easter-japanese

[Penyusun:]

Di Pāṭaliputta, yang terbaik di dunia, Kota yang dinamai dari nama bunga, Ada dua bhikkhunī dari suku Sakya, Keduanya adalah perempuan berkualitas.

Satu bernama Isidāsī, yang ke dua bernama Bodhī. Keduanya sempurna dalam etika, Menyukai meditasi dan melafal, Terpelajar, menggilas kerusakan.

Mereka berkeliling menerima dana makan dan memakan makanan mereka. Setelah mereka mencuci mangkuk mereka, Mereka duduk dengan bahagia di tempat sunyi Dan memulai percakapan.

[Bodhī Therī:]

“Engkau sangat cantik, Yang Mulia Isidāsī Kemudaanmu belum memudar. Masalah apakah yang engkau lihat sehingga engkau Mengabdikan diri pada pelepasan keduniawian?”

[Isidāsī Therī:]

Ditanya seperti ini secara pribadi, Isidāsī, yang terampil dalam membabarkan Dhamma, Menjawab dengan kata-kata sebagai berikut, “Bodhī, dengarkanlah bagaimana aku meninggalkan keduniawian.

Di kota Ujjenī yang indah, Ayahku adalah seorang hartawan, seorang yang baik dan bermoral. Aku adalah putri tunggalnya, Yang disayangi, dicintai, dan dikasihi.

Kemudian beberapa peminang datang untuk meminangku Dari keluarga terpandang di Sāketa. Mereka diutus oleh seorang hartawan dengan kekayaan berlimpah, Yang padanya ayahku kemudian menyerahkan aku sebagai menantu.

Setiap pagi dan malam hari, Aku bersujud dengan kepala di kaki Ayah dan ibu mertuaku, Seperti yang dikatakan kepadaku.

Kapanpun aku melihat saudari-saudari suamiku, Saudara-saudaranya, para pelayannya, Atau bahkan ia, milikku satu-satunya, Aku dengan gugup menyiapkan tempat duduk untuk mereka.

Apapun yang mereka inginkan—makanan dan minuman, Kudapan, atau apapun yang ada di lemari— Aku membawanya keluar dan menawarkan kepada mereka, Memastikan masing-masing dari mereka mendapatkan apa yang selayaknya.

Setelah bangun pagi, Aku mendatangi rumah utama, Mencuci tangan dan kakiku, Dan menghadap suamiku dengan merangkapkan tangan.

Dengan mengambil sisir, perhiasan, Penghitam alis, dan cermin, Aku merias sendiri suamiku, Seolah-olah aku adalah juru riasnya.

Aku sendiri yang memasak nasi; Aku sendiri yang mencuci panci. Aku merawat suamiku Bagaikan seorang ibu merawat anak tunggalnya.

Demikianlah aku memperlihatkan pengabdian kepadanya, Seorang pelayan yang mencintai, bermoral, dan sederhana, Bangun pagi, dan bekerja tanpa kenal lelah: Namun suamiku masih menyalahkan aku.

Ia berkata kepada ibu dan ayahnya: “Aku akan pergi, Aku tidak tahun hidup bersama Isidāsī Menetap di rumah yang sama.”

“Anakku, jangan berkata seperti itu! Isidāsi cerdik dan kompeten, Ia bangun pagi dan bekerja tanpa kenal lelah, Anakku, mengapa ia tidak menyenangkan engkau?”

“Ia tidak melakukan apapun yang menyakiti aku, Tetapi aku hanya tidak tahan hidup bersamanya. Sejauh yang aku tahu, ia hanya mengerikan. Cukup sudah, aku akan pergi.”

Ketika mereka mendengar kata-katanya, Ayah dan ibu mertuaku bertanya kepadaku: “Kesalahan apakah yang engkau perbuat? Katakanlah kepada kami dengan jujur, jangan takut.”

“Aku tidak melakukan kesalahan apapun, Aku tidak pernah menyakitinya, atau mengatakan apapun yang buruk. Apa yang mungkin kulakukan, Ketika suamiku begitu membenciku?”

Mereka membawaku pulang ke rumah ayahku, Dengan putus asa, dikuasai oleh penderitaan, dan berkata: “Karena menyayangi putra kami, Kami kehilangannya, yang begitu cantik dan beruntung!”

Selanjutnya ayahku menyerahkan aku ke rumah tangga Laki-laki dari keluarga kaya ke dua. Untuk ini ia memperoleh setengah harga-pengantin Dari apa yang dibayarkan oleh si hartawan.

Di rumahnya aku juga menetap selama satu bulan, Sebelum ia juga menginginkan aku pergi; Walaupun aku melayaninya bagaikan budak, Baik dan tidak melakukan kesalahan.

Ayahku kemudian berkata kepada seorang pengemis yang meminta makanan, Seorang penjinak orang lain dan dirinya sendiri: “Jadilah menantuku; Singkirkan jubah dan mangkukmu.”

