easter-japanese

Di kota Mantāvatī, Sumedhā, Putri dari permaisuri Raja Koñca, Dialihkan keyakinannya oleh mereka Yang berlatih ajaran Sang Buddha.

Ia bermoral, seorang pembabar yang cemerlang, Terpelajar, dan terlatih dalam ajaran-ajaran Sang Buddha. Ia mendatangi ibu dan ayahnya dan berkata: “Perhatikanlah, kalian berdua!

Aku bersenang dalam pemadaman! Tidak ada kehidupan yang abadi, bahkan tidak kehidupan para dewa; Apalagi kenikmatan indria, begitu kosong, Memberikan sedikit kepuasan dan banyak kesusahan.

Kenikmatan indria adalah pahit bagaikan bisa ular, Namun orang-orang dungu tergila-gila padanya. Dikirim ke neraka untuk waktu yang sangat lama, Mereka dipukul dan disiksa.

Mereka yang tumbuh dalam kejahatan Selalu berduka di alam bawah karena perbuatan jahat mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang dungu, tidak terkekang dalam jasmani, Pikiran, dan ucapan.

Mereka orang-orang dungu yang bodoh dan tidak bijaksana, Dihalangi oleh asal-mula penderitaan, Bodoh, tidak memahami kebenaran-kebenaran mulia Ketika mereka sedang diajarkan.

Kebanyakan orang, ibu, tidak mengetahui kebenaran-kebenaran Yang diajarkan oleh Sang Buddha yang agung, Mengharapkan kehidupan berikut, Mendambakan kelahiran kembali di antara para dewa.

Akan tetapi bahkan kelahiran kembali di antara para dewa Dalam keadaan tidak kekal adalah tidak abadi. Tetapi orang-orang dungu tidak takut Pada kelahiran kembali yang berulang-ulang.

Empat alam rendah dan dua alam lainnya Dapat dicapai dalam suatu cara atau lainnya. Tetapi bagi mereka yang berakhir di alam rendah, Tidak ada cara untuk meninggalkan keduniawian di neraka.

Sudilah kalian berdua memberiku izin untuk meninggalkan keduniawian Dalam pengajaran dari Beliau yang memiliki sepuluh kekuatan. Dengan hidup nyaman, aku akan mengerahkan diriku Untuk meninggalkan kelahiran kembali dan kematian.

Apa gunanya harapan, dalam kehidupan baru, Dalam tubuh yang kosong dan tidak berguna ini? Izinkanlah aku untuk meninggalkan keduniawian Untuk mengakhiri ketagihan pada kehidupan baru.

Seorang Buddha telah muncul, waktunya telah tiba, Saat tidak beruntung telah berlalu. Seumur hidup aku tidak akan pernah mengkhianati Aturan etika atau kehidupan selibatku.”

Kemudian Sumedhā berkata kepada orangtuanya: “Selama aku masih menjadi orang awam, Aku akan menolak untuk memakan makanan apapun, Hingga aku jatuh di bawah kekuasaan kematian.”

Karena sedih, ibunya menangis, Sedangkan ayahnya, walaupun sedih, Berusaha keras untuk membujuknya Selagi ia roboh di lantai rumah panjang itu.

“Bangunlah anakku, mengapa engkau begitu bersedih? Engkau telah ditunangkan dan segera menikah! Raja Anīkaratta yang tampan Sedang berada di Vāraṇavatī: ia adalah tunanganmu.

Engkau akan menjadi permaisuri, Istri dari Raja Anīkaratta. Aturan-aturan etika, kehidupan selibat— Pelepasan keduniawian adalah sulit dilakukan, anakku.

Sebagai anggota kerajaan ada perintah, kekayaan, kekuasaan, Dan kebahagiaan memiliki. Nikmatilah kenikmatan indria selagi engkau masih muda! Wujudkanlah pernikahanmu, anakku!”

Kemudian Sumedhā berkata kepadanya: “Jangan sampai ini terjadi! Kehidupan adalah kosong! Aku akan meninggalkan keduniawian atau mati, Tetapi aku tidak akan pernah menikah.

