easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.1

2. Kemudian, sewaktu Sang Bhagavā sedang sendirian dalam meditasi, sebuah pemikiran muncul pada Beliau sebagai berikut: “Kondisi-kondisi yang matang dalam kebebasan telah muncul dalam diri Rāhula.2 Bagaimana jika Aku menuntunnya lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”

Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika Beliau telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan Beliau berkata kepada Yang Mulia Rāhula sebagai berikut:

“Bawalah alas dudukmu, Rāhula; mari kita pergi ke Hutan Orang Buta [278] untuk melewatkan hari.”

“Baik, Yang Mulia,” Yang Mulia Rāhula menjawab, dan dengan membawa alas duduknya, ia mengikuti persis di belakang Sang Bhagavā.

Pada saat itu ribuan para dewa mengikuti Sang Bhagavā, dengan berpikir: “Hari ini Sang Bhagavā akan menuntun Yang Mulia Rāhula lebih jauh menuju hancurnya noda-noda.”3

Kemudian Sang Bhagavā memasuki Hutan Orang Buta dan duduk di bawah sebatang pohon di atas tempat duduk yang telah dipersiapkan. Dan Yang Mulia Rāhula bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Rāhula:

3. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah mata adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

“Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah bentuk-bentuk … Apakah kesadaran-mata … [279] … Apakah kontak-mata … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?”4 – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

4-8. “Rāhula, bagaimana menurutmu? Apakah telinga adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah hidung adalah kekal atau tidak kekal … Apakah lidah adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah badan adalah kekal atau tidak kekal?… Apakah pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah objek-objek pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kesadaran-pikiran adalah kekal atau tidak kekal? … Apakah kontak-pikiran adalah kekal atau tidak kekal … Apakah segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak pikiran sebagai kondisinya adalah kekal atau tidak kekal?” – “Tidak kekal, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal itu adalah penderitaan atau kebahagiaan?” – “Penderitaan, Yang Mulia.” – “Apakah yang tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan itu layak dianggap sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?” – “Tidak, Yang Mulia.”

9. “Dengan melihat demikian, Rāhula, seorang siswa mulia yang terpelajar menjadi kecewa dengan mata, kecewa dengan bentuk-bentuk, kecewa dengan kesadaran-mata, kecewa dengan kontak-mata, dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-mata sebagai kondisinya.

“Ia menjadi kecewa dengan telinga … Ia menjadi kecewa dengan hidung … Ia menjadi kecewa dengan lidah … Ia menjadi kecewa dengan badan … Ia menjadi kecewa dengan pikiran, kecewa dengan objek-objek pikiran, kecewa dengan kesadaran-pikiran, kecewa dengan kontak-pikiran, [280] dan kecewa dengan segala sesuatu yang terdapat dalam perasaan, persepsi, bentukan-bentukan, dan kesadaran yang muncul dengan kontak-pikiran sebagai kondisinya.”

10. “Karena kecewa, ia menjadi bosan, melalui kebosanan [pikirannya] terbebaskan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Rāhula merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Sewaktu khotbah ini sedang dibabarkan Batin Rāhula terbebas dari noda-noda. Dan pada ribuan para dewa itu muncul penglihatan Dhamma yang bersih tanpa noda: “Segala sesuatu yang tunduk pada kemunculan juga tunduk pada kelenyapan.”5


Catatan Kaki
  1. MA mengatakan bahwa khotbah ini dibabarkan kepada Rāhula tidak lama setelah penahbisan penuhnya, mungkin pada usia dua puluh tahun. Sutta ini juga muncul pada SN 35:121/iv.105-7. ↩︎

  2. Vimuttiparipācaniyā dhammā. MA menginterpretasikan ini sebagai lima belas kualitas yang memurnikan lima indria (keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan), yaitu, untuk masing-masing indria: menghindari orang-orang yang tidak memiliki indria itu, bergaul dengan orang-orang yang memiliki indria itu, dan merenungkan sutta-sutta yang menginspirasi kematangannya. MA membawakan kelompok lima belas kualitas yang lain: kelima indria itu sendiri, lima persepsi yang berhubungan dengan penembusan, yaitu, persepsi ketidak-kekalan, penderitaan, tanpa-diri, meninggalkan, dan kebosanan; dan lima kualitas yang diajarkan kepada Meghiya, yaitu, persahabatan mulia, moralitas peraturan-peraturan monastik, percakapan yang sesuai, kegigihan, dan kebijaksanaan (baca AN 9:3/iv.356; Ud 4:1/36). ↩︎

  3. MA mengatakan bahwa para dewa ini, yang datang dari berbagai alam surga adalah teman-teman Rāhula pada kehidupan lampau di mana ia pertama kali bercita-cita untuk mencapai Kearahattaan sebagai putera seorang Buddha. ↩︎

  4. Harus dipahami bahwa empat hal yang disebutkan terakhir adalah empat kelompok unsur batin. Dengan demikian khotbah ini tidak hanya mencakup landasan-landasan indria tetapi juga kelima kelompok unsur kehidupan, kelompok unsur bentuk materi dijelaskan melalui organ indria fisik dan objek-objeknya. ↩︎

  5. Menurut MA, pemasuk-arus adalah pencapaian terendah dari para dewa itu, tetapi beberapa di antara mereka mencapai jalan-jalan dan buah yang lebih tinggi hingga tingkat Kearahattaan. ↩︎