easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Puncak Gunung Inda, tempat yang sering dikunjungi oleh Yakkha Indaka.1 Kemudian Yakkha Indaka mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepadaNya dalam syair:

“Karena para Buddha mengatakan bahwa bentuk bukanlah roh, Jadi bagaimanakah seseorang mendapatkan jasmani ini? Dari manakah datangnya tulang dan hati seseorang? Bagaimanakah seseorang masuk ke dalam rahim?”2

[Sang Bhagavā:]

“Pertama-tama adalah kalala; Dari kalala muncul abbuda; Dari abbuda dihasilkan pesī; Dari pesī muncul ghana; Dari ghana muncul organ-organ tubuh, Rambut kepala, bulu-badan, dan kuku. <444>

Dan apa pun makanan yang dimakan ibu - Makanan dan minuman yang ia konsumsi – Dengan ini makhluk itu dipelihara, Janin di dalam rahim sang ibu.”3

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Puncak Gunung Hering. Kemudian Yakkha Sakkanāmaka mendatangi Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau dalam syair:

“Setelah melepaskan semua simpul Sebagai seorang yang terbebaskan sepenuhnya, Tidaklah baik bagimu, Petapa, Mengajarkan orang lain.”4

[Sang Bhagavā:]

“Jika, O Sakka, untuk suatu alasan Keakraban dengan seseorang muncul, Sang bijaksana semestinya tidak menggerakkan pikirannya Dengan belas kasihan terhadap orang demikian.

“Tetapi jika dengan pikiran jernih dan murni Ia mengajarkan kepada orang lain, Ia tidak menjadi terbelenggu <445> Dengan belas kasihan dan simpatinya.”5 [207]

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Gayā di Dataran Ṭaṅkita, tempat yang sering dikunjungi oleh Yakkha Sūciloma.6 Pada saat itu Yakkha Khara dan Yakkha Sūciloma sedang melintas tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian Yakkha Khara berkata kepada Yakkha Sūciloma: “Itu adalah seorang petapa.”

“Itu bukanlah seorang petapa; itu adalah seorang petapa palsu.7 Aku akan segera memastikan apakah ia adalah seorang petapa atau petapa palsu.”

Kemudian Yakkha Sūciloma mendekati Sang Bhagavā dan merunduk di hadapan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mundur. Kemudian Yakkha Sūciloma berkata kepada Sang Bhagavā: “Apakah Engkau takut kepadaku, Petapa?”

“Aku tidak takut kepadamu, sahabat. Hanya saja sentuhanmu jahat.”8 <446>

“Aku akan mengajukan pertanyaan kepadaMu, Petapa. Jika Engkau tidak menjawabku, aku akan membuatMu gila atau memecahkan jantungMu atau mencengkeram kakiMu dan melemparMu ke seberang Sungai Gangga.”

“Aku tidak melihat siapa pun di dunia ini, sahabat, dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, yang dapat membuatKu gila atau memecahkan jantungKu atau mencengkeram kakiKu dan melemparKu ke seberang sungai Gangga. Tetapi, tanyalah apa pun yang engkau inginkan, sahabat.”

“Apakah sumber dari nafsu dan kebencian? Dari mana munculnya ketidak-puasan, kegembiraan, dan ketakutan? Muncul dari manakah pemikiran [Melontarkan seseorang] bagaikan anak-anak melontarkan seekor gagak?9 <447>

[Sang Bhagavā:]

“Nafsu dan kebencian bersumber dari sini; Dari ini muncul ketidak-puasan, kegembiraan, dan ketakutan; Setelah muncul dari ini, pemikiran [Melontarkan seseorang] bagaikan anak-anak melontarkan seekor gagak.10

“Muncul dari kasih sayang, yang timbul dari diri seseorang, Bagaikan tunas yang tumbuh dari batang pohon banyan; Banyak, kemelekatan pada kenikmatan-indria, Bagaikan tanaman rambat māluvā yang merambat ke seluruh hutan.11 [208]

“Mereka yang memahami sumbernya, Mereka melenyapkannya – dengarkanlah, O yakkha! – Mereka menyeberangi banjir ini yang sulit diseberangi, Yang belum pernah terseberangi sebelumnya, karena tidak ada penjelmaan baru.”12

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Magadha di Altar Maṇimālaka, tempat yang sering dikunjungi oleh Yakkha Maṇibhadda. Kemudian Yakkha Maṇibhadda mendekati Sang Bhagavā dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Adalah baik bagi ia yang penuh perhatian, Ia yang penuh perhatian berkembang pesat dalam kebahagiaan. Hari demi hari adalah lebih baik bagi ia yang penuh perhatian, Dan ia terbebas dari permusuhan.”13

[Sang Bhagavā:]

“Adalah baik bagi ia yang penuh perhatian, Ia yang penuh perhatian berkembang pesat dalam kebahagiaan. Hari demi hari adalah lebih baik bagi ia yang penuh perhatian, Tetapi ia tidak terbebas dari permusuhan.”

“Seseorang yang pikirannya sepanjang siang dan malam Bergembira dalam tanpa-kekejaman, Yang memiliki cinta kasih terhadap semua makhluk – Baginya tidak ada permusuhan.”14

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang umat awam perempuan memiliki seorang putra bernama Sānu yang dirasuki oleh yakkha.15 Kemudian umat awam perempuan itu meratap, pada saat itu melantunkan syair-syair ini:

“Kepada mereka yang menjalani kehidupan suci,16 Yang menjalankan hari-hari Uposatha Lengkap dalam delapan faktor Pada tanggal empat belas atau lima belas,

Dan tanggal delapan setiap dwiminggu, <449> Dan pada periode-periode tertentu, Yakkha tidak bermain-main: Demikianlah yang kudengar dari para Arahant. Tetapi hari ini aku melihat sendiri Yakkha mempermainkan Sānu.”

[Yakkha yang mempermainkan Sānu:] [209]

“Kepada mereka yang menjalani kehidupan suci, Yang menjalankan hari-hari Uposatha Lengkap dalam delapan faktor Pada tanggal empat belas atau lima belas,

Dan tanggal delapan setiap dwiminggu, Dan pada periode-periode tertentu, Yakkha tidak bermain-main: Apa yang kau dengar dari para Arahant adalah baik.

“Ketika Sānu tersadar beritahukan kepadanya Peringatan dari yakkha ini: <450> Jangan melakukan perbuatan jahat Apakah secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Jika engkau melakukan perbuatan jahat, Atau jika engkau sedang melakukannya saat ini, Engkau tidak akan terbebas dari penderitaan Walaupun engkau terbang dan melarikan diri.”17

[Sānu:]18

“Mereka menangis, ibu, untuk mereka yang meninggal Atau untuk seseorang yang hidup yang tidak terlihat. Ketika engkau melihat, ibu, bahwa aku masih hidup, Mengapa, O ibu, engkau menangis untukku?”

[Ibu Sānu:]

“Mereka menangis, O anakku, untuk mereka yang meninggal Atau untuk seseorang yang hidup yang tidak terlihat; Tetapi ketika seseorang kembali ke kehidupan rumah tangga Setelah meninggalkan kenikmatan indria, Mereka menangis untuk ini juga, anakku, Karena walaupun hidup, sesungguhnya ia mati.19

“Mundurlah, sayangku dari bara api yang panas. <451> Engkau ingin terjun ke bara api panas; Mundurlah, sayangku, dari neraka, Engkau ingin terjun ke neraka.20

“Larilah, semoga keberuntungan menyertaimu! Kepada siapakah kami dapat menyuarakan kesedihan kami? Sebagai sesuatu yang terselamatkan dari api, Engkau ingin dibakar lagi.”21

Pada suatu ketika Yang Mulia Anuruddha sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Anuruddha, setelah terjaga pada berkas cahaya pertama saat fajar, melantunkan bait Dhamma. Kemudian Yakkha perempuan, ibu Piyaṅkara menenangkan anak kecilnya sebagai berikut:22

“Jangan bersuara, Piyaṅkara, Seorang bhikkhu melantunkan bait-Dhamma. <452> Setelah memahami bait-Dhamma, Kita harus berlatih demi kesejahteraan kita.

