easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anathapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, deva muda bernama Kassapa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā.1 Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhagavā telah memperlihatkan bhikkhu tetapi bukan instruksi kepada bhikkhu.”2

“Baiklah, Kassapa, jelaskanlah hal ini olehmu sendiri.”3

“Ia harus berlatih dalam nasihat yang disampaikan dengan baik, Dan dalam latihan seorang petapa, Dalam tempat duduk yang terasing, sendirian, Dan dalam ketenangan pikiran.”4 <105>

Demikianlah apa yang dikatakan oleh deva muda Kassapa. Sang Guru menyetujui. Kemudian deva muda Kassapa, berpikir, “Sang Guru telah menyetujuiku,” memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Di Sāvatthi. Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Kassapa berkata dalam syair berikut ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Seorang bhikkhu seharusnya adalah seorang meditator, Seorang yang terbebaskan dalam pikiran, Jika ia menginginkan pencapaiannya, Condong pada hal itu sebagai keuntungannya. Setelah mengetahui timbul dan lenyapnya dunia, Pikirannya menjadi luhur dan tidak melekat.”5 [47]

Di Sāvatthī. Pada larut malam, deva muda bernama Māgha, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, <106> dan berkata kepada Sang Bhagavā:6

“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih? Apakah satu hal, O Gotama, Yang merupakan pembunuhan yang Engkau setujui?”

“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; Pembunuhan kemarahan, O Vatrabhū, Dengan akar beracun dan pucuk bermadu: Ini adalah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, Karena setelah membunuh itu, seseorang tidak bersedih.”

Di Sāvatthī. Dengan berdiri di satu sisi, deva muda bernama Māgadha berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Berapakah sumber cahaya di dunia Yang dengannya dunia ini diterangi? <107> Kami mendatangi Sang Bhagavā untuk menanyakan hal ini: Bagaimanakah kami memahaminya?”

“Ada empat sumber cahaya di dunia ini; Yang ke lima tidak ditemukan di sini. Matahari bersinar siang hari, Bulan bersinar di malam hari,

Dan api menyala di sana-sini Baik siang maupun malam hari. Namun Sang Buddha adalah yang terbaik dari semua yang bersinar: Beliau adalah cahaya tanpa tandingan.”

Di Sāvatthī. Pada larut malam, deva muda bernama Dāmali, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Ini harus dilakukan oleh brahmana: Berusaha tanpa lelah, <108> Dengan meninggalkan keinginan indria Ia tidak merindukan penjelmaan.”7

“Bagi brahmana tidak ada tugas yang harus dilakukan, [O Dāmali,” Sang Bhagavā berkata], “Karena brahmana telah melakukan apa yang harus dilakukan. Karena tidak memiliki tempat berpijak di sungai, [48] Seseorang harus berusaha dengan seluruh anggota tubuhnya; Tetapi jika ada tempat berpijak, berdiri di atas tanah, Ia tidak perlu berusaha karena ia telah menyeberanginya.

“Ini adalah perumpamaan bagi brahmana, O Dāmali, Bagi yang tidak bernoda, meditator yang waspada. Setelah mencapai akhir kelahiran dan kematian, Ia tidak perlu berusaha karena ia telah menyeberanginya.”8 <109>

Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Kāmada berkata kepada Sang Bhagavā:

“Sulit dilakukan, Bhagavā! Sangat sulit dilakukan, Bhagavā!” 9

“Mereka melakukan bahkan apa yang sulit dilakukan, [O Kāmada,” Sang Bhagavā berkata,] “Ia yang berlatih yang memiliki moralitas, keuletan. Karena seseorang yang telah memasuki kehidupan tanpa rumah Kepuasan membawa kebahagiaan.”

“Sulit diperoleh, Bhagavā, yaitu, kepuasan.”

“Mereka memperoleh bahkan apa yang sulit diperoleh, [O Kāmada,” Sang Bhagavā berkata,] “Ia yang bergembira dalam menenangkan pikiran, Yang pikirannya, siang dan malam, Bergembira dalam pengembangan.”

“Sulit untuk dikonsentrasikan, Bhagavā, yaitu, pikiran.”

“Mereka mengonsentrasikan bahkan apa yang sulit dikonsentrasikan, [O Kāmada,” Sang Bhagavā berkata,] “Ia yang bergembira dalam menenangkan indria-indria. Setelah merobek jaring Kematian, Para mulia, O Kāmada, berjalan di jalan mereka.”

“Jalan itu tidak dapat dilalui dan tidak rata, Bhagavā.”10 <110>

“Walaupun jalan tidak dapat dilalui dan tidak rata, Para bijaksana menjalaninya, Kāmada. Mereka yang tidak mulia terjatuh dengan kepala terlebih dulu, Persis di sana di jalan yang tidak rata, Namun jalan para mulia adalah rata, Karena yang mulia adalah rata di tengah-tengah yang tidak rata.”

Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Pañcālacaṇḍa melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Ia yang berkebijaksanaan luas sesungguhnya menemukan Bukaan ditengah-tengah kurungan, Sang Buddha yang menemukan jhāna, Sapi jantan pemimpin yang penyendiri, sang bijaksana.”11

“Bahkan di tengah-tengah kurungan mereka menemukannya, [O Pañcālacaṇḍa,” Sang Bhagavā berkata,] <111> “Dhamma untuk mencapai Nibbàna – Mereka yang telah memiliki perhatian, Mereka yang terkonsentrasi sempurna.”12 [49]

Di Sāvatthī. Pada larut malam, deva muda bernama Tāyana, yang sebelumnya adalah pendiri sebuah sekte religius, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā.13 Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Setelah mengerahkan diri, memotong arus! Menyingkirkan keinginan indria, O brahmana! Tanpa meninggalkan keinginan indria, Seorang bijaksana tidak mencapai kesatuan.14

“Jika seseorang melakukan apa yang harus dilakukan, Ia harus dengan teguh mengerahkan dirinya. <112> Karena kehidupan pengembaraan yang kendur Hanya menebarkan lebih banyak debu.

“Perbuatan salah lebih baik ditinggalkan tanpa terselesaikan, Perbuatan yang kelak membawa penyesalan. Perbuatan baik lebih baik dilakukan hingga selesai Yang setelah diselesaikan tidak akan disesali.

“Bagaikan rumput-kusa, yang dipegang secara salah, Hanya akan memotong tangan seseorang, Demikian pula kehidupan pertapaan, yang dijalani secara salah, Akan menarik seseorang ke neraka.

“Perbuatan apa pun yang dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh, Sumpah apa pun yang tidak ditepati, Kehidupan suci yang menimbulkan kecurigaan, Tidak akan menghasilkan buah yang besar.”15

Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda Tāyana. Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, kemarin, pada larut malam, deva muda Tāyana, yang sebelumnya adalah pendiri suatu sekte … <113> … mendatangiKu … dan di hadapanKu mengucapkan syair-syair ini:

“‘Setelah mengupayakan dirinya, memotong arus! … [50] … Tidak akan menghasilkan buah yang besar.’

“Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda Tāyana. Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepadaKu dan, dengan Aku di sisi kanannya, ia lenyap dari sana. Pelajarilah syair-sair Tāyana ini, para bhikkhu. Kuasailah <114> syair-syair Tāyana ini, para bhikkhu. Hapalkanlah syair-syair Tāyana ini, para bhikkhu. Syair-syair Tāyana ini bermanfaat, para bhikkhu, syair-syair ini menyentuh dasar-dasar kehidupan suci.”

Di Sāvatthī. Pada saat itu deva muda Candimā telah ditangkap oleh Rāhu, raja para asura.16 Kemudian, dengan mengingat Sang Buddha, deva muda Candimā pada kesempatan itu melantunkan syair ini:

“Hormat kepadaMu, Sang Buddha! O Pahlawan, Engkau terbebaskan di mana pun juga. Aku telah jatuh menjadi tawanan, Karena itu mohon jadilah perlindungan bagiku.”

Kemudian, dengan merujuk pada deva muda Candimā, Sang Bhagavā berkata kepada Rāhu, raja para asura, dalam syair:

“Candimā telah menyatakan berlindung Kepada Sang Tathāgata, Sang Arahant. Bebaskan Candimā, O Rāhu, Para Buddha berbelas kasih terhadap dunia.”

Kemudian Rāhu, raja para asura, membebaskan deva muda Candimā dan bergegas mendatangi Vepacitti, raja para asura.17 Setelah mendekat, dengan terguncang dan ketakutan, ia berdiri di satu sisi. <115> Kemudian, sambil berdiri di sana, Vepacitti, raja para asura, berkata kepadanya dalam syair:

“Mengapa, Rāhu, engkau datang bergegas? Mengapa engkau membebaskan Candimā? Setelah datang dengan terguncang, Mengapa engkau berdiri di sana ketakutan?”

“Kepalaku akan pecah menjadi tujuh keping, Selagi hidup aku tidak akan merasa nyaman, Jika, setelah disabdakan oleh syair Sang Buddha, Aku tidak membebaskan Candimā.” [51]

Di Sāvatthī. Pada saat itu deva muda Suriya telah ditangkap oleh Rāhu, raja para asura.18 Kemudian, dengan mengingat Sang Buddha, deva muda Suriya pada kesempatan itu melantunkan syair ini:

“Hormat kepadaMu, Sang Buddha! O Pahlawan, Engkau terbebaskan di mana pun juga. Aku telah jatuh menjadi tawanan, Karena itu mohon jadilah perlindungan bagiku.” <116>

Kemudian, dengan merujuk pada deva muda Suriya, Sang Bhagavā berkata kepada Rāhu, raja para asura, dalam syair:

“Suriya telah menyatakan berlindung Kepada Sang Tathāgata, Sang Arahant. Bebaskan Suriya, O Rāhu, Para Buddha berbelas kasih terhadap dunia.

