S i 67
Khotbah yang Berhubungan dengan Suku Kosala
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri ramah-tamah itu, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Apakah Guru Gotama juga mengaku, ‘Aku telah tercerahkan hingga penerangan sempurna yang tanpa bandingnya’?”1
“Jika, Baginda, seseorang dapat mengatakan dengan benar tentang seseorang, ‘Ia telah tercerahkan hingga penerangan sempurna yang tanpa bandingnya,’ terhadap Akulah orang itu dapat mengatakan hal ini dengan benar. Karena Aku, Baginda, telah tercerahkan hingga penerangan sempurna yang tanpa bandingnya.”
“Guru Gotama, bahkan para petapa dan brahmana yang adalah kepala kelompok, guru dari banyak orang, termasyhur dan pendiri terkenal dari berbagai sekte yang dianggap banyak orang sebagai orang-orang suci – yaitu, Pūraṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, <158>
Nigaṇṭha Nātaputta, Sañjaya Belaṭṭhiputta, Pakudha Kaccāyana, Ajita Kesakambali – bahkan orang-orang ini, ketika aku bertanya kepada mereka apakah mereka telah tercerahkan hingga penerangan sempurna yang tanpa bandingnya, tidak mengaku telah mencapainya.2 Jadi, mengapa Guru Gotama [membuat pengakuan demikian] padahal Beliau masih muda dalam hal umur dan belum lama meninggalkan keduniawian?” [69]
“Ada empat hal, Baginda, yang tidak boleh dianggap remeh dan dihina sebagai ‘muda’.3 Apakah empat itu? Seorang khattiya, Baginda, tidak boleh dianggap remeh dan dihina sebagai ‘muda’; seekor ular tidak boleh dianggap remeh dan dihina sebagai ‘muda’; api tidak boleh dianggap remeh dan dihina sebagai ‘muda’; dan seorang bhikkhu tidak boleh dianggap remeh dan dihina sebagai ‘muda’. Ini adalah empat hal itu. <159>
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal itu, Yang Sempurna, Sang Guru, melanjutkan dengan mengucapkan:
“Seseorang tidak boleh meremehkan sebagai ‘muda’ Seorang khattiya berkelahiran mulia, Seorang pangeran yang berkelahiran tinggi yang termasyhur: Seseorang tidak boleh menghinanya.
Karena mungkin terjadi bahwa raja manusia ini, Khattiya ini akan mewarisi tahta, Dan dalam kemarahannya memukul seseorang dengan kasar Dengan hukuman kerajaan. Oleh karena itu untuk melindungi kehidupan seseorang Ia harus menghindarinya.
“Seseorang tidak boleh meremehkan sebagai ‘muda’ Seekor ular yang tanpa sengaja ditemui seseorang Di desa atau di hutan: Seseorang tidak boleh menghinanya.
Karena ketika ular berbisa itu merayap, Dalam berbagai wujudnya,4 Ia mungkin menyerang dan menggigit si dungu,
<160>
Apakah laki-laki ataupun perempuan. Oleh karena itu untuk melindungi kehidupan seseorang Ia harus menghindarinya.
“Seseorang tidak boleh meremehkan sebagai ‘muda’ Api yang menyala yang melahap banyak, Kebakaran besar dengan jejak menghitam: Seseorang tidak boleh menghinanya.
karena jika api itu mendapatkan bahan bakar, Menjadi kebakaran besar, Ia mungkin menyerang dan membakar si dungu, Apakah laki-laki ataupun perempuan. Oleh karena itu untuk melindungi kehidupan seseorang Ia harus menghindarinya.
“Ketika api membakar habis sebuah hutan - Kebakaran besar dengan jejak menghitam – Tunas yang di sana tumbuh hidup sekali lagi Ketika siang dan malam berlalu.
“Tetapi jika seorang bhikkhu dengan moralitas sempurna
<161>
Membakar seseorang dengan api [moralitasnya] Maka ia tidak akan memperoleh putra dan ternak, Juga keturunannya tidak memperoleh kekayaan. Mereka menjadi tanpa anak dan tanpa keturunan, Bagaikan tunggul pohon palem.5[70]
“Oleh karena itu seorang yang bijaksana, Demi kebaikannya sendiri, Harus senantiasa memperlakukan hal-hal ini dengan baik: Ular berbisa dan api yang menyala, Seorang khattiya yang termasyhur, Dan seorang bhikkhu bermoralitas sempurna.”
Ketika hal ini dikatakan, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Yang Mulia! Menakjubkan, Yang Mulia! Dhamma telah dijelaskan dengan berbagai cara oleh Bhagavā, seperti menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau memegang pelita di dalam gelap bagi mereka yang memiliki penglihatan agar dapat melihat bentuk-bentuk. Aku menyatakan berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Bhikkhu Saṅgha. Sejak hari ini, sudilah Bhagavā mengingatku sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.” <162>
Di Sāvatthi. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Yang Mulia, ada berapa halkah yang, ketika muncul dalam diri seseorang, muncul untuk mencelakainya, memberikan penderitaan dan ketidaknyamanan padanya?”
“Ada, Baginda, tiga hal yang, ketika muncul dalam diri seseorang, muncul untuk mencelakainya, memberikan penderitaan dan ketidaknyamanan padanya. Apakah tiga ini? Keserakahan, kebencian, dan delusi. Ini adalah tiga hal yang, ketika muncul dalam diri seseorang, muncul untuk mencelakainya, memberikan penderitaan dan ketidaknyamanan padanya.
“Keserakahan, kebencian, dan delusi, Muncul dalam diri seseorang, Melukai seseorang yang berpikiran jahat
<163>
Bagaikan buahnya sendiri yang menghancurkan buluh.”6[71]
Di Sāvatthi. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, bagi seseorang yang telah dilahirkan, adakah hal lain [yang dapat diharapkan] selain penuaan dan kematian?”7
“Bagi seseorang yang telah dilahirkan, tidak ada hal lain [yang dapat diharapkan] selain penuaan dan kematian. Bahkan bagi para khattiya kaya raya – kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, harta dan komoditi berlimpah, kekayaan dan hasil panen berlimpah – karena mereka telah terlahir, tidak ada hal lain [yang dapat diharapkan] selain penuaan dan kematian. Bahkan bagi para brahmana kaya raya … perumah tangga kaya raya – kaya … dengan kekayaan dan hasil panen berlimpah - karena mereka telah terlahir, tidak ada hal lain [yang dapat diharapkan] selain penuaan dan kematian. Bahkan bagi para bhikkhu yang adalah para Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, <164>
telah mencapai tujuan mereka, sepenuhnya menghancurkan belenggu kehidupan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan tertinggi: bahkan bagi mereka jasmani ini mengalami kehancuran, akan dibaringkan.8
“Kereta indah para raja menjadi usang, Jasmani ini juga mengalami kelapukan. Tetapi Dhamma orang-orang baik tidak lapuk: Demikianlah yang baik menyatakan yang baik.”9
Di Sāvatthi. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia. Sewaktu aku sendirian dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku: ‘Siapakah sekarang yang memperlakukan diri mereka sebagai kekasih, dan siapakah yang memperlakukan diri mereka sebagai musuh?’ Kemudian, Yang Mulia, aku berpikir: ‘Mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan dan pikiran memperlakukan diri mereka sebagai musuh. Bahkan walaupun mereka mungkin mengatakan, “Kami menganggap diri kami sebagai kekasih,” namun mereka memperlakukan diri mereka sebagai musuh. Karena alasan apakah? [72]
Karena atas kehendak mereka sendiri mereka memperlakukan diri mereka dengan cara yang sama seperti seseorang memperlakukan orang yang ia musuhi; oleh karena itu mereka memperlakukan diri mereka sebagai musuh. <165>
Tetapi mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran memperlakukan diri mereka sebagai kekasih. Bahkan walaupun mereka mungkin mengatakan, “Kami menganggap diri kami sebagai musuh,” namun mereka memperlakukan diri mereka sebagai kekasih. Karena alasan apakah? Karena atas kehendak mereka sendiri mereka memperlakukan diri mereka dengan cara yang sama seperti seseorang memperlakukan orang yang ia kasihi; oleh karena itu mereka memperlakukan diri mereka sebagai kekasih.’”
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda!”
(Sang Buddha mengulangi seluruh pernyataan Raja Pasenadi dan menambahkan syair-syair berikut:)
“Jika seseorang menganggap dirinya sebagai kekasih Ia seharusnya tidak mendekatkan dirinya pada kejahatan Karena kebahagiaan tidak mudah diperoleh Oleh orang yang melakukan perbuatan buruk.
<166>
“Ketika seseorang tertangkap oleh si Pembuat-akhir Ketika ia melepaskan kondisi manusia, Apakah yang sesungguhnya dapat ia sebut sebagai miliknya? Apakah yang ia bawa ketika ia pergi? Apakah yang menyertainya Bagaikan bayangan yang tak pernah berpisah?10
“Baik kebaikan maupun kejahatan Yang dilakukan manusia di sini: Inilah sesungguhnya miliknya, Inilah yang ia bawa ketika ia pergi; Inilah yang menyertainya Bagaikan bayangan yang tak pernah berpisah.
“Oleh karena itu seseorang harus melakukan kebajikan Sebagai tabungan bagi kehidupan mendatang. Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di alam lain.”
<167>
Di Sāvatthi. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku: ‘Siapakah sekarang yang melindungi diri mereka dan siapakah yang membiarkan diri mereka tanpa perlindungan?’ Kemudian, Yang Mulia, aku berpikir: ‘Mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan dan pikiran membiarkan diri mereka tanpa perlindungan. Walaupun bahkan sekelompok pasukan gajah melindungi mereka. Atau sekelompok prajurit berkuda, atau sekelompok prajurit kereta, [73]
atau sekelompok prajurit infanteri, namun mereka tetap tidak terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan itu adalah eksternal, bukan internal; oleh karena itu mereka membiarkan diri mereka tanpa perlindungan. Akan tetapi mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran melindungi diri mereka. Walaupun tanpa perlindungan sekelompok pasukan gajah, atau prajurit berkuda, atau prajurit kereta, atau infanteri, namun mereka tetap terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan itu adalah internal, bukan eksternal, oleh karena itu mereka melindungi diri mereka.’”
“Demikianlah, Baginda, memang demikian, Baginda!”
(Sang Buddha mengulangi seluruh pernyataan Raja Pasenadi dan menambahkan syair-syair berikut:) <168>
“Adalah baik pengendalian melalui jasmani, Pengendalian melalui ucapan juga baik; Adalah baik pengendalian melalui pikiran, Pengendalian di mana-mana adalah baik. Dengan bersungguh-sungguh, terkendali di mana-mana, Seseorang dikatakan terlindungi.”
Di Sāvatthi. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam keheningan, sebuah perenungan muncul dalam pikiranku: ‘Sedikit orang di dunia ini yang, <169>
ketika mereka memperoleh sesuatu yang bagus, tidak menjadi mabuk dan lupa diri, menyerah pada keserakahan terhadap kenikmatan indria, dan memperlakukan makhluk lain dengan buruk. Lebih banyak orang di dunia ini yang, ketika mereka memperoleh sesuatu yang bagus, menjadi mabuk dan lupa diri, [74]
menyerah pada keserakahan terhadap kenikmatan indria, dan memperlakukan makhluk lain dengan buruk.”
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda!”
(Sang Buddha mengulangi seluruh pernyataan Raja Pasenadi dan menambahkan syair berikut:)
“Terpikat oleh kenikmatan dan kekayaan mereka, Serakah, bingung oleh kenikmatan indria, Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah pergi terlalu jauh Bagaikan rusa yang memasuki perangkap. Selanjutnya buah yang pahit menjadi milik mereka, Karena akibatnya sungguh buruk.”11
<170>
Di Sāvatthī. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia, ketika aku duduk di ruang pengadilan,12 aku melihat bahkan para khattiya kaya raya, para brahmana kaya raya, para perumah tangga kaya raya – kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, harta dan komoditi berlimpah, kekayaan dan hasil panen berlimpah – membicarakan kebohongan dengan bebas demi kenikmatan indria, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, sehubungan dengan kenikmatan indria. Kemudian, Yang Mulia, aku berpikir: ‘Saat ini aku telah cukup dengan ruang pengadilan! Sekarang biarlah Wajah Baik dikenal melalui penilaiannya.’”13
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Para khattiya kaya raya, para brahmana kaya raya, para perumah tangga kaya raya … membicarakan kebohongan dengan bebas demi kenikmatan indria, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, sehubungan dengan kenikmatan indria. Hal itu akan membawa mereka menuju bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama.