“Mari kita menghindari diri dari mencelakai makhluk-makhluk hidup, Mari kita tidak mengucapkan kebohongan dengan sengaja, Kita harus melatih diri dalam moralitas: Mungkin kita akan terbebas dari alam setan.”

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. [210] Pada saat itu Sang Bhagavā sedang mengajar, menasihati, menginspirasi, dan menggembirakan para bhikkhu dengan khotbah Dhamma sehubungan dengan Nibbāna. Dan para bhikkhu itu sedang mendengarkan Dhamma dengan serius, memperhatikannya sebagai sesuatu yang penting, mengarahkan seluruh perhatian mereka pada khotbah itu. Kemudian yakkha perempuan, Ibu Punabbasu menenangkan anaknya sebagai berikut:23

“Diamlah Uttarikā, Diamlah, Punabbasu! <453> Aku ingin mendengarkan Dhamma Dari Sang Guru, Buddha Yang Tertinggi.

“Ketika Sang Bhagavā menjelaskan tentang Nibbāna, Bebas dari segala simpul, Muncul dalam diriku Cinta mendalam pada Dhamma ini.

“Di dunia ini anak seseorang adalah kesayangan, Di dunia ini suami seseorang adalah kesayangan; Tetapi bagiku, pencarian akan Dhamma ini Telah menjadi kesayangan yang lebih besar dari semua itu.

“Karena tidak satu pun dari anak atau suami seseorang, Walaupun kesayangan, dapat membebaskan seseorang dari penderitaan Sedangkan mendengarkan Dhamma sejati membebaskan seseorang Dari penderitaan makhluk-makhluk hidup.24

“Dalam dunia ini yang tenggelam dalam penderitaan, Terbelenggu oleh usia-tua dan kematian, Aku ingin mendengarkan Dhamma Yang Beliau – Sang Buddha – Yang Tercerahkan Sempurna, babarkan, Demi kebebasan dari usia-tua dan kematian. Jadi tenanglah Punabbasu!”25 <454>

[Punabbasu:]

“Ibu sayang, aku tidak berbicara; Uttarā ini juga diam. Memperhatikan hanya pada Dhamma, Karena mendengarkan Dhamma sejati adalah menyenangkan. Karena kita belum mengenal Dhamma sejati Kita hidup menderita, ibu.

“Beliau adalah pembuat cahaya Bagi para deva dan manusia yang kebingungan; Tercerahkan, membawa tubuh terakhirNya, Seseorang dengan Penglihatan mengajarkan Dhamma.”

[Ibu Punabbasu:]

“Baik sekali putraku telah menjadi begitu bijaksana, Ia yang kulahirkan dan kupelihara dari payudaraku. Putraku menyukai Dhamma murni Dari Yang Tercerahkan Sempurna.

“Punabbasu, berbahagialah! Hari ini, akhirnya aku keluar. <455> Dengarkan aku juga, O Uttarā: Kebenaran mulia telah terlihat!”26

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Sejuk. Pada saat itu perumah tangga Anāthapiṇḍika tiba di Rājagaha untuk suatu urusan.27 Ia mendengar: “Seorang Buddha, dikatakan, telah muncul di dunia ini!” Ia ingin pergi dan menjumpai Sang Bhagavā segera, [211] namun ia berpikir: “Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk pergi menjumpai Sang Bhagavā. Aku akan pergi menjumpai Sang Bhagavā besok pagi.”

Ia berbaring dengan pikiran tertuju pada Sang Buddha, dan sepanjang malam itu ia terbangun tiga kali menganggap bahwa hari sudah pagi. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendekati gerbang pemakaman. Makhluk bukan-manusia membuka gerbang. <456> Kemudian, ketika perumah tangga Anāthapiṇḍika meninggalkan kota, cahaya sirna dan kegelapan muncul. Ketakutan, kegentaran, dan teror muncul dalam dirinya dan ia ingin berbalik. Tetapi Yakkha Sivaka, yang tidak terlihat, mengucapkan pernyataan:28

“Seratus [ribu] gajah, Seratus [ribu] kuda, Seratus [ribu] kereta yang ditarik keledai, Seratus ribu bidadari Berhiaskan perhiasan dan anting-anting, Tidak sebanding dengan seper-enam-belas Dari satu langkah maju.29

“Majulah, perumah tangga! Majulah, perumah tangga! Maju lebih baik bagimu, jangan berbalik.”

Kemudian kegelapan sirna dan cahaya muncul untuk perumah tangga Anāthapiṇḍika, dan ketakutan, kegentaran, dan teror yang telah muncul dalam dirinya menjadi lenyap.

Untuk ke dua kalinya … (syair 838 termasuk dalam pengulangan ini) <457> … Untuk ke tiga kalinya cahaya sirna dan kegelapan muncul. Takut, kegentaran, dan teror muncul dalam dirinya dan ia ingin berbalik. Tetapi untuk ke tiga kalinya Yakkha Sivaka, yang tidak terlihat, mengucapkan pernyataan:

“Seratus [ribu] gajah … Dari satu langkah maju.

“Majulah, perumah tangga! Majulah, perumah tangga! Maju lebih baik bagimu, jangan berbalik.”

Kemudian kegelapan [212] sirna dan cahaya muncul untuk perumah tangga Anāthapiṇḍika, dan ketakutan, kegentaran, dan teror yang telah muncul dalam dirinya menjadi lenyap.

Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendekati Sang Bhagavā di Hutan Sejuk. Pada saat itu Sang Bhagavā, setelah terjaga pada berkas cahaya fajar pertama, sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Dari jauh Sang Bhagavā melihat perumah tangga Anāthapiṇḍika mendekat. Ia turun dari jalan setapak, duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata kepada perumah tangga Anāthapiṇḍika: “Kemarilah, Sudatta.”30

Kemudian perumah tangga Anàthapiṇḍika berpikir: “Sang Bhagavā memanggil namaku,” [bergairah dan gembira],31 ia bersujud dengan bertiarap di tempat itu juga dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā <458> dan berkata kepada Beliau: “Aku harap, Yang Mulia, Bhagavā tidur nyenyak.”

[Sang Bhagavā:]

“Beliau memang selalu tidur nyenyak, Sang Brahmana yang padam sepenuhnya, Yang tidak melekat pada kenikmatan indria, Sejuk hatinya, tanpa perolehan.

“Setelah memotong segala kemelekatan, Setelah menyingkirkan beban dari hatinya, Yang damai tidur nyenyak, Setelah mencapai kedamaian pikiran.”32

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Bhikkhunī Sukkā, dikelilingi oleh kumpulan besar, sedang mengajarkan Dhamma. Kemudian yakkha yang berkeyakinan penuh pada Bhikkhunī Sukkā, berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya dan dari satu lapangan ke lapangan lainnya di Rājagaha, sambil melantunkan syair-syair:

“Apa yang terjadi pada orang-orang di Rājagaha? <459> Mereka tidur seolah-olah mereka telah meminum minuman keras. Mengapa mereka tidak mendengarkan Sukkā Ketika ia mengajarkan keadaan tanpa kematian?33

“Tetapi para bijaksana, meminumnya - [Dhamma] itu yang tidak dapat ditolak, Makanan surgawi, penuh nutrisi – Seperti para pengembara melakukannya pada awan.”34

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. [213] Pada saat itu seorang umat awam memberikan makanan kepada Bhikkhunī Sukkā. Kemudian yakkha yang berkeyakinan penuh pada Bhikkhunī Sukkā, berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya dan dari satu lapangan ke lapangan lainnya di Ràjagaha, sambil melantunkan syair ini:

“Ia telah mengumpulkan banyak jasa kebajikan - Sungguh bijaksana umat awam ini, Yang baru saja memberikan makanan kepada Sukkā, <460> Seorang yang terbebaskan dari segala simpul.”35

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu seorang umat awam memberikan jubah kepada Bhikkhunī Cirā. Kemudian yakkha yang berkeyakinan penuh pada Bhikkhunī Cirā, berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya dan dari satu lapangan ke lapangan lainnya di Rājagaha, sambil melantunkan syair ini:

“Ia telah mengumpulkan banyak jasa kebajikan - Sungguh bijaksana umat awam ini, Yang baru saja memberikan jubah kepada Cirā, Seorang yang terbebaskan dari segala ikatan.”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Āḷavi, tempat yang sering dikunjungi oleh Yakkha Āḷavaka.36 Kemudian Yakkha Āḷavaka mendekati Sang Bhagavā dan berkata kepada Beliau: “Keluarlah, Petapa!” <461>

“Baiklah, sahabat,” Sang Bhagavā berkata, dan Beliau keluar.37

“Masuklah, Petapa.”

