Thig 13
Kelompok Dua Puluh
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Sujato & Jessica Walton
ShortUrl:
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
Rambutku hitam bagaikan kumbang, Anggun dengan ujung yang ikal; Sekarang setelah tua, jadi seperti kulit rami— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Bermahkotakan bunga-bunga, Kepalaku harum bagaikan peti wewangian; Sekarang setelah tua, jadi berbau bagaikan bulu anjing— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Rambutku dulu tebal bagaikan hutan yang ditanam dengan baik, Bersinar, dipisahkan oleh sisir dan penjepit rambut; Sekarang setelah tua, menjadi jarang dan rontok— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Dengan kepangan hitam dan pita emas, Rambut itu dulu begitu indah, dihias dengan jalinan; Sekarang setelah tua, kepalaku membotak— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Alis mataku dulu tampak cantik, Bagaikan bulan sabit yang dilukis oleh seorang pelukis; Sekarang setelah tua, alis itu melengkung karena keriput— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Mataku dulu bersinar bagai permata, Besar dan biru tua; Dirusak oleh penuaan, mata itu tidak lagi bersinar— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Hidungku dulu seperti puncak yang sempurna, Indah pada puncak kemudaanku; Sekarang setelah tua, layu bagaikan cabai; Kata-kata dari sang pembabar kebenaran r telah terkonfirmasi.
Daun telingaku dulu sangat cantik, Bagaikan gelang yang dibentuk dengan indah; Sekarang setelah tua, menjadi melengkung karena keriput— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Gigiku dulu begitu indah, Cerah bagaikan bunga melati; Sekarang setelah tua, menjadi rusak dan menguning— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Nyanyianku dulu merdu bagaikan kicauan burung Yang mengembara di dalam hutan; Sekarang setelah tua, menjadi gagap dan parau— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Leherku dulu sangat indah, Bagaikan kulit kerang yang digosok; Sekarang setelah tua, menjadi bungkuk— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Lenganku dulu sangat indah, Bagaikan palang bundar; Sekarang setelah tua, lengan itu melengkung bagaikan pohon bunga trompet— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Tanganku dulu sangat indah, Berhiaskan cincin emas yang indah; Sekarang setelah tua, menjadi merah bagaikan buah bit— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Payudaraku dulu sangat indah, Menggembung, bulat, penuh, dan mendongak; Sekarang terkulai bagaikan kantong air— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Tubuhku dulu sangat indah, Bagaikan lempeng emas yang digosok; Sekarang tertutup oleh keriput halus— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Kedua pahaku dulu sangat indah, Bagaikan belalai gajah; Sekarang setelah tua, menjadi seperti bambu— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Betisku dulu sangat indah, Berhiaskan gelang-gelang kaki yang manis; Sekarang setelah tua, menjadi seperti batang wijen— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Kedua kakiku dulu sangat indah, Montok bagai diisi kapas; Sekarang setelah tua, kaki itu pecah dan keriput— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
Kantong tulang-belulang ini pernah demikian, Tetapi sekarang telah layu, rumah bagi begitu banyak penyakit; Bagaikan rumah tua dengan plaster rontok— Kata-kata dari sang pembabar kebenaran telah terkonfirmasi.
[Ayahnya Rohinī Therī:]
“Engkau jatuh terlelap dengan mengatakan ‘petapa’; Engkau terjaga dengan mengatakan ‘petapa’; Engkau hanya memuji para petapa, nyonya— Pasti engkau akan menjadi seorang petapa.
Engkau memberikan kepada para petapa Makanan dan minuman berlimpah. Aku bertanya kepadamu sekarang, Rohinī: Mengapa engkau meyukai petapa?
Mereka tidak suka bekerja, mereka malas, Mereka hidup dari derma; Selalu mencari, serakah pada manisan— Jadi mengapa engkau menyukai petapa?”
[Rohinī Therī:]
“Ayah, sudah sejak lama Engkau menanyaiku tentang para petapa Aku akan memuji mereka untukmu Kebijaksanaan, etika, dan semangat mereka.