“Selagi bergerak di angkasa, O Rahu, Jangan menelan yang bersinar, Pembuat cahaya dalam kegelapan, Piringan bercahaya akan menjadi gelap. Rāhu, bebaskan anakKu Suriya.”19

Kemudian Rāhu, raja para asura, membebaskan deva muda Suriya dan bergegas mendatangi Vepacitti, raja para asura. Setelah mendekat, dengan terguncang dan ketakutan, ia berdiri di satu sisi. Kemudian, sambil berdiri di sana, Vepacitti, raja para asura, berkata kepadanya dalam syair:

“Mengapa, Rāhu, engkau datang bergegas? Mengapa engkau membebaskan Suriya? Setelah datang dengan terguncang, <117> Mengapa engkau berdiri di sana ketakutan?”

“Kepalaku akan pecah menjadi tujuh keping, Selagi hidup aku tidak akan merasa nyaman, Jika, setelah disabdakan oleh syair Sang Buddha, Aku tidak membebaskan Suriya.”

Di Sāvatthī. Pada larut malam, deva muda bernama Candimasa, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, [52] mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, <118> dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Mereka pasti akan mencapai titik aman Bagaikan rusa di rawa yang bebas dari nyamuk, Ia yang, setelah mencapai jhāna-jhāna, Menyatu, waspada, penuh perhatian.”20

[Sang Bhagavā:]

“Mereka pasti akan mencapai pantai seberang Bagaikan seekor ikan ketika jaring di robek, Ia yang, setelah mencapai jhāna-jhāna, Tekun, dengan cacat ditinggalkan.”21

Di Sāvatthī. Berdiri di satu sisi, deva muda Veṇhu melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:22

“Sungguh bahagia umat manusia Mendengarkan Yang Sempurna Menempuh Sang Jalan, Menerapkan Ajaran Gotama, Yang berlatih dengan tekun.”23 <119>

“Ketika ajaran dibabarkan olehKu, [O Veṇhu,” Sang Bhagavā berkata,] “Para meditator itu yang berlatih di sana, Dengan tekun pada saat yang sesuai, Tidak akan jatuh dalam kuasa Kematian.”

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian pada larut malam, deva muda bernama Dīghalaṭṭhi, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Bambu, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Seorang bhikkhu seharusnya adalah seorang meditator, Seorang yang terbebaskan dalam pikiran, Jika ia menginginkan pencapaiannya, Condong pada hal itu sebagai keuntungannya. Setelah mengetahui timbul dan lenyapnya dunia, <120> Pikirannya menjadi luhur dan tidak melekat.”

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Nandana berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Aku bertanya kepadaMu, Gotama, yang berkebijaksanaan luas - Pengetahuan dan penglihatan Sang Bhagavā adalah tidak terhalangi: [53] Bagaimanakah ia yang disebut bermoral? Bagaimanakah ia yang disebut bijaksana? Bagaimanakah ia yang telah melampaui penderitaan? Bagaimanakah ia yang dipuja oleh para devatā?”

“Seorang yang bermoral, bijaksana, dengan pikiran terlatih, Terkonsentrasi, penuh perhatian, menikmati jhāna, Bagi mereka semua kesedihan lenyap, ditinggalkan, Penghancur-noda membawa jasmani terakhirnya:

“Orang yang demikian disebut bermoral, <121> Orang yang demikian disebut bijaksana, Orang yang demikian telah melampaui penderitaan, Orang yang demikian dipuja oleh para devatā.”

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Candana berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Siapakah di sini yang menyeberangi banjir, Tanpa lelah siang dan malam? Yang tidak tenggelam dalam kedalaman, Tanpa penyokong, tanpa pegangan?”24

“Seseorang yang selalu sempurna dalam moralitas, Memiliki kebijaksanaan, terkonsentrasi baik, Seseorang yang bersemangat dan teguh Menyeberangi banjir yang sulit diseberangi.

“Seseorang yang berhenti dari persepsi indriawi, Yang telah mengatasi belenggu bentuk, <122> Yang telah menghancurkan kegembiraan dalam penjelmaan – Ia tidak tenggelam dalam kedalaman.”25

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Vasudatta melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā dalam syair:

“Bagaikan tertusuk oleh pedang, Bagaikan kepalanya terbakar, Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian Untuk melepaskan nafsu indria.”

“Bagaikan tertusuk oleh pedang, Bagaikan kepalanya terbakar, Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian Untuk melepaskan pandangan diri.”

<123> Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Subrahmā berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:26

“Selalu ketakutan dalam pikiran, Pikiran selalu gelisah [54] Tentang persoalan yang belum muncul Dan tentang persoalan yang telah muncul, Adakah jalan keluar dari ketakutan, Karena ditanya, mohon jelaskan kepadaku.”27

“Tidak terpisah dari pencerahan dan latihan keras, Tidak terpisah dari pengendalian indria-indria, Tidak terpisah dari melepaskan segalanya, Apakah Aku melihat keselamatan bagi makhluk-makhluk hidup.”28

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā … Ia [deva muda itu] lenyap dari sana.

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāketa di Hutan Añjana, Taman Rusa. Kemudian, pada larut malam, deva muda bernama Kakudha, <124> dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Añjana, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Apakah Engkau bergembira, Petapa?”

“Setelah memperolah apakah, sahabat?”

“Kemudian, Petapa, apakah Engkau bersedih?”

“Apakah yang hilang, sahabat?”

“Kemudian, Petapa, apakah Engkau tidak bergembira juga tidak bersedih?”

“Ya, sahabat.”

“Aku berharap agar Engkau tidak terganggu, bhikkhu. Aku berharap tidak ada kegembiraan dalam dirimu. Aku berharap bahwa ketika Engkau duduk sendirian Ketidak-puasan tidak meliputiMu.”29

“Sungguh, Aku tidak terganggu, makhluk halus, Juga tidak ada kegembiraan dalam diriKu. Dan ketika Aku duduk sendirian <125> Ketidak-puasan tidak meliputiKu.”

“Bagaimanakah Engkau tidak terganggu, bhikkhu? Bagaimanakah tidak ada kegembiraan dalam diriMu? Bagaimana mungkin, ketika Engkau duduk sendirian, Ketidak-puasan tidak meliputiMu?”

“Kegembiraan datang pada seseorang yang bersedih, Kesedihan pada seseorang yang penuh dengan kegembiraan, Sebagai seorang bhikkhu yang tidak bergembira, tidak terganggu: Demikianlah seharusnya engkau mengenalKu, sahabat.”

“Setelah sekian lama akhirnya aku bertemu Seorang brahmana yang sepenuhnya padam, Seorang bhikkhu yang tidak bergembira tidak terganggu, Yang telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”30

Di Rājagaha. Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Uttara melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā: [55] <126>

“Kehidupan tersapu, hidup ini singkat; Tidak ada tempat berlindung bagi seseorang yang berusia tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian, Seseorang harus melakukan perbuatan baik yang membawa kebahagiaan.”

“Kehidupan tersapu, hidup ini singkat; Tidak ada tempat berlindung bagi seseorang yang berusia tua. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian, Pencari kedamaian harus melepaskan umpan dunia.”

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Anāthapiṇḍika melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Sungguh ini adalah Hutan Jeta, Tempat bagi Kumpulan para bijaksana, Didiami oleh Sang Raja Dhamma, Tempat yang memberikan kegembiraan kepadaku.

“Perbuatan, pengetahuan, kebajikan, Moralitas, kehidupan yang baik: Dengan inilah umat manusia dimurnikan, <127> Bukan dengan suku atau kekayaan.

“Oleh karena itu seorang yang bijaksana, Demi kebaikannya sendiri, [56] Harus dengan seksama menyelidiki Dhamma: Demikianlah ia dimurnikan di dalamnya.

“Sāriputta sungguh memiliki kebijaksanaan, Memiliki moralitas dan kedamaian. Bahkan seorang bhikkhu yang telah menyeberang Paling jauh hanya dapat menyamainya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda Anāthapiṇḍika. Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, kemarin, ketika malam telah larut, deva muda … mendatangiKu … dan di hadapanKu melantunkan syair-syair ini:

“’Sungguh ini adalah Hutan Jeta, … <128> Paling jauh hanya dapat menyamainya.’

Ini adalah apa yang dikatakan oleh deva muda itu. Setelah mengatakan hal ini, ia memberi hormat kepadaKu dan, dengan Aku di sisi kanannya, ia lenyap dari sana.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, deva muda itu pastilah Anāthapiṇḍika. Karena Anāthapiṇḍika si perumah tangga berkeyakinan penuh terhadap Yang Mulia Sāriputta.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Engkau telah menarik kesimpulan dengan logika.31 Karena deva muda itu, Ānanda, adalah Anāthapiṇḍika.”

<129>

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anathapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, deva muda bernama Siva, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan melantunkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:32

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Ia menjadi lebih baik, tidak mungkin lebih buruk. <130>

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Kebijaksanaan diperoleh, tetapi bukan dari yang lain.

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Ia tidak bersedih di tengah-tengah kesedihan.

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. [57] Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Ia bersinar di tengah-tengah lingkungannya.

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Makhluk-makhluk mengembara ke alam yang baik.

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Makhluk-makhluk berdiam dengan nyaman.” <131>

Kemudian Sang Bhagavā menjawab deva muda Siva dalam syair:

“Seseorang harus bergaul hanya dengan mereka yang baik; Dengan mereka yang baik seharusnya menjalin keakraban. Setelah mempelajari Dhamma sejati dari orang-orang baik, Ia terbebaskan dari segala penderitaan.”

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Khema melantunkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Orang-orang dungu yang hampa dari kebijaksanaan Bersikap bagaikan musuh terhadap diri mereka sendiri. Mereka selalu melakukan perbuatan jahat Yang hanya menghasilkan buah yang pahit.

“Perbuatan itu dilakukan dengan tidak baik Yang, setelah dilakukan, kemudian disesali, Akibat yang akan dialami Menangis dengan wajah basah oleh air mata.

“Tetapi perbuatan yang dilakukan dengan baik Yang, setelah dilakukan , tidak disesali, Akibat yang akan dialami Penuh kegembiraan dengan pikiran bahagia.”33 <132>

[Sang Bhagavā:]

“Seseorang harus segera melakukan perbuatan Yang ia ketahui mengarah kepada kesejahteraannya; Si pemikir, yang bijaksana, seharusnya tidak maju Dengan perenungan sang kusir.

