easter-japanese

[68] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.1 Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Rājagaha, di Isigili – Kerongkongan Para Petapa. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat Gunung Vebhāra itu?”2 – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vebhāra itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Paṇḍava itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Paṇḍava itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Vepulla itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Vepulla itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Gijjhakuṭa itu – Puncak Nasar itu?” – “Ya, Yang Mulia.”

“Dulunya ada nama lain, sebutan lain, untuk Gunung Gijjhakuṭa itu – Puncak Nasar itu. Apakah kalian melihat, Para Bhikkhu, Gunung Isigili itu – Kerongkongan Para petapa?” – “Ya, Yang Mulia.”

3. “Dulunya nama yang sama ini, sebutan yang sama ini, untuk Gunung Isigili – Kerongkongan Para Petapa itu. Karena di masa lalu lima ratus paccekabuddha3 menetap lama di gunung ini, Kerongkongan Para Petapa ini. Mereka terlihat memasuki bukit ini; begitu masuk, mereka tidak terlihat lagi. Orang-orang yang menyaksikan ini berkata: ‘Gunung ini menelan para petapa ini.’4 Dan oleh karena itulah maka dinamakan ‘Kerongkongan Para Petapa.’ Aku akan memberitahu kalian, para bhikkhu, nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan menyampaikan kepada kalian nama-nama para paccekabuddha ini, Aku akan mengajarkan kepada kalian [69] nama-nama para paccekabuddha ini. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, Paccekabuddha Ariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Upariṭṭha menetap lama di Gunung Isigili. Paccekabuddha Tagarasikhin5 … Yasassin … Sudassana … Piyadassin … Gandhāra … Piṇḍola … Upāsabha … Nitha … Tatha … Sutavā … Bhāvitatta menetap lama di Gunung Isigili.

5. “Makhluk-makhluk suci ini, tanpa keinginan, bebas dari penderitaan, Yang masing-masing mencapai pencerahan oleh dirinya sendiri – Dengarkanlah Aku mengucapkan nama-nama orang-orang ini, Yang Termulia Di antara manusia, yang telah mencabut anak panah [kesakitan].

Ariṭṭha, Upariṭṭha, Tagarasikhin, Yasassin, Sudassana, dan Piyadassin yang tercerahkan, Gandhāra, Piṇḍola, serta Upāsabha, Nītha, Tathā, Sutava, Bhāvitatta. [70]

6. “Sumbha, Subha, Methula, dan Aṭṭhama,6 Kemudian Assumegha, Anīgha, Sudāṭha – Dan Hingū, dan Hinga, yang sangat perkasa, Para paccekabuddha yang telah menghancurkan saluran menuju penjelmaan.

Dua bijaksana bernama Jāli, dan Aṭṭhaka, Kemudian Kosala yang tercerahkan, kemudian Subāhu, Upanemi, dan Nemi, dan Santacitta Baik dan benar, bersih dan bijaksana.

Kāḷa, Upakāḷa, Vijita, dan Jita; Anga, dan Panga, dan Gutijjita juga; Passin menaklukkan perolehan, akar penderitaan; Aparājita menaklukkan kekuatan Māra.

Satthar, Pavattar, Sarabhanga, Lomahaṁsa, Uccangamāya, Asita, Anāsava, Manomaya, dan Bhanduma yang bebas dari kebanggaan, Tadādhimuta yang tanpa noda dan gemilang;

Ketumbarāga, Mātanga, dan Ariya, Kemudian Accuta, Accutagāma, Byāmaka, Sumangala, Dabbila, Supatiṭṭhita, Asayha, Khemābhirata, dan Sorata,

Durannaya, Sangha, dan kemudian Ujjaya; Sang bijaksana lainnya, Sayha, pejuang mulia. Dan dua belas di antaranya – para Ānanda, Nanda, dan Upananda – Dan Bhāradvāja yang membawa jasmani terakhirnya;

Kemudian Bodhi, Mahānāma yang tertinggi, Bhāradvāja dengan surai indah; Tissa dan Upatissa yang tidak terikat pada penjelmaan; Upasīdarin, dan Sidarin, yang bebas dari ketagihan.

Mangala yang tercerahkan, bebas dari nafsu; Usabha memotong jaring, akar penderitaan. Upanita mencapai kondisi kedamaian, Murni, unggul, dinamai dengan benar.

Jeta, Jayanta, Paduma, dan Uppala, Padumuttara, Rakkhita, dan Pabbata, [71] Mānatthaddha yang agung, Vītarāga Dan Kaṇha yang tercerahkan dengan pikiran terbebaskan.

7. “Orang-orang ini dan juga para paccekabuddha lainnya yang mulia dan perkasa Yang tidak lagi mengarah menuju penjelmaan – Hormatilah para bijaksana ini yang, setelah melampaui segala ikatan, Telah mencapai Nibbāna akhir, melampaui segala ukuran.


Catatan Kaki
  1. Di Srilanka, sutta ini secara teratur dibacakan sebagai khotbah perlindungan dan termasuk dalam kompilasi era pertengahan, Mahā Pirit Pota, “Buku Besar Perlindungan.” ↩︎

  2. Ini dan yang berikutnya adalah gunung-gunung yang mengelilingi Rājagaha. ↩︎

  3. Seorang paccekabuddha adalah seorang yang mencapai pencerahan dan kebebasan oleh dirinya sendiri, tanpa bersandar pada Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, tetapi tidak mampu mengajarkan Dhamma kepada orang lain dan menegakkan Pengajaran. Para paccekabuddha hanya muncul pada masa ketika tidak ada Pengajaran dari seorang Buddha di dunia ini. Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang topik ini baca Ria Kloppenborg, The Paccekabuddha: A Buddhist Ascetic↩︎

  4. Ayaṁ pabbato ime isī gilati: terdapat suatu permainan kata di sini. Gili dalam Isigili tentu saja adalah variasi dialek dari giri, gunung, tetapi teks menghubungkannya dengan kata kerja gilati, menelan, dan dengan gala, tenggorokan, kerongkongan. ↩︎

  5. Tagarasikhin dirujuk pada Ud 5:4/50 dan SN 3:20/i.92. ↩︎

  6. Ñm berkomentar dalam Ms bahwa tanpa bantuan komentar adalah sangat sulit untuk membedakan nama-nama yang benar dari para paccekabuddha dari gelar-gelar yang menggambarkan mereka. ↩︎