Mereka suka bekerja, mereka tidak malas; Dengan meninggalkan keserakahan dan kebencian, mereka melakukan jenis pekerjaan terbaik— itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Sehubungan dengan tiga akar kejahatan, Melalui perbuatan-perbuatan murni mereka meruntuhkannya. Mereka telah meninggalkan segala kejahatan— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Perbuatan jasmani mereka murni; Perbuatan ucapan mereka juga demikian; Perbuatan pikiran mereka murni— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Sempurna bagaikan kulit kerang, Mereka murni luar dalam, Penuh dengan kualitas-kualitas cerah— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Mereka terpelajar dan menghafalkan ajaran, Mulia, hidup selayaknya, Mengajarkan teks dan maknanya: Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Mereka terpelajar dan menghafalkan ajaran, Mulia, hidup selayaknya, Dengan pikiran terpusat, dan penuh perhatian— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Melakukan perjalanan jauh, dan penuh perhatian, Bijaksana dalam memberi nasihat, dan stabil, Mereka memahami akhir penderitaan— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Ketika mereka meninggalkan sebuah desa, Mereka tidak melihat ke belakang dengan kerinduan, Melainkan berjalan maju tanpa peduli— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Mereka tidak menimbun benda-benda di dalam gudang, Juga tidak di dalam kendi-kendi atau keranjang-keranjang. Mereka mencari makanan yang dipersiapkan oleh orang lain— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Mereka tidak menerima perak, Atau emas apakah dalam bentuk uang atau bukan-uang; Makan dari apapun yang diterima pada hari itu, Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.
Mereka telah meninggalkan keduniawian dari keluarga yang berbeda-beda, Bahkan dari negeri-negeri berbeda, Namun mereka saling mencintai satu sama lain— Itulah sebabnya mengapa aku menyukai para petapa.”
[Ayahnya Rohinī Therī:]
“Rohinī sayang, sungguh adalah demi manfaat bagi kami Maka engkau terlahir dalam keluarga kami! Engkau memiliki keyakinan dan penghormatan tinggi Kepada Sang Buddha, ajaran Beliau, dan Sangha.
Karena engkau memahami Lahan jasa yang tertinggi ini Mulai saat ini para petapa itu juga akan Menerima persembahan religius dari kami.”
[Rohinī Therī:]
“Di sanalah kalian harus menempatkan pengorbanan kalian, Dan itu akan berlimpah. Jika engkau takut pada penderitaan, Jika engkau tidak menyukai penderitaan,
Pergilah berlindung kepada Sang Buddha, yang seimbang, Kepada ajaran Beliau dan kepada Sangha. Terimalah aturan-aturan latihan, Itu baik untukmu.”
[Ayahnya Rohinī Therī:]
“Aku pergi berlindung kepada Sang Buddha, yang seimbang, Kepada ajaran Beliau dan kepada Sangha. Aku menerima aturan-aturan latihan, Itu baik untukku.
Di masa lalu aku adalah kerabat Brahmā, Sekarang aku benar-benar adalah seorang brahmana! Aku adalah penguasa tiga pengetahuan, seorang terpelajar sejati, Aku adalah penguasa-pengetahuan, seorang yang tercuci.”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Dulu aku membawa tongkat petapa, Tetapi sekarang aku berburu rusa. Keinginanku membuatku tidak mampu menyeberang Dari rawa-rawa mengerikan menuju pantai seberang.
Karena berpikir aku begitu mencintainya, Cāpā membahagiakan putra kami. Setelah memotong belenggu Cāpā, Sekali lagi aku akan meninggalkan keduniawian.”
[Cāpā Therī:]
“Jangan marah padaku, pahlawan besar! Jangan marah padaku, sang bijaksana agung! Jika engkau terbenam dalam kemarahan maka engkau tidak dapat mempertahankan kemurnian, Apalagi berlatih keras.”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Aku akan meninggalkan Nālā! Karena siapakah yang mau menetap di sini di Nālā! Dengan sosok mereka, perangkap perempuan Para petapa yang hidup dengan benar.”
