easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika seorang bhikkhu tertentu sedang berdiam di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu, ketika bhikkhu tersebut sedang melewatkan harinya, ia selalu memikirkan pikiran tidak bermanfaat sehubungan dengan kehidupan rumah tangga.

Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu itu, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair-syair berikut:

“Menginginkan keheningan engkau memasuki hutan, Namun pikiranmu mengembara keluar. Lenyapkanlah, teman, keinginan akan orang-orang; Maka engkau akan bahagia, bebas dari nafsu.1

“Engkau harus melepaskan ketidak-puasan, penuh perhatian - Biarlah kami mengingatkan [engkau] pada [jalan] orang-orang baik itu. <425> Jurang berdebu, memang sulit diseberangi; Jangan biarkan nafsu indria menarikmu turun.2

“Bagaikan seekor burung yang kotor dengan tanah Dengan mengibas meruntuhkan debu yang menempel, Demikian pula seorang bhikkhu, tekun dan penuh perhatian, Dengan mengibas meruntuhkan debu yang menempel.”

Kemudian bhikkhu itu, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika seorang bhikkhu tertentu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. [198] Pada saat itu ketika bhikkhu itu sedang melewatkan harinya ia jatuh tertidur.3 Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu itu, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair-syair berikut:

“Bangunlah, bhikkhu, mengapa berbaring? <426> Kebutuhan apakah yang engkau harapkan dari tidur? Tidur [yang bagaimanakah] bagi seorang yang menderita, Terserang, tertusuk oleh anak panah?

“Peliharalah dalam dirimu keyakinan itu Yang karenanya engkau meninggalkan kehidupan rumah tangga Dan menjalani kehidupan tanpa rumah: Jangan dikuasai oleh kemalasan.”

[Bhikkhu:]4

“Kenikmatan indria adalah tidak kekal, tidak stabil, Walaupun si dungu diperbudak olehnya. Ketika ia bebas, terlepas dari belenggu-belenggu itu, Mengapa mengkhawatirkan seseorang yang meninggalkan keduniawian?

“Ketika, dengan melenyapkan keinginan dan nafsu Dan melampaui ketidaktahuan, Pengetahuan itu telah dimurnikan, Mengapa mengkhawatirkan seseorang yang meninggalkan keduniawian?5 <427>

“Ketika, dengan mematahkan ketidaktahuan dengan pengetahuan Dan dengan hancurnya noda-noda, Ia tidak lagi bersedih, melampaui keputus-asaan, Mengapa mengkhawatirkan seseorang yang meninggalkan keduniawian?

“Ketika ia bersemangat dan teguh, Selalu kokoh dalam daya-upayanya, Bercita-cita untuk mencapai Nibbàna, Mengapa mengkhawatirkan seseorang yang meninggalkan keduniawian?6

Pada suatu ketika Yang Mulia Kassapagotta sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu, ketika ia sedang melewatkan harinya, Yang Mulia Kassapagotta menasihati seorang pemburu.7 Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada Yang Mulia Kassapagotta, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair-syair berikut:

“Bhikkhu itu menyambarku bagaikan seorang tolol <428> Yang bukan pada tempatnya menasihati seorang pemburu Yang mengembara di gunung-gunung berbatu Dengan sedikit kebijaksanaan, tanpa akal sehat.

“Ia mendengarkan tetapi tidak memahami, Ia menatap tetapi tidak melihat; Walaupun Dhamma dibabarkan, Si dungu tidak menangkap maknanya. [199]

“Bahkan jika engkau membawa sepuluh pelita [ke hadapannya], Kassapa, Ia tetap tidak melihat bentuk-bentuk, Karena ia tidak memiliki mata untuk melihat.”