“Terpikat oleh kenikmatan dan kekayaan, Serakah, bingung oleh kenikmatan indria, Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah pergi terlalu jauh Bagaikan ikan yang masuk ke dalam jaring yang ditebarkan. Selanjutnya buah yang pahit menjadi milik mereka,
<171>
Karena akibatnya sungguh buruk.”[75]
Di Sāvatthī. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala bersama dengan Ratu Mallikā di teras atas istana. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Ratu Mallikā: “Adakah, Mallikā, seseorang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?”14
“Tidak ada, Baginda, orang yang lebih kusayangi daripada diriku sendiri. Tetapi adakah, Baginda, orang yang lebih engkau sayangi daripada dirimu sendiri?”
“Bagiku juga, Mallikā, tidak ada orang yang lebih kucintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala turun dari istana dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang percakapannya dengan Ratu Mallikā. Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, pada kesempatan itu mengucapkan syair berikut ini: <172>
“Setelah melintasi segala penjuru dengan pikiran, Seseorang tidak menemukan di mana pun yang lebih ia sayangi daripada dirinya sendiri. Demikian pula, bagi setiap orang, dirinya sendiri adalah yang paling disayangi; Oleh karena itu, ia yang menyayangi dirinya sendiri seharusnya tidak mencelakai orang lain.”
Di Sāvatthī. Pada saat itu sebuah pengorbanan besar telah dipersiapkan untuk Raja Pasenadi dari Kosala. Lima ratus sapi, lima ratus banteng, lima ratus sapi muda, [76]
lima ratus kambing dan lima ratus domba jantan telah dibawa menuju tiang pengorbanan. Dan para budak, pelayan dan pekerja, terdorong oleh hukuman dan ketakutan, sibuk melakukan persiapan, meratap dengan wajah basah oleh air mata.15
Kemudian, pagi harinya, sejumlah bhikkhu, setelah merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubahnya, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah menerima dana makanan di Sàvatthi dan telah kembali, setelah makan mereka mendatangi Sang Bhagavā, <173>
memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata: “Di sini, Yang Mulia, sebuah pengorbanan besar telah dipersiapkan untuk Raja Pasenadi dari Kosala. Lima ratus sapi .. telah dibawa menuju tiang pengorbanan. Dan para budak … sibuk melakukan persiapan, meratap dengan wajah basah oleh air mata.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, mengucapkan syair ini:
“Pengorbanan kuda, pengorbanan manusia, Sammāpāsa, vājapeyya, niraggaḷa: Pengorbanan besar ini, yang penuh dengan kekerasan, Tidak menghasilkan buah besar.16
“Para bijaksana yang berperilaku baik Tidak melakukan pengorbanan demikian Di mana kambing, domba, dan ternak Dari berbagai jenis dibunuh.
<174>
“Tetapi ketika pengorbanan bebas dari kekerasan Selalu dipersembahkan sebagai kebiasaan keluarga,17 Di mana tidak ada kambing, sapi atau ternak Dari berbagai jenis dibunuh: Para bijaksana berperilaku baik Melakukan pengorbanan seperti ini.
“Orang bijaksana harus mempersembahkan ini, Pengorbanan yang menghasilkan buah besar. Bagi seseorang yang melakukan pengorbanan demikian Sesungguhnya adalah lebih baik, tidak mungkin lebih buruk. Pengorbanan demikian sungguh besar Dan para devatā juga gembira.”
Pada kesempatan itu, sejumlah besar orang diikat atas perintah Raja Pasenadi dari Kosala – beberapa dengan tali, beberapa dengan pasung, beberapa dengan rantai.18 [77]
<175>
Kemudian, pagi harinya, sejumlah bhikkhu setelah merapikan jubah … dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Di sini, Yang Mulia, sejumlah besar orang diikat atas perintah Raja Pasenadi dari Kosala, beberapa dengan tali, beberapa dengan pasung, beberapa dengan rantai.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, mengucapkan syair ini:
“Ikatan itu, para bijaksana berkata, adalah tidak kuat Terbuat dari besi, kayu atau tali; Tetapi ketergila-gilaan pada perhiasan dan anting-anting, Kekhawatiran sehubungan dengan istri-istri dan akan-anak –
Ini, para bijaksana berkata, adalah ikatan yang kuat, Menjatuhkan, liat, sulit dilepaskan. Namun bahkan ini mereka potong dan tinggalkan,
<176>
Tidak peduli, setelah meninggalkan kenikmatan indria.”19
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur Istana Ibunya Migāra.20 Pada saat itu, di malam hari, Sang Bhagavā telah keluar dari keheningan dan sedang duduk di gerbang luar. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi. [78]
<177>
Pada saat itu tujuh jaṭila, tujuh nigaṇṭha, tujuh petapa telanjang, tujuh petapa berjubah-satu, dan tujuh pengembara – dengan bulu ketiak lebat, kuku panjang, dan rambut panjang, membawa perlengkapan mereka – berjalan tidak jauh dari Sang Bhagavā.21 Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala bangkit dari duduknya, merapikan jubah luarnya di satu bahunya, berlutut dengan lutut kanannya di tanah, dan, merangkapkan tangannya sebagai penghormatan kepada tujuh jaṭila, tujuh nigaṇṭha, tujuh petapa telanjang, tujuh petapa berjubah-satu, dan tujuh pengembara, ia menyebutkan namanya tiga kali: “Saya adalah raja, Yang Mulia, Pasenadi dari Kosala! … Saya adalah raja, Yang Mulia, Pasenadi dari Kosala!”
Kemudian, tidak lama setelah tujuh jaṭila … <178>
… dan tujuh pengembara ini pergi, Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Mereka, Yang Mulia, adalah yang di dunia ini termasuk para Arahant atau yang telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan.”22
“Baginda, sebagai orang awam yang menikmati kenikmatan indria, berdiam di dalam rumah yang ramai oleh anak-anak, menikmati pemakaian kayu cendana Kāsi, memakai kalung bunga, wewangian, dan salep, menerima emas dan perak, adalah sulit bagimu untuk mengetahui: ‘Orang-orang ini adalah Arahant atau orang-orang ini telah memasuki sang jalan menuju Kearahattaan.’
“Adalah dengan hidup bersama dengan seseorang, Baginda, maka kemuliaannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat; oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.
“Adalah dengan pergaulan dengan seseorang, Baginda, maka kejujurannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat; oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu. <179>
“Adalah dalam kesulitan, Baginda, maka ketabahan seseorang diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat; oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu. [79]
“Adalah dengan berdiskusi dengan seseorang, Baginda, maka kebijaksanaannya diketahui, dan setelah waktu yang lama, bukan setelah waktu yang singkat; oleh seorang yang memperhatikan, bukan oleh seorang yang tidak memperhatikan; oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.23
“Sungguh indah, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa indahnya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Baginda, sebagai orang awam … adalah sulit bagimu untuk mengetahui … (seperti di atas) <180>
… oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang dungu.’
“Ini, Yang Mulia, adalah mata-mataku, petugas dalam penyamaran, yang kembali setelah memata-matai seluruh negeri.24 Informasi pertama dikumpulkan oleh mereka dan selanjutnya aku meminta mereka untuk mengungkapkannya.25 Sekarang, Yang Mulia, ketika mereka telah membersihkan debu dan kotoran dan mandi yang segar, dengan rambut dan janggut tercukur, mengenakan pakaian putih, mereka akan menikmati lima utas kenikmatan indria.”
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami hal ini, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair berikut ini: <181>
“Seseorang tidak mudah dikenali dari bentuk luarnya Juga tidak bisa dipercaya dengan penilaian cepat, Karena dalam penyamaran sebagai seorang yang terkendali baik Orang-orang yang tidak terkendali bergerak kesana kemari di dunia ini.
“Bagaikan anting-anting tiruan terbuat dari tanah liat, Bagaikan perunggu senilai setengah sen yang disepuh emas, Beberapa orang bergerak ke sana kemari dalam penyamaran: Di dalamnya kotor, di luarnya indah.”
Di Sāvatthī. Pada saat itu lima raja yang dipimpin oleh Raja Pasenadi sedang menikmati lima utas kenikmatan indria ketika perbincangan ini muncul di antara mereka: “Apakah pemimpin dari kenikmatan-kenikmatan indria?”26
Beberapa di antara mereka berkata: “Bentuk-bentuk adalah pemimpin dari kenikmatan-kenikmatan indria.” Beberapa berkata: ”Suara adalah pemimpin.” Beberapa berkata: “Bau-bauan adalah pemimpin.” Beberapa berkata: “Rasa kecapan adalah pemimpin.” Beberapa berkata: [80]
Objek-objek sentuhan adalah pemimpin.”27 <182>
Karena para raja itu tidak dapat saling meyakinkan satu sama lain, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada mereka: “Marilah, teman-teman, kita menghadap Sang Bhagavā dan bertanya kepadanya tentang persoalan ini, sebagaimana Sang Bhagavā menjawab kita, demikianlah kita harus mengingatnya.”
“Baiklah Baginda,” para raja itu menjawab. Kemudian lima raja itu, dipimpin oleh Raja Pasenadi, menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Raja Pasenadi kemudian melaporkan keseluruhan diskusi mereka itu kepada Sang Bhagavā dan bertanya: “Apakah, Yang Mulia, pemimpin dari kenikmatan-kenikmatan indria?” <183>
“Baginda, Aku mengatakan bahwa pemimpin di antara lima utas kenikmatan indria ditentukan oleh apa pun yang paling menyenangkan.28 Bentuk-bentuk yang sama yang menyenangkan bagi seseorang, Baginda, adalah tidak menyenangkan bagi orang lain. Ketika seseorang merasa senang dan puas sepenuhnya dengan bentuk-bentuk tertentu, maka orang itu tidak menginginkan bentuk lainnya yang lebih tinggi atau lebih baik daripada bentuk-bentuk itu. Baginya bentuk-bentuk itu adalah yang tertinggi; baginya bentuk-bentuk itu tidak tertandingi.
“Suara-suara yang sama … Bau-bauan yang sama … Rasa-rasa kecapan yang sama … <184>
… Objek-objek sentuhan yang sama yang menyenangkan bagi seseorang. Baginda, adalah tidak menyenangkan bagi orang lain. [81]
Ketika seseorang merasa senang dan puas sepenuhnya dengan objek-objek sentuhan tertentu, maka orang itu tidak menginginkan objek sentuhan lainnya yang lebih tinggi atau lebih baik daripada objek-objek sentuhan itu. Baginya objek-objek sentuhan itu adalah yang tertinggi; baginya objek-objek sentuhan itu tidak tertandingi.”
Pada saat itu umat awam Candanaṅgalika sedang duduk di antara kumpulan itu. Kemudian umat awam Candanaṅgalika bangkit dari duduknya, merapikan jubah luarnya di satu bahunya, dan, merangkapkan tangannya memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berkata kepada Beliau: “Sebuah gagasan muncul padaku, Bhagavā! Sebuah gagasan muncul padaku, Yang Sempurna!”
“Ungkapkanlah gagasanmu, Candanaṅgalika,” Sang Bhagavā berkata.29
Kemudian umat awam Candanaṅgalika, di hadapan Sang Bhagavā, mengucapkan syair yang bersesuaian:
“Bagaikan keharuman teratai merah Kokanada Berkembang di pagi hari, keharumannya tidak memudar, Tataplah Aṅgirasa, Yang Bersinar, Bagaikan matahari yang bersinar di angkasa.”30
Kemudian lima raja itu menganugerahkan lima jubah luar kepada umat awam Candanaṅgalika. Namun pengikut awam Candanaṅgalika <185>
mempersembahkan kelima jubah luar tersebut kepada Sang Bhagavā.
