jerat Māra Baik surgawi maupun manusiawi; Aku terbebas dari belenggu Māra: <236> Engkau terkalahkan, Pembuat-akhir!”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārānasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku telah terbebas dari segala jerat, baik surgawi maupun manusiawi. Kalian juga, para bhikkhu, telah terbebas dari segala jerat, baik surgawi maupun manusiawi. Mengembaralah, O para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Jangan pergi berduaan ke jalan yang sama. Ajarilah, para bhikkhu, Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata yang benar. Ungkapkanlah kehidupan suci yang lengkap dan murni sempurna. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan jatuh karena mereka tidak mendengarkan Dhamma. [106] Ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma. Aku juga, para bhikkhu, akan pergi ke Senānigama di Uruvelā untuk mengajarkan Dhamma.”14 <237>

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya dalam syair:15

“Engkau terikat oleh segala jerat Baik surgawi maupun manusiawi; Engkau terikat oleh belenggu kuat: Engkau tidak dapat menghindariku, Petapa!”

[Sang Bhagavā:]

“Aku terbebas dari segala jerat Baik surgawi maupun manusiawi; Aku terbebas dari belenggu kuat: Engkau terkalahkan, Pembuat-akhir!”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, di Taman Suaka Tupai. Saat itu Sang Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka dalam kegelapan malam yang ketika itu turun hujan gerimis. Kemudian Māra si Jahat … dalam wujud raja ular besar mendekati Sang Bhagavā. <238> Tubuhnya sebesar perahu yang terbuat dari satu batang pohon utuh; tudung kepalanya, bagaikan saringan penyuling minuman keras; matanya, bagaikan piring makan perunggu dari Kosala; lidahnya mencuat keluar dari mulutnya, bagaikan kilatan halilintar ketika langit bergemuruh; suara nafasnya masuk dan keluar, bagaikan pipa tiupan pandai besi.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:

“Ia yang mendatangi gubuk kosong sebagai tempat tinggal – Ia adalah seorang bijaksana, terkendali. Ia seharusnya menetap di sana, setelah melepaskan segalanya: Itu adalah yang seharusnya bagi seseorang sepertinya.16

“Walaupun banyak makhluk merayap, Banyak teror, lalat, ular-ular, [107] <239> Sang bijaksana mulia masuk ke gubuk kosongnya Tidak tergerak bahkan sehelai rambut pun.

“Walaupun langit terbelah; bumi berguncang, Dan semua makhluk didera ketakutan, Walaupun orang-orang mengacungkan panah ke dada mereka, Yang tercerahkan tidak berlindung dalam perolehannya.”17

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, di Taman Suaka Tupai. Kemudian, ketika malam berakhir, Sang Bhagavā, setelah melewatkan malam itu dengan berjalan mondar-mandir di ruang terbuka, mencuci kakiNya, memasuki tempat kediamanNya, dan berbaring di sisi kananNya dalam posisi singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, dengan penuh perhatian dan pemahaman murni, setelah menentukan waktu untuk terjaga.

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair: <240>

“Apa, Engkau tidur? Mengapa Engkau tidur? Apa ini, Engkau tidur seperti orang celaka?18 Merasa bahwa gubuk ini kosong Engkau tidur: Apa ini, Engkau tidur ketika matahari telah terbit?”

[Sang Bhagavā:]

“Dalam diriNya, ketagihan tidak lagi mengintai, Menjerat dan mengikat, membawanya ke mana pun; Dengan hancurnya segala perolehan Yang Terjaga tidur: Mengapa hal ini merisaukanmu, Māra?”19

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Kemudian Māra si Jahat mendatangi Sang Bhagavā dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Seseorang yang memiliki putra bergembira dalam putranya, Seseorang yang memiliki ternak bergembira dalam ternaknya. [108] <241> Perolehan sungguh adalah kegembiraan manusia; Tanpa perolehan seseorang tidak bergembira.”

[Sang Bhagavā:]

“Seseorang yang memiliki putra bersedih karena putranya, Seseorang yang memiliki ternak bersedih karena ternaknya. Perolehan sungguh adalah kesedihan manusia; Tanpa perolehan seseorang tidak bersedih.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” jawab para bhikkhu itu. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, umur kehidupan manusia ini singkat. Seseorang harus pergi menuju kehidupan berikutnya. Seseorang harus melakukan apa yang bermanfaat dan menjalani kehidupan suci; karena seseorang yang telah dilahirkan tidak mungkin menghindari kematian. Seorang yang berumur panjang, para bhikkhu, hidup selama seratus tahun atau sedikit lebih lama.”

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Umur kehidupan manusia adalah panjang, Orang baik seharusnya tidak meremehkannya. Seseorang harus hidup bagai bayi mengisap susu: Kematian masih belum tiba.”20 <242>

[Sang Bhagavā:]

“Umur kehidupan manusia adalah singkat, Orang baik seharusnya meremehkannya. Seseorang harus hidup bagaikan seorang dengan kepala terbakar: Tidak mungkin menghindari datangnya kematian.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

(Pembukaan sama seperti Sutta sebelumnya:)

Kemudian Māra si jahat mendatangi Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Siang dan malam tidak berlalu dengan cepat, Kehidupan belum berakhir. Umur kehidupan makhluk-makhluk bergulir panjang Bagaikan roda kereta mengelilingi sumbunya.”21 <243>

[Sang Bhagavā:]

“Siang dan malam berlalu dengan cepat, Kehidupan segera berakhir. Umur kehidupan makhluk-makhluk semakin berkurang Bagaikan air di parit.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di puncak Gunung Hering. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk di ruang terbuka di kegelapan malam dan ketika itu turun hujan gerimis. <244> Kemudian Māra si Jahat, ingin menakuti, menimbulkan kegentaran, dan meneror Sang Bhagavā, memecahkan sejumlah batu besar tidak jauh dari Beliau.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepada Māra si Jahat dalam syair:

“Bahkan jika engkau membuat Puncak Hering ini Gempa ke segala arah seluruhnya, Yang tercerahkan tidak akan terganggu, Karena mereka terbebaskan sepenuhnya.”

Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Sang Bhagavā mengenaliku, Yang Sempurna mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, ia lenyap dari sana.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang membabarkan Dhamma dengan dikelilingi oleh sekumpulan besar. [110]

Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa Gotama ini sedang membabarkan Dhamma dengan dikelilingi oleh sekumpulan besar. <245> Aku akan mendekati Petapa Gotama untuk mengacaukan mereka.”22

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Mengapa sekarang Engkau mengaum seperti singa, Penuh percaya diri di tengah-tengah kumpulan? Karena ada seorang yang menjadi tandinganMu, Mengapa Engkau berpikir bahwa Engkau adalah pemenangnya?”

[Sang Bhagavā:]

“Para pahlawan besar mengaumkan auman singa Penuh percaya diri di tengah-tengah kumpulan – Sang Tathāgata yang memiliki kekuatan-kekuatan Telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”23

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Taman Rusa Māddakucchi. Pada saat itu kaki Sang Bhagavā terluka oleh serpihan batu. Kesakitan hebat menyerang Sang Bhagavā – perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, <246> tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan. Namun Sang Bhagavā menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman murni, tanpa menjadi tertekan. Kemudian Sang Bhagavā melipat empat jubah luarNya, dan Beliau berbaring di sisi kanan dalam postur singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman murni.24

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Apakah Engkau berbaring karena pusing atau menggubah puisi? Bukankah Engkau memiliki tujuan yang harus dicapai? Sendirian di tempat yang sunyi Mengapa Engkau tidur dengan wajah mengantuk?25

[Sang Bhagavā:]

“Aku tidak berbaring karena pusing atau menggubah puisi; Setelah mencapai tujuan, Aku bebas dari kesedihan. Sendirian di tempat yang sunyi Aku berbaring dengan penuh belas kasihan kepada makhluk-makhluk.

“Bahkan mereka yang dengan anak panah menembus dada <247> Menusuk jantung saat demi saat – Bahkan mereka juga tidur; [111] Mengapa Aku tidak tidur Ketika anak panahKu telah dicabut?26

“Aku tidak berbaring terjaga karena takut, Aku juga tidak takut tidur. Siang dan malam tidak mempengaruhiKu, Aku melihat sendiri tidak ada kemunduran di dunia. Oleh karena itu Aku dapat tidur dengan damai, Penuh belas kasihan kepada semua makhluk.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kosala di desa brahmana Ekasālā. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang mengajarkan Dhamma dikelilingi oleh sekumpulan besar orang-orang awam.

Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa Gotama ini sedang mengajarkan Dhamma dengan dikelilingi oleh sekumpulan besar orang-orang awam. <248> Aku akan mendekati Petapa Gotama untuk mengacaukan mereka.”

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Tidaklah selayaknya bagiMu, Bahwa Engkau mengajarkan orang lain. Ketika melakukannya tidak tertangkap Dalam ketertarikan dan kejijikan.”27

[Sang Bhagavā:]

“Berbelas kasihan demi kesejahteraan mereka, Sang Buddha mengajarkan orang lain. Sang Tathāgata terbebaskan sempurna Dari ketertarikan dan kejijikan.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:28

“Ada jerat melayang di angkasa, <249> Sesuatu yang bersifat batin yang bergerak29 Yang dengannya aku akan menangkap Engkau: Engkau tidak dapat menghindariku, Petapa!”

[Sang Bhagavā:]

“Bentuk, suara, rasa kecapan, bau-bauan, Dan objek sentuhan yang menyenangkan – Keinginan akan hal-hal ini telah lenyap dalam diriKu: Engkau terkalahkan, Pembuat-akhir!”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana. [112]

Di Sāvatthī. Pada suatu kesempatan Sang Bhagavā mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Dan para bhikkhu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan tekun, memperhatikannya sebagai pokok penting, mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu.

Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa Gotama ini sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu … <250> yang mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu. Aku akan mendekati Petapa Gotama untuk mengacaukan mereka.”

Pada saat itu sejumlah mangkuk dana diletakkan di ruang terbuka. Kemudian Māra si Jahat dalam wujud lembu jantan mendekati mangkuk dana itu. Kemudian salah satu bhikkhu berkata kepada bhikkhu lainnya: “Bhikkhu, bhikkhu! Lembu itu akan memecahkan mangkuk-mangkuk dana itu.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu tersebut: “Itu bukan lembu, bhikkhu. Itu adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukan kalian.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepada Māra si Jahat dalam syair-syair ini:

“Bentuk, perasaan, dan persepsi, Kesadaran dan bentukan-bentukan – ‘Aku bukan ini, ini bukan milikku,’ Demikianlah seseorang melepaskan kemelekatan terhadapnya.30

“Walaupun mereka mencarinya di mana-mana, Māra dan bala tentaranya tidak menemukannya: Seorang yang terbebas demikian, aman, Yang telah pergi melampaui segala belenggu.”31 <251>

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesāli di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. [113] Pada saat itu Sang Bhagavā sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma sehubungan dengan enam landasan kontak. Dan para bhikkhu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan tekun, memperhatikannya sebagai pokok penting, mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu.

Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa Gotama ini sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu … yang mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu. Aku akan mendekati Petapa Gotama untuk mengacaukan mereka.”

Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan, tidak jauh dari Beliau, mengeluarkan suara keras, menakutkan dan mengerikan, seolah-olah bumi terbelah.32 Kemudian salah satu bhikkhu berkata kepada bhikkhu lainnya: “Bhikkhu, bhikkhu! Sepertinya bumi terbelah.” Ketika hal ini dikatakan, Sang Bhagavā berkata kepada bhikkhu tersebut: <252> “Bumi tidak terbelah, bhikkhu. Itu adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukan kalian.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepada Māra si Jahat dalam syair-syair ini:

“Bentuk, suara, rasa kecapan, bau-bauan, Objek sentuhan, dan segala objek pikiran: Ini adalah umpan mengerikan dunia ini Yang dengannya dunia ini tergila-gila.

“Tetapi ketika ia telah melampaui ini, Siswa Sang Buddha yang penuh perhatian Bersinar cemerlang bagaikan matahari, Setelah mengatasi alam Māra.”33

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara para penduduk Magadha di desa brahmana Pañcasālā. [114] Pada saat itu festival-persembahan anak-anak muda sedang berlangsung di desa brahmana Pañcasālā.34 <253> Kemudian, pada pagi hari itu, Sang Bhagavā merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah, memasuki Pañcasālā untuk menerima dana makanan. Pada saat itu Māra si Jahat merasuki para brahmana perumah tangga Pañcasālā, [mendorong mereka dengan pikiran,] “Jangan biarkan Petapa Gotama memperoleh dana makanan.”

Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan Pañcasālā dengan mangkuk sama bersihnya dengan ketika ia memasuki desa itu untuk menerima dana makanan. Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau:

“Apakah Engkau memperoleh dana makanan, Petapa?”

“Apakah engkau, Yang Jahat, yang menyebabkan Aku tidak memperoleh dana makanan?”

“Kalau begitu, Yang Mulia, silahkan Bhagavā memasuki Pañcasālā untuk ke dua kalinya untuk menerima dana makanan. Aku akan memastikan Bhagavā memperoleh dana makanan.”35

[Sang Bhagavā:]

“Engkau telah menimbulkan keburukan, Māra, Setelah menyerang Sang Tathagata. Apakah engkau berpikir, O Yang Jahat, <254> ‘Kejahatanku tidak berbuah’?

“Sungguh bahagia kami hidup, Kami yang tidak memiliki apa-apa. Kami akan bertahan hidup dari kegembiraan Bagaikan para dewa yang Memancarkan Cahaya.”36

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana.

Di Sāvatthī. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma sehubungan dengan Nibbāna. Dan para bhikkhu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan tekun, memperhatikannya sebagai pokok penting, mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu. [115]

Kemudian Māra si Jahat berpikir: “Petapa Gotama ini sedang mengajarkan, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu … yang mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu. Aku akan mendekati Petapa Gotama untuk mengacaukan mereka.” Kemudian Māra si Jahat mengubah wujudnya menjadi seorang petani, membawa bajak besar di bahunya, <255> memegang sebatang galah yang panjang, rambutnya acak-acakan, mengenakan pakaian terbuat dari serat rami, kakinya kotor oleh lumpur. Ia mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Mungkin Engkau telah melihat lembu-lembu jantan, Petapa?”

“Apakah lembu-lembu jantan bagimu, Penjahat?”

“Mata adalah milikku, Petapa, bentuk-bentuk adalah milikku, kontak-mata dan landasan kesadarannya adalah milikku.37 Kemanakah Engkau akan pergi, Petapa, untuk menghindar dariku? Telinga adalah milikku, Petapa, Suara-suara adalah milikku… Hidung adalah milikku, Petapa, bau-bauan adalah milikku… Lidah adalah milikku, Petapa, rasa kecapan adalah milikku … Badan adalah milikku, Petapa, objek sentuhan adalah milikku … Pikiran adalah milikku, Petapa, fenomena pikiran adalah milikku, kontak-pikiran dan landasan kesadarannya adalah milikku. Ke manakah Engkau akan pergi, Petapa, untuk menghindar dariku?”

“Mata adalah milikmu, Yang Jahat, bentuk-bentuk adalah milikmu, kontak-mata dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada mata, tidak ada bentuk-bentuk, tidak ada kontak-mata <256> dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat.38 Telinga adalah milikmu, Yang Jahat, suara-suara adalah milikmu, kontak-telinga dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada telinga, tidak ada suara-suara, tidak ada kontak-suara dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat. Hidung adalah milikmu, Yang Jahat, bau-bauan adalah milikmu, kontak-hidung dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada hidung, tidak ada bau-bauan, tidak ada kontak-hidung dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat. [116] Lidah adalah milikmu, Yang Jahat, rasa kecapan adalah milikmu, kontak-lidah dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada lidah, tidak ada rasa kecapan, tidak ada kontak-lidah dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat. Badan adalah milikmu, Yang Jahat, objek-objek sentuhan adalah milikmu, kontak-badan dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada badan, tidak ada objek-objek sentuhan, tidak ada kontak-badan dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat. Pikiran adalah milikmu, Yang Jahat, fenomena pikiran adalah milikmu, kontak-pikiran dan landasan kesadarannya adalah milikmu; tetapi, Yang Jahat, di mana tidak ada pikiran, tidak ada fenomena pikiran, tidak ada kontak-pikiran dan landasan kesadarannya – maka tidak ada tempat bagimu di sana, Yang Jahat.”

[Māra:]

“Yang mereka katakan ‘Ini milikku,’ Dan mereka yang mengatakan sebagai ‘milikku’ - Jika pikiranMu ada di antara hal-hal ini, Engkau tidak mungkin menghindar dariku, Petapa.”

[Sang Bhagavā:]

“Apa yang mereka katakan adalah bukan milikku, Aku bukanlah satu di antara mereka yang mengatakan [milikku]. Engkau harus mengetahui demikian, O Yang Jahat: Bahkan JalanKu tidak terlihat olehmu.”

Kemudian Māra si Jahat … lenyap dari sana. <257>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Kosala di sebuah hutan kecil di wilayah Himalaya. Kemudian, ketika Sang Bhagavā sedang sendirian dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranNya sebagai berikut: “Mungkinkah mempraktikkan kekuasaan dengan benar: tanpa membunuh dan tanpa mempengaruhi orang lain untuk membunuh, tanpa merampas dan tanpa mempengaruhi orang lain untuk merampas, tanpa bersedih dan tanpa menyebabkan kesedihan?”39

Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui perenungan dalam pikiran Sang Bhagavā oleh pikirannya sendiri, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya: “Yang Mulia, Biarlah Bhagavā mempraktikkan kekuasaan dengan benar: tanpa membunuh dan tanpa mempengaruhi orang lain untuk membunuh, tanpa merampas dan tanpa mempengaruhi orang lain untuk merampas, tanpa bersedih dan tanpa mempengaruhi orang lain untuk menyebabkan kesedihan.”

“Tetapi apakah yang engkau lihat, Yang Jahat, sehingga engkau berkata demikian kepadaKu?” <258>

“Yang Mulia, Bhagavā telah mengembangkan dan melatih empat landasan kekuatan batin, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, menstabilkannya, melatih diriNya di dalamnya, dan sepenuhnya menyempurnakannya. Dan, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā menghendaki, Beliau hanya perlu berkehendak bahwa Himalaya, raja pegunungan, berubah menjadi emas, dan gunung itu akan berubah menjadi emas.”40 [117]

[Sang Bhagavā:]

“Jika ada gunung terbuat dari emas, Terbuat seluruhnya dari emas padat, Bahkan dua kalinya tidak akan cukup bagiKu: Setelah mengetahui ini, mengembara dengan lancar.41

“Bagaimana mungkin seseorang condong pada kenikmatan indria Baginya yang telah melihat sumber dari mana penderitaan muncul? Setelah mengetahui perolehan sebagai suatu ikatan di dunia ini, Seseorang harus berlatih melenyapkannya.”42

Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Sang Bhagavā mengenaliku, Yang Sempurna mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, ia lenyap dari sana.