Mengapa melekati tubuh busuk ini yang sangat kotor, Cairan busuk, Kantong-air mayat yang mengerikan, Selalu menetes, penuh kotoran?

Mengetahuinya seperti yang kuketahui, apa gunanya? Bangkai keji, yang dilumuri dengan daging dan darah, Makanan bagi burung-burung dan kawanan belatung— Mengapa kita diberikan ini?

Tidak lama kemudian tubuh ini, tanpa kesadaran, Dibawa ke tanah pemakaman, Untuk dibuang bagaikan anjing tua Oleh sanak-saudara dalam kejijikan.

Ketika mereka telah membuangnya di tanah pemakaman, Untuk dimakan oleh makhluk-makhluk lain, orangtuamu sendiri Mandi, dengan jijik: Apalagi orang-orang lainnya?

Mereka melekat pada bangkai kosong ini, Kumpulan urat dan tulang ini; Tubuh membusuk ini Penuh liur, air mata, tinja, dan nanah.

Jika seseorang membedahnya, Mengeluarkan isinya, Bau yang tak tertahankan Akan menjijikkan bahkan bagi ibunya sendiri.

Dengan seksama memeriksa Agregat-agregat, elemen-elemen, dan bidang-bidang indria Sebagai terkondisi, berakar dalam kelahiran, penderitaan— Mengapa aku menginginkan pernikahan?

Biarlah tiga ratus pedang tajam Menghujam tubuhku setiap hari! Bahkan jika pembantaian itu berlangsung 100 tahun Itu setimpal jika dapat mengarah menuju berakhirnya penderitaan

Seorang yang memahami kata-kata Sang Guru Akan menahankan pembantaian ini: ‘sungguh panjang bagimu transmigrasi ini Dengan terbunuh berulang-ulang.’

Di antara para dewa dan manusia, Di alam binatang dan alam siluman, Di antara para hantu dan mereka yang di neraka, Pembunuhan tanpa akhir terlihat.

Neraka dipenuhi pembunuhan, Bagi yang rusak yang telah jatuh ke alam bawah. Bahkan di antara para dewa tidak ada naungan, Karena tidak ada kebahagiaan yang melampaui pemadaman.

Mereka yang berkomitmen pada pengajaran Dari Beliau yang memiliki sepuluh kekuatan akan mencapai padamnya. Dengan hidup dalam kenyamanan, mereka mengerahkan diri Untuk meninggalkan kelahiran kembali dan kematian.

Pada hari ini juga, ayah, aku akan meninggalkan: Apakah yang dapat dinikmati dalam kekayaan hampa? Aku kecewa dengan kenikmatan indria, Yang seperti muntahan, dibuat menjadi seperti tunggul palem.”

Sewaktu ia berkata demikian kepada ayahnya, Anīkaratta, yang kepadanya ia ditunangkan, Datang dari Vāraṇavatī Pada waktu yang telah ditentukan untuk menikah.

Kemudian Sumedhā mengambil pisau, Dan memotong rambutnya, yang begitu hitam, tebal, dan lembut. Dengan mengurung dirinya di dalam rumah panjang, Ia mencapai penyerapan pertama.

Dan ketika ia mencapainya di sana, Anīkaratta tiba di kota. Kemudian di dalam rumah panjang itu, Sumedhā Dengan baik mengembangkan persepsi ketidakkekalan.

Ketika ia menyelidiki dalam meditasi, Anīkaratta degan cepat menaiki tangga. Tangan dan kakinya berhiaskan permata dan emas, Ia memohon Sumedhā dengan merangkapkan tangan:

“Sebagai anggota kerajaan ada perintah, kekayaan, kekuasaan, Dan kebahagiaan memiliki. Nikmatilah kenikmatan indria selagi engkau masih muda! Kenikmatan indria adalah sulit diperoleh di dunia!

Aku menyerahkan kerajaan kepadamu— Nikmatilah kekayaan, berikan persembahan! Jangan bersedih; Orangtuamu sedih.”

Sumedhā, yang tidak menginginkan kenikmatan indria, Dan yang telah menyingkirkan delusi, menjawab: “Jangan bersenang dalam indriawi! Lihatlah bahaya dalam kenikmatan indria!