Di Sāvatthī. Pada saat itu Raja Pasenadi dari Kosala telah memakan seporsi nasi dan kari.31 Kemudian, selagi masih kenyang, terengah-engah, raja menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavā, memahami bahwa Raja Pasenadi kenyang dan terengah-engah, pada kesempatan itu mengucapkan syair berikut:
“Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian, Mengetahui kecukupan makanan yang ia makan, Penyakitnya berkurang: Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.”
[82]
<186>
Pada saat itu brahmana muda Sudassana sedang berdiri di belakang Raja Pasenadi dari Kosala. Raja kemudian berkata kepadanya: “Marilah, Sudassana, pelajarilah syair dari Sang Bhagavā ini dan ucapkan kepadaku ketika aku makan. Aku akan menganugerahkan seratus kahāpaṇa kepadamu setiap hari secara terus-menerus.”32
“Baiklah, Baginda,” brahmana muda Sudassana menjawab. Setelah mempelajari syair ini dari Sang Bhagavā, kapan saja Raja Pasenadi sedang makan, brahmana muda Sudassana melantunkan:
“Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian …
<187>
Ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.”
Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala setahap demi setahap mengurangi konsumsi makanan hingga semangkuk kecil nasi.33 Pada kesempatan lainnya, ketika tubuhnya telah menjadi cukup kurus, Raja Pasenadi dari Kosala menepuk badannya dengan tangannya dan pada kesempatan itu ia mengucapkan ungkapan inspiratif ini: “Sang Bhagavā memperlihatkan kasih sayang kepadaku sehubungan dengan kedua jenis kebaikan – kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”34
Di Sāvatthī, Raja Ajātasattu dari Magadha, putera Videha, menggerakkan empat divisi bala tentara dan berjalan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Pasenadi dari Kosala.35 Raja Pasenadi mendengar laporan ini, menggerakkan empat divisi bala tentara dan melepaskan barisan penahan ke arah Kāsi untuk melawan Raja Ajātasattu. [83]
Kemudian Raja Ajātasattu dari Magadha dan Raja Pasenadi dari Kosala bertempur dalam sebuah peperangan. Dalam <188>
peperangan itu Raja Ajātasattu mengalahkan Raja Pasenadi, dan Raja Pasenadi, terkalahkan, mundur ke ibu kotanya sendiri di Sāvatthī.
Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah menerima dana makanan dan telah kembali, setelah makan mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. <189>
[Sang Bhagavā berkata:]
“Para bhikkhu, Raja Ajātasattu dari Magadha memiliki teman-teman jahat, pendamping-pendamping jahat, sahabat-sahabat jahat. Raja Pasenadi dari Kosala memiliki teman-teman baik, pendamping-pendamping baik, sahabat-sahabat baik. Namun pada hari ini, para bhikkhu, Raja Pasenadi, setelah dikalahkan; akan tidur dengan buruk malam ini.36
“Kemenangan menimbulkan permusuhan, Yang kalah tidur dengan buruk, Yang damai tidur dengan nyaman, Setelah meninggalkan kemenangan dan kekalahan.”37
<190>
[84]
(Pembukaan seperti pada §14:)
Dalam perang itu Raja Pasenadi mengalahkan Raja Ajātasattu dan menangkapnya hidup-hidup. Kemudian Raja Pasenadi berpikir: “Walaupun Raja Ajātasattu dari Magadha telah melawanku sementara aku tidak melawannya, namun ia tetap keponakanku. Biarlah aku merampas semua pasukan gajahnya, semua pasukan berkudanya, semua pasukan keretanya, <191>
dan semua prajurit infanterinya, dan membiarkannya pergi tanpa memiliki apa pun kecuali hidupnya.”
Kemudian Raja Pasenadi merampas semua pasukan gajah Raja Ajātasattu, semua pasukan berkudanya, semua pasukan keretanya, dan semua prajurit infanterinya, dan membiarkannya pergi tanpa memiliki apa pun kecuali hidupnya.
Kemudian, di pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah dan, membawa mangkuk dan jubah mereka, memasuki Sāvatthi untuk menerima dana makanan. Ketika mereka telah menerima dana makanan dan telah kembali, setelah makan mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [85]
<192>
Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami maknanya, pada kesempatan itu mengucapkan syair-syair berikut ini:
“Seseorang akan terus merampas Selama rampasan itu berguna baginya,
<193>
Tetapi ketika orang lain merampasnya. Perampas itu dirampas.38
“Si dungu berpikir keberuntungan berada di pihaknya Selama kejahatannya belum masak, Tetapi ketika kejahatan masak Si dungu mengalami penderitaan.
“Pembunuh melahirkan pembunuh, Seorang yang menaklukkan, adalah seorang penakluk. Penyiksa melahirkan siksaan, Pemaki adalah seseorang yang memaki. Demikianlah dengan bentangan kamma Si perampas dirampas.”39
[86]
Di Sāvatthī. Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian seseorang mendekati Raja Pasenadi <194>
dan membisikkan kepadanya: “Baginda, Ratu Mallikā telah melahirkan seorang putri.” Ketika hal ini disampaikan, Raja Pasenadi menjadi tidak senang.40 Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami bahwa Raja Pasenadi tidak senang, mengucapkan syair-syair berikut ini:
“Seorang perempuan, O raja manusia, Dapat lebih baik daripada seorang laki-laki: Ia mungkin menjadi bijaksana dan bermoral, Seorang istri yang baik, menghormati mertuanya.41
“Putra yang ia lahirkan Mungkin menjadi seorang pahlawan, O raja negeri. Putra dari seorang perempuan yang terberkahi itu Mungkin bahkan akan memerintah wilayahnya.”42
<195>
Di Sāvatthi. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Adakah, Yang Mulia, satu hal yang mengamankan kedua jenis kebaikan, kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang?”
“Ada satu hal, Baginda, yang mengamankan kedua jenis kebaikan, kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”
“Tetapi apakah, Yang Mulia, satu hal itu?”
“Ketekunan, Baginda. Bagaikan jejak kaki dari semua makhluk yang berjalan dapat masuk dalam jejak kaki gajah, dan jejak kaki gajah dikatakan sebagai yang terbesar dalam hal ukuran, demikian pula ketekunan adalah satu <196>
hal yang mengamankan kedua jenis kebaikan, [87]
kebaikan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.43
“Bagi ia yang menginginkan umur panjang dan kesehatan, Kecantikan, surga dan kelahiran mulia, [berbagai] kegembiraan luhur Mengikuti secara berturut-turut, Para bijaksana memuji ketekunan Dalam melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.
“Orang bijaksana yang tekun Mengamankan kedua jenis kebaikan: Kebaikan yang terlihat dalam kehidupan ini Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang. Yang teguh, dengan mencapai apa yang baik, Disebut orang bijaksana.”44
Di Sāvatthī. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: <197>
“Di sini, Yang Mulia, ketika aku sendirian dalam keheningan, perenungan berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, dan bahwa itu adalah untuk seseorang yang memiliki teman-teman baik, pendamping-pendamping baik, sahabat-sahabat baik, bukan untuk seseorang yang memiliki teman-teman jahat, pendamping-pendamping jahat, sahabat-sahabat jahat.’”45
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna olehKu, dan itu adalah untuk seseorang yang memiliki teman-teman baik, rekan-rekan baik, sahabat-sahabat baik, bukan untuk seseorang yang memiliki teman-teman jahat, rekan-rekan jahat, sahabat-sahabat jahat.
“Pada suatu ketika, Baginda, Aku menetap di tengah-tengah suku Sakya, di mana di sana terdapat kota Sakya bernama Nāgaraka.46 Kemudian Bhikkhu Ānanda mendatangiKu memberi hormat kepadaKu, duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Yang Mulia, ini adalah setengah dari kehidupan suci, yaitu, pertemanan yang baik, pergaulan yang baik, persahabatan yang baik.’
“Ketika hal ini dikatakan, Baginda, Aku berkata kepada Bhikkhu Ānanda: ‘Bukan, Ānanda! Bukan demikian, Ānanda! <198>
ini adalah keseluruhan kehidupan suci, Ānanda, yaitu, pertemanan yang baik, [88]
pergaulan yang baik, persahabatan yang baik. Ketika seorang bhikkhu memiliki seorang teman yang baik, rekan yang baik, sahabat yang baik, maka diharapkan bahwa ia akan mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dan bagaimanakah, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, rekan yang baik, sahabat yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan Pandangan Benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan pelenyapan, yang matang dalam kebebasan. Ia mengembangkan Kehendak Benar … Ucapan Benar … Perbuatan Benar … Penghidupan Benar … Usaha Benar … Perhatian Benar … Konsentrasi Benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan pelenyapan, yang matang dalam kebebasan. Adalah dengan cara ini, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, rekan yang baik, sahabat yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan.
“Dengan metode berikut ini juga, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik, pergaulan yang baik, persahabatan yang baik: <199>
dengan bersandar padaKu sebagai seorang teman baik, Ānanda, makhluk-makhluk yang mengalami kelahiran akan terbebas dari kelahiran; makhluk-makhluk yang mengalami penuaan akan terbebas dari penuaan; makhluk-makhluk yang mengalami penyakit akan terbebas dari penyakit; makhluk-makhluk yang mengalami kematian akan terbebas dari kematian; makhluk-makhluk yang mengalami dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan akan terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan. Dengan metode ini, Ānanda, dapat dipahami bagaimana bahwa keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik, pergaulan yang baik, persahabatan yang baik.’
“Oleh karena itu, Baginda, engkau harus berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menjadi seorang yang memiliki teman-teman baik, rekan-rekan baik, sahabat-sahabat baik.’ Dengan cara demikianlah engkau harus melatih dirimu.
“Ketika, Baginda, engkau memiliki teman-teman baik, rekan-rekan baik, sahabat-sahabat baik, [89]
engkau harus mempertahankan satu hal sebagai pendukung: ketekunan dalam kondisi-kondisi bermanfaat.
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, para pengikutmu di harem para perempuan akan berpikir: ‘Raja berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung. Marilah, kita juga berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung.’ <200>
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, para pengikutmu dari kelompok khattiya akan berpikir … para prajuritmu akan berpikir … para pengikutmu di kota dan di desa akan berpikir: ‘Raja berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung. Marilah, kita juga berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukung.’
“Ketika, Baginda, engkau berdiam dengan tekun, dengan ketekunan sebagai pendukungmu, dirimu akan terjaga dan terlindungi, para pengikutmu di harem para perempuan akan terjaga dan terlindungi, pusaka dan gudang hartamu akan terjaga dan terlindungi.
“Bagi seseorang yang menginginkan kekayaan yang luhur Mengikuti secara berturut-turut, Para bijaksana memuji ketekunan Dalam melakukan perbuatan-perbuatan berjasa.
“Orang bijaksana yang tekun
<201>
Mengamankan kedua jenis kebaikan: Kebaikan yang terlihat dalam kehidupan ini Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang. Yang teguh, dengan mencapai apa yang baik, Disebut orang bijaksana.”
Di Sāvatthī. Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang, Baginda, di siang hari ini?”
“Yang Mulia, seorang hartawan di Sāvatthī telah meninggal dunia. Aku datang setelah membawa kekayaannya ke istana, karena ia meninggal dunia tanpa surat wasiat.47 Ada delapan puluh lakh emas, [90]
belum lagi perak, dan juga, Yang Mulia, makanan hartawan itu adalah seperti ini: ia makan nasi merah bersama dengan bubur basi. Pakaiannya adalah seperti ini: ia mengenakan tiga helai pakaian terbuat dari tanaman serat. Kendaraannya adalah seperti ini: <202>
ia bepergian dengan kereta kecil usang beratap daun.”48
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Ketika seorang rendah memperoleh kekayaan berlimpah, ia tidak membuat dirinya bahagia dan gembira, ia juga tidak membuat ibu dan ayahnya bahagia dan gembira, juga tidak istri dan anak-anaknya, juga tidak para budaknya, para pekerja, dan para pelayan, juga teman-temannya; ia juga tidak memberikan persembahan kepada para petapa dan brahmana, yang dapat mengangkatnya ke atas, menuju buah surgawi, yang menghasilkan kebahagiaan, kondusif menuju alam surga. Karena kekayaannya tidak digunakan dengan benar, raja-raja mengambilnya, atau pencuri-pencuri mengambilnya, atau api membakarnya, atau banjir menghanyutkannya, atau ahli waris yang tidak disukai mengambilnya. Demikianlah, Baginda, kekayaan itu, karena tidak dimanfaatkan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna.