[Cāpā Therī:]
“Mohon, Kāḷa, kembalilah kepadaku. Nikmatilah kenikmatan seperti sebelumnya. Aku akan berada di bawah kendalimu, Bersama dengan sanak saudara yang kumiliki.”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Cāpā, bahkan jika hanya seperempat Dari apa yang engkau katakan adalah benar, Itu adalah hal yang sangat baik Bagi seorang laki-laki yang mencintaimu!”
[Cāpā Therī:]
“Kāḷa, aku seperti bunga iris yang bertunas Yang berbunga di puncak gunung, Bagaikan buah delima yang mekar, Bagaikan pohon bunga trompet di sebuah pulau;
Tangan dan kakiku diurapi dengan cendana kuning, Dan aku mengenakan kain Kāsi terbaik: Sementara aku begitu cantik, Bagaimana engkau dapat meninggalkan aku dan pergi?”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Engkau bagaikan seorang pemburu burung Yang ingin menangkap burung; Tetapi engkau tidak akan menjebakku Dengan bentukmu yang memikat.”
[Cāpā Therī:]
“Tetapi anak ini, buahku, Dilahirkan oleh engkau, Kāḷa. Ketika aku memiliki anak ini, Bagaimana engkau dapat meninggalkan aku dan pergi?”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Para bijaksana meninggalkan Anak-anak, keluarga, dan kekayaan. Para pahlawan besar meninggalkan keduniawian Bagaikan gajah-gajah mematahkan belenggunya.”
[Cāpā Therī:]
“Sekarang, putramu ini: Aku akan memukulnya di tanah di sini, Dengan tongkat atau pisau! Karena bersedih atas putramu, engkau tidak akan pergi.”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Bahkan jika engkau memberikan putra kita untuk dimakan Oleh serigala dan anjing, Aku tidak akan pernah kembali lagi, engkau perempuan jalang, Bahkan tidak demi anak ini.”
[Cāpā Therī:]
“Baiklah, tuan, katakan kepadaku, Ke manakah engkau akan pergi, Kāḷa? Ke desa atau pemukiman, Kota atau ibukota apakah?”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Dulu kami memiliki pengikut, Kami bukan petapa, kami hanya berpikir bahwa kami adalah petapa. Kami mengembara dari desa ke desa, Ke kota-kota dan ibukota.
Tetapi sekarang Sang Bhagavā, Sang Buddha, Di tepi Sungai Nerañjara, Mengajarkan Dhamma sehingga makhluk-makhluk hidup Dapat meninggalkan segala penderitaan. Aku akan pergi ke hadapan Beliau, Beliau akan menjadi guruku.”
[Cāpā Therī:]
“Sekarang mohon sampaikan hormatku Kepada pelindung dunia yang tertinggi. Kelilingi Beliau pada sisi kananmu, Persembahkan donasi religiusku.”
[Ājīvaka Upaka Thero (suami dari Cāpā Therī):]
“Ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, Seperti apa yang engkau katakan kepadaku. Aku akan menyampaikan hormatmu Kepada pelindung dunia yang tertinggi. Dengan mengelilingnya pada sisi kananku, Aku akan mempersembahkan donasi religiusmu.”
[Penyusun:]
Kemudian Kāḷa pergi Ke tepi Sungai Nerañjara Ia melihat Yang Tercerahkan Sedang mengajarkan keadaan tanpa-kematian:
Penderitaan, asal-mula penderitaan, Melampaui penderitaan, Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan Yang mengarah menuju diamnya penderitaan.
Ia bersujud di kaki Beliau, Mengelilingi Beliau pada sisi kanannya, Dan menyampaikan persembahan Cāpā; Kemudian ia meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah. Ia mencapai tiga pengetahuan, Dan memenuhi ajaran Sang Buddha.
[Brāhmaṇa Sujāta (ayahnya Sundarī Therī) bertanya kepada Vāseṭṭhi Therī:]
“Sebelumnya, ketika anak-anakmu meninggal dunia, Engkau akan membiarkan mereka untuk dimakan. Sepanjang siang dan malam Engkau akan dilanda keputus-asaan
Hari ini, nyonya brahmana, engkau telah membiarkan Tujuh anakmu semuanya untuk dimakan; Vāseṭṭhī, apakah alasannya mengapa Engkau tidak dilanda keputus-asaan?”