Ia menetap selama dua minggu sebelum ia berkata kepada ayahku: “Kembalikan jubah usangku, Mangkukku, dan cangkirku— Aku akan berkeliling mengemis makanan lagi.”

Maka kemudian ibu dan ayahku Dan seluruh sanak saudaraku berkata: “Apa yang belum dilakukan untukmu di sini? Cepatlah, katakan apa yang dapat kami lakukan untukmu!”

Ketika mereka berkata kepadanya seperti ini ia berkata, “Bahkan jika engkau menyembahku, cukup sudah. Aku tidak tahan hidup bersama Isidāsī Menetap di rumah yang sama.”

Setelah dibebaskan, ia pergi. Tetapi aku duduk sendirian merenungkan: “Setelah meminta izin, aku akan pergi, Apakah mati atau meninggalkan keduniawian.”

Tetapi kemudian Yang Mulia Nyonya Jinadattā, Yang terpelajar dan bermoral, Yang telah menghafalkan teks latihan monastik, Mendatangi rumah ayahku untuk menerima dana makanan.

Ketika aku melihatnya, Aku bangkit dari dudukku dan mempersiapkan tempat duduk itu untuknya. Ketika ia telah duduk, Aku bersujud di kakinya dan mempersembahkan makanan kepadanya,

Memuaskannya dengan makanan dan minuman, Kudapan, dan apapun yang ada dalam lemari. Kemudian aku berkata: “Nyonya, aku ingin meninggalkan keduniawian!”

Tetapi ayahku berkata kepadaku: “Anakku, berlatihlah Dhamma di sini! Persembahkan para petapa dan para brahmana yang terlahir dua kali Dengan makanan dan minuman.”

Kemudian aku berkata kepada ayahku, Sambil menangis, merangkapkan tanganku ke arahnya: “Aku telah melakukan hal buruk di masa lampau; Aku harus menebus perbuatan buruk itu.”

Dan ayahku berkata kepadaku: “Semoga engkau mencapai pencerahan, keadaan tertinggi, Dan semoga engkau menemukan pemadaman Yang direalisasikan oleh orang-orang terbaik!”

Aku bersujud kepada ibu dan ayahku, Dan seluruh sanak-saudaraku; Dan kemudian, tujuh hari setelah pelepasan keduniawian, Aku merealisasikan tiga pengetahuan.

Aku mengetahui tujuh kehidupan terakhirku; Aku akan menceritakan perbuatan-perbuatannya kepadamu Yang mana buah dan akibatnya terjadi dalam kehidupan ini: Arahkan seluruh perhatianmu pada kisah ini.

Di kota Erakacca Aku adalah seorang pandai emas yang memiliki banyak uang. Mabuk karena bangga atas kemudaanku, Aku berhubungan intim dengan istri orang lain.

Setelah meninggal dunia dari sana, Aku dibakar dalam neraka untuk waktu yang lama. Keluar dari sana Aku dikandung dalam rahim seekor monyet.

Ketika aku baru berusia tujuh hari, Aku dikebiri oleh pemimpin monyet. Ini adalah buah dari perbuatan itu, Karena perselingkuhan dengan istri orang lain.

Setelah meninggal dunia dari sana, Meninggal dunia di hutan Sindhava, Aku dikandung dalam rahim Seekor kambing betina yang cacat, bermata-satu.

Aku membawa anak-anak di punggungku selama dua belas tahun, Dan selama itu aku dikebiri, Dirubungi belatung, dan tanpa ekor, Karena perselingkuhan dengan istri orang lain.

Setelah meninggal dunia dari sana, Aku terlahir kembali sebagai seekor sapi Yang dimiliki oleh seorang pedagang sapi. Seekor anak sapi merah, dikebiri, selama dua belas bulan.

Aku menarik bajak besar. Aku memikul kereta, Buta, tanpa ekor, lemah, Karena perselingkuhan dengan istri orang lain.

Setelah meninggal dunia dari sana, Aku terlahir sebagai pelacur di jalan, Bukan perempuan juga bukan laki-laki, Karena perselingkuhan dengan istri orang lain.

Aku meninggal dunia pada usia tiga puluh, Dan terlahir kembali sebagai seorang gadis dalam keluarga pembuat kereta. Kami miskin, dengan sedikit harta, Sangat tertindas oleh kreditor.

Karena bunga pinjaman yang sangat besar, Aku diseret sambil menangis, Dibawa paksa dari rumah keluarga Oleh pemimpin karavan

Ketika aku berusia enam belas tahun, Putranya yang bernama Giridāsa, Melihat bahwa aku adalah seorang gadis yang telah cukup usia untuk menikah, Mengambilku sebagai istrinya.

Ia juga memiliki seorang istri lainnya, Seorang nyonya berkualitas yang terkenal dan bermoral, Setia kepada suaminya; Tetapi aku memicu kebenciannya.

Sebagai buah dari perbuatan itu, Mereka meninggalkan aku dan pergi, Walaupun aku melayani mereka bagaikan budak. Sekarang aku telah mengakhiri ini juga.”