<259>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara suku Sakya di Silāvatī. Pada saat itu sekelompok bhikkhu sedang berdiam tidak jauh dari Sang Bhagavā – tekun, rajin, dan teguh. Kemudian Māra si Jahat mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, dengan ikat rambut besar, berjubah kulit antelop, tua, bongkok bagaikan rangka atap, terengah-engah, memegang tongkat terbuat dari kayu udumbara.43 Ia mendekati para bhikkhu itu <260> dan berkata kepada mereka: “Kalian, tuan-tuan, telah meninggalkan keduniawian sejak muda, pemuda dengan rambut hitam, memiliki anugerah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan, tanpa bermain-main dengan kenikmatan indria. Nikmatilah kenikmatan indria manusia, tuan-tuan; jangan lepaskan apa yang terlihat secara langsung demi mengejar apa yang memerlukan waktu yang lama.”44

“Kami belum melepaskan apa yang terlihat secara langsung, brahmana, demi mengejar apa yang memerlukan waktu yang lama. Kami telah melepaskan apa yang memerlukan waktu yang lama demi mengejar apa yang terlihat secara langsung. Karena Sang Bhagavā, brahmana, telah menyatakan bahwa kenikmatan-indria adalah membuang-buang waktu, penuh penderitaan, penuh keputus-asaan, dan bahaya di dalamnya adalah lebih besar, sedangkan Dhamma ini adalah terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat dipraktikkan, untuk dialami melalui pengalaman pribadi oleh para bijaksana.” [118]

Ketika hal ini diucapkan, Māra si Jahat menggelengkan kepalanya, menjulurkan lidahnya, mengerutkan keningnya dalam tiga kerutan, dan pergi dengan bersandar pada tongkatnya.45

Kemudian para bhikkhu itu mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan segalanya. <261> [Sang Bhagavā berkata:] “Dia bukanlah seorang brahmana, para bhikkhu. Dia adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukan kalian.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami makna dari peristiwa ini, pada kesempatan itu mengucapkan syair ini: <262>

“Bagaimana mungkin seseorang condong pada kenikmatan indria Baginya yang telah melihat sumber dari mana penderitaan muncul? Setelah mengetahui perolehan sebagai suatu ikatan di dunia ini, Seseorang harus berlatih melenyapkannya.” [119]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara suku Sakya di Silāvatī. Pada saat itu Yang Mulia Samiddhi sedang berdiam tidak jauh dari Sang Bhagavā – tekun, rajin dan teguh.46 Kemudian, ketika Yang Mulia Samiddhi sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikirannya sebagai berikut: “Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh menguntungkan bagiku, bahwa guruku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Sungguh suatu keuntungan bagiku, sungguh menguntungkan bagiku, bahwa aku telah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah dibabarkan dengan baik ini! Sungguh suatu keuntungan bagiku, Sungguh menguntungkan bagiku, bahwa teman-temanku dalam kehidupan suci ini begitu bermoral, bersikap baik!”

Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui perenungan dalam pikiran Yang Mulia Samiddhi dengan pikirannya sendiri, mendekatinya dan, tidak jauh darinya, mengeluarkan suara keras, menakutkan dan mengerikan, <263> seolah-olah bumi terbelah.47

Kemudian Yang Mulia Samiddhi mendekati Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] “Itu bukan bumi terbelah, Samiddhi. Itu adalah Māra si Jahat, yang datang untuk mengacaukanmu. Kembalilah, Samiddhi, dan berdiamlah dengan tekun, rajin, dan teguh.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. [120] Kemudian ia bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia pergi dari sana.

Untuk ke dua kalinya, ketika Yang Mulia Samiddhi sendirian dalam keheningan, suatu perenungan muncul dalam pikirannya … Dan untuk ke dua kalinya Māra si Jahat … <264> … mengeluarkan suara keras, menakutkan dan mengerikan, seolah-olah bumi terbelah.

Kemudian Yang Mulia Samiddhi, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:

“Aku telah meninggalkan keduniawian dengan penuh keyakinan Dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Perhatian dan kebijaksanaanku telah matang, Dan pikiranku terkonsentrasi baik. Ciptakanlah bentuk apa pun yang engkau inginkan, Tetapi engkau tidak akan pernah membuatku gemetar.”48

Kemudian, Māra si Jahat, menyadari, “Bhikkhu Samiddhi mengenaliku,” merasa sedih dan kecewa, ia lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Godhika sedang berdiam di Batu Hitam di Lereng Isigili. Kemudian, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh, <265> ia mencapai kebebasan pikiran sementara, namun ia jatuh dari kebebasan pikiran sementara itu.49 Untuk ke dua kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh, ia mencapai kebebasan pikiran sementara, namun ia jatuh dari kebebasan pikiran sementara itu. Untuk ke tiga kalinya … Untuk ke empat kalinya … [121] … untuk ke lima kalinya … Untuk ke enam kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh, ia mencapai kebebasan pikiran sementara, namun ia jatuh dari kebebasan pikiran sementara itu. Untuk ke tujuh kalinya, selagi Yang Mulia Godhika sedang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh, ia mencapai kebebasan pikiran sementara.

Kemudian Yang Mulia Godhika berpikir: “Sudah enam kali aku jatuh dari kebebasan batin sementara. Biarlah aku menggunakan pisau.”50 <266>

Kemudian Māra si Jahat, setelah mengetahui perenungan dalam pikiran Yang Mulia Godhika dengan pikirannya sendiri, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair-syair ini:51

“O pahlawan besar, luas dalam kebijaksanaan, Menyala dengan kekuatan dan kemenangan! Aku menyembah kakiMu, Yang memiliki Penglihatan, Yang telah mengatasi segala permusuhan dan ketakutan.

“O pahlawan besar yang telah menaklukkan kematian, SiswaMu menginginkan kematian. Ia berniat [untuk membunuh dirinya sendiri]: Cegahlah ia dari hal ini, O Yang Bersinar!

“Bagaimana mungkin, Bhagavā, siswaMu - Seorang yang bergembira dalam Ajaran, Seorang siswa yang mencari yang terbaik bagi pikirannya – Membunuh dirinya sendiri, O Yang Termasyhur luas?”52

Pada saat itu Yang Mulia Godhika telah menggunakan pisau itu.53 Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” berkata kepadanya dalam syair:

“Demikianlah sesungguhnya bagaimana yang teguh bertindak: Mereka tidak melekat pada kehidupan. <267> Setelah mencabut keinginan hingga ke akarnya, Godhika telah mencapai Nibbāna akhir.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Marilah, para bhikkhu, kita pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili, di mana Godhika menggunakan pisaunya.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili. Dari jauh Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Godhika terbaring di tempat tidur dengan bahunya terbalik.54 [122]

Pada saat itu segumpal asap, pusaran kegelapan, sedang bergerak dari timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke bidang-bidang di antaranya. Sang Bhagavā kemudian berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian lihat, para bhikkhu, bahwa segumpal asap, pusaran kegelapan, bergerak dari timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke bidang-bidang di antaranya?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Itu, para bhikkhu, adalah Māra si Jahat yang sedang mencari kesadaran Godhika, bertanya-tanya: ‘Di manakah sekarang <268> kesadaran Godhika muncul?’ Akan tetapi, para bhikkhu, dengan kesadaran yang tidak muncul di mana pun, Godhika telah mencapai Nibbāna akhir.”55

Kemudian Māra si Jahat, membawa kecapi dari kayu *vilva-*kuning, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling, Di keempat penjuru dan di antaranya, Aku mencari tetapi tidak menemukan Ke mana Godhika telah pergi.”

[Sang Bhagavā:]

“Orang yang teguh tidak tergoyahkan, Seorang meditator selalu gembira dalam meditasi, Mengerahkan dirinya siang dan malam Tanpa kemelekatan bahkan pada kehidupannya.

“Setelah menaklukkan bala tentara Kematian, Tanpa kembali ke kehidupan baru, Setelah mencabut keinginan hingga ke akarnya, Godhika telah mencapai Nibbāna akhir.” <269>

Begitu banyak ia didera oleh kesedihan Sehingga kecapinya jatuh dari ketiaknya. Lalu makhluk yang kecewa itu Lenyap dari tempat itu.56

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Uruvelā di tepi sungai Nerañjarā di bawah Pohon Banyan Penggembala. Pada saat itu Māra si Jahat telah mengikuti Sang Bhagavā selama tujuh tahun, mencari peluang untuk menguasaiNya tetapi tidak berhasil.57 Kemudian Māra si Jahat mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair: [123]

“Apakah karena Engkau tenggelam dalam kesedihan Maka Engkau bermeditasi di dalam hutan? Karena Engkau kehilangan harta atau menginginkan harta, Atau melakukan suatu kejahatan di desa? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang-orang? <270> Mengapa Engkau tidak menjalin hubungan akrab?”

[Sang Bhagavā:]

“Setelah mencabut seluruhnya akar kesedihan, Tanpa merasa bersalah, Aku bermeditasi bebas dari kesedihan. Setelah memotong segala dorongan keserakahan pada penjelmaan,58 Aku bermeditasi tanpa noda, O kerabat kelengahan!”

[Māra:]

“Yang mereka katakan ‘Ini milikku,’ Dan mereka yang mengatakan sebagai ‘milikku’ - Jika pikiranMu ada di antara hal-hal ini, Engkau tidak mungkin menghindar dariku, Petapa.”

[Sang Bhagavā:]

“Apa yang mereka katakan adalah bukan milikku, Aku bukanlah satu di antara mereka yang mengatakan [milikku]. Engkau harus mengetahui demikian, O Yang Jahat: Bahkan JalanKu tidak terlihat olehmu.”

[Māra:]

“Jika Engkau telah menemukan Sang Jalan, Jalan aman menuju Tanpa-kematian, <271> Pergilah dan jalani Jalan itu sendirian; Apa gunanya mengajarkan orang lain?”