“Baiklah, sahabat,” Sang Bhagavā berkata, dan Beliau masuk.

Untuk ke dua kalinya … [214] Untuk ke tiga kalinya Yakkha Āḷavaka berkata kepada Sang Bhagavā: “Keluarlah, Petapa!”

“Baiklah, sahabat,” Sang Bhagavā berkata, dan Beliau keluar.

“Masuklah, Petapa.”

“Baiklah, sahabat,” Sang Bhagavā berkata, dan Beliau masuk.

Untuk ke empat kalinya Yakkha Āḷavaka berkata kepada Sang Bhagavā: “Keluarlah, Petapa!”

“Aku tidak akan keluar, sahabat. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan.”

“Aku akan mengajukan pertanyaan kepadaMu, Petapa. Jika Engkau tidak menjawabku, aku akan membuatMu gila atau memecahkan jantungMu atau mencengkeram kakiMu dan melemparMu ke seberang Sungai Gangga.”38

“Aku tidak melihat siapa pun di dunia ini, sahabat, dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia, yang dapat membuatKu gila atau memecahkan jantungKu atau mencengkeram kakiKu dan melemparKu ke seberang sungai Gangga. Tetapi, tanyalah apa pun yang engkau inginkan, sahabat.”39

[Āḷavaka:] <462>

“Apakah harta terbaik seseorang? Apakah yang dilatih dengan baik membawa kebahagiaan? Apakah rasa yang paling manis? Bagaimanakah kehidupan seseorang yang mereka katakan sebagai kehidupan terbaik?

[Sang Bhagavā:]

“Keyakinan adalah harta terbaik seseorang; Dhamma yang dilatih dengan baik membawa kebahagiaan; Kebenaran adalah rasa yang paling manis; Seseorang yang hidup dengan kebijaksanaan mereka katakan sebagai kehidupan terbaik.”40

[Āḷavaka:]

“Bagaimanakah seseorang menyeberangi banjir? Bagaimanakah seseorang menyeberangi lautan yang bergolak? Bagaimanakah seseorang mengatasi penderitaan? Bagaimanakah seseorang disucikan?”

[Sang Bhagavā:]

“Dengan keyakinan seseorang menyeberangi banjir, Dengan ketekunan seseorang menyeberangi lautan bergolak. Dengan semangat seseorang mengatasi penderitaan, Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan.”41

[Āḷavaka:]

“Bagaimanakah seseorang memperoleh kebijaksanaan?42 Bagaimanakah seseorang menemukan kekayaan? <463> Bagaimanakah seseorang mencapai pengakuan? Bagaimanakah seseorang mengikat seorang teman? Ketika berlalu dari dunia ini ke dunia berikutnya, Bagaimanakah agar seseorang tidak bersedih?”

[Sang Bhagavā:]

“Menempatkan keyakinan dalam Dhamma para Arahant Demi pencapaian Nibbāna, Dari keinginan untuk belajar seseorang memperoleh kebijaksanaan Jika ia tekun dan cerdik.43

“Melakukan apa yang benar, taat, Seseorang dengan inisiatif menemukan kekayaan. [215] Dengan kejujuran seseorang memenangkan pengakuan; Dengan memberi, seseorang mengikat teman. Demikianlah bagaimana seseorang tidak bersedih Ketika berlalu dari dunia ini ke dunia berikutnya.44

“Pencari kehidupan rumah tangga yang penuh keyakinan Yang padanya terdapat keempat kualitas ini – Kebenaran, Dhamma, keteguhan, kedermawanan – Tidak bersedih ketika ia meninggal dunia. <464>

“Silakan, tanyakanlah kepada yang lainnya juga, Di antara banyak petapa dan brahmana, Apakah ditemukan yang lebih baik Daripada kebenaran, pengendalian diri, kedermawanan, dan kesabaran.”45

[Āḷavaka:]

“Mengapa aku harus mengajukan pertanyaan kepada orang lain, Di antara banyak petapa dan brahmana? Hari ini aku telah memahami Kebaikan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang.46

“Sesungguhnya, demi diriku Sang Buddha telah datang Untuk berdiam di Āḷavi. Hari ini aku telah memahami Di mana sebuah pemberian menghasilkan buah besar.

“Aku sendiri akan mengembara Dari desa ke desa, kota ke kota, Memberi hormat kepada Yang Tercerahkan Dan kepada kemuliaan Dhamma .”47 <465>


Catatan Kaki
  1. Spk: Ini adalah yakkha yang menetap di Puncak Inda. Kadang-kadang sebuah puncak dinamai sesuai dengan nama yakkha, kadang-kadang yakkha dinamai sesuai dengan nama puncak. ↩︎

  2. Spk mengemas sajjati dalam pāda d dengan laggati tiṭṭhati, “menempel, bertahan,” jelas menganggap sajjati sama Skt sajyate (baca MW, s.v. sañj (2)). Tetapi kata ini seharusnya dalam bentuk pasif mewakili Skt sṛjyati karenanya MW (s.v. sṛj) menguraikan sebagai arti-arti dari “membuat, menghasilkan, menciptakan, menimbulkan.” Saya menerjemahkan berdasarkan asumsi bahwa ini adalah turunan sebenarnya. Baca juga PED, s.v. sajati (1)

    Spk mengatakan bahwa yakkha ini adalah penganut konsep diri (puggalavādi) yang menganut pandangan bahwa suatu makhluk dihasilkan dari rahim dengan sekali tepukan (ekappahāren’ eva satto mātukucchismiṃ nibbattati). Jawaban Sang Buddha dimaksudkan untuk membantah kepercayaan yakkha itu dengan menunjukkan bahwa suatu makhluk berkembang secara tahap demi tahap (anupubbena pana vaḍḍhati). ↩︎

  3. Istilah Pāli ini merujuk pada tingkatan berbeda dalam pembentukan embrio. Spk: kalala berukuran sebesar tetesan minyak yang terdapat pada ujung benang yang terbuat dari tiga utas wol. Setelah seminggu dari kalala menjadi abbuda, yang berwarna seperti air bekas mencuci daging. Setelah seminggu berikutnya, dari abbuda muncul pesī, yang menyerupai timah cair [Spk-pṭ: dalam bentuknya, tetapi berwarna merah muda]. Setelah seminggu berikutnya lagi, dari pesī muncul ghana, yang berbentuk telur ayam. Pada minggu ke lima, dari ghana keluar anggota tubuh: lima tonjolan muncul, tonjolan lengan, kaki, dan kepala. Tetapi rambut kepala, bulu badan, dan kuku belum ada hingga minggu ke empat-puluh-dua. ↩︎

  4. Spk: Yakkha ini, dikatakan, adalah dari kelompok Māra (mārapakkhika-yakkha). Syairnya serupa dengan celaan Māra kepada Sang Buddha pada v.474, dan jawaban Sang Buddha adalah pengulangan v.475. Spk-pṭ menjelaskan intinya adalah bahwa belas kasihan dan simpati sang bijaksana tidak ternoda oleh cinta duniawi. ↩︎

  5. Spk mengemas vaṇṇena menjadi kāraṇena (seperti pada v.796c; baca n.555), dan Spk-pṭ mengemas yena kena ci menjadi gahaṭṭhena vā pabbajitena vā, “dengan perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian,” dengan demikian memisahkannya dari vaṇṇena dan memperlakukannya sebagai ungkapan rujukan pribadi. Inti dari syair Sang Buddha adalah bahwa seorang bijaksana seharusnya tidak memberikan nasihat kepada orang lain jika ia beresiko menjadi melekat, tetapi ia boleh melakukannya demi belas kasihan jika batinnya telah murni dan simpatinya tidak ternoda oleh cinta duniawi. ↩︎