“Bagaikan kusir yang meninggalkan jalan raya, Jalan dengan permukaan yang rata, Dan memasuki jalan kecil yang berlubang Termenung sedih dengan sumbu roda yang patah.

“Demikianlah si dungu, setelah meninggalkan Dhamma Untuk mengikuti jalan yang berlawanan dengan Dhamma, Ketika ia terjatuh ke dalam mulut Kematian Termenung bagaikan si kusir dengan sumbu roda yang patah.”34

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Seri berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair: <133>

“Mereka selalu bergembira dalam makanan, Baik para deva maupun umat manusia. Jadi jenis makhluk apakah itu Yang tidak bergembira dalam makanan?”

“Ketika mereka memberi dengan keyakinan Dengan hati penuh kepercayaan, Makanan akan kembali kepada [si pemberi itu] sendiri Baik di dunia ini maupun di alam berikutnya.

“Oleh karena itu, setelah melenyapkan kekikiran, Sang penakluk noda harus memberikan persembahan. Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di alam lain.” [58]

“Sungguh indah, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Bhagavā:

“’Ketika mereka memberi dengan keyakinan … <134> [Ketika mereka muncul] di alam lain.”

“Suatu ketika di masa lampau, Yang Mulia, Aku adalah seorang raja bernama Seri, seorang pemberi, seorang dermawan, seorang yang memuji perbuatan memberi. Di empat gerbang aku telah memberi kepada para petapa, brahmana, orang-orang miskin, pengembara dan pengemis. Kemudian, Yang Mulia, para perempuan harem mendatangiku dan berkata: ‘Baginda memberikan persembahan, tetapi kami tidak memberikan persembahan. Alangkah baiknya jika, dengan bantuan Baginda, kami juga dapat memberikan persembahan dan melakukan perbuatan baik.’ Aku berpikir: ‘Aku adalah seorang pemberi, seorang dermawan, seorang yang memuji perbuatan memberi. Maka ketika mereka mengatakan: “Mari kita memberikan persembahan,” Apakah yang dapat kukatakan kepada mereka?’ Maka, Yang Mulia, aku memberikan gerbang pertama kepada para perempuan harem. Di sana para perempuan harem memberikan persembahan, dan persembahanku kembali kepadaku. <135>

“Kemudian, Yang Mulia, para pengikutku dari kasta khattiya mendatangiku dan berkata: ‘Baginda memberikan persembahan, para perempuan harem memberikan persembahan, tetapi kami tidak memberikan persembahan. Alangkah baiknya jika, dengan bantuan Baginda, kami juga dapat memberikan persembahan dan melakukan perbuatan baik.’ Aku berpikir: ‘Aku adalah seorang pemberi …’ Maka, Yang Mulia, aku memberikan gerbang ke dua kepada para pengikut khattiya. Di sana para pengikut khattiya memberikan persembahan, dan persembahanku kembali kepadaku.

“Kemudian Yang Mulia, para pajuritku mendatangiku … [59] … Maka, Yang Mulia, aku memberikan gerbang ke tiga kepada para prajurit. Di sana para prajurit memberikan persembahan, dan persembahanku kembali kepadaku. <136>

“Kemudian Yang Mulia, para brahmana dan perumah tangga mendatangiku … Maka, Yang Mulia, aku memberikan gerbang ke empat kepada para brahmana dan perumah tangga. Di sana para brahmana dan perumah tangga memberikan persembahan, dan persembahanku kembali kepadaku.

“Kemudian, Yang Mulia, orang-orangku mendatangiku dan berkata: ‘Sekarang Baginda tidak memberikan persembahan di mana pun.’35 Ketika hal ini dikatakan, aku berkata kepada orang-orangku: ‘Baiklah, aku berkata, kirimkan setengah dari pendapatan yang dihasilkan dari propinsi jauh hingga ke istana. Berikan setengahnya sebagai persembahan kepada para petapa, brahmana, orang-orang miskin, pengembara dan pengemis.’

“Aku tidak terbatas, Yang Mulia, dalam hal perbuatan baik yang kulakukan sejak lama, dalam hal perbuatan bermanfaat yang kulakukan sejak lama, <137> sehingga aku dapat mengatakan: ‘Hanya kebajikan sebanyak itu,’ atau ‘Hanya akibat perbuatan baik sebanyak itu,’ atau ‘Hanya selama itu aku berdiam di alam surga.’ Sungguh indah, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa baiknya hal ini dinyatakan oleh Bhagavā:

“’Ketika mereka memberi dengan keyakinan Dengan hati penuh kepercayaan, Makanan akan kembali kepada [si pemberi itu] sendiri Baik di dunia ini maupun di alam berikutnya.

“‘Oleh karena itu, setelah melenyapkan kekikiran, Sang penakluk noda harus memberikan persembahan. Perbuatan berjasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di alam lain.’” [60]

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Ghaṭikara melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā: …

340-352 “Tujuh bhikkhu terlahir kembali di Avihā Telah terbebaskan sempurna…” … (syair 340-52 = syair 170-82, pada 1:50) <138-41> … Keduanya sekarang batinnya terkembang Pembawa jasmani terakhir mereka. [61]

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika sejumlah bhikkhu sedang menetap di antara penduduk Kosala di gubuk kecil di hutan di lereng Himalaya – gelisah, congkak, tinggi hati, berkata-kata kasar, berbicara tidak menentu, kebingungan, tanpa pemahaman jernih, tidak terkonsentrasi, berpikiran kacau, kendur dalam indria-indrianya.36

Kemudian, pada hari Uposatha tanggal lima belas, deva muda Jantu mendatangi para bhikkhu itu dan berkata kepada mereka dalam syair:37

“Di masa lalu para bhikkhu hidup bahagia, Para siswa Gotama. Tanpa keinginan mereka mengumpulkan dana makanan, Tanpa keinginan mereka menggunakan tempat tinggal mereka. Setelah mengetahui ketidak-kekalan dunia, Mereka mengakhiri penderitaan.

“Tetapi sekarang bagaikan kepala desa di sebuah desa Mereka membuat diri mereka susah diatur. Mereka makan dan makan dan kemudian berbaring. <142> Tergila-gila pada rumah orang lain.38

“Setelah dengan tulus menghormati Saṅgha, Di sini aku hanya mengatakan tentang beberapa bhikkhu, Mereka ditolak, tanpa pelindung, Menjadi seperti mati.39

“Pernyataanku dilakukan dengan merujuk Pada mereka yang lengah. Sedangkan kepada mereka yang tekun, Kepada mereka aku dengan rendah-hati memberi hormat.”

Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Rohitassa berkata kepada Sang Bhagavā:

“Mungkinkah, Yang Mulia, dengan melakukan perjalanan untuk mengetahui atau untuk melihat atau untuk mencapai akhir dunia, di mana seseorang tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali?” <143>

“Sehubungan dengan akhir dunia, sahabat, di mana seseorang tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali – Aku mengatakan bahwa hal itu tidak dapat diketahui, dilihat, atau dicapai dengan melakukan perjalanan.”40

“Sungguh indah, Yang Mulia!, sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā mengatakan hal ini dengan baik sekali: ‘Sehubungan dengan akhir dunia, sahabat, … Aku mengatakan bahwa hal itu tidak dapat diketahui, dilihat, atau dicapai dengan melakukan perjalanan.’

“Suatu ketika di masa lampau, Yang Mulia, aku adalah seorang bijaksana bernama Rohitassa, putra Bhoja, memiliki kekuatan gaib, mampu berjalan di angkasa. [62] Kecepatanku adalah demikian, Yang Mulia, bahwa aku dapat bergerak secepat busur pemanah yang kokoh – terlatih, terampil, berpengalaman – dapat dengan mudah menembak tembus bayangan pohon palem dengan anak panah ringan.41 Langkahku adalah demikian, Yang Mulia, mencapai dari lautan timur hingga lautan barat. Kemudian, Yang Mulia, aku berkeinginan: ‘Aku akan melakukan perjalanan menuju akhir dunia.’ <144> Dengan memiliki kecepatan dan langkah demikian, dan dengan umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, aku melakukan perjalanan selama seratus tahun, tanpa henti kecuali untuk makan, minum, untuk buang air, tidur dan melenyapkan kelelahan; namun aku meninggal dunia dalam perjalanan itu tanpa mencapai akhir dunia.

“Sungguh indah, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā mengatakan hal ini dengan baik sekali: ‘Sehubungan dengan akhir dunia, sahabat, di mana seseorang tidak terlahir, tidak menjadi tua, tidak mati, tidak meninggal dunia, dan tidak terlahir kembali - Aku mengatakan bahwa hal itu tidak dapat diketahui, dilihat, atau dicapai dengan melakukan perjalanan.’”

“Namun demikian, sahabat, Aku mengatakan bahwa tanpa mencapai akhir dunia, tidak ada akhir penderitaan. Sahabat, hanya dalam <145> jasmani ini yang memiliki persepsi dan pikiran Aku mengetahui dunia, asal-mula dunia, lenyapnya dunia, dan jalan menuju lenyapnya dunia.42

“Akhir dunia tidak mungkin dicapai Dengan melakukan perjalanan [melewati dunia], Namun tanpa mencapai akhir dunia Tidak ada kebebasan dari penderitaan.

“Oleh karena itu, sesungguhnya, yang mengetahui dunia, yang bijaksana, Telah pergi ke akhir dunia, yang menunaikan kehidupan suci, Setelah mengetahui akhir dunia, dengan ketenangan, Tidak merindukan dunia ini atau dunia lainnya.”

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Nanda melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Waktu terus berjalan, malam demi malam berlalu dengan cepat; Tahap-tahapan kehidupan berturut-turut meninggalkan kita. Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, Seseorang harus melakukan perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan."

“Waktu terus berjalan, malam demi malam berlalu dengan cepat; Tahap-tahapan kehidupan berturut-turut meninggalkan kita. [63] Melihat dengan jelas bahaya dalam kematian ini, Pencari kedamaian harus melepaskan umpan dunia.” <146>

Sambil berdiri di satu sisi, deva muda Nandivisāla berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:

“Memiliki empat roda dan sembilan pintu, Dipenuhi dan terikat dengan keserakahan, Terlahir dari lumpur, O pahlawan besar! Bagaimanakah seseorang membebaskan diri darinya?”