[Sang Bhagavā:]

“Orang-orang itu yang pergi ke pantai seberang Bertanya apa yang ada di alam setelah kematian. Ketika ditanya, Aku menjelaskan kepada mereka Kebenaran tanpa perolehan.”59

[Māra:] “Andaikan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau kota terdapat sebuah kolam teratai di mana hidup seekor kepiting.60 Kemudian sekelompok anak laki-laki dan perempuan meninggalkan desa atau kota itu dan pergi ke kolam tersebut. Mereka mengeluarkan kepiting itu dari air dan meletakkannya di atas tanah yang tinggi. Kemudian, ketika kepiting itu menjulurkan salah satu capit atau kakinya, anak-anak itu akan memotongnya, memecahkannya, dan memukulnya dengan kayu dan batu. Demikianlah, ketika semua capit dan kakinya telah terpotong, pecah, dan hancur, kepiting itu tidak bisa lagi kembali ke kolam itu. <272> Demikian pula, Yang Mulia, semua penyimpangan, muslihat, perubahan pada diriku telah terpotong, [124] pecah, dan hancur oleh Bhagavā. Sekarang, Yang Mulia, aku tidak mampu lagi mendekati Bhagavā untuk menguasaiNya.”

Kemudian Māra si Jahat melantunkan syair kekecewaan ini di hadapan Sang Bhagavā:61

“Ada seekor burung gagak yang berjalan ke sana kemari Sebongkah batu yang terlihat seperti sebongkah daging. ‘Mari cari bagian yang lunak di sini,’ [ia berpikir,] ‘Mungkin ada yang lezat.’

Tetapi karena ia tidak menemukan apa pun yang lezat di sana, Burung gagak itu pergi dari tempat itu. Bagaikan burung gagak itu yang diserang dengan batu, Kami meninggalkan Gotama dengan kecewa.” <273>

Kemudian Māra si Jahat, setelah mengucapkan syair kekecewaan di hadapan Sang Bhagavā, pergi dari tempat itu dan duduk bersila di atas tanah tidak jauh dari Sang Bhagavā, diam, cemas dengan bahu terkulai, putus asa, murung, tidak mampu berkata-kata, menggores tanah dengan sebatang tongkat.62

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī, dan Ragā – mendekati Māra si Jahat dan berkata kepadanya dalam syair:63

“Mengapa Engkau bersedih, ayah? Siapakah orang yang membuatmu berduka? Kami akan menangkapnya dengan jerat nafsu Seperti mereka menangkap gajah hutan. Kami akan mengikatnya erat dan membawanya kembali, Dan ia akan berada di bawah kekuasaanmu.”64

[Mara:]

“Sang Arahant, Yang Sempurna di dunia ini, Tidaklah mudah ditarik dengan menggunakan nafsu. Ia telah pergi meninggalkan alam Māra: Oleh karena itu aku berduka dengan pahit.” <274>

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī dan Ragā – mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya: “Kami melayaniMu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.65

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī, dan Ragā – pergi ke pinggir dan berembuk: “Selera laki-laki berbeda-beda. Bagaimana jika masing-masing dari kita menjelma menjadi bentuk seratus bidadari.” [125] Kemudian tiga putri Màra itu, masing-masing mengubah wujud menjadi seratus bidadari, mendekati Sang Bhagavā, dan berkata kepadaNya: “Kami melayaniMu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.

Kemudian putri-putri Māra pergi ke pinggir dan sekali lagi berembuk: “Selera laki-laki berbeda-beda. Bagaimana jika masing-masing dari kita menjelma menjadi bentuk seratus orang perempuan yang belum pernah melahirkan.” Kemudian tiga putri Màra itu, masing-masing mengubah wujud dalam bentuk seratus orang perempuan yang belum pernah melahirkan … dalam bentuk seratus orang perempuan yang pernah melahirkan satu kali … <275> … dalam bentuk seratus orang perempuan yang pernah melahirkan dua kali … dalam bentuk seratus orang perempuan yang sedang dalam usia pertengahan … dalam bentuk seratus orang perempuan tua, mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya: “Kami melayaniMu, Petapa.” Tetapi Sang Bhagavā tidak memperhatikan, karena Beliau terbebas dalam padamnya perolehan yang tiada bandingnya.

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī, dan Ragā – pergi ke pinggir dan berkata: “Apa yang dikatakan ayah kepada kita adalah benar:

“‘Sang Arahant, Yang Sempurna di dunia ini … Oleh karena itu aku berduka dengan pahit.’

“Jika kita telah menyerang dengan cara demikian terhadap petapa atau brahmana mana pun yang belum melenyapkan nafsu, maka jantungnya akan pecah, atau ia akan memuntahkan darah panas dari mulutnya, [126] atau ia akan menjadi gila atau menjadi kehilangan akal sehat; atau ia akan mengering dan layu dan mengerut, bagaikan sebatang buluh hijau yang dipotong akan mengering dan layu dan mengerut.”

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī, dan Ragā – mendekati Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. <276> Sambil berdiri di satu sisi, putri Māra bernama Taṇhā berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Apakah karena Engkau tenggelam dalam kesedihan Maka Engkau bermeditasi di dalam hutan? Karena Engkau kehilangan harta atau menginginkan harta, Atau melakukan suatu kejahatan di desa? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang-orang? Mengapa Engkau tidak menjalin hubungan akrab?”

[Sang Bhagavā:]

“Setelah menaklukkan bala tentara kesenangan dan kenikmatan, Bermeditasi sendirian, Aku menemukan kebahagiaan, Pencapaian tujuan, kedamaian batin.66 Oleh karena itu Aku tidak bergaul dengan orang-orang, Aku juga tidak menjalin hubungan akrab.”

Kemudian putri Māra bernama Aratī berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <277>

“Bagaimanakah seorang bhikkhu di sini sering berdiam Bahwa, lima banjir telah terseberangi, di sini ia menyeberangi yang ke enam? Bagaimanakah ia bermeditasi sehingga persepsi indria Dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya?”67

[Sang Bhagavā:]

“Tenang dalam jasmani, dalam pikiran yang terbebaskan dengan baik, Tidak menghasilkan, penuh perhatian, tanpa rumah, Mengetahui Dhamma, bermeditasi yang bebas-pemikiran, Ia tidak meledak, atau hanyut, atau kaku.68

“Ketika seorang bhikkhu di sini sering berdiam demikian, Dengan lima banjir terseberangi, ia di sini menyeberangi yang ke enam. Ketika ia bermeditasi demikian, persepsi indria Dipojokkan dan tidak dapat mencengkeramnya.” [127]

Kemudian putri Māra bernama Rāga berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <278>

“Ia telah memotong ketagihan, mengembara dengan kelompoknya; Tentu saja banyak makhluk akan menyeberang. Aduh, Yang Tanpa Rumah ini akan merampas banyak orang Dan membawa mereka melewati Raja Kematian.”69

[Sang Bhagavā:]

“Sungguh para Tathāgata, para pahlawan besar, Dituntun oleh Dhamma sejati. Ketika mereka menuntun dengan Dhamma sejati, Kecemburuan apakah yang ada dalam diri mereka yang mengerti?”70

Kemudian putri-putri Māra – Taṇhā, Aratī, dan Ragā – mendekati Māra si Jahat. Māra melihat mereka datang dari jauh dan berkata kepada mereka dalam syair-syair:71

“Bodoh! Kalian mencoba untuk menyerang gunung Dengan tangkai bunga teratai, Menggali gunung dengan kukumu, Mengunyah besi dengan gigimu. <279>

“Seolah-olah, setelah mengangkat batu dengan kepala kalian, Kalian mencari tempat berpijak di jurang; Seolah-olah kalian menabrak tunggul dengan dadamu, Kalian meninggalkan Gotama dengan kecewa.”

Mereka mendatangi Beliau gemerlap dengan kecantikan - Taṇhā, Aratī, dan Ragā – Tetapi Sang Guru menyapu mereka dari sana Bagaikan angin, menyapu gumpalan kapas yang jatuh. <280>


Catatan Kaki
  1. Spk menempatkan sutta ini pada minggu pertama setelah pencerahan Sang Buddha. ↩︎

  2. Saya menerjemahkan kalimat terakhir sesuai dengan Se dan Ee1 & 2: sādhu ṭhito sato bodhiṃ samajjhagaṃ. Be membaca: sādhu vatamhi mutto bodhiṃ samajjhagaṃ. Dengan pertapaan keras (dukkarakārikā) Sang Buddha merujuk pada latihan keras yang ia praktikkan selama enam tahun sebelum Beliau menemukan “jalan tengah” menuju pencerahan. ↩︎

  3. Ada ironi halus di sini dalam diri Māra Penggoda, biasanya pendukung kegemaran kenikmatan indria, sekarang menyarankan pertapaan keras. Ini mengkonfirmasi pepatah lama bahwa ekstrim-ekstrim itu sesungguhnya saling berdekatan daripada masing-masing ekstrim dengan pertengahan. Saya bersama dengan Se dan Ee1 membaca pāda d sebagai suddhimaggam aparaddho bukannya suddhimaggā aparaddho seperti dalam Be dan Ee2. ↩︎

  4. Saya bersama dengan Be dan Se membaca amaraṃ tapaṃ, bukannya aparaṃ tapaṃ seperti dalam Ee1 & 2. Ungkapan ini, kata majemuk terpisah, juga muncul pada Th 219d. Baca CPD, s.v amaratapa. Spk: Latihan keras rendah dipraktikkan demi keabadian (amarabhāvatthāyakataṃ lukhatapaṃ); yaitu, melakukan penyiksaan-diri (attakilamathānuyogo). Spk-pṭ: Untuk sebagian besar bagian satu adalah praktik penyiksaan jasmani demi keabadian, dan ketika hal tersebut dikejar oleh mereka yang menerima kamma, hal tersebut adalah demi agar menjadi deva (yang dipercaya sebagai abadi). Baca juga Sn 249d. ↩︎

  5. Piyārittaṃ va dhammani. Spk: Araññe thale piyārittaṃ viya; “bagai dayung dan kemudi di atas tanah hutan yang tinggi.” Spk-pṭ: Dhammaṃ vuccati vaṇṇu; so idha dhamman ti vuttaṃ. Dhammani vaṇṇupadese ti attho; “Adalah pasir yang disebut ‘dhammaṃ’; itu adalah apa yang dimaksudkan di sini dengan ‘dhammaṃ.’ Artinya adalah di tempat berpasir.” PED mencantumkan dhammani namun tidak menjelaskan penurunannya; tetapi baca MW, s.v. dhanvan, di mana arti yang diberikan termasuk tanah kering, pantai, gurun.

