easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Aku akan mengungkapkan kehidupan suci yang sama sekali murni dan sempurna,1 yaitu, enam kelompok enam. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Enam landasan internal harus dipahami. Enam landasan eksternal harus dipahami. Enam kelompok kesadaran harus dipahami. Enam kelompok kontak harus dipahami. Enam kelompok perasaan harus dipahami. Enam kelompok ketagihan harus dipahami.

4. (i) “‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam landasan internal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam pertama. [281]

5. (ii) “‘Enam landasan eskternal harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan-bentuk, landasan-suara, landasan-bau, landasan-rasa kecapan, landasan-objek sentuhan, landasan-objek pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam landasan eksternal harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke dua.

6. (iii) “‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam kelompok kesadaran harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke tiga.

7. (iv) “‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam kelompok kontak harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke empat.

8. (v) “‘Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam kelompok perasaan harus dipahami.’ [282] Ini adalah kelompok enam ke lima.

9. “‘Enam kelompok ketagihan harus dipahami.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, muncul kesadaran-mata; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan.2 Dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, muncul kesadaran-telinga … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan. Dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, muncul kesadaran-hidung … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan. Dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, muncul kesadaran-lidah … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan. Dengan bergantung pada badan dan objek-objek sentuhan, muncul kesadaran-badan … dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan. Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, muncul kesadaran-pikiran; pertemuan ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncul perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi maka muncul ketagihan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Enam kelompok ketagihan harus dipahami.’ Ini adalah kelompok enam ke enam.

10. (i) “Jika seseorang mengatakan, ‘Mata adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan.3 Timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya mata adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Mata adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri.4

“Jika seseorang mengatakan ‘Bentuk-bentuk adalah diri’5 … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Bentuk-bentuk adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kesadaran-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Kesadaran-mata adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri kesadaran-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Kontak-mata adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Kontak-mata adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Perasaan adalah diri’ [283] … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Perasaan adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka mata adalah bukan diri, bentuk-bentuk adalah bukan diri, kesadaran-mata adalah bukan diri, kontak-mata adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, ketagihan adalah bukan diri.

11. (ii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Telinga adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya telinga adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Telinga adalah diri.’ Dengan demikian maka telinga adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Suara-suara adalah diri’ … ‘Kesadaran-telinga adalah diri’ … ‘Kontak-telinga adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka telinga adalah bukan diri, suara-suara adalah bukan diri, kesadaran-telinga adalah bukan diri, kontak-telinga adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, ketagihan adalah bukan diri.

12. (iii) “Jika seseorang mengatakan, ‘Hidung adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya hidung adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Hidung adalah diri.’ Dengan demikian maka hidung adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Bau-bauan adalah diri’ … ‘Kesadaran-hidung adalah diri’ … ‘Kontak-hidung adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka hidung adalah bukan diri, bau-bauan adalah bukan diri, kesadaran-hidung adalah bukan diri, kontak-hidung adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, ketagihan adalah bukan diri.

13. (iv) “Jika seseorang mengatakan, ‘Lidah adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya lidah adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Lidah adalah diri.’ Dengan demikian maka lidah adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Rasa kecapan adalah diri’ … ‘Kesadaran-lidah adalah diri’ … ‘Kontak-lidah adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka lidah adalah bukan diri, rasa-kecapan adalah bukan diri, kesadaran-lidah adalah bukan diri, kontak-lidah adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, ketagihan adalah bukan diri.

14. (v) “Jika seseorang mengatakan, ‘Badan adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya badan adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Badan adalah diri.’ Dengan demikian maka badan adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek sentuhan adalah diri’ … ‘Kesadaran-badan adalah diri’ … ‘Kontak-badan adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka badan adalah bukan diri, objek-objek sentuhan adalah bukan diri, kesadaran-badan adalah bukan diri, kontak-badan adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

15. (vi) “Jika seseorang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri,’ itu tidak dapat dipertahankan. Timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, dan karena timbul dan tenggelamnya pikiran adalah nyata, maka berarti: ‘Diriku adalah timbul dan tenggelam.’ Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Pikiran adalah diri.’ Dengan demikian maka pikiran adalah bukan diri.