“Misalkan, Baginda, di suatu tempat yang tidak dihuni oleh manusia, terdapat sebuah kolam teratai yang jernih, sejuk, manis, berair bersih, dengan penyeberangan yang nyaman, <203>
indah; tetapi tidak ada orang yang akan mengambil air itu, atau meminum air itu, atau mandi di sana, atau menggunakannya untuk kegunaan apa pun. Demikianlah, Baginda, air itu, karena tidak digunakan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna. Demikian pula, Baginda, ketika seorang rendah memperoleh kekayaan berlimpah … kekayaan itu, karena tidak dimanfaatkan dengan benar, menjadi sia-sia, tidak berguna.
“Tetapi, Baginda, ketika seorang besar memperoleh kekayaan berlimpah, ia membuat dirinya bahagia dan gembira, dan ia membuat ibu dan ayahnya bahagia dan gembira, dan istri dan anak-anaknya, dan para budaknya, para pekerja, dan para pelayan, dan teman-temannya; <204>
dan ia memberikan persembahan kepada para petapa dan brahmana, yang dapat mengangkatnya ke atas, menuju buah surgawi, yang menghasilkan kebahagiaan, kondusif menuju alam surga. Karena kekayaannya digunakan dengan benar [91]
, raja-raja tidak mengambilnya, pencuri-pencuri tidak mengambilnya, api tidak membakarnya, banjir tidak menghanyutkannya, dan ahli waris yang tidak disukai tidak mengambilnya. Demikianlah, Baginda, kekayaan itu, karena dimanfaatkan dengan benar, menjadi berguna dan tidak sia-sia.
“Misalkan, Baginda, tidak jauh dari desa atau kota, terdapat sebuah kolam teratai yang jernih, sejuk, manis, berair bersih, dengan penyeberangan yang nyaman, indah; dan orang-orang mengambil air itu, dan meminum air itu, dan mandi di sana, dan menggunakannya untuk kegunaan apa pun. Demikianlah, Baginda, air itu, karena digunakan dengan benar, menjadi berguna dan tidak sia-sia. Demikian pula, Baginda, ketika seorang besar memperoleh kekayaan berlimpah … <205>
kekayaan itu, karena dimanfaatkan dengan benar, menjadi berguna dan tidak sia-sia.
“Bagaikan air sejuk di tempat terpencil Menguap tanpa diminum, Demikian pula ketika seorang rendah memperoleh kekayaan Ia tidak menikmati dan juga tidak memberi.
“Tetapi ketika seorang bijaksana memperoleh kekayaan Ia menikmatinya dan melakukan kewajibannya. Setelah menyokong kerabatnya, bebas dari cela, Orang mulia itu pergi ke alam surga.”
(Seperti di atas, dengan pengecualian bahwa jumlahnya adalah seratus lakh emas, satu lakh setara dengan seratus ribu:) [92]
<206>
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Suatu ketika di masa lampau, Baginda, hartawan itu mempersembahkan dana makanan kepada seorang Paccekabuddha bernama Tagarasikhī. Setelah memerintahkan, ‘Berikan persembahan kepada petapa itu,’ ia bangkit dari duduknya dan pergi. Tetapi setelah pergi, ia kemudian merasa menyesal dan berpikir, ‘Lebih baik jika para budak dan pekerja yang memakan makanan itu!’ Terlebih lagi, ia membunuh putra tunggal adiknya hanya demi kekayaannya.49
“Karena hartawan itu mempersembahkan dana makanan kepada Paccekabuddha Tagarasikhī, <207>
sebagai akibat dari kamma itu ia terlahir kembali sebanyak tujuh kali di alam yang baik, di alam surga. Sebagai akibat sisa dari kamma yang sama, ia memperoleh posisi sebagai hartawan sebanyak tujuh kali di kota yang sama, Sāvatthī. Tetapi karena hartawan itu merasa menyesal telah memberi persembahan, sebagai akibat dari kamma itu pikirannya tidak condong pada kenikmatan atas makanan-makanan yang baik, pakaian-pakaian yang baik, dan kendaraan-kendaraan yang baik, juga tidak pada kenikmatan atas objek-objek yang baik di antara lima utas kenikmatan indria. Dan karena hartawan itu membunuh putra tunggal adiknya demi kekayaannya, sebagai akibat dari kamma itu ia tersiksa di alam neraka selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Sebagai akibat sisa dari kamma yang sama itu, ia memiliki harta kekayaan istana dengan takdir tidak memiliki keturunan untuk ke tujuh kalinya ini.
“Jasa lampau dari hartawan perumah tangga ini telah habis seluruhnya, <208>
dan ia tidak mengumpulkan jasa baru. Tetapi hari ini, Baginda, hartawan perumah tangga itu sedang dipanggang di Alam Neraka Roruva.”50
“Jadi, Yang Mulia, hartawan perumah tangga itu telah terlahir di Alam Neraka Roruva?” [93]
“Benar, Baginda, hartawan perumah tangga itu telah terlahir di Alam Neraka Roruva.
“Hasil panen, kekayaan, perak, emas, Atau apa pun kepemilikan lainnya yang ada, Para budak, pekerja, kurir, Dan mereka yang hidup bergantung padanya: Tanpa membawa apa pun ia harus pergi, Segalanya harus ditinggalkan.
“Tetapi apa yang telah ia lakukan melalui jasmani, Atau melalui ucapan atau pikiran: Ini adalah sesungguhnya miliknya, Ini adalah yang sesungguhnya ia bawa ketika ia pergi; Ini adalah apa yang mengikutinya Bagaikan bayangan yang tidak pernah terpisah.
“Oleh karena itu seseorang harus melakukan apa yang baik
<209>
Sebagai tabungan bagi kehidupan mendatang. Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di alam lain.”
Di Sāvatthī. Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian berkata kepadanya: <210>
“Baginda, ada empat jenis orang ini yang terdapat di dunia ini. Apakah empat ini? Seorang yang mengarah dari gelap menuju gelap, seorang yang mengarah dari gelap menuju terang, seorang yang mengarah dari terang menuju gelap, seorang yang mengarah dari terang menuju terang.51
“Dan bagaimanakah, Baginda, seorang yang mengarah dari gelap menuju gelap? Di sini beberapa orang terlahir kembali di keluarga rendah – keluarga caṇḍala, pekerja bambu, pemburu, pembuat kereta, atau pemetik bunga – keluarga miskin yang memiliki sedikit makanan dan minuman dan yang bertahan hidup dengan susah-payah, [94]
seorang di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa, sangat tidak menarik, berbentuk cacat, berpenyakit kronis – atau bertangan timpang atau pincang atau lumpuh.52 Ia bukanlah seorang yang memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wewangian, dan salep; tempat tidur rumah dan penerangan. Ia terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, dengan hancurnya jasmani, <211>
setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.
“Misalkan, Baginda, seseorang yang mengarah dari gelap menuju gelap, atau dari kemuraman menuju kemuraman, atau dari noda menuju noda: orang ini, Aku katakan, adalah sama persis. Dengan cara demikianlah, Baginda, bahwa seseorang mengarah dari gelap menuju gelap.
“Dan bagaimanakah, Baginda, seorang yang mengarah dari gelap menuju terang? Di sini beberapa orang terlahir kembali di keluarga rendah … dan di mana makanan dan pakaian diperoleh dengan susah-payah; dan ia buruk rupa … atau lumpuh. Ia bukanlah seseorang yang memperoleh makanan … dan penerangan. Ia terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.
“Misalkan, Baginda, seseorang menaiki sebuah tandu dari atas tanah, atau dari tandu ke atas punggung kuda, <212>
atau dari punggung kuda ke atas kereta gajah, atau dari kereta gajah ke istana: orang ini, Aku katakan, adalah persis sama. Dengan cara demikianlah, Baginda, seseorang mengarah dari gelap menuju terang.
“Dan bagaimanakah, Baginda, seseorang yang mengarah dari terang menuju gelap? Di sini, beberapa orang terlahir kembali di keluarga berderajat tinggi – keluarga khattiya kaya-raya, keluarga brahmana kaya-raya, atau keluarga perumah tangga kaya raya – seorang yang kaya, memiliki banyak kekayaan dan harta benda, [95]
dengan emas dan perak berlimpah, pusaka dan komoditi berlimpah, hasil panen dan kekayaan berlimpah; dan ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan kulit yang luar biasa. Ia adalah seorang yang memperoleh makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan; kalung bunga, wewangian, dan salep; tempat tidur, rumah, dan penerangan. Ia terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.
“Misalkan, Baginda, seseorang turun dari istana ke kereta gajah, atau dari kereta gajah ke punggung kuda, atau dari punggung kuda ke tandu, atau dari tandu ke atas tanah, atau dari atas tanah ke bawah tanah yang gelap: orang ini, Aku katakan, adalah sama persis. Dengan cara demikianlah, Baginda, seseorang mengarah dari terang menuju gelap. <213>
“Dan bagaimanakah, Baginda, seorang yang mengarah dari terang menuju terang? Di sini, beberapa orang terlahir kembali di keluarga berderajat tinggi … dengan hasil panen dan kekayaan berlimpah; dan ia tampan, menarik, anggun, memiliki kecantikan kulit yang luar biasa. Ia adalah seorang yang memperoleh makanan … dan penerangan. Ia terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.
“Misalkan, Baginda, seseorang yang berpindah dari satu tandu ke tandu lain, atau dari satu punggung kuda ke punggung kuda lainnya, atau dari satu kereta gajah ke kereta gajah lainnya, atau dari satu istana ke istana lainnya: orang ini, Aku katakan, adalah sama persis. Dengan cara demikian, Baginda, seseorang mengarah dari terang menuju terang. [96]
“Ini, Baginda, adalah keempat jenis individu yang terdapat di dunia ini.
“Orang itu, O Baginda, yang miskin, Tidak berkeyakinan, kikir, Pelit, dengan niat buruk, Berpandangan salah, tiada hormat,
<214>
Yang menghina dan mencela para petapa, Brahmana, dan peminta-minta lainnya; Seorang nihilis, pencela, yang menghalang-halangi Orang lain memberikan makanan kepada pengemis:
Ketika orang demikian meninggal dunia O Baginda, Ia pergi, raja manusia, Ke alam neraka yang mengerikan, Mengarah dari gelap menuju gelap.
“Orang itu, O Baginda, yang miskin, Memiliki keyakinan, dermawan, Seorang yang memberi, dengan niat baik, Seseorang dengan pikiran tidak terpencar
Yang bangkit berdiri dan menghormati para petapa, Brahmana, dan peminta-minta lainnya; Seorang yang berlatih dalam perbuatan baik, Yang tidak menghalang-halangi siapa pun memberikan makanan kepada para pengemis:
Ketika orang demikian meninggal dunia O Baginda,
<215>
Ia pergi, raja manusia, Ke tiga alam surga, Mengarah dari gelap menuju terang.
“Orang itu, O Baginda, yang kaya, Tidak berkeyakinan, kikir, Pelit, dengan niat buruk, Berpandangan salah, tiada hormat,
Yang menghina dan mencela para petapa, Brahmana, dan peminta-minta lainnya; Seorang nihilis, pencela, yang menghalang-halangi Orang lain memberikan makanan kepada pengemis:
Ketika orang demikian meninggal dunia, O Baginda, Ia pergi, raja manusia, Ke alam neraka yang mengerikan, Mengarah dari terang menuju gelap.
“Orang itu, O Baginda, yang kaya, Memiliki keyakinan, murah hati, Seorang yang memberi, dengan niat baik,
<216>
Seseorang dengan pikiran tidak terpencar
Yang bangkit berdiri dan menghormati para petapa, Brahmana, dan peminta-minta lainnya; Seorang yang berlatih dalam perbuatan baik, Yang tidak menghalang-halangi siapa pun memberikan makanan kepada para pengemis:
Ketika orang demikian meninggal dunia, O Baginda, Ia pergi, raja manusia, Ke tiga alam surga, Mengarah dari terang menuju terang.
