S i 1
Khotbah yang berhubungan dengan Devatā
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
Edisi lain:
Pāḷi (vri)
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, satu devatā tertentu, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Bagaimanakah, Yang Mulia, Engkau menyeberangi banjir?”1
“Dengan tidak berdiam diri, teman, dan dengan tidak memaksakan diri Aku menyeberangi banjir.”2
“Tetapi, bagaimanakah, Yang Mulia, bahwa dengan tidak berdiam diri dan tidak memaksakan diri Engkau menyeberangi banjir?”
“Ketika Aku diam, teman, maka Aku tenggelam; tetapi ketika aku memaksakan diri, maka Aku hanyut. Dengan cara inilah, teman, bahwa dengan tidak berdiam diri dan tidak memaksakan diri Aku menyeberangi banjir.”3 <2>
[Devatā:]
“Setelah sekian lama akhirnya aku menemukan Seorang Brahmana yang telah padam sepenuhnya, Yang dengan tidak berdiam diri, tidak memaksakan diri, Telah menyeberangi kemelekatan pada dunia ini.”4
Itu adalah apa yang dikatakan oleh devatā itu.5 Sang Guru menyetujui. Kemudian devatā itu, berpikir, “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanannya, lenyap dari sana. [2]
<3>
Di Sāvatthī. Ketika malam telah larut, satu devatā tertentu yang keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:
“Tahukah Engkau, Yang Mulia, pembebasan, pelepasan, keterasingan bagi makhluk-makhluk?”6
“Aku tahu, teman, pembebasan, pelepasan, keterasingan bagi makhluk-makhluk.”
“Tetapi dengan cara apakah, Yang Mulia, engkau mengetahui pembebasan, pelepasan, keterasingan bagi makhluk-makhluk?”
[Sang Bhagavā:]
“Dengan kehancuran total dari kegembiraan akan penjelmaan,7 Dengan padamnya persepsi dan kesadaran, Dengan lenyapnya dan tenangnya perasaan:
<4>
Demikianlah, teman, Aku mengetahui bagi makhluk-makhluk – Pembebasan, pelepasan dan keterasingan.”8
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Kehidupan tersapu, umur kehidupan adalah singkat; Tidak ada naungan bagi seseorang yang telah mencapai usia tua. Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini, Seseorang harus melakukan perbuatan baik yang membawa kebahagiaan.”9
[Sang Bhagavā:]
“Kehidupan tersapu, umur kehidupan adalah singkat; Tidak ada naungan bagi seseorang yang telah mencapai usia tua. Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini, Pencari kedamaian harus menjatuhkan umpan dunia.”10
[3]
<5>
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Waktu berlalu, malam demi malam dengan cepat berlalu; Tahapan-tahapan kehidupan berturut-turut meninggalkan kita.11 Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini, Seseorang harus melakukan perbuatan berjasa yang membawa kebahagiaan.”
[Sang Bhagavā:]
“Waktu berlalu, malam-malam dengan cepat berlalu; Tahapan-tahapan kehidupan berturut-turut meninggalkan kita. Melihat dengan jelas, bahaya kematian ini, Pencari kedamaian harus menjatuhkan umpan dunia.”
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
Berapa banyakkah yang harus dipotong oleh seseorang, berapa banyakkah yang harus ditinggalkan, Dan berapa banyak lagikah yang harus dikembangkan? Ketika seorang bhikkhu telah mengatasi berapa banyak ikatankah Ia disebut seorang penyeberang banjir?”
[Sang Bhagavā:]
“Seseorang harus memotong lima, meninggalkan lima, Dan harus mengembangkan lima lagi. Seorang bhikkhu yang telah mengatasi lima ikatan Disebut seorang penyeberang banjir.”12
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Berapa banyakkah yang tidur sementara [yang lainnya] terjaga? Berapa banyakkah yang terjaga sementara [yang lainnya] tidur? Dengan berapa banyakkah seseorang mengumpulkan debu? Dengan berapa banyakkah seseorang dimurnikan?”
[Sang Bhagavā:]
“Lima tertidur sementara [yang lainnya] terjaga; Lima terjaga sementara [yang lainnya] tertidur. Dengan lima hal seseorang mengumpulkan debu, Dengan lima hal seseorang dimurnikan.”13
[4]
<7>
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka yang belum menembus hal-hal, Yang mungkin berpindah kepada ajaran yang lain, Tertidur lelap, mereka belum terjaga: Sekarang adalah waktunya bagi mereka untuk terjaga.”14
[Sang Bhagavā:]
“Mereka yang telah menembus hal-hal dengan baik, Yang tidak mungkin berpindah kepada ajaran yang lain, Mereka yang telah terjaga, telah mengetahui dengan benar, Berjalan lurus di tengah-tengah yang tidak lurus.”15
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka yang sama sekali kacau terhadap hal-hal, Yang mungkin berpindah kepada ajaran yang lain,
<8>
Tertidur lelap, mereka belum terjaga: Sekarang adalah waktunya bagi mereka untuk terjaga.”
[Sang Bhagavā:]
“Mereka yang tidak kacau terhadap hal-hal, Yang tidak mungkin berpindah kepada ajaran yang lain, Mereka yang telah terjaga, telah mengetahui dengan benar, Berjalan lurus di tengah-tengah yang tidak lurus.”
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Tidak ada penjinakan di sini bagi seseorang yang menggemari keangkuhan, Juga tidak ada kebijaksanaan bagi yang tidak terkonsentrasi: Walaupun berdiam sendirian di dalam hutan, lengah, Ia tidak dapat menyeberang melewati alam Kematian.”16
[Sang Bhagavā:]
“Setelah meninggalkan keangkuhan, terkonsentrasi baik, Dengan pikiran luhur, terbebaskan di mana pun:
<9>
Selagi berdiam sendirian di dalam hutan, tekun, Ia dapat menyeberang melewati alam Kematian.”17[5]
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka yang berdiam jauh di dalam hutan, Damai, menjalani kehidupan suci, Makan hanya satu kali sehari: Mengapakah kulit mereka begitu jernih?”18
[Sang Bhagavā:]
“Mereka tidak meratapi masa lampau, Juga tidak merindukan masa depan. Mereka memelihara diri mereka dengan apa yang ada sekarang: Karena itu kulit mereka begitu jernih.
“Dengan merindukan masa depan, Dengan meratapi masa lampau, Si dungu mengering dan layu Bagaikan sebatang buluh hijau yang ditebang.”
<10>
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapinḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”
“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā mengatakan ini:
“Suatu ketika di masa lalu, satu devatā tertentu dari kelompok Tāvatiṃsa sedang bersukaria di Taman Nandana, <11>
memiliki lima kenikmatan indriawi alam surga, disertai sekelompok bidadari. Pada kesempatan itu ia mengucapkan syair ini:
“‘Mereka tidak mengetahui kebahagiaan Jika belum pernah melihat Nandana, Alam para dewa agung laki-laki Dari kelompok Tiga Puluh Tiga.’19
[6]
“Ketika ia mengucapkan ini, satu devatā lainnya menjawab dengan syair ini:
“‘Tidakkah engkau tahu, dungu, Pepatah para Arahant? Semua bentukan adalah tidak kekal; Bersifat muncul dan lenyap, Setelah muncul, kemudian lenyap: Penenangannya adalah kebahagiaan.’”20
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā: <12>
“Ia yang memiliki anak bersukacita karena anak-anaknya, Ia yang memiliki sapi gembira karena sapinya. Perolehan sungguh adalah sukacita manusia; Tanpa perolehan maka seseorang tidak bersukacita.”21
[Sang Bhagavā:]
“Ia yang memiliki anak bersedih karena anaknya, Ia yang memiliki sapi bersedih karena sapinya. Perolehan sungguh adalah kesedihan manusia; Tanpa perolehan maka seseorang tidak bersedih.”
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Tidak ada kasih sayang yang menyamai kasih sayang terhadap anak, Tidak ada kekayaan yang menyamai sapi, Tidak ada cahaya yang menyamai matahari, Di antara air, samudra adalah yang tertinggi.”22
[Sang Bhagavā:]
“Tidak ada kasih sayang yang menyamai kasih sayang terhadap diri sendiri, Tidak ada kekayaan yang menyamai padi, Tidak ada cahaya yang menyamai kebijaksanaan, Di antara air, hujan adalah yang tertinggi.”
<13>
“Khattiya adalah yang terbaik di antara makhluk berkaki dua, Banteng, adalah yang terbaik di antara makhluk berkaki empat; Seorang gadis perawan adalah yang terbaik di antara para istri, Yang pertama lahir, adalah yang terbaik di antara para putra.”23
“Sang Buddha adalah yang terbaik di antara makhluk berkaki dua, Kuda, adalah yang terbaik di antara makhluk berkaki empat; Perempuan yang patuh adalah yang terbaik di antara para istri, Putra yang patuh, adalah yang terbaik di antara para putra.”
[7]
“Ketika siang hari berakhir Dan burung-burung telah pulang,
<14>
Hutan yang lebat mengeluh sendiri: Betapa menakutkannya terlihat olehku!”24
“Ketika siang hari berakhir Dan burung-burung telah pulang, Hutan yang lebat mengeluh sendiri: Betapa indahnya terlihat olehku!”
“Kantuk, kelesuan, kemalasan,
<15>
Tidak puas, ketumpulan setelah makan; Karena hal ini, di antara makhluk-makhluk di sini, Jalan mulia tidak muncul.”
“Kantuk, kelesuan, kemalasan, Tidak puas, ketumpulan setelah makan; Ketika seseorang menyingkirkan hal ini dengan usaha, Jalan mulia dibersihkan.”25
“Kehidupan pertapaan adalah sulit untuk dipraktikkan Dan sulit bagi yang tidak layak untuk menahankannya, Karena banyak rintangan di sana Di mana si dungu tenggelam ke dalamnya.”
“Berapa harikah seseorang dapat mempraktikkan hidup bertapa Jika ia tidak mengekang pikirannya? Ia harus tenggelam dalam setiap langkah Di bawah kendali kehendaknya.26
“Menarik masuk pemikiran-pemikiran pikiran Seperti seekor kura-kura menarik anggota badannya ke dalam cangkangnya,
<16>
Tidak bergantung, tidak mengganggu orang lain, padam sepenuhnya, Seorang bhikkhu tidak akan menyalahkan siapa pun.”27
“Adakah seseorang di suatu tempat di dunia ini Yang terkendali oleh rasa malu, Ia yang menarik mundur dari celaan Seperti yang dilakukan kuda yang baik dari cambukan?”28
“Sangat sedikit mereka yang terkendali oleh rasa malu Yang bepergian dengan selalu penuh perhatian; Sedikit, yang setelah mencapai akhir penderitaan, Berjalan lurus di tengah-tengah yang tidak lurus.”
[8]
<17>
“Tidakkah engkau memiliki sebuah gubuk kecil? Tidakkah engkau memiliki sebuah sarang kecil? Tidakkah engkau memiliki penyambung garis? Apakah engkau bebas dari ikatan?”
“Tentu saja aku tidak memiliki gubuk kecil, Tentu saja aku tidak memiliki sarang kecil, Tentu saja aku tidak memiliki penyambung garis, Tentu saja aku bebas dari ikatan.”29
“Apakah yang engkau pikir yang kusebut sebuah gubuk kecil? Apakah yang engkau pikir yang kusebut sebuah sarang kecil? Apakah yang engkau pikir yang kusebut penyambung garis? Apakah yang engkau pikir yang kusebut ikatan?”30
“Adalah seorang ibu yang engkau sebut gubuk kecil, Seorang istri adalah apa yang engkau sebut sarang kecil,
<18>
Putra adalah apa yang engkau sebut penyambung garis, Ketagihan adalah apa yang engkau sebut ikatan.”
“Baik sekali engkau tidak memiliki gubuk kecil, Baik sekali engkau tidak memiliki sarang kecil, Baik sekali engkau tidak memiliki penyambung garis, Baik sekali engkau bebas dari ikatan.”
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rajāgaha di Taman Mata Air Panas. Kemudian Yang Mulia Samiddhi, setelah terjaga pada berkas cahaya pertama fajar, pergi ke mata air panas untuk mandi. Setelah mandi di mata air panas dan keluar, ia berdiri mengenakan satu jubah menjemur badannya.
Kemudian saat malam telah larut, satu devatā tertentu yang berpenampilan indah, menerangi seluruh Taman Mata Air, mendatangi Yang Mulia Samiddhi. Setelah mendekat, ia berdiri di angkasa, dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi dalam syair:31 <19>
“Tanpa bersenang-senang engkau mencari makanan, bhikkhu, Engkau tidak mencari makanan setelah engkau bersenang-senang. Pertama-tama bersenang-senang, bhikkhu, kemudian carilah makanan: Jangan biarkan waktu melewatimu!”
[9]
“Aku tidak tahu akan menjadi apakah waktu itu; Waktu itu tersembunyi dan tidak dapat dilihat. Karena itu, tanpa bersenang-senang, aku mencari makanan: Tidak membiarkan waktu melewatiku!”32
Kemudian devatā itu turun ke tanah dan berkata kepada Yang Mulia Samiddhi: “Engkau telah meninggalkan keduniawian sejak muda, bhikkhu, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, dalam masa prima, tanpa pernah terlibat dalam kenikmatan indria. Nikmatilah kenikmatan indria manusia, bhikkhu; jangan lepaskan apa yang telah terlihat secara langsung untuk mengejar apa yang memerlukan waktu lama.”
“Aku tidak melepaskan apa yang terlihat secara langsung, teman, untuk mengejar apa yang memerlukan waktu lama. Aku telah melepaskan apa yang memerlukan waktu yang lama untuk mengejar apa yang terlihat secara langsung. <20>
Karena Sang Bhagavā, teman, telah menyatakan bahwa kenikmatan indria adalah membuang-buang waktu, penuh penderitaan, penuh keputus-asaan, dan bahaya di dalamnya lebih besar, sedangkan Dhamma adalah terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”33
“Tetapi bagaimanakah, bhikkhu, bahwa Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan indria adalah membuang-buang waktu, penuh penderitaan, penuh keputus-asaan, dan bahaya di dalamnya lebih besar? Bagaimanakah bahwa Dhamma adalah terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”
“Aku baru saja ditahbiskan, teman, belum lama meninggalkan keduniawian, baru saja bergabung dalam Dhamma dan Disiplin. Aku tidak dapat menjelaskannya secara terperinci. Tetapi Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, sedang menetap di Rājagaha di Taman Mata Air Panas. Datangilah Sang Bhagavā dan tanyakan kepadaNya tentang persoalan ini. Sebagaimana Beliau menjelaskannya, demikianlah engkau harus mengingatnya.”
“Tidaklah mudah bagi kami untuk mendekati Sang Bhagavā, bhikkhu, karena Beliau dikelilingi oleh para devatā lainnya yang berpengaruh lebih besar.34 Jika engkau mau mendekati Beliau <21>
dan menanyakan tentang persoalan ini, kami juga akan turut serta ke sana untuk mendengarkan Dhamma.”
“Baiklah, teman,” Yang Mulia Samiddhi menjawab. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud pada Beliau, duduk di satu sisi, [10]
dan melaporkan keseluruhan diskusi dengan devatā itu, [11]
<22-23>
(syair 44-45, termasuk dalam laporan, ulangi syair 42-43) dengan menambahkan: “Jika pernyataan devatā itu benar, Yang Mulia, maka devatā itu seharusnya ada di dekat sini.”
Ketika hal itu diucapkan, devatā itu berkata kepada Yang Mulia Samiddhi: “Tanyakan, bhikkhu! Tanyakan, bhikkhu! Karena aku telah datang.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada devatā itu dalam syair:
“Makhluk-makhluk yang melihat apa yang dapat diungkapkan Menjadi kokoh dalam apa yang dapat diungkapkan.
<24>
Tidak memahami sepenuhnya apa yang dapat diungkapkan, Mereka berada di bawah gandar Kematian.35
“Tetapi setelah memahami sepenuhnya apa yang dapat diungkapkan, Seseorang tidak menganggap ‘ia yang mengungkapkan.’ Karena itu tidak ada baginya Yang dengannya seseorang dapat menggambarkannya.36
“Jika engkau memahami, makhluk halus, bicaralah.”
“Aku tidak memahami secara terperinci, Yang Mulia, makna dari apa yang dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā. Mohon, Yang Mulia, mohon Sang Bhagavā menjelaskan kepadaku dengan cara yang dapat kupahami secara terperinci makna dari apa yang Beliau nyatakan secara singkat.” [12]
[Sang Bhagavā:]
“Seseorang yang menganggap ‘aku sama, lebih baik, atau lebih buruk,’ Dapat karena hal itu terlibat dalam perselisihan. Tetapi seseorang yang tidak tergoyahkan dalam tiga pembedaan ini Tidak berpikir, ‘aku sama atau lebih baik.’37
<25>
“Jika engkau memahami, makhluk halus, bicaralah.”
“Dalam hal ini juga, Yang Mulia, Aku tidak memahami secara terperinci … mohon Sang Bhagavā menjelaskan kepadaku dengan cara yang dapat kupahami secara terperinci makna dari apa yang Beliau nyatakan secara singkat.”
[Sang Bhagavā:]
“Ia meninggalkan pengakuan, tidak sombong;38 Ia di sini memotong ketagihan pada jasmani-dan-batin. Walaupun para dewa dan manusia mencarinya Di sini dan di tempat lainnya, di surga dan di seluruh alam, Mereka tidak menemukan ia yang telah memotong ikatan, Ia yang tidak mengalami kesulitan, bebas dari kerinduan.
“Jika engkau memahami, makhluk halus, bicaralah.”
“Aku memahaminya secara terperinci, Yang Mulia, makna dari apa yang dinyatakan secara singkat oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: <26>
“Seseorang tidak boleh melakukan kejahatan di semua alam, Tidak melalui ucapan, pikiran atau jasmani. Setelah meninggalkan kenikmatan indria, Penuh perhatian dan memahami dengan jernih, Ia tidak boleh mengejar jalan Yang menyakitkan dan berbahaya.”39
[13]
<27>
Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Seolah-olah tertusuk oleh pedang, Seolah-olah kepalanya terbakar, Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian Untuk meninggalkan nafsu indria.”
[Sang Bhagavā:]
“Seolah-olah tertusuk oleh pedang, Seolah-olah kepalanya terbakar, Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian Untuk meninggalkan pandangan pada diri.”40
<28>
“Itu tidak menyentuh seseorang yang tidak menyentuh, Namun akan menyentuh seseorang yang menyentuh. Oleh karena itu menyentuh seseorang yang menyentuh, Seorang yang menyerang orang yang tidak bersalah.”41
“Jika seseorang menyerang orang yang tidak bersalah, Seorang yang murni tanpa noda, Keburukan akan jatuh pada si dungu itu sendiri Bagaikan debu halus yang ditebarkan melawan arah angin.”42
“Kusut di dalam, kusut di luar, Generasi ini terjerat dalam kekusutan. Aku bertanya kepadaMu, O Gotama, Siapakah yang mampu menguraikan kekusutan ini?”43
<29>
“Seseorang yang mantap dalam moralitas, bijaksana, Mengembangkan batin dan kebijaksanaan, Seorang bhikkhu yang tekun dan waspada: Ia mampu menguraikan kekusutan ini.44
“Mereka yang mana nafsu dan kebencian Bersama dengan kebodohan telah dihapuskan, Para Arahant dengan noda terhancurkan: Bagi mereka kekusutan telah diuraikan.45
“Di mana nama-dan-bentuk lenyap, Berhenti tanpa sisa, Dan juga benturan dan persepsi atas bentuk: Bagi mereka kekusutan telah diuraikan.46
[14]
“Dari apa pun seseorang mengekang pikiran, Dari itu tidak ada penderitaan menghampirinya.
<30>
Jika seseorang mengekang pikirannya dari segala sesuatu, Maka ia terbebas dari segala penderitaan.”
“Seseorang tidak perlu mengekang dari segala sesuatu Ketika pikirannya telah terkendali. Dari apa pun yang mendatangkan kejahatan, Dari itu seseorang harus mengekang pikirannya.”47
“Jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, Sempurna, dengan noda-noda dihancurkan, Seseorang yang membawa jasmani terakhirnya, Akankah ia masih mengatakan, ‘Aku berkata’? Dan akankah ia berkata, ‘Mereka berkata kepadaku’?”48
“Jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant,
<31>
Sempurna, dengan noda-noda dihancurkan, Seseorang yang membawa jasmani terakhirnya, Ia mungkin masih mengatakan, ‘Aku berkata’, Dan ia mungkin berkata, ‘Mereka berkata kepadaku.’ Terampil, mengetahui bahasa duniawi, Ia menggunakan kata-kata demikian hanya sekedar ungkapan.”49
“Jika seorang bhikkhu adalah seorang Arahant, Sempurna, dengan noda-noda dihancurkan, Seseorang yang membawa jasmani terakhirnya, Apakah karena keangkuhan Maka ia berkata, ‘Aku berkata,’ Maka ia berkata, ‘Mereka berkata kepadaku’?”50
“Tidak ada simpul pada seseorang yang keangkuhannya telah ditinggalkan; Baginya semua simpul keangkuhan telah habis. Walaupun yang bijaksana telah melampaui anggapan,
[15]
Ia juga mungkin masih berkata, ‘Aku berkata,’ Ia juga mungkin masih berkata, ‘Mereka berkata kepadaku.’ Terampil, mengetahui bahasa duniawi, Ia menggunakan kata-kata demikian hanya sekedar ungkapan.”51
“Ada berapakah sumber cahaya di dunia ini Yang dengannya dunia ini diterangi? Kita harus bertanya kepada Sang Bhagavā Bagaimana memahami hal ini?”
“Ada empat sumber cahaya di dunia ini; Yang ke lima tidak ditemukan di sini. Matahari bersinar di siang hari, Bulan bersinar di malam hari,
Dan api menyala di sana-sini Baik di siang hari maupun di malam hari. Namun Sang Buddha adalah yang terbaik dari semua yang bersinar:
<33>
Beliau adalah cahaya yang tidak terlampaui.”
“Dari manakah arus berbalik? Di manakah lingkaran tidak lagi berputar? Di manakah nama-dan-bentuk lenyap, Berhenti tanpa sisa?”
“Di mana air, tanah, api, dan udara, Tidak mendapatkan tempat berpijak: Dari sini lah arus berbalik, Di sini lingkaran tidak lagi berputar; Di sini nama-dan-bentuk lenyap, Berhenti tanpa sisa.”52
<34>
53 “Mereka yang memiliki harta dan kekayaan besar, Bahkan para khattiya yang memerintah negeri, Melihat satu sama lain dengan tatapan serakah, Tidak pernah puas dalam kenikmatan indria.
Di antara mereka yang telah menjadi keranjingan, Hanyut bersama arus kehidupan, Siapakah di sini yang telah meninggalkan ketagihan? Siapakah di dunia ini yang tidak lagi keranjingan?”54
“Setelah meninggalkan rumah mereka, Setelah meninggalkan anak-anak tersayang dan ternak mereka, Setelah meninggalkan nafsu dan kebencian,
<35>
Setelah menghapuskan ketidaktahuan- Para Arahant dengan noda dihancurkan Adalah mereka di dunia ini yang tidak lagi keranjingan.”[16]
“Memiliki empat roda dan sembilan pintu, Dipenuhi dan dilingkupi dengan keserakahan, Terlahir dari lumpur, O pahlawan besar! Bagaimanakah seseorang membebaskan diri dari sana?”55
“Setelah memotong kulit pengikat dan tali pengikat, Setelah memotong keinginan jahat dan keserakahan, Setelah mencabut ketagihan sampai ke akarnya: Demikianlah seseorang membebaskan diri dari sana.”56
<36>
“Setelah mendatangi Engkau, kami mengajukan pertanyaan Pahlawan semampai dengan kaki antelop. Tanpa keserakahan, hidup dengan sedikit makanan, Mengembara sendirian bagaikan seekor singa atau nāga Tanpa memedulikan kenikmatan indria: Bagaimanakah seseorang terbebas dari penderitaan?”57
“Lima utas kenikmatan indria di dunia ini, Dengan pikiran sebagai yang ke enam: Setelah menghapuskan keinginan di sini, Demikianlah seseorang terbebas dari penderitaan.”58
<37>
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sejumlah devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā.59 Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. [17]
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik;
<38>
Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Ia menjadi lebih baik, tidak mungkin lebih buruk.”
Kemudian lima devatā lainnya berturut-turut mengucapkan syair mereka di hadapan Sang Bhagavā:
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Kebijaksanaan diperoleh, tetapi bukan dari orang lain.”60
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik,
<39>
Ia tidak akan bersedih di tengah-tengah mereka yang bersedih.”
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Ia bersinar di tengah-tengah pergaulannya.”
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Makhluk-makhluk mengarah ke alam yang baik.”
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Makhluk-makhluk berdiam dengan nyaman.”61
Kemudian devatā lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang manakah, Bhagavā, yang telah mengatakan dengan baik?”