  6. Sutta ini juga terdapat pada Sn II,5 (pp.47-49) dan dikomentari pada Pj II 301-5. Nama yakkha ini berarti “Rambut-jarum”; ia disebut demikian karena tubuhnya diselimuti oleh bulu yang menyerupai jarum. Menurut Spk, ia adalah seorang bhikkhu pada masa Buddha Kassapa tetapi tidak mampu mencapai tingkat apa pun. Pada masa Buddha Gotama ia terlahir kembali sebagai yakkha di tempat pembuangan sampah di pintu gerbang desa Gayā. Sang Buddha melihat bahwa ia berpotensi untuk mencapai tingkat jalan Memasuki-Arus dan pergi ke kediamannya untuk mengajarkan kepadanya. Tempat kediamannya, hamparan Ṭaṅkita, terbuat dari batu datar yang berdiri di atas empat batu lainnya. ↩︎

  7. Spk: Ia berbicara demikian dengan berpikir, “Seseorang yang ketakutan dan melarikan diri ketika melihatku adalah seorang petapa palsu (samaṇaka); seseorang yang tidak ketakutan dan tidak melarikan diri adalah seorang petapa sejati (samaṇa). Orang ini, setelah melihatku, akan ketakutan dan melarikan diri.” ↩︎

  8. Spk: Yakkha itu mengubah wujudnya menjadi mengerikan, membuka mulutnya lebar-lebar, dan menegakkan bulu-badannya yang bagaikan jarum di sekujur tubuhnya. Sentuhannya “jahat” (pāpaka) dan harus dihindari bagaikan kotoran, api, atau ular berbisa. Ketika Sang Buddha mengatakan ini, Sūciloma menjadi marah dan berkata sebagai berikut. ↩︎

  9. Dalam semua edisi SN, dan kebanyakan edisi Sn, serta komentarnya masing-masing, vv.808d, 809d tertulis: Kumārakā dhaṅkam iv’ ossajanti. Sebuah variasi tulisan vaṅkam (menggantikan dhaṅkam) ditemukan dalam beberapa mss dari Sn (vv.270-71) dan telah dimasukkan ke dalam Sn (Ee1). Dhaṅkam (< Skt dvāṅkṣam) tentu saja adalah tulisan yang diketahui para komentator, karena baik Spk maupun Pj II 303,22 foll. mengemas kata itu menjadi kakaṃ, gagak, yang tidak mungkin mereka lakukan jika tulisan itu adalah vaṅkam. Spk mengemas ossajanti menjadi khipanti, dan menjelaskan perumpamaan: “Anak-anak kecil mengikat kaki seekor gagak dengan tali panjang, mengikat ujung tali itu di jari tangan mereka, dan melepaskan gagak itu. Setelah gagak itu pergi dalam jarak tertentu, gagak itu jatuh kembali di kaki mereka.”

    Spk menuliskan pertanyaan tersebut sebagai berikut: “Dari manakah pikiran buruk muncul dan mengganggu batin?” (pāpavitakkā kuto samuṭṭhāya cittaṃ ossajanti). Ini sepertinya memisahkan antara mano dan vitakka dan memperlakukan mano sebagai bentuk akusatif. Saya lebih menyukai mempertahankan manovitakka sebagai kata majemuk (seperti jelas dalam v34b) dan melihat objek ossajanti hanya sebagai implisit, yaitu, diri sendiri, sumber dari mana pikiran muncul, seperti yang ditegaskan pada v.810a dengan ungkapan attasambhūtā.

    Norman, yang juga menerima dhaṅkam, mendiskusikan persoalan ini dalam GD, p.200, n. atas 270-71. Untuk terjemahan alternatif berdasarkan tulisan vaṅkam, baca Ñāṇananda, SN Anth 2:13, 89-90. Versi Skt yang tertulis pad Ybhūś 11.1 adalah kumārakā dhātrim ivāsrayante, “bagaikan seorang anak kecil bergantung pada pengasuhnya.” (Enomoto, CSCS, p.59). ↩︎

  10. Itonidānā. Spk: “Penjelmaan individu ini (attabhāva) adalah sumbernya; muncul dari penjelmaan individu ini. Bagaikan anak-anak bermain dengan melontarkan burung gagak, demikian pula pikiran buruk muncul dari penjelmaan individu ini dan melontarkan pikiran [Spk-pṭ: dengan tidak memberikan kesempatan bagi kondisi-kondisi bermanfaat untuk muncul].”

    Spk-pṭ: Dalam penerapan perumpamaan tersebut, pikiran buruk adalah bagaikan anak-anak yang sedang bermain; dunia dari penjelmaan individu ini adalah bagaikan dunia di mana anak-anak itu muncul; pikiran adalah bagaikan buruk gagak; dan belenggu (saṃyojana) yang mengikuti seseorang hingga jarak tertentu adalah bagaikan tali panjang yang mengikat kaki burung gagak itu. ↩︎

  11. Bagaikan tunas yang tumbuh dari batang pohon banyan (nigrodhasevakhandhajà). Pohon banyan, dan spesies lainnya dari pohon beringin, “dari dahan-dahannya tumbuh akar-akar yang bergelantungan hingga ke tanah dan membesar menjadi ‘tiang-tiang-akar’ atau batang tambahan. Batang baru yang terus-menerus tumbuh, semuanya berhubungan melalui dahan, dapat menyangga dedaunan hingga 2.000 kaki ke sekeliling” (Emeneau, “The Strangling Figs in Sanskrit Literature,” p.346). Emeneau mengutip Milton, Paradise Lost, IX, 1100-11, “the locus classicus mengenai pohon ini dalam literatur Bahasa Inggris”:

    Pohon Beringin … merentangkan Lengan-lengannya

    Merentangkan dahan begitu luas dan panjang, dan di dalam tanah

    Ranting-ranting melengkung berakar, dan Anak-anak tumbuh

    Di sekeliling Pohon Induk, Tiang keteduhan

    Membentuk atap tinggi, menggemakan suara Langkah di antaranya …

    Bagaikan tanaman rambat māluvā yang merambat ke seluruh hutan (māluvā va vitatā vane). Spk: “Ketika tanaman rambat māluvā tumbuh dengan menumpang pada pohon tertentu, ia menganyam dirinya di sekeliling pohon terus-menerus dan membentang dari atas ke bawah, demikianlah ia hidup tergantung dan terbentang. Dengan cara yang sama banyak kekotoran keinginan-indria melekat pada objek-objek keinginan indria, atau banyak makhluk-makhluk melekat pada objek-objek kenikmatan indria karena kekotoran-kekotoran kenikmatan indria itu.” Intinya, sepertinya keinginan-indria itu membentang dari objek ke objek bagaikan tanaman rambat yang membentang ke seluruh hutan dengan menjalar dari pohon ke pohon. Penjelasan lebih lanjut mengenai tanaman rambat māluvā, baca MN I 306-7, AN I 202,32-34 dan 204,23 – 205,4, dan Dhp 162,334. ↩︎

  12. Spk menuliskan: “Mereka yang memahami sumber penjelmaan individu ini menghilangkannya, yaitu, dengan kebenaran Sang Jalan, mereka melenyapkan kebenaran asal-mula (=ketagihan), yang merupakan sumber dari kebenaran penderitaan yang terdapat dalam penjelmaan individu ini. Dengan menyingkirkan kebenaran asal-mula, mereka menyeberangi banjir kekotoran yang sulit diseberangi, yang belum terseberangi sebelumnya dalam saṃsāra yang tanpa awal ini bahkan dalam mimpi, demi tidak terlahir kembali, demi kebenaran lenyapnya (=Nibbāna), yang disebut ‘tidak ada kelahiran baru’ (apunabbhavāya). Demikianlah dengan syair ini Sang Guru mengungkapkan Empat Kebenaran Mulia, membawa khotbah tersebut memuncak pada Kearahattaan. Pada akhirnya, Sūciloma mencapai tingkat buah Memasuki-Arus. Dan karena Pemasuk-Arus tidak hidup dalam jasmani menakutkan, seketika dengan pencapaiannya, rambut-rambut jarumnya runtuh dan ia mendapatkan penampilan sebagai dewa bumi (bhummadevatāparihāra).” ↩︎

  13. Spk mengemas sukham edhati dalam pāda a sebagai sukhaṃ paṭilabhati, “memperoleh kebahagiaan.” CPD menunjukkan (s.v edhati) bahwa interpretasi ini mungkin kesalah-pahaman yang bermula dari anggapan bahwa sukham adalah objek langsung dari kata kerja alih-alih bentuk akusatif bersifat kata keterangan. Makna aslinya muncul dalam komentar pada kemasan ungkapan sukhedito sebagai sukhasaṃvaddhito. Baca juga EV I, n. atas 475.