Di Sāvatthī. Di siang hari, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā … Sang Bhagavā berkata kepadanya ketika ia sedang duduk di satu sisi: [97]
“Dari manakah engkau datang, Baginda, di siang hari ini?” <217>
“Yang Mulia, nenekku meninggal dunia. Ia sudah tua, jompo, terbebani selama bertahun-tahun, telah lanjut usia, telah sampai pada tahap akhir, 120 tahun sejak lahir. Yang Mulia, aku menyayangi dan mencintai nenekku. Jika, Yang Mulia, dengan permata-gajah aku dapat menebusnya dari kematian, aku bahkan akan menyerahkan permata-gajah agar ia tidak mati.53 Jika dengan permata-kuda aku dapat menebusnya dari kematian … jika dengan hadiah desa aku dapat menebusnya dari kematian … jika dengan negeri ini aku dapat menebusnya dari kematian, aku bahkan akan menyerahkan negeri ini agar ia tidak mati.”
“Semua makhluk, Baginda, pasti mengalami kematian, dihentikan oleh kematian, dan tidak dapat menghindari kematian.”
“Sungguh indah, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa indahnya hal ini dinyatakan oleh Sang Bhagavā: ‘Semua makhluk, Baginda, pasti mengalami kematian, dihentikan oleh kematian, dan tidak dapat menghindari kematian.’”
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Semua makhluk, Baginda, pasti mengalami kematian, dihentikan oleh kematian, dan tidak dapat melepaskan diri dari kematian. <218>
Bagaikan semua kendi tembikar, apakah diadon ataupun tidak diadon, pasti mengalami pecah, terhenti pada saat pecah, dan tidak dapat menghindari pecah, demikian pula semua makhluk pasti mengalami kematian, terhenti oleh kematian, dan tidak dapat menghindari kematian.
“Semua makhluk akan mati, Karena kehidupan berakhir pada kematian. Mereka akan mengembara sesuai dengan perbuatan mereka, Memetik buah dari kebajikan dan kejahatan mereka: Pelaku kejahatan pergi ke neraka, Pelaku kebajikan menuju alam bahagia.
“Oleh karena itu seseorang harus melakukan apa yang baik Sebagai tabungan bagi kehidupan mendatang. Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di alam lain.”
[98]
Di Sāvatthī. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, berapa banyakkah hal-hal di dunia ini yang, ketika muncul, kemunculannya menyebabkan bahaya, penderitaan dan ketidak-nyamanan seseorang?”54 <219>
“Ada, Baginda, tiga hal di dunia ini yang, ketika muncul, kemunculannya menyebabkan bahaya, penderitaan dan ketidak-nyamanan seseorang. Apakah tiga ini? Keserakahan, kebencian dan delusi. Ini adalah ketiga hal di dunia ini yang, ketika muncul, kemunculannya menyebabkan bahaya, penderitaan dan ketidak-nyamanan seseorang.
“Keserakahan, kebencian dan delusi, Yang muncul dalam diri seseorang, Melukai seseorang yang berpikiran jahat Bagaikan buahnya sendiri yang menghancurkan sang buluh.”
Di Sāvatthī. Sambil duduk di satu sisi, Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā:
“Yang Mulia, di manakah seharusnya suatu pemberian diberikan?”55
“Di mana saja pikiran seseorang memiliki keyakinan, Baginda.”56
“Tetapi, Yang Mulia, di manakah apa yang diberikan itu menghasilkan buah yang besar?” <220>
“Ini adalah satu pertanyaan, Baginda, ‘Di manakah seharusnya suatu pemberian diberikan?’ dan ini adalah pertanyaan lainnya, ‘Di manakah apa yang diberikan itu menghasilkan buah yang besar?’ Apa yang diberikan kepada seorang yang bermoral, Baginda, menghasilkan buah besar, tidak demikian jika diberikan kepada seorang yang tidak bermoral. Sekarang, Baginda, Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu mengenai hal yang sama. Jawablah sesuai dengan apa yang engkau anggap benar. Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang tidak terlatih, tidak mahir, tidak cakap, [99]
tidak berpengalaman, cemas, ngeri, takut, cepat melarikan diri. Akankah engkau memperkerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia.” <221>
“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang tidak terlatih … cepat melarikan diri. Akankah engkau memperkerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?”
“Tentu saja tidak, Yang Mulia.”
“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan engkau sedang dalam perang dan sebuah pertempuran akan segera terjadi. Kemudian seorang pemuda khattiya tiba, seorang yang terlatih, mahir, cakap, berpengalaman, berani, teguh, tegas, siap di tempatnya. Akankah engkau memperkerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?”
“Tentu saja, Yang Mulia.”
“Kemudian seorang pemuda brahmana tiba … seorang pemuda vessa … seorang pemuda sudda … yang terlatih … siap di tempatnya. Akankah engkau memperkerjakan orang itu, dan akankah engkau menggunakan orang demikian?” <222>
“Tentu saja, Yang Mulia.”
“Demikian pula, Baginda, ketika seseorang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tidak peduli dari suku apa, jika ia meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor, maka apa yang diberikan kepadanya akan menghasilkan buah besar. Lima faktor apakah yang telah ditinggalkan? Keinginan indria telah ditinggalkan; permusuhan telah ditinggalkan; kelambanan dan ketumpulan telah ditinggalkan; kegelisahan dan penyesalan telah ditinggalkan; keragu-raguan telah ditinggalkan. Apakah lima faktor yang ia miliki? Ia memiliki moralitas dari seseorang yang telah melampaui latihan, ia memiliki konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan, [100]
kebebasan dari seorang yang melampaui latihan, pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dari seorang yang melampaui latihan. Ia memiliki lima faktor ini. Demikianlah apa yang diberikan kepada seorang yang telah meninggalkan lima faktor dan memiliki lima faktor adalah menghasilkan buah besar.57 <223>
“Bagaikan seorang raja yang bertekad untuk berperang Akan memperkerjakan seorang pemuda yang terampil dengan busur, Seorang yang memiliki kekuatan dan keberanian, Tetapi bukan seorang pengecut sehubungan dengan kelahirannya –
Demikian pula walaupun ia berkelahiran rendah, Seseorang harus menghormati orang yang berperilaku mulia, Seorang bijaksana yang padanya terdapat Moralitas kesabaran dan kelembutan.58
“Seseorang harus membangun pertapaan yang menyenangkan Dan mengundang para terpelajar untuk menetap bersamanya; Seseorang harus membangun tempat penyimpanan air di hutan Dan jalan pintas untuk melintasi daratan kasar.
“Dengan penuh keyakinan seseorang harus memberikan Kepada mereka yang berwatak lurus: Memberikan makanan dan minuman dan benda-benda untuk dimakan, Pakaian untuk dipakai dan tempat tidur dan tempat duduk.
“Karena bagaikan awan-hujan, halilintar,
<224>
Dirangkai oleh kilat, dengan seratus simpul, Mencurahkan hujan ke bumi. Membanjiri tanah datar dan lembah –
“Demikian pula orang bijaksana, berkeyakinan, terpelajar, Setelah mempersiapkan makanan, Memuaskan dengan makanan dan minuman Para peminta-minta yang hidup dari dana makanan. Bergembira, ia membagikan persembahan, Dan mengumumkan, ‘Beri, beri.’
“Karena itu adalah halilintarnya Bagaikan langit ketika hujan. Curahan jasa, begitu besar, Akan tercurahkan kepada si pemberi.”
Di Sāvatthī. Di siang hari, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā … <225>
Sang Bhagavā berkata kepadanya ketika ia sedang duduk di satu sisi: “Dari manakah engkau datang, Baginda, di siang hari ini?”
“Baru saja, Yang Mulia, aku melakukan urusan kerajaan yaitu meminyaki kepala raja-raja khattiya, yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan pada kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini.”59
“Bagaimana menurutmu, Baginda? [101]
Di sini, seseorang mendatangimu dari timur, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan; setelah menghadap ia berkata kepadamu: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari timur, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Kemudian orang ke dua mendatangimu dari barat … kemudian orang ke tiga mendatangimu dari utara … <226>
… kemudian orang ke empat mendatangimu dari selatan, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan; setelah menghadap ia berkata kepadamu: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari selatan, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Jika, Baginda, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi kemanusiaan yang sangat sulit diperoleh, apakah yang harus dilakukan?”
“Jika, Yang Mulia, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi kemanusiaan yang sangat sulit diperoleh, apa lagikah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan berjasa dan bermanfaat?”60
“Aku beritahukan kepadamu, Baginda, Aku mengumumkan kepadamu, Baginda: usia tua dan kematian sedang menghampirimu. Ketika usia-tua dan kematian sedang menghampirimu, Baginda, apakah yang harus dilakukan?”
“Karena usia tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagikah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan berjasa dan bermanfaat? <227>
“Ada, Yang Mulia, perang-perang pasukan gajah [yang dilakukan oleh] raja-raja khattiya yang sah, yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan akan kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini; tetapi tidak ada tempat bagi perang-perang pasukan gajah itu, tidak ada ruang bagi mereka, ketika usia tua dan kematian menghampiri.61 Ada, Yang Mulia, perang-perang pasukan berkuda [yang dilakukan oleh] raja-raja khattiya yang sah … Ada perang-perang pasukan kereta … perang-perang pasukan infanteri … [102]
tetapi tidak ada tempat bagi perang-perang pasukan infanteri itu, tidak ada ruang bagi mereka, ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat para menteri yang, ketika musuh datang, mampu memecah mereka dengan muslihat, namun tidak ada tempat bagi muslihat, tidak ada ruang bagi muslihat ketika usia tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat emas dan perak dalam jumlah besar tersimpan dalam brankas dan gudang-gudang penyimpanan, dan dengan kekayaan sebanyak itu kami mampu meredam musuh ketika mereka datang; tetapi tidak ada tempat pagi perang kekayaan, tidak ada ruang baginya, ketika usia tua dan kematian menghampiri. Karena usia tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagikah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan berjasa dan bermanfaat?” <228>
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Karena usia tua dan kematian menghampirimu, apa lagikah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan berjasa dan bermanfaat?”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:
“Bagaikan gunung karang, Tinggi, menjulang ke langit, Menarik segalanya dari segala sisi, Menggilas segalanya di empat penjuru – Demikian pula usia-tua dan kematian datang Menghampiri semua makhluk hidup –
Khattiya, brahmana, vessa, sudda, Caṇḍala dan pemungut sampah: Tidak menyisakan apa pun sepanjang perjalanannya Namun datang menggilas segalanya.
“Tidak ada tempat di sini bagi pasukan gajah, Bagi pasukan kereta dan pasukan infanteri. Seseorang tidak dapat mengalahkannya dengan muslihat, Atau membelinya dengan kekayaan.
<229>
“Oleh karena itu seorang yang bijaksana di sini, Demi kebaikannya sendiri, Harus dengan teguh mengokohkan keyakinan Pada Sang Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
“Ketika seseorang berperilaku sesuai Dhamma Melalui jasmani, ucapan dan pikiran, Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini, Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.”