Mandhātā, raja empat benua, Yang terkemuka dalam menikmati kenikmatan indria, Meninggal dunia tanpa terpuaskan, Keinginannya tidak terpenuhi.

Jika tujuh permata jatuh dari angkasa Di seluruh sepuluh penjuru, Tidak akan ada kepuasan dari kenikmatan indria: Orang-orang mati tanpa terpuaskan.

Bagaikan pisau penjagal dan alas pemotong, Kenikmatan indria adalah bagaikan kepala ular. Yang membakar bagaikan bara-api, Yang menyerupai kerangka.

Kenikmatan indria adalah tidak kekal dan tidak stabil, Penuh penderitaan, racun yang mengerikan; Bagaikan bola besi panas, Akar kesengsaraan, buahnya adalah kesakitan.

Kenikmatan indria adalah bagaikan buah dari pohon, Bagaikan bongkahan daging, menyakitkan, Yang memperdaya engkau bagaikan mimpi; Kenikmatan indria adalah bagaikan benda-benda pinjaman.

Kenikmatan indria adalah bagaikan pedang dan tombak; Penyakit, bisul, kesengsaraan dan kesulitan. Bagaikan lubang arang membara, Akar kesengsaraan, ketakutan dan pembantaian.

Demikianlah kenikmatan indria telah dijelaskan Sebagai halangan, begitu penuh penderitaan. Pergilah! Sehubungan denganku, Aku tidak mempercayai kehidupan baru.

Apa yang dapat dilakukan orang lain untukku Ketika kepala mereka sendiri sedang terbakar? Ketika diintai oleh penuaan dan kematian, Engkau harus berusaha untuk menghancurkannya.”

Ia membuka pintu Dan melihat orangtuanya bersama Anīkaratta, Duduk menangis di pintu. Maka ia mengatakan ini:

“Transmigrasi adalah lama bagi orang-orang dungu, Menangis berulang-ulang atas hal itu sejak awal yang tidak diketahui— Kematian ayah, Pembunuhan saudara atau diri mereka sendiri.

Ingatlah samudra air mata, susu, darah, Transmigrasi sejak awal yang tidak diketahui. Ingatlah tulang-belulang yang menggunung Oleh makhluk-makhluk yang bertransmigrasi.

Ingat empat samudra Yang dibandingkan dengan air mata, susu, dan darah; Ingat tulang-belulang yang menggunung setinggi Gunung Vipula Dalam perjalanan satu kappa.

Transmigrasi sejak awal yang tidak diketahui Dibandingkan dengan tanah India yang luas ini; Jika dibagi menjadi bongkahan berukuran biji buah jujube, Itu masih lebih sedikit daripada ibu dari ibunya.

Ingat rerumputan, tongkat kayu, dan dedaunan, Dibandingkan dengan awal yang tidak diketahui: Jika dipecahkan berkeping-keping berukuran empat inci, Itu masih lebih sedikit daripada ayahnya ayah.

Ingat kura-kura bermata satu dan kuk berlubang satu Yang hanyut di samudra dari timur ke barat— Memasukkan kepalanya ke dalam lubang Adalah perumpamaan untuk diperolehnya kelahiran sebagai manusia.

Ingat bentuk dari tubuh yang tidak beruntung ini, Tanpa inti bagaikan bongkahan buih. Lihatlah agregat-agregat sebagai tidak kekal, Ingatlah neraka yang penuh kesusahan.

Ingatlah tanah pemakaman yang menggunung itu Berulang-ulang dalam kehidupan demi kehidupan. Ingatlah ancaman buaya! Ingatlah empat kebenaran!

Ketika tanpa kematian ada untuk ditemukan, Mengapa engkau mau meminum lima racun pahit? Karena setiap kali menikmati kenikmatan indria Adalah jauh lebih pahit daripada itu.

Ketika tanpa kematian ada untuk ditemukan, Mengapa engkau mau terbakar demi kenikmatan indria? Karena setiap kali menikmati kenikmatan indria Adalah membakar, merebus, mendidih, menggelegak.