“Setelah memotong tali dan pengikat, Setelah memotong segala keinginan jahat dan keserakahan, Setelah mencabut ketagihan sampai ke akarnya: Demikianlah seseorang membebaskan diri darinya.”

<147> Di Sāvatthī. Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian berkata kepadanya: “Apakah engkau juga, Ānanda, menyetujui Sāriputta?”43

“Sesungguhnya, Yang Mulia, Siapakah yang tidak menyetujui Yang Mulia Sāriputta, jika ia tidak dungu, penuh kebencian, tertipu, atau gila? Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia, bijaksana, seorang yang memiliki kebijaksanaan tinggi, memiliki kebijaksanaan luas, memiliki kebijaksanaan gembira, memiliki kebijaksanaan cepat, memiliki kebijaksanaan tajam, memiliki kebijaksanaan penembusan.44 Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia, memiliki sedikit keinginan; ia puas, penyendiri, mengasingkan diri, bersemangat. Yang Mulia Sāriputta, Yang Mulia, adalah seorang yang memberi nasihat, seorang yang menerima nasihat, pencela, seorang yang mencela kejahatan. Sesungguhnya, Yang Mulia, Siapakah yang tidak menyetujui Yang Mulia Sāriputta, jika ia tidak dungu, penuh kebencian, tertipu, atau gila?” [64]

“Demikianlah, Ānanda, memang demikian! Sungguh, Ānanda, Siapakah yang tidak menyetujui Sāriputta, jika ia tidak dungu, penuh kebencian, tertipu, atau gila? Sāriputta, Ānanda, bijaksana … (seperti di atas) <148> … jika ia tidak gila?”

Kemudian, ketika pujian kepada Yang Mulia Sāriputta ini diucapkan, deva muda Susīma, disertai oleh sejumlah besar deva muda, mendatangi Sang Bhagavā.45 Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Demikianlah, Bhagavā! Memang demikian, Yang Sempurna! Memang demikian, Yang Mulia, Siapakah yang tidak menyetujui Yang Mulia Sāriputta … (seperti di atas) <149> … jika ia tidak gila? Dalam kasusku juga, Yang Mulia, tidak peduli kelompok deva muda manakah yang kudatangi, aku sering mendengar laporan yang sama: ‘Yang Mulia Sāriputta bijaksana … seorang yang mencela kejahatan. Sesungguhnya, Siapakah yang tidak menyetujui Yang Mulia Sāriputta, jika tidak dungu, penuh kebencian, tertipu, atau gila?”

Kemudian, ketika pujian kepada Yang Mulia Sāriputta ini sedang diucapkan, para deva muda dalam kelompok Susīma – gembira, bersukacita, dipenuhi kegirangan dan kegembiraan – memancarkan cahaya aneka warna.46 Bagaikan permata beryl – indah, berkualitas tinggi, bersegi delapan, yang dikerjakan oleh ahlinya – ketika diletakkan di atas kain brokat, bersinar dan memancar dan bercahaya, <150> demikian pula para dewa muda dalam kelompok Susīma [65] … memancarkan cahaya aneka warna.

Dan bagaikan perhiasan emas terbaik – yang dengan sangat terampil dibakar di atas tungku oleh seorang pandai emas yang cakap – ketika diletakkan di atas kain brokat, bersinar dan memancar dan bercahaya, demikian pula para dewa muda dalam kelompok Susīma … memancarkan cahaya aneka warna.

Dan bagaikan, ketika malam berakhir, bintang pagi bersinar dan memancar dan bercahaya, demikian pula para deva muda dalam kelompok Susīma … memancarkan cahaya aneka warna.47

Dan bagaikan di musim gugur, ketika langit bersih tanpa awan, matahari naik ke langit, <151> menghalau kegelapan di angkasa ketika ia bersinar dan memancar dan bercahaya,48 demikian pula para deva muda dalam kelompok Susīma – gembira, bersukacita, dipenuhi kegirangan dan kegembiraan – memancarkan cahaya aneka warna.

Kemudian, dengan merujuk pada Yang Mulia Sāriputta, deva muda Susīma melantunkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Ia dikenal luas sebagai orang bijaksana, Sàriputta, yang bebas dari kemarahan; Memiliki sedikit keinginan, lembut, jinak, Sang bijaksana yang dihias oleh pujian Sang Guru.”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan merujuk pada Yang Mulia Sāriputta, menjawab deva muda Susīma dalam syair:

“Ia dikenal luas sebagai orang bijaksana, Sāriputta, yang bebas dari kemarahan; Memiliki sedikit keinginan, lembut, jinak, Terkembang, dijinakkan dengan baik, ia menunggu waktu.”49

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian pada larut malam, sejumlah <152> deva muda, siswa dari guru-guru berbagai sekte – Asama dan Sahalī dan Niṅka dan Ākoṭaka dan Vetambarī dan Māṇavagāmiya - dengan keindahan memesona, [66] menerangi seluruh Hutan Bambu, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.50

Kemudian, sambil berdiri di satu sisi, deva muda Asama mengucapkan syair ini merujuk pada Pūraṇa Kassapa di hadapan Sang Bhagavā:

“Dalam melukai dan membunuh di sini, Dalam memukul dan menindas, Kassapa tidak melihat kejahatan Juga tidak melihat kebaikan apa pun bagi seseorang. Ia sesungguhnya mengajarkan apa yang layak dipercaya: Guru itu layak dihargai.”51

Kemudian deva muda Sahalī mengucapkan syair ini merujuk pada Makkhali Gosāla di hadapan Sang Bhagavā:52

“Dengan latihan keras dan kehati-hatian <153> Ia mencapai pengendalian-diri sepenuhnya. Ia meninggalkan perdebatan dengan orang lain, Menghindari kebohongan, pembicara kebenaran. Seorang demikian pasti tidak melakukan kejahatan.”53

Kemudian deva muda Niṅka mengucapkan syair ini merujuk pada Nigaṇṭha Nātaputta di hadapan Sang Bhagavā:

“Seorang bhikkhu yang melihat dengan hati-hati, Terkendali baik oleh empat pengendalian, Menjelaskan apa yang dilihat dan didengar: Pastilah, ia tidak mungkin seorang pelaku kejahatan.”54

Kemudian deva muda Ākoṭaka mengucapkan syair ini merujuk pada guru-guru berbagai sekte di hadapan Sang Bhagavā:

“Pakudhaka Kātiyāna dan Sang Nigaṇṭha, Bersama dengan Makkhali dan Pūraṇa: Para guru dari banyak orang, mencapai ketinggian pertapaan: Mereka pastilah tidak jauh dari manusia luar biasa.”55 <154>

Kemudian deva muda Vetambarī menjawab deva muda Ākoṭaka dalam syair:

“Bahkan dengan melolong, si serigala malang Tetap hanyalah binatang buas yang buruk, tidak sebanding dengan singa. Maka walaupun ia adalah guru dari sekelompok orang, Petapa telanjang, pembicara kepalsuan, Menimbulkan kecurigaan dengan perilakunya, Tidak menyerupai manusia luar biasa.”56 [67]

Kemudian Māra si Jahat merasuki deva muda Vetambarī dan melantunkan syair di hadapan Sang Bhagavā:57

“Mereka yang mempraktikkan latihan keras dan kehati-hatian, Mereka yang melindungi kesunyian mereka, Dan mereka yang menempati bentuk, Bergembira di alam para deva: <155> Sungguh, orang-orang ini dengan benar mengajarkan Sehubungan dengan dunia lain.”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memahami, “Ini adalah Māra si Jahat,” menjawab Mara si Jahat dalam syair:

“Bentuk apa pun yang ada di sini atau mendatang, Dan semua keindahan gemilang di langit, Semua ini, sesungguhnya, engkau puji, Namuci, Bagaikan umpan yang dilemparkan untuk menangkap ikan.”58

Kemudian di hadapan Sang Bhagavā, deva muda Māṇavagāmiya melantunkan syair-syair ini merujuk pada Sang Bhagavā:

“Vipula disebut sebagai yang terbaik di antara gunung-gunung Di antara bukit-bukit di Rājagaha, Seta, gunung berselimut salju yang terbaik, Matahari, pengembara terbaik di angkasa.

“Samudra adalah air yang terbaik, Bulan, yang terbaik dari cahaya malam, <156> Tetapi di dunia ini beserta para deva-nya Sang Buddha adalah yang tertinggi.”


Catatan Kaki
  1. Devaputta secara literal berarti “putra para deva”, namun karena para deva digambarkan muncul di alam surga melalui kelahiran secara spontan, saya menerjemahkan kata majemuk itu sebagai “deva muda”

    Spk: Mereka terlahir kembali di pangkuan (aṅka) para deva. Yang laki-laki disebut putra deva (devaputtā); yang perempuan, putri deva (devadhītaro). Jika namanya tidak diketahui, maka disebut “devatā tertentu” (seperti pada saṃyutta sebelumnya); tetapi yang namanya diketahui, mereka disebut sebagai “putra deva bernama anu” (seperti di sini). Spk-pt: Pernyataan terakhir ini hanya sebagai generalisasi, bagi identitas beberapa devatā yang diketahui. ↩︎

  2. Spk: Ketika Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma di Surga Tāvatiṃsa selama vassa ke tujuh setelah pencerahan sempurna, deva muda ini mendengar Beliau memberikan gambaran seorang bhikkhu (seperti pada Vibh 245-46), tetapi tidak mendengarkan instruksi Beliau kepada bhikkhu tersebut, nasihat-nasihat Beliau kepada bhikkhu tersebut, “Berpikir seperti ini, bukan seperti itu; perhatikan seperti ini, bukan seperti itu; tinggalkan ini, masuk dan berdiamlah di sana” (seperti pada DN I 214, 18-21). Ia berbicara sehubungan dengan ini. ↩︎

  3. Taññev’ ettha paṭibhātu. Secara literal “Pikirkanlah sendiri olehmu sehubungan dengan ini.” Sepanjang karya ini saya telah menerjemahkan ungkapan Pāli yang aneh ini, dan berbagai variasinya, dalam berbagai cara terbaik sesuai gaya penulisan dalam Bahasa Inggris yang wajar. ↩︎

  4. Nasihat yang disampaikan dengan baik (subhāsitassa). Spk menginterpretasikan ini dengan makna bahwa seseorang harus melatih dirinya dalam empat ucapan benar (baca di bawah 8:5; juga MN I 288,1-22), (dan dalam percakapan) sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia, sepuluh topik diskusi yang bermanfaat (baca MN III 113,25-31), dan tiga-puluh-tujuh bantuan untuk mencapai pencerahan sempurna. Bagi saya sepertinya lebih mungkin intinya adalah bahwa seseorang harus berlatih sesuai dengan nasihat yang baik.