“Kalian semua telah mengatakannya dengan baik.62 Tetapi, dengarkanlah Aku juga: [18]
“Seseorang harus bergaul hanya dengan orang yang baik; Dengan orang baik seseorang harus menjalin keakraban. Setelah mendengarkan Dhamma sejati dari orang yang baik, Ia terbebas dari segala penderitaan.”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para devatā itu memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan tetap dalam posisi Sang Buddha di sebelah kanan, mereka lenyap dari sana.
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sejumlah devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Melalui kekikiran dan kelalaian Sesuatu benda tidak akan diberikan. Seseorang yang mengetahui, menginginkan jasa,
<40>
Tentu harus memberikan suatu pemberian.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Apa yang ditakuti oleh si kikir ketika ia tidak memberi Adalah bahaya yang sama yang mendatangi ia yang tidak memberi. Lapar dan haus yang ditakuti oleh si kikir Menimpa si dungu di dunia ini dan berikutnya.
“Oleh karena itu, setelah melenyapkan kekikiran, Penakluk noda harus memberikan suatu pemberian.63 Perbuatan baik adalah penyokong makhluk hidup [Ketika mereka muncul] di dunia lain.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka tidak mati di antara orang mati Yang, bagaikan pengembara di jalan, Memberi walaupun memiliki sedikit: Ini adalah prinsip kuno.64
<41>
“Beberapa orang memberikan dari sedikit yang mereka miliki, Orang lain yang berkecukupan tidak suka memberi. Persembahan yang diberikan oleh orang yang memiliki sedikit Bernilai seribu kali lipat dari nilainya.”
[19]
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Orang jahat tidak meniru orang baik, Yang memberikan apa yang sulit diberikan Dan melakukan perbuatan yang sulit dilakukan: Dhamma orang baik adalah sulit diikuti.
“Oleh karena itu alam kelahiran kembali mereka setelah kematian Berbeda antara orang baik dan orang jahat: Yang jahat pergi ke neraka, Yang baik menuju ke surga.”
Kemudian devatā lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang manakah, Bhagavā, yang telah mengucapkan dengan baik?”
“Kalian semua telah mengatakannya dengan baik. Tetapi, dengarkanlah Aku juga: <42>
“Jika seseorang mempraktikkan Dhamma, Walaupun mengumpulkannya sedikit demi sedikit, Jika sewaktu menyokong istrinya Ia memberikan dari sedikit yang ia miliki, Maka seratus ribu persembahan Dari mereka yang mengorbankan seribu Tidak sebanding dengan bahkan sebagian kecil [Dari persembahan] yang diberikan olehnya.”65
Kemudian devatā lainnya berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:
“Mengapakah pengorbanan mereka, yang banyak dan mewah, Tidak sebanding dengan pemberian seorang yang baik? Mengapakah seratus ribu persembahan Dari mereka yang mengorbankan seribu Tidak sebanding dengan sebagian kecil [Dari persembahan] yang diberikan olehnya?”
Kemudian Sang Bhagavā menjawab devatā tersebut dalam syair:
“Karena mereka memberikan selagi berdiam dalam ketidak-bajikan, Setelah menganiaya dan membunuh, menyebabkan penderitaan, Persembahan mereka – menyedihkan, penuh dengan kekerasan – Tidak sebanding dengan pemberian dari seorang yang baik.
<43>
Itulah mengapa seratus ribu persembahan Dari mereka yang mengorbankan seribu Tidak sebanding dengan sebagian kecil [Dari persembahan] yang diberikan oleh seorang sepertinya.”[20]
Di Sāvatthī, pada larut malam, sejumlah devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia!
“Melalui kekikiran dan kelalaian Suatu pemberian tidak akan diberikan Seseorang yang mengetahui, menginginkan jasa, Tentu harus memberikan suatu pemberian.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia! Dan lebih lanjut: Bahkan ketika memiliki sedikit, memberi adalah baik.
<44>
“Beberapa orang memberikan dari sedikit yang mereka miliki, Orang lain yang berkecukupan tidak suka memberi. Persembahan yang diberikan oleh orang yang memiliki sedikit Bernilai seribu kali lipat dari nilainya.”
Kemudian devata lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia! Bahkan ketika memiliki sedikit, memberi adalah baik. Dan lebih lanjut: Ketika dilakukan dengan keyakinan, memberi adalah baik.
“Memberi dan berperang adalah serupa, kata mereka: Sedikit pemberian yang baik menaklukkan yang banyak. Jika seseorang dengan keyakinan memberi bahkan hanya sedikit, Ia karenanya akan berbahagia di dunia lain.” 66
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia! Bahkan ketika memiliki sedikit, memberi adalah baik.
[21]
Juga, ketika dilakukan dengan keyakinan, memberi adalah baik. Dan lebih lanjut: Pemberian dari perolehan yang benar adalah juga baik.<45>
“Ketika ia memberikan sesuatu dari perolehan yang benar Yang Diperoleh dengan daya upaya dan kegigihan, Setelah menyeberangi Sungai Vetaraṇi Yama, Ia tiba di alam surga.”67
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia! Bahkan ketika memiliki sedikit, memberi adalah baik. Juga, ketika dilakukan dengan keyakinan, memberi adalah baik; Pemberian dari perolehan yang benar adalah juga baik. Dan lebih lanjut: Memberi dengan membedakan adalah juga baik.68
“Memberi dengan membedakan dipuji oleh Para Mulia - Kepada mereka yang layak menerima persembahan Di sini, di dunia makhluk-makhluk hidup. Apa yang diberikan kepada mereka menghasilkan buah besar Bagaikan benih yang ditanam di lahan subur.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Memberi adalah baik, Yang Mulia! Bahkan ketika memiliki sedikit, memberi adalah baik. Juga, ketika dilakukan dengan keyakinan, memberi adalah baik; Pemberian dari perolehan yang benar adalah juga baik. Juga, Memberi dengan memilih-milih adalah baik.
<46>
Dan lebih lanjut: Pengendalian terhadap makhluk-makhluk hidup juga adalah baik.
“Seseorang yang mengembara dengan tidak menyakiti makhluk-makhluk hidup Tidak mengalami rasa takut akan celaan orang lain. Dalam itu mereka memuji ketakutan itu, bukan keberaniannya, Karena dengan bebas dari rasa takut, maka orang baik tidak melakukan kejahatan.”
Kemudian devatā lainnya berkata kepada Sang Bhagavā: [22]
“Yang manakah, Bhagavā, yang telah mengucapkan dengan baik?”
“Kalian semua telah mengatakannya dengan baik. Tetapi, dengarkanlah Aku juga:
“Tentu saja memberi dipuji dalam berbagai cara, Namun Jalan Dhamma melampaui perbuatan memberi. Karena di masa lalu dan bahkan jauh di masa lalu, Orang-orang baik dan bijaksana mencapai Nibbāna.” 69
<47>
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sejumlah devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Di antara manusia Tidak ada kenikmatan indria yang kekal; Di sini hanya ada hal-hal yang disukai. Ketika seseorang terikat pada hal-hal ini, Lengah di tengah-tengah kumpulannya, Dari alam kematian ia tidak mencapai Keadaan Tidak-Datang-Kembali.”70
[Devatā lainnya:] “Kesengsaraan timbul dari keinginan; penderitaan timbul dari keinginan. Dengan melenyapkan keinginan, kesengsaraan dilenyapkan; dengan melenyapkan kesengsaraan, penderitaan dilenyapkan.”71
[Sang Bhagavā:]
“Bukan kenikmatan indria, hal-hal menarik di dunia: Kenikmatan manusia adalah kehendak pada nafsu.
<48>
Hal-hal menarik tetap sebagaimana adanya di dunia Tetapi para bijaksana melenyapkan keinginan terhadapnya.72[23]
“Seseorang harus meninggalkan kemarahan, melepaskan keangkuhan, Melampaui semua belenggu. Tidak ada penderitaan yang menyiksa ia yang tidak memiliki apa-apa, Yang tidak melekat pada nama-dan-bentuk.73
“Ia meninggalkan pandangan, tidak angkuh; Ia memotong ketagihan di sini terhadap nama-dan-bentuk. Walaupun para dewa dan Brahma mencarinya Di sini dan di sana, di alam surga dan di semua alam, Mereka tidak akan menemukan ia yang telah memotong simpul, Yang tidak terganggu, bebas dari kerinduan.”
“Jika para dewa dan manusia tidak melihat Ia yang terbebas di sini dan di sana,” [kata Yang Mulia Mogharāja], “Apakah mereka dipuji oleh ia yang menghormatinya,
Orang-orang terbaik, yang mengembara demi kebaikan manusia?”74 <49>
“Para bhikkhu itu juga layak menerima pujian, [Mogharajā,” kata Sang Bhagavā,] “Yang menghormatinya, yang terbebaskan demikian. Tetapi setelah mengetahui Dhamma dan meninggalkan keragu-raguan,
Para bhikkhu itu bahkan menjadi yang lebih mengatasi ikatan-ikatan.”75
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sejumlah devatā “pencari kesalahan”, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā dan berdiri di angkasa.76 [24]
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di angkasa, mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Jika seseorang memperlihatkan dirinya dalam salah satu cara Sedangkan sesungguhnya ia adalah kebalikannya, Apa yang ia nikmati diperoleh dengan mencuri Bagaikan perolehan dari seorang penjudi curang.”77
[Devatā lainnya:] <50>
“Seseorang seharusnya mengatakan sesuai apa yang ia lakukan; Jangan mengatakan apa yang tidak akan ia lakukan. Para bijaksana dengan jelas melihat orang ini Yang tidak mempraktikkan apa yang ia ajarkan.”
[Sang Bhagavā:]
“Bukan hanya dengan ucapan dan juga bukan dengan mendengarkan Seseorang memperoleh kemajuan dalam jalan praktik yang kokoh ini Yang dengannya para bijaksana, para meditator, Terbebaskan dari perbudakan Māra.
“Sesungguhnya, para bijaksana tidak berpura-pura, Karena mereka telah memahami dunia ini. Dengan pengetahuan tertinggi para bijaksana terpuaskan: Mereka telah menyeberangi keterikatan pada dunia.”
Kemudian para devatā itu, setelah turun ke atas tanah, bersujud dengan kepala mereka di kaki Sang Bhagavā, dan berkata kepada Sang Bhagavā: <51>
“Kesalahan menguasai kami, Yang Mulia, karena sungguh dungu, sungguh bodoh, sungguh tidak terampil sehingga kami membayangkan dapat menyerang Sang Bhagavā. Mohon Sang Bhagavā memaafkan kami atas kesalahan kami ini demi pengendalian di masa depan.”
Kemudian Sang Bhagavā tersenyum.78 Para Devatā itu, mencari kesalahan lebih jauh lagi, kemudian naik ke angkasa. Salah satu devatā mengucapkan syair ini di hadapan Sang Buddha:
“Jika seseorang tidak memaafkan Mereka yang mengakui kesalahan, Marah dalam hati, cenderung membenci, Ia dengan kuat memendam permusuhan.”
[Sang Bhagavā:] <52>
“Jika tidak ada kesalahan, Jika tidak tersesat di sana-sini, Dan jika permusuhan dipadamkan, Maka seseorang akan menjadi tanpa kesalahan di sini.”79
[Devatā:]
“Siapakah yang tidak melakukan kesalahan? Siapakah yang tidak tersesat? Siapakah yang tidak jatuh dalam kebingungan? Dan siapakah yang bijaksana, senantiasa penuh perhatian?”
[25]
[Sang Bhagavā:]
“Sang Tathāgata, yang mencapai Penerangan Sempurna, Penuh belas kasihan terhadap semua makhluk: Beliau tidak melakukan kesalahan, Beliau tidak tersesat; Beliau tidak jatuh dalam kebingungan, Dan Beliau adalah Sang Bijaksana, senantiasa penuh perhatian.
“Jika seseorang tidak memaafkan Mereka yang mengakui kesalahan,
<53>
Marah dalam hati, cenderung membenci, Maka ia dengan kuat memendam permusuhan. Dalam permusuhan itu, Aku tidak bergembira, Karena itu Aku memaafkan kesalahan kalian.”
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, sejumlah devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Keyakinan adalah pendamping seseorang; Jika kurangnya keyakinan tidak ada, Maka kemasyhuran dan ketenaran akan mendatanginya,
<54>
Dan ia akan pergi ke alam surga saat meninggalkan tubuh ini.” Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:80
“Seseorang harus meninggalkan kemarahan, melepaskan keangkuhan, Melampaui semua belenggu. Tidak ada ikatan yang menyiksa seseorang yang tidak memiliki apa-apa, Yang tidak melekat pada nama-dan-bentuk.”81
[Devatā lainnya:]
“Orang-orang dungu yang hampa dari kebijaksanaan Mengabdikan diri pada kelalaian. Namun seorang bijaksana menjaga ketekunan Sebagai hartanya yang terutama.
“Jangan menyerah pada kelalaian, Jangan berdekatan dengan kenikmatan indria. Karena mereka yang tekun, bermeditasi, Mencapai kebahagiaan tertinggi.”
[26]
<55>
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara orang-orang Sakya di Kapilavatthu di Hutan Besar bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu, dengan lima ratus bhikkhu yang semuanya adalah Arahant.82 Dan para devatā dari sepuluh sistem dunia sebagai kelompok terbesar berkumpul untuk melihat Sang Bhagavā dan Saṅgha Bhikkhu. Kemudian suatu pikiran muncul pada empat devatā dari Alam Murni:83 “Sang Bhagavā sedang menetap di antara orang-orang Sakya di Kapilavatthu di Hutan Besar bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu, dengan lima ratus bhikkhu yang semuanya adalah Arahant. Dan para devatā dari sepuluh sistem dunia sebagai kelompok terbesar berkumpul untuk melihat Sang Bhagavā dan Saṅgha Bhikkhu. Marilah kita juga mendatangi Sang Bhagavā dan, di hadapanNya, masing-masing dari kita mengucapkan syair kita masing-masing.”
Kemudian, secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, para devatā itu lenyap dari antara para dewa di Alam Murni <56>
dan muncul kembali di hadapan Sang Bhagavā. Kemudian para devatā itu memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi. Sambil berdiri di satu sisi, salah satu devatā mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Kumpulan besar terjadi di dalam hutan, Para dewa telah berkumpul. Kami datang pada kumpulan Dhamma ini Untuk melihat Saṅgha yang tidak terkalahkan.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Para bhikkhu berkonsentrasi; Mereka telah meluruskan pikiran mereka. Bagaikan kusir yang memegang tali kekang, Para bijaksana menjaga indria mereka.”
[27]
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Setelah memotong kegersangan, memotong palang penghalang, Setelah mencabut tonggak-tonggak Indra, tidak tergoyahkan, Mereka mengembara dengan murni dan tanpa noda, Para Nāga muda dijinakkan dengan baik oleh yang Memiliki Penglihatan.”84
<57>
Kemudian devatā lainnya mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka yang telah berlindung pada Buddha Tidak akan pergi ke alam sengsara. Saat melepaskan tubuh manusia, Mereka akan bergabung dengan para dewa.”85
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Taman Rusa Maddakucchi. Pada saat itu kaki Sang Buddha terluka oleh pecahan batu.86 Kesakitan luar biasa menyerang Sang Bhagavā – perasaan jasmani yang sangat sakit, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan. Tetapi Sang Bhagavā menahankannya, dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita. Kemudian Sang Bhagavā melipat empat jubah luarnya, dan Beliau berbaring di sisi kanan dalam posisi singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih. <58>
Kemudian, pada larut malam, tujuh ratus devatā penghuni Satullapa, dengan keindahan yang memesona, menerangi seluruh Taman Rusa Maddakucchi, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan berdiri di satu sisi.
Kemudian salah satu devatā, sambil berdiri di satu sisi, mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: [28]
“Petapa Gotama sesungguhnya adalah nāga, Yang Mulia! Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, dengan gayaNya yang menyerupai nāga Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita.”87
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Petapa Gotama sesungguhnya adalah singa, Yang Mulia! Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, mengerikan, tidak menyenangkan, dengan gayaNya yang menyerupai singa, Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Petapa Gotama sesungguhnya adalah kuda berdarah murni, Yang Mulia! Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan … tidak menyenangkan, dengan gayaNya yang menyerupai kuda berdarah murni, Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Petapa Gotama sesungguhnya adalah banteng pemimpin, Yang Mulia! <59>
Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan … tidak menyenangkan, dengan gayaNya yang menyerupai banteng pemimpin, Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Petapa Gotama sesungguhnya adalah binatang pembawa beban, Yang Mulia! Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan … tidak menyenangkan, dengan gayaNya yang menyerupai binatang pembawa beban, Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadikannya sebagai penderitaan.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Petapa Gotama sesungguhnya adalah seorang yang telah jinak, Yang Mulia! Dan ketika perasaan jasmani muncul yang menyakitkan … tidak menyenangkan, dengan gaya jinakNya, Beliau menahankannya, dengan penuh perhatian dan dengan pemahaman jernih, tanpa menjadi menderita.”
Kemudian devatā lainnya mengucapkan ucapan inspiratif ini di hadapan Sang Bhagavā: “Lihatlah konsentrasiNya yang terkembang dengan baik dan pikiranNya yang terbebaskan dengan baik – tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang, dan tidak terhalang dan terkekang oleh tekanan!88 Jika siapa pun berpikir orang yang demikian dapat diserang – orang seperti nāga demikian, orang seperti singa demikian, [29]
orang seperti kuda berdarah murni demikian, <60>
orang seperti banteng pemimpin demikian, orang seperti binatang pembawa beban demikian, orang jinak demikian – Apakah artinya selain kurangnya penglihatan?”
Walaupun para brahmana terpelajar dalam lima Veda Melakukan praktik keras selama seratus tahun, Namun pikiran mereka tidak terbebaskan dengan benar: Mereka yang rendah tidak mencapai pantai seberang.89
Mereka tenggelam dalam ketagihan, terikat pada upacara dan ritual, Melakukan praktik keras selama seratus tahun, Namun pikiran mereka tidak terbebaskan dengan benar: Mereka yang rendah tidak mencapai pantai seberang.
Tidak ada penjinakan di sini bagi seseorang yang gemar akan keangkuhan, Juga tidak ada kebijaksanaan bagi mereka yang tidak terkonsentrasi: Walaupun berdiam sendirian di dalam hutan, lengah,
<61>
Ia tidak dapat menyeberang melampaui alam Kematian.
Setelah meninggalkan keangkuhan, terkonsentrasi baik, Dengan pikiran luhur, terbebaskan di mana pun: Selagi berdiam sendirian di dalam hutan, tekun, Ia dapat menyeberang melampaui alam Kematian.
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Kemudian, pada larut malam, Kokanadā, putri Pajjunna, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Besar, mendatangi Sang Bhagavā.90 Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan mengucapkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:91
“Aku memuja Sang Buddha, yang terbaik dari makhluk-makhluk, Menetap di dalam hutan di Vesāli.
[30]
<62>
Aku Kokanadā, Kokanadā, putri Pajjunna.92
“Sebelumnya aku hanya mendengar bahwa Dhamma Hanya dicapai oleh Ia yang memiliki Penglihatan; Tetapi sekarang aku mengetahuinya sebagai saksi Sewaktu Sang Bijaksana, Yang Sempurna, mengajarkan.
“Orang-orang dungu itu yang sibuk Mengkritik Dhamma mulia Mengarah menuju neraka Roruva yang mengerikan Dan mengalami penderitaan dalam waktu yang lama.93
“Tetapi mereka yang memiliki kedamaian dan penerimaan Sehubungan dengan Dhamma mulia, Saat meninggalkan jasmani manusia, Akan bergabung dengan para dewa.”94
<63>
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesāli di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip. Kemudian, pada larut malam, Cūḷakokanadā, putri Pajjunna [yang lebih muda], dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Besar, mendatangi Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan mengucapkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Ini dia, Kokanadā, putri Pajjunna, Cantik bagaikan cahaya halilintar. Memberi hormat kepada Buddha dan Dhamma, Ia mengucapkan syair-syair penuh makna.
[31]
“Walaupun Dhamma bersifat demikian Yang dapat kuanalisa dalam berbagai cara, Aku akan menyebutkan maknanya secara singkat Sejauh yang dapat kuhafalkan di luar kepala.95
“Seseorang seharusnya tidak melakukan kejahatan di seluruh dunia,
<64>
Tidak melalui ucapan, pikiran, atau jasmani. Setelah meninggalkan kenikmatan indria, Penuh perhatian dan pemahaman jernih, Ia seharusnya tidak melanjutkan jalan Yang menyakitkan dan berbahaya.”
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, di Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian pada larut malam, satu devatā dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā. <65>
Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan mengucapkan syair-syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Ketika rumah seseorang terbakar Peti yang dibawa keluar Adalah yang berguna, Bukan yang dibiarkan terbakar di dalam.
“Maka ketika dunia terbakar Oleh [api] usia tua dan kematian, Seseorang harus mengeluarkan [kekayaannya] dengan memberi: Apa yang diberikan akan terselamatkan dengan baik.
[32]
<66>
96 “Apa yang diberikan menghasilkan buah yang menyenangkan, Tetapi tidak demikian dengan apa yang tidak diberikan. Para pencuri mengambilnya, atau para raja, Terbakar oleh api atau hilang.
“Kemudian pada akhirnya seseorang meninggalkan jasmani ini Bersama dengan harta miliknya. Setelah memahami hal ini, orang bijaksana Harus bersenang-senang tetapi juga memberi. Setelah memberi dan menikmati sesuai keinginannya, Tanpa cela ia pergi menuju alam surga.”
[Devatā:]
“Dengan memberikan apakah seseorang memberikan kekuatan? Dengan memberikan apakah seseorang memberikan kecantikan? Dengan memberikan apakah seseorang memberikan kenyamanan? Dengan memberikan apakah seseorang memberikan penglihatan? Siapakah pemberi segalanya? Karena ditanya, jelaskanlah kepadaku.”
<67>
[Sang Bhagavā:]
“Dengan memberikan makanan, seseorang memberikan kekuatan; Dengan memberikan pakaian, seseorang memberikan kecantikan; Dengan memberikan kendaraan, seseorang memberikan kenyamanan; Dengan memberikan pelita, seseorang memberikan penglihatan.
“Seorang yang memberikan tempat tinggal Adalah pemberi segalanya. Tetapi seorang yang mengajarkan Dhamma Adalah pemberi Tanpa-kematian.”
“Mereka selalu bergembira dalam makanan, Baik dewa maupun manusia. Maka siapakah Yang tidak bergembira dalam makanan?”97
“Ketika mereka memberi dengan keyakinan Dengan keyakinan, Makanan kembali kepada [si pemberi itu] sendiri Baik di dunia ini maupun dunia mendatang.
<68>
“Oleh karena itu, setelah melenyapkan kekikiran, Penakluk noda harus memberi suatu pemberian. Jasa adalah penopang makhluk hidup [Ketika mereka terlahir] di dunia lain.”
[Devatā:]
“Sang bijaksana telah menyeberangi jurang Dengan satu akar, dua pusaran air, Tiga noda, lima sambungan, Satu samudra dengan dua belas arus air.”98
[33]
[Devatā:]
“Lihatlah ia yang memiliki nama yang sempurna, Sang petapa dengan tujuan halus, Pemberi kebijaksanaan, tidak melekat Pada sarang kenikmatan indria.
<69>
Lihatlah sang bijaksana, maha-mengetahui, Petapa agung menapak di jalan mulia.”99
“Gema suara sekumpulan bidadari, Dibayangi oleh sekumpulan siluman! Hutan ini disebut ‘Menipu’: Bagaimana seseorang membebaskan diri darinya?”100
“‘Jalan lurus’ adalah bagaimana jalan itu disebut, Dan ‘tanpa ketakutan’ adalah tujuannya. Kereta itu disebut ‘tidak berguncang,’ Cocok dengan roda-roda kondisi yang bermanfaat.
“Rasa malu adalah papan sandaran, Perhatian adalah penyokongnya; Aku menyebut Dhamma sebagai kusir, Dengan Pandangan Benar memimpin di depan.101
<70>
“Seseorang yang memiliki kendaraan seperti itu- Baik laki-laki maupun perempuan- Telah, dengan menggunakan kereta ini, Tertarik mendekati Nibbāna.”102
“Siapakah yang jasanya selalu meningkat, Pada siang dan malam hari? Siapakah orang-orang yang menuju ke surga, Mantap dalam Dhamma, memiliki moralitas?”
“Mereka yang membangun taman atau hutan, Orang-orang yang membangun jembatan, Tempat minum dan sumur, Mereka yang memberikan tempat tinggal:103
“Pada mereka jasa selalu meningkat, Pada siang dan malam hari; Mereka adalah orang-orang yang menuju ke surga, Mantap dalam Dhamma, memiliki moralitas.”
<71>
[Devatā Anāthapiṇḍika:]
“Ini sungguh adalah Hutan Jeta, Tempat bagi Kelompok orang-orang bijaksana, Didiami oleh Sang Raja Dhamma, Sebuah tempat yang memberikan kegembiraan kepadaku.104
[34]
“Perbuatan, pengetahuan, kebajikan, Moralitas, suatu kehidupan yang baik: Dengan inilah manusia dimurnikan, Bukan dengan suku atau kekayaan.
“Oleh karena itu seseorang yang bijaksana, Demi kebaikannya sendiri, Harus memeriksa Dhamma dengan seksama: Demikianlah ia dimurnikan di dalamnya.