    Spk mengemas suve seyyo dalam pāda c sebagai suve suve seyyo, niccam eva seyo; “Lebih baik esok hari daripada keesokan harinya lagi, selalu lebih baik.” ↩︎

  14. Spk: ahiṃsāya, “dalam ketidak-bahayaan,” artinya “dalam belas kasih dan dalam tahap awal belas kasihan” [Spk-pṭ: yaitu, tahap awal jhāna pertama yang dihasilkan dari meditasi pada belas kasihan]. Mettaṃ so, “yang memiliki cinta kasih,” berarti “ia (so) mengembangkan cinta kasih (mettaṃ) dan tahap awal cinta kasih.” [Spk-pṭ: Ia (so) adalah seorang yang mengembangkan meditasi pada belas kasihan.]

    Jelas bahwa Spk dan Spk-pṭ menganggap so dalam pāda c sebagai padanan demonstratif dari yassa dalam pāda a, dengan kata kerja transitif implisit bhāveti dipahami. Walaupun arti yang tepat dari mettaṃ so (atau mettaṃso) menjadi persoalan, saya lebih suka menganggap pāda c sebagai klausa relatif tambahan, klausa relatif ini dipisah hanya dalam pāda d yang dengan jelas mendemonstrasikan tassa. Spk memberikan interpretasi alternatif mettaṃso sebagai kata majemuk mettā dan aṃsa, dikemas sebagai koṭṭhāsa, “bagian”: mettā aṃso etassā ti mettaṃso; “seorang yang pikiran cinta kasihnya adalah sebagian (dari sifatnya) adalah mettaṃso.” Mp IV 71,9 mengemas mettaṃso: mettāyamānacitta koṭṭhāso hutvā; “setelah menjadi seseorang yang pikiran cinta kasihnya adalah sebagian”; baca juga It-a I 95,13-15. Brough mengatakan bahwa *mitrisa (*dalam G-Dhp 198) “sepertinya telah diterjemahkan oleh penerjemah Prakrit sebagai padanan dari [Skt] maitri asya” (Gāndhāri Dharmapada, p.242, n. 198).

    Spk-pṭ: Karena pikiran membenci seseorang memelihara permusuhan bahkan terhadap seorang Arahant yang tidak bermeditasi pada cinta kasih dan belas kasihan. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memelihara permusuhan terhadap seorang yang memiliki kebebasan pikiran melalui cinta kasih dan belas kasihan. Begitu kuatnya meditasi pada alam brahmā (evaṃ mahiddhikā brahmavihāra-bhāvanā). ↩︎

  15. Kisah latar belakang, yang diceritakan dalam Spk, juga terdapat dalam Dhp-a IV 18-25, yang juga memasukkan syair-syair ini; baca BL 3:207-11. Singkatnya: Sānu adalah seorang samaṇera yang taat yang, setelah dewasa, merasa tidak puas dengan kehidupan bhikkhu dan pulang ke rumah ibunya bermaksud untuk lepas jubah. Ibunya, setelah memohon agar ia mempertimbangkan kembali keputusan itu, pergi menyiapkan makanan untuknya, dan kemudian yakkha perempuan – ibunya dalam kehidupan lampau – merasukinya dan menjatuhkannya ke tanah, di mana ia terbaring gemetar dengan mata berputar dan mulut berbusa. Ketika ibunya masuk ke kamarnya, ia menemukannya dalam keadaan demikian. ↩︎

  16. Saya mengikuti tulisan dalam Be. Ee1 & 2 menambahkan syair lain di sini (v.815 dalam Ee2), tetapi karena syair ini sepertinya adalah hasil kesalahan penulisan maka saya tidak menerjemahkannya. Tulisan dalam Be didukung oleh versi Dhp-a. Se menulis seperti dalam Be, tetapi dengan yā va sebagai pengganti yā ca dalam pāda ke dua baik pada seruan maupun jawaban. Untuk menerjemahkan sesuai dengan aturan Bahasa Inggris umum, saya terpaksa membalik baris-baris dari Pāli dengan cara menyilangkan pembagian syair-syair dalam teks Pāli.

    Uposattha lengkap dalam delapan faktor (aṭṭhasusamāgataṃ uposathaā): Mengenai Uposatha, baca n.513. Selain dua Uposatha utama yang jatuh pada hari bulan purnama dan hari bulan baru (berturut-turut tanggal lima belas, dan tanggal lima empat belas atau lima belas, dan setiap dwi-mingguan), Uposatha minor jatuh pada hari bulan setengah, hari ke delapan setiap dwi-mingguan. Umat-umat awam menjalankan Uposatha dengan mengambil delapan sīla (aṭṭhaṅga-sīla), disiplin yang lebih keras daripada Lima Sīla sebagai praktik sehari-hari. Ini termasuk menghindari (1) pembunuhan, (2) pencurian, (3) semua aktivitas seksual, (4) kata-kata salah, (5) meminum minuman keras, (6) makan setelah tengah hari, (7) menari, menyanyi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan yang tidak selayaknya, menggunakan perhiasan dan kosmetik, dan (8) menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah. Penjelasan lebih lanjut sehubungan dengan kewajiban Uposatha bagi umat awam, baca AN IV 248-62.

    Dan pada periode-periode tertentu (pātihāriyapakkhañ ca). Spk menjelaskan hal ini seolah-olah bermakna hari-hari yang mendekati Uposatha: “Hal ini disebutkan sehubungan dengan mereka yang menjalankan Uposatha pada hari ke tujuh dan ke sembilan setiap dwi-mingguan juga (sebagai tambahan dari hari ke delapan), dan yang juga menjalankan praktik ini pada hari-hari sebelum dan sesudah Uposatha pada hari ke empat belas dan ke lima belas (pelaksanaan pada hari bulan purnama dan hari bulan baru). Lebih lanjut lagi, setelah hari Pavāraṇā (baca n.513) mereka menjalankan kewajiban Uposatha setiap hari selama satu dwi-minggu [Spk-pṭ: yaitu, selama dwi-minggu gelap].” Penjelasan berbeda dari ungkapan pātihāriyapakkha diberikan pada Mp II 234 dan Pj II 378. ↩︎

  17. Spk mengemas uppaccā pi sebagai uppatitvā pi, dan menulis: “Bahkan jika engkau terbang seperti burung dan melarikan diri, engkau tetap tidak terbebaskan.” Syair yang sama terdapat pada Thī 247c-248b, Pv 236, Ud 51,17-18, Peṭ 44,20-21, dan Nett 131,19-20. Versi-versi ini (kecuali Pv) membaca bentuk absolutif sebagai upecca, dengan kemasan aneh sañcicca dalam komentarnya; Pv mengikuti SN, tetapi komentarnya mengenali upecca sebagai variasi tulisan. Sebuah paralel yang terdapat dalam Uv 9:4, dengan bentuk absolutif utplutya. Baca von Hinuber, “On the Tradition of Pāli Text in India, Ceylon, and Burma,” pp.51-53. ↩︎

  18. Pada titik ini, yakkha itu membebaskan Sānu dan ia sadar kembali, tidak mengetahui apa yang telah terjadi. ↩︎

  19. Baca 20:10 (II 271,13-14): “Karena ini adalah kematian dalam Disiplin Yang Mulia; bahwa seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan yang lebih rendah.” ↩︎

  20. Spk: Ia mengatakan ini untuk menunjukkan bahaya dalam kehidupan rumah tangga; karena kehidupan rumah tangga disebut “bara api panas” (kukkuḷā) dalam pengertian panas. Kukkuḷā juga terdapat pada 22:136↩︎