Kemudian Yang Mulia Kassapagotta, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Kemudian, ketika mereka sedang melewatkan musim hujan di sana, setelah tiga bulan berlalu para bhikkhu itu melakukan perjalanan. <429> Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, tidak melihat para bhikkhu itu, meratap, melantunkan syair-syair ini:

“Hari ini ketidak-puasan menghampiriku Ketika aku melihat begitu banyak tempat duduk kosong. Kemanakah mereka pergi, para siswa Gotama, Para pembabar yang mengagumkan yang banyak belajar?”8

Ketika syair ini diucapkan, devatā lainnya menjawab dalam syair:

“Mereka telah pergi ke Magadha, pergi ke Kosala, Dan beberapa di tanah Vajji. Bagaikan rusa yang mengembara bebas dari ikatan, Para bhikkhu itu berdiam tanpa tempat tinggal tetap.”9

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang banyak terlibat dalam menasihati umat-umat awam.10 <430> Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada Yang Mulia Ānanda, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair berikut:

“Setelah memasuki hutan di bawah pohon, Setelah menempatkan Nibbāna dalam hatimu, [200] Bermeditasilah, Gotama, jangan lengah! Apakah gunanya perbincangan ini bagimu?”11

Kemudian Yang Mulia Ānanda, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika Yang Mulia Anuruddha sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Kemudian satu devatā dari Tāvatiṃsa bernama Jālini, mantan istri Yang Mulia Anuruddha, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:12

“Arahkan pikiranmu ke sana [ke alam itu] Di mana engkau berdiam di masa lampau Di antara para deva Tāvatiṃsa <431> Bagi mereka semua keinginan terpenuhi. Engkau akan bersinar sangat dihormati, Dikelilingi oleh para bidadari surgawi.”

[Anuruddha:]

“Sungguh menyedihkan para bidadari surgawi Kokoh dalam identitas, Dan sungguh menyedihkan makhluk-makhluk itu Yang melekat pada bidadari-bidadari surgawi.”13

[Jālini:]

“Mereka tidak mengenal kebahagiaan Jika belum melihat Nandana, Tempat bagi para deva laki-laki yang agung Bagian dari kelompok Tiga-puluh.”

[Anuruddha:]

“Tidak tahukah engkau, dungu, Peribahasa para Arahant? Segala bentukan adalah tidak kekal; Bersifat muncul dan lenyap. Setelah muncul, mereka lenyap: Penenangannya adalah kebahagiaan.

“Sekarang aku tidak akan pernah lagi berdiam <432> Di antara kelompok para deva, Jālini! Pengembaraan dalam kelahiran telah berakhir, Sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.”

Pada suatu ketika Yang Mulia Nāgadatta sedang menetap di antara para penduduk Kosala di suatu hutan.14 Pada saat itu Yang Mulia Nāgadatta memasuki desa terlalu pagi dan kembali terlalu siang. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada Yang Mulia Nāgadatta, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, [201] mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair berikut:

“Memasuki desa terlalu pagi, Terlambat kembali di siang hari, Nāgadatta bergaul terlalu dekat dengan umat-umat awam, Berbagi kebahagiaan dan penderitaan mereka.15

“Aku khawatir akan Nāgadatta, Sombong, melekat pada keluarga-keluarga. Tidak berada di bawah kekuasaan Pembuat-akhir, <433> [Dalam cengkeraman] Raja Kematian yang sangat kuat.”

Kemudian Yang Mulia Nāgadatta, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu bhikkhu tersebut menjadi sangat akrab dengan keluarga tertentu. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mengubah wujudnya menjadi ibu rumah tangga keluarga itu. Setelah mendekati bhikkhu itu, ia berkata kepadanya dalam syair:16

“Di tepi-tepi sungai dan di rumah peristirahatan, Di aula-aula pertemuan dan di sepanjang jalan, Orang-orang bergunjing tentang hal ini: Ada apa antara engkau dan aku?”

[Bhikkhu:]

“Ada banyak suara-suara yang tidak menyenangkan <434> Yang seorang petapa harus dengan sabar menahankannya. Seseorang seharusnya tidak cemas oleh karena hal itu, Karena bukan karena hal ini seseorang tercemar.

“Jika seseorang takut oleh suara-suara acak Bagaikan seekor antelop yang berdiam di hutan, Mereka menyebutnya ‘seseorang dengan pikiran yang tidak stabil’: Latihannya tidak akan berhasil.”17

Pada suatu ketika seorang bhikkhu, seorang pangeran Vajji, sedang menetap di Vesāli di suatu hutan. Pada saat itu suatu festival semalam suntuk sedang diadakan di Vesāli. [202] Kemudian bhikkhu itu, meratap ketika ia mendengar hiruk-pikuk bunyi alat-alat musik, gong dan musik dari Vesāli,18 pada saat itu melantunkan syair ini:

“Kami berdiam di dalam hutan sendirian Bagaikan tunggul kayu yang ditolak di dalam hutan, Pada malam yang indah seperti ini <435> Siapakah di sana yang mengalami lebih buruk dari kami?”

Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Ketika engkau berdiam sendirian di dalam hutan Bagaikan tunggul kayu yang ditolak di dalam hutan, Banyak dari mereka yang iri padamu, Bagaikan makhluk-makhluk neraka yang iri pada mereka yang pergi ke alam surga.”19

Kemudian bhikkhu itu, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu bhikkhu itu banyak mencurahkan waktunya untuk menghafal, tetapi pada kesempatan berikutnya ia melewatkan waktunya dengan bersantai dan berdiam diri.20 Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena tidak lagi mendengar bhikkhu itu menghafalkan Dhamma, <436> mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair:

“Bhikkhu, mengapa engkau tidak menghafalkan bait-bait Dhamma, Berhubungan akrab dengan para bhikkhu lain? Dengan mendengarkan Dhamma, seseorang memperoleh keyakinan; Dalam kehidupan ini juga [si penghafal] memperoleh pujian.”

[Bhikkhu:]

“Di masa lalu aku menyukai bait-bait Dhamma Selama aku belum mencapai kebosanan. [203] Namun sejak saat aku mencapai kebosanan [Aku berdiam dalam apa] yang oleh orang baik disebut “Peletakan melalui pengetahuan akhir Atas apa yang dilihat, didengar, atau diindera.”21

Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Pada saat itu bhikkhu itu pergi untuk melewatkan siang, ia terus-menerus memikirkan pemikiran-pemikiran buruk yang tidak bermanfaat, yaitu pemikiran-pemikiran indriawi, kebencian, dan mencelakai. <437> Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair berikut:

“Karena tidak memperhatikan dengan hati-hati, Engkau, tuan, dilahap oleh pemikiran-pemikiranmu. Setelah melepaskan cara-cara yang tidak hati-hati, Engkau harus merefleksikan dengan hati-hati.22

“Dengan melandaskan pikiranmu pada Sang Guru, Pada Dhamma, Saṅgha, dan pada moralitasmu, Engkau pasti memperoleh kegembiraan, Dan sukacita dan kebahagiaan juga. Kemudian ketika engkau diliputi oleh kegembiraan, Engkau akan mengakhiri penderitaan.”

Kemudian bhikkhu tersebut, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.

Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di suatu hutan. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut <438> mendekati bhikkhu tersebut dan melantunkan syair di hadapannya:

“Ketika waktu tengah hari tiba Dan burung-burung beristirahat, Hutan luas ini berbisik sendiri: Betapa menakutkannya itu terlihat olehku!”

[Bhikkhu:]

“Ketika waktu tengah hari tiba Dan burung-burung beristirahat, Hutan luas ini berbisik sendiri: Betapa indahnya itu terlihat olehku!”

Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di dalam suatu hutan. Mereka gelisah, congkak, tinggi hati, berkata-kata kasar, [204] berbicara tidak menentu, kebingungan, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, berpikiran kacau, kendur dalam indria-indrianya. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada para bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikan mereka, <439> ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam diri mereka, mendekati mereka dan berkata kepada mereka dalam syair berikut:

“Di masa lalu para bhikkhu hidup berbahagia, Para siswa Gotama. Tanpa keinginan mereka mencari makanan mereka, Tanpa keinginan mereka menggunakan tempat tinggal mereka. Setelah mengetahui ketidak-kekalan dunia ini, Mereka mengakhiri penderitaan.

“Tetapi sekarang bagaikan kepala desa Mereka membuat diri mereka sulit dipelihara. Mereka makan dan makan dan kemudian berbaring, Merindukan rumah mereka.

“Setelah dengan tulus memberi hormat pada Saṅgha, Aku di sini mengatakan hanya sehubungan dengan beberapa: Mereka ditolak, tanpa perlindungan, Menjadi bagaikan orang mati.