    Spk: “Ini adalah apa yang dimaksudkan: Jika sebuah kapal diletakkan di tanah yang tinggi, dan dipenuhi dengan barang dagangan, dan para awak kapal akan menjalankannya, memegang dayung dan kemudi, dan menarik dan mendorong dengan sekuat tenaga mereka, dengan segala usaha mereka, mereka tidak akan sanggup menjalankan kapal itu bahkan sejauh satu atau dua inci; usaha itu akan tidak berguna, sia-sia. Karena itu, setelah mengetahui praktik keras demikian, Aku menolaknya sebagai kesia-siaan.” ↩︎

  6. Moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan adalah tiga pengelompokan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan: moralitas (sīla) terdiri dari ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar; konsentrasi (samādhi) terdiri dari usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; dan kebijaksanaan (paññā) terdiri dari pandangan benar dan kehendak benar. Māra disebut Pembuat-akhir (antaka) karena ia mengikat makhluk-makhluk pada kematian. ↩︎

  7. Devo ca ekam ekaṃ phusāyati. Saya memahami idiom ini (yang muncul pada 6:13 dan 7:22) berarti bahwa hujan turun setetes demi setetes. Bukan turun berkesinambungan (arti yang berasal dari CPD). Sepertinya tidak masuk akal Sang Buddha duduk di ruang terbuka jika terjadi hujan deras.

    Spk: Beliau duduk di sana mengevaluasi usaha latihanNya untuk memberikan suatu model bagi generasi mendatang, yang akan berusaha dengan meniru Sang Guru. ↩︎

  8. Dalam pāda a kita harus membaca sesuai dengan Be, Se, dan Ee2 saṃsaraṃ bukannya saṃsāraṃ seperti dalam Ee1. “Perjalanan panjang” (dighaṃ addhānaṃ) adalah saṃsāra. Spk: Dikatakan bahwa tidak ada wujud yang belum pernah digunakan Māra sebelumnya untuk menakuti Sang Bhagavā. ↩︎

  9. Na te mārassa paddhagū. Kata terakhir dibaca di sini seperti pada Ee2 dan Sn 1095. Be dan Se membaca baddhagū, Ee1 paccagū. PED menduga bahwa paddhagu mungkin sama dengan Skt *prādhvaga, “mereka yang menyertai seseorang dalam suatu perjalanan,” yaitu, para pelayan. Spk mengemas: “Mereka tidak menjadi murid, siswa, pekerjamu” (baddhacrā sissā antevāsikā na honti). Kata baddhacara [Spk-pṭ = paṭibaddhacariya] muncul pada v.578a. ↩︎

  10. Khotbah ini juga terdapat pada Vin I 22,24-36, terjadi segera setelah vassa pertama di Tama Rusa, Isipatana. Sang Buddha telah mengutus enam puluh siswa Arahant pertama untuk menyebarkan Dhamma. Nasihat ini, sepertinya, ditujukan kepada para bhikkhu yang baru ditahbiskan yang menghadap Sang Buddha sebagai hasil dari tugas penyebaran Dhamma oleh para siswa pertama. ↩︎

  11. Spk: Perhatian seksama (yoniso manasikāra) adalah perhatian dengan upaya benar (upāyamanasikāra). Usaha benar seksama (yoniso sammapaddhāna) adalah usaha dengan upaya benar, semangat yang menjadi landasan penyebab (upāyaviriya kāraṇaviriya). Kebebasan yang tanpa bandingan (anuttaravimutti) adalah kebebasan buah Kearahattaan. Sehubungan dengan perhatian seksama, baca 46:51. Usaha benar adalah empat daya-upaya benar; baca 45:8, 49:1↩︎

  12. Spk: Māra datang dan berkata, dengan berpikir: “Ia tidak akan puas dengan kenyataan bahwa Ia sendiri mengerahkan usaha dan mencapai Kearahattaan. Sekarang Ia ingin agar orang lain juga mencapainya. Aku harus menghentikanNya!” ↩︎

  13. Spk: Jerat Māra (mārapāsa) adalah jerat kekotoran, yaitu, utas-utas kenikmatan indria manusia dan surgawi. ↩︎

  14. Ini adalah perintah Sang Buddha yang terkenal kepada enam puluh siswa Arahant untuk menyebar dan membabarkan Dhamma. Kalimat ini juga muncul pada Vin I 20,36 – 21,16, dalam urutan yang benar, didahului 4:4. vv.476-77 menyusul persis sesudahnya, walaupun di sini syair tersebut terpisah dan disisipi dengan suatu pertemuan di Sāvatthī. Sebuah versi paralel dari BHS, termasuk syair-syairnya, terdapat pada Mvu III 415-16; baca Jones, 3:416-17.

    Spk menjelaskan tiga kebaikan Dhamma dalam berbagai cara yang berhubungan dengan praktik dan doktrin. Misalnya, moralitas adalah permulaan; ketenangan dan pandangan terang dan sang jalan adalah pertengahan; buah dan Nibbāna adalah akhir; atau awal dari Sutta adalah baik, dan demikian pula bagian pertengahan dan bagian akhir. Ketika Sang Buddha pergi ke Uruvelā Beliau mengalih-yakinkan seribu petapa jaṭila, yang berpuncak pada Khotbah Api (35:28). ↩︎

  15. Spk: Māra datang dan berkata, dengan berpikir: “Bagaikan seorang memimpin suatu peperangan besar, Petapa Gotama memerintahkan enam puluh orang untuk mengajarkan Dhamma. Aku tidak suka, bahkan jika satu orang yang mengajar apalagi enam puluh. Aku harus menghentikan mereka!” ↩︎

  16. Saya mengikuti Spk dalam memisahkan seyyā dan so dan dalam menganggap seyyā sebagai makna datif (Spk = seyyathāya), dan so sebuah kata ganti yang digunakan sebagai lawan dari muni (Spk: so buddhamuni). Saya juga mengikuti Spk dalam mengartikan seyya yang berarti “tempat tinggal,” walaupun baik C.Rh.D maupun Geiger menginterpretasikannya sebagai kesejahteraan. Spk menjelaskan vossajja careyya tattha so sebagai berikut: “Ia harus hidup setelah melepaskan – yaitu, setelah meninggalkan – keinginan pada dan kemelekatan pada penjelmaan individu (yaitu, tubuh dan kehidupannya).” ↩︎

  17. Spk: Upadhi di sini adalah khandhūpadhi, “perolehan sebagai kelompok-kelompok unsur kehidupan”; baca n.21. Pada baris terakhir perubahan subjek dari bentuk tunggal menjadi bentuk jamak adalah terdapat dalam teks. Spk: Yang Tercerahkan tidak mendekati tempat naungan demikian karena mereka telah melenyapkan segala ketakutan. ↩︎

  18. Be, Se, dan Ee2 membaca dubbhago; Ee1 dubbhayo (yang mungkin kesalahan pencetakan) SS dubbhato. Spk: Bagaikan seseorang yang mati dan tidak sadar (mato viya visaññī viya ca).Spk-pṭ: Seorang malang adalah seorang yang tidak beruntung, yang keberuntungannya telah rusak; ia serupa dengan orang mati dan tidak sadar. ↩︎

  19. Spk: Ketagihan dikatakan sebagai kekusutan (jālini) karena ia menyebar mirip-jaring ke tiga alam kehidupan. Disebut ikatan (visattikā) karena mengikat pada objek-objek indria seperti bentuk-bentuk. Membawa ke mana pun [Spk-pṭ: di dalam tiga alam kehidupan]. Perolehan yang seluruhnya dihancurkan adalah kelompok-kelompok unsur kehidupan, kekotoran-kekotoran, bentukan-bentukan kehendak, dan utas-utas kenikmatan indria (baca n.21). Mengapa hal ini merisaukanmu, Māra?: “Māra, mengapa engkau mencari-cari kesalahan sehubungan dengan hal ini dan seperti lalat kecil yang tidak mampu hinggap di bubur panas?”