Ketika ada kebebasan dari permusuhan, Mengapa engkau menginginkan musuhmu, kenikmatan indria? Bagaikan raja-raja, api, para perampok, banjir, dan orang-orang yang tidak engkau sukai, Kenikmatan indria adalah lebih dari musuhmu.

Ketika kebabasan ada untuk ditemukan, Apa gunanya kenikmatan indria yang membunuh dan mengikat? Karena walaupun tidak ingin, tetapi ketika ada kenikmatan indria, Maka mereka tunduk pada kesakitan dari pembunuhan dan ikatan.

Bagaikan obor rumput menyala Membakar seseorang yang memegangnya tanpa melepaskannya, Kenikmatan indria adalah seperti obor rumput, Yang membakar mereka yang tidak melepaskan.

Jangan lepaskan kebahagiaan berlimpah Demi kegembiraan kecil dari kenikmatan indria. Jangan menderita kesulitan kelak, Bagaikan ikan lele pada kail.

Kendalikan dirimu dengan seksama di antara kenikmatan-kenikmatan indria! Engkau bagaikan seekor anjing yang terikat pada rantai: Kenikmatan indria pasti akan melahap engkau Bagaikan kaum buangan yang lapar melahap anjing.

Karena terikat pada kenikmatan indria, Engkau mengalami kesakitan tanpa akhir, Bersama dengan banyak kesusahan batin: Lepaskanlah kenikmatan indria, itu tidak bertahan lama!

Ketika tanpa penuaan dapat ditemukan, Apakah gunanya kenikmatan indria yang di dalamnya terdapat usia tua? Semua kelahiran kembali di manapun Terikat pada kematian dan penyakit.

Ini adalah tanpa-penuaan, ini adalah tanpa-kematian Ini adalah tanpa-penuaan dan tanpa-kematian, keadaan tanpa dukacita! Bebas dari permusuhan, tidak menghambat, Tanpa cacat, tanpa ketakutan, tanpa kesusahan.

Tanpa-kematian ini telah direalisasikan oleh banyak orang; Bahkan sekarang itu dapat dicapai Oleh mereka yang dengan benar mengerahkan diri mereka; Tetapi itu tidak mungkin jika engkau tidak berusaha.”

Demikianlah Sumedhā berkata, Tanpa kesenangan pada hal-hal yang terkondisi. Menenangkan Anīkaratta, Sumedhā membuang rambutnya ke tanah.

Sambil berdiri, Anīkaratta Merangkapkan tangannya ke arah ayahnya dan memohon: “Lepaskanlah Sumedhā, agar ia dapat meninggalkan keduniawian! Ia akan melihat kebenaran kebebasan.”

Dengan dilepaskan oleh ibu dan ayahnya, Ia meninggalkan keduniawian, takut pada kesedihan dan ketakutan. Sewaktu masih menjadi seorang calon bhikkhunī ia mencapai enam pengetahuan langsung Bersama dengan buah tertinggi.

Padamnya sang putri sungguh mengagumkan dan menakjubkan; Di atas ranjang kematiannya, ia menyatakan Beberapa kehidupan lampaunya.

“Pada masa Buddha Koṇāgamana, Kami tiga sahabat memberikan persembahan Tempat tinggal yang baru dibangun Dalam vihara Saṅgha.

Sepuluh kali, seratus kali, Seribu kali, sepuluh ribu kali Kami terlahir kembali di antara para dewa, Apalagi di antara manusia.

Kami perkasa di tengah-tengah para dewa, Apalah di tengah-tengah manusia! Aku adalah permaisuri dari seorang raja yang memiliki tujuh pusaka— Aku adalah pusaka istri.

Itu adalah penyebab, itu adalah asal-mula, itu adalah akar, Itu adalah penerimaan pengajaran; Pertemuan pertama yang memuncak dalam pemadaman Bagi seorang yang bersenang dalam ajaran.

Begitulah yang dikatakan oleh mereka yang berkeyakinan dalam kata-kata Dari seorang yang tak tertandingi dalam kebijaksanaan. Mereka dikecewakan oleh kelahiran kembali, Dan karena dikecewakan mereka menjadi bosan.”

Demikianlah syair-syair ini dilafalkan oleh bhikkhunī senior Sumedhā.