[Vaseṭṭhī Therī:]
“Ratusan putraku, Ratusan lingkaran keluarga, Dari aku dan engkau, brahmana, Telah dimakan di masa lalu.
Setelah mengetahui jalan membebaskan diri Dari kelahiran kembali dan kematian Aku tidak bersedih atau meratap, Juga aku tidak putus asa.”
[Brāhmaṇa Sujāta (ayahnya Sundarī Therī) bertanya kepada Vāseṭṭhi Therī:]
“Wow, Vaseṭṭhī, kata-kata yang engkau ucapkan Sungguh mengagumkan! Ajaran siapakah yang engkau pahami Sehingga engkau dapat mengatakan hal-hal ini?”
[Vaseṭṭhī Therī:]
‘Brahmana, Yang Tercerahkan Di kota Mithilā, Mengajarkan Dhamma sehingga makhluk-makhluk hidup Dapat meninggalkan segala penderitaan.
Setelah mendengarkan ajaran dari Yang Sempurna, Brahmana, yang bebas dari segala kemelekatan, Setelah memahami ajaran sejati di sana, Aku menyingkirkan kesedihan atas anak-anakku.”
[Brāhmaṇa Sujāta (ayahnya Sundarī Therī) bertanya kepada Vāseṭṭhi Therī:]
“Aku juga akan pergi Ke kota Mithilā. Semoga Sang Buddha dapat membebaskan aku Dari segala penderitaan.”
[Penyusun:]
Sang brahmana melihat Sang Buddha, Yang terbebaskan, tanpa kemelekatan. Beliau mengajarkan Dhamma kepadanya, Sang bijaksana yang melampaui penderitaan:
Penderitaan, asal-mula penderitaan, Melampaui penderitaan, Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan Yang mengarah menuju diamnya penderitaan.
Setelah memahami ajaran sejati di sana, Ia setuju untuk meninggalkan keduniawian. Tiga hari kemudian Sujāta merealisasikan tiga pengetahuan.
[Brāhmaṇa Sujāta (ayahnya Sundarī Therī) kepada kusirnya:]
“Mohon, kusir, pergilah; Bawa kereta ini kembali. Dengan mengharapkan kesehatan nyonya brahmana, katakan: ‘Sang brahmana sekarang telah meninggalkan keduniawian. Setelah tiga hari, Sujāta merealisasikan tiga pengetahuan.’”
[Penyusun:]
Kemudian dengan membawa kereta, beserta seribu keping uang, sang kusir Mengharapkan kesehatan nyonya brahmana, dan berkata: “Sang brahmana sekarang telah meninggalkan keduniawian. Setelah tiga hari, Sujātā merealisasikan tiga pengetahuan.”
[Ibunya Sundarī Therī kepada sang kusir:]
Mendengar bahwa sang brahmana telah memiliki tiga pengetahuan, sang nyonya berkata: “Aku memberikan kepadamu kuda dan kereta ini, O Kusir, beserta 1000 keping uang, Dan sebuah mangkuk yang penuh ini sebagai hadiah.”
[Kusir kepada ibunya Sundarī Therī:]
“Simpanlah kuda dan kereta ini, nyonya, Beserta seribu keping uang ini. Aku juga akan meninggalkan keduniawian di hadapan Beliau, Orang ini memiliki kebijaksanaan yang mengagumkan.”
[Ibunya Sundarī Therī kepada Sundarī Therī:]
“Gajah-gajah, sapi, perhiasan and anting-anting, Kekayaan rumah-tangga yang mewah demikian: Setelah melepaskannya, ayahmu meninggalkan keduniawian, Nikmatilah kekayaan ini Sundarī, Engkau adalah pewaris keluarga.”
[Sundarī Therī kepada ibunya:]
“Gajah-gajah, sapi, perhiasan and anting-anting, Kekayaan rumah-tangga yang mewah demikian: Setelah melepaskannya, ayahku meninggalkan keduniawian, Karena tersiksa oleh kesedihan atas putranya. Aku juga akan meninggalkan keduniawian, Karena tersiksa oleh kesedihan atas saudara laki-lakiku.”