    Sutta ini mirip dengan 4:13 dan 9:2, yang memiliki tema serupa. Saya menerjemahkan kata “Buddha” di sini sebagai “Yang Terjaga” untuk menekankan pada lawannya “tidur”, tetapi tidak dapat dipastikan apakah penekanan demikian memang dimaksudkan dalam naskah aslinya. Tentang penggambaran ketagihan sebagai “menjerat dan mengikat,” baca AN II 211-13. ↩︎

  20. Spk menuliskan: “Seorang yang baik seharusnya hidup bagaikan bayi, yang, setelah meminum susu, akan berbaring di atas selimut dan tidur, tidak mempedulikan apakah hidup ini panjang atau singkat.” ↩︎

  21. Intinya mungkin adalah bahwa bagaikan roda berputar mengelilingi pusatnya yang stabil, demikian pula perubahan bentuk kehidupan berputar mengelilingi jiwa atau prinsip hidup yang stabil. Syair ini sepertinya menyinggung sebuah perumpamaan dalam Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad II.5.15: “Dan bagaikan semua jeruji terkungkung antara sumbu dan lingkaran roda, semua makhluk, dan semua diri itu (dari tanah, air, dan sebagainya), terkungkung dalam Diri itu” (Muller, The Upanishad, 2:116). Baca juga Chāndogya Upaniṣad VII.15.1 (The Upanishads, 1:120). ↩︎

  22. Vicakkhukammāya, secara literal “untuk membuat menjadi tanpa-mata.” Spk: “Berniat untuk menghancurkan mata-kebijaksanaan orang-orang dalam kumpulan. Ia tidak mampu menghancurkan mata-kebijaksanaan Sang Buddha, namun ia mampu melakukannya terhadap orang-orang dalam kumpulan dengan menciptakan pemandangan atau suara yang menakutkan. ↩︎

  23. Spk: Di tengah-tengah kumpulan-kumpulan: di tengah-tengah delapan kelompok (baca MN I 72,18-20). Memiliki kekuatan-kekuatan: memiliki sepuluh kekuatan seorang Tathāgata (baca MN I 69-71). Pada MN I 69,31-34, Sang Buddha mengatakan bahwa, dengan memiliki sepuluh kekuatan Tathāgata, Beliau mengaumkan auman singa di tengah-tengah kumpulan-kumpulan. ↩︎

  24. Baca 1:38 dan n.86 ↩︎

  25. Spk menuliskan kāveyyamatto dalam pāda a sebagai berikut: “Apakah Engkau berbaring menggubah puisi bagaikan seorang penyair, yang berbaring memikirkan bagaimana menggubah syair?” Ungkapan ini muncul pada v.753a. Sampacurā, dikemas sebagai bahuvo, terdapat pada AN II 59,12 dan 61,10, juga sebagai keterangan dari atthā. ↩︎

  26. Muhuṃ muhuṃ, dalam pāda b, tidak terdapat dalam PED, dan Spk serta Spk-pṭ tidak menjelaskan apa pun, tetapi baca MW, s.v. muhur. Ungkapan ini muncul pada Th 125d, dikemas oleh Th-a II 7,13-14 sebagai abhikkhaṇaṃ, dan pada Th 1129b, dikemas oleh Th-a III 158,8-9 sebagai abhiṇhato. Kedua kemasan itu berarti “sering,” tetapi di sini sepertinya bermakna lebih literal “saat demi saat” atau “terus-menerus”. Anak panah (salla) di tempat lain diidentifikasikan sebagai ketagihan; baca vv.214c, 737c. Pada 35:90 (IV 64,33-34) dikatakan bahwa anak panah adalah kondisi terpengaruh (ejā sallaṃ), ejā adalah sinonim bagi taṇhā; dan Sang Tathāgata, yang tidak terpengaruh oleh ketagihan, berdiam dengan anak panah tercabut (vitasallo). Baca juga MN II 260,17: Sallan ti kho Sunakkhatta taṇhāy’ etaṃ adhivacanaṃ. ↩︎

  27. Spk: Ketertarikan dan kejijikan (anurodha-virodha): kemelekatan dan penolakan (rāga-paṭigha). Karena ketika seseorang memberikan khotbah Dhamma, beberapa orang mengungkapkan penghargaan, dan terhadap mereka kemelekatan muncul; tetapi beberapa lainnya mendengar dengan sikap tidak hormat, dan terhadap mereka ketidak-senangan muncul. Demikianlah seorang pembabar Dhamma menjadi terjebak dalam ketertarikan dan kejijikan. Tetapi karena Sang Tathāgata penuh belas kasihan terhadap makhluk lain, Beliau bebas dari ketertarikan dan kejijikan. ↩︎

  28. Pada Vin I 21 percakapan syair ini terjadi di Taman Rusa di Isipatana dan segera diikuti oleh pasangan syair pada 4:5. Syair serupa dari BHS terdapat pada Mvu III 416-17, tetapi bait pertama sama dengan v.77ab. ↩︎

  29. Antalikkhacaro pāso yo yaṃ carati mānaso. Spk menyebutkan: “Jerat itu adalah jerat nafsu (rāgapāsa), yang menjerat bahkan mereka yang terbang di angkasa (yaitu, dengan kekuatan batin).” Ini lebih mungkin bahwa antalikkhacaro dimaksudkan untuk menyiratkan sifat non-fisik dari nafsu, yang dapat mendorong pikiran menyeberangi jarak yang jauh; baca vv.210b, 211b. ↩︎

  30. Vedayitaṃ dalam pāda a dan saṅkhataṃ dalam pāda b hanyalah sekedar adaptasi irama dari vedanā dan saṅkhārā, kelompok unsur kehidupan ke dua dan ke empat. ↩︎

  31. Spk: Walaupun mencarinya di mana-mana – di semua alam kehidupan, alam asal, alam tujuan, tempat-tempat keberadaan kesadaran, dan alam-alam makhluk-makhluk – mereka tidak menemukannya, tidak melihatnya. Baca v.49 (= v.105), 4:23 (I 122,1-13), 22:87 (III 124,1-13), dan MN I 140,3-7. Sepertinya yang dimaksudkan adalah Arahant yang masih hidup dan Arahant yang telah parinibbāna. ↩︎

  32. Se dan Ee1 & 2: udrīyati; Be: undrīyati. PED menjelaskan sebagai bentuk pasif dari ud + dṛṇoti. Baca MW, s. v. dṛi > berlalu. dīryate. Spk: Ayaṃ mahāpaṭhavi paṭapaṭasaddaṃ kurumānā viya ahosi; “Bumi ini mengeluarkan suara keras.” Spk-pṭ: Undriyatī ti viparivattati; “‘Bumi terbelah’ artinya terbalik.” Kata ini diulang pada 4:22 (I 119,17 foll.). Mengenai evolusi kata-kata Pāli, baca von Hinuber, “Remarks on the Critical Pāli Dictionary (II),” dalam Selected Papers, pp. 152-55. ↩︎

  33. Mengenai Lokāmisa, “umpan dunia,” baca n.10. Spk menjelaskan *māradheyya, “*Alam Māra”, sebagai lingkaran kehidupan dengan tiga alamnya, yang merupakan tempat Māra berdiam. Ungkapan yang lebih lazim adalah maccudheyya, “alam Kematian,” seperti pada v.16d; keduanya adalah sinonim. Baca juga v.102d dan n.70↩︎

  34. Se dan Ee1 & 2 menuliskan kumārakānaṃ bukannya kumārikānaṃ, “dari gadis-gadis muda” dalam Be. Spk menjelaskan hal itu pada masa sekarang ini – “sejenis Hari Valentine” (KS 1:143, n.1) – gadis-gadis muda mengirimkan hadiah kepada kekasih-kekasih mereka di antara para pemuda, dan para pemuda mengirimkan hiasan-hiasan kepada gadis-gadis, bahkan sekedar kalung bunga jika mereka tidak mampu memberikan benda lainnya. ↩︎

  35. Lima ratus gadis hendak mengadakan festival persembahan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha akan membabarkan khotbah yang pada akhirnya mereka mencapai tingkat Memasuki-Arus; tetapi Māra, yang ingin mencegah akibat ini, merasuki seorang gadis. Ungkapan yathā dhotena pattena, “dengan mangkuk yang sama bersihnya ketika ia memasuki desa itu untuk menerima dana makanan,” adalah ungkapan halus untuk mengatakan bahwa mangkuk itu kosong.

    Spk: Māra memberikan janji palsu ketika ia menawarkan bahwa Sang Buddha akan memperoleh dana makanan. Ia sesungguhnya ingin agar Sang Buddha memperlihatkan dirinya ditertawakan oleh anak-anak desa (karena datang untuk ke dua kalinya setelah pergi dengan mangkuk kosong). ↩︎

  36. Spk menjelaskan kiñcana, dalam pāda b, sebagai “berbagai jenis kekotoran seperti ‘sesuatu’ (yang disebut) nafsu, dan seterusnya.” Mengenai penggunaan kiñcana untuk menunjukkan kekotoran, baca 41:7 (IV 297,18-19). Para deva dengan cahaya gemilang (devā abhassarā) penghuni alam tertinggi dalam kelompok jhāna ke dua, berlokasi di alam berbentuk. Mereka dikatakan hidup dari kegembiraan (pātibhakkhā) karena mereka bertahan hidup dari makanan jhāna. Syair ini muncul pada Dhp 200, kisahnya pada Dhp-a 257-58; baca BL 3:72-73. Dalam lanjutan dari syair ini, yang dihilangkan dalam BL, lima ratus gadis tersebut mendengarkan syair Sang Buddha dan mencapai buah Memasuki-Arus. ↩︎

  37. Saya mengikuti Spk, yang memisahkan cakkhusamphassaviññāṇāyatana menjadi: cakkhuviññāṇena sampayutto cakkhusamphasso pi viññāṇayatanam pi; “kontak-mata berhubungan dengan kesadaran-mata dan juga landasan kesadaran.” Spk mengatakan bahwa “kontak-mata” menyiratkan semua fenomena batin yang berhubungan dengan kesadaran; “landasan kesadaran,” segala jenis kesadaran yang telah muncul di pintu mata dimulai dari mengarahkan kesadaran (āvajjanacitta). Metode yang sama berlaku untuk pintu telinga, dan seterusnya. Tetapi untuk pintu pikiran, “pikiran” (mano) adalah bhavaṅgacitta bersama dengan pengarahan kesadaran; “fenomena pikiran” adalah objek-objek pikiran (ārammaṇadhammā); “kontak pikiran” kontak yang berhubungan dengan bhavaṅga dan pengarahan kesadaran; dan “landasan kesadaran” javanacitta dan tadārammaṇacitta, yaitu, kesadaran “impuls” dan kesadaran “pencatatan”. Untuk penjelasan dari jenis-jenis kesadaran ini (dasar-dasar Abhidhamma Pāli), baca CMA 3:8.