    Spk memberikan dua interpretasi samaṇupāsana dalam pāda b: (i) bahwa yang harus diperhatikan oleh seorang petapa, yaitu, satu dari tiga-puluh-delapan subjek meditasi (baca n.133); dan (ii) melayani seorang petapa, yaitu, melayani para bhikkhu terpelajar untuk meningkatkan kebijaksanaannya. Yang pertama lebih masuk akal. Penenangan pikiran (cittūpasama) adalah latihan melalui delapan pencapaian meditatif (aṭṭhasamāpatti). ↩︎

  5. Dalam pāda b, saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca ce bukannya ca seperti dalam Ee1. Saya menafsirkan sintaksis berputar dari syair ini sesuai dengan Spk. Spk menjelaskan bahwa ia harus terbebaskan dalam pikiran (vimuttacitto) melalui kebebasan (sementara) dengan mencurahkan segenap usahanya pada subjek meditasi [Spk-pṭ: kebebasan melalui pandangan terang dan jhāna, yang merupakan kebebasan jenis sementara, karena pada tahap ini ia masih belum mencapai Kearahattaan, kebebasan pikiran sepenuhnya]. Pencapaian hati (hadayassānupatti) adalah Kearahattaan, yang juga adalah manfaat (ānisaṃsa) yang padanya ia harus mengarah. ↩︎

  6. Spk: Māgha adalah nama Sakka, yang menanyakan pertanyaan yang sama di bawah dan memperoleh jawaban yang sama (di vv. 939-40), Itu adalah sebuah turunan dari nama Magha, nama yang dikenal pada kehidupannya sebagai manusia. Ia disebut Vatrabhū karena ia menjadi penguasa di antara para deva dengan cara mengatasi yang lainnya dengan perilakunya (vattena aññe abhibhavati), atau karena ia menaklukkan asura bernama Vatra. Nama-nama ini tidak disebutkan di antara nama-nama Sakka pada 11:12↩︎

  7. Dengan “brahmana” ia merujuk pada Arahant. Spk: deva muda ini percaya bahwa tidak ada akhir dalam tugas-tugas Arahant dan bahwa Arahant harus terus berusaha bahkan setelah mencapai Kearahattaan. Sang Buddha memberikan jawaban ini untuk meluruskannya. Syair Sang Buddha unik (asaṅkiṇṇa) dalam Tipiṭaka, karena tidak ada di mana pun Sang Buddha mengkritisi usaha, namun di sini Beliau berkata demikian untuk menunjukkan bahwa ada akhir dari tugas-tugas Arahant. ↩︎

  8. Kata kerja āyåūhati, ditemukan dalam 1:1, baca n.2. Melampaui (pāragata) adalah mencapai Nibbāna. ↩︎

  9. Spk: Deva muda ini, dikatakan, adalah seorang meditator pada kehidupan sebelumnya, tetapi ia memiliki kekotoran yang tebal dan dengan demikian tidak mampu menekannya hanya dengan usaha sebanyak itu. Walaupun ia melakukan tugas-tugas seorang petapa, karena kondisi pendukungnya lemah maka ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam deva tanpa mencapai kemuliaan. Ia mendatangi Sang Bhagavā untuk menyatakan sulitnya kehidupan pertapaan. ↩︎

  10. Spk: Walaupun jalan mulia bukanlah tidak dapat dilalui juga bukan tidak rata (duggamo visamo), ini dikatakan karena ada banyak rintangan dalam tahap persiapan dari Sang Jalan. ↩︎

  11. Pada AN IV 449-51 Yang Mulia Ānanda memberikan penjelasan terperinci dari syair ini. Tulisan kata dalam bentuk aoris dalam pāda b dan c berbeda antara berbagai edisi, namun tidak mempengaruhi maknanya. Spk menjelaskan bahwa ada dua jenis kurungan (sambādha): kurungan oleh lima rintangan dan kurungan oleh lima utas kenikmatan indria, yang pertama adalah apa yang dimaksudkan di sini. Bukaan (okāsa) adalah sebutan bagi jhāna. Akan tetapi, dalam analisis yang diberikan oleh Ānanda, kurungan dan bukaan dijelaskan secara berurutan: pertama-tama lima utas kenikmatan indria disebut kurungan dan jhāna pertama sebagai bukaan; kemudian vitakka-vicàra adalah kurungan dan jhāna kedua sebagai bukaan; dan seterusnya, memuncak pada hancurnya āsava sebagai bukaan yang terakhir.

    Sapi jantan pemimpin yang terasing (paṭilīnanisabho): Sang Buddha disebut sapi jantan pemimpin pada 1:38. Pada AN II 41, 29-32 seorang bhikkhu juga disebut sebagai paṭilīna, “terasing,” ketika ia telah meninggalkan keangkuhan “aku”. ↩︎

  12. “Dhamma untuk mencapai Nibbāna” (dhammaṃ nibbānapattiyā) diduga adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Spk-pṭ: Deva muda ini telah mencapai jhāna pertama dalam kehidupan sebelumnya. Ia mengucapkan syair ini untuk memuji Sang Bhagavā karena mencapai kebahagiaan jhāna. Jawaban Sang Buddha dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa jhāna pertama hanyalah sekeping kualitas seorang Buddha yang tidak terbatas dan tidak terukur. Dengan perhatian (sati) ia merujuk pada perhatian pandangan terang dan jalan mulia. Terkonsentrasi baik (susamāhita) menunjukkan baik konsentrasi duniawi maupun konsentrasi adi-duniawi. ↩︎

  13. Spk menjelaskan “sekte religius” (tittha) sebagai enam-puluh-dua pandangan (dari Brahmajāla Sutta, DN No. 1). Jika ia mendirikan suatu sekte berdasarkan pada salah satu dari pandangan-pandangan ini, bagaimana ia bisa terlahir di alam surga? Karena ia meyakini doktrin kamma dan melakukan banyak perbuatan baik. Ketika ia terlahir kembali di alam surga, ia mengenali kualitas membebaskan dari ajaran Buddha dan menghadap Sang Guru untuk melantunkan syair yang memuji usaha yang selaras dengan ajaran itu. ↩︎

  14. Dalam pāda a, parakkamma adalah bentuk absolutif, bukan imperatif (bentuk perintah), dan karena itu sesuai makna harus mendahului chinda sotaṃ. Parakkamma, kata benda yang bersesuaian, adalah unsur ke tiga dari kelompok tiga istilah yang menggambarkan tahapan berturut-turut dalam pengembangan usaha: ārambhadhātu, nikkamadhātu, parakkamadhātu; pada 46:2, 46:51 kata-kata ini telah menerjemahkan “unsur bangkitnya, unsur usaha, unsur pengerahan.” ↩︎

  15. Spk menjelaskan saṅkassaraṃ dalam pāda c sebagai saṅkāya saritaṃ, “teringat dengan curiga”: “Mengalami keragu-raguan dan kecurigaan, ‘Ia pasti telah melakukan ini, ia pasti telah melakukan itu.’” ↩︎

  16. Candimā adalah deva yang menetap di istana di bulan; kata itu sendiri biasanya berarti bulan. Jelas penangkapannya oleh Rāhu mewakili peristiwa gerhana bulan. ↩︎

  17. Walaupun Rāhu dan Vepacitti dijelaskan sebagai “raja para asura” (asurinda), sepertinya Vepacitti adalah atasan dan Rāhu adalah bawahannya. Vepacitti adalah musuh abadi Sakka, raja para deva, seperti terlihat pada 11:4, 11:5, 11:23 dan 35:248↩︎

  18. Suriya (biasanya berarti matahari) adalah deva yang menetap di istana di matahari. Di sini peristiwa gerhana matahari digambarkan. Spk, setelah mengesankan kita dengan ukuran fisik Rāhu, memberikan pandangan menarik tentang pandangan Buddhis kuno mengenai gerhana: Ketika Rāhu melihat matahari dan bulan bersinar terang, ia menjadi iri dan memasuki orbit mereka, di mana ia berdiri dengan mulut terbuka lebar. Kemudian terlihat seolah-olah istana bulan dan matahari masuk ke dalam neraka, dan para deva di dalam istana itu semuanya berteriak ketakutan. Walaupun Rāhu dapat menutup istana itu dengan tangannya, rahangnya, dan lidahnya, dan bahkan dapat menutup dengan pipinya, namun ia tidak mampu menghalangi gerakannya. Jika ia mencobanya, maka istana itu akan membelah kepalanya dan bergerak menembus kepalanya atau menariknya dan mendorongnya [Spk-pṭ: karena gerakan mereka ditentukan oleh hukum kamma dan sangatlah sulit bagi siapa pun untuk menghentikannya secara langsung]. ↩︎

  19. Pajaṃ mama. Spk: Disebutkan bahwa pada hari Sang Buddha membabarkan Mahāsamaya Sutta (DN No.20) dua deva muda Candimā dan Suriya mencapai buah Memasuki-Arus. Karena itu Sang Buddha mengatakan “anakKu,” yang berarti “Ia adalah anak (spiritual)Ku.” Dugaan C.Rh.D (dalam KS 1:72, n.2) bahwa Sang Buddha menyebut demikian adalah sehubungan dengan (legenda) diriNya yang adalah keturunan matahari sepertinya tidak mungkin. ↩︎