“Pernyataanku ini dibuat dengan merujuk Pada mereka yang berdiam dalam kelengahan. Sedangkan pada mereka yang berdiam dalam ketekunan, Kepada mereka aku dengan rendah hati memberi hormat.”

Kemudian para bhikkhu itu, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakan mereka. <440>

Pada suatu ketika seorang bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di dalam suatu hutan. Pada saat itu, ketika ia telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan bhikkhu itu biasanya turun ke sebuah kolam dan mencium sekuntum teratai merah. Kemudian devatā yang menghuni hutan tersebut, karena berbelas kasihan kepada bhikkhu tersebut, mengharapkan kebaikannya, ingin membangkitkan rasa keterdesakan dalam dirinya, mendekatinya dan berkata kepadanya dalam syair berikut:23

“Ketika engkau mencium teratai merah ini, Sebuah benda yang belum diberikan, Ini adalah satu faktor dari pencurian: Engkau, tuan, adalah seorang pencuri wewangian.”

[Bhikkhu:]

“Aku tidak mengambil, aku tidak merusak, Aku mencium teratai itu dari jauh; Atas alasan apakah engkau mengatakan Bahwa aku adalah seorang pencuri wewangian?24

“Seseorang yang menggali tangkai teratai, Seseorang yang merusak bunganya, Seseorang yang berperilaku kasar seperti itu: <441> Mengapa ia tidak berbicara kepadanya?”25 [205]

[Devatā:]

“Ketika seseorang kasar dan kejam, Sangat kotor bagaikan kain lap, Aku tidak berkepentingan untuk berbicara dengannya; Tetapi kepadamulah aku berbicara.

“Bagi seseorang yang tanpa cela, Selalu mencari kemurnian, Bahkan seujung rambut kejahatan Tampak sebesar awan.”

[Bhikkhu:]

“Tentu saja, deva, engkau memahami aku, Dan engkau berbelas kasihan kepadaku. Mohon, O deva, berbicaralah kepadaku lagi, Kapan saja engkau melihat perbuatan demikian.”

[Devatā:]

“Kami tidak hidup dengan sokongan darimu, Juga bukan pelayan bayaranmu. Engkau, bhikkhu, harus mengetahui sendiri <442> Jalan menuju tujuan yang baik.”26

Kemudian bhikkhu itu, tergerak oleh devatā tersebut, mendapatkan kembali rasa keterdesakannya.


Catatan Kaki
  1. Dalam pāda c, karena vinayassu adalah bunyi tengah, imperatif orang ke dua, jano, walaupun nominatif, dapat berfungsi sebagai vokatif yang diperpanjang untuk menyesuaikan dengan irama. Spk sepertinya mendukung ini dengan kemasannya: tvaṃ jano aññasmiṃ jane chandarāgaṃ vinayasso; “engkau, seorang, lenyapkanlah keinginan dan nafsu pada orang lain.” Sentimen syair ini diulangi pada Th 149-50. ↩︎

  2. Saya dan Ee1 membaca pāda ab: Aratiṃ pajahāsi so sato/Bhavāsi sataṃ taṃ sārayāmase. Norman memahami irama ini sebagai bentuk Vaitālīya tidak teratur (komunikasi pribadi). Be menuliskan yang sama tetapi tanpa so dalam pāda a. So ini mungkin bentuk demonstratif orang ke tiga yang digunakan dengan kata kerja orang ke dua, sebuah konstruksi yang telah ditemukan pada v647c; baca n.454. VĀT lebih menyukai tulisan yang terdapat dalam SS, Aratiṃ pajahāsi sato bhavāsi/Bhavataṃ sataṃ taṃ sārayāmase, tetapi karena Spk dan Spk-pṭ tidak mengomentari mengenai bhavataṃ sepertinya kata ini tidak terdapat dalam teks yang dimiliki oleh para komentator; Ee2 membaca seperti di atas tetapi dengan menghilangkan bhavataṃ. Kata kerja pajahāsi dan bhavāsi, yang dikemas oleh Spk dengan bentuk imperatif pajaha dan bhava, sesuai dengan kriteria kata subjungtif, jarang dan sudah tidak digunakan dalam Pāli (baca Geiger, Pāli Grammar, §123). Se membaca kata kerja terakhir sebagai sādayāmase, tetapi sārayāmase dalam edisi lain memberikan makna yang lebih baik sebagai bentuk subjungtif kausatif dari sarati, mengingat > mengingatkan (baca Geiger, Pāli Grammar, , §126).