“Jika seseorang mengatakan ‘Objek-objek pikiran adalah diri’ … ‘Kesadaran-pikiran adalah diri’ … ‘Kontak-pikiran adalah diri’ … ‘Perasaan adalah diri’ … [284] … ‘Ketagihan adalah diri’ … Itulah sebabnya maka adalah tidak dapat dipertahankan jika seseorang mengatakan, ‘Ketagihan adalah diri.’ Dengan demikian maka pikiran adalah bukan diri, objek-objek pikiran adalah bukan diri, kesadaran-pikiran adalah bukan diri, kontak-pikiran adalah bukan diri, perasaan adalah bukan diri, keinginan adalah bukan diri.

16. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju asal-mula identitas.6 (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap ketagihan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

17-21. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan sebagai berikut … Seseorang menganggap ketagihan sebagai berikut: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku.’

22. “Sekarang, Para bhikkhu, ini adalah jalan menuju lenyapnya identitas.7 (i) Seseorang menganggap mata sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ia menganggap bentuk-bentuk sebagai berikut … Ia menganggap kesadaran-mata sebagai berikut … Ia menganggap kontak-mata sebagai berikut … Ia menganggap perasaan sebagai berikut … Ia menganggap ketagihan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

23-27. (ii-vi) “Seseorang menganggap telinga sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap hidung sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap lidah sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ … Seseorang menganggap badan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap pikiran sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Seseorang menganggap objek-objek pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap kesadaran-pikiran … Seseorang menganggap kontak-pikiran sebagai berikut … Seseorang menganggap perasaan [285] sebagai berikut … Seseorang menganggap ketagihan sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’

28. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk,8 maka kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia menyenanginya, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia berdukacita, bersedih dan meratap, menangis dengan memukul dada dan menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada penolakan berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia tidak memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, tanpa menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada penolakan terhadap perasaan menyakitkan, tanpa membasmi kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, tanpa meninggalkan ketidak-tahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati9 - ini adalah tidak mungkin.

29-33. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan … Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan tanpa meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … tanpa meninggalkan ketidak-tahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah tidak mungkin. [286]

34. (i) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, kesadaran-mata muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan. Ketika seseorang tersentuh oleh suatu perasaan yang menyenangkan, jika ia tidak menyenanginya, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya, maka kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan menyakitkan, jika ia tidak berdukacita, tidak bersedih dan tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada dan tidak menjadi putus asa, maka kecenderungan tersembunyi pada penolakan tidak berdiam di dalam dirinya. Ketika ia tersentuh oleh perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, jika ia memahami sebagaimana adanya asal-mulanya, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan itu, maka kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan tidak berdiam di dalam dirinya. Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan, dengan menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada penolakan terhadap perasaan menyakitkan, dengan membasmi kecenderungan tersembunyi pada ketidak-tahuan atas perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, dengan meninggalkan ketidak-tahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah mungkin.

35-39. (ii-vi) “Para bhikkhu, dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, kesadaran-telinga muncul … Dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, kesadaran-pikiran muncul; pertemuan dari ketiga ini adalah kontak; dengan kontak sebagai kondisi maka muncullah [perasaan] yang dirasakan sebagai menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyenangkan-juga-bukan-menyakitkan … Para bhikkhu, bahwa seseorang di sini dan saat ini dapat mengakhiri penderitaan dengan meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu akan perasaan menyenangkan … dengan meninggalkan ketidak-tahuan dan membangkitkan pengetahuan sejati - ini adalah mungkin.

40. “Dengan melihat demikian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga … Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, kecewa dengan perasaan, kecewa dengan keinginan.