<230>
Raja Pasenadi adalah salah satu umat awam Sang Buddha yang paling berbakti, walaupun teks tidak pernah menyebutkan bahwa ia mencapai tingkat kesucian. Sutta ini, sepertinya, mencatat pertemuan pribadinya dengan Sang Buddha pertama kali. Gaya keramah-tamahannya (berbeda dengan penghormatan) dalam menyapa Sang Bhagavā menunjukkan bahwa ia belum mengakui Sang Buddha sebagai gurunya. ↩︎
Ada enam guru sekte (cha satthāro) atau “para pembuat kanal penyeberangan” (titthakārā), di antaranya empat disebutkan dalam 2:30. Dua yang belum disebutkan di atas, Sañjaya Belaṭṭhiputta adalah seorang skeptis (DN I 58,23 – 59,7) dan Ajita Kesakambalī, seorang materialis (DN I 55,15 – 56,31). ↩︎
Spk: Na uññātabbā = na avajānitabbā; na paritabhotabbā = na paribhavitabbā. Spk membedakan antara “memandang rendah” dan “menghina” sehubungan dengan masing-masing dari empat hal yang disebutkan oleh Sang Buddha. Misalnya: Seseorang memandang rendah seorang pangeran jika, ketika orang itu bertemu dengan sang pangeran, ia tidak memberi jalan atau membuka jubahnya atau bangkit dari duduknya, dan sebagainya. Seseorang menghinanya jika ia mengatakan hal-hal sebagai berikut: “Pangeran ini berleher besar (Se: bertelinga besar) dan berperut besar. Bagaimana ia mampu menjalankan pemerintahan?” ↩︎
Uccāvacehi vaṇṇehi. Baris ini mencerminkan kepercayaan, yang beredar luas dalam mitologi India, bahwa ular dapat mengubah wujudnya semaunya. Seperti yang diakui Spk: “Seekor ular merayap dalam wujud apa pun ia menemukan mangsanya, bahkan dalam wujud seekor tupai.” Baca Vin I 86-87, di mana seekor ular nāga berubah wujud menjadi seorang anak muda untuk menerima penahbisan sebagai seorang bhikkhu. ↩︎
Akibat suram dari meremehkan dan menghina seorang bhikkhu bermoral bukan terjadi karena ia memendam niat membalas dendam, tetapi sebagai buah alami dari perbuatan tidak sopan itu. Spk menjelaskan bahwa seorang bhikkhu yang membalas dendam ketika terprovokasi tidak mampu mencelakai siapa pun dengan “api (moralitasnya)” (tejasā); si pelanggar terbakar hanya jika bhikkhu tersebut menahan dengan sabar. Sehubungan dengan hal ini, bhikkhu tersebut berlawanan dengan pola umum sosok orang suci India yang dengan sengaja mengutuk musuhnya (baca di bawah 11:10). ↩︎
Tacasāraṃ vas sam phalaṃ. Spk: Bagaikan buahnya sendiri yang melukai, menghancurkan, bambu atau buluh, demikian pula mereka melukai, menghancurkannya.
Keluarga buluh disebut tacasāra karena kulitnya keras bagai inti kayu. Sam di sini adalah kata ganti sifat yang merujuk kepada subjeknya, dikemas attano. Baca EV I, n. atas 659, EV II, n. atas 136 dan n.657 di bawah. Bandingkan syair ini dengan v.597. ↩︎
Atthi nu kho bhante jātassa aññatra jarāmaraṇā. Spk: Ia bertanya, “Adakah seseorang yang terbebas dari penuaan dan kematian?” ↩︎
Ketika membicarakan Arahant, Sang Buddha tidak menggambarkan takdirNya dari sudut pandang luar, yaitu, sebagai penuaan dan kematian, tetapi dalam hal pengalaman pribadi sang Arahant, sebagai hanya sekedar hancurnya dan ditinggalkannya jasmani. ↩︎
Santo have sabbhi pavedayanti. Spk memberikan tiga interpretasi, yang di antaranya, hanya yang pertama, yang saya ikuti, yang masuk akal: “Yang baik, bersama dengan yang baik, menyatakan: ‘Dhamma orang-orang baik tidak lapuk.’ Dhamma orang-orang baik adalah Nibbāna; karena tidak rusak mereka menyebutnya tanpa-penuaan, tanpa-kematian.” Syair ini = Dhp 151, yang mana Dhp-a III 123,2-5 mengomentari: “Sembilan Dhamma orang-orang baik – dari para Buddha, dan lain-lain – tidak lapuk, tidak mengalami kehancuran. Karena itu orang-orang baik – para Buddha, dan lain-lain – tidak rusak, tidak mengalami kerusakan. Sehingga orang-orang baik - para Buddha, dan lain-lain –mengumumkan ini, menyatakannya, bersama orang-orang baik, bersama orang-orang bijaksana.” Sembilan Dhamma adi-duniawi adalah empat jalan, empat buah dan Nibbāna. Brough berpendapat bahwa sabbhi di sini harus dipahami mengandung makna datif, dan ia menunjukkan bahwa “ajaran tidak usang ‘karena orang-orang baik mengajarkannya kepada orang-orang baik lainnya,’ murid-murid dan penerus mereka” (p.228, n.160). Saya tidak berpendapat bahwa interpretasi ini cukup meyakinkan, karena Dhamma-sebagai-ajaran pasti mengalami kelapukan, dan hanya Dhamma adi-duniawi yang tetap kebal terhadap penuaan dan kematian. ↩︎
“Pembuat-akhir” (antaka), dalam pāda a, adalah personifikasi dari kematian; di tempat lain (yaitu, pada v.448) kata itu merujuk pada Māra. ↩︎
Spk memecah pacchāsaṃ, dalam pāda c, menjadi pacchā tesaṃ. Saṃ berasal dari Esaṃ, bentuk jamak genitif kata ganti orang ke tiga, baca Geiger, Pāli Grammar, §108.1. Dalam pāda f, hissa = hi ssa < Skt hi sma. Baca EV I, nn. atas 225, 705. ↩︎
Be: aṭṭakaraṇā; Se dan Ee1 & 2: atthakaraṇa. Baca CPD, s.v. atta, untuk hipotesa sehubungan dengan turunan tersebut. Spk-pṭ menjelaskan aṭṭakaraṇa sebagai vinicchayaṭṭhāna, suatu tempat untuk mengambil keputusan (sehubungan dengan persoalan hukum). ↩︎
Spk: Suatu hari, ketika raja sedang duduk di aula pengadilan, ia melihat menterinya menerima suap dan memutuskan kasus dengan memenangkan penyuapnya. Ia berpikir, “Jika mereka melakukan hal-hal seperti ini di depanku, sang penguasa, apa yang tidak mungkin mereka lakukan di belakangku? Sekarang adalah Jenderal Viḍūḍabha yang akan dikenal melalui pemerintahannya sendiri. Mengapa aku harus duduk di tempat yang sama dengan para penipu pemakan-suap ini?” Inti yang pasti dari kalimat ini tidak jelas, dan baik Spk maupun Spk-pṭ tidak memberikan penjelasan tentang ini. *Bhadramukha, “*Wajah Baik” adalah istilah sayang (baca MN II 53,27, 210,11 foll.; Ja II 261, 14; Vism 92,21), yang menurut Spk dan Spk-pṭ di sini merujuk pada Viḍūḍabha, putra raja dan seorang jenderal. Akan tetapi, pada prolog atas Ja No.465 (Ja IV 148-50) menceritakan bahwa jenderal Raja Pasenadi yang sebelumnya adalah seorang prajurit bernama Bandhula, yang menjalankan fungsi sebagai hakim ketika ia mengetahui bahwa petugas pengadilan telah menjadi korup. Dengan demikian, terlepas dari kemasan itu, adalah mungkin raja di sini menggunakan istilah itu dengan merujuk pada Bandhula dan bukannya putranya. ↩︎
Mallikā adalah seorang gadis penjual bunga miskin yang ditemui oleh Raja Pasenadi secara tidak sengaja setelah suatu kekalahan dalam peperangan. Raja jatuh cinta kepadanya, menikahinya, dan menunjuknya sebagai permaisurinya (baca prolog atas Ja No.415).
Spk: Raja mengajukan pertanyaan ini kepadanya dengan harapan bahwa ia akan menjawab, “Engkau lebih kusayangi daripada diriku,” dan kemudian membalas dengan pertanyaan yang sama kepadanya, yang kemudian ia akan menjawab dengan jawaban yang sama, sehingga mereka saling memperkuat cinta kasih mereka. Tetapi Mallikā, karena bijaksana dan terpelajar, menjawab dengan sejujurnya (sarasen’ eva) dan raja juga terpaksa menjawab dengan cara yang sama. Terjemahan attā sebagai jiwa pada KS 1:101 adalah menyesatkan, walaupun ada usaha memperbaiki dalam catatan kaki yang disertakan. Sutta itu (termasuk syairnya) terdapat pada Ud 47, dengan syair yang digambarkan sebagai “ucapan inspiratif” (udāna).
Percakapan antara Raja Pasenadi dengan Mallikā mengingatkan pada diskusi antara Petapa Yājñavalkya dan istrinya Maitreyī yang tercatat pada Bṛhadàraṇyaka Upaniṣad II.4.5 (juga pada IV.5.6): “Sesungguhnya, seorang suami bukanlah kekasih, engkau mungkin mencintai suami; tetapi bahwa engkau mungkin mencintai Diri, oleh karena itu seorang suami adalah kekasih. Sesungguhnya, seorang istri bukanlah kekasih; tetapi bahwa engkau mungkin mencintai Diri, oleh karena itu seorang istri adalah kekasih. Sesungguhnya, seorang istri bukanlah kekasih, engkau mungkin mencintai istri; tetapi bahwa engkau mungkin mencintai Diri, oleh karena itu seorang istri adalah kekasih” (Muller, The Upanishads, 2:109-10, 182-83). Dapat dipercaya bahwa percakapan Buddhis ini mungkin meniru Upaniṣad namun dengan pesan yang berbeda. Sementara Yājñavalkya meyakini Diri transcendental – Atman – yang adalah “terlihat, terdengar, tercerap, tertandai.” Sang Buddha mengutip pepatah etis: karena seseorang mencintai dirinya lebih daripada orang lain, maka ia harus menyadari bahwa hal yang sama adalah benar bagi orang lain dan perlakukanlah mereka dengan cinta dan hormat. ↩︎
Spk menceritakan kisah latar belakang, juga terdapat (secara lebih lengkap) dalam Dhp-a II 1-12; baca BL 2:100-7 dan Ja No.314. Secara singkat: Raja menjadi tergila-gila pada seorang perempuan yang telah menikah dan berencana untuk membunuh suaminya agar ia bisa mendapatkan sang istri. Suatu malam, tidak bisa tidur, ia mendengar teriakan menakutkan yang tidak diketahui sumbernya. Keesokan harinya, ketika ia dengan gelisah menanyakan artinya kepada brahmana kerajaan, brahmana itu memberitahunya bahwa suara itu menandakan kematiannya sudah dekat, yang hanya dapat dicegah dengan melakukan pengorbanan besar. Ketika ia bertanya kepada Sang Buddha mengenai suara ini, Sang Buddha memberitahunya bahwa itu adalah teriakan para peselingkuh yang sedang direbus dalam panci di neraka besar. ↩︎
Pengorbanan ini juga menjadi rujukan dari It 21,12-17, dan asal-usulnya dikisahkan pada Sn 299-305. Spk menjelaskan bahwa pada masa raja-raja kuno empat pengorbanan pertama sebenarnya adalah empat landasan kedermawanan (saṅgahavatthu) – memberi, ucapan yang menyenangkan, perilaku yang murah hati, dan perlakuan setara – dengan cara demikian raja-raja memberikan manfaat di dunia. Tetapi pada masa Raja Okkāka, para brahmana menginterpretasikan ulang landasan kedermawanan (yang mereka tambahkan menjadi lima) sebagai pengorbanan berdarah yang melibatkan pembunuhan dan kekerasan.