  21. Spk menuliskan kassa ujjhāpayāmase, dalam pāda b, sebagai berikut: “Ketika engkau berniat untuk lepas jubah dan telah dirasuki oleh yakkha, kepada siapakah kami dapat menyuarakan kesedihan (keluhan), kepada siapakah kami memohon dan melaporkan hal ini (kassa mayaṃ ujjhāpayāma nijjhāpayāma ārocayāma)?” Dalam pāda cd: “Ketika engkau menjalani Ajaran Sang Buddha, meninggalkan kehidupan rumah tangga, engkau bagaikan sesuatu benda yang diselamatkan dari rumah yang terbakar. Tetapi sekarang engkau ingin dibakar lagi dalam kehidupan rumah tangga, yang merupakan lautan api.” Menurut Spk, keterlibatan yakkha itu terbukti efektif. Setelah mendengarkan ibunya, Sānu meninggalkan gagasannya untuk lepas jubah, menerima penahbisan yang lebih tinggi, menguasai ajaran Sang Buddha, dan segera mencapai Kearahattaan. Ia menjadi seorang pembabar besar yang hidup hingga usia 120. ↩︎

  22. Spk. Ia menggendong putranya Piyaṅkara di pinggulnya dan sedang mencari makanan di belakang Hutan Jeta ketika ia mendengar suara merdu dari hafalan bhikkhu itu. Suara itu mengalir langsung ke hatinya dan, menusuk, ia berdiri di sana mendengarkan Dhamma, minatnya terhadap makanan lenyap. Tetapi putranya masih terlalu muda untuk memahami hafalan itu dan terus-menerus mengeluhkan rasa laparnya kepada ibunya. ↩︎

  23. Spk: Ia menggendong putrinya di pinggulnya dan menuntun putranya dengan memegang tangannya. Ketika ia mendengar Dhamma ia berdiri tegak, namun anak-anaknya merengek meminta makan. ↩︎

  24. Spk menjelaskan bahwa pāṇinaṃ dalam pāda d dapat dipahami sebagai jamak atau tunggal yang mewakili jamak (=pāṇine): Pāṇinan ti yathā pāṇinaṃ dukkhā moceti. Ke mocetī ti? Pāṇine ti āharitvā vattabbaṃ. ↩︎

  25. Saya mengikuti saran berharga VĀT bahwa pāda d seharusnya dibaca: yaṃ dhammaṃ abhisambudhā, menganggap kata kerja sebagai bentuk akar aoris (baca Geiger, Pāli Grammar, §159,161.1). Be dan Ee2 membaca abhisambudhaṃ, Se dan Ee1 abhisambuddhaṃ, akusatif bentuk pasif yang sepertinya secara sintaksis tidak pada tempatnya. Bentuk akusatif yaṃ dhammaṃ memerlukan bentuk kata kerja aktif transitif, namun solusi yang diberikan oleh Spk adalah mengubah bentuk akusatif pasif menjadi bentuk nominatif aktif, sebuah aturan yang tidak terancang baik. Karena kata kerja yang dibentuk dari abhisambudh selalu merujuk pada Sang Buddha, saya membuat subjek kata kerja itu menjadi eksplisit, tidak menyebutkan demikian dalam teks. ↩︎

  26. Spk: Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, yakkha itu dan putranya mencapai buah Memasuki-Arus. Walaupun putrinya memiliki kondisi pendukung yang baik, ia masih terlalu muda untuk memahami khotbah itu. ↩︎

  27. Kisah pertemuan pertama Anāthapiṇḍika dengan Sang Buddha, diceritakan dengan sangat terperinci pada Vin II 154-59; baca juga Life of the Buddha, pp. 87-91, oleh Ñāṇamoli. Nama aslinya adalah Sudatta, “Anāthapiṇḍika” adalah nama panggilan yang berarti “(pemberi) dana kepada yang tidak mampu”; ia disebut demikian karena kedermawanannya. ↩︎

  28. Spk: Setelah jaga pertama malam itu ia terbangun dan memikirkan Sang Buddha, penuh keyakinan dan kegembiraan yang begitu kuatnya sehingga cahaya terbentuk dan mengusir kegelapan. Karena itu ia berpikir bahwa fajar telah datang dan berjalan menuju vihara, menyadari kesalahannya setelah ia berada di luar. Hal yang sama terjadi pada akhir dari jaga ke dua malam itu.

    Dari penjelasan Spk, sepertinya Hutan Sejuk terletak di dekat tanah pemakaman (sivathikā) dan dengan demikian Anāthapiṇḍika harus melewati pemakaman untuk sampai ke vihara. Karena inilah ia menjadi ketakutan. Perubahan intensitas cahaya, menurut Spk, mencerminkan pertempuran dalam batinnya antara keyakinan dan ketakutan. ↩︎

  29. Spk: Kata sahassa (ribuan), yang hanya ditemukan bergabung dengan kaññā, harus digabungkan dengan masing-masing dari tiga istilah sebelumnya. Semuanya adalah “tidak sebanding dengan seper-enam-belas dari satu langkah maju” karena ketika ia sampai di vihara, ia akan mencapai buah Memasuki-Arus. ↩︎

  30. Spk: Ketika ia mendekat, Anāthapiṇḍika bertanya-tanya bagaimana ia dapat memastikan bahwa Sang Guru adalah seorang Buddha yang sesungguhnya. Kemudian ia bertekad bahwa jika Sang Guru adalah seorang Buddha makan Beliau akan menyapanya dengan nama aslinya, Sudatta yang hanya diketahui olehnya sendiri. ↩︎

  31. Kata dalam kurung siku adalah haṭṭho udaggo, ditemukan hanya dalam Be. ↩︎

  32. Saya lebih menyukai Se dan Ee2 cetaso daripada Be dan Ee1 cetasā. Kata yang sama pada AN I 138,3-6 adalah juga cetaso. Dalam versi Vinaya Sang Buddha selanjutnya membabarkan khotbah bertingkat kepada Anāthapiṇḍika yang pada akhirnya ia mencapai tingkat Memasuki-Arus. ↩︎

  33. Syair ini dan berikutnya terdapat, dengan beberapa variasi, dalam Thī 54-55. Spk mengemas kiṃ me katā, dalam pāda a menjadi kiṃ me katā, kiṃ karonti, namun saya pikir lebih mungkin bahwa kita memisahkan kata majemuk bahubbībhi, kiṃkata, dan saya menerjemahkannya demikian.

    Be membaca pāda b: madhupitā va seyare (Se dan Ee2: seyyare; Ee1 dan Thī 54: accare). Spk: Mereka tidur seolah-olah telah meminum minuman keras manis (Be: gandhamadhupāna; Se: gaṇḍamadhupāna); karena dikatakan bahwa seseorang yang meminum ini tidak akan mampu mengangkat kepalanya dan terbaring tidak sadarkan diri. Spk-pṭ: Gandhamadhu adalah jenis madu tertentu yang sangat manis dan memabukkan.

    Spk I 338,13-14 (atas 11:1) menyebutkan sejenis minuman bernama gandhapāna (dalam Be; gaṇḍapāna dalam Se dan Ee), minuman memabukkan (surā) yang digunakan oleh para deva generasi tua di alam surga Tāvatiṃsa tetapi ditolak oleh Sakka setelah ia menjadi penguasa di alam itu. Dalam Dhp-a I 272,9 minuman ini disebut dibbapāna. MW menyebutkan gandhapāna, yang didefinisikan sebagai minuman harum. “Madhu menyiratkan segala sesuatu yang manis yang digunakan sebagai makanan dan khususnya minuman, ‘fermentasi’ suatu makna yang sering ditemui dalam Rigveda.” (Macdonell and Keith, Vedic Index, s.v. madhu). ↩︎

  34. Spk menjelaskan appaṭivāniyaṃ (“tidak dapat ditolak”), dalam pāda a, sebagai berikut: “Sementara makanan biasa, walaupun sangat lezat, tidak mampu memberikan kenikmatan ketika seseorang memakannya terus-menerus dan menjadi sesuatu yang ditolak dan dibuang, Dhamma ini berbeda. Para bijaksana dapat mendengarkan Dhamma selama seratus atau seribu tahun tanpa menjadi kenyang.” Spk mengemas asecanakam ojavaṃ, dalam pāda b, sebagai *anāsittakaṃ ojavantaṃ, “*tanpa campuran, nutrisi,” dan menjelaskan bahwa tidak seperti makanan material, yang menjadi lezat karena penambahan bumbu-bumbu, Dhamma ini manis dan bernutrisi tanpa adanya penambahan apa pun.

