easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ketakutan apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; kesulitan apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana; bencana apapun yang muncul, semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Seperti halnya api yang muncul di sebuah lumbung yang terbuat dari rumpun gelagah atau rerumputan akan membakar bahkan rumah-rumah beratap lancip, dengan dinding yang diplester luar dan dalam, yang tertutup, terkunci dengan palang, dengan jendela berpenutup; demikian pula, para bhikkhu, ketakutan apapun yang muncul … semuanya muncul karena si dungu, bukan karena seorang bijaksana. Demikianlah si dungu membawa ketakutan, si bijaksana tidak membawa ketakutan; si dungu membawa kesulitan, si bijaksana tidak membawa kesulitan; si dungu membawa bencana, si bijaksana tidak membawa bencana. Tidak ada ketakutan yang datang dari si bijaksana, tidak ada kesulitan yang datang dari si bijaksana, tidak ada bencana yang datang dari si bijaksana. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami harus menjadi orang bijaksana, kami harus menjadi penyelidik.’” [62]

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda bertanya kepada Sang Bhagavā: “Dengan cara bagaimanakah, Yang Mulia, seorang bhikkhu dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik?”

“Ketika, Ānanda, seorang bhikkhu terampil dalam unsur-unsur, terampil dalam landasan-landasan, terampil dalam kemunculan bergantungan, terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin, dengan cara itulah ia dapat disebut seorang bijaksana dan seorang penyelidik.”

4. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Terdapat, Ānanda, delapan belas unsur ini: unsur mata, unsur bentuk, unsur kesadaran-mata; unsur telinga, unsur suara, unsur kesadaran-telinga; unsur hidung, unsur bau-bauan, unsur kesadaran-hidung; unsur lidah, unsur rasa kecapan, unsur kesadaran-lidah; unsur badan, unsur objek sentuhan, unsur kesadaran-badan; unsur pikiran, unsur objek-pikiran, unsur kesadaran-pikiran. Ketika ia mengetahui dan melihat kedelapan-belas unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”1

5. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”

6. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur kenikmatan, unsur kesakitan, unsur kegembiraan, unsur kesedihan, unsur keseimbangan, dan unsur ketidak-tahuan. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”2

7. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, enam unsur ini: unsur keinginan indria, unsur pelepasan keduniawian, unsur permusuhan, unsur tanpa permusuhan, [63] unsur kekejaman, dan unsur tanpa-kekejaman. Ketika ia mengetahui dan melihat keenam unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”3

8. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, tiga unsur ini: unsur alam-indria, unsur materi halus, dan unsur tanpa materi. Ketika ia mengetahui dan melihat ketiga unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”4

9. “Tetapi, Yang Mulia, adakah cara lain yang mana seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur?”

“Ada, Ānanda. Terdapat, Ānanda, dua unsur ini: unsur terkondisi dan unsur tidak terkondisi. Ketika ia mengetahui dan melihat kedua unsur ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam unsur-unsur.”5

10. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan?”

“Terdapat, Ānanda, enam landasan indria internal dan eksternal ini: mata dan bentuk-bentuk, telinga dan suara-suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek-objek sentuhan, pikiran dan objek-objek pikiran.6 Ketika ia mengetahui dan melihat keenam landasan internal dan eksternal ini, maka seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam landasan-landasan.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam kemunculan bergantungan?”7

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengetahui sebagai berikut: “Jika ini ada, maka itu terjadi; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak terjadi; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu. Yaitu, dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka [64] penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan terjadi. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidak-tahuan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’ Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam kemunculan bergantungan.”

12. “Tetapi, Yang Mulia, dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apapun sebagai kekal – tidak ada kemungkinan seperti itu.’8 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap suatu bentukan sebagai kekal – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap bentukan apapun sebagai menyenangkan – tidak ada kemungkinan seperti itu.’9 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap suatu bentukan sebagai menyenangkan – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat menganggap apa pun sebagai diri – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat menganggap sesuatu sebagai diri – ada kemungkinan seperti itu.’10

13. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ibunya – tidak ada kemungkinan seperti itu.’11 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ibunya – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahant – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat membunuh ayahnya … dapat membunuh seorang Arahant – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat, dengan pikiran membenci, melukai seorang Tathāgata hingga berdarah – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat, dengan pikiran membenci, melukai seorang Tathāgata hingga berdarah – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru lain12 – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang biasa dapat memecah-belah Sangha … dapat menerima ajaran guru lain – ada kemungkinan seperti itu.’

14. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia – tidak ada kemungkinan seperti itu.’13 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna dapat muncul dalam satu sistem dunia – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa dua orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa satu orang Raja Pemutar-Roda dapat muncul dalam satu sistem dunia – ada kemungkinan seperti itu.’

15. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna – tidak ada kemungkinan seperti itu.’14 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang laki-laki dapat menjadi seorang Yang Sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sempurna – ada kemungkinan seperti itu.’ Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Sakka [66] … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Brahmā – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seorang laki-laki dapat menjadi seorang Raja Pemutar-Roda … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Sakka … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Māra … bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Brahmā – ada kemungkinan seperti itu.’

16. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salah - tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang salah … perilaku ucapan yang salah … perilaku pikiran yang salah - ada kemungkinan seperti itu.’

17. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik… perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baik - tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin terjadi bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku jasmani yang baik … perilaku ucapan yang baik … perilaku pikiran yang baik - ada kemungkinan seperti itu.’

18. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … [67] menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga – tidak ada kemungkinan seperti itu.’15 Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan salah dalam jasmani … menekuni perbuatan salah dalam ucapan … menekuni perbuatan salah dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – ada kemungkinan seperti itu.’

19. “Ia memahami: ‘Adalah mustahil, tidak mungkin terjadi bahwa seseorang yang menekuni perbuatan benar dalam jasmani … menekuni perbuatan benar dalam ucapan … menekuni perbuatan benar dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam menderita, di alam yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka – tidak ada kemungkinan seperti itu.’ Dan ia memahami: ‘Adalah mungkin bahwa seseorang yang menekuni perbuatan benar dalam jasmani … menekuni perbuatan benar dalam ucapan … menekuni perbuatan benar dalam pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga – ada kemungkinan seperti itu.’

“Dengan cara inilah, Ānanda, seorang bhikkhu dapat disebut terampil dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.”

20. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini, Ānanda, sebagai ‘Banyak Jenis Unsur’ dan sebagai ‘Empat Putaran’16 dan sebagai ‘Cermin Dhamma’ dan sebagai ‘Tambur Tanpa-Kematian’ dan sebagai ‘Kemenangan Tertinggi dalam Peperangan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Delapan belas unsur ini didefinisikan dalam Vbh §§183-84/87-90 dan dijelaskan secara terperinci dalam Vsm XV, 17-43. Secara ringkas, unsur pikiran (manodhātu), menurut Abhidhamma, termasuk kesadaran yang beralih pada kelima objek indria yang mengalami kontak dengan kelima organ indria (pañcadvārāvajjana-citta) dan kesadaran yang menerima objek setelah dikenali melalui indria-indria (sampaṭicchana-citta*).* Unsur kesadaran-pikiran (manoviññāṇadhātu) termasuk semua jenis kesadaran kecuali kesadaran lima indria dan unsur pikiran. Unsur objek-pikiran (dhammadhātu) termasuk jenis-jenis fenomena materi yang halus yang tidak terlibat dalam pengenalan indria, yaitu ketiga kelompok unsur batin perasaan, persepsi, dan bentukan-bentukan, dan Nibbāna. Tidak termasuk konsep-konsep, gagasan-gagasan abstrak, penilaian-penilaian, dan sebagainya. Walaupun yang terakhir ini termasuk dalam gagasan objek-pikiran (dhammārammaṇa*), unsur* objek-pikiran hanya termasuk hal-hal yang ada karena sifat alaminya, bukan hal-hal yang dibentuk oleh pikiran. ↩︎

  2. Ini didefinisikan dalam Vbh §§180/85-86. Unsur kenikmatan dan kesakitan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam jasmani; unsur kegembiraan dan kesedihan adalah perasaan menyenangkan dan menyakitkan dalam batin; unsur keseimbangan adalah perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. MA mengatakan bahwa ketidak-tahuan disebutkan karena jelas serupa dengan unsur keseimbangan. ↩︎

  3. Vbh §§183/86-87 mendefinisikan ini sebagai enam yang bersesuaian dengan jenis-jenis awal pikiran (vitakka); baca MN 19.2 ↩︎

  4. MA menjelaskan unsur bidang-indria sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-indria (kāmāvacara*),* unsur materi-halus sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam-materi halus (rūpāvacara*),* dan unsur tanpa materi sebagai empat kelompok unsur kehidupan yang berhubungan dengan alam tanpa materi (arūpāvacara*).* ↩︎

  5. MA: unsur terkondisi termasuk segala sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi dan merupakan sebutan bagi kelima kelompok unsur kehidupan. Unsur tidak terkondisi adalah Nibbāna. ↩︎