Dalam pāda c, saya memasukkan mahāyaññā, yang terdapat dalam Se dan Ee2 namun tidak ada dalam Be dan Ee1. Spk menjelaskan mahārambhā sebagai mahākiccā mahākaraṇīyā, “perbuatan-perbuatan besar, tugas-tugas besar,” yang diklarifikasi oleh Spk-pṭ: bahupasughātakammā, “perbuatan membunuh banyak binatang.” ↩︎
Yajanti anukulaṃ sadā. Spk-pṭ menjelaskan anukulaṃ sebagai kulānugataṃ, “apa yang telah diturunkan dalam keluarga (sebagai tradisi keluarga).” Spk: Persembahan makanan rutin yang dimulai oleh orang-orang generasi sebelumnya – orang-orang ini memberi selama generasi demi generasi tanpa terputus. ↩︎
Spk menceritakan, sebagai kisah latar belakang, sebuah versi ringkas atas prolog dari Ja No. 92. Akan tetapi, syair tersebut juga muncul pada Dhp 345-46, kisah komentar latar belakang hanya sekedar menyebutkan bahwa raja memerintahkan para kriminal dibawa menghadapnya dan diikat dengan belenggu, tali dan rantai. Baca Dhp-a IV 53-55; BL 3:223-4. Kisah yang sama terdapat dalam prolog dari Ja No.201. ↩︎
Spk: Ini menurun (ohārina) karena menarik seseorang turun ke empat alam sengsara; luwes (sithila), karena tidak seperti besi mengikat melainkan tidak mengikat gerakan fisik seseorang, tetapi membelenggu seseorang ke mana pun ia pergi; sulit untuk membebaskan diri (duppamuñca), karena seseorang tidak dapat membebaskan diri darinya kecuali dengan pengetahuan adi-duniawi*.* ↩︎
Sutta ini juga terdapat pada Ud 64-66, tetapi dengan syair yang berbeda. Taman Timur adalah vihara yang dibangun oleh Visākhā, penyokong perempuan utama Sang Buddha, yang juga dipanggil “Ibu” oleh ayah mertuanya Migāra karena ia dengan terampil menuntunnya kepada Dhamma. ↩︎
Para jaṭila adalah para petapa berambut kusut; para nigaṇṭha, para Jain, para pengikut Nātaputta. ↩︎
Semua edisi SN membaca kalimat ini sebagai pernyataan (ye te bhante loke arahanto), namun Ud 65, 22-23 (Ee) membacanya sebagai pertanyaan (ye nu keci kho bhante loke arahanto). ↩︎
Empat pernyataan ringkas ini dijelaskan pada AN II 187-90. ↩︎
Ete bhante mama purisā carā (Se: cārā) ocarakā janapadaṃ ocaritvā āgacchanti. Beberapa SS membaca corā (=pencuri-pencuri) menggantikan carā, dan variasi tulisan yang sama muncul dalam banyak edisi Ud. Ud-a 333, 18-24, mengomentari kalimat itu, menjelaskan mengapa mata-mata raja dapat dianggap sebagai pencuri, yang menunjukkan bahwa bahkan Dhammapāla telah menerima tulisan corā dalam Ud. Akan tetapi, Spk, memperlakukan ocarakā dan carā sebagai sinonim, mengemas keduanya menjadi heṭṭhacarakā, “mata-mata yang sedang menyamar,” mereka yang bergerak di bawah permukaan (dengan tujuan mengumpulkan informasi rahasia). Spk-pṭ mengatakan: “Ungkapan ‘mata-mata yang sedang menyamar” – yang dimaksudkan oleh carā – merujuk pada mereka yang menyusup ke tengah-tengah (kelompok lain) untuk menyelidiki rahasia kelompok lain.” Ungkapan carapurisā muncul juga pada Dhp-a I 193, 1, Ja II 404, 9-18, dan Ja VI 469, 12, dalam konteks di atas di mana hanya dapat berarti mata-mata. ↩︎
Be and Ee1 & 2 membaca osāpayissāmi, Se oyāyisssāmi. Teks Ud dan Ud-a mencatat lebih banyak lagi variasi vv .11., bahkan hingga sembilan; baca Masefield, The Udāna Commentary, 2:918, n.195. Spk dan Spk-pṭ tidak membantu. Ud-a 333,25 mengemas paṭipajjissāmi karissāmi, “Aku akan memasukinya, aku akan bertindak,” yang sepertinya cara yang terpelajar dalam menerima keragu-raguan. Jika kita menerima usulan Norman yang masuk akal (pada EV I, n. atas 119) bahkan kita harus mengenali kata kerja Pāli oseti, “menyimpan” (< Skt *avaśrayati), maka osāpeti dapat dipahami sebagai bentuk kausatif dari kata kerja ini (< Skt *avaśrāyati, seperti ditunjukkan oleh Norman dalam catatan yang sama). Di sini, ini adalah orang pertama masa depan yang digunakan secara metafora yang berarti “aku akan membuat mereka menyimpan informasi padaku.” Baca juga n.542 dan n.657. bentuk absolutifnya, osāpetvā, muncul pada Spk III 92,2 yang berarti, “setelah menyimpan.” ↩︎
Spk tidak mengidentifikasikan empat raja lainnya. Fakta bahwa mereka adalah raja tidak harus berarti bahwa mereka menguasai suatu wilayah tersendiri yang setara dengan Raja Pasenadi, walaupun penggunaan sapaan mārisa menyiratkan bahwa mereka memperoleh kesetaraan status dengan Raja Pasenadi. ↩︎
Pāli menggunakan bentuk jamak ekacce dalam pernyataan masing-masing, tetapi jelas dari konteks tersebut bahwa masing-masing pernyataan diucapkan oleh hanya satu raja. ↩︎
Manāpapariyantaṃ khvāhaṃ mahārāja pañcasu kāmaguṇesu aggan ti vadāmi. Terjemahan saya sedikit memperluas idiom Pāli yang singkat. Spk mengemas manāpapariyantaṃ menjadi manāpanipphattiṃ manāpakoṭikaṃ. Spk-pṭ: Apa pun yang disukai seseorang, karena yang dalam pandangannya adalah yang terbaik, diungkapkan olehnya sebagai puncaknya, sebagai yang tertinggi. ↩︎
Paṭibhāti maṁ bhagavā, paṭibhāti maṃ sugata. Kata kerja yang sama digunakan baik oleh lawan bicara maupun Sang Buddha (oleh Sang Buddha, sebagai bentuk perintah paṭibhātu), tetapi saya membuat sedikit variasi terjemahan dalam masing-masing kasus untuk menyesuaikan dengan situasi pembicara. Jenis percakapan ini muncul berulang kali pada 8:5-11 di bawah, 8:8 (I 193,3-4), yang mempertentangkan ṭhānaso paṭibhanti dengan pubbe parivitakkita, “tanpa dipikirkan,” menunjukkan nuansa sesungguhnya dari kata kerja pada konteks itu; baca juga n.143. Umat awam Candanaṅgalika tidak dijumpai di tempat lain dalam kanon. Jelas bahwa ia telah terinspirasi karena ia melihat bagaimana keagungan Sang Buddha melampaui kelima raja itu. ↩︎
Spk: Kokanada adalah sinonim untuk teratai merah (paduma). Sang Buddha disebut Aṅgirasa karena sinar yang memancar dari tubuhNya (aṅgato rasmiyo nikkhamanti). Sebuah paralel termasuk syair ini terdapat pada AN III 239-40. Baca juga Vism 388, 1-4 (Ppn 12:60) dan Dhp-a I 244 (BL 1:302), dan cp. v.752. ↩︎
Be: Doṇapākakuraṃ; Se dan Ee1: doṇapākasudaṃ; Ee2: doṇapākaṃ sudaṃ. Spk: Ia memakan nasi yang dimasak dari satu doṇa beras bersama dengan sop dan kari yang sesuai.
Doṇa adalah takaran volume, mungkin satu “ember,” jelas melebihi kapasitas perut orang biasa. ↩︎
Kahāpaṇa adalah unit mata uang pada masa itu. Baca Life in North-Eastern India oleh Singh, pp.255-57. ↩︎
Spk mengatakan bahwa nāḷika, yang saya terjemahkan menjadi cangkir besar (mengikuti Burlingame) adalah porsi normal untuk seorang laki-laki; saya tidak menemukan sumber yang menyebutkan hubungan antara doṇa dan nāḷika. Spk menjelaskan bahwa Sang Buddha telah menginstruksikan Sudassana untuk melantunkan syair, bukan ketika raja mulai makan, melainkan ketika hampir selesai. Dengan cara demikian setiap hari raja perlahan-lahan menyingkirkan porsi terakhir makanannya hingga ia mencapai porsi yang semestinya.
Sebuah versi yang lebih lengkap dari kisah ini terdapat pada Dhp-a III 264-66, yang menjadi kisah latar belakang untuk Dhp 325; baca BL 3:76-77. Dalam versi ini penasihat raja adalah Pangeran Uttara bukan pemuda brahmana Sudassana. ↩︎
Spk: Kebaikan dalam kehidupan sekarang adalah tubuh yang langsing; kebaikan dalam kehidupan mendatang adalah moralitas (sīla), satu aspeknya adalah makan secukupnya. Baca 3:17 di bawah. ↩︎
Ajātasattu adalah keponakan Pasenadi, putra kakak perempuannya dan Raja Bimbisāra, penguasa Magadha. Sewaktu masih seorang pangeran, Ajātasattu dipengaruhi oleh Devadatta untuk merebut tahta dan mengeksekusi ayahnya; segera setelah itu ibunya meninggal dunia karena sedih. Perang terjadi ketika Pasenadi dan Ajātasattu sama-sama mengakui kepemilikan dari Desa Kāsi yang makmur, yang terletak di antara kedua kerajaan, yang diserahkan oleh ayah Pasenadi, Raja Mahākosala, kepada putrinya ketika sang puteri menikah dengan Bimbisāra (baca prolog atas Ja No. 239). Empat kelompok pasukan adalah pasukan gajah, pasukan berkuda, pasukan kereta, dan infanteri, diuraikan dalam sutta berikutnya.
Spk menjelaskan julukan Vedehiputta: “Vedehi berarti bijaksana; ia disebut demikian karena ia adalah putra seorang perempuan bijaksana.” Ini hampir dapat dipastikan adalah sesuatu yang dibuat-buat. Videha adalah suatu wilayah di utara India, dan julukan itu menyiratkan bahwa leluhurnya berasa dari negeri tersebut. Karena ibu Ajātasattu berasal dari Kosala, Geiger menduga bahwa tentu neneknya dari pihak ibu yang berasal dari Videha (GermTr, p.131, n.3). Baca juga II, n.288. ↩︎
Spk mengatakan bahwa Ajātasattu memiliki teman jahat seperti Devadatta, Pasenadi memiliki teman baik seperti Sāriputta. Pāpamitta dan Kalyāṇamitta adalah kata majemuk bahubbīhi yang berturut-turut berarti “seorang dengan teman jahat” dan “seorang dengan teman baik.” Kata-kata itu bukan berarti, seperti yang diterjemahkan oleh C.Rh.D pada KS 1:112, “seorang teman yang jahat” dan “seorang teman yang baik”; juga bukan berarti “seorang teman dari orang-orang jahat” dan “seorang teman dari orang-orang baik” (walaupun ini logis). Kata yang jarang ditemui *ajjatañ (*seperti dalam Se dan Ee1; Be menormalisasikan tulisan sulit ini menjadi ajj’ eva) sepertinya bermakna “untuk hari ini, untuk saat ini,” dengan maksud bahwa situasinya akan segera berubah. ↩︎
Spk: Jayaṃ veraṃ pasavatī ti jinanto veraṃ pasavati, veripuggalaṃ labhati; “Sang pemenang akan menciptakan permusuhan: seorang yang menaklukkan akan memelihara permusuhan, melahirkan orang yang memusuhi.” Demikianlah Spk menginterpretasikan jayaṃ dalam pāda a sebagai bentuk nominatif sedang berlangsung sebagai subjek. Pada EV II, n. atas 26, Norman mengusulkan ini sebagai bentuk absolutif ṇamul, yaitu, jenis yang jarang dari bentukan absolutif dari akhiran –aṃ (baca juga EV I, n. atas 22). Sementara pada v.407 kita memang menemukan jayaṃ sebagai bentuk kata kerja yang digunakan sebagai kata benda, kata ini juga muncul sebagai kata benda netral pada v.619c; dan dengan demikian seharusnya tidak ada alasan untuk tidak menginterpretasikan dengan cara yang sama di sini. Baca diskusi dalam Brought, Gāndhāri Dharmapada, pp. 238-39, n. atas 180. ↩︎
Saya bersama dengan Be dan Se membaca pāda d: so vilutto viluppati, bukannya seperti Ee1 & 2 vilumpati. Spk mengemas baris itu, pada v.407f, dengan kata kerja pasif: so vilumpako vilumpiyati. Untuk mempertahankan logika dari syair ini, adalah perlu untuk menerima kata kerja pasif ini dan memahami bentuk pasif ini dalam makna aktif. Versi BHS pada Uv 9:9 lebih mudah dimengerti, dengan kata benda pelaku untuk menggantikan bentuk pasif: menjadi so viloptā vilupyate. ↩︎
Spk mengemas kammavivaṭṭena: “Dengan matangnya kamma, ketika kamma merampas itu menghasilkan akibat.” Spk-pṭ menambahkan: “Kamma yang telah lenyap matang ketika memperoleh kesempatan (untuk matang) dengan memenuhi kondisi (yang mendukung matangnya).” ↩︎
Spk: Ia tidak senang dan berpikir, “Saya mengangkat Ratu Mallikā dari keluarga miskin menjadi ratu. Jika melahirkan seorang putra, ia akan memperoleh kehormatan besar, tetapi sekarang ia kehilangan kesempatan itu.”