    Sementara Spk menganggap asecanaka diturunkan dari siñcati, menyiram, Brough mempertahankan bahwa kata ini diturunkan dari akar yang lain, sek, berarti “mengenyangkan.” Ia menerjemahkannya “tidak pernah kenyang” (Gāndhārī Dharmapada, p.193, n. atas 72). Baca juga CPD, s.v. asecanaka, yang mengutip penjelasan Skt tradisional dari *Amarakosa: tṛpter nāsty anto yasya darśanāt; “*yang pemandangannya saja memberikan kepuasan tanpa habis-habisnya.” Dalam Pāli kata ini lebih sering digunakan dalam makna bau-bauan dan rasa kecapan (yaitu, pada AN III 237,22 dan 238,1). Terjemahan saya “makanan surgawi” dimaksudkan untuk menggambarkan gagasan yang sama dengan definisi Skt, tetapi lebih ringkas sehingga dapat digabungkan ke dalam penjelasan atas perhatian pada pernafasan pada 54:9 (V 321,22 dan 322,11).

    Pāda d tertulis: valāhakam iva panthagā (dalam Be dan Ee1; dalam Se dan Thī 55 diakhiri dengan addhagū). Spk: “Bagaikan pengembara (pathikā) yang diserang oleh panas (yang meminum) air yang turun dari dalam awan.” ↩︎

  35. Syair ini dan berikutnya mirip dengan Thī 111, yang berisikan cirri-ciri dari keduanya. Dalam pāda d, saya lebih menyukai vippamuttāya dalam Se dan SS, bukannya vippamuttiyā dalam Be dan Ee1 & 2. Pada EV II, n. atas 111, Norman menyarankan, dengan berdasarkan pada irama, membalik pāda c dan d, namun makna yang dihasilkan sepertinya merusak kepastian dari saran ini. ↩︎

  36. Sutta ini, juga terdapat dalam Sn I, 10 (pp.31-33), termasuk dalam Maha Pirit Pota Sri lanka. Spk menceritakan kisah latar belakang yang panjang, yang mana saya meringkas bagian yang penting saja:

    Suatu hari Raja Āḷavaka dari Āḷavī, sewaktu sedang berburu, ditangkap oleh yakkha Āḷavaka yang ganas, yang mengancam akan memakannya. Raja dapat memperoleh kebebasan hanya setelah menjanjikan kepada siluman itu untuk menyediakan korban manusia setiap hari. Pertama-tama raja mengirimkan para kriminal dari penjara, tetapi ketika para tahanan sudah habis ia meminta agar setiap keluarga menyediakan seorang anak. Semua keluarga yang memiliki anak-anak akhirnya melarikan diri ke wilayah lain dan menjadi kewajiban raja untuk menyerahkan putranya sendiri, Pangeran Āḷavaka. Sang Buddha, menyadari pengorbanan itu, mendatangi kediaman yakkha itu pada hari itu sebelum persembahan terjadi untuk mengubah keyakinan siluman itu dari cara-cara jahat. Pada saat itu yakkha itu sedang menghadiri suatu pertemuan di Himalaya, tetapi Sang Buddha masuk ke gua dan duduk di singgasana yakkha itu, dan membabarkan Dhamma kepada perempuan-perempuan haremnya. Ketika yakkha itu mendengar hal ini, ia tergesa-gesa kembali ke Āḷavī dalam kemarahan dan menyuruh Sang Bhagavā pergi. ↩︎

  37. Spk: Sang Buddha mematuhi perintah yakkha itu tiga kali karena Beliau mengetahui bahwa hal tersebut adalah cara paling efektif untuk melunakkan pikirannya. Tetapi ketika yakkha itu berpikir untuk menyuruh Sang Buddha keluar dan masuk sepanjang malam, Sang Guru menolak mematuhi. ↩︎

  38. Spk: Dikatakan bahwa ketika ia masih kecil orang tuanya mengajarkan kepadanya delapan pertanyaan dan jawaban yang mereka pelajari dari Buddha Kassapa. Seiring dengan berlalunya waktu ia lupa akan jawaban-jawabannya, tetapi ia telah melestarikan pertanyaan-pertanyaan yang ditulis di atas lempengan emas, yang ia simpan di dalam gua. ↩︎

  39. Api ca tvaṃ avuso puccha yad ākaṅkhasi. Spk: Dengan kata-kata ini Sang Buddha memberikan undangan dari seorang Yang Maha-tahu (sabbaññupavāraṇaṃ pavāresi), yang tidak dapat dilakukan oleh para Paccekabuddha, siswa utama atau siswa besar. ↩︎

  40. Spk: Keyakinan adalah harta terbaik seseorang karena membawa kebahagiaan duniawi dan adi-duniawi sebagai akibatnya; mengurangi penderitaan karena kelahiran dan penuaan; melenyapkan kemiskinan sehubungan dengan kualitas-kualitas baik; dan merupakan alat untuk memperoleh permata faktor-faktor pencerahan, dan sebagainya. Dhamma di sini adalah sepuluh kualitas bermanfaat, atau memberi, moralitas dan meditasi. Hal ini memberikan kebahagiaan bagi manusia, kebahagiaan surgawi dan pada akhirnya kebahagiaan Nibbāna. Kebenaran di sini adalah ucapan benar, dengan Nibbāna sebagai kebenaran mutlak (paramatthasacca) dan kebenaran sebagai penghindaran (dari kebohongan; viratisacca) termasuk di dalamnya. Dari berbagai jenis rasa, kebenaran adalah rasa yang paling manis, kebenaran sendiri adalah yang termanis (sādutaraṃ). Atau yang terbaik (sādhutaraṃ), yang terunggul, yang tertinggi. Karena rasa-rasa kecapan seperti yang berasal dari akar-akaran, dan lain-lain yang memberikan nutrisi bagi jasmani dan memberikan kebahagiaan kotor, tetapi rasa kebenaran memberikan nutrisi batin dengan ketenangan dan pandangan terang dan membawa kebahagiaan yang tidak tercemar.

    Seseorang yang hidup dengan kebijaksanaan (paññājiviṃ jivitaṃ): Seorang perumah tangga yang hidup dengan kebijaksanaan ketika ia bekerja pada suatu pekerjaan yang terhormat, menyatakan berlindung, memberikan dana, menjalankan sīla, dan memenuhi tugas-tugas Uposatha, dan sebagainya. Seseorang yang meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhu hidup dengan kebijaksanaan jika ia menjalankan moralitas murni dan praktik luhur yang dimulai dari pemurnian pikiran. ↩︎

  41. Spk membagi empat “banjir” (ogha) dalam empat baris jawaban dan memastikan tiap-tiap baris menyiratkan jalan dan buah tertentu; mengenai empat banjir, baca n.1. Karena indria keyakinan adalah landasan bagi empat faktor Memasuki-Arus (baca 55:1), baris pertama menunjukkan Pemasuk-Arus, yang telah menyeberangi banjir pandangan-pandangan; baris ke dua menunjukkan Yang-Kembali-Sekali, yang dengan ketekunan telah menyeberangi banjir kehidupan kecuali satu kehidupan lagi di alam indria; baris ke tiga menunjukkan Yang-Tidak-Kembali, yang telah menyeberangi banjir sensualitas, kumpulan penderitaan; dan baris ke empat menunjukkan jalan Kearahattaan, yang termasuk kebijaksanaan yang dimurnikan sepenuhnya yang dengannya seseorang menyeberangi banjir ketidaktahuan.