  20. Spk mengemas kacche va pada pāda b sebagai kacche viya, “seperti ketiak” [Spk-pṭ: dalam arti suatu tempat yang terkurung]. Spk: Kaccha (yang digunakan secara metafora) berarti jalan setapak sempit di gunung atau penyempitan di sungai (nadīkaccha). ↩︎

  21. Spk: Dengan cacat ditinggalkan (raṇañjahā): dengan kekotoran ditinggalkan (kilesañjahā). Dalam MLDB, dalam terjemahan MN No.139, araṇa diterjemahkan “bukan-konflik” atau “tanpa-konflik,” dan sa-raṇa “dengan konflik”. Akan tetapi, sementara baik dalam Pāli maupun Sanskrit raṇa dapat berarti perang atau konflik, komentator Pāli secara konsisten mengemasnya sebagai raja-kilesa, “debu, kekotoran.” Demikianlah dalam Ps V 32 tertulis sa-raṇo ti sarajo sakileso, araṇo ti arajo nikkileso. Baca juga v.585c dan n.398↩︎

  22. Saya mengadopsi Se dan Ee2 Veṇhu daripada Be dan Ee1 Veṇḍu; tulisan Veṇṇu dalam SS, mungkin adalah bentuk sejarah. Nama ini adalah persamaan dalam Pāli dari Skt Viṣṇu; mungkin deva muda ini adalah purwarupa dari Dewa Hindu. ↩︎

  23. Tulisan dalam pāda c meragukan: Be dan Se membaca yuñjaṃ (bentuk jamak dari kata kerja yang digunakan sebagai kata benda yang dimodifikasi?), Ee1 & 2 yiñja, dan SS yajja. VĀT mengusulkan bentuk absolutif yujja. ↩︎

  24. Pertanyaan dan jawaban ditemukan, dengan beberapa perbedaan, pada Sn 173-75. saya bersama dengan Se, Ee2, dan Sn 173 membaca pāda a sebagai ko sū ‘dha, bukannya kathaṃ su seperti dalam Be dan Ee1; Skt menuliskan pada Ybhūṥ 10:1 ka etam oghaṃ tarati (Enomoto, CSCS, p.52). Spk menjelaskan pāda c dari pertanyaan: di bawahnya tanpa penyokong (appatiṭṭhe), di atas tanpa pegangan (anālambe dalam teks, anālambane dalam kemasannya). Kata Pāli patiṭṭhitā dan ālambana (atau ārammaṇa) memiliki nuansa ajaran penting; baca n.2 di atas dan 12:38-40 dan 22:53-54↩︎

  25. Dalam pāda c, saya bersama dengan Ee1 dan SS membaca nandībhavaparikkhīṇo, bukannya nandīrāgaparikkhīṇo seperti dalam Be, Se, dan Ee2 (dalam teks dan juga Spk). kemasan Spk pada nandīrāga di sini (tayo kammābhisaṅkhārā) sangat bersesuaian dengan kemasannya atas nandibhāva dalam v.2 (baca n.8) bahwa kita boleh menganggap bahwa teks asli yang dimiliki oleh komentator tertulis –bhava- bukannya –rāga-. Sn 175 juga membaca –bhava-, seperti versi syair yang dituliskan pada Nett 146,22.

    Spk: Dengan penyebutan persepsi indria (kāmasaññā) yang dimaksudkan adalah lima belenggu yang lebih rendah; dengan belenggu bentuk (rūpasaṃyojana) yang dimaksudkan adalah lima belenggu yang lebih tinggi; dengan kegembiraan dalam penjelmaan, yang dimaksudkan adalah tiga jenis bentukan kehendak kamma (buruk, baik, netral – baca 12:51). Dengan demikian seseorang yang telah melepaskan sepuluh belenggu dan tiga bentukan kamma tidak tenggelam di dalam kedalaman, dalam banjir besar. Atau dengan kata lain: persepsi indria menyiratkan penjelmaan alam-indria; belenggu bentuk, kehidupan di alam berbentuk; dan kehidupan alam tanpa bentuk disiratkan oleh dua yang pertama. Kegembiraan dalam penjelmaan, menandakan tiga jenis bentukan kamma. Dengan demikian seseorang yang tidak menghasilkan tiga jenis bentukan kehendak sehubungan dengan tiga alam kehidupan tidak tenggelam dalam kedalaman. ↩︎

  26. Spk: Deva muda ini sedang bermain-main di Hutan Nandana bersama dengan kelompoknya seribu bidadari. Lima ratus bidadari memanjat pohon dan bernyanyi dan melemparkan bunga-bunga ketika mereka tiba-tiba meninggal dunia dan terlahir kembali di Neraka Avīci. Ketika deva muda itu menyadari bahwa mereka hilang dan mengetahui bahwa mereka telah terlahir kembali di alam neraka, ia memeriksa daya vitalnya sendiri dan melihat bahwa ia dan lima ratus bidadari lainnya akan meninggal dunia dalam tujuh hari dan akan terlahir kembali di alam neraka. Karenanya, dengan sangat ketakutan, ia mendatangi Sang Buddha mencari penghiburan.

    Kisah ini (bersama dengan sair-syairnya) juga diceritakan dalam dua komentar atas Satipaṭṭhāna Sutta (Sv III 750,3-27; Ps I 235,16 – 236,3). Akan tetapi, terlepas dari komentar, saya lebih suka menganggap pertanyaan deva muda itu sebagai suatu ungkapan kekhawatiran mendalam terus-menerus di tengah-tengah situasi kehidupan manusia (dan para deva). ↩︎

  27. Dalam pāda c, saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca kicchesu, bukannya kiccesu (tugas-tugas) seperti dalam Ee1 dan SS tertentu. Kicchesu didukung dengan lebih baik oleh komentar dalam Spk: imesu uppannānuppannesu dukkhesu, “penderitaan ini baik yang telah muncul maupun yang belum muncul.” ↩︎

  28. Saya dan Be membaca dalam pāda a: nāññatra bojhā tapasā. Tulisan bojjhaṅga-tapasā dalam Se dan Ee1 & 2 mungkin telah berubah ke dalam teks dari penulisan komentar dalam Spk, yang paling dapat dipahami dalam tulisan Be: Nāññatara bojjhā tapasā ti bojjhaṅgabhāvanañ ca tapoguṇañ ca aññatra muñcitvā sotthiṃ na passāmi. Spk-pṭ lebih jauh mendukung tulisan ini dengan mengemas bojjhā menjadi bodhito dan menjelaskannya sebagai bentuk ablatif. Versi Skt yang dituliskan pada Ybhūś 5:2 menuliskan jñānatapaso (Enomoto, CSCS, p.8).

    Spk: Walaupun pengembangan faktor-faktor pencerahan disebutkan pertama dan pengendalian indria disebutkan setelahnya, namun pengendalian indria harus dipahami terlebih dulu. Karena ketika ini disebutkan, yang dimaksudkan adalah empat pemurnian moral (baca Vism 15,29 – 16,16; Ppn 1:42). Setelah kokoh di sini, seorang bhikkhu menjalankan praktik pertapaan, di sini disebut latihan keras (tapa), memasuki hutan, dan dengan mengembangkan subjek meditasi ia mengembangkan faktor-faktor pencerahan bersama dengan pandangan terang. Kemudian Jalan Mulia muncul dalam dirinya dengan Nibbāna sebagai objeknya; yang terakhir adalah apa yang dimaksudkan dengan melepaskan segalanya (sabbanissagga). [Spk-pṭ: Karena di sini segalanya yang terdiri dari bentukan-bentukan dilepaskan.] Demikianlah Sang Bhagavā membabarkan khotbah kepada seseorang tentang Empat Kebenaran Mulia, pada akhir khotbah itu deva muda itu mencapai buah Memasuki-Arus.

    Spk-pṭ: Walaupun di sini hanya pencapaiannya sendiri yang disebutkan, namun harus dimengerti bahwa lima ratus bidadari itu juga mencapai buah Memasuki-Arus; ini disebutkan dalam komentar atas Mahāsatipaṭṭhāna Sutta.

    Spk maupun Spk-pṭ tidak mengomentari satu kalimat prosa yang mengikuti syair tersebut (dalam Be: idam avoca, pa, that’ eva antaradhāyī ti). Mungkin deva muda itu telah memperoleh suatu dorongan keterdesakan sehingga ia segera kembali ke alam deva untuk berlatih sesuai dengan nasihat Sang Buddha. Versi Skt memiliki syair tambahan, yang terjemahannya adalah sebagai berikut:

    Setelah sekian lama akhirnya aku bertemu

    Seorang brahmana yang sepenuhnya padam,

    Yang telah pergi melampaui segala permusuhan dan ketakutan

    (sarvavairabhayātītaṃ),

    Yang telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia.