    Jawaban Māra, dan balasan Sang Buddha, yang bergantung pada praktik penggunaan kata Pāli untuk lembu secara metafora menyiratkan organ-organ indria. Baca GD, pp.141-42, n. atas 26-27. ↩︎

  38. Di sini Sang Buddha jelas merujuk pada Nibbāna. Cp. 35:117 tentang lenyapnya enam landasan indria. ↩︎

  39. Penjelasan yang sedikit lebih lengkap dari peristiwa ini, termasuk syair ini, tercatat dalam Dhp-a IV 31-33; baca BL 3:213-14. Spk: “Sang Buddha merenungkan demikian dengan belas kasihan, setelah melihat orang-orang menderita hukuman di dunia yang dikuasai oleh raja-raja yang tidak lurus.” ↩︎

  40. Dalam 51:10 (V 259,18-20 = DN II 103,23-26) dikatakan bahwa seseorang yang telah menguasai empat landasan kekuatan batin dapat, jika ia menginginkan, hidup selama satu kappa atau sampai akhir dari kappa tersebut. Māra mengajukan bujukan ini kepada Sang Buddha, bukan karena kemampuan kepemimpinanNya, tetapi karena ia ingin menggodaNya dengan nafsu kekuasaan dan dengan demikian mempertahankanNya di bawah kendalinya. Mengherankan bahwa sutta ini tidak memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut apakah pemerintahan yang lurus adalah mungkin; dan makna ganda ini meliputi Kanon Pāli secara keseluruhan. Sementara beberapa teks mengakui bahwa penguasa yang lurus memang muncul (“Raja-Pemutar-Roda”), konsensus umum adalah bahwa menjalankan kekuasaan biasanya melibatkan pengerahan kekerasan dan dengan demikian adalah sulit untuk menyesuaikan dengan pelaksanaan sīla secara sempurna. Untuk diskusi lengkap mengenai makna ganda ini, baca Collins, Nirvana and Other Buddhist Felicities, pp.419-36, 448-70. ↩︎

  41. Dalam pāda c, Be dan Se membaca dvittāva, walaupun ortografi dalam Ee1 & 2, dvittā va, lebih disukai. Spk: “Jangankan satu gunung, bahkan dua kali (dvikkhatum pi tāva) gunung emas besar tidak akan cukup untuk satu orang.” Versi BHS untuk syair ini menulis vittaṃ, pusaka, menggantikan dvittā (baca Concordance 1 (B)). ↩︎

  42. Spk: “Penderitaan bersumber pada lima utas kenikmatan indria; yaitu ‘sumber dari mana ia muncul’ (yatonidānaṃ). Ketika seseorang melihat demikian, untuk alasan apakah ia harus condong pada kenikmatan indria itu yang merupakan sumber penderitaan?” Upadhi dalam pāda c dikemas oleh Spk sebagai kāmaguṇa-upadhi; baca n.21. sebagai pengganti saṅgo, ikatan, versi BHS menulis *śalyam (*Pāli: sallam), anak panah.

    Spk-pṭ: Sumber penderitaan adalah ketagihan, dan sumber ketagihan adalah lima utas kenikmatan indria. Oleh karena itu dikatakan bahwa lima utas kenikmatan indria – kondisi bagi ketagihan – adalah sumber penderitaan. Ketika seorang yang telah memahami kenyataan sepenuhnya melihat penderitaan sebagaimana adanya dengan mata kebijaksanaan, dan melihat utas-utas kenikmatan indria sebagai sumbernya, maka tidak ada alasan baginya untuk condong pada kenikmatan indria. ↩︎

  43. Spk: “Tongkat kayu udumbara, agak bengkok, adalah untuk menunjukkan bahwa ia memiliki sedikit keinginan (appicchabhāva, moralitas seorang petapa).” Dalam pengorbanan Veda, kayu udumbara digunakan untuk segala jenis keperluan upacara; tiang pengorbanan, sendok, dan jimat dibuat dari kayu ini (Macdonnell dan Keith, Vedic Index, s.v. udumbara). ↩︎

  44. Baca 1:20. Di sini Māra muncul sebagai pendukung gagasan brahmana bahwa meninggalkan keduniawian (sannyāsa) harus ditunda hingga seseorang telah menikmati kehidupan rumah tangga sepenuhnya. Mengenai bagaimana para bhikkhu muda, anak laki-laki “dalam usia kehidupan yang prima, yang belum bermain-main dengan kenikmatan indria,” dapat menjalani kehidupan suci tanpa dikuasai oleh kenikmatan indria, baca 35:127↩︎

  45. Ini adalah isyarat keputus-asaan. Daṇḍapāṇi orang Sakya digambarkan dalam istilah yang sama pada MN I 109,1-2. ↩︎

  46. Samiddhi telah muncul pada 1:20. ↩︎

  47. Seperti pada 4:17; baca n.291↩︎

  48. Syair ini = Th 46, syair tunggal Samiddhi. Saya memahami buddhā dalam pāda b sebagai variasi ejaan vuḍḍhā (tulisan pada Th 46), walaupun Spk mengemas buddhā di sini sebagai ñātā, yang mana Spk-pṭ menambahkan: Tā ariyamaggena jānanasamatthanabhāvena avabuddhā; “Mereka telah memahami jalan mulia melalui kapasitasnya untuk pengetahuan.” ↩︎

  49. Kisah Godhika diceritakan pada Dhp-a I 431-33; baca BL 2:90-91. Spk menjelaskan sāmayikā cetovimutti, “kebebasan pikiran sementara,” sebagai pencapaian meditatif duniawi (lokiya-samāpatti), yaitu, jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa bentuk, disebut demikian karena pada saat-saat penyerapan pikiran terbebas dari kondisi-kondisi yang berlawanan dan terpusat pada objek. Ia jatuh dari kebebasan pikiran itu karena penyakitnya. Karena dikalahkan oleh penyakit kronis yang disebabkan oleh angin, empedu dan dahak (“tiga cairan” dari obat-obatan tradisional India), ia tidak mampu memenuhi kondisi yang kondusif untuk berkonsentrasi. Setiap kali ia memasuki pencapaian itu, segera ia jatuh dari sana. ↩︎

  50. Satthaṃ āhareyyaṃ. Sebuah ungkapan eufemisme untuk bunuh diri; baca 22:87 (III 123,10,26), 35:87 (IV 57,6), dan 54:9 (V 320,24,25). Spk: Ia merenungkan sebagai berikut: “Karena tujuan setelah kematian bagi seseorang yang telah jatuh dari jhāna adalah tidak dapat dipastikan, sementara seseorang yang tidak jatuh adalah pasti terlahir kembali di alam brahmā, maka aku akan menggunakan pisau ini.” Mengenai sikap Sang Buddha terhadap bunuh diri, baca 35:87 (IV 60,1-5). ↩︎

  51. Spk: Māra berpikir: “Petapa ini ingin menggunakan pisau, ini menunjukkan bahwa ia tidak peduli pada tubuh dan kehidupannya, dan seorang yang demikian mampu mencapai Kearahattaan. Jika aku mencoba melarangnya ia tidak akan berhenti, tetapi jika Sang Guru melarangnya ia akan berhenti.” Oleh karena itu, dengan berpura-pura mencemaskan kesejahteraan bhikkhu tersebut, ia mendatangi Sang Bhagavā. ↩︎

  52. Spk: Jane sutā ti jane visutta; secara literal “terdengar di antara orang-orang = termasyhur di antara orang-orang,” yaitu, termasyhur luas. Ada suatu ironi yang menarik, dalam tiga syair di atas, dalam cara Māra – yang biasanya menyapa Sang Buddha secara tidak sopan sebagai ‘Petapa’ – di sini mencurahkan julukan yang gemerlap kepada Beliau. ↩︎

  53. Spk: Bhikkhu itu berpikir, “Apa gunanya hidup?” berbaring dan mengiris urat lehernya dengan pisau. Rasa sakit muncul. Ia menahankannya, memahami sakit itu (dengan pandangan terang), penuh perhatian, mengamati subjek meditasinya, dan mencapai Kearahattaan sebagai “jatuh pada saat yang sama” (samasīsī; baca Pp 13,25-27, yang dikomentari pada Pp-a 186-87). Ia adalah seorang jīvitasamasīsī, seorang yang mencapai kehancuran kekotoran dan akhir hidup secara bersamaan. (Jenis lain dari samasīsī sembuh dari penyakit berat pada saat yang sama dengan pencapaian Kearahattaan.) ↩︎

  54. Spk: Vivattakkhandhan ti parivattakkhandaṃ; “dengan bahunya terbalik” berarti dengan bahu terpelintir. Ia berbaring di punggungnya ketika ia memegang pisau, tetapi karena ia terbiasa berbaring di sisi kanan, ia menghadapkan kepalanya ke arah kanan dan tetap demikian. ↩︎

  55. Appatiṭṭhena ca bhikkhave viññāṇena Godhiko kulaputto parinibutto. Spk: Māra sedang mencari kesadaran-kelahiran-kembalinya (paṭisandhicitta), tetapi Godhika telah meninggal dunia dengan kesadaran-kelahiran-kembali tidak terbentuk; artinya adalah: karena tidak terbentuk (appatiṭṭhitakāraṇa: atau, dengan sebab yang tidak terbentuk).

    Spk-pṭ: Appatiṭṭhena adalah suatu bentuk instrumental yang digunakan sebagai indikasi perasaan (itthambhūtalakkhaṇa). Artinya adalah: dengan (kesadaran) yang tidak mengalami kemunculan (anuppattidhammena); karena jika ada kemunculan, kesadaran akan disebut “terbentuk.” Tetapi ketika komentator mengatakan, “karena tidak terbentuk,” apa yang dimaksudkan adalah bahwa penyebab bagi ketidak-terbentukannya kesadaran adalah penyebab bagi parinibbāna-nya (yadeva tassa viññāṇassa appatiṭṭhānakāranaṃ tadeva parinibbānakāranaṃ).