    Ini melengkapi delapan pertanyaan yang dipelajari yakkha itu dari orang tuanya. Ketika Sang Buddha selesai berbicara, membawa syairNya memuncak dalam Kearahattaan, yakkha itu mencapai tingkat buah Memasuki-Arus. ↩︎

  42. Spk: Ketika Sang Buddha berkata, “Dengan kebijaksanaan seseorang disucikan,” yakkha itu mengambil kata “kebijaksanaan” dan, dengan kecerdasannya, mengajukan pertanyaan campuran sehubungan dengan hal-hal duniawi juga adi-duniawi. ↩︎

  43. Dalam pāda c, saya bersama dengan Se dan Ee1 & 2 membaca sussūsā. Be membaca sussūsaṃ seperti lema dalam Spk (Be), sementara lema yang bersesuaian dalam Spk (Se) menulis sussūsā. Dari tulisan (baca di bawah) sussūsā dapat dipahami sebagai bentuk instrumental yang terpotong (= sussūsāya). Dalam Be, sussūsaṃ sepertinya berfungsi sebagai bentuk akusatif sebagai lawan dari paññaṃ, mungkin sebagai unsur pertama dari pecahan kata majemuk, yaitu, “kebijaksanaan (yang terdapat dalam) keinginan untuk belajar.”

    Spk: Sang Bhagavā mengajarkan empat penyebab untuk memperoleh kebijaksanaan. Pertama seseorang menempatkan keyakinan dalam Dhamma yang dengannya para Arahant – para Buddha, para Paccekabuddha, dan para siswa – mencapai Nibbāna. Dengan demikian seseorang memperoleh kebijaksanaan duniawi dan adi-duniawi untuk mencapai Nibbāna. Namun hal itu tidak datang hanya dengan keyakinan. Ketika kebijaksanaan muncul seseorang mendatangi seorang guru, mendengarkan Dhamma; demikianlah ia memperoleh keinginan untuk belajar (sussūsaṃ). Ketika seseorang mendengarkan dari keinginan untuk belajar, maka ia memperoleh kebijaksanaan. Tetapi orang itu harus tekun (appamatto), dalam makna terus-menerus penuh perhatian, dan cerdik (vicakkhaṇa), mampu membedakan apa yang disampaikan dengan baik dan yang disampaikan dengan buruk. Melalui keyakinan seseorang memasuki praktik yang mengarah menuju perolehan kebijaksanaan. Melalui keinginan untuk belajar (sussūsāya) seseorang dengan teliti mendengarkan cara-cara untuk mendapatkan kebijaksanaan; melalui ketekunan (appamādena) seseorang tidak melupakan apa yang telah ia pelajari; melalui kecerdikan (vicakkhaṇatāya) seseorang memperluas apa yang ia pelajari. Atau dengan kata lain: melalui keinginan untuk belajar seseorang mendengarkan Dhamma yang dengannya ia memperoleh kebijaksanaan; melalui ketekunan seseorang mengingat Dhamma yang telah ia pelajari; dengan kecerdikan seseorang memeriksa makna dan kemudian setahap demi setahap menembus kebenaran tertinggi. ↩︎

  44. Spk: Ketaatan (dhuravā) artinya tidak mengabaikan tanggung jawab dan menyiratkan usaha pikiran; seseorang dengan inisiatif (uṭṭhātā) menyiratkan usaha jasmani. Di sini saya mengikuti Be; dalam Se dua baris terakhir berada di akhir v.850; dalam Ee1 di akhir dari v.849 dan v.850; dalam Sn, keduanya tidak terdapat dalam kedua syair. ↩︎

  45. Persoalan ini berhubungan dengan dua bait yang disebutkan dalam vv.853-54. Kesulitan muncul bukan saja sehubungan dengan penggantian dhiti dengan khantyā di syair ke dua tetapi juga karena variasi tulisan dari istilah ke dua. Mungkin tulisan terbaik adalah yang terdapat dalam Se, yang sesuai dengan Sn (Ee) vv.187-88; dalam v.853, saccaṃ dhammo dhiti cāgo; dalam v.854, saccā dhamā cāgā khantyā. Spk (Be) dan Spk (Se) berbeda pada istilah ke dua; yang pertama menulis dammo dan dammā, dan yang ke dua menulis dhammo dan dhammā. Penjelasan dalam Spk-pṭ menegaskan keraguan bahwa dhammo dan damā adalah tulisan yang digunakan oleh Dhammapāla.

    Empat kualitas yang disebutkan dalam vv. 853-54 merujuk kembali pada vv.851-52. Kebenaran bersesuaian dengan kejujuran dalam v.852c (sacca dalam ketiga kemunculannya), sedangkan kedermawanan (cāga) jelas bersesuaian dengan memberi (dadaṃ) dalam v.852d. Spk (Se) menjelaskan bahwa adalah Dhamma yang dibicarakan (dalam v.851c) dalam nama kebijaksanaan yang diperoleh melalui keinginan untuk belajar, yang mana Spk-pṭ mengomentari: “Kebijaksanaan disebut Dhamma karena meningkatkan dan memeriksa (dhāraṇato upadhāraṇato) entitas-entitas sesuai dengan kenyataan.” (Karena kata kerja dhāreti (> dhāraṇa) adalah penjelasan etimologis dari dhamma dalam komentar, kita dapat menyimpulkan bahwa penulis Spk-pṭ memiliki naskah yang bertuliskan dhammo). Keteguhan (dhiti) dibicarakan dalam nama ketaatan dan inisiatif (dalam v.582ab).

    Dalam keterangan atas v.854, Spk mengatakan: Silahkan, tanyakanlah kepada banyak petapa dan brahmana apakah ada cara-cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengakuan daripada kejujuran, adakah cara-cara yang lebih baik untuk memperoleh kebijaksanaan duniawi dan adi-duniawi daripada pengendalian-diri (saya menyarankan untuk membaca damā, mengikuti Spk-pṭ, yang menjelaskan bahwa kebijaksanaan disebut demikian karena mengendalikan (dammeti) kekotoran-kekotoran serta jasmani dan ucapan, dan sebagainya); adakah cara-cara yang lebih baik untuk mengikat teman-teman daripada kedermawanan. adakah cara-cara yang lebih baik untuk mengikat kekayaan duniawi dan adi-duniawi daripada kesabaran, yang identik dengan usaha yang aktif, (disebut kesabaran) dalam makna menahankan beban berat, dan yang dirujuk dengan nama ketaatan dan inisiatif.”

    Demikianlah hubungan ini dapat ditunjukkan secara skematis sebagai berikut:

    852: kejujuran = 853 & 854: kebenaran.

    851: kebijaksanaan = 853: Dhamma = 854: pengendalian diri.

    852: memberi = 853 & 854: kedermawanan.

    852: ketaatan, inisiatif = 853: keteguhan = 854: kesabaran. ↩︎

  46. Walaupun Spk menjelaskan attho dalam pāda d sebagai manfaat yang terlihat (diṭṭhadhammika) dan samparāyiko sebagai manfaat dalam kehidupan mendatang, sepertinya tidak ada alasan yang memaksa agar tidak menganggap kedua kata sebagai apa adanya sebagai kata sifat dan kata benda yang bermakna tunggal, yaitu kebaikan pada kehidupan mendatang. ↩︎

  47. Spk melanjutkan dengan kisah latar belakang: Segera setelah yakkha itu selesai mengucapkan syair ini, matahari terbit dan raja manusia datang membawa pangeran sebagai korban persembahan. Mereka menyerahkan bayi itu kepada yakkha tersebut, yang mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang Guru mengucapkan beberapa syair pemberkahan kepada anak itu dan mengembalikannya kepada raja manusia. Ketika pangeran itu menginjak dewasa, ia dikenal dengan nama Hatthaka Āḷavaka, karena ia diserahkan dari satu tangan (hattha) ke tangan lain. Ia mencapai tingkat Yang-Tidak-Kembali dan menjadi salah satu siswa awam Sang Buddha yang terbaik, terkemuka di antara mereka yang mencapai melalui empat landasan kedermawanan (saṅgahavatthu; baca AN I 26, 7-9). Sang Buddha menjadikannya teladan bagi para umat awam laki-laki dalam 17:23 dan memuji moralitasnya dalam AN IV 217-20. ↩︎