    Pāda b tidak jelas dan para komentator sepertinya tidak yakin bagaimana menginterpretasikannya. Spk memberikan dua interpretasi alternatif dari sataṃ taṃ sārayāmase: “’Biarlah kami juga mengingatkan engkau, yang penuh perhatian, yang bijaksana [Spk-pṭ: untuk menghalau pikiran duniawi kapan saja pikiran itu muncul]’; atau ‘Biarlah kami mengingatkan engkau pada Dhamma orang-orang baik [Spk-pṭ: pada Dhamma dari orang-orang baik untuk melenyapkan kekotoran]’ (satimantaṃ paṇḍitaṃ taṃ mayam pi [yathā-uppannaṃ vitakkaṃ vinodanāya] sārayāma, sataṃ vā dhammaṃ [sappurisānaṃ kilesavigamanadhammaṃ] mayaṃ tam sārayāma).” Saya mengabaikan kedua alternatif dan mengadopsi saran VĀT bahwa “engkau” adalah implisit dan taṃ adalah “itu,” mewakili jalan yang baik. Dalam pāda c kita harus membaca duttaro yang tertulis duruttamo dalam Ee1. ↩︎

  3. Spk: Dikatakan bahwa bhikkhu ini adalah seorang Arahant. Setelah kembali dari perjalanan jauh menerima dana makanan ia kelelahan dan berbaring beristirahat, tetapi ia tidak jatuh terlelap (bahkan walaupun teks mengatakan demikian!) Berpikir bahwa ia sedang bermalas-malasan dan mengabaikan latihan meditasi, devatā itu turun untuk mencelanya. ↩︎

  4. Spk tidak yakin apakah syair-syair yang mengikuti berasal dari devatā atau dari bhikkhu itu dan oleh karena itu mengusulkan dua interpretasi alternatif. Seluruh empat edisi cetakan menunjukkan perubahan suara sebelum syair ini, dan dengan demikian saya menerjemahkan dengan asumsi bahwa pembicara adalah bhikkhu. Lebih jauh lagi, Spk menganggap subjek implisit tape sebagai divāsoppaṃ, dan menjelaskan maknanya, “Mengapa tidur di siang hari mengkhawatirkan seorang bhikkhu Arahant?”; tetapi karena bentuk optatif tape dapat sebagai orang ke dua atau orang ke tiga tunggal, sepertinya lebih tepat untuk menganggap subjek implisit adalah devatā, dijawab oleh bhikkhu dalam bentuk orang ke dua, “Mengapa (engkau) mengkhawatirkan …?” ↩︎

  5. Spk: “Pengetahuan itu” (taṃ ñāṇaṃ) adalah pengetahuan Empat Kebenaran Mulia. Dalam pāda a dari syair berikutnya saya bersama dengan Se dan Ee1 & 2 membaca bhetvā bukannya chetvā seperti dalam Be. ↩︎

  6. Sepertinya bahwa sementara dua syair sebelumnya menggambarkan Arahant, syair ini menggambarkan sekha, pelajar, yang masih berusaha untuk mencapai Nibbāna. ↩︎

  7. Spk mengemas cheta sebagai migaluddaka, pemburu rusa. Ia telah pergi pagi itu untuk berburu dan sedang mengejar seekor rusa ketika ia menghampiri bhikkhu ini yang sedang bermeditasi di hutan. Bhikkhu itu hendak mengajarkannya Dhamma, tetapi walaupun pemburu itu melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya, namun pikirannya masih berlari mengejar rusa. ↩︎

  8. Geiger menangkap makna: “Sepertinya devatā yang tidak puas dengan kehidupan monastik telah menguasai para bhikkhu dan mereka telah meninggalkannya” (GermTr, p.311, n.2). Mengenai arati baca n.486↩︎