[Penahbis Sundarī Therī kepada Sundarī Therī:]
“Sundarī, semoga harapan yang engkau inginkan Menjadi kenyataan. Dengan mengumpulkan sisa makanan sedikit demi sedikit, Dan kain-kain buangan sebagai jubah— Dengan memanfaatkan benda-benda ini, Bebas dari kekotoran sehubungan dengan kehidupan mendatang.”
[Sundarī Therī kepada penahbisnya:]
“Nyonya, sewaktu aku masih menjadi seorang calon bhikkhunī, Mata-dewaku menjadi murni; Aku mengetahui kehidupan-kehidupan lampauku, Tempat-tempat di mana dulu aku hidup.
Dengan mengandalkan seorang nyonya baik seperti engkau, Seorang bhikkhunī senior yang memperindah Sangha, Aku telah mencapai tiga pengetahuan, Dan memenuhi ajaran Sang Buddha.
Berilah izin kepadaku, nyonya, Aku ingin pergi ke Sāvatthī, Di mana aku akan mengaumkan auman singaku Di hadapan yang terbaik di antara para Buddha.”
[Penahbis Sundarī Therī kepada Sundarī Therī:]
“Sundarī, temuilah Sang Guru! Yang berwarna keemasan, berkulit keemasan, Penjinak mereka yang belum jinak, Yang Tercerahkan yang tidak takut pada apapun dari segala penjuru.”
[Penyusun:]
“Lihatlah Sundarī datang, Terbebaskan, tanpa kemelekatan; Tanpa keinginan, terlepas, Tugasnya selesai, tanpa kekotoran.”
“Setelah berangkat dari Bārāṇasī Dan datang ke hadapanMu, Pahlawan Besar, siswiMu Sundarī bersujud di kakiMu.”
[Sundarī Therī:]
“Engkau adalah Sang Buddha, Engkau adalah Sang Guru, Aku adalah putri sejatimu, Brahmana, Yang terlahir dari mulutMu. Aku telah menyelesaikan tugas dan bebas dari kekotoran.”
[Sang Buddha:]
“Kalau begitu selamat datang, nyonya yang baik, Engkau tidak mungkin tidak disambut. Karena ini adalah bagaimana mereka yang jinak datang Bersujud di kaki Sang Guru; Tanpa keinginan, terlepas, Tugas selesai, tanpa kekotoran.”
[Subhā Therī, putri pandai besi:]
“Aku masih begitu muda, pakaianku begitu segar, Pada waktu aku mendengar ajaran. Karena tekun, Aku memahami kebenaran;
Dan kemudian aku menjadi sangat bosan Pada segala kenikmatan indria Melihat dengan takut pada identitas Aku mendambakan pelepasan keduniawian.
Dengan meninggalkan lingkaran keluarga, Para pelayan dan pekerja, Dan desa serta lahan yang subur, Yang begitu indah dan menyenangkan,
Aku meninggalkan keduniawian; Semua itu bukan kekayaan yang kecil. Sekarang aku telah meninggalkan keduniawian dalam keyakinan seperti ini, Dalam ajaran sejati yang dibabarkan dengan baik,
Karena aku berkeinginan untuk tidak memiliki apa-apa, Tidaklah selayaknya Untuk mengambil kembali emas dan uang, Setelah meninggalkannya.
Uang atau emas Tidak mengarah menuju kedamaian dan pencerahan. Itu tidak selayaknya bagi seorang petapa, Itu bukanlah kekayaan para mulia;
Itu hanyalah keserakahan dan kemabukan, Kebingungan dan kemerosotan yang meningkat, Meragukan, menyulitkan— Tidak ada yang bertahan lama di sana.
Bejat dan lengah, Orang-orang yang tak tercerahkan, batinnya rusak Saling melawan satu sama lain, Menciptakan perselisihan.
Pembunuhan, pengurungan, kesengsaraan, Kehilangan, kesedihan, dan ratapan; Mereka yang tenggelam dalam kenikmatan indria Melihat banyak bencana.
Keluargaku, mengapa kalian mendorongku Pada kenikmatan, seolah-olah kalian adalah musuhku? Kalian tahu aku telah meninggalkan keduniawian, Melihat dengan takut pada kenikmatan indria.