    Kasus bunuh diri serupa yang tercatat adalah Bhikkhu Vakkali pada 22:87. Ketika bhikkhu itu dikatakan mencapai Nibbāna akhir dengan kesadaran tidak terbentuk, ini jangan dianggap bahwa setelah kematian kesadaran bertahan dalam kondisi “tidak terbentuk” (sebuah tesis yang dibantah oleh Harvey, The Selfless Mind, pp.208-210); karena banyak naskah yang menegaskan bahwa dengan meninggalnya Arahant maka kesadaran juga padam dan tidak ada lagi (baca, misalnya, 12:51). ↩︎

  56. Syair ini (yang pasti merupakan tambahan para redaktur) muncul pada Sn 449, di mana, mengikuti syair yang bersesuaian dengan vv.504-5. Dalam syair ini Māra dianggap sebagai yakkha. ↩︎

  57. Spk menjelaskan tujuh tahun pengejaran sebagai enam tahun (usaha) Sang Buddha sebelum penerangan sempurna dan tahun pertama sesudahnya. Akan tetapi, sutta berikutnya, yang jelas mengikuti dalam urutan persis setelahnya, adalah godaan oleh putri-putri Māra, yang sumber-sumber lain dengan jelas menyebutkan terjadi segera setelah pencapaian penerangan sempurna (baca n.322), Sutta ini sepertinya mengonfirmasi hal ini dengan menempatkan dialog dengan Māra terjadi di bawah pohon Banyan Penggembala, di sekitar Pohon Bodhi. Komentar biasanya menempatkan peristiwa Sang Buddha berdiam di bawah Pohon Bodhi pada minggu ke lima setelah penerangan sempurna (baca Ja I 78,9-11).

    Mencari peluang untuk menguasaiNya (otārāpekkho). Spk: Ia berpikir: “Jika aku menemukan apa pun yang tidak layak (ananucchavikaṃ) dalam perilaku Petapa Gotama melalui pintu jasmani, dan seterusnya, maka aku akan mencelaNya.” Tetapi ia tidak dapat menemukan bahkan sebutir debu (dari perilaku salah) yang harus dibersihkan. Mengenai otāra (= vivara, Spk) baca 35:240 (IV 178,13-16,33), 35:243 (IV 185,11-15;186,27-30), 47:6 (V 147,17-18, 27-28), 47:7 (V 149,7,16). ↩︎

  58. Spk: Bhavalobhajappan ti bhavalobhasankhāṃ taṇhaṃ; “Si serakah yang menginginkan kehidupan adalah ketagihan yang terdapat dalam keserakahan pada penjelmaan.” ↩︎

  59. Saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca pāda d: yaṃ saccaṃ taṃ nirūpadhiṃ (Ee1: yaṃ sabbantaṃ nirūpadhiṃ). Nibbāna, kebenaran tertinggi (paramasacca), sering digambarkan sebagai sabbupadhipaṭinissagga, “pelepasan segala perolehan,” dan di sini sebagai nirūpadhi. Baca n.21↩︎

  60. Perumpamaan yang sama muncul dalam konteks yang sangat berbeda dalam MN I 234,7-18. ↩︎

  61. Nibbejanīyā gāthā. Spk mengemas nibbejanīyā sebagai ukkaṇṭhanīyā (ketidak-puasan) tetapi tidak menjelaskan penurunannya. Mungkin kata ini berhubungan dengan nibbidā, walaupun digunakan dalam makna lain; baca MW, s.v. nirvid. ↩︎

  62. Kalimat ini, sehubungan dengan “tidak mampu berkata-kata”; adalah penggambaran atas pihak yang kalah; juga pada MN I 132,28-30, 324,1-2, 258,28-30. Se dan Ee1 menuliskan paragraf ini sebagai kalimat terakhir dari sutta sebelumnya, tetapi saya mengikuti Be dan Ee2. Karena kedua Sutta membentuk narasi tunggal, pemisahan keduanya adalah keputusan yang sewenang-wenang. ↩︎

  63. Nama-nama mereka berarti ketagihan, ketidak-puasan, dan nafsu. Spk menjelaskan bahwa mereka melihat ayah mereka dalam keadaan sedih dan mendekat untuk mengetahui alasannya. Kisah pertemuan Sang Buddha dengan putri-putri Māra juga tercatat dalam Ja I 78-79 dan Dhp-a III 195-98; baca BL 3:33-34. jelas terjadi pada minggu ke lima setelah penerangan sempurna. Kisah yang sama dalam versi BHS terdapat pada Mvu III 281-86 juga terjadi pada periode yang sama; baca Jones, 3:269-74. ↩︎

  64. Penjelasan Spk menunjukkan bahwa tidak ada lagi yang ada di balik perumpamaan selain yang terlihat oleh mata: “Mereka menangkap seekor gajah dan menuntunnya keluar dari hutan dengan umpan seekor betina yang memikatnya dengan kebetinaannya.” ↩︎

  65. Pada idiom pāde te samaṇa paricārena, Geiger mengatakan: “Dalam ucapan sopan seseorang menggunakan pādā, kaki, untuk seseorang. Artinya adalah: ‘Kami ingin mematuhi perintahmu bagaikan budak-perempuan’” (GermTr, p.193, n.5). Sindiran jenis kelamin tidak dapat dihindari. Anehnya, Spk tidak memberikan penjelasan di sini mengenai anuttare upadhisaṅkhaye vimutto, tetapi baca n.356↩︎

  66. Spk mengemas senaṃ sebagai kilesasenaṃ, “bala tentara kekotoran,” dan menuliskan: “Setelah menaklukkan bala tentara kesenangan dan kenikmatan, bermeditasi sendirian, aku menemukan kebahagiaan Kearahattaan, yang disebut ‘pencapaian tujuan, kedamaian hati’ (atthassa pattiṃ hadayassa santiṃ).” Mahākaccāna memberikan komentar panjang mengenai syair ini pada AN V 47,3 – 48,4. mengenai piyarūpaṃ sātarūpaṃ, “kesenangan dan kenikmatan,” baca 12:66 (II 109-12), DN II 308-11. ↩︎

  67. Baik versi BHS dari syair-syair ini (pada Mvu III 283-84) maupun Skt (tertulis pada Ybhūś 4:1-3; Enomoto, CSCS, pp.25-26) menuliskan bentuk kini tarati dalam pāda b, bukannya bentuk aoris atari dalam Pāli; karena bentuk kini lebih masuk akal, saya menerjemahkan mengikuti Pāli.

    Spk: lima banjir terseberangi (pañcoghatiṇṇo): seseorang yang telah menyeberangi banjir kekotoran dalam lima pintu indria. Ke enam: Ia telah menyeberangi banjir kekotoran ke enam, yang berhubungan dengan pintu pikiran. Atau dengan kata lain: dengan menyebutkan lima banjir, yang dimaksudkan adalah lima belenggu yang lebih rendah; yang ke enam adalah lima belenggu yang lebih tinggi. ↩︎

  68. Spk: Tenang dalam jasmani (passadhikāyo): ini muncul dengan penenangan nafas-masuk-dan-keluar dalam jhāna ke empat (baca AN II 41,21-28). Dalam pikiran yang terbebaskan sepenuhnya (suvimuttacitto): terbebaskan sepenuhnya oleh kebebasan buah Kearahattaan. Tidak menghasilkan (asaṅkharāno): tidak menghasilkan tiga jenis bentukan kehendak (baca 12:51; juga n.165). Bermeditasi yang bebas pemikiran dalam jhāna ke empat. Ia tidak meledak, dan seterusnya: Ia tidak meledak (na kuppati) karena kebencian, atau hanyut (sarati) karena nafsu, atau kaku (na thīno) karena delusi. Atau dengan kata lain: istilah pertama maksudnya adalah rintangan permusuhan; ke dua, rintangan kenikmatan indria; ke tiga, rintangan-rintangan lainnya (baca 46:2). ↩︎

  69. Dalam pāda a, saya bersama dengan Se membaca acchejji, bentuk aoris dari chindati, memotong. Kata kerja finitif sepertinya lebih diterima oleh saya daripada bentuk absolutif acchejja dari Be dan Ee1 & 2; variasi acchecchi yang disarankan oleh PED juga dapat diterima. Kata kerja ini harus dibedakan dengan *acchejja (*atau acchijja, Ee1) dalam pāda d, bentuk absolutif dari acchindati, merampok, merenggut. Tulisan dalam Be dan Ee1 dari pāda a mungkin muncul karena kebingungan pada kedua istilah ini.

    Saya membaca pāda b: addhā tarissanti bahū ca sattā. Be, Ee2 dan SS membaca kata terakhir sebagai saddhā, tetapi kemasan dalam Spk mendukung sattā: addhā aññe pi bahujanā ekaṃsena tarissanti. Versi BHT dari Mvu terlalu berbeda untuk dapat membantu dan mungkin rusak, tetapi Jones (pada 3:273, n.4) menyarankan untuk mengganti raktā menjadi sattvā, yang dengan demikian mendukung tulisan yang saya adopsi. Tarissanti tentu saja lebih disukai daripada variasi tulisan carissanti, yang terdapat dalam Be, Se, dan Ee1. ↩︎

  70. Syair ini muncul dalam konteks yang berbeda pada Vin I 43,27-28. Saya mengikuti Be dan Se dalam membaca, dalam pāda c, bentuk aktif nayamānānaṃ, bacaan umum dari Vin. Ee1 & 2, berdasarkan pada SS, menulis nīyamānānaṃ*/niyyamānānaṃ.* Versi BHS pada Uv 21:8 dan Mvu III 90 juga berbentuk aktif, sementara Prakrit pada G-Dhp 267 bermakna ganda. ↩︎

  71. Dalam versi BHS vv.516-17 diduga berasal dari Sang Buddha. Syair penutup jelas ditambahkan oleh redaktur. ↩︎