“Sāriputta sungguh memiliki kebijaksanaan, Memiliki moralitas dan kedamaian. Bahkan seorang bhikkhu yang telah menyeberang Paling jauh hanya dapat menyamainya.”105
<72>
[Devatā:]
“Mereka yang kikir di sini di dunia ini, Orang-orang pelit, pencaci, Orang-orang yang membuat rintangan Bagi orang lain yang suka memberikan persembahan:
Akibat apakah yang mereka terima? Bagaimanakah kelahiran mendatang mereka? Kami datang untuk bertanya kepada Sang Bhagavā: Bagaimanakah kami memahami hal ini?”
[Sang Bhagavā:]
“Mereka yang kikir di sini di dunia ini, Orang-orang pelit, pencaci, Orang-orang yang membuat rintangan Bagi orang lain yang suka memberikan persembahan: Mereka akan terlahir kembali di neraka, Di alam binatang atau alam Yama.106
“Jika mereka kembali ke alam manusia Mereka akan terlahir dalam keluarga miskin
<73>
Di mana pakaian, makanan, kenikmatan dan kesenangan Diperoleh dengan susah-payah.
“Apa pun yang diharapkan oleh si dungu dari orang lain, Bahkan itu pun tidak mereka peroleh. Ini adalah akibat dalam kehidupan ini; Dan kelahiran yang buruk di masa depan.”
[Devatā:]
“Kami memahami apa yang Engkau katakan; Kami akan menanyakan, O Gotama, pertanyaan lain: Mereka yang terlahir di alam manusia, Ramah dan dermawan, Berkeyakinan pada Buddha dan Dhamma Dan sangat menghormati Saṅgha:
Akibat apakah yang mereka terima? Bagaimanakah kelahiran mendatang mereka? Kami datang untuk bertanya kepada Sang Bhagavā: Bagaimanakah kami memahami hal ini?”
<74>
[Sang Bhagavā:]
“Bagi mereka yang terlahir di alam manusia, Ramah dan dermawan, Yakin dalam Buddha dan Dhamma Dan sangat menghormati Sangha, Orang-orang ini menerangi alam surga Di tempat mana mereka terlahir kembali.107
<35>
“Jika mereka kembali ke alam manusia Mereka akan terlahir kembali dalam keluarga kaya Di mana pakaian, makanan, kenikmatan, dan kesenangan Diperoleh tanpa susah-payah.
“Mereka bergembira bagaikan para dewa yang mengendalikan Barang-barang yang dikumpulkan oleh orang lain.108 Ini adalah akibat dalam kehidupan ini; Dan kelahiran yang baik di masa depan.”
<75>
[Devatà Ghaṭīkāra:]
“Tujuh bhikkhu terlahir kembali di Avihā Telah terbebaskan sempurna. Dengan nafsu dan kebencian dihancurkan sepenuhnya, Mereka telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”109
[Sang Bhagavā:]
“Dan siapakah mereka yang menyeberangi rawa, Alam Kematian yang sangat sulit diseberangi? Siapakah, yang setelah meninggalkan tubuh manusia, Telah mengatasi belenggu surgawi?”110
[Ghaṭīkāra:]
“Upaka dan Palagaṇḍa, Dengan Pukkusāti – ini tiga. Kemudian Bhaddiya dan Bhaddadeva, Dan Bāhudantī dan Piṅgiya. Orang-orang ini, setelah meninggalkan tubuh manusia, Telah mengatasi belenggu surgawi.”111
[Sang Bhagavā:]
“Sungguh baik kata-kata yang engkau ucapkan tentang mereka, Mereka yang telah melepaskan jerat Māra. Yang telah memahami Dhamma Dengan cara apakah mereka memotong belenggu penjelmaan?”112
[Ghaṭīkāra:]
“Tidak terpisah dari Sang Bhagavā! Tidak terpisah dari AjaranMu! Dengan memahami DhammaMu Mereka memotong belenggu penjelmaan.
“Di mana nama-dan-bentuk lenyap, Berhenti tanpa sisa: Dengan memahami Dhamma itu di sini Mereka memotong belenggu penjelmaan.”113
[Sang Bhagavā:]
“Sungguh dalam kata-kata yang engkau ucapkan, Sulit dipahami, sungguh sulit ditangkap. Setelah memahami Dhamma siapakah Engkau mengucapkan kata-kata demikian?”
<77>
[Ghaṭīkāra:]
“Di masa lampau aku adalah pengrajin tembikar, Ghaṭīkāra di Vehaḷiṅga. Saat itu aku menyokong ibu dan ayahku Sebagai pengikut awam dari Buddha Kassapa.
[36]
“Aku menghindari hubungan seksual, Aku hidup selibat, bebas dari ikatan jasmani. Aku adalah teman sedesa denganMu, Di masa lampau aku adalah sahabatMu.
“Aku adalah yang mengetahui Ketujuh bhikkhu yang telah bebas ini, Yang dengan nafsu dan kebencian dihancurkan sepenuhnya telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”
[Sang Bhagavā:]
“Demikianlah pada waktu itu, Seperti yang engkau katakan, O Bhaggava:114 Di masa lampau engkau adalah pengrajin tembikar,
<78>
Ghaṭīkāra di Vehaḷiṅga. Engkau menyokong ibu dan ayah Sebagai pengikut awam dari Buddha Kassapa.
“Engkau menghindari hubungan seksual, Engkau hidup selibat, bebas dari ikatan jasmani. Engkau adalah teman sedesa denganKu, Di masa lampau engkau adalah sahabatKu.”
Demikianlah pertemuan itu terjadi Antara sahabat dari masa lampau, Keduanya sekarang batinnya terkembang, Pembawa jasmani terakhir mereka.115
<79>
[Devatā:]
“Apakah yang baik hingga usia tua? Apakah yang baik ketika ditegakkan? Apakah permata berharga bagi manusia? Apakah yang sulit dicuri oleh pencuri?”
[Sang Bhagavā:]
“Moralitas adalah baik hingga usia tua; Keyakinan adalah baik ketika ditegakkan; Kebijaksanaan adalah permata berharga bagi manusia; Jasa adalah sulit dicuri oleh pencuri.”
<80>
“Apakah yang baik karena tidak dapat membusuk? Apakah yang baik ketika diperkokoh? Apakah permata berharga bagi manusia? Apakah yang tidak dapat dicuri oleh pencuri?”116
[37]
“Moralitas adalah baik karena tidak dapat membusuk; Keyakinan adalah baik ketika diperkokoh; Kebijaksanaan adalah permata berharga bagi manusia; Jasa tidak dapat dicuri oleh pencuri.”
“Apakah sahabat bagi seseorang dalam perjalanan? Apakah sahabat dalam rumah sendiri? Apakah sahabat seseorang ketika dibutuhkan? Apakah sahabat pada kehidupan mendatang?”117
“Rombongan perjalanan adalah sahabat dalam suatu perjalanan;
<81>
Seorang ibu adalah sahabat dalam rumah sendiri; Seorang kawan ketika dibutuhkan Adalah sahabat seseorang lagi dan lagi. Perbuatan berjasa yang telah dilakukan – Itu adalah sahabat dalam kehidupan mendatang.”
“Apakah penyokong manusia? Apakah pendamping terbaik di sini? Makhluk-makhluk yang berdiam di bumi - Dengan apakah mereka mempertahankan kehidupan mereka?”
“Anak-anak adalah penyokong manusia, Seorang istri adalah pendamping terbaik; Makhluk-makhluk yang berdiam di bumi Mempertahankan hidup mereka dengan hujan.”118
<82>
“Apakah yang menghasilkan seseorang? Apakah yang ia miliki yang berlarian? Apakah yang memasuki saṃsāra? Apakah ketakutan terbesar?”
<83>
“Adalah ketagihan yang menghasilkan seseorang; Pikirannya adalah apa yang berlarian; Sesosok makhluk memasuki saṃsāra; Penderitaan adalah ketakutan terbesar.”
“Apakah yang menghasilkan seseorang? Apakah yang ia miliki yang berlarian? Apakah yang memasuki saṃsāra? Dari apakah ia masih belum terbebaskan?”
“Adalah ketagihan yang menghasilkan seseorang; Pikirannya adalah apa yang berlarian; Sesosok makhluk memasuki saṃsāra; Ia belum terbebaskan dari penderitaan.”
[38]
“Apakah yang menghasilkan seseorang? Apakah yang ia miliki yang berlarian? Apakah yang memasuki saṃsāra? Apakah yang menentukan takdirnya?”
“Adalah ketagihan yang menghasilkan seseorang; Pikirannya adalah apa yang berlarian; Sesosok makhluk memasuki saṃsāra; Kamma menentukan takdirnya.”
“Apakah yang dinyatakan sebagai jalan menyimpang? Apakah yang mengalami kehancuran siang dan malam?
<84>
Apakah noda dari kehidupan suci? Apakah mandi tanpa air?”
“Nafsu dinyatakan sebagai jalan menyimpang; Kehidupan mengalami kehancuran siang dan malam; Perempuan adalah noda bagi kehidupan suci: Di sini para laki-laki terjerat. Praktik keras dan kehidupan suci- Itu adalah mandi tanpa air.”119
“Apakah pasangan seseorang? Apakah yang mengajarinya? Bergembira dalam apakah seseorang terbebas dari segala penderitaan?”
“Keyakinan adalah pasangan seseorang Dan kebijaksanaan adalah apa yang mengajarinya.
<85>
Bergembira dalam Nibbāna, seseorang Terbebas dari segala penderitaan.”
“Apakah perancah dari syair? Apakah yang menjadi frasanya? Di atas apakah syair bersandar? Apakah alam bagi syair?”
“Rima adalah perancah bagi syair; Suku kata merupakan frasanya; Syair bersandar di atas nama-nama; Penyair adalah tempat kediaman bagi syair-syair.”120
[39]
<86>
“Apakah yang membebani segalanya? Apakah yang paling luas? Apakah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya?”
“Nama membebani segalanya; Tidak ada yang lebih luas daripada nama.
<87>
Nama adalah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya.”121
“Dengan apakah dunia diputar? Dengan apakah dunia ini ditarik ke sana kemari? Apakah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya?”
“Dunia diputar oleh pikiran; Dengan pikiran dunia ini ditarik ke sana kemari. Pikiran adalah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya.”122
“Dengan apakah dunia diputar? Dengan apakah dunia ini ditarik ke sana kemari?
<88>
Apakah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya?”
“Dunia diputar oleh ketagihan; Dengan ketagihan dunia ini ditarik ke sana kemari. Ketagihan adalah satu hal yang segala sesuatu Berada di bawah kendalinya.”
“Dengan apakah dunia terbelenggu erat? Apakah alatnya dalam bepergian? Apakah yang harus ditinggalkan oleh seseorang Untuk mengatakan, ‘Nibbāna’?”
“Dunia terbelenggu erat oleh kegembiraan; Pikiran adalah alatnya dalam bepergian. Ketagihan adalah apa yang harus ditinggalkan oleh seseorang Untuk mengatakan, ‘Nibbāna.’”123
<89>
Oleh apakah dunia ini dicengkeram dalam ikatan? Apakah alatnya dalam bepergian? Apakah yang harus ditinggalkan oleh seseorang Untuk memotong semua ikatan?”
[40]
“Dunia dicengkeram dalam ikatan oleh kegembiraan; Pikiran adalah alatnya dalam bepergian. Keserakahan adalah apa yang harus ditinggalkan oleh seseorang Untuk memotong semua ikatan.”
“Dirundung oleh apakah dunia ini? Terbungkus oleh apakah dunia ini? Terluka oleh panah apakah dunia ini? Oleh apakah dunia ini selalu terbakar?124
<90>
“Dunia ini dirundung oleh kematian, Terbungkus oleh usia-tua; Terluka oleh anak panah ketagihan, Selalu terbakar oleh keinginan.”
“Terjerat oleh apakah dunia ini ? Terbungkus oleh apakah dunia ini? Terkurung oleh apakah dunia ini? Berdiri di atas apakah dunia ini?”
“Dunia ini terjerat oleh ketagihan; Terbungkus oleh usia-tua; Dunia ini terkurung oleh kematian; Dunia ini berdiri di atas penderitaan.”125
<91>
“Terkurung oleh apakah dunia ini? Berdiri di atas apakah dunia ini? Terjerat oleh apakah dunia ini? Terbungkus oleh apakah dunia ini?”
“Dunia ini terkurung oleh kematian; Berdiri di atas penderitaan; Dunia ini terjerat oleh keserakahan; Dunia ini terbungkus oleh usia-tua.”
“Terkepung oleh apakah dunia ini? Dengan melenyapkan apakah dunia ini terbebaskan? Apakah yang harus ditinggalkan oleh seseorang Untuk memotong semua ikatan?”
“Oleh keinginan dunia ini terkepung; Dengan melenyapkan keinginan dunia ini terbebaskan. Keinginan adalah apa yang harus ditinggalkan oleh seseorang
<92>
Untuk memotong semua ikatan.”[41]
“Dalam apakah dunia ini muncul? Dalam apakah dunia ini membentuk keintiman? Dengan melekat pada apakah dunia ini Terusik sehubungan dengan apakah?”
“Dalam enam dunia ini muncul; Dalam enam dunia ini membentuk keintiman; Dengan melekat pada enam, dunia ini Terusik sehubungan dengan enam.”126
<93>
Di Sāvatthi. Dengan berdiri di satu sisi, devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair berikut ini:
“Setelah membunuh apakah seseorang tidur dengan lelap? Setelah membunuh apakah seseorang tidak bersedih? Apakah satu hal ini, O Gotama, Pembunuhan yang Engkau setujui?”127
[Sang Bhagavā:]
“Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidur dengan lelap; Setelah membunuh kemarahan, seseorang tidak bersedih; Pembunuhan kemarahan, O devatā, Dengan akarnya yang beracun dan pucuknya yang bermadu: Adalah pembunuhan yang dipuji oleh para mulia, Karena setelah membunuhnya, seseorang tidak bersedih.”128
“Apakah penanda dari sebuah kereta? Apakah penanda dari api? Apakah penanda dari sebuah negara? Apakah penanda dari seorang perempuan?”129
[42]
<94>
“Sebuah bendera adalah penanda dari sebuah kereta; Asap, adalah penanda dari api; Raja adalah penanda suatu kerajaan; Seorang suami, adalah penanda dari seorang perempuan.”
“Apakah harta terbaik seseorang? Apakah yang jika dipraktikkan dengan baik membawa kebahagiaan? Apakah yang termanis dari segala rasa? Bagaimanakah kehidupan dari seseorang yang dikatakan sebagai kehidupan terbaik?”
“Keyakinan adalah harta terbaik seseorang; Dhamma yang dipraktikkan dengan baik membawa kebahagiaan; Kebenaran adalah yang termanis dari segala rasa;
<95>
Seseorang yang hidup dengan kebijaksanaan dikatakan hidup yang terbaik.”130
[Devatā:]
“Apakah yang terbaik dari segala sesuatu yang naik? Apakah yang melampaui segalanya yang turun? Apakah yang terbaik dari segala sesuatu yang mengembara? Siapakah pembabar yang terbaik?”
[Devatā lainnya:]
“Benih adalah yang terbaik dari segala sesuatu yang naik; Hujan melampaui segalanya yang turun; Sapi adalah yang terbaik dari segala sesuatu yang mengembara; Putra adalah pembicara yang terbaik.”131
[Sang Bhagavā:]
“Pengetahuan adalah yang terbaik dari segala sesuatu yang naik; Ketidaktahuan adalah yang terbaik dari segalanya yang turun; Saṅgha adalah yang terbaik dari segala sesuatu yang mengembara; Pembabar yang terbaik adalah Sang Buddha.”132
<96>
“Mengapa begitu banyak orang di sini takut Ketika jalan telah diajarkan dengan banyak landasan?133 Aku bertanya kepadaMu, O Gotama, yang luas dalam kebijaksanaan: Pada apakah seseorang harus bersandar Agar tidak takut pada dunia lain?”
“Dengan mengarahkan ucapan dan pikiran yang benar, Tidak melakukan kejahatan dengan jasmani, Berdiam di rumah dengan makanan dan minuman yang cukup,
[43]
Penuh keyakinan, lembut, dermawan, ramah: Ketika seseorang bersandar pada empat hal ini, Berdiri kokoh di atas Dhamma, Seseorang tidak perlu takut pada dunia lain.”134
“Apakah yang mengalami kerusakan, apakah yang tidak mengalami kerusakan? Apakah yang dikatakan sebagai jalan yang menyimpang?
<97>
Apakah rintangan bagi kondisi-kondisi [bermanfaat]? Apakah yang mengalami kehancuran siang dan malam? Apakah noda bagi kehidupan suci? Apakah mandi tanpa air?
“Berapa banyakkah retakan yang terdapat di dunia Di mana pikiran tidak dapat berdiri kokoh? Kami datang untuk bertanya kepada Sang Bhagavā: Bagaimanakah kami memahaminya?”
“Bentuk fisik makhluk-makhluk hidup mengalami kerusakan, Nama dan suku mereka tidak mengalami kerusakan. Nafsu dikatakan sebagai jalan menyimpang, Ketagihan adalah rintangan bagi kondisi-kondisi [bermanfaat].
“Kehidupan mengalami kehancuran siang dan malam; Perempuan adalah noda bagi kehidupan suci: Di sinilah para laki-laki terperangkap. Praktik keras dan kehidupan suci – Itu adalah mandi tanpa air.
<98>
“Ada enam retakan di dunia Di mana pikiran tidak dapat berdiri kokoh: Kemalasan dan kelengahan, Ketumpulan, kurangnya pengendalian-diri, Kantuk dan kelesuan – Hindarilah retakan-retakan ini sepenuhnya.”135
“Apakah kekuasaan di dunia? Apakah yang mendapat peringkat sebagai hal yang terbaik? Apakah pedang berkarat di dunia ini? Apakah yang dianggap wabah di dunia ini?
“Siapakah yang mereka tangkap ketika ia mengambil? Dan siapakah, ketika mengambil, justru menyenangkan? Dalam diri siapakah para bijaksana bergembira Ketika ia kembali lagi dan lagi?”
<99>
“Keterampilan adalah kekuasaan di dunia;136 Seorang perempuan mendapat peringkat sebagai benda terbaik; Di dunia ini kemarahan adalah pedang berkarat; Pencuri di dunia ini dianggap sebagai wabah.137
“Mereka menangkap seorang pencuri ketika ia mengambil, Tetapi seorang petapa yang mengambil adalah menyenangkan. Para bijaksana bergembira di dalam diri seorang petapa Ketika ia kembali lagi dan lagi.”
[44]
“Apakah yang seharusnya tidak diberikan oleh ia yang mencintai kebaikan? Apakah yang seharusnya tidak dilepaskan oleh seseorang? Apakah yang seharusnya dilepaskan seseorang jika itu adalah sesuatu yang baik, Tetapi tidak dilepaskan jika itu adalah sesuatu yang buruk?”
“Seseorang seharusnya tidak memberikan dirinya sendiri;
<100>
Ia seharusnya tidak melepaskan dirinya sendiri.138 Seseorang seharusnya melepaskan ucapan yang baik, Tidak mengucapkan apa yang buruk.”
“Apakah yang menjaga perbekalan untuk suatu perjalanan? Apakah tempat tinggal harta? Apakah yang menarik seseorang berputar? Apakah di dunia ini yang sulit ditinggalkan? Oleh apakah banyak makhluk terikat Bagaikan burung-burung terjerat dalam perangkap?”
“Keyakinan menjaga perbekalan untuk suatu perjalanan; kekayaan adalah tempat tinggal harta; Keinginan menarik seseorang berputar; Oleh keinginan banyak makhluk terikat
<101>
Bagaikan burung-burung terjerat dalam perangkap.”
“Apakah sumber cahaya di dunia ini? Apakah di dunia ini yang selalu terjaga? Apakah [sekumpulan] dari mereka yang hidup dengan bekerja? Apakah jalur pergerakan seseorang?
“Apakah yang memelihara baik yang lamban maupun yang aktif Bagaikan seorang ibu memelihara anaknya? Makhluk-makhluk yang berdiam di bumi – Dengan apakah mereka mempertahankan kehidupan mereka?”
“Kebijaksanaan adalah sumber cahaya di dunia ini; Perhatian, di dunia ini, adalah yang selalu terjaga; Sapi adalah [sekumpulan] dari mereka yang hidup dengan bekerja;
<102>
Jalur pergerakan seseorang adalah jalan setapak.139
“Hujan memelihara baik yang lamban maupun yang aktif Bagaikan seorang ibu memelihara anaknya. Makhluk-makhluk yang berdiam di bumi Mempertahankan hidup mereka dengan hujan.”
“Siapakah di dunia ini yang tenang? Gaya hidup siapakah yang tidak sia-sia? Siapakah di sini yang sepenuhnya memahami keinginan? Siapakah yang menikmati kebebasan terus-menerus?
[45]
“Siapakah yang dipuja oleh orang tua dan saudara Ketika ia telah mantap dan kokoh? Yang walaupun berkelahiran rendah Namun bahkan dihormati oleh khattiya?”
<103>
“Petapa adalah yang tenang di dunia ini; Kehidupan petapa adalah tidak sia-sia; Para petapa sepenuhnya memahami keinginan; Mereka menikmati kebebasan terus-menerus.
“Orang tua dan saudara menghormati petapa Ketika ia telah mantap dan kokoh.140 Walaupun petapa adalah berkelahiran rendah Bahkan para khattiya menghormatinya.”
Mārisa, “Tuan, Yang Mulia,” istilah yang biasa digunakan oleh para deva untuk menyapa Sang Buddha, para bhikkhu senior (baca, misalnya, 40:10; IV 270,16), dan anggota komunitas mereka sendiri (11:3; I 218,34); raja-raja juga menggunakannya untuk menyapa satu sama lain (3:12; I 80,4). Spk menjelaskannya sebagai istilah dari makna kasih sayang “seorang yang tanpa penderitaan” (niddukkha), tetapi ini mungkin bentuk India Tengah dari Skt madrsa.
Kata “banjir” (ogha) digunakan secara metafora, tetapi di sini dengan penekanan tambahan secara teknis, untuk menunjuk kelompok ajaran empat banjir (baca 45:171), lebih dikenal, menurut Spk, “karena mereka terus-menerus tenggelam dalam lingkaran kehidupan dan tidak membiarkan mereka naik ke tingkat yang lebih tinggi dan ke Nibbāna.” Empat ini (definisi dari Spk) adalah: (i) banjir indriawi (kāmogha) = keinginan dan nafsu terhadap lima kenikmatan indria (bentuk-bentuk menyenangkan, suara-suara, dan seterusnya – baca 45:176); (ii) banjir penjelmaan (bhavogha) = keinginan dan nafsu terhadap alam kehidupan berbentuk dan alam kehidupan tanpa-bentuk dan kemelekatan pada pencapaian jhāna; (iii) banjir pandangan-pandangan (diṭṭhogha) = enam puluh dua pandangan (DN I 12-38); dan (iv) banjir ketidaktahuan (avijjogha) = kurangnya pengetahuan sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Perumpamaan banjir juga digunakan pada vv.298-300, 511-13, dan 848-49. ↩︎
Appatiṭṭhaṃ khvāhaṃ āvuso anāyūhaṃ ogham atariṃ. Spk: Jawaban Sang Buddha dimaksudkan secara paradoks, bagi orang yang biasanya menyeberang dengan berhenti di tempat dan memanfaatkan pijakan kaki dan yang memaksakan diri untuk menyeberang.
Spk mengemas appatiṭhaṃ hanya sebagai appatiṭhahanto (bentuk alternatif dari suatu kejadian yang sedang berlangsung), namun Spk-pṭ menjelaskan: “Tidak-berhenti: tidak berdiri diam sehubungan dengan kekotoran dan seterusnya; maknanya adalah ‘tidak tenggelam’ (appatiṭṭhahanto ti kilesādīnaṃ vasena asantiṭṭhanto, asamsidanto ti attho).” Kata kerja patitiṭṭhhati biasanya berarti “kokoh”, yaitu, melekat, pada dasarnya berhubungan dengan ketagihan dan kekotoran lainnya: baca di bawah v.46 dan n.35. Kesadaran yang didorong oleh ketagihan adalah “kokoh” (baca 12:38-40, 12:64, 22:53-54), dan ketika ketagihan dilenyapkan maka menjadi “tidak kokoh, tanpa penopang.” Para Arahant selesai “dengan kesadaran tidak kokoh” (appatiṭṭhitena viññāṇena … parinibbuto; baca 4:23 (I 122,12-13)). Semua nuansa ini terkandung dalam jawaban Sang Buddha.