  6. Kedua-belas landasan didefinisikan dalam Vbh §§155-167/70-73 dan dijelaskan dalam Vsm XV, 1-6. landasan pikiran termasuk semua jenis kesadaran, dan dengan demikian terdiri dari seluruh tujuh unsur yang memfungsikan kesadaran. Landasan objek-pikiran adalah identik dengan unsur objek-pikiran. ↩︎

  7. Mengenai kata-kata dalam formula kemunculan bergantungan ini, baca pendahuluan hal.24-25. ↩︎

  8. MA: Seseorang yang memiliki pandangan benar (diṭṭhisampanno) adalah seorang yang memiliki pandangan sang jalan, seorang siswa mulia dengan tingkat minimal pemasuk-arus. “Bentukan” di sini harus dipahami sebagai bentukan terkondisi (sankhata-sankhāra) yaitu, segala sesuatu yang terkondisi. ↩︎

  9. MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia di bawah tingkat Kearahattaan masih dapat memahami bentukan-bentukan sebagai menyenangkan dengan pikiran yang terlepas dari pandangan salah, tetapi ia tidak dapat mengadopsi pandangan bahwa segala bentukan adalah menyenangkan. Walaupun persepsi dan pikiran atas bentukan-bentukan sebagai menyenangkan muncul dalam dirinya, ia mengetahui melalui perenungan bahwa gagasan demikian adalah keliru. ↩︎

  10. Dalam paragraf tentang diri, sankhāra, “bentukan,” digantikan oleh dhamma, “sesuatu.” MA menjelaskan bahwa penggantian ini dilakukan untuk memasukkan konsep-konsep, seperti gambaran kasiṇa, dan sebagainya, yang oleh orang biasa cenderung diidentifikasikan sebagai diri. Akan tetapi, dengan memandang fakta bahwa Nibbāna digambarkan sebagai tidak dapat hancur (accuta) dan sebagai kebahagiaan (sukha*),* dan juga dapat disalah-pahami sebagai diri (baca MN 1.26), kata sankhāra dapat dianggap hanya termasuk yang terkondisi, sedangkan dhamma termasuk baik yang terkondisi maupun yang tidak terkondisi. Akan tetapi, interpretasi ini tidak disetujui oleh komentar-komentar dari Ācariya Buddhaghosa. ↩︎

  11. Bagian ini membedakan orang biasa dan siswa mulia dalam hal lima kejahatan berat. MA menunjukkan bahwa seorang siswa mulia tidak mampu secara sengaja membunuh makhluk hidup, tetapi perbedaan yang diberikan di sini melalui pembunuhan ibu dan pembunuhan ayah menekankan pada sisi bahaya dari kondisi orang biasa dan kekuatan seorang siswa mulia. ↩︎

  12. Yaitu, dapat mengakui seorang lain selain Sang Buddha sebagai guru spiritual tertinggi. ↩︎

  13. MA: kemunculan seorang Buddha lain adalah tidak mungkin terjadi sejak pada saat seorang Bodhisatta memasuki rahim ibunya dalam kehidupan terakhirNya hingga PengajaranNya lenyap sama sekali. Persoalan ini dibahas dalam Miln 236-39. ↩︎

  14. Pernyataan ini hanya menegaskan bahwa seorang Buddha yang Tercerahkan Sempurna adalah selalu berjenis kelamin laki-laki, tetapi tidak menyangkal bahwa seorang yang sekarang adalah perempuan dapat menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan. Akan tetapi, untuk menjadi demikian, pada tahap awalnya, ia harus terlahir kembali sebagai seorang laki-laki. ↩︎

  15. Dalam paragraf ini frasa ‘karena hal itu, karena alasan itu” (tannidāna tappaccayā) adalah sangat penting. Seperti yang akan diperlihatkan oleh Sang Buddha dalam MN 136, seorang yang menekuni perbuatan jahat mungkin terlahir kembali di alam surga dan seorang yang menekuni perbuatan baik mungkin terlahir kembali di alam rendah. Tetapi dalam kasus-kasus itu kelahiran kembali itu disebabkan oleh beberapa kamma yang berbeda dengan kamma dari kebiasaan yang ia tekuni. Hukum yang ketat hanya berlaku pada hubungan antara kamma dan akibatnya. ↩︎

  16. “Empat putaran” adalah unsur-unsur, landasan-landasan, kemunculan bergantungan, dan yang mungkin dan yang tidak mungkin. ↩︎