    (Ybhūś 5:3, Enomoto, CSCS, p.8) ↩︎

  29. Teks ini menunjukkan variasi antara anagho, anigho, dan anīgho dalam pāda a dari syair vv.305-7. Ee2 secara keseluruhan menggunakan anigho↩︎

  30. Syair ini berbeda dengan v.1 hanya dalam pāda c. ↩︎

  31. Yāvatakaṃ kho Ānanda takkāya pattabbaṃ anupattaṃ taṃ tayā. Secara literal, “Apa pun yang dapat diketahui melalui logika, Ānanda, yang terpikir olehmu.” Spk: Sang Buddha menceritakan kunjungan deva muda itu tanpa menyebutkan namanya untuk menunjukkan kemampuan besar dari kecerdasan Bhikkhu Ānanda dalam hal menarik kesimpulan. ↩︎

  32. Spk tidak mengomentari nama deva muda ini, yang mungkin merupakan purwarupa dari dewa Hindu Siva. ↩︎

  33. Saya mengikuti Se, yang menambahkan akhiran ti setelah syair ke tiga dan menganggap bahwa ketiga syair berikutnya berasal dari Sang Buddha. Tidak ada perubahan pembicara ditunjukkan dalam Be atau Ee1. ↩︎

  34. Vv.330-31 dikutip pada Mil 66-67. Dalam v.330c saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca sākaṭikacintāya; mantā dalam pāda d pasti berbentuk nominatif dari kata benda pelaku mantar. Dalam v.331a saya mengikuti Se dan Ee1 & 2, yang membaca panthaṃ, bukannya maṭṭhaṃ seperti dalam Be; Mil (Ee dan Se) membaca nāma (kesalahan?). Spk mengemas pāda d: akkhachinno va jhāyati ti akkhachinno avajhāyati, yang mengusulkan bahwa bukanlah penekanan ketidak-munduran melainkan sebuah awalan verbal. Akan tetapi, Spk, menganggap bahwa va dalam v.332d mewakili viya. Mengenai maccumukha (dalam v.332c) sebagai “mulut Kematian” bukannya “wajah Kematian”, baca Ja IV 271,7, Ja V 479,29, dan Vism 233,21-22 (Ppn 8:20). ↩︎

  35. Spk: koci = katthaci. Koci dalam pengertian ini mungkin adalah bentuk ringkas dari kvaci↩︎

  36. Spk: Kegelisahan (uddhatā): watak gelisah karena melihat apa yang tidak diperbolehkan dan tercela sebagai diperbolehkan dan tanpa cela (menurut Vinaya), dan sebaliknya. Congkak (unmaḷā): penuh keangkuhan bagaikan buluh (tanpa inti kayu) yang tegak. Tinggi hati (capalā): dengan menghias mangkuk dan jubahnya, dan sebagainya. Mukharā = mukhakharā (“mulut-kasar”): bertutur-kata kasar. Berbicara tidak menentu (vikaṇṇavācā): ucapannya tidak terkendali, berbicara tanpa tujuan sepanjang hari. Kebingungan (muṭṭhassatino): kehilangan perhatian, tanpa perhatian, lupa atas apa yang telah mereka lakukan. Tanpa pemahaman jernih (asampajānā): tanpa kebijaksanaan. Tidak terkonsentrasi (asamāhitā): tanpa konsentrasi akses dan konsentrasi penyerapan, bagaikan perahu yang hanyut oleh arus deras. Melamun (vibbhantacittā, secara literal “dengan pikiran mengembara”): bagaikan rusa dungu di jalan raya. Lengah dalam indria (pākatindriyā): dengan indria terbuka karena kurangnya pengendalian, seperti ketika mereka masih menjadi orang-orang awam. ↩︎

  37. Spk: Deva muda itu menyadari bahwa nasihatnya tidak akan berguna jika ia mendatangi masing-masing bhikkhu itu satu demi satu, dan karena itu ia mendatangi mereka ketika mereka telah berkumpul untuk melakukan upacara Uposatha. (baca n.513). ↩︎

  38. Spk: Melalui ketergila-gilaan oleh kekotoran [Spk-pṭ: oleh ketagihan], mereka tergila-gila pada menantu-perempuan, dan sebagainya, di rumah orang lain. ↩︎

  39. Dalam pāda b, saya bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca vadāmahaṃ, bukannya vandāmahaṃ seperti dalam Ee1. Ee1 memiliki tulisan awal dalam syair yang sama dengan v.794b.

    Spk: Bagaikan mayat, dibuang ke tanah pemakaman, dimakan oleh berbagai binatang pemangsa dan bahkan sanak saudara mereka tidak melindungi atau menjaga mereka, demikianlah orang-orang itu ditolak, tanpa perlindungan, dalam hal mereka tidak mendapatkan instruksi atau nasihat apa pun dari penahbis dan guru mereka. Mereka bagaikan mati. ↩︎

  40. Spk: Rohitassa mengajukan pertanyaan ini mengenai akhir dunia sehubungan dengan dunia sebagai planet bumi (cakkavāḷa-loka), tetapi Sang Bhagavā menjawab sehubungan dengan dunia bentukan-bentukan (saṅkhāra-loka). ↩︎

  41. Penggambaran umum tentang pemanah ini juga terdapat pada 20:6 (II 265, 27 – 266, 2). Spk: Daḷhadhammo = daḷhadhanu; memiliki busur berukuran maksimum (uttamappamāṇena dhanunā samannāgato). Bentuk jamak daḷhadhammino muncul di bawah pada v.708b. Pada EV I, n. atas 1210, Norman mengusulkan bahwa bentuk ini pasti dipinjam dari suatu dialek di mana –nv- >` -mm- bukannya –nn-. MW memberikan dua kata Skt yang bermakna “dengan busur kokoh,” dṛḍhadhanvan dan dṛḍhadhanvin. Kita boleh menganggap ini adalah yang lebih dulu muncul dalam Pāli sebagai daḷhadhamma, yang berikutnya sebagai daḷhadhammin; baca juga n.488. Pengembangan serupa yang mempengaruhi homonim dhanvan (=gurun); baca n.264↩︎

  42. Spk mengemas loka dengan dukkhasacca dan masing-masing dari istilah lainnya melalui tiga kebenaran mulia lainnya. Demikianlah Sang Buddha menunjukkan: “Aku tidak mengajarkan empat kebenaran ini dalam benda-benda eksternal seperti rumput dan kayu, melainkan di sini dalam jasmani yang terdiri dari empat unsur utama.”

    Ucapan singkat Sang Buddha ini, yang mungkin merupakan dalil yang paling mendalam dalam sejarah pemikiran manusia, dijelaskan pada 35:116 oleh Yang Mulia Ānanda, yang menjelaskan bahwa dalam Disiplin Yang Mulia “dunia” adalah “bahwa dalam dunia yang dengannya seseorang merupakan pengamat dan pemikir dari dunia,” yaitu, enam landasan indria. Dari penjelasan Ānanda kita dapat menarik implikasi berikut ini: Dunia yang dengannya fokus utama ajaran Sang Buddha adalah “dunia pengalaman,” dan bahkan dunia objektif adalah menarik hanya sejauh bahwa ia berfungsi sebagai kondisi eksternal bagi pengalaman. Dunia diidentifikasikan dengan enam landasan indria karena enam landasan ini adalah kondisi internal yang perlu bagi pengalaman dan dengan demikian untuk adanya dunia. Selama enam landasan indria ada, dunia akan selalu membentang di hadapan kita sebagai wilayah objektif dari persepsi dan kognisi. Dengan demikian seseorang tidak mungkin mencapai akhir dunia dengan melakukan perjalanan, karena ke mana pun seseorang pergi, ia pasti membawa enam landasan indria, yang perlu untuk mengungkapkan dunia hingga ke segala penjuru. Namun demikian, dengan membalik arah pencarian, adalah mungkin untuk mencapai akhir dunia. Karena jika dunia ini pada akhirnya berawal dari enam landasan indria, maka dengan mengakhiri enam landasan indria, adalah mungkin tiba di akhir dunia.

    Sekarang enam landasan indria itu adalah terkondisi, muncul dari serangkaian kondisi yang berakar pada ketidaktahuan dan ketagihan seseorang (baca 12:44 = 35:107). Dengan demikian, dengan melenyapkan ketidaktahuan dan ketagihan, maka kemunculan kembali enam landasan indria dapat dicegah, dan bersamaan dengan itu manifestasi dunia terhenti. Akhir dunia ini tidak dapat dicapai dengan melakukan perjalanan, namun dapat sampai di sana dengan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pengembangan Sang Jalan secara sempurna menghasilkan lenyapnya ketidaktahuan dan ketagihan, dan dengan lenyapnya itu, landasan yang mendasarinya juga lenyap bagi timbulnya enam indria yang baru, dan bersamaan dengan itu juga untuk kemunculan kembali dari dunia. Untuk komentar filosofis yang panjang atas sutta ini oleh Ñāṇananda, baca SN-Anth 2:70-85. ↩︎

  43. Spk: Sang Buddha mengajukan pertanyaan ini karena Beliau ingin memuji Bhikkhu Sāriputta. Beliau memilih untuk berbicara dengan Ānanda karena kedua bhikkhu itu adalah sahabat akrab dan memiliki penghormatan mendalam atas moralitas satu sama lain, dan Beliau mengetahui bahwa Ānanda akan menjawab dengan cara yang benar. ↩︎

  44. Kata-kata pujian ini diucapkan oleh Sang Buddha sendiri mengenai Sāriputta pada MN III 25,6-10. Spk menjelaskan: Bijaksana (paṇḍita) berarti seseorang yang memiliki empat jenis keterampilan (kosalla) – dalam unsur-unsur, dalam landasan-landasan indria, dalam kemunculan bergantungan, dan dalam apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin (MN III 62,4-6).

    Rangkaian definisi berikutnya, yang berlanjut hingga beberapa halaman, ditarik dari Paṭis II 190-202. Di sini saya hanya memberikan cuplikannya: Seseorang berkebijaksanaan tinggi (mahāpañña) ketika ia memiliki moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, dan seterusnya yang tinggi, berkediaman tinggi dan pencapaian meditatif yang tinggi, pengembangan yang tinggi dalam hal tiga-puluh-tujuh sarana untuk mencapai pencerahan, jalan dan buah yang tinggi, pengetahuan langsung yang tinggi, dan pencapaian Nibbāna, tujuan akhir yang tinggi. Seseorang berkebijaksanaan luas (puthupañña) ketika pengetahuannya muncul sehubungan dengan bermacam-macam kelompok unsur kehidupan, unsur-unsur, landasan-landasan indria, dan sebagainya. (Jelas Paṭis menganggap kata Pāli puthu berasal dari Veda prthak, “berbeda,” tetapi prthu, “luas”, lebih mungkin adalah arti sebenarnya.) Seseorang berkebijaksanaan gembira (hāsapañña) ketika ia memenuhi semua tahap latihan dengan penuh kegembiraan, inspirasi, sukacita, dan kegirangan. Seseorang berkebijaksanaan cepat (javanapaña) ketika ia dengan cepat memahami seluruh lima kelompok unsur kehidupan sebagai tidak kekal, penuh penderitaan, dan bukan-diri. Seseorang berkebijaksanaan tajam (tikkhapañña) jika ia dengan cepat memotong semua kekotoran dan menembus empat jalan dan buah dalam satu kali duduk. Seseorang berkebijaksanaan penembusan (nibbedhikapañña) ketika, dengan penuh kejijikan terhadap segala bentukan, ia menembus dan memecahkan bongkahan keserakahan, kebencian, dan delusi yang belum ditembus sebelumnya. Sebutan-sebutan ini, dan jenis-jenis kebijaksanaan lainnya, diuraikan pada 55:62-74↩︎

  45. Spk: Ketika Sang Tathāgata dan Bhikkhu Ānanda memuji Bhikkhu Sāriputta demikian, para deva di 10.000 sistem dunia bangkit dan memujinya dengan enam belas sebutan yang sama. Kemudian deva muda Susīma, yang sebelumnya (sebagai manusia) adalah seorang murid dari Sāriputta, memutuskan untuk menghadap Sang Bhagavā bersama dengan kelompoknya dan melantunkan pujian yang sama kepada penahbisnya.