Kata kerja āyūhati jarang terdapat dalam Nikāya, tetapi baca di bawah v.263df, v.264d, dan Sn 210d. Sebuah bentuk yang lebh padat dari ūhati (ditambah dengan à- dan y- sebagai penghubung); kata kerja sederhana ini muncul pada MN I 116,13-14, di mana dapat diterjemahkan “dipaksakan”. Kemunculan di sana bersesuaian dengan konteks sekarang ini: pikiran yang tegang dipaksakan adalah jauh dari konsentrasi. Dalam literatur belakangan bentuk kata benda āyūhana memperoleh makna teknis “akumulasi” yang secara khusus merujuk pada kamma; dalam formula kemunculan bergantungan (paṭicca-samuppāda), bentukan kehendak (saṅkhārā) dikatakan memiliki fungsi āyūhana; baca Paṭis I 52, 14,26; Vism 528, 12 (Ppn 17:51), 579,31-580, 4 (Ppn 17:292-93).
Spk: Sang Bhagavā dengan sengaja memberikan jawaban kabur kepada deva untuk merendahkan hatinya, karena ia kaku oleh kesombongan menganggap dirinya bijaksana. Menyadari bahwa deva itu tidak akan mampu menembus ajaran jika ia tidak mengubah sikapnya terlebih dulu, Sang Buddha bermaksud untuk membuatnya bingung dan karenanya dapat mengekang keangkuhannya. Pada saat itu, dengan rendah hati, deva itu akan memohon penjelasan dan Sang Buddha akan menjelaskan dengan cara-cara yang dapat ia pahami. ↩︎
Penjelasan singkat Sang Buddha merujuk pada Jalan Tengah (majjhimā paṭipadā) dalam pengertian yang paling komprehensif, baik secara praktis maupun filosofis. Untuk menjelaskan implikasi ini, Spk menguraikan tujuh pasangan: (i) “berhenti” karena kekotoran, seseorang tenggelam; “memaksakan” karena bentukan-bentukan kehendak, seseorang terhanyut; (ii) karena ketagihan dan pandangan-pandangan, seseorang tenggelam; karena kekotoran-kekotoran lainnya, seseorang terhanyut; (iii) karena ketagihan, seseorang tenggelam; karena pandangan-pandangan, seseorang terhanyut; (iv) karena pandangan eternalis, seseorang tenggelam; karena pandangan nihilis, seseorang terhanyut. (baca It 43, 12-44,4); (v) karena kekenduran, seseorang tenggelam; karena kegelisahan, seseorang terhanyut; (vi) karena melakukan praktik pemuasan kenikmatan-indria, seseorang tenggelam; karena melakukan praktik penyiksaan diri, seseorang terhanyut; (vii) karena segala bentukan kehendak yang tidak bermanfaat, seseorang tenggelam; karena segala bentukan kehendak bermanfaat duniawi, seseorang terhanyut. Ñāṇananda menyarankan agar menghubungkan prinsip “tidak berhenti, tidak memaksakan diri” dengan masing-masing dari empat banjir: baca SN-Anth 2:56-58. ↩︎
Spk: Sang Buddha disebut seorang brahmana dalam pengertian Arahant (baca Dhp 388, 396-423). Beliau telah padam sepenuhnya (parinibbuto) dalam hal bahwa Beliau telah padam melalui pemadaman kekotoran-kekotoran (kilesanibbānena nibbutaṃ). Ketagihan adalah sebutan untuk kemelekatan (vissattikā) karena melekat dan menempel pada berbagai objek indria. ↩︎
Spk: Ketika deva itu mendengar jawaban Sang Buddha ia mencapai Buah Memasuki-Arus. ↩︎
Sattānaṃ nimokkhaṃ pamokkhaṃ vivekaṃ. Spk: “Pembebasan (nimokkha) adalah Sang Jalan, karena makhluk-makhluk yang terbebas dari belenggu kekotoran oleh Sang Jalan; kebebasan (pamokha) adalah buahnya, karena pada saat berbuah makhluk-makhluk terbebas dari belenggu kekotoran; keterasingan (viveka) adalah Nibbāna, karena ketika mereka mencapai Nibbàna makhluk-makhluk terpisah dari segala penderitaan. Atau, dengan kata lain, ketiganya adalah sebutan bagi Nibbāna: karena setelah mencapai Nibbāna, makhluk-makhluk terbebaskan, terlepaskan, terpisah dari segala penderitaan.” Kata-kata yang sesungguhnya dari syair ini sepertinya lebih sesuai dengan alternatif ke dua. ↩︎
Spk mengemas: Nandībhavaparikkhayā ti nandīmūlakassa kammabhavassa parikkhayena; nandiyā ca bhavassa cā ti pi vaṭṭati; “Dengan kehancuran-kegembiraan-pada-penjelmaan: dengan kehancuran total penjelmaan proses-kamma yang berakar pada kegembiraan; juga boleh memahami makna ini sebagai ‘(kehancuran) kegembiraan dan penjelmaan.’” Akan tetapi, akan lebih masuk akal, menafsirkan tiga-istilah tappurisa ini sebagai gabungan terbalik yang ditempatkan secara tidak beraturan mungkin karena tuntutan syair. Interpretasi ini dikonfirmasi oleh Pj II 469, 14 dan Dhp-a IV 192, 7-8 dalam kemasannya atas kata majemuk bahubbihi yaitu nandībhava parikkhīṇaṃ sebagai tisu bhavesu parikkhīṇataṇhaṃ;” seorang yang telah menghancurkan keinginan terhadap tiga alam kehidupan.” Baca juga di bawah v.300c dan n.165. ↩︎
Dalam syair ini hanya dua pāda pertama yang sesuai dengan irama (Vatta) yang dikenali, yang mengisyaratkan bahwa syair ini cacat. Ee2 memperbaiki pāda ke tiga dan menambahkan satu baris yang ditemukan hanya pada Lanna ms dalam sebuah kata baru: vedanānam nirodhā ca/ upasanto carissatī ti. Ia kemudian memperlakukan tiga pāda dari edisi lainnya sebagai prosa. Akan tetapi, ini, mengubah makna dari syair itu sedemikian sehingga tidak lagi menjawab pertanyaan itu secara langsung.
Spk: Dalam penjelasan metode pertama, kegembiraan dalam penjelmaan ((nandibhava, atau, mengikuti kemasannya: “kehidupan yang berakar pada kegembiraan”), sebagai tiga aktivitas bentukan kamma (tividhakammābhisaṅkhāra – baca 12:51), menyiratkan kelompok bentukan kehendak (saṇkhārakkhandha); persepsi dan kesadaran menyiratkan dua kelompok yang berhubungan dengannya; dan dengan menyebutkan ini, perasaan yang berhubungan tiga kelompok itu juga termasuk. Dengan demikian, dengan tidak adanya empat kelompok batin yang aktif karena kamma (anupādiṇṇaka-arūpakkhandhā), “Nibbāna dengan sisa” (sa-upadisesa-nibbāna) dijelaskan. Melalui frasa dengan lenyapnya dan tenangnya perasaan (vedanānaṃ nirodhā upasamā), perasaan yang diperoleh dari kamma (upādiṇṇaka) dijelaskan, dan dengan menyebutkan ini ketiga kelompok lainnya yang berhubungan juga tersiratkan; kelompok bentuk termasuk sebagai landasan fisik dan objeknya. Demikianlah, dengan tidak adanya kelompok-kelompok yang diperoleh karena kamma, “Nibbāna tanpa sisa” (anupādisesa-nibbāna) dijelaskan. Dalam metode ke dua (menganggap “kegembiraan” dan “penjelmaan” sebagai istilah paralel), kegembiraan menyiratkan kelompok bentukan kehendak; penjelmaan, kelompok bentuk; dan kelompok-kelompok lainnya diperlihatkan sesuai namanya masing-masing. Nibbāna ditunjukkan sebagai tidak-adanya lima kelompok ini. Demikianlah Sang Bhagavā menutup ajaranNya dengan Nibbāna itu sendiri.
Mengenai dua unsur Nibbāna, baca Pendahuluan, p.50. ↩︎
Spk: “Kehidupan tersapu” (upanāyati jīvitaṃ) berarti: “(Kehidupan) dihancurkan, padam; atau bergerak maju, yaitu perlahan-lahan mendekati kematian” (upanīyatī ti parikkhāyati nirujjhati; upagacchati vā; anupubbena maraṇaṃ upetī ti attho). “Umur kehidupan adalah singkat” (appam āyu): “Umur kehidupan terbatas dalam dua cara: pertama, karena dikatakan, ‘Seseorang yang berumur panjang hingga seratus tahun atau sedikit lebih lama’ (baca 4:9); dan ke dua, karena dalam pengertian tertinggi, momen kehidupan makhluk-makhluk adalah sangat terbatas, menahankan hanya sekedar tindakan kesadaran.” Spk melanjutkan seperti pada Vism 238 (Ppn 8:39). ↩︎
Spk: Deva ini telah terlahir kembali di salah satu alam brahmā yang berumur panjang. Ketika ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali di alam-alam yang berumur pendek, ia merasa kasihan dan mendesak mereka agar melakukan “perbuatan baik” (puññāni) – untuk megembangkan jhāna-jhāna alam berbentuk dan alam tanpa-bentuk – agar mereka dapat terlahir kembali di alam-alam berbentuk dan tanpa-bentuk yang berumur panjang. Syair Sang Buddha adalah jawaban yang dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa nasihat deva itu masih terikat pada lingkaran kehidupan dan tidak menuntun ke arah pembebasan. Kedamaian (santi) yang dipuji oleh Sang Buddha adalah Nibbāna.
Spk menjelaskan dua penunjuk lokāmisa, secara literal “hal-hal yang bersifat jasmani”: (i) kiasan (pariyāyena), menunjukkan keseluruhan lingkaran kehidupan dalam tiga alam, alam tujuan dari kemelekatan, “umpan dunia”; (ii) secara literal (nippariyāyena), menunjukkan empat kebutuhan (jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan), landasan materi untuk bertahan hidup. Untuk penggunaan kiasan sebagai āmisa, baca v.371d, v.480, dan 35:230; akan tetapi, dalam teks terakhir, enam objek diumpamakan sebagai mata kail daripada sebagai umpan itu sendiri. ↩︎
Vayoguṇā anupubbaṃ jahanti. Spk. Kemudaan meninggalkan seseorang yang mencapai usia pertengahan; baik usia muda maupun usia pertengahan meninggalkan seseorang yang mencapai usia tua; dan pada saat kematian, seluruh tiga tahap itu meninggalkan kita. ↩︎
Spk: Seseorang harus memotong (chinde) lima belenggu yang lebih rendah (pandangan tentang diri, keragu-raguan, cengkeraman menyimpang atas ritual dan upacara, keinginan-indria, permusuhan). Seseorang harus meninggalkan (jahe) lima belenggu yang lebih tinggi (nafsu terhadap bentuk, nafsu terhadap tanpa bentuk, keangkuhan, kegelisahan, ketidaktahuan). Untuk memotong dan meninggalkan belenggu-belenggu ini seseorang harus mengembangkan lebih jauh lagi lima (pañca cuttari bhāvaye), yaitu, lima kekuatan spiritual (keyakinan, usaha, perhatian, konsentrasi, kebijaksanaan). Lima ikatan (pañcasaṅga) adalah: nafsu, kebencian, delusi, keangkuhan, dan pandangan-pandangan. Seorang bhikkhu yang telah mengatasi lima ikatan ini disebut seorang penyeberang banjir (oghatiṇṇo), yaitu, seorang penyeberang empat banjir (baca n.1).
Anehnya, walaupun syair-syair ini merujuk pada lima ikatan seolah-olah merupakan kumpulan ajaran standar, namun tidak ada kelompok lima dari saṅga ini dapat ditemukan seperti itu dalam Nikāya-nikāya; lima saṅga disebutkan dalam Vibh 377, 16-18. ↩︎
Spk mengatakan, “Ketika lima kekuatan bangun, lima rintangan tidur, dan ketika lima rintangan tidur, lima kekuatan bangun,” tetapi ini terlihat seperti duplikasi; penjelasan akan lebih memuaskan jika frasa pertama menyebutkan bahwa ketika lima kekuatan tidur, lima rintangan bangun, dengan demikian menjadikannya lebih eksplisit hubungan perlawanan diametris dan saling meniadakan antara kedua pentad. Spk melanjutkan: “Adalah oleh lima rintangan yang sama seseorang mengumpulkan debu, yaitu, debu kekotoran; dan oleh lima kekuatan, seseorang dimurnikan.” ↩︎
Spk mengidentifikasikan dhammā dari pāda a sebagai catusacca-dhamma, “hal-hal (ajaran) atas empat kebenaran (mulia).” Yang mungkin diarahkan kepada ajaran lain: Spk: ajaran dari sekte spiritual lain selain ajaran Buddha disebut “ajaran lain” (paravādà); secara lebih spesifik, ajaran enam puluh dua pandangan (DN I 12-38). Beberapa orang condong menganut ajaran-ajaran ini dengan kehendak mereka sendiri, beberapa lainnya diarahkan dan menganut ajaran –ajaran ini atas pengaruh orang lain. ↩︎
Yang Bangun (sambuddhà). Spk: Ada empat jenis Yang Bangun: para Buddha yang maha tahu, para paccekabuddha, “Yang Bangun dari Empat Kebenaran” (yaitu, para siswa Arahant), dan mereka yang bangun melalui pembelajaran. Tiga jenis pertama dijelaskan dalam konteks ini. Mereka berjalan lurus di tengah-tengah yang tidak lurus: Mereka berjalan lurus di tengah-tengah dunia umum yang tidak lurus, atau di tengah-tengah komunitas makhluk-makhluk yang tidak lurus, atau di tengah-tengah banyak kekotoran. ↩︎
Spk: Di sini menjinakkan (dama) menunjukkan kualitas yang berhubungan dengan konsentrasi. Kesucian (mona) adalah pengetahuan empat jalan adi-duniawi, disebut demikian karena mengalami (munātī ti monaṃ); yaitu, mengetahui empat kebenaran. Alam Kematian (maccudheyya) adalah lingkaran dengan tiga alamnya, disebut demikian karena itu adalah wilayah Kematian; jauh di pantai seberang (pāra) adalah Nibbāna. ↩︎
Spk melihat bait ini sebagai formula implisit dari tiga latihan: dengan meninggalkan keangkuhan, moralitas yang lebih tinggi (adhisīla) dijelaskan, dengan konsentrasi yang baik (susamā hitatto), latihan konsentrasi atau pikiran yang lebih tinggi (adhicitta) dijelaskan; dan dengan pikiran yang luhur (sucetaso), menunjukkan pikiran yang memiliki kebijaksanaan, latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññā). Mengenai ini kita dapat menambahkan bahwa frasa terakhir, terbebaskan di mana pun (sabbadhi vippamutto), menunjukkan puncak dari tiga latihan dalam pembebasan (vimutti). Baca DN II 122,15 - 123,12. ↩︎
Spk: Syair ini diucapkan oleh deva bumi yang berdiam di hutan. Setiap hari ia melihat para bhikkhu yang mendiami hutan itu duduk bermeditasi setelah makan. Ketika mereka duduk, pikiran mereka akan menjadi terpusat dan tenang, dan ketenangan pikiran mereka akan terwujud dalam corak kulit mereka (vaṇṇa). Bingung bahwa mereka dapat memiliki wajah yang begitu tenang selagi hidup dalam kondisi yang keras, deva itu mendatangi Sang Buddha untuk menanyakan sebabnya. Corak wajah (mukhavaṇṇa) atau corak kulit (chavivaṇṇa) dipercaya menunjukkan keberhasilan dalam meditasi; baca 21:3 (II 275,20-21), 28:1 (III 235,22); dan Vin I 40,14, dan 41,2. ↩︎
Tāvatimsa, “alam tiga-puluh-tiga,” adalah alam surga ke tiga. Dinamakan demikian arena tiga puluh tiga pemuda, yang dipimpin oleh pemuda Magha, telah terlahir kembali di sini sebagai akibat dari perbuatan baik mereka. Magha sendiri akan menjadi Sakka, pemimpin para deva. Nandana adalah Taman Kegembiraan di Tāvatiṃsa, disebut demikian karena memberikan kegembiraan kepada siapa pun yang masuk ke dalamnya. Menurut Spk, deva ini baru saja terlahir di surga ini dan, selagi berjalan-jalan di Hutan Nandana, ia mengucapkan syair pujian kegembiraan atas keagungan surgawi. Spk mengemas naradevānaṃ sebagai devapurisānaṃ, “deva laki-laki”; jelas bukan kata majemuk dvanda. Tidasa “Tiga Puluh” (lit. “tiga kali tiga puluh”) adalah sebutan puitis untuk Tāvatiṃsa. ↩︎
Spk menduga jawaban ini berasal dari deva perempuan yang merupakan seorang siswa mulia (ariyasāvikā). Berpikir, “Deva bodoh ini membayangkan keagungannya sebagai kekal dan tidak berubah, tidak menyadari bahwa itu akan terpotong, musnah, dan memudar,” ia mengucapkan syair ini untuk melenyapkan khayalannya. “Pepatah para Arahant” diucapkan oleh Sang Buddha pada 15:20 (II 193, juga pada DN II 199, 6-7); raja deva Sakka mengulanginya pada peristiwa Sang Buddha Parinibbāna (baca v. 609). Baris pertama biasanya tertulis aniccà vata sankhārā daripada, seperti di sini, aniccà sabbasaṅkhārā. Percakapan syair yang sama terjadi di bawah pada 9:6, dengan dewi Jālinī dan Yang Mulia Anuruddhā sebagai pembicara. Bentuk vokatif perempuan bale dalam pāda b menyiratkan bahwa dialog terakhir adalah asal-mula syair, atau dalam kasus bagaimanapun bahwa devatā pertama adalah perempuan.
Spk: Bentukan di sini adalah semua bentukan di tiga alam kehidupan (sabbe tebhūmakasaṅkhārā), yang adalah tidak kekal dalam makna bahwa bentukan ini menjadi tidak ada setelah muncul (hutvā abhāvaṭṭhena aniccā). Penenangannya adalah kebahagiaan (tesaṃ vūpassamo sukho): Nibbāna itu sendiri, disebut penenangan atas bentukan-bentukan itu, adalah kebahagiaan. ↩︎
Upadhi, “perolehan” (dari upa + dhā, “bersandar pada”) secara literal berarti “sesuatu untuk bersandar,” yaitu, “landasan-landasan” atau “perlengkapan” kehidupan. Kata ini memiliki makna objektif dan subjektif. Secara objektif, kata ini merujuk pada segala sesuatu yang diperoleh, yaitu, aset atau harta seseorang; secara subjektif, merujuk pada tindakan yang bersesuaian yang berakar pada ketagihan. Dalam banyak kasus, kedua makna ini bergabung, dan sering kali keduanya memang disengaja. Kata ini berfungsi sebagai padanan upādāna, “kemelekatan”, akan tetapi, secara etimologi tidak berhubungan. Sehubungan dengan ini, baca 12:66 dan II, n.187, dan Sn p.141
Spk (bersama dengan komentar-komentar lainnya) memberikan empat pengelompokan upadhi: (i) kāmūpadhi, perolehan sebagai kenikmatan indria dan kepemilikan materi, (ii) khandhūpadi, lima kelompok unsur kehidupan, (iii) kilesūpadhi, kekotoran, yang merupakan landasan bagi penderitaan di alam sengsara; dan (iv) abhisaṅkhārūpadhi, bentukan-bentukan kehendak, akumulasi kamma, yang merupakan landasan bagi segala penderitaan dalam saṃsāra. Dalam syair deva itu, upadhi yang digunakan adalah dalam pengertian yang pertama.
Dalam jawabanNya Sang Buddha membalikkan ungkapan devatā tersebut “seseorang yang tanpa perolehan” (nirupadhi) sebagai intinya dengan menggunakan istilah yang menandakan Arahant, yang bebas dari empat jenis upadhi dan dengan demikian terbebas sepenuhnya dari penderitaan. Pasangan syair ini muncul kembali di bawah pada 4:8, dengan Māra sebagai lawan bicara. ↩︎
Spk: Tidak ada kasih sayang yang menyamai kasih sayang pada diri sendiri karena orang-orang, bahkan jika mereka meninggalkan orang tua mereka dan mengabaikan anak-anak mereka, namun mereka masih memperhatikan diri mereka sendiri (baca v.392). Tidak ada kekayaan yang menyamai padi, karena orang-orang ketika kelaparan, akan menyerahkan emas, perak dan harta lainnya untuk mendapatkan beras. Tidak ada cahaya yang menyamai kebijaksanaan karena kebijaksanaan dapat menerangi sepuluh ribu sistem dunia dan melenyapkan kegelapan yang menyelubungi tiga periode waktu, yang bahkan matahari tidak mampu melakukannya (baca AN II 139-40). Diantara air, hujan adalah yang tertinggi karena jika hujan dihentikan, bahkan samudra luas akan mengering, tetapi ketika hujan turun terus-menerus, dunia ini akan menjadi genangan air bahkan hingga ke alam deva Ābhassara. ↩︎
Mulai dari sini, jika teks tidak menyebutkan identitas pembicara, ini menyiratkan bahwa syair pertama diucapkan oleh devatā dan jawabannya oleh Sang Buddha. ↩︎
Dalam pāda b, Be dan Se membaca sannisīvesu, sebuah kata yang tidak ditemukan di mana pun, sedangkan Ee1 & 2, mengikuti SS, membaca sannisinnesu, yang mungkin merupakan “koreksi” dari tulisan aslinya; teks yang digunakan oleh subkomentator jelas dibaca sannisīvesu. Spk mengemasnya: yathā phāsukaṭṭhānaṃ upagantvā sannisivesu vissamānesu. [Spk-pṭ: parissamavinodanatthaṃ sabbaso sannisīdantesu; d-kārassa hi v-kāraṃ katvā niddeso.] Inti dari penjelasan ini adalah bahwa di siang hari burung-burung [dan hewan lainnya], kelelahan karena panas, dengan tenang beristirahat untuk melenyapkan keletihan.
Dalam pāda c pemecahan untuk saṇateva agak problematis. Spk mengemasnya: saṇati viya mahāviravaṃ viya muccati, “sepertinya bersuara, seolah-olah membuat kegaduhan.” Ini menyiratkan bahwa Spk mengelompokkan sandhi ke dalam saṇate iva. Ee2 jelas menerima ini dengan tulisan saṇate va. Mengikuti usulan VĀT, saya memutuskan menggunakan saṇati eva, dengan anggapan bahwa hutan itu sendiri yang mengeluarkan suara. Kata kerja saṇati berarti hanya mengeluarkan suara, dan di tempat lain digunakan untuk menggambarkan suara aliran sungai (Sn 720-21), jadi di sini suara itu lebih sesuai digambarkan sebagai gumaman daripada teriakan. Dalam pāda d kata kerja paṭibhāti, dikemas oleh Spk menjadi upaṭṭhāti.
Spk: Di musim kering, di tengah hari, ketika hewan-hewan dan burung-burung duduk dengan tenang, suara riuh terdengar muncul dari kedalaman hutan sewaktu angin bertiup melewati pepohonan, kerimbunan bambu dan cekungan. Pada saat itu deva yang bodoh, tidak menemukan teman ngobrol, mengucapkan syair pertama. Tetapi ketika seorang bhikkhu kembali dari perjalanan menerima dana makanan dan duduk sendirian di kesunyian hutan memperhatikan subjek meditasinya, kebahagiaan berlimpah muncul (seperti diungkapkan pada lawan bicaranya). ↩︎
Arati, tandi, vijambhikā, dan bhattasammada muncul juga pada 46:2 (V 64,31-32) dan 46:51 (V 103:13-14). Definisi resmi terdapat pada Vbh 352. Spk: Jalan mulia (ariyamagga) adalah jalan duniawi dan juga adi-duniawi*.* Pembersihan jalan terjadi ketika seseorang mengusir kekotoran batin melalui jalan itu sendiri, dengan usaha (viriya) yang berdampingan dengan Sang jalan.
Tentang perbedaan antara jalan duniawi dan adi-duniawi, baca Pendahuluan Bagian V, pp.1490-92. ↩︎
Spk menjelaskan pade pade, dalam pāda c, sebagai berikut: “Dalam tiap-tiap objek (ārammaṇe ārammaṇe); karena kapan pun kekotoran muncul sehubungan dengan suatu objek, di sanalah ia jatuh. Tetapi frasa itu juga dapat diinterpretasikan melalui postur tubuh (iriyāpatha); jika kekotoran muncul ketika seseorang sedang berjalan, (berdiri, duduk, atau berbaring), di sanalah ia jatuh. Kehendak (saṅkappa) harus dipahami di sini melalui tiga kehendak salah, yaitu, indriawi, memusuhi, dan mencelakai.” ↩︎
Perumpamaan kura-kura dijelaskan pada 35:240, diikuti dengan syair yang sama. Spk: Seseorang tidak bergantung (anissito) dari ketergantungan pada ketagihan dan pandangan-pandangan, dan padam sepenuhnya oleh padamnya kekotoran-kekotoran (kilesaparinibbāna). Ia tidak akan mencela orang lain atas kecacatan dalam berperilaku, dan lain sebagainya, dari keinginan untuk mempermalukannya, tetapi ia akan berbicara demi belas kasihan, dengan gagasan untuk merehabilitasinya, setelah membangun lima kualitas (berbicara pada saat yang tepat, mengenai apa yang benar, lembut, dengan cara yang baik, dengan pikiran penuh cinta kasih; baca AN III 244,1-3) dalam dirinya. ↩︎
Be dan Se membaca kata kerja dalam pāda c sebagai apabodhati, Ee1 sebagai appabodhati, Ee2 sebagai appabodheti. Jelas tulisan terakhir jelas muncul dari asumsi bahwa kata itu terbentuk dari a + pabodh. Spk mengemas – apaharanto bujjhati, “yang, mundur, mengetahui” – mendukung apabodhati (apa + bodh). Skt pada bagian yang sama pada Uv 19:5 memiliki pāda yang sama sekali berbeda, sarvapāpaṃ jahāty eṣa. Walaupun syair ini tidak mencantumkan pertanyaan yang jelas, Spk menginterpretasikannya sebagai pertanyaan. Saya menganggap koci sama dengan kvaci, walaupun Spk mengemasnya sebagai kata ganti diri.