  9. Spk: Bagaikan rusa, mengembara di kaki bukit atau di hutan belantara, mengembara ke mana pun mereka menemukan padang rumput yang menyenangkan dan tidak ada bahaya, dan tidak melekat pada harta orang tuanya atau pusaka keluarga, demikian pula para bhikkhu tanpa rumah, tanpa tempat tinggal tetap, mengembara ke manapun mereka dapat menemukan iklim, makanan, teman, tempat tinggal, dan ajaran-Dhamma yang sesuai, dan tidak melekat pada harta guru dan penahbis mereka atau pada pusaka keluarga. ↩︎

  10. Spk: Sutta ini terjadi tidak lama setelah Sang Buddha parinibbāna. Yang Mulia Mahākassapa telah menasihati Ānanda untuk mencapai Kearahattaan sebelum sidang Saṅgha pertama diadakan, yang dijadwalkan berlangsung selama masa vassa. Ānanda pergi ke negeri Kosala dan memasuki hutan untuk bermeditasi, tetapi ketika penduduk mengetahui bahwa ia ada di sana mereka terus-menerus mendatanginya dan meratapi kematian Sang Guru. Demikianlah Ānanda terpaksa menasihati mereka dengan membabarkan hukum ketidak-kekalan. Devatā tersebut, menyadari bahwa sidang dapat berlangsung dengan baik hanya jika Ānanda hadir sebagai seorang Arahant, datang untuk mendorongnya untuk melanjutkan meditasinya. ↩︎

  11. Pada Th 119 syair ini diduga berasal dari Vajjiputtaka Thera namun tidak ditemukan di antara syair-syair Ānanda dalam Th.

    Seluruh empat edisi membaca pāda b: Nibbānaṃ hadayasmiṃ opiya. Pada Th 119 kata terakhir tertulis osiya, dan kita seharusnya mengadopsi tulisan ini di sini. Saya menganggap bentuk absolutif kata kerja oseti diusulkan oleh Norman pada EV I, n. atas 119; baca juga n.223 di atas. Spk mendukung hal ini dengan mengemas pakkhipitvā, “setelah menempatkan.” Spk menjelaskan bahwa seseorang menyimpan Nibbāna dalam hatinya melalui fungsi (kiccato) dan melalui objek (ārammaṇato): melalui fungsi ketika seseorang membangkitkan semangat dengan pikiran, “aku akan mencapai Nibbāna”; melalui objek ketika seseorang duduk terserap dalam pencapaian meditatif dengan Nibbāna sebagai objeknya (yaitu, phalasamāpatti, pencapaian buah).

    Dalam pāda d, biḷibiḷikā dijelaskan oleh Spk-pṭ sebagai aktivitas tidak bertujuan (atthavirahitā pavattā kiriyā). Devatā itu merujuk pada khotbah Ānanda kepada umat awam karena tidak mendukung pencapaian tujuan hidup suci. ↩︎

  12. Namanya Jālini, “Penangkap” digunakan sebagai julukan bagi taṇhā pada v.460a; baca juga n.278 dan AN II 211,31. Menurut Spk, ia adalah permaisurinya dalam kehidupan mereka di surga Tāvatiṃsa sebelum kehidupan sekarang. ↩︎

  13. Spk: Mereka bukan duggata dalam makna bahwa mereka hidup di alam sengsara (duggati), karena mereka berdiam di alam bahagia menikmati keberhasilan mereka. Mereka menderita karena perilaku mereka, karena ketika mereka meninggal dunia mereka mungkin terlahir kembali di neraka.

    Dalam pāda b, sakkāya, “identitas,” adalah gabungan dari lima kelompok kemelekatan, yang semuanya adalah penderitaan (dukkha) karena ketidak-kekalannya. Spk menjelaskan bahwa bidadari-bidadari surgawi “kokoh dalam identitas” (sakkāyasmiṃ patiṭṭhità) untuk delapan alasan: nafsu, kebencian, delusi, pandangan-pandangan, kecenderungan tersembunyi, keangkuhan, keragu-raguan, dan kegelisahan. Ini sama dengan delapan cara makhluk-makhluk “kokoh dalam apa yang dapat diungkapkan”; baca n.35. mengenai sakkāya baca 22:105, dan mengenai deva yang termasuk dalam sakkāya, 22:78 (III 85,26-28).