    Spk tidak mengatakan apakah Susīma ini identik dengan tokoh utama dari 12:70. Deva muda bernama Susīma juga disebutkan pada 11:2 sebagai pengikut Sakka. ↩︎

  46. Spk: Di tempat lain uccāvaca berarti: ucca = baik (paṇīta) + avaca = rendah (hīna). Tetapi di sini berarti berbagai macam (nānāvidhā), sebagai keterangan tambahan dari vaṇṇanibhā. Karena deva muda biru dalam kelompok itu menjadi sangat biru, dan demikian pula dengan deva muda kuning, merah, dan putih menjadi sangat kuning, merah, dan putih. Untuk mengilustrasikan ini empat perumpamaan itu diberikan. ↩︎

  47. Be dan Ee2 memasukkan di sini frasa saradasamaye viddhe vigatavalāhake deve, tetapi karena ini sepertinya adalah penyisipan yang berdasarkan pada paragraf berikutnya, maka saya mengikuti Se dan Ee1, yang menghilangkannya. ↩︎

  48. Perumpamaan ini muncul kembali pada 22:102 dan 45:147. Spk mengemasnya *nabhaṃ abbhussakkamāno (*seperti pada Be) dengan ākāsaṃ abhilaṅghanto dan mengatakan ini menunjukkan “waktu lembut matahari” [Spk-pṭ: waktu ketika matahari tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi]. Kata kerja abbhussakkati berasal dari akar sakk, dan tidak berhubungan dengan kata sifat sukka yang diduga oleh Geiger. ↩︎

  49. Saya dan SS membaca pāda d sebagai berikut: kālaṃ kaṅkhati bhāvito sudanto. Tulisan ini diusulkan oleh VĀT, yang menulis: “Kata ke tiga telah dihilangkan oleh Be dan Se, tidak diragukan dengan keyakinan bahwa ini adalah sebuah Ṥloka pāda (akan tetapi, gagal mengatur iramanya). Tetapi jika seseorang menganggapnya sebagai sebuah Aupacchandasaka pāda, maka tidak perlu menghilangkan apa pun. Konfirmasi diperoleh dari Sn 516, perubahan dari sa danto menjadi sudanto menjadi lebih sesuai untuk konteks yang berbeda.”

    Spk tidak memberikan bantuan dengan tulisan tetapi menjelaskan maknanya: “Ia menunggu waktunya parinibbāna. Karena Arahant tidak bergembira dalam kematian atau menginginkan kehidupan; ia merindukan waktu bagaikan seorang pekerja menunggu upah hariannya.” Spk kemudian mengutip Th 1003, yang menjelaskan penggantian bhāvito menjadi bhatiko dalam Ee1. Untuk mendapatkan baris Sloka, Ee2 mempertahankan bhāvito namun menghapus sudanto. ↩︎

  50. Spk: “Para deva muda ini adalah pendukung kamma; oleh karena itu mereka melakukan perbuatan baik dan terlahir kembali di alam surga. Berpikir bahwa mereka telah terlahir kembali karena keyakinan mereka pada guru mereka masing-masing, mereka menghadap Sang Buddha untuk melantunkan syair-syair pujian terhadap guru-guru itu.” Baik Pūraṇa Kassapa maupun Makkhali Gosāla mengajarkan doktrin yang berlawanan dengan ajaran Buddha mengenai kamma; ajaran mereka dikelompokkan di antara pandangan-pandangan yang umumnya mengarah kepada kelahiran kembali yang buruk. ↩︎

  51. Syair ini adalah pernyataan ringkas dari doktrin Pūrana Kassapa tentang bukan-perbuatan (akiriyavāda), baca DN I 52,22 – 53,4 dan 24:6 (dalam sumber terakhir tidak ada sumber dari pandangan disebutkan). Kisah terperinci dari ajaran-ajaran dari enam “guru berpandangan salah” (yang empat di antaranya disebutkan di sini dan seluruh enam disebutkan di bawah pada 3:1) dapat ditemukan dalam Sāmaññaphala Sutta, DN No.2; untuk terjemahan dengan komentar, baca Bodhi, The Discourse on the Fruits of Recluseship, khususnya pp.6-9, 19-26, 69-86. Spk menuliskan: “Dalam menyatakan bahwa tidak ada akibat dari kejahatan atau kebaikan, ia mengajarkan kepada makhluk-makhluk apa yang dapat dipercaya sebagai landasan, penyokong; oleh karena itu ia layak menerima penghargaan, penghormatan, pujaan.” ↩︎

  52. Makkhali Gosāla adalah pendiri dan pemimpin sekte petapa yang dikenal sebagai Ājivika. Karena ajaran tanpa-penyebab (ahetukavàda) darinya, juga disebut “pemurnian dengan mengembara” (saṃsārasuddhi), baca DN I 53,25 -54,21 dan 24:7. Kisah lengkap mengenai kehidupan dan ajarannya dapat ditemukan dalam Basham, History and Doctrines of the Ājivikas. ↩︎

  53. Syair ini menyinggung gaya praktik pertapaan Makkhali, tetapi, anehnya, tidak menyebutkan ajarannya. Spk menjelaskan latihan kerasnya (tapa) sebagai penyiksaan fisik dan kehati-hatiannya (jigucchā) sebagai kejijikan terhadap kejahatan [Spk-pṭ: menjalani sumpah telanjang, dan sebagainya, dengan kepercayaan bahwa hal ini adalah cara untuk melenyapkan kejahatan]. Penjelasan ini menunjukkan bahwa Spk menganggap tapojigucchā di sini sebagai kata majemuk dvanda kolektif, “latihan keras dan kehati-hatian,” dan demikianlah saya menerjemahkannya. Akan tetapi, Sv III 834,37 mengomentari DN III 40,13 – 52,22 (di mana Sang Buddha memberikan analisis panjang mengenai bagaimana tapoijgucchā adalah tidak sempurna dan sempurna (aparipuṇṇā, paripuṇṇā)), menjelaskan kata majemuk tersebut sebagai tappurisa yang berarti “kehati-hatian melalui latihan keras”: Tapojigucchā ti viriyena pāpaijgucchā pāpavivajjanā; “Latihan keras – kehati-hatian: kehati-hatian sehubungan dengan kejahatan, penghindaran kejahatan, dengan mengerahkan usaha.” Tapassi dan jegucchī (kata benda yang bersesuaian dari rujukan personal) digunakan untuk menunjuk faktor-faktor terpisah dari “empat kehidupan suci” Bodhisatta yang dipraktikkan sebelum pencerahanNya pada MN I 77,23-27 dan 78,32-36. Baca juga Basham, pp.109-15, untuk penjelasan mengenai pertapaan Ājivika. ↩︎

  54. Nigaṇṭha Nātaputta identik dengan Mahāvira, leluhur Jainisme. Disiplinnya yaitu pengendalian dengan empat kekang (cātuyāmasaṃvara) dijelaskan dalam DN I 57,25-27 dan MN I 377,1-2. Pada MLDB, p.482, formula itu diterjemahkan: “(ia) dikekang oleh semua kekangan, dijepit oleh semua kekangan, dibersihkan oleh semua kekangan, dan dituntut oleh semua kekangan.” Dipertanyakan apakah teks ini atau komentarnya (Sv I 168-69, Ps III 58-59) menggambarkan tradisi Jaina yang asli. ↩︎

  55. Pakudhaka Kātiyāna adalah ejaan alternatif dari Pakudha Kaccāyana, yang ajarannya tentang tujuh tubuh (sattakāya) dijelaskan dalam DN I 56,21 – 57,34 dan dalam 24:8. Spk mengatakan bahwa pernyataan “mereka tidak jauh dari manusia unggul” sesungguhnya berarti, bahwa mereka adalah manusia unggul (sappurisa), yaitu, ariya atau para mulia. ↩︎

  56. Dalam pāda a, Be dan Se membaca sahācaritena; Ee1 membaca sagāravena, dikoreksi dalam Ee2 menjadi sahāravena, “bersama dengan lolongan(nya).” Spk-pṭ mendukung ini: “Dengan hanya melolong dengan auman singa; yaitu, serigala (tidak setara dengan singa) hanya dengan melolong pada saat yang sama dengan seekor singa mengaum.” Serigala dan singa adalah pasangan klasik yang berlawanan dalam literatur India kuno; baca Ja No. 143 dan 335, di mana seekor serigala mati setelah berusaha keras meniru kekuatan singa dalam berburu, dan khususnya Ja No.172, di mana seekor serigala memuat sekelompok singa muda menjadi malu dan terdiam dengan meniru auman mereka. ↩︎

  57. Spk: Māra berpikir, “Ia telah mencela guru-guru lain. Aku akan membuatnya memuji mereka dari mulutnya sendiri.” ↩︎

  58. Namuci adalah nama Māra, yang mana Spk-pṭ (atas 4:1) menjelaskan sebagai bermakna “ia tidak bebas” (na muci): vaṭṭadukkhato aparimuttapaccayattā namuci; “Ia disebut Namuci karena ia tidak membiarkan seseorang terbebas dari lingkaran penderitaan.” Spk menuliskan pernyataan Sang Buddha: “Bagaikan seorang nelayan yang melemparkan umpan di ujung kailnya untuk menangkap ikan, demikian pula, dengan memuji bentuk-bentuk ini, engkau melemparkan mereka untuk menangkap makhluk-makhluk hidup.” Baca 35:230↩︎