Spk: Bagaikan seekor kuda berdarah murni yang mengetahui bagaimana menghindari cambukan tidak membiarkan dirinya tercambuk, demikian pula seorang bhikkhu yang tekun menghindari celaan – yang tahu bagaimana menghindarinya – tidak membiarkan dasar apa pun menyerangnya. Deva itu bertanya: “Adakah Arahant seperti itu?” Tetapi tidak ada seorang pun yang sepenuhnya bebas dari celaan atas dasar yang salah. Sang Buddha menjawab bahwa Arahant demikian, yang menghindari kondisi tidak bermanfaat dari rasa malu, adalah sedikit. ↩︎
Spk: deva itu merujuk pada ibu seseorang sebagai “gubuk kecil” karena ia menetap di dalam rahimnya selama sepuluh bulan; pada istri sebagai “sarang kecil” karena, setelah bekerja keras sehari penuh, laki-laki mendekati pendampingnya, perempuan, dengan cara yang sama seperti burung-burung, setelah mencari makanan sehari penuh, kembali ke sarangnya di malam hari; pada anak-anaknya sebagai “penyambung garis” (santānakā) karena mereka menyambung garis keturunan keluarga; dan pada ketagihan sebagai belenggu. Sang Buddha menjawab sebagaimana yang Beliau lakukan karena Beliau tidak akan menetap dalam rahim seorang ibu lagi, atau menyokong seorang istri, atau memperoleh anak-anak. ↩︎
Spk: deva itu mengajukan pertanyaan tambahan ini karena ia heran dengan jawaban cepat Sang Buddha dan ingin mengetahui apakah ia telah benar-benar memahami maksudnya.
Walaupun tiga edisi menggunakan bentuk tunggal santānakaṃ dalam pāda c syair ini, SS dan Ee2 menggunakan bentuk jamak santānake, yang sepertinya lebih baik dalam mempertahankan konsistensi dengan syair lainnya. Kintāham harus dipecah menjadi kin te ahaṃ. ↩︎
Bagian pembukaan dari sutta ini sepertinya, dengan penjelasan, terdapat pada prolog dari Samiddhi Jātaka (Ja No. 167), yang juga termasuk pasangan syair-syair pertama. MN No.133 dibuka dengan cara serupa, dengan Samiddhi sebagai pelaku utama. Bhikkhu Samiddhi diberi nama demikian karena tubuhnya cemerlang (samiddha), tampan dan indah. Spk menegaskan bahwa ini adalah devatā perempuan (disebut devadhittā dalam Jātaka), yaitu dewa bumi (bhummadevatā) yang menetap di hutan. Ketika ia melihat Samiddhi dalam cahaya fajar, ia jatuh cinta kepadanya dan bermaksud untuk merayunya. Samiddhi muncul juga di bawah pada 4:22 dan 35:65-68. ↩︎
Syair-syair ini berputar di sekitar permainan kata yang bermakna ganda dari bhūnjati, memakan makanan dan menikmati kenikmatan indria. Devatā itu berpura-pura memberitahu Samiddhi agar memakan sebelum pergi menerima persembahan (yaitu, memuaskan kenikmatan indria sebelum menjalani kehidupan kebhikkhuan), tetapi Samiddhi berkeras bahwa ia tidak akan meninggalkan kehidupan kebhikkhuan demi kepuasan kenikmatan indria.
Spk: devatā itu membicarakan waktu sehubungan dengan waktu muda, ketika seseorang masih mampu menikmati kenikmatan indria. Dalam pāda ab dari jawabannya, Samiddhi membicarakan sehubungan dengan waktu kematian (maraṇakāla), yang tersembunyi (channa) dalam hal bahwa seseorang tidak pernah tahu kapan kematian akan datang. Dalam pāda d ia merujuk pada waktu untuk mempraktikkan tugas seorang petapa (samaṇadhammakaraṇakāla), karena adalah sulit bagi seorang yang berusia lanjut untuk mempelajari Dhamma, mempraktikkan latihan keras, berdiam di hutan, dan mengembangkan pencapaian dalam meditasi. Kata vo dalam pāda a hanyalah sekedar menyatakan sesuatu yang tidak menurun (nipātamatta). ↩︎
Pada 4:21 Māra memberikan nasihat yang sama kepada sekelompok bhikkhu muda, yang menjawab dengan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh Samiddhi. Penjelasan Sang Buddha akan bahaya dalam kenikmatan indria dapat ditemukan dalam MN I 85-87, 364-67, 506-8, dan di tempat-tempat lain. Jawaban Samiddhi mengulangi syair standar penghormatan kepada Dhamma, dengan hanya mengabaikan sebutan pertama (“dibabarkan sempurna”), yang tidak relevan di sini. Spk menginterpretasikan karakter Dhamma “segera” atau “tanpa waktu” (akālika) dengan ajaran Abhidhamma bahwa buah (phala) muncul segera setelah Sang Jalan (magga), namun gagasan ini sepertinya terlalu sempit untuk konteks ini, di mana penekanannya adalah antara manfaat Dhamma yang segera dan kenikmatan-indria yang “menghabiskan waktu”. Lebih jauh mengenai akālika, baca II, n.103.
Beberapa kata diperlukan dalam penjelasan atas terjemahan saya atas kata opanayika sebagai “dapat diterapkan”, yang berangkat dari terjemahan biasa “mengarah ke depan.” CPD menunjukkan bahwa “konteks di mana [kata] ini muncul jelas menunjukkan bahwa kata itu tidak mungkin dalam pengertian aktif ‘mengarah’ … tetapi lebih tepat diinterpretasikan sebagai bentuk pasif sesuai dengan komentar.” Untuk memastikan, Vism 217,10-12 (Ppn 7:84) memperbolehkan pengertian aktif dengan turunan alternatif: nibbānaṃ upanetī ti ariyamaggo upaneyyo … opanayiko, “mengarah ke Nibbāna, demikianlah jalan mulia mengarah ke depan”; akan tetapi, turunan ini, hampir dipastikan diusulkan dengan tujuan “memperbaiki”. Sebelumnya pada paragraf yang sama, kata ini dikemas dengan kata bentukan upanetabba, “dibawa mendekat, untuk dipraktikkan,” dan saya mengikuti turunan pada Vism 217,3-9 (Ppn 7:83), yang mungkin adalah etimologi yang benar: bhāvanāvasena attano cite upanayanaṃ arahatī ti opanayiko … asaṅkhato pana attano cittena upanayanaṃ arahatī ti opnayiko; sacchikiriyāvasena allīyanaṃ arahatī ti attho; “Dhamma (sebagai jalan mulia) adalah dapat diterapkan karena memerlukan penerapan di dalam batin sendiri melalui pengembangan meditasi … Tetapi Dhamma yang tidak berkondisi (yaitu, Nibbāna) adalah dapat diterapkan karena memerlukan penerapan oleh batin sendiri; yaitu, layak dicapai dengan penembusan.” Sementara kata opanayika tidak muncul dalam konteks lain yang memungkinkan kita menarik kesimpulan akan maknanya, ungkapan yang sama att’ ūpannāyiko (pada 55:7 (V 353,21,26) dan Vin III 91,33,34) jelas berarti “dapat diterapkan oleh diri sendiri.” Di lain pihak, untuk menunjukkan bahwa Dhamma mendukung Nibbāna, teks menggunakan ungkapan lain, niyyānika upasamasaṃvattanika (baca, misalnya, 55:25 (V 380,11) dan MN I 67,13), yang tidak sesuai dengan konteks di mana formula di atas muncul. ↩︎
Spk: “Masing-masing raja deva memiliki pengikut sejumlah seratus atau seribu koṭi deva. Menempatkan diri mereka di posisi yang tinggi, mereka menghadap Sang Buddha. Bagaimana mungkin para deva perempuan yang tidak berkuasa seperti kami bisa mendapatkan kesempatan menjumpai Beliau?” Satu koṭi = 10.000.000. ↩︎
Spk: Apa yang dapat diungkapkan (akkheyya) adalah lima kelompok unsur kehidupan, rujukan bahasa objektif (bukan ungkapan itu sendiri). Makhluk-makhluk yang dapat melihat apa yang dapat diungkapkan (akkheyyasaññino sattā): Ketika makhluk-makhluk biasa melihat lima kelompok unsur kehidupan, persepsi mereka dipengaruhi oleh gagasan kekal, menyenangkan, dan diri, di tempat-tempat lain disebut “terdistorsi” (vipallāsa, AN II 52,4-8). Persepsi yang terdistorsi ini kemudian memprovokasi kekotoran-kekotoran, sehingga karenanya makhluk-makhluk menjadi kokoh dalam apa yang dapat diungkapkan (akkheyyasmiṃ patiṭṭhitā). Makhluk-makhluk “menjadi kokoh dalam” lima kelompok unsur dalam delapan cara: melalui nafsu, kebencian, delusi, pandangan-pandangan, kecenderungan tersembunyi, keangkuhan, keragu-raguan, dan kegelisahan (baca n.2)
It-a II 31-32, mengomentari bait yang sama pada It 53, mengatakan bahwa “makhluk-makhluk yang melihat apa yang dapat diungkapkan” adalah mereka yang melihat lima kelompok unsur kehidupan melalui persepsi yang muncul dalam modus “aku,” “milikku,” “deva,” “manusia,” “perempuan,” “laki-laki,” dan lain-lain. Yaitu, mereka melihat lima kelompok unsur kehidupan sebagai makhluk atau seseorang, dan lain-lain.
Spk. mengusulkan bahwa syair ini disebutkan untuk menunjukkan bagaimana kenikmatan indria adalah “membuang-buang waktu.” [Spk-pṭ: Kāmā di sini menunjukkan segala fenomena di tiga alam, disebut kenikmatan indria karena menyenangkan (kamanīyā). Usul ini dikonfirmasi oleh baris terakhir: mereka yang tidak memahami lima kelompok unsur kehidupan dengan benar “berada di bawah gandar Kematian”; mereka mengalami kelahiran dan kematian yang berulang-ulang dan karena itu masih terperangkap dalam saṃsāra, jaring waktu. ↩︎
Spk: Seseorang yang “memahami sepenuhnya apa yang dapat diungkapkan” melalui tiga jenis pemahaman penuh: (i) dengan pemahaman penuh atas apa yang diketahui (ñātapariññā) seseorang memahami lima kelompok unsur kehidupan dalam hal karakteristik-karakteristiknya masing-masing, dan lain-lain; (ii) dengan pemahaman penuh melalui pemeriksaan (tiraṇapariññā) seseorang memeriksanya dalam empat-puluh-dua cara sebagai tidak-kekal, penderitaan, dan sebagainya; (iii) dengan pemahaman penuh sebagai pelepasan (pahānapariññā) seseorang melepaskan keinginan dan nafsu terhadap kelompok-kelompok unsur kehidupan melalui jalan tertinggi. Untuk diskusi lebih lengkap, baca Vism 606-7 (Ppn 20:3-4) dan Vism 611-13 (Ppn 20:18-19), akan tetapi, berdasarkan pada Paṭis II 238-42, hanya empat puluh cara yang diuraikan pada (ii). Empat-puluh-dua cara pada Vism 655, 15-30 (Ppn 21:59), sehubungan dengan “melihat bentukan-bentukan sebagai hampa.”
Seseorang tidak memandang “seseorang yang mengungkapkan” (akkhātaraṃ a maññati). Spk: Arahant tidak memandang si pembicara sebagai suatu individu (puggala); yaitu, ia tidak lagi menganggap lima kelompok unsur sebagai “milikku,” “aku,” dan “diriku.”
Itu tidak ada baginya (taṃ hi tassa na hotī ti): dalam bait ini saya mengikuti SS dalam menghilangkan, sebagai penambahan, kata-kata na tassa atthi, yang terdapat dalam semua edisi cetakan. Versi Skt juga, disebutkan pada Ybhūs 2:2 (Enomoto, CSCS, p.23), tidak memasukkan frasa tersebut, namun membaca: tad vai na vidyate tasya, vadeyur yena tam pare, “Itu tidak ada baginya yang orang lain katakan tentang dirinya.”
Spk menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan Arahant sebagai bernafsu, atau membenci, atau terdelusi. Akan lebih sesuai, mungkin, untuk melihat bait ke dua sebagai merujuk pada Arahant setelah parinibbāna, ketika dengan melepaskan lima kelompok unsur kehidupan (“apakah yang dapat diungkapkan”) ia pergi melampaui ungkapan verbal (baca Sn 1076). Harus diperhatikan bahwa kedua syair ini berhubungan erat dengan Mūlapariyāya Sutta (MN No.1). Spk menyebutkan bahwa syair ini mendiskusikan sembilan Dhamma adi-duniawi yang “terlihat secara langsung”, yaitu, empat jalan, empat buah, dan Nibbāna. ↩︎
“Tiga pembedaan” (tayo vidhā) adalah tiga modus keangkuhan: keangkuhan “aku lebih baik” (seyyo ‘ham asmimāna), keangkuhan “aku sama dengan” (sadiso ‘ham asmimāna) dan keangkuhan “aku lebih buruk” (hino ‘ham asmimāna). Baca 22:49 (III 48-49), 45:162, 46:41. Pada Vibh 389-90 ditunjukkan bahwa tiga ini menjadi sembilan ketika masing-masing tiga ini dianut oleh seseorang yang sungguh-sungguh lebih baik, sungguh-sungguh sama, atau sungguh-sungguh lebih buruk. Seseorang yang “tidak tergoyahkan dalam tiga pembedaan ini” adalah Arahant, yang telah melenyapkan belenggu keangkuhan secara total. Spk menunjukkan bahwa bait pertama menunjukkan bagaimana kenikmatan indria adalah membuang-buang waktu, sedangkan bait ke dua mendiskusikan Dhamma adi-duniawi. ↩︎
Bacaan paling umum dari pāda ini adalah pahāsi saṅkhaṃ na vimānam ajjhagā, terdapat dalam Be, Se, dan Ee1 dari v.49, dalam Be dan Ee1 dari v.105 yang sama, dan dalam lema dalam Spk (Be, Se) atas v.49. Dari komentarnya jelas bahwa komentator memiliki teks dengan vimāna, yang ia jelaskan sebagai sama dengan vividhammāna: “Ia tidak menerima tiga keangkuhan dengan sembilan pembagiannya” (navabhedaṃ tividhamānaṃ na upagato). Penjelasan alternatif Spk, yang menganggap vimānaṃ sebagai rahim ibu, tujuan dari proses kelahiran kembali, sepertinya terlalu fantastis untuk dianggap serius. Vimānadassā muncul pada Sn 887b dalam pengertian “merendahkan” namun makna vimāna ini mungkin terlalu sempit untuk konteks sekarang ini.
Syair ini mungkin aslinya tertulis na ca mānam dan tulisan ini mungkin telah menjadi cacat sebelum masa komentar, kekeliruan c/v bukannya tidak lazim dalam naskah Sinhala. Cacat ini selanjutnya dilestarikan dan diwariskan oleh para komentator. Walaupun banyak tertulis na vimānam, namun tulisan na ca mānam ditemukan dalam v.105 dari Se, dalam catatan atas v.49 dalam empat mss Spk edisi Sinhala (dirujuk dalam catatan atas Spk (Se)), dan dalam SN dan Spk edisi Thai. Padanan Skt (dikutip pada Ybhūs 2:4; Enomoto, CSCS, p.23) menuliskan prahāya mānaṃ ca na saṅgam eti, yang bersesuaian dengan lebih dekat pada tulisan alternatif dalam Pāli. Kata kerja aslinya mungkin adalah penduplikasian kata ājā yang jarang (seperti dalam SS) atau āgā (seperti pada Ee2 dan edisi Thai). Baca “On the Perfect in Pāli”, Selected Papers oleh von Hinuber, pp.174-76.
Spk memahami pahàāi saṅkhaṃ berarti bahwa Arahant tidak lagi dapat menggambarkan konsep-konsep seperti nafsu, membenci, dan terdelusi, tetapi intinya adalah mungkin bahwa ia telah berhenti membentuk papañcasaññāsaṅkhā, “gagasan-gagasan yang muncul dari proliferasi pikiran” (baca MN I 112,2-3). Tulisan saṅgam dari Skt mungkin sesungguhnya mengartikan dengan lebih baik dalam konteks ini. Sepertinya bahwa frasa ini merujuk kembali pada v.47 dan na vimānam ajjhagā kembali ke v.48. Adalah mungkin, juga, bahwa kalimat-kalimat yang menggambarkan Arahant setelah parinibbāna, ketika ia tidak lagi dapat dikenali melalui lima kelompok unsur kehidupan (baca 44:1). Pāda cf sepertinya menggambarkan Arahant setelah parinibbāna, walaupun di tempat lain ia juga dikatakan sebagai tidak dapat ditemukan di sini dan saat ini (misalnya, pada 22:86; III 118, 35-36). ↩︎
Spk menjelaskan penghindaran kejahatan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran melalui sepuluh kamma bermanfaat (baca MN I 47,12-17,287-288, dan lain-lain). Frasa setelah meninggalkan kenikmatan indria menolak kegiatan ekstrim dalam kenikmatan indria; seseorang seharusnya tidak mengejar apa yang menyakitkan dan membahayakan menolak penyiksaan diri yang berlebihan. Demikianlah, Spk mengatakan, syair ini menunjuk pada jalan tengah yang menghindari kedua ekstrim ini. Keseluruhan syair ini juga dapat ditafsirkan secara positif dalam hal Jalan Mulia Berunsur Delapan: tidak melakukan kejahatan melalui jasmani dan ucapan menyiratkan ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar; “penuh perhatian” menyiratkan usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar; “pemahaman murni” menyiratkan pandangan benar dan kehendak benar. Spk mengatakan bahwa di akhir khotbah Sang Buddha itu, devatā itu mencapai buah Memasuki-Arus dan mengucapkan syair ini, “ajaran Dhamma yang agung,” untuk menunjukkan Jalan Berunsur Delapan yang dengannya ia telah mencapai buahnya. ↩︎
Dalam pāda b, saya membaca dayhamāne va, dengan Ee1 dan SS, bukannya dayhamāno va dalam Be, Se, dan Ee2. Dengan bhavarāga dalam pāda c, syair-syair ini juga muncul dalam Th 39-40 dan 1162-63. Dalam bentuk yang sekarang ini pasangan syair-syair ini menimbulkan persoalan dalam interpretasi, karena kāmarāga, nafsu indria, ditinggalkan melalui jalan ke tiga, sedangkan sakkāyadiṭṭhi, pandangan akan diri, ditinggalkan melalui jalan pertama, sehingga devatā itu terlihat seolah-olah menyarankan pencapaian yang lebih tinggi dari yang disarankan oleh Sang Buddha. Persoalan ini tidak muncul dalam versi Th, karena bhavarāga, nafsu terhadap penjelmaan, ditinggalkan melalui jalan ke empat, yaitu Kearahattaan. Spk memberikan solusi yang masuk akal: Devā itu mengucapkan syair tersebut sehubungan dengan pelepasan nafsu indria hanya dengan cara penekanan (vikkhambhanappahānam eva), yaitu, secara sementara melalui pencapaian jhāna, sedangkan Sang Buddha menyarankan pencapaian tingkat Memasuki-Arus, yang melenyapkan pandangan akan diri melalui penghapusan (samuccheda) sehingga bahkan tidak ada kecenderungan halus (anusaya) yang tersisa, dengan demikian memastikan pembebasan penuh dalam maksimum tujuh kelahiran lagi. ↩︎
Syair ini mengajukan teka-teki yang bergantung pada dua konotasi phusati, “menyentuh”: (i) untuk memperoleh suatu kamma tertentu, di sini kamma berat dari melakukan kesalahan pada orang yang tidak bersalah; dan (ii) memetik akibat dari kamma itu pada saat telah masak. ↩︎
Pada Sn 662 syair ini merujuk pada fitnah Kokāliya terhadap Sāriputta dan Moggallāna (baca 6:10, yang mencantumkan kisah ini tetapi tanpa syair ini). Kisah latar belakang yang berbeda, namun kurang meyakinkan, diceritakan pada Dhp-a III 31-33, mengomentari Dhp 125; baca BL 2:282-84. Tentang akibat kamma dari perbuatan mencelakai orang yang tidak bersalah, baca Dhp 137-40. ↩︎
Syair ini dan yang berikutnya membentuk tema pembuka dari Vism dan dikomentari pada Vism 1-4 (Ppn 1:1-8); penjelasan ini digabungkan dalam Spk. VĀT menyarankan bahwa kata antojàṭā bahijaṭā seharusnya dianggap sebagai kata majemuk bahubbīhi sebagai kebalikan dari pajā (“memiliki kekusutan di dalam, memiliki kekusutan di luar”), tetapi saya menerjemahkan sesuai dengan Spk, yang memperlakukan sebagai tappurisa.
Spk: Kekusutan (jaṭā) adalah suatu istilah bagi jaringan ketagihan, dalam pengertian “saling menjalin”, karena muncul berulang-ulang naik dan turun di antara objek-objek indria seperti bentuk-bentuk. Ada kekusutan di dalam, kekusutan di luar, karena ketagihan muncul sehubungan dengan kepemilikan seseorang dan kepemilikan orang lain; sehubungan dengan jasmani diri sendiri dan jasmani orang lain; dan sehubungan dengan landasan-landasan internal dan eksternal. ↩︎
Jawaban Sang Buddha adalah pernyataan yang ringkas atas tiga latihan, dengan samādhi dirujuk oleh kata citta. Spk mengatakan bahwa kebijaksanaan disebutkan tiga kali dalam syair ini: pertama sebagai kecerdasan halus (“bijaksana”); ke dua sebagai kebijaksanaan vipassana (vipassanā-paññā), kebijaksanaan yang harus dikembangkan; dan ke tiga, sebagai “bijaksana”, kebijaksanaan pragmatis yang memimpin dalam semua tugas (sabbakiccaparināyikā parihāriyapaññā).
Spk: “Bagaikan seseorang yang berdiri di atas tanah dan memegang sebilah pisau tajam dapat menguraikan kekusutan bambu, demikian pula seorang bhikkhu … berdiri di atas tanah moralitas dan, dengan tangan kecerdasan praktis yang diupayakan oleh kekuatan usaha, memegang pisau kebijaksanaan-pandangan-terang yang diasah di atas batu asah konsentrasi, dapat menguraikan, memotong, dan membongkar seluruh kekusutan ketagihan yang tumbuh berlebihan dalam keseluruhan batinnya.” (diadaptasi dari Ppn 1:7). ↩︎
Syair sebelumnya menunjukkan siswa (sekha), yang mampu menguraikan kekusutan, syair ini menunjukkan para Arahant, seorang yang telah menyelesaikan latihan (asekha), yang telah selesai menguraikan kekusutan. ↩︎
Spk mengatakan bahwa syair ini disebutkan untuk menunjukkan kesempatan (atau wilayah) untuk menguraikan kekusutan (jaṭāya vijaṭanokāsa). Di sini nama (nāma) mewakili empat kelompok unsur batin. Spk memperlakukan benturan (paṭigha) sebagai bentuk singkat karena tuntutan irama dari benturan (paṭighasaññā). Menurut Spk-pṭ, dalam pāda c kita harus membaca kata majemuk ringkas dvanda, paṭigharāpasaññā (“persepsi benturan dan persepsi bentuk”), bagian pertama telah dipotong, dipecah, dan dibuat berbunyi sengau untuk menyesuaikan irama. Benturan sebagai kontak dari lima objek indria dengan lima landasan indria, “persepsi benturan” (paṭighasaññā) didefinisikan sebagai lima persepsi indria (baca Vibh 261, 31-34 dan Vism 329,22-24; Ppn 10:16). Persepsi bentuk (rūpasaññā) memiliki daerah yang lebih luas, termasuk juga persepsi bentuk yang terlihat dalam jhāna-jhāna [Spk-pṭ: persepsi bentuk dari *kasiṇa-*tanah, dan lain-lain]. Spk menjelaskan bahwa yang pertama menyiratkan kehidupan alam-indria, yang terakhir, kehidupan alam-berbentuk, dan gabungan keduanya menyiratkan kehidupan alam tanpa-bentuk, dengan demikian mencakup tiga alam kehidupan.
Di sinilah kekusutan ini dipotong. Spk: Kekusutan ini dipotong, dalam pengertian bahwa lingkaran dengan tiga alamnya terhenti. Terpotong dan lenyap dalam ketergantungan pada Nibbāna. ↩︎
Tulisan pāda b berbeda. Saya mengikuti Se dan Ee2, mano yatattam āgataṃ, bukan seperti Be na mano saṃyatattam āgataṃ.