    Dalam pāda d, Be, Se, dan Ee2 membaca devakaññāhi patthitā, “diinginkan oleh para bidadari surgawi,” dan Ee1 devakaññābhipattikā. Karena kerancuan bentuk tunggal/jamak bukanlah tidak sering terjadi dalam teks (baca EV I, n. atas 49), kita dapat menduga bahwa tulisan asli adalah yang terdapat dalam SS, devakaññābhisattika, tulisan yang juga lebih disukai oleh CPD. Abhisattika adalah bentuk kata sifat yang dibentuk dari kata kerja abhisajjati, “dilekati pada”. Saya berterima kasih pada VĀT karena menunjukkan hal ini. ↩︎

  14. Ia tidak teridentifikasikan dalam Spk, dan DPPN tidak mencatat apa pun tentangnya kecuali apa yang ditemukan dalam sutta ini. ↩︎

  15. Saya mengikuti tulisan dari syair ini dan syair berikutnya yang diusulkan oleh Alsdorf (dalam Die Ārya-Strophen des Pali-Kanons, pp.319-20), tetapi dengan perubahan yang disarankan oleh VĀT (yaitu, mengubah bentuk vokatif panjang Nāgadatta dari Alsdorf menjadi bentuk nominatif, dan empat bentuk vokatif panjang dalam syair ke dua menjadi bentuk akusatif, seperti dalam edisi cetakan.):

    Kāle pavissa gāmaṃ/Nāgadatto divā ca āgantvā

    Ativelacārī saṃsaṭṭho/gahaṭṭhehi samānasukhadukkho.

    Bhāyāmi Nāgadattaṃ/suppagabbhaṃ kulesu vinibaddhaṃ,

    Màāh’ eva maccurañño/balavato antakassa vasam esi!

    “Memasuki desa terlalu pagi dan terlambat kembali di siang hari” dan “bergaul akrab dengan umat-umat awam dan para bhikkhu dalam cara-cara duniawi” adalah dua dari lima faktor yang dikatakan mengarah pada kejatuhan seorang bhikkhu dari latihan yang lebih tinggi (AN III 116,27 – 117,7). Makna dari kata majemuk samānasukhadukkha dijelaskan pada 22:3 (III 11,5-6), walaupun kata majemuk itu sendiri tidak terdapat di sana. Kata majemuk yang sama digunakan dalam DN III 187,11-15 dalam makna positif sebagai karakteristik teman sejati. ↩︎

  16. Spk: Ia telah menerima subjek meditasi dari Sang Buddha dan memasuki hutan belantara. Hari berikutnya sebuah keluarga memberikan dana makanan dan menawarkan untuk menyediakan dana secara rutin. Demikianlah ia mencapai Kearahattaan dan tetap berdiam di tempat yang sama menikmati kebahagiaan buah pencapaian. Devatā ini (perempuan) tidak menyadari pencapaian bhikkhu ini dan berpikir bahwa ia telah membentuk hubungan akrab dengan nyonya rumah tangga itu. Oleh karena itu ia datang untuk mencelanya. Baik Spk maupun Spk-pṭ tidak mengomentari ungkapan yang jarang muncul kulagharaṇī. ↩︎

  17. Antelop (vātamiga, secara literal “rusa-angin”) adalah subjek dalam Ja No.14. Spk: Seperti seekor antelop yang ketakutan ketika mendengar suara tiupan angin pada dedaunan, demikian pula dengan seseorang yang ketakutan oleh suara (yaitu, gosip). Praktik (vata) dari seorang yang selalu berubah-ubah (lahucitta, secara literal “berpikiran-ringan”) tidak akan berhasil; tetapi bhikkhu ini, sebagai seorang Arahant, adalah seorang yang praktiknya berhasil. ↩︎

  18. Versi yang lebih luas dari sutta ini terdapat pada Dhp-a III 460-62; baca BL 3:182-83.

    Spk: Keramaian (nigghosasadda) alat musik (turiya; Spk-pṭ: drum, kulit kerang, simbal, kecapi, dan sebagainya); gong (tāḷita. Spk-pṭ: benda-benda yang dipukul secara berirama); dan musik (vādita; Spk-pṭ: kecapi, suling, trompet, dan sebagainya). Baca juga n.343↩︎