Bukan karena emas, dalam bentuk kepingan uang atau bukan kepingan uang, Kekotoran-kekotoran itu berakhir. Kenikmatan indria adalah musuh dan pembunuh, Kekuatan jahat yang mengikat engkau pada duri.
Keluargaku, mengapa kalian mendorongku Pada kenikmatan, seolah-olah kalian adalah musuhku? Kalian tahu aku telah meninggalkan keduniawian, Dengan kepala tercukur, terbalut dalam jubah luarku.
Mengumpulkan sisa makanan sedikit demi sedikit, Dan kain buangan sebagai jubah— Itu adalah apa yang layak bagiku, Inti dari kehidupan tanpa rumah.
Para petapa besar menghalau kenikmatan indria, Baik manusiawi maupun surgawi. Aman dalam suaka mereka, mereka terbebaskan, Setelah menemukan kebahagiaan yang tak tergoyahkan.
Semoga aku tidak menemukan kenikmatan indria, Karena tidak ada naungan di dalamnya. Kenikmatan indria adalah musuh dan pembunuh, Yang sama menyakitkannya seperti api unggun.
Keserakahan adalah sebuah rintangan, sebuah ancaman, Penuh kesedihan dan duri; Yang tidak seimbang, Jalan besar menuju kebingungan.
Berbahaya dan menakutkan, Kenikmatan indria adalah bagaikan kepala ular, Di mana orang-orang dungu bersenang, Orang-orang biasa yang terjebak dalam kegelapan.
Terjebak dalam lumpur kenikmatan indria, Ada begitu banyak orang dungu di dunia. Mereka tidak mengetahui akhir Dari kelahiran kembali dan kematian.
Karena kenikmatan indria, Orang-orang melompat ke jalan yang membawa mereka ke tempat yang buruk. Begitu banyak yang berjalan di jalan itu Yang membawa penyakit pada diri mereka.
Demikianlah bagaimana kenikmatan menciptakan musuh-musuh; Mereka begitu menyiksa, begitu merusak, Yang menjebak makhluk-makhluk dengan kenikmatan materi duniawi, Yang bukan lain adalah belenggu kematian.
Menggilakan, menggoda, Kenikmatan indria merusak pikiran, Itu adalah jerat yang dipasang oleh Māra Untuk merusak makhluk-makhluk.
Kenikmatan indria adalah berbahaya tak terhingga, Penuh penderitaan, racun yang mengerikan; Menawarkan sedikit kepuasan, pembuat perselisihan, Melenyapkan kualitas-kualitas cerah.
Karena aku telah menciptakan begitu banyak kerusakan Karena kenikmatan indria, Aku tidak akan berpaling kembali kepadanya lagi, Melainkan akan selalu bersenang dalam pemadaman.
Bertarung melawan kenikmatan indria, Karena mendambakan keadaan sejuk itu, Aku akan bermeditasi dengan tekun Untuk mengakhiri segala belenggu.
Tanpa dukacita, tanpa noda, aman: Aku akan mengikuti jalan itu, Jalan Mulia Berunsur Delapan yang lurus Yang dengannya para petapa telah menyeberang.”
[Sang Buddha:]
“Lihatlah ini: Subhā putri pandai besi, Berdiri tegak dalam ajaran. Ia telah memasuki keadaan tanpa gangguan, Dengan bermeditasi di bawah pohon.
Hanya delapan hari sejak ia meninggalkan keduniawian, Penuh keyakinan dalam ajaran yang indah. Dibimbing oleh Uppalavaṇṇā, Ia adalah penguasa tiga pengetahuan, penghancur kematian.
Orang ini terbebaskan dari pembudakan dan utang, Seorang bhikkhunī dengan indria-indria terkembang. Terlepas dari segala kemelekatan, Ia telah menyelesaikan tugas dan bebas dari kekotoran.”
[Penyusun:]
Demikianlah Sakka, raja semua makhluk, Bersama dengan kumpulan para dewa, Setelah datang dengan kekuatan batin mereka, Memberi hormat kepada Subhā, sang putri pandai besi.