Spk: deva ini menganut pandangan bahwa seseorang harus mengendalikan setiap kondisi pikirannya; apakah bermanfaat atau tidak, apakah duniawi atau adi-duniawi, pikiran harus dikekang, bukan dimunculkan. [Spk-pṭ: Ia percaya bahwa setiap kondisi pikiran membawa penderitaan dan bahwa kondisi tidak sadar adalah lebih baik.] Sang Buddha mengucapkan balasan untuk menunjukkan bahwa harus dibedakan antara pikiran yang harus dikekang dan pikiran yang harus dikembangkan. Baca 35:205 (IV 195, 15-30), di mana Sang Buddha memberikan nasihat untuk mengekang pikiran (tato cittaṃ nivāraye) dari objek-objek yang memunculkan kekotoran. ↩︎
Spk: Deva ini, yang menetap di hutan, mendengar bhikkhu hutan itu menggunakan ungkapan “aku makan, aku duduk, mangkukku, jubahku,” dan sebagainya. Berpikir, “aku pikir para bhikkhu ini adalah para Arahant, tetapi dapatkah para Arahant berbicara dengan cara yang menyiratkan kepercayaan pada diri?” ia mendatangi Sang Buddha dan mengajukan pertanyaan ini. ↩︎
Vohāramattena so vohareyya. Spk: “Walaupun para Arahant telah meninggalkan pembicaraan yang menyiratkan kepercayaan pada diri, mereka tidak melanggar khotbah biasa dengan mengatakan, ‘kelompok-kelompok makan, kelompok-kelompok duduk, kelompok-kelompok mangkuk, kelompok-kelompok jubah.” karena tidak ada orang yang akan memahaminya.” Baca sehubungan dengan ini, DN I 202,7-9: “Demikianlah Citta, ada ungkapan-ungkapan duniawi ini, istilah-istilah duniawi, konvensi-konvensi duniawi, konsep-konsep duniawi, yang digunakan oleh Tathāgata tanpa menggenggamnya.” ↩︎
Spk: Pada titik ini deva itu berpikir bahwa sementara para Arahant tidak berbicara demikian karena mereka menganut pandangan (akan diri), mereka melakukannya karena mereka masih memiliki keangkuhan (yaitu, asmimāna, keangkuhan “Aku”). Karena itu ia menanyakan pertanyaan ke dua, dan jawaban Sang Buddha mengindikasikan bahwa para Arahant telah melepaskan sembilan keangkuhan (baca n.37). ↩︎
Spk memecah mānaganthassa dalam pāda b menjadi māno ca ganthā assa, “baginya keangkuhan dan simpul-simpul,” untuk menyesuaikan dengan tetrad doktrin gantha, yang tidak memasukkan māna, baca 45:174. Akan tetapi, sepertinya, bahwa di sini mānaganthā harus dipahami dalam arti yang lebih luwes, sebagai mānassa ganthā. Pada It 4,16, dalam sebuah sutta yang khusus tentang māna, kita menemukan mānagantha yang digunakan sebagai kata majemuk bahubbīhi untuk memberi sifat pajā (“suatu generasi yang terikat oleh keangkuhan”) dan para Arahant digambarkan sebagai mānaganthābhibhuno (“mereka yang telah mengatasi simpul-simpul keangkuhan”), yang mendukung terjemahan saya di sini. Tulisan pāda c bervariasi: Be membaca maññataṃ, Se maññanaṃ (yang adalah kemasan dalam Spk (Be)), Ee1 yamataṃ, Ee2 ya mataṃ (= yam mataṃ?). Spk menjelaskan bahwa ia telah melampaui tiga keangkuhan yang disebabkan oleh ketagihan, pandangan-pandangan, dan keangkuhan. ↩︎
Spk: Pertanyaan merujuk pada “arus” saṃsāra, jawabannya merujuk pada Nibbāna. Bagian jawaban dapat ditemukan dalam DN I 223,13-15 dan Ud 9,4. Ketika arus berhenti, baca Sn 1034-37, dan ketika lingkaran tidak lagi berputar baca ungkapan vaṭṭaṃ … natthi puññāpanāya pada 22:56-57 dan 44:6 (IV 391,9). ↩︎
Ee2 membuka syair ini dengan syair lainnya (v.70) yang ditemukan hanya dalam dua Lanna mss dari Thailand utara. Karena syair itu tidak termasuk dalam edisi-edisi lainnya atau edisi SN yang diketahui, dan hampir tidak berhubungan dengan topik dialog antara Sang Buddha dan devatā tersebut, jelas bukan rujukan untuk ini; karenanya saya tidak menerjemahkannya. Keputusan saya lebih jauh didukung oleh tidak adanya kemasan apa pun atas syair tersebut dalam Spk dan Spk-pṭ, yang menunjukkan tidak ditemukannya dalam teks apa pun yang dimiliki para komentator. Pada Ee2, p. xvii, sang penyunting berargumentasi bahwa syair ini harus “dipulihkan” untuk memberikan pertanyaan yang diajukan oleh sang deva, namun ia beranggapan bahwa sutta itu aslinya menulis kata pertama dari v.72d sebagai te yang kemudian diubah menjadi ko atau ke oleh tradisi tekstual untuk dapat mengajukan pertanyaan. Tetapi karena ke sebagai pertanyaan membuatnya sangat masuk akal, dalam hal sintaksis maupun semantik, maka tidak ada alasan untuk menganggap tulisan aslinya adalah te dan dengan demikian tidak perlu menambah syair baru untuk memberikan pertanyaan. ↩︎
Spk: “Di antara mereka yang telah menjadi sangat ketagihan (ussukkajātesu): Di antara mereka yang terlibat dalam berbagai tugas, ketagihan membuat berbagai bentuk yang belum ada, dan lain sebagainya, dan menikmati apa yang telah ada.” Dalam pāda c dari syair ke dua saya bersama Be dan Se membaca ke ‘dha taṇhaṁ, dan bukannya gedhataṇhaṁ (“keserakahan dan ketagihan”) dalam Ee1 & 2, dan kodhataṇhaṁ (“kemarahan dan ketagihan”) dalam SS. Dalam pāda d, Ee2 membaca te lokasmiṁ bukannya ke lokasmiṁ pada edisi lain.
Ussuka (Skt utsuka) berarti sangat menginginkan sekali, sangat bersemangat, atau sibuk melibatkan diri dalam usaha mengejar sesuatu. Kata benda yang bersesuaian adalah ussukka, yang kadang-kadang ditemukan di mana kata sifatnya akan lebih sesuai. Ussuka digunakan dalam makna pujian maupun celaan. Pada 41:3 (IV 288,12 = 291,4, 302,7), kata ini muncul dalam makna pujian, yang saya terjemahkan “sangat bersemangat”. Baca juga MN I 324,27 dan Vin I 49,19-50,8. Makna negatif – keserakahan, ambisius, atau “keranjingan” (terjemahan yang saya sukai) – ditemukan di sini dan pada Dhp 199. Ungkapan apposukka, secara literal “memiliki sedikit semangat,” digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menghindari aktivitas sibuk. Dalam SN kita menemukan ungkapan ini – yang biasanya saya terjemahkan, secara luwes, “(hidup) dengan nyaman” – pada 9:10 (I 202,22), 21:4 (II 277,12), 35:240 (IV 178,1, di sini “berdiam diri”), dan 51:10 (V 262,18). Kata benda abstrak appossukkatā, pada 6:1 (I 137,1,6), menggambarkan kecenderungan asli Sang Buddha, persis setelah mencapai pencerahan sempurna, terhadap kehidupan menyepi daripada “bekerja keras” membabarkan Dhamma. Baca juga di bawah n.366 dan n.551. ↩︎
Spk: empat roda adalah empat postur tubuh (berjalan, berdiri, duduk, berbaring). Sembilan pintu adalah sembilan “luka menganga” (mata, telinga, lubang hidung, mulut, kelamin, anus). Dipenuhi dengan bagian tubuh kotor (rambut kepala, dan lain-lain), dan terikat oleh keserakahan, yaitu dengan ketagihan. Bagaimanakah seseorang melepaskan diri darinya?: Bagaimanakah keluar dari jasmani seperti itu? Spk-pṭ menambahkan: Ini dilahirkan dari lumpur (paṅkajāta) karena dihasilkan dari lumpur kotor rahim perempuan. Ungkapan Pāli ini juga dapat diterjemahkan, “Ini adalah lumpur,” namun saya mengikuti Spk-pṭ. Perspektif kasar terhadap jasmani ini dijelaskan pada Sn I, 11, pp.34-35. ↩︎
Dalam pāda a (= Dhp 398a), Ee1 nandiṃ harus diubah menjadi naddhiṃ. Spk menjelaskan bahwa dalam Dhp syair varattā adalah ketagihan (taṇhā), tetapi karena ketagihan disebutkan secara terpisah dalam syair kita, maka varattā dikemas secara berbeda di sini.
Spk: Kulit pengikat (naddhi) adalah permusuhan (upanāha), yaitu, kemarahan besar; tali pengikat (varattā) adalah kekotoran lainnya. Keinginan dan keserakahan merujuk pada kondisi batin yang sama yang diucapkan dalam dua makna: keinginan (icchà) adalah tahap awal yang lemah, atau keinginan atas apa yang belum diperoleh; keserakahan (lobha) adalah tahap selanjutnya yang kuat, atau mempertahankan objek yang telah diperoleh. Ketagihan sebagai akarnya: dengan akarnya yaitu ketidaktahuan. ↩︎
Syair pertanyaan ini muncul pada Sn 165-66, walaupun dengan bait tambahan dan dengan variasi baris di tempat pertanyaan yang sebenarnya. Si penanya di sana adalah dua yakkha, Hemavata dan Sātāgira. Pertanyaannya (atau lebih merupakan, serangkaian pertanyaan) diajukan hanya pada Sn 168 dan jawabannya diberikan pada Sn 169; syair-syair itu identik dengan pertanyaan dan jawaban pada vv. 221-22. hanya setelah menerima jawaban ini, kedua yakkha mengajukan pertanyaan sekarang ini, kathaṃ dukkhā pamuccati?, dan jawaban yang diberikan adalah identik. Memiliki kaki antelop (eṇijāṇgha) adalah satu dari tiga-puluh-dua tanda manusia luar biasa (baca DN III 156,5-12; MN II 136,14). Mengenai nāga, baca di bawah n. 84. ↩︎
Spk: Di sini: dalam nama-dan-bentuk (nàmarūpa) ini. Dengan menyebutkan lima utas kenikmatan indria, bentuk dijelaskan [Spk-pṭ: karena memiliki sifat bentuk]. Dengan pikiran (mano), nama (nāma), yaitu, empat kelompok unsur batin dijelaskan. Demikianlah landasan-landasan (keinginan) di sini dapat diinterpretasikan melalui lima kelompok unsur kehidupan, dan seterusnya. ↩︎
Spk menjelaskan bahwa lima deva ini disebut satullapakāyikā (“berasal dari kelompok pemuji-kebaikan”) karena mereka terlahir kembali di alam surga sebagai akibat dari memuji Dhamma yang baik dengan cara melaksanakannya [Spk-pṭ: yaitu, Dhamma yang baik yang terdiri dari tindakan memohon perlindungan, menjalankan sīla, dan lain-lain.]
Kisah yang melatar-belakangi adalah sebagai berikut: Suatu ketika sebuah kapal milik seorang pedagang dengan tujuh ratus orang pekerja, sewaktu berlayar di lautan, diserang oleh badai yang dahsyat. Sewaktu kapal itu tenggelam, para pekerja itu, dengan ketakutan berdoa kepada para dewa mereka, melihat salah satu orang dari mereka duduk bersila dengan tenang “bagaikan seorang yogi”, bebas dari ketakutan. Mereka bertanya kepadanya bagaimana ia bisa begitu tenang, dan ia menjelaskan bahwa karena ia telah menerima Tiga Perlindungan dan Lima Sīla maka ia tidak memiliki alasan untuk takut. Mereka memohon hal yang sama darinya, dan setelah membagi mereka ke dalam tujuh kelompok yang masing-masing terdiri dari seratus orang, secara bergiliran ia memberikan perlindungan dan sīla kepada mereka, prosedur itu selesai persis pada saat kapal itu ditelan oleh lautan. Sebagai buah dari perbuatan baik terakhir mereka, semua orang itu seketika terlahir kembali di alam surga Tāvatiṃsa menjadi satu kelompok yang dipimpin oleh pemimpin mereka. Mengetahui bahwa mereka telah mencapai keberuntungan itu berkat kebaikan pemimpin mereka, mereka datang ke hadapan Sang Bhagavā untuk memuji Beliau. ↩︎
Spk: Bagaikan minyak yang tidak diperoleh dari pasir, demikian pula kebijaksanaan tidak didapat dari yang lain, dari si dungu buta; tetapi bagaikan minyak diperoleh dari biji wijen, demikianlah seseorang mendapatkan kebijaksanaan dengan mempelajari Dhamma dari orang-orang baik dan dengan meneladani orang bijaksana. ↩︎
Saya menganggap Sātataṃ sebagai keterangan akusatif dari kata benda abstrak sāta. Akan tetapi, Spk, menganggapnya sebagai kata keterangan dari satata, “terus-menerus”, yang sepertinya kurang memuaskan. ↩︎
Pariyāyena. Spk mengemas sebagai kāraṇena, “untuk suatu alasan,” yang tidak banyak membantu. Saya memahami intinya bahwa syair-syair mereka hanya benar untuk sementara, dapat diterima dari sudut pandang keduniawian. Syair Sang Buddha adalah pasti (nippariyāyena) karena menunjuk pada tujuan tertinggi. Baca perbedaan pariyāyena dan nippariyāyena pada AN IV 449-54. ↩︎
Noda (mala) itu adalah kekikiran itu sendiri; baca penjelasan pendukung dari umat awam yang dermawan sebagai salah satu yang “berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran” (vigatamalamaccherena cetasā agāraṃ ajjhāvasati). ↩︎
Spk: Mereka yang tidak mati di antara yang mati: Mereka yang tidak mati di antara mereka yang “mati” oleh kematian yang terdapat dalam kekikiran. Benda-benda milik seorang yang kikir adalah bagaikan milik orang mati, karena keduanya tidak membagikan benda-benda miliknya. ↩︎
Spk: Jika seseorang mempraktikkan Dhamma: jika seseorang mempraktikkan Dhamma melalui sepuluh kamma bermanfaat. Walaupun dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit (samuñjakaṃ care): seseorang memperolehnya “sedikit demi sedikit” dengan membersihkan lantai penggilingan, dan lain-lain, memukul jerami, dan lain-lain. Dari mereka yang mengorbankan seribu: Dari mereka yang mengorbankan (mempersembahkan) kepada seribu bhikkhu atau yang mempersembahkan makanan yang dibeli dengan nilai seribu keping uang. Ini dilakukan seratus ribu kali adalah setara dengan persembahan yang diberikan kepada sepuluh koṭi bhikkhu atau bernilai sepuluh koṭi uang (sat koṭi = 10.000.000). Tidak sebanding bahkan dengan sebagian: kata “sebagian” (kala) dapat bermakna seperenambelas bagian, atau seperseratus bagian, atau seperseribu bagian; di sini yang dimaksudkan adalah seperseratus. Jika seseorang membagi menjadi seratus bagian (nilai dari suatu) pemberian yang ia berikan, pemberian 10.000 koṭi yang diberikan orang lain tidak sebanding dengan satu bagian dari itu.
Walaupun Spk membicarakan tentang persembahan kepada para bhikkhu, v.94 di bawah menyiratkan bahwa pengorbanan hewan dari para brahmana adalah apa yang ditolak. ↩︎
Spk: “Keyakinan” di sini berarti keyakinan dalam kamma dan buahnya. Bagaikan dalam suatu peperangan sedikit prajurit pemberani mengalahkan banyak pengecut, demikian pula seseorang yang memiliki keyakinan, dan lain-lain dalam memberikan bahkan pemberian kecil, menggilas banyak kekikiran dan memperoleh buah berlimpah. ↩︎
Spk menjelaskan dhammaladdhassa sebagai kekayaan yang diperoleh dengan benar, atau seseorang yang memperoleh kekayaan dengan benar, yaitu, seorang siswa mulia. Alternatif pertama lebih masuk akal; baca AN II 68,13-20. Yama adalah dewa dunia bawah; Vetaraṇī adalah sama dengan sungai Styx versi Buddhis (baca Sn 674 dan Pj II 482,4-6). Spk mengatakan bahwa Vetaraṇī hanya disebutkan sebagai “judul ajaran,” yaitu, sebagai contoh; ia sebenarnya telah melewati seluruh tiga-puluh-satu neraka besar. ↩︎
Viceyyadānaṃ. Ungkapan ini adalah kata majemuk sintaksis mutlak; baca Norman, “Syntactical Compounds in Middle Indo-Aryan”, dalam Collected Papers, 4:218-19.
Spk: Suatu pemberian yang diberikan setelah melakukan pembedaan. Ada dua jenis pembedaan: (i) sehubungan dengan persembahan, yaitu, seseorang menyingkirkan barang-barang berkualitas rendah dan memberikan hanya barang-barang berkualitas tinggi; dan (ii) sehubungan dengan si penerima, yaitu, seseorang mengabaikan mereka yang cacat dalam hal moralitas atau para pengikut dari sembilan-puluh-lima kepercayaan keliru (pāsaṇḍa, sekte non-Buddhis; baca n.355) dan memberikan kepada mereka yang memiliki kualitas-kualitas seperti moralitas, dan lain-lain, yang telah meninggalkan keduniawian dalam Ajaran Buddha. ↩︎
Dalam pāda a, saya bersama Ee2 dan SS membaca addhā hi (juga pada Ja III 472,29), sebagai lawan dari saddhā hi dalam Be dan Ee1 dan saddhābhi dalam Se, Spk mengemas dhammapadaṃ va dalam pāda b sebagai: nibbānasaṇkhātaṃ dhammapadam eva, “hanya kondisi Dhamma yang dikenal sebagai Nibbāna.” Biasanya dhammapada adalah bait syair atau kalimat Dhamma (seperti pada vv.785-86, 826), yang juga masuk akal dalam konteks ini, tetapi saya lebih suka menganggapnya sebagai bentuk singkat dari dhammapañipadà, jalan-praktik Dhamma, suatu makna yang ditegaskan pada Sn 88, yang secara eksplisit menyamakan dhammapada dengan magga. Hal penting yang ingin ditunjukkan oleh Sang Buddha adalah bahwa praktik Dhamma (melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan yang bertujuan ke Nibbāna) adalah lebih baik daripada praktik memberi yang bertujuan terlahir kembali dia alam surga.
Kemasan lengkap atas syair pada Ja III 474 mendukung interpretasi di atas. “Walaupun memberi pasti (ekaṃsen’ eva, jelas pengemasan pada addhā hi) dipuji dalam berbagai cara, sebuah dhammapada – sebagian Dhamma (dhammakoṭṭhāsa) yang terdapat dalam ketenangan dan pandangan terang dan dalam Nibbàna – adalah jauh lebih baik daripada memberi. Mengapa demikian? Karena di masa lampau (pubb’ eva) – yaitu, dalam kappa ini, Buddha Kassapa dan seterusnya – dan bahkan yang sebelumnya (pubbatar’ eva), yaitu, Buddha Vessabhå dan seterusnya (dalam kappa sebelumnya), orang-orang baik, orang-orang berkuasa (sappurisà), memiliki kebijaksanaan, mengembangkan ketenangan dan pandangan terang dan mencapai Nibbāna.” ↩︎
Dalam pāda d, kita harus mengadopsi tulisan kata benda pelaku āgantā dalam Be, Se, dan Ee2, sebagai lawan dari āgantvā dalam Ee1, yang meninggalkan kalimat tersebut dengan klausa yang tidak tuntas. Kami menemukan bahwa āgantā digunakan dalam makna āgāmi, dan anāgantā digunakan sebagai sinonim dari anāgāmi. (sehubungan dengan itthattaṃ, “kondisi makhluk”) pada AN I 63, 30-64,18.
Spk: Mereka tidak datang dari alam Kematian, yaitu, dari lingkaran penjelmaan dengan tiga alamnya, menuju Nibbāna, yang adalah kondisi tidak-kembali-lagi (apunāgamana), disebut demikian karena makhluk-makhluk tidak kembali lagi dari Nibbāna. Seorang yang lengah dan terikat pada kenikmatan indria tidak dapat mencapainya. ↩︎
Identitas pembicara dari kalimat ini sulit ditentukan dari naskah ini. Saya mengikuti Ee2 dengan menganggapnya sebagai devatā lainnya. Walaupun banyak edisi membagi baris-baris kalimat seolah-olah itu adalah syair, namun tidak ada irama yang dapat dikenali dan sepertinya lebih mungkin dimaksudkan sebagai prosa. Ee2 tidak menomorinya sebagai suatu syair.
Spk mengatakan bahwa kesengsaraan (ogha) dalam baris pertama adalah penderitaan dari lima kelompok unsur kehidupan, dan penderitaan (dukka) dalam baris ke dua adalah bersinonim dengannya. Baris ke empat adalah kesimpulan: “Dengan melenyapkan lima kelompok, penderitaan dari lingkaran kehidupan dilenyapkan.” ↩︎
Dalam pāda b kata majemuk yang tidak lazim saṅkapparāga dikemas oleh Spk menjadi saṅkappitarāga, “nafsu yang disengaja.” Mp III 407,5 mengemasnya: saṅkappavasena uppannarāgo, “nafsu yang muncul karena kehendak (atau pemikiran).” Spk-pṭ menambahkan: subhādivasena saṅkappitavatthumhi rāgo, “nafsu sehubungan dengan objek yang dipikirkan sebagai indah, dan sebagainya.” Akan tetapi, kunci dalam ungkapan ini mungkin adalah Dhp 339d (=Th 760d), di mana kita menemukan saṅkappa rāganissitā, “kehendak yang didasarkan pada nafsu.” Spk menyimpulkan inti dari syair itu sebagai berikut: “Di sini identifikasi indriawi dengan objek indria ditolak; adalah kekotoran indria yang disebut dengan indriawi.”