  19. Spk: “Banyak dari mereka yang merindukan posisimu – seorang bhikkhu hutan berpakaian jubah potongan kain, hidup dari dana makanan, menerima dana makanan tanpa terputus, dengan sedikit keinginan, merasa puas, dan sebagainya.” Spk mengemas saggagāminaṃ sebagai “mereka yang pergi ke alam surga dan mereka yang (telah) berada di sana.” ↩︎

  20. Appossukko tuṇhībhūto saṅkasāyati. Ungkapan ini juga muncul pada 21:4 (II 277,12) dan 35:240 (IV 178,1-2); baca n.54 di atas. Spk: Ia mencapai Kearahattaan dan merenungkan, “aku telah mencapai tujuan yang karenanya aku menghafal, jadi mengapa aku harus meneruskannya?” Kemudian ia melewatkan waktunya dengan menikmati kebahagiaan buah pencapaian. ↩︎

  21. Syair lima pāda adalah tidak lazim. Maknanya memerlukan bahwa dalam pāda b kita harus membaca na samāgamimha; walaupun edisi cetakan tidak mencantumkan na, tulisan yang disarankan dalam mss edisi Burma merujuk pada catatan dari Ee1 & 2. Spk menjelaskan virāgena, kebosanan, sebagai jalan mulia. Dalam pāda d, aññayanikkhepanaṃ adalah kata majemuk sintaksis; baca n.68. Spk menganggap aññaya sebagai bentuk absolutif (= jānitvā), tetapi juga dapat berupa bentuk instrumental. ↩︎

  22. Dalam pāda a, saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca kata kerja ini sebagai khajjasi, bukannya seperti Ee1 majjasi, “mabuk dengan.“ Tanpa perhatian seksama (ayoniso manasikāra) secara tradisional dijelaskan sebagai memperhatikan segala sesuatu sebagai kekal, menyenangkan, diri, dan indah; perhatian seksama (yoniso manasikāra), sebagai memperhatikan karakteristik sesungguhnya – tidak kekal, penuh penderitaan, bukan-diri, dan menjijikkan. ↩︎

  23. Kisah yang identik, termasuk syair-syair ini, terdapat pada Ja No.392 (III 307-10), dengan Sang Bodhisatta sebagai bhikkhu.

    Spk: Ketika ia melihat bhikkhu itu mencium teratai, devatā itu berpikir: “Setelah menerima subjek meditasi dari Sang Buddha dan memasuki hutan untuk bermeditasi, bhikkhu ini malah bermeditasi pada aroma bunga. Jika kemelekatannya pada aroma meningkat, maka ini akan menghancurkan kesejahteraannya. Biarlah aku mendekat dan mencelanya.” ↩︎

  24. Spk: Vaṇṇena (dalam pāda c): kāraṇena. Baca PED, s.v. vaṇṇa (11), dan v.806a di bawah. ↩︎

  25. Seluruh empat edisi membaca, dalam pāda c, ākiṇṇakammanto, yang dikemas oleh Spk aparisuddhakammanto, “perbuatan tidak suci.” Tetapi SS menulis akhīṇa-, ākhīṇa-, dan akkhīṇa-, yang diakui oleh Spk sebagai suatu variasi tulisan dan dikemas kakkhaḷakammanto, “perbuatan kasar.” Spk (Be) membaca akhīṇakammanto, Spk (Se) akkhīṇakammanto, yang lebih benar dalam mewakili awalan ā + kh. Bahwa tulisan ini lebih disukai daripada ākiṇṇa- yang dikonfirmasi oleh v.798a, di mana ākhīṇaluddo tentu lebih masuk akal daripada tulisan ākiṇṇaluddho. Baca Norman, “Two Pāli Etymologies”, Collected Papers, 2:78-79. ↩︎

  26. Dalam pāda b, kita seharusnya membaca bhatakāmhase, seperti dalam Be, Se, dan Ee2. Spk: devatā ini, dikatakan, berpikir: “Bhikkhu ini akan menjadi lengah, merasa bahwa ia memiliki dewa yang menjaga kesejahteraannya. Aku tidak akan menerima permohonannya.” ↩︎