41. “Karena kecewa, [287] ia menjadi bosan, melalui kebosanan [pikirannya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Ketika khotbah ini sedang dibabarkan, melalui ketidak-melekatan batin enam puluh bhikkhu itu terbebaskan dari noda-noda.10


Catatan Kaki
  1. Rangkaian sebutan ini, biasanya menggambarkan Dhamma secara keseluruhan, tetapi di sini bertujuan untuk menekankan pentingnya khotbah yang akan dibabarkan oleh Sang Buddha ini. ↩︎

  2. Dua klausa terakhir dalam rangkaian ini juga terdapat dalam formula baku kemunculan bergantungan, yang secara implisit tersirat dalam khotbah tentang enam kelompok enam ini. ↩︎

  3. Kata kerja upapajjati (edisi PTS menuliskan uppajjati, adalah suatu kesalahan), biasanya berarti “muncul kembali” atau “terlahir kembali,” tetapi juga memiliki penggunaan khusus yang secara logika berarti “dipertahankan, diterima,” seperti makna di sini. ↩︎

  4. Argumentasi ini menurunkan prinsip tanpa-diri dari premis ketidak-kekalan yang tahan-uji. Struktur argumentasi ini secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut: apapun yang menjadi diri pasti adalah kekal; X secara langsung terlihat sebagai tidak kekal, yaitu, ditandai dengan timbul dan tenggelamnya; oleh karena itu X adalah bukan-diri. ↩︎

  5. Argumentasi lengkap pada paragraf sebelumnya diulangi untuk masing-masing dari kelima hal lainnya dalam tiap-tiap kelompok enam. ↩︎

  6. MA menjelaskan bahwa paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan dua kebenaran mulia – penderitaan dan asal-mulanya – melalui tiga obsesi (gāha). Kebenaran penderitaan ditunjukkan dengan kata “identitas,” di tempat lain dijelaskan sebagai lima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan (MN 44.2). Ketiga obsesi adalah ketagihan, keangkuhan, dan pandangan, yang berturut-turut memunculkan gagasan “milikku,” “aku,” dan “diriku.” Kedua kebenaran ini bersama-sama merupakan lingkaran kehidupan. ↩︎

  7. MA: Paragraf ini disebutkan untuk menunjukkan kedua kebenaran mulia lainnya – lenyapnya dan sang jalan – dengan penolakan pada ketiga obsesi. Kedua kebenaran ini merupakan akhir dari lingkaran. ↩︎

  8. MA: Paragraf ini menunjukkan lingkaran kehidupan sekali lagi, kali ini melalui kecenderungan tersembunyi. Tentang kecenderungan tersembunyi dan hubungannya dengan tiga jenis perasaan, baca MN 44.25-28. ↩︎

  9. MA: Ketidak-tahuan yang disebutkan pertama adalah tidak adanya pemahaman atas asal-mula, dan seterusnya terhadap perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Penyebutan ke dua adalah ketidak-tahuan yang menjadi akar dari lingkaran. ↩︎

  10. MA: Tidak ada yang luar biasa pada fakta bahwa enam puluh bhikkhu itu mencapai Kearahattaan ketika Sang Buddha mengajarkan sutta ini untuk pertama kali. Tetapi setiap kali Sariputta, Moggallāna, dan delapan puluh siswa besar lainnya mengajarkan sutta ini, enam puluh bhikkhu mencapai Kearahattaan. Di Sri Lanka Bhikkhu Maliyadeva mengajarkan sutta ini di enam puluh tempat, dan di setiap tempat enam puluh bhikkhu mencapai Kearahattaan. Tetapi ketika Bhikkhu Tipiṭaka Cūḷanāga mengajarkan sutta ini kepada sekelompok besar para dewa dan manusia, di akhir khotbah ini seribu bhikkhu mencapai Kearahattaan, dan di antara para dewa hanya satu yang masih tetap menjadi kaum duniawi. ↩︎