Dhīra memperbolehkan dua turunan, satu bermakna “bijaksana,” dan yang ke dua “teguh, ulet”; baca PED dan MW, s.v. dhīra. Saya biasanya menerjemahkannya sebagai “bijaksana,” mengikuti kemasan komentar paṇḍita, namun di tempat lain (misalnya di vv.411e, 413e, 493a, 495a) saya memanfaatkan kerancuan kata itu dan menerjemahkannya sebagai “ulet.” Kata ini ditonjolkan dan sepertinya hanya digunakan dalam syair ini. ↩︎
Akiñcana dalam pāda c adalah sebutan umum untuk Arahant. Spk menjelaskannya sebagai hampa dari “sesuatu” (atau rintangan) dari nafsu, kebencian, dan delusi (baca 41:7; IV 297, 18-19 = MN I 298,14-15). ↩︎
Spk: Mogharāja adalah seorang bhikkhu yang terampil dalam struktur khotbah yang berurutan (anusandhikusala). [Spk-pṭ: Ia adalah satu di antara enam belas murid Brahmana Bāvari; baca Sn 1116-19.] Setelah memperhatikan bahwa makna dari syair terakhir tidak berurutan, ia mengucapkan demikian untuk memperbaikinya agar berurutan (mungkin dengan menarik kesimpulannya?). Spk menunjukkan bahwa walaupun semua Arahant dapat dijelaskan sebagai “orang-orang terbaik, mengembara demi kebaikan umat manusia” (nartuttamaṃ atthacaram narānaṃ), bhikkhu itu menggunakan ungkapan ini dengan secara khusus merujuk pada Sang Buddha (dasabalaṃ sandhāy’ eva). Spk menyimpulkan pernyataan ini sebagai suatu pertanyaan (te kim pasaṃsiyā udāhu apasaṃsiyā), yang saya ikuti, tetapi ini juga dapat dibaca sebagai suatu pernyataan sederhana yang terlebih dulu dikonfirmasi dan kemudian diperbaiki oleh Sang Buddha. ↩︎
Spk menjelaskan bhikkhū dalam pāda a (dan mungkin juga dalam pāda d) sebagai seruan yang ditujukan kepada Mogharāja; tetapi karena yang ke dua juga disebutkan dengan namanya, sepertinya lebih mungkin menganggap kata itu dalam kedua baris sebagai kata benda jamak. Dalam Be dan Se kata ini jelas jamak. Sang Buddha dengan demikian memastikan bahwa mereka yang menghormatiNya adalah layak dipuji, tetapi mengarahkan si penanya melampaui sekedar mengabdi dengan menambahkan bahwa mereka yang memahami kebenaran dan meninggalkan keragu-raguan (dengan mencapai Jalan Memasuki-Arus) adalah lebih layak dipuji; karena akhirnya mereka akan menjadi “mengatasi ikatan” (saṅgātigā), yaitu, para Arahant. ↩︎
Spk: Tidak ada alam deva yang bernama “pencari kesalahan” (ujjhānasaññino). Nama ini diberikan kepada para deva ini oleh redaktur naskah ini karena mereka datang untuk mencari “kesalahan” pada Sang Tathāgata atas penyalahgunaan empat kebutuhan. Mereka berpikir: “Petapa Gotama ini memuji kepuasan dengan kebutuhan yang sederhana kepada para bhikkhu, tetapi Beliau sendiri hidup mewah. Setiap hari Beliau mengajarkan Dhamma kepada banyak makhluk. UcapanNya pergi ke satu arah, perbuatanNya ke arah lain.” Fakta bahwa mereka berbicara kepada Sang Bhagavā sambil masih berdiri di angkasa sudah menunjukkan sikap tidak hormat. ↩︎
Spk mendefinisikan kitavā sebagai sejenis burung pemangsa (sākuṇīka) dan menjelaskan: “Bagaikan burung pemangsa yang menyembunyikan dirinya di balik dahan-dahan dan dedaunan dan membunuh burung lain yang mendekat, demikianlah ia menyokong istrinya, demikian pula penipu menyembunyikan dirinya di balik jubah-usang dan menipu banyak orang dengan kata-kata cerdas. Semua pemakaian empat kebutuhan (jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan) yang ia gunakan adalah digunakan dengan mencuri. Deva itu mengucapkan syair ini sehubungan dengan Sang Bhagavā.” Penjelasan kitavā yang sama terdapat dalam Dhp-a III 375 (terhadap Dhp 252). Akan tetapi, pada Ja IV 228,19 kata ini muncul dalam konteks yang jelas menunjukkan bahwa kata ini berarti penjudi; dikemas oleh kata akkhadhutta, seorang penjudi-dadu, dan saya menerjemahkannya demikian. Baca Palihawadana, “Dari Penjudi hingga Penyamaran: Metamorfosa Semantik yang Aneh dari kata Pāli Kitavā.” ↩︎
Spk: Mengapa Sang Buddha tersenyum? Dikatakan bahwa para deva itu tidak meminta maaf dengan cara yang sesuai dengan sifat sejati Sang Buddha (sabhāvena); mereka bersikap seolah-olah tidak ada perbedaan antara Sang Tathāgata, manusia tertinggi di dunia, dan kaum duniawi biasa. Sang Bhagavā tersenyum dengan tujuan: “Ketika diskusi muncul dari ini, Aku akan memperlihatkan kekuatan seorang Buddha dan selanjutnya Aku akan memaafkan mereka.” ↩︎
Dalam pāda d, saya mengikuti Se dalam membaca tenīdha, dan bukannya kenīdha dalam Be dan Ee1 dan ko nãdha dalam Ee2. Spk dan Spk-pṭ tidak memberikan bantuan sehubungan dengan arti dari syair ini. Saya menerjemahkan kusala di sini sesuai dengan kemasan Spk-pṭ, anavajja. Pada KS 1:35 syair ini tidak dianggap penting. ↩︎
Baris ini hilang hanya dalam Ee1, yang memberikan kesan bahwa syair berikutnya diucapkan oleh deva yang sama (dan demikianlah C.Rh.D menerjemahkannya). ↩︎
Syair ini identik dengan v.104 kecuali bahwa dalam pāda d sangā menggantikan dukkhā. Sehubungan dengan lima ikatan, baca n.12. ↩︎
Sutta ini merupakan pembukaan Mahāsamaya Sutta (DN No.20). kisah latar belakangnya diceritakan secara terperinci dalam Spk (juga dalam Sv II 672-77 dalam DN No.20), dimulai ketika Sang Buddha menengahi dan mencegah pertempuran antara penduduk Sakya dan Koliya, sanak saudaraNya dari pihak ayah dan ibu, yang memperebutkan air dari Sungai Rohini, setelah Beliau menengahi dengan memberikan solusi damai atas konflik itu, 250 pemuda dari masing-masing kelompok meninggalkan keduniawian di bawahNya menjadi bhikkhu. Setelah berusaha beberapa lama, mereka semuanya mencapai kesucian Arahant pada hari yang sama, hari purnama di bulan Jeṭṭhamūla (Mei-Juni). Ketika Sutta dimulai, pada malam yang sama, mereka berkumpul di hadapan Sang Guru untuk mengumumkan pencapaian mereka. Kata samaya pada judul bukan berarti “peristiwa”, tetapi pertemuan atau “sekumpulan orang banyak”; Spk mengemas mahāsamaya dalam sangat bersemangat sebagai mahāsamūha, “kumpulan agung.” ↩︎
Alam Murni (suddhāvāsà) adalah lima alam dalam alam berbentuk yang hanya para Yang-Tidak-Kembali yang terlahir kembali di sini: Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassī, dan Akaniṭṭha. Di sini mereka mencapai pembebasan akhir tanpa pernah kembali dari alam tersebut. Dengan demikian, semua penghuni alam itu hanyalah para Yang-Tidak-Kembali atau Arahant. ↩︎
Dalam pāda d, saya bersama dengan Se dan Ee1 & 2 membaca khilaṃ, bukannya khīlaṃ dalam Be. Karena indakhīlaṃ muncul dalam pāda b, khīlaṃ menjadi berulang dalam pāda a. Kedua kata itu tidak berhubungan: khila adalah gurun, baik secara literal maupun secara kiasan; khīla adalah sebatang tombak atau tiang, berjenis tertentu, indakhīla, ditanamkan di depan gerbang kota atau pintu masuk rumah sebagai lambang keberuntungan. Spk mendefinisikan ketiga istilah ini – khila, paligha, dan indakhīla – dengan cara yang sama, sebagai nafsu, kebencian, dan delusi. Pada 45:166 ketiga ini disebut khila, namun pada MN I 139,19-22 paligha diidentifikasikan sebagai ketidaktahuan (avijjà). Sekelompok dari lima cetokhila disebutkan pada MN I 101,9-27.
Para bhikkhu itu tidak terusik (anejā) oleh keriuhan (atau kegemparan, ejā) ketagihan (baca 35:90). Nāga adalah sebuah kata yang digunakan untuk menunjuk berbagai jenis makhluk sakti, khususnya dari jenis naga setengah dewa, tetapi juga dapat menunjukkan kobra dan gajah dan digunakan sebagai metafora untuk Arahant; baca MN I 145,5-7. Sehubungan dengan Arahant pengertian yang dominan adalah gajah (baca Dhp bab 23), tetapi karena ungkapan terakhir ini dapat, dalam Bahasa Inggris, terlihat merendahkan daripada penghargaan maka saya membiarkan nāga tidak diterjemahkan. Spk menjelaskan kata ini melalui “etimologi perbaikan” sebagai berikut: chandādīhi na gacchantī ti nāgā; tena tena maggena pahīna kilese na āgacchantī ti nāgā; nānappakāram āgum na karontī ti nāgā; “nāga, karena mereka tidak menuruti keinginan dan seterusnya; nāga, karena mereka tidak kembali ke kotoran yang telah ditinggalkan melalui jalan-jalan berturut-turut; nāga, karena mereka tidak melakukan berbagai jenis kejahatan.” Spk mencantumkan penjelasan singkat ini dan memberi rujukan kepada pembaca ke Nidd I 201-2 untuk penjelasan lengkapnya. Baca juga Sn 522 yang memberikan etimologi serupa.
“Seorang dengan Penglihatan” (cakkhumā) adalah Sang Buddha, disebut demikian karena Beliau memiliki “lima mata” (baca n.370). ↩︎
Spk: Syair ini merujuk pada mereka yang menerima perlindungan dengan menyatakan berlindung secara pasti (nibbematikasaraṇagamana). Spk-pṭ: Dengan perlindungan adi-duniawi ini yang dimaksudkan adalah (yaitu, minimal pencapaian tingkat Memasuki-Arus). Tetapi mereka yang menyatakan berlindung pada Buddha melalui perlindungan duniawi (yaitu, tanpa pencapaian kemuliaan) tidak akan pergi ke alam sengsara; dan jika ada kondisi yang mendukung, saat meninggalkan tubuh manusia, mereka akan bergabung dengan para deva. ↩︎
Kaki Sang Buddha terluka ketika sepupuNya yang jahat, Devadatta, berusaha membunuhNya dengan melemparkan batu ke arah Beliau di Puncak Gunung Hering. Batu itu meleset tetapi pecahannya melukai kaki Sang Buddha sehingga mengucurkan darah. Kisah lengkap mengenai kejahatan Devadatta diceritakan dalam Vin II 184-203; baca juga Life of the Buddha, bab 13, oleh Ñāṇamoli. Kejadian ini menjadi latar belakang bagi 4:13 di bawah. Menurut Spk, tujuh ratus deva yang datang menemui Sang Buddha termasuk semua deva penghuni Satullapa. ↩︎
Spk: Beliau disebut nāga karena kekuatanNya (baca n.84); singa (sīha) karena tanpa-ketakutan; berdarah murni (ājāniya) karena pemahamanNya atas apa yang telah Ia pelajari (?byattaparicayaṭṭhena), atau karena Ia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; banteng pemimpin (nisabha) karena Ia tanpa tandingan; binatang pembawa beban (dhorayha) karena Ia membawa beban; jinak (danta) Karena Ia bebas dari perilaku menyimpang.
Spk mengemas nāgavatā sebagai nāgabhāvena. Geiger mengartikan nāgavatā sebagai bentuk instrumental bagi kata sifat nāgavant yang digunakan sebagai keterangan dalam makna perbandingan (GermTr, p.93). Akan tetapi, saya mengikuti usulan Norman (dalam suatu komunikasi pribadi) bahwa –vata di sini mungkin adalah istilah Pāli yang sama dengan Skt –vrata, dalam makna “alam perbuatan, fungsi, modus atau gaya hidup, sumpah” (MW). Ee2, berdasarkan pada komentar Lanna, mengusulkan perbaikan teks tersebut menjadi nāgo va tā ca pan’ upannā sāririkā vedanā (dan hal yang sama untuk kalimat paralel yang mengikutinya); baca Ee2, p. xviii. Tetapi saya ragu bahwa teks tersebut dapat berubah begitu cepat dari metafora (dalam kalimat sebelumnya) menjadi perumpamaan, dan kemudian kembali ke metafora di bawah. ↩︎
Saya dan Se membaca : Passa samādhiṃ subhāvitaṃ cittañ ca suvimuttaṃ na cābhinataṃ na cāpanataṃ na ca sasaṅkhāraniggayhavāritavataṃ. Be identik kecuali bahwa kata terakhir dalam kata majemuk tertulis sebagai –gataṃ; Ee1 –cāritavataṃ jelas suatu kesalahan, diralat dalam PED, s.v. vāritavata. Ee2 membaca seperti dalam Se, tetapi dengan niggayha dianggap sebagai bukan kata majemuk, yang membiarkan sasaṅkhāra menjadi mengambang. Ungkapan yang sama muncul di tempat lain: pada AN IV 428,9-10 formula lengkap yang digunakan untuk menggambarkan samādhi disebut aññāphala, buah dari pengetahuan akhir (atau mungkin, “dengan pengetahuan akhir sebagai buahnya”); sasaṅkhāraniggayhavāritavata, pada AN I 254,34, menggambarkan samādhi yang dikembangkan sebagai landasan bagi enam abhiññā (mungkin jhāna ke empat); dan AN III 24,9. DN III 279,4 dan Vibh 334,15, menggambarkan “konsentrasi benar lima pengetahuan” (pañcañāṇika sammā samādhi). Dalam konteks sekarang ini, sepertinya, ungkapan itu dapat bermakna cittaṃ, pikiran, walaupun pikiran memiliki kualitas-kualitas ini dengan kualitas samādhi yang mana ia terserap. Pada AN IV 428,9-10 dan di tempat lain frasa ini jelas bermakna samādhi.
Spk (Se): Konsentrasi dari buah Kearahattaan (arahattaphalasamādhi). Pikiran dikatakan sebagai terbebaskan sempurna (savimuttaṃ) karena terbebaskan melalui buah. Tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang: pikiran yang disertai dengan nafsu dikatakan “condong ke depan” (abhinataṃ), yang disertai dengan kebencian dikatakan “condong ke belakang” (apanataṃ). Dengan menolak keduanya, ia berkata sebagai berikut. Tidak terhalang dan terkekang oleh tekanan: Tidak terhalang dan terkekang, setelah menekan kekotoran dengan usaha keras, dengan upaya; lebih tepat lagi, terkekang karena kekotoran telah dipotong. Artinya adalah bahwa pikiran terkonsentrasi oleh konsentrasi buah (na ca sasaṅkhāraniggayhavāritavatan ti na sasaṅkhārena sappayogena kilese niggahetvā vāritavataṃ; kilesānaṃ pana chinnattā vataṃ, phalasamādhinā samāhitan ti attho). (N.B. Sementara Spk (Be) membaca –gataṃ dalam lema, namun tertulis –vataṃ dua kali dalam penjelasan.)
Spk-pṭ: Ini tidak dicapai, tidak ditetapkan, tidak diupayakan sekuat tenaga, dengan usaha, dengan cara pelepasan dalam hal tertentu atau dengan cara pelepasan melalui penekanan sebagaimana halnya dengan pikiran jhāna duniawi atau pandangan terang; tetapi lebih kepada (ini dicapai) karena kekotoran-kekotoran telah benar-benar terpotong (lokiyajhānacittaṃ viya vipassanā viya ca sasaṅkhārena sappayogena tadaṅgappahāna-vikkhambhanappahānavasena ca vikkhambhetvā na adhigataṃ na ṭhapitaṃ, kiñcarahi kilesānaṃ sabbaso chinnatāya).
Frasa Pāli ini sangat sulit dan tulisan sebenarnya meragukan. Sesungguhnya, dalam versi Central Asian Skt yang bersesuaian dengan DN III 279,4 (Waldschmidt, Sanskrittexte aus den Turfanfunden IV, p.70, V.8 (3)), jelas tidak ada. Versi Skt dalam Ṥrāv-bh (p.444,19-21) tertulis vārivad dhṛtaṃ, “terpelihara seperti air,” yang bagi saya sepertinya tidak mungkin sesuai dengan tulisan aslinya.
Ee1 mencantumkan jeda setelah niggayha, dan Ee2 memisahkannya; edisi lainnya menggabungkan niggayha dalam kata majemuk yang panjang. Tidak ada cara untuk memastikan, hanya berdasarkan pada tata bahasa saja, yang adalah benar. Setiap usaha untuk memecah ungkapan ini menjadi elemen-elemennya memunculkan persoalannya sendiri, dan bahkan aṭṭhakatha dan ṭikā memberikan penjelasan yang berlawanan, misalnya, Sv III 1060,11-13 dan Vibh-a 421,13-15 menganggap niggayha sebagai absolutif (seperti halnya dalam Spk) dan mengubah vārita menjadi absolutif vāretvā; masing-masing ṭikā, Sv-pṭ III 284,24-27 (Be) dan Vibh-mṭ 205,16-18 (Be), menganggap niggayha sebagai bentukan kata benda dari kata kerja niggahetabba dan vārita sebagai bentukan kata benda dari kata kerja vāretabba. Karena niggayha muncul di tempat lain tanpa bermakna ganda sebagai suatu bentuk absolutif (misalnya, pada MN III 118,4, yang menarik, seperti di sini, tanpa objek langsung), sementara dalam Kanon Pāli tidak ada kemunculan kata ini sebagai bentukan kata benda dari kata kerja, aṭthakatha lebih mungkin benar. Norman mempertanyakan interpretasi ini atas dasar bahwa tidak adanya bentuk absolutif yang terdapat dalam Pāli sebagai bagian dari kata majemuk (komunikasi pribadi), tetapi mungkin kita sebaiknya tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa kita memiliki bentuk seperti itu di sini. akan tetapi, saya menerjemahkan, menuruti ungkapan Bahasa Inggris umum daripada kecocokan yang dipaksakan dengan sintaksis Bahasa Pāli.
Tulisan-tulisan pada bagian terakhir dari kata majemuk ini bervariasi di antara berbagai tradisi: secara umum vāritavata menang dalam tradisi Sinhala, vāritagata dalam tradisi Burma, dengan edisi Burma vv.II juga tercatat vārivāvata dan vārivāvaṭa. Vārita di sini adalah bentuk lampau dari bentuk kausatif vāreti, mencegah, menghindari. Bagian akhir dari kata majemuk itu dapat berupa vata atau gata. Gata adalah jelas bentuk pasif. Vata lebih problematik. Pada KS 1:39, vāritavataṃ diterjemahkan “memiliki kebiasaan penyangkalan-diri.” Jelas bahwa C.Rh.D memahami bahwa vata adalah sama dengan Skt vrata. Akan tetapi, kemasan Spk, chinnattā vataṃ phalasamādhinā samāhitaṃ, mengusulkan bahwa kita memiliki bentuk pasif di sini, dan saya mengusulkan bahwa vata mewakili Skt vṛta, yang menurut MW dapat berarti “berhenti, dikekang, ditahan.” Saya tidak dapat menyebutkan kemunculan bentuk sederhana vata dalam Pāli, namun bentuk berawalan cukup umum: saṃvutta, nibutta, vivaṭa, āvaṭa, dan sebagainya. Dengan demikian kita memiliki dua bentuk pasif dari akar yang sama, yang pertama kausatif dan yang lainnya sederhana, sehingga kata majemuk vāritavata berarti “terhalang dan dikekang” (sayangnya dua kata kerja yang berbeda dalam Bahasa Inggris diperlukan untuk menangkap nuansa ini). Walaupun bentukan ini tidak umum, tetapi juga tidak perlu ditolak, karena ini digunakan untuk penekanan tertentu. Jika tulisan gata diterima, vāritagata dapat berarti “pergi (untuk memperoleh) kendali,” dengan vārita dianggap sebagai kata benda keadaan. Ini tentu saja terdengar lebih alami daripada vāritavata, namun kelaziman vata dalam tradisi tekstual lebih kuat mendukung keabsahannya. ↩︎
Tidak jelas siapa yang mengucapkan bait ini, dan syair-syairnya sendiri tidak memiliki bukti yang berhubungan dengan bagian prosa sebelumnya dari sutta. Mungkin bait ini ditambahkan ke dalam prosa oleh redaktur kanon.
Saya bersama dengan Be, Se dan Ee2 membaca pāda a sebagai berikut: pañcavedā sataṃ samaṃ. Penyebutan lima Veda agak aneh tetapi Spk menjelaskan: itihāsapañcamānaṃ vedānaṃ, “Veda dengan sejarahnya sebagai yang ke lima.” Spk mengemas sataṃ samaṃ sebagai vassavataṃ; Geiger pasti keliru dalam menolak penjelasan ini (GermTr, p.41, n.3). Spk juga mengemas hīnattarūpā sebagai hīnattasabhavā dan menyebutkan sebuah variasi, hinatharūpā, yang dikemas oleh Spk-pṭ sebagai hinatthajātikā parihīnatthā, “mereka yang bertujuan rendah, mereka yang telah jatuh dari tujuannya.” ↩︎
Pajjuna (Skt Parjanya) adalah raja deva awan hujan, berasal dari dewa Veda, Spk menempatkannya dalam surga dari Empat Raja Dewa. Ia disebut dalam DN III 205,6. Tidak ada hal lain yang diketahui sehubungan dengan dua putrinya, yang diberi nama dari teratai merah (baca v.401a). ↩︎
Empat syair ini, dalam irama Āryā yang aneh, telah direkonstruksi oleh Alsdorf, Die Āryā-Strophen des Pali-Kanons, p.321. ↩︎
Spk maupun Spk-pṭ tidak memberikan bantuan sehubungan dengan bentuk tunggal sattassa dalam pāda a, tetapi saya mengambil adaptasi irama dari sattānaṃ. Sehingga baris itu mengungkapkan gagasan yang sama dengan 45:139 (V 41,23-42,2). ↩︎
Spk: Ada dua neraka Roruva: Roruva Berasap (dhūmaroruva) dan Roruva Berapi (jālaroruva). Roruva Berasap adalah neraka terpisah, tetapi Roruva Berapi adalah nama untuk neraka besar Avīci, disebut Roruva karena ketika makhluk-makhluk terbakar di sana mereka berteriak terus-menerus (punapunnaṃ ravaṃ ravanti). Dalam 3:20 Roruva Berapi diucapkan sebagai Roruva Besar (mahāroruva). ↩︎
Spk-pṭ mengemas khantiyā dalam pāda b sebagai ñāṇakhantiyā, yang menyiratkan bahwa di sini kata itu tidak mengandung makna umum kesabaran, melainkan makna khusus “penerimaan” (dalam Ajaran). Baca ungkapan dhammanijjhānakkhanti dalam MN II 173,21-22. ↩︎
Dhamma adalah bersifat demikian (tādiso dhammo). Spk: “Karena demikianlah sifat Dhamma, O Bhagavā, memiliki struktur demikian, memiliki pengelompokan demikian, kemudian Dhamma menuntun untuk diselidiki secara analitis dalam banyak cara.” Spk-pṭ: “Demikianlah seseorang yang telah menembus kebenaran sebagaimana adanya, terampil dalam makna dan ajaran, dapat menjelaskan, mengajarkan, menyatakan, kokoh, mengungkapkan, menganalisis, menguraikan, memberikan contoh, memberikan alasan-alasan, dan kesimpulan.” ↩︎
Ee2, Masih berdasarkan bukti dari Lanna ms, membuka syair ini dengan syair lain (v.138) mengenai kematian yang tidak dapat diramalkan, juga terdapat pada Ja II 58. Tetapi jika syair itu sebenarnya adalah bagian dari teks, Spk di sini pasti telah memasukkan komentar atas temuannya, dengan syairnya sendiri, pada Vism 236-7 (Ppn 8:29-34). Karena ada alasan kuat untuk tidak memasukkan syair tersebut, maka saya melewatkannya dalam terjemahan ini. ↩︎
Yakkha dalam pāda c dikemas oleh Spk-pṭ sebagai satta. Walaupun ko adalah pertanyaan, sepertinya kalimat itu dipaksa menjadi bentuk pernyataan. Syair ini mungkin adalah gema dari Taittiriyaka Upanisad, II.2, III.2,7-10. ↩︎
Spk menjelaskan teka-teki ini sebagai berikut: Samudra (samudda) atau jurang (pātāla) adalah ketagihan, disebut samudra karena tidak dapat diisi penuh dan jurang karena tidak ada pijakan. Satu akarnya (ekamūla) adalah ketidak-tahuan; dua pusaran air (dvirāvaṭṭa) adalah pandangan eternalis dan nihilis. [Spk-pṭ: Ketagihan pada penjelmaan berputar melalui pandangan eternalis; ketagihan pada pemusnahan melalui pandangan nihilis.] Tiga noda (timala) adalah nafsu, kebencian, dan delusi; lima sambungan (pañcapatthara), lima utas kenikmatan indria, dan dua belas arus air (dvādasāvaṭṭa), enam landasan indria internal dan eksternal.
Ñāṇananda mengusulkan interpretasi alternatif atas beberapa istilah ini: sehubungan dengan 36:4, ia mengartikan jurang sebagai perasaan sakit, dan sehubungan dengan 35:228, samudra sebagai enam landasan indria. Dua pusaran air adalah perasaan menyenangkan dan perasaan menyakitkan; satu akar, kontak. Untuk lengkapnya, baca SN-Anth 2:63-66. ↩︎
Spk: Memiliki nama yang sempurna (anomanāma): nama yang tanpa cacat, nama yang lengkap, karena Beliau (Sang Buddha) memiliki semua kualitas baik (baca juga v.927c dan n.653). Sang Petapa bertujuan halus (atau “makna-makna”: nipuṇatthadassiṃ): karena ia melihat yang halus, makna-makna yang sukar dipahami seperti keragaman kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan sebagainya. Ia adalah pemberi kebijaksanaan (paññādadaṃ) dengan mengajarkan jalan praktik untuk pencapaian kebijaksanaan. Menapak di jalan mulia (ariye pathe kamamānaṃ): bentuk kalimat kini digunakan sehubungan dengan masa lampau, karena Sang Bhagavā telah berjalan di sepanjang jalan mulia di tempat pencapaian pencerahan sempurna; Beliau tidak berjalan di sana lagi pada saat ini.
Saya mempertanyakan penjelasan Spk sehubungan dengan nipuṇattha, yang sepertinya merujuk pada attha dalam pengertian tujuan, yaitu, Nibbāna. ↩︎
Spk menceritakan kisah yang melatar-belakangi: Dalam kehidupan sebelumnya deva ini adalah seorang bhikkhu yang terlalu bersemangat yang mengabaikan tidur dan makan untuk memperhatikan subjek meditasinya. Karena semangat yang berlebihan ini, ia meninggal dunia karena masuk angin dan seketika terlahir kembali di alam surga Tāvatiṃsa di tengah-tengah sekelompok bidadari surgawi (accharā). Perubahan itu begitu cepat sehingga ia bahkan tidak mengetahui bahwa ia telah meninggal dunia dan berpikir bahwa ia masih seorang bhikkhu. Para bidadari mencoba untuk merayunya, tetapi ia menolak cinta mereka dan berusaha untuk melanjutkan meditasinya. Akhirnya, ketika para bidadari itu membawakan cermin untuknya, ia menyadari bahwa ia telah terlahir kembali menjadi deva, tetapi ia berpikir: “Aku tidak mempraktikkan tugas-tugas seorang petapa agar terlahir kembali di sini, tetapi untuk mencapai tujuan tertinggi Kearahattaan.” Kemudian, dengan moralitasnya yang masih tidak berubah, dikelilingi oleh para bidadari, ia mendatangi Sang Buddha dan mengucapkan syair pertama.