Putri ini hampir dapat dipastikan adalah Putri Vajīri (baca MN II 110, 10-18), yang kelak menikah dengan Raja Ajātasattu dari Magadha setelah kedua raja itu berdamai. Pangeran Viḍūḍabha, pewaris tahta, dilahirkan oleh istri Pasenadi lainnya, Vāsabhā-khattiyā, seorang putri Sakya dari keturunan campuran yang diserahkan kepada Pasenadi sebagai seorang putri berdarah murni. Viḍūḍabha kelak merampas tahta dan membiarkan ayahnya meninggal dunia dalam pengasingan. Ketika ia mengetahui bahwa para Sakya telah menipu ayahnya ia membantai mereka dan nyaris membinasakan seluruh suku Sakya. ↩︎
Dalam pāda b, saya mengikuti Ee1 & 2 dalam membaca posā, “daripada seorang laki-laki,” walaupun Be dan Se, serta Spk, membaca posa, yang dikemas oleh Spk sebagai bentuk perintah posehi, “memelihara(nya).” Spk melihat perbandingan dengan seorang putra dalam seyyā: “Bahkan seorang perempuan mungkin lebih baik daripada seorang putra dungu, bodoh.” Dalam pāda d, sassudevā secara literal berarti “memperlakukan ibu mertua(nya) sebagai deva”; Spk menambahkan ayah mertua dalam kemasannya. ↩︎
Dalam pāda b, tidak dapat dipastikan dari teks apakah disampati adalah nominatif atau vokatif, tetapi saya mengikuti Spk, yang mengemasnya sebagai vokatif disājeṭṭhaka. Bersama dengan Be, Se, dan Ee1, saya membaca pāda d sebagai tādisā subhagiyā putto dan sesuai dengan Spk dengan menerjemahkan tādisā seolah-olah adalah kualitas genitif perempuan yang terpotong. Ee1 membaca tādiso yang menerangkan putto. ↩︎
Spk menjelaskan appamāda sebagai kārāpaka-appamāda, “mengaktifkan ketekunan,” yang oleh Spk-pṭ dikatakan sebagai ketekunan yang memotivasi seseorang orang untuk melakukan tiga landasan perbuatan baik (memberi, moralitas, dan meditasi). Spk: Ketekunan, walaupun bersifat duniawi, namun masih merupakan yang tertinggi di antara yang luhur dan kondisi adi-duniawi (yaitu, jhāna, jalan, dan buah) karena merupakan penyebab bagi pencapaiannya. ↩︎
Dalam pāda e, atthābhisamayā dikemas oleh Spk menjadi atthapaṭilābhā. Bait ini sering dikutip oleh komentar, ketika mengomentari formula ekaṃ samayaṃ, untuk menggambarkan samaya dalam makna paṭilābha. Saya berusaha menghindari pengulangan yang tidak berguna dalam menerjemahkan dhīro paṇḍito ti vuccati “yang bijaksana disebut seorang yang memiliki kebijaksanaan” dengan menerjemahkan dhīra menjadi homonimnya, “teguh”; baca n.72. ↩︎
Spk: Meskipun Dhamma telah dibabarkan dengan baik bagi semua orang, namun bagaikan obat yang efektif hanya bagi orang yang meminumnya, demikian pula Dhamma memenuhi fungsinya hanya bagi orang yang berkeyakinan dan mempraktikkannya dan memiliki teman-teman baik, bukan bagi orang jenis lainnya. ↩︎
Kejadian yang diceritakan di sini, termasuk khotbah tentang persahabatan yang baik, dikisahkan pada 45:2. Akan tetapi, versi belakangan, tidak mencantumkan baris “makhluk-makhluk yang mengalami sakit akan terbebas dari sakit” (vyādhidhammā sattā vyādhiyā parimuccanti), yang terdapat pada I 88,23. Catatan penjelasan atas khotbah tambahan ini terdapat di bawah V, nn.5-7. ↩︎
Seṭṭhi adalah orang-orang kaya kreditur uang di kota-kota besar di India Utara. Awalnya adalah ketua serikat kerja, seiring dengan waktu mereka mulai menjalankan fungsi sebagai bank swasta dan sering kali memainkan peran penting dalam urusan politik. Anāthapiṇḍika dikatakan adalah seorang seṭṭhi. Baca Singh, Life in North Eastern India, pp.249-51. Jelas bahwa ketika seorang kaya meninggal dunia tanpa surat wasiat, maka raja berhak atas harta kekayaannya. ↩︎
Satu lakh adalah seratus ribu. Spk menjelaskan kaṇājaka sebagai nasi dengan serbuk merah dari gabah (sakuṇḍakabhatta); tipakkhavasana, sebagai pakaian yang dibuat dengan menjahit tiga potong kain menjadi satu. ↩︎
Seorang Paccekabuddha adalah orang yang mencapai pencerahan tanpa bergantung pada Buddha yang mencapai penerangan sempurna (sammā sambuddha), tetapi tidak seperti seorang Buddha yang mencapai penerangan sempurna, Paccekabuddha tidak mendirikan sàsana, suatu “pengajaran” religius. Mereka dikatakan muncul hanya pada masa tidak ada pengajaran Buddha di dunia. Kisah ini dijelaskan pada Spk dan Dhp-a IV 77-78; baca BL 3:240. sebuah versi pada Ja No. 390 tidak menyebutkan pembunuhan keponakan atau kelahiran kembali di alam neraka. Kisah yang sebagian sama mengenai hinaan terhadap Paccekabuddha Tagarasikhi diceritakan pada Ud 50, 14-19. ↩︎
Baca n.93. ↩︎
Sutta ini tanpa perumpamaan dan syair terdapat pada AN II 85-86; baca juga Pp 51,21 -52,23. Spk: Seseorang berada dalam gelap (tamo) karena ia bergabung dengan kegelapan dengan cara terlahir kembali dalam keluarga rendah, dan ia mengarah menuju gelap (tamoparāyaṇa) karena ia mendekati kegelapan neraka. Seseorang berada dalam terang (joti) karena ia bergabung dengan terang dengan cara terlahir kembali dalam keluarga mulia, dan ia mengarah menuju terang (jotiparāyaṇa) karena ia mendekati cahaya kelahiran kembali di alam surga. ↩︎
Para caṇḍala adalah kelompok yang paling hina dari kasta rendah; baca Singh, Life in North-Eastern India, pp.16-20. Spk mengemas venakula sebagai vilīvakārakula, keluarga penganyam keranjang; kedua pekerjaan terdaftar secara terpisah pada Mil 331. Rathakārakula dikemas menjadi cammakārakula, keluarga pengrajin kulit [Spk-pṭ: karena tali pengikat kereta terbuat dari kulit]; dan pukkusakula sebagai pupphachaḍḍakakula, keluarga dari mereka yang membuang bunga-bunga layu. Mungkin yang terakhir ini termasuk semua tukang sapu dan tukang sampah. ↩︎
Secara literal, “Jika dengan permata-gajah aku dapat menebus, ‘Biarlah nenekku tidak mati,’ aku akan menyerahkan permata-gajah, (berpikir), ‘Semoga nenekku tidak mati.’”
Spk: Ketika ibunya meninggal dunia, neneknya menggantikan tempatnya dan mengasuhnya, karena itu ia sangat menyayangi neneknya. Permata-gajah adalah seekor gajah bernilai 100.000 kahāpaṇa, dengan hiasan yang bernilai sama. Penjelasan yang sama berlaku untuk permata-kuda dan hadiah desa. ↩︎
Cp. Dengan 3:2. Syair-syair ini identik. ↩︎
Kattha nu kho bhante dānaṃ dātabbaṃ. Saya terjemahkan sesuai idiom Pāli, walaupun dalam Bahasa Inggris biasanya kita mengatakan, “Kepada siapakah suatu pemberian harus diberikan?” Spk memberikan kisah latar belakang: Ketika Sang Buddha memulai pengajaranNya, perolehan dan penghormatan besar mengalir kepada Beliau dan Bhikkhu Saṅgha, dan dengan demikian perolehan dari sekte pesaingNya menurun. Guru-guru saingan, bermaksud untuk menodai reputasiNya, memberitahu para perumah tangga bahwa Petapa Gotama menyatakan bahwa pemberian harus diberikan hanya kepadaNya dan para siswaNya, bukan kepada guru-guru lainnya dan murid-murid mereka. Ketika raja mendengar hal ini, ia menyadari bahwa itu adalah kebohongan jahat dan untuk meyakinkan banyak orang sehubungan dengan hal ini, ia mengumpulkan seluruh penduduk pada suatu hari festival dan menanyai Sang Buddha tentang persoalan ini di depan kerumunan itu. ↩︎
Spk menjelaskan: “Seseorang harus memberikan kepada siapa pun yang ia yakini.” Ketika Sang Buddha berkata demikian, raja mengumumkan kepada kerumunan itu: “Dengan satu pernyataan, guru-guru sekte lain telah digilas.” Untuk lebih menjelaskan kebingungan selanjutnya ia bertanya: “Yang Mulia, pikiran bisa saja berkeyakinan terhadap siapa pun – pada Jain, para petapa telanjang, para petapa pengembara, dan sebagainya – tetapi ke manakah suatu pemberian menghasilkan buah besar?” Apa yang mendasari pertanyaan tersebut adalah alasan utama spiritualitas pertapaan India, yaitu, bahwa pemberian yang diberikan kepada mereka yang meninggalkan keduniawian menghasilkan “jasa” (puñña), yang selanjutnya menghasilkan buah (phala) – manfaat duniawi dan spiritual – yang sebanding dengan kemurnian spiritual penerimanya. Mekanisme yang mengatur hubungan antara memberi dan buahnya adalah hukum kamma. Untuk diskusi lengkap mengenai memberi dan imbalannya, baca MN No.142. ↩︎
Lima faktor yang ditinggalkan adalah lima rintangan (pañca nivaraṇā); lima faktor yang dimiliki adalah lima kelompok dari seseorang yang telah melampaui latihan (pañca asekhakkhandhā), asekha adalah Arahant. ↩︎
Spk menyamakan kesabaran (khanti) dengan ketahanan (adhivāsana) dan kelembutan (soracca) dengan Kearahattaan [Spk-pṭ: karena hanya Arahant yang benar-benar lembut (sorata)]. Dhs §1342 mendefinisikan soracca sebagai tanpa-pelanggaran melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, dan sebagai pengendalian sepenuhnya oleh moralitas; tetapi baca n.462. ↩︎
Spk mengatakan bahwa Pasenadi tiba setelah ia baru saja selesai mengeksekusi sekelompok kriminal yang ia tangkap ketika mereka mencoba menyerangnya dan merampas kerajaan. Sang Buddha berpikir, “Jika Aku menegurnya atas perbuatannya yang mengerikan itu, ia akan merasa cemas untuk berdekatan denganKu. Aku akan memberikan nasihat dengan cara tidak langsung.” Saya sependapat dengan C.Rh.D bahwa cerita itu tidak sesuai, dan saya menambahkan bahwa hal itu bahkan mengurangi keseriusan khotbah Sang Buddha. ↩︎
Spk menjelaskan dhammacariyā sebagai sepuluh jalan kamma bermanfaat dan mengatakan bahwa samacariyā, perilaku benar, bermakna sama. ↩︎
Natthi gati natthi visayo adhivattamāne jarāmaraṇe. Spk mengemas gati (= ruang gerak, “ruang”) sebagai nipphatti, keberhasilan [Spk-pṭ: “Intinya tidak ada keberhasilan yang diperoleh melalui peperangan”]; visaya (“cakupan”), sebagai okāsa, kesempatan atau samatthabhāva, kemampuan, “karena adalah tidak mungkin menghalau penuaan dan kematian dengan peperangan ini.” ↩︎