Syair itu berputar di sekitar permainan kata antara Nandana, taman kegembiraan, dan Mohana, taman delusi. Taman itu “diramaikan oleh gema sekumpulan bidadari” karena para bidadari itu bernyanyi dan bermain musik. Spk menyusun pertanyaan berdasarkan maksudnya: “Ajari saya meditasi pandangan terang, yang merupakan landasan untuk mencapai Kearahattaan.” ↩︎
Spk: Jalan Mulia Berunsur Delapan disebut jalan lurus (ujuko maggo) karena tidak ada perilaku jasmani, dan lain-lain yang berbelok-belok. Tujuannya, Nibbāna, dikatakan tanpa-ketakutan (abhaya) karena tidak ada yang perlu ditakuti di dalamnya dan karena tidak ada ketakutan dalam diri seseorang yang telah mencapainya. Tidak seperti kereta yang sesungguhnya, yang bergemeretak dan menderu jika porosnya tidak dilumasi atau ketika dinaiki oleh terlalu banyak orang, Jalan Berunsur Delapan tidak bergemeretak atau menderu (na kūjati na viravati) bahkan jika dinaiki oleh 84.000 orang secara bersamaan. Kereta itu adalah Jalan Berunsur Delapan, dan roda-roda kondisi bermanfaat (dhammacakka) adalah usaha jasmani dan batin. “Dhamma” yang disebut kusir adalah jalan adi-duniawi, dengan pandangan benar vipassanā (vipassanā-sammādiṭṭhi) berjalan di depan (purejava). Karena, bagaikan para pelayan raja yang pertama-tama membersihkan jalan sebelum dilalui raja, demikian pula, pandangan benar vipassanā membersihkan jalan dengan merenungkan kelompok-kelompok unsur kehidupan, dan lain-lain, sebagai tidak kekal, dan seterusnya, dan kemudian pandangan benar sang jalan (magga-sammādiṭṭhi) memunculkan pemahaman sepenuhnya pada lingkaran kehidupan.
Dalam v.150c saya bersama dengan Be dan Ee2 membaca akūjano, bukannya akujano seperti dalam Se dan Ee1. Geiger menurunkan akujano dari kujati, “dibelokkan” (GermTr, p.51, n. 3) tetapi baca Ja VI 252, 20, di mana “kereta jasmani” dijelaskan sebagai vācāsaññamakūjano, tidak bergemeretak dengan pengendalian ucapan,” yang mendukung tulisan dan terjemahan di sini. Perumpamaan yang diperluas harus dibandingkan dengan yang terdapat pada brahmayāna, kendaraan brahma, pada 45:4, baca juga perumpamaan kereta yang diperluas pada Ja VI 252:53. ↩︎
Spk: Setelah menyelesaikan khotbah (syair), Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia, dan di akhir khotbah itu deva itu mencapai buah Memasuki-Arus; makhluk-makhluk lainnya yang hadir di sana mencapai buah yang sesuai dengan kondisi pendukung mereka masing-masing. ↩︎
Spk menjelaskan semua ini sebagai persembahan kepada Saṅgha. Taman-taman (ārāma) dibedakan dengan tanaman pohon bunga dan buah-buahan, sedangkan hutan (vana) adalah sekumpulan pepohonan liar. Papa dikemas sebagai suatu tempat berteduh untuk memberikan air minum. ↩︎
Syair-syair ini diucapkan oleh Anāthapiṇḍika, penyokong utama Sang Buddha, setelah ia terlahir kembali di alam surga Tusita. Muncul kembali di bawah, dengan prosa, pada 2:20. ↩︎
Anāthapiṇḍika khususnya sangat berbakti kepada Sāriputta, yang membabarkan khotbah kepadanya ketika ia berada di ranjang kematiannya: baca MN No.143, yang juga memasukkan kisah yang sama dari kunjungan si penyokong besar setelah kematiannya ke Hutan Jeta.
Spk: Paling jauh hanya bisa menyamainya (etāvaparamo siyā): Tidak ada bhikkhu, bahkan tidak ada dari mereka yang telah mencapai Nibbāna, yang melampaui Bhikkhu Sāriputta (na therena uttaritaro nāma atthi). ↩︎
“Alam Yama” (yamaloka) di sini jelas merujuk pada pettivisaya, alam setan. Yama adalah Raja Kematian; baca MN 179-86, AN I 138-42. ↩︎
Saya bersama dengan Se dan Ee1 membaca ete sagge pakāsenti, dan bukannya seperti Be ete saga pakāsanti, “Alam surga ini bersinar,” dan seperti Ee2 ete sagge pakàsanti, “ini bersinar di alam surga,” saya menganggap sagge sebagai akusatif jamak daripada lokatif tunggal yang juga masuk akal. ↩︎
Spk-pṭ: Karena mereka memiliki kebahagiaan maka mereka bagaikan para deva yang mengendalikan benda-benda ciptaan para deva lainnya. Perbandingannya adalah dengan para deva dari alam paranimmitavasavatti, alam surga indria ke enam. ↩︎
Deva Ghaṭikāra adalah seorang pengrajin tembikar pada masa Buddha Kassapa, yang memiliki tempat kediaman monastik di Vehaliṅga, kota asalnya. Pada masa itu calon Buddha Gotama adalah sahabatnya, pemuda brahmana Jotipāla. Walaupun Jotipāla meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhu di bawah Buddha Kassapa, Ghaṭikāra terpaksa tetap sebagai perumah tangga untuk menyokong orang tuanya yang sudah tua dan buta. Ia adalah penyokong utama Sang Buddha dan telah mencapai tingkat Yang-Tidak-Kembali. Inti dari kisah ini, dijelaskan dalam MN No.81, muncul dalam bentuk syair-syair berikutnya di sini.
Avihā adalah salah satu alam murni (baca n.83). Spk mengatakan bahwa tujuh bhikkhu terbebaskan melalui pembebasan dari buah Kearahattaan, yang mereka capai segera setelah mereka terlahir kembali di alam Brahmā Avihā. ↩︎
Dalam pāda a, saya bersama dengan Be dan Ee1 membaca paṅkaṃ bukannya saṅgaṃ (“ikatan”) dalam Se dan Ee2. Spk menyebutkan bahwa meninggalkan tubuh manusia menyiratkan pelenyapan lima belenggu yang lebih rendah dan belenggu surgawi (dibbayogo) menyiratkan lima belenggu yang lebih tinggi. ↩︎
Saya mengikuti ejaan nama dalam Se. Upaka adalah nama sebelumnya dari Petapa Ājivaka yang bertemu dengan Sang Buddha tidak lama setelah mencapai pencerahan sempurna dalam perjalanan menuju Isipatana (MN I 170,33 - 171,20). Kelak, setelah suatu perkawinan yang tidak membahagiakan, ia memasuki Saṅgha: baca DPPN 1:386. Kisah Pukkusāti diceritakan pada MN No.140 dan Ps V 33-63; baca juga DPPN 2:214-16. Piṅgiya di sini mungkin identik dengan murid Bāvari yang syair-syairnya muncul pada Sn 1131-49, walaupun ini tidak dapat dipastikan. Identitas bhikkhu lainnya tidak dapat dipastikan. ↩︎
Saya bersama dengan Be dan Se membaca pāda a kusalī bhāsasi tesaṃ. Spk: Kusalan ti idaṃ vacanaṃ imassa atthī ti kusali; tesaṃ therānaṃ tvaṃ kusalaṃ anavajjaṃ bhāsasi. ↩︎
Mengenai “di mana nama-dan-bentuk lenyap” baca di atas n.46. Spk membaca sebagai berikut ini pada akhir baris: “Para bhikkhu itu (melakukan demikian) setelah memahami Dhamma itu di sini dalam masa pengajaranMu.” ↩︎
Bhaggava adalah nama si pengrajin tembikar, mungkin nama suku. ↩︎
Spk mengatakan bahwa syair penutup ditambahkan oleh redaktur naskah. Pernyataan bahwa keduanya telah terkembang di dalam (bhāvitattānaṃ) dan membawa jasmani terakhir mereka (sarirantimadhārinaṃ) menyiratkan bahwa setelah kelahiran kembali di Alam Murni, Ghaṭikāra juga telah menjadi Arahant. ↩︎
Se dan Ee2 membaca corehi ‘hāriyaṃ, Be corehyahāriyaṃ. Keduanya adalah usaha mempelajari ejaan untuk menyelamatkan teks yang sepertinya menegaskan lawan dari makna yang diperlukan. Tanpa bentukan editorial corehi hāriyaṃ (tulisan pada Ee1) akan berarti, “Apakah yang harus dibawa oleh pencuri itu?” – terjemahan yang digunakan pada KS 1:51. Spk tidak memberikan bantuan. ↩︎
Bersama dengan Be, Se, dan Ee2 membaca pāda a (juga dalam syair berikutnya) pavasato bukannya pathavato seperti dalam Ee1. ↩︎
Spk: Putra adalah penyokong manusia karena mereka merawat orang tua mereka pada saat usia lanjut. Istri adalah pendamping terbaik karena seseorang dapat menceritakan kepadanya rahasia pribadinya. ↩︎
Spk: Jalan menyimpang (uppatha) adalah bukan jalan (amagga) untuk pergi ke alam surga dan Nibbāna. Mengalami penghancuran siang dan malam (rattindivakkhaya): dihancurkan oleh siang dan malam atau selama siang dan malam. Perempuan adalah noda bagi kehidupan suci: dengan mencuci noda-noda luar seseorang dapat menjadi bersih, tetapi seseorang yang dikotori oleh perempuan tidaklah mungkin menjadikan dirinya suci. Latihan keras (tapa) adalah sebutan bagi pengendalian, praktik keras (dhutaṅgaguṇa), usaha, dan pertapaan keras (dukkarakārika); semua ini kecuali pertapaan keras (yaitu, penyiksaan diri) adalah praktik yang membakar kekotoran-kekotoran. Kehidupan suci (brahmacariya) adalah menghindari hubungan seksual.
Mengenai “mandi tanpa air” baca vv.646, 705. Untuk memahami ungkapan ini, kita harus mengingat bahwa bagi para brahmana di masa Sang Buddha (seperti halnya umat-umat Hindu masa sekarang) ritual mandi adalah suatu cara untuk mencuci kejahatan seseorang. Sang Buddha mengganti ini dengan “mandi internal” bagi batin; baca 7:21 di bawah dan MN I 39,1-2,280,18-20. ↩︎
Spk: Rima adalah perancah bagi syair (chando nidānaṃ gāthānaṃ): Sajak, dimulai dengan gāyatti, adalah perancah bagi syair; karena seseorang yang memulai suatu syair pertama-tama mempertimbangkan, “Dalam rima apakah seharusnya?” Suku kata merupakan frasanya (akkharā tāsaṃ viyañjanaṃ): Karena suku kata-suku kata membentuk kata-kata, dan kata-kata membentuk sebuah syair, dan sebuah syair mengungkapkan maknanya. Syair-syair bersandar atas nama-nama: Seseorang yang menggubah sebuah syair menggubahnya dengan bersandar pada suatu nama seperti “samudra” atau “bumi”. Penyair adalah tempat kediaman di mana syair-syair berdiam: Alam (āsaya) dari syair adalah penyokongnya (patiṭṭhā): syair-syair berasal dari si penyair, dengan demikian penyair adalah penyokongnya. ↩︎
Dalam pāda a, saya bersama dengan Be dan Ee1 & 2 membaca addhabhavi, bukannya anvabhavi seperti dalam Se. Addhabhavi adalah bentuk kata aoris dari adhibhavati, mengatasi, menguasai; baca CPD, s.v. addhabhavati. Spk: Tidak ada makhluk hidup atau entitas yang bebas dari nama, apakah nama alami atau buatan. Bahkan pohon atau batu yang tidak diketahui namanya tetap disebut “yang tanpa nama.” ↩︎
Kata kerja dalam pāda b adalah pasif. Spk pada v.246 mengemas bentuk aktif parikassati menjadi parikaḍḍhati, ditarik ke sana kemari. Spk: Mereka yang dikuasai oleh pikiran akan mengalami obsesi sepenuhnya. Spk-pṭ: Sutta itu mengatakan tentang mereka yang belum memahami realitas sepenuhnya. Tetapi mereka yang telah memahami sepenuhnya kelompok-kelompok unsur kehidupan dan meninggalkan kekotoran tidak akan dikuasai oleh pikiran, sebaliknya pikiranlah yang mereka kuasai. ↩︎
Spk mengemas vicāraṇa dalam pāda b menjadi pādāni, kaki, menjelaskan bahwa bentuk tunggal itu harus dipahami sebagai jamak. Dalam konteks doktrin, kata vicāra berarti penyelidikan, dan biasanya berpasangan dengan vitakka untuk menggambarkan proses pikiran, yaitu, dalam formula untuk jhāna pertama. Akan tetapi, di sini, intinya sepertinya adalah bahwa pikiran dapat berjalan jauh tanpa pergerakan fisik. ↩︎
Saya bersama dengan Be, Se, Ee1, dan Spk (Be) membaca kissa dhūpāyito, bukannya kissā dhūmāyito seperti dalam Ee2, SS, dan Spk (Se). Syair ini juga terdapat dalam Th 448 dengan dhūpāyito. Norman (pada EV I, n. atas 448) berpendapat bahwa kata ini berarti “beraroma” atau “buram (oleh asap),” tetapi Spk mengemas sebagai āditto; baca juga v.542, di mana padhāpito berarti “membakar”. ↩︎
Spk: Dunia ini terjerat oleh ketagihan (taṇhāya uḍḍito) karena mata, tertangkap oleh tali ketagihan, terjerat dalam kait bentuk-bentuk; demikian juga dengan telinga dan suara-suara, dan seterusnya. Dunia ini terkurung oleh kematian (maccunā pihito): Walaupun kamma yang dilakukan dalam kehidupan terakhir adalah hanya satu saat pikiran jauhnya, makhluk-makhluk tidak mengetahuinya karena mereka terkurung di dalamnya, seolah-olah oleh gunung, oleh kesakitan hebat yang muncul pada saat kematian. ↩︎
Baca n.57 di atas. Mengikuti usulan VĀT, saya menganggap upādāya dalam pāda c sebagai absolutif dengan makna literal “kemelekatan,” dilengkapi oleh kata kerja terbatas vihaññati dalam pāda d; loko dalam v.221c dengan demikian menjadi sekedar pengisi irama. Akan tetapi, Spk mengadopsi solusi alternatif, memberikan kata kerja terbatas yang ditekan dan menginterpretasikan upādāya dalam makna yang diperluas “bergantung pada” sebagai berikut: “tāni yeva ca upādāya āgamma paṭicca pavattati; “Muncul bergantung pada, menjadi bagian dari, berketergantungan pada itu.” Pj II 210, 27-28, mengomentari Sn 168, mengambil pendekatan yang sama, walaupun dengan kata kerja terbatas yang berbeda.
Akan tetapi, Hemavata Sutta sendiri, mengusulkan bahwa upādāya harus dipahami dalam makna literal “kemelekatan pada.” Karena setelah jawaban Sang Buddha pada Sn 169 dengan jawaban yang identik dengan yang terdapat dalam sutta ini, pada Sn 170 yakkha itu bertanya: Katamaṃ taṃ upādānaṃ yattha loko vihaññati?, “Apakah kemelekatan yang mana dunia ini terganggu?” – sebuah pertanyaan yang pasti merujuk kembali kepada upādāya yang sama.
Spk: “Enam” dalam pertanyaan itu harus dipahami melalui enam landasan internal, tetapi juga dapat diinterpretasikan melalui enam landasan internal dan eksternal. Karena dunia ini muncul dalam enam landasan internal, membentuk keintiman dengan enam landasan eksternal, dan dengan melekat pada (atau bergantung pada) enam landasan internal, terganggu dalam enam landasan internal.
Syair ini memberikan solusi pada persoalan yang diajukan di bawah pada 2:26, mengenai bagaimana dunia ini ada dan muncul dalam jasmani ini yang memiliki persepsi dan pikiran. Mengenai asal-mula dunia dalam enam landasan internal, baca 12:44 (= 35:107). Norman mendiskusikan syair-syair ini dari sudut ilmu bahasa pada GD, pp.181-82, n. atas 168. ↩︎
Se, Ee2 jhatvā tentu saja adalah tulisan yang benar, chetvā dalam Be dan Ee1 adalah suatu normalisasi. Kemasan dalam Spk, vadhitvā, mendukung jhatvā, dan G-Dhp 288-89 menuliskan jatva, padanan Gāndhāri Prakrit. Baca Brough, Gāndhāri Dharmapada, pp. 164, 265-66. Jhatvā juga ditemukan dalam tulisan SS pada v.94b. ↩︎
Spk: Kemarahan memiliki akar beracun (visamūla) karena berakibat dalam penderitaan. Memiliki pucuk bermadu (madhuragga) karena kenikmatan muncul ketika seseorang membalas kemarahan dengan kemarahan, kekejaman dengan kekejaman, atau pukulan dengan pukulan. ↩︎
Spk: Suatu penanda yang dengannya sesuatu terlihat (paññāyati etenā ti paññāṇam). Panji adalah penanda dari sebuah kereta, dilihat dari jauh, diidentifikasikan oleh bendera sebagai milik pihak tertentu. Seorang perempuan yang menikah, bahkan seorang putri dari seorang raja dunia, diidentifikasikan sebagai nyonya anu; karena itu suami adalah penanda dari seorang perempuan. Mengenai panji (dhaja) adalah penanda sebuah kereta, baca 11:2 dan n.611. ↩︎
SS mencatat sebuah variasi tulisan sādhutaraṃ dalam pāda c, tetapi kemasan Spk madhutaraṃ menunjukkan bahwa tulisan yang dimiliki oleh komentator di sini adalah sādutaraṃ. Akan tetapi, Spk mengenali variasi tulisan yang sama sehubungan dengan vv.846-47 yang identik. Baca n.597.
Spk: Seorang perumah tangga yang hidup dengan kebijaksanaan (paññājivi) adalah seorang yang menjadi kokoh dalam Lima Sīla dan mempersembahkan dana makanan rutin, dan sebagainya; seseorang yang meninggalkan keduniawian yang hidup dengan kebijaksanaan menggunakan benda-benda kebutuhannya dengan perenungan yang benar, bermeditasi, menegakkan pandangan terang, dan mencapai jalan dan buah mulia. ↩︎
Spk: Deva pertama telah mengajukan pertanyaan ini kepada Sang Buddha, tetapi deva ke dua menyela, dengan berkata, “Mengapa bertanya kepada Sang Buddha? Aku akan menjawabmu,” dan kemudian memberikan pendapatnya sendiri. Tetapi deva pertama mencelanya dan memaksa untuk bertanya kepada Sang Buddha lagi.
Spk: Benih dari tujuh jenis gabah adalah hal terbaik yang naik karena, ketika benih naik, makanan banyak dan negeri aman. Hujan dari awan hujan melampaui segalanya yang turun karena hujan memastikan hasil panen yang mencukupi. Sapi adalah yang terbaik dari segala sesuatu yang mengembara, yang berjalan kaki, karena sapi menghasilkan lima jenis produk susu (susu, dadih, mentega, ghee, dan krim-ghee) yang dengannya orang-orang memelihara kesehatan mereka. Seorang putra adalah pembicara yang terbaik karena ia tidak mengatakan apa pun yang membahayakan orang tuanya dalam pengadilan kerajaan, dan sebagainya.
Harus diperhatikan bahwa pavajamānānaṃ dalam pāda c adalah bentuk yang sedang berlangsung dari pavajati atau pabbajati, yang, dalam konteks religius, berarti tindakan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi bhikkhu (pabbajjā). Karena alasan inilah jawaban Sang Buddha dalam syair berikutnya. ↩︎
Spk: Pengetahuan (vijjā) adalah pengetahuan empat jalan; ketidak-tahuan (avijjā) adalah ketidak-tahuan besar pada akar lingkaran. Saṅgha adalah yang terbaik dari segalanya yang mengembara karena merupakan lahan yang subur untuk menanam jasa. Sang Buddha adalah pembabar yang terbaik karena ajaran DhammaNya membantu membebaskan ratusan ribu makhluk dari belenggu. ↩︎
Maggo c’ anekāyatanappavutto. Spk: Ia mengatakan, “Sang Jalan dijelaskan dalam berbagai metode (kāraṇehi), melalui tiga-puluh-delapan objek meditasi. Jika memang demikian, mengapa orang-orang ini ketakutan dan menggenggam enam-puluh-dua pandangan?” Tiga-puluh-dua objek meditasi (aṭṭhatiṃsārammaṇa) adalah identik dengan empat puluh kammaṭṭhāna klasik (yaitu, yang terdapat dalam Vism) kecuali bahwa daftar kasiṇa diambil dari Nikāya (yaitu, MN II 14,29 – 15,2), yang mana dua terakhir (kasiṇa ruang dan kasiṇa kesadaran) adalah sama dengan dua pencapaian tanpa-bentuk (arūpa) pertama dan karenanya tidak dihitung dua kali. Dalam sistem Vism kedua ini digantikan dengan kasiṇa ruang terbatas dan kasiṇa cahaya, yang menjadikan seluruhnya menjadi empat puluh. ↩︎
Baris terakhir harus dibaca seperti dalam Be, Se, dan Ee2 sebagai dhamme ṭhito paralokaṃ na bhāye, Ee1 mengabaikan dhamme ṭhito, jelas suatu kekeliruan. Spk menginterpretasikan “ucapan dan pikiran yang diarahkan dengan benar” dan “tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani” sebagai faktor persiapan untuk pemurnian, dan mengartikan empat kualitas yang disebutkan dalam pāda d sebagai “empat hal” di mana seseorang harus bersandar. Juga ada interpretasi lain: perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran yang benar adalah tiga hal pertama, dan empat kualitas dalam pāda d seluruhnya sebagai ke empat. Alternatif pertama terdengar lebih masuk akal. ↩︎
Istilah Pāli untuk enam retakan (chuddāni) adalah: ālassa, pamāda, anuṭṭhāna, asaṃyama, niddā, tandi. Spk-pṭ: Enam hal ini disebut retakan karena tidak memberikan kesempatan bagi kondisi pikiran yang bermanfaat untuk muncul. ↩︎
Spk: Seorang perempuan disebut benda terbaik karena seorang perempuan adalah benda yang tidak boleh diberikan (avissajjanīyabaṇḍattā); atau kalau bukan demikian, ia disebut demikian karena semua Bodhisatta dan raja pemutar-roda dikandung dalam rahim seorang ibu. Spk-pṭ: bahkan permata yang paling berharga tidak disebut “benda terbaik” karena masih jatuh dalam kelompok barang yang dapat diberikan; tetapi seorang perempuan yang tidak meninggalkan kebiasaan keluarganya tidak boleh dilepaskan kepada orang lain, dan karenanya disebut benda terbaik. Lebih jauh lagi, seorang perempuan disebut benda terbaik karena ia adalah sumber permata, yaitu, karena (tubuhnya) adalah tempat bagi lahirnya manusia berdarah murni (yaitu, para Buddha dan para Arahant). ↩︎
Abbuda (“wabah”) dikemas oleh Spk sebagai vināsakāraṇa, penyebab kehancuran, kata ini juga muncul dalam v.591 sebagai suatu jumlah yang sangat besar, dalam 6:10 sebagai nama neraka, dan pada v.803 sebagai tahapan dalam perkembangan janin. ↩︎
Spk: Seseorang seharusnya tidak menyerahkan dirinya dengan menjadi budak orang lain, namun ada pengecualian bagi semua Bodhisatta. Demikian pula, kecuali semua Bodhisatta, seseorang seharusnya tidak melepaskan dirinya kepada singa dan macan, dan sebagainya. ↩︎
Saya menginterpretasikan pāda c, baik pertanyaan maupun jawabannya, dengan bantuan Spk, yang hanya membaca jawabannya: Gāvo kamme sajivānan ti kammena saha jivantānaṃ gāvo va kamme kammasahāyā kammadutiyakā nāma honti; “Bagi mereka yang hidup bersama dengan pekerjaan, sapi disebut pendamping, rekan kerja, dalam pekerjaan; karena pekerjaan membajak sawah, dan sebagainya dilakukan bersama dengan sekelompok sapi.”
Dalam pāda d, sītassa (Ee2: sita ‘ssa) harus dipecah menjadi sītaṃ assa. Spk menganggap assa merujuk pada “kumpulan makhluk” (atau orang: sattakāyassa) dan menjelaskan iriyāpatha, “jalur pergerakan” (atau “gaya berperilaku”), sebagai cara berpenghidupan (jivitavutti); mengemas sīta (jalur) menjadi naṅgala (bajak). Intinya adalah bahwa aktivitas membajak adalah cara penting untuk mempertahankan kehidupan manusia. ↩︎
Spk: Mantap dan kokoh dalam moralitas. ↩︎