easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di negeri Magadha dan akhirnya sampai di Rājagaha. Di sana Beliau mendatangi pengrajin tembikar Bhaggava dan berkata kepadanya:

2. “Jika tidak menyusahkanmu, Bhaggava, Aku akan bermalam satu malam di rumah kerjamu.”

“Sama sekali tidak menyusahkan bagiku, Yang Mulia, tetapi ada petapa lain yang telah berdiam di sini. Jika ia setuju, maka silahkan tinggal selama yang Engkau kehendaki, Yang Mulia.” [238]

3. Pada saat itu seorang anggota keluarga bernama Pukkusāti yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan pada Sang Bhagavā dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan pada saat itu ia telah mendiami rumah kerja si pengrajin tembikar.1 Kemudian Sang Bhagavā mendatangi Yang Mulia Pukkusāti dan berkata kepadanya: “Jika tidak menyusahkanmu, Bhikkhu, Aku akan bermalam satu malam di rumah kerja ini.”

“Rumah kerja pengrajin tembikar ini cukup luas, Sahabat.2 Silahkan Yang Mulia tinggal selama yang Beliau kehendaki.”

4. Kemudian Sang Bhagavā memasuki rumah kerja si pengrajin tembikar, mempersiapkan hamparan rumput di satu sudut, dan duduk bersila, menegakkan tubuhNya, dan menegakkan perhatian di depanNya. Kemudian Sang Bhagavā melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi], dan Yang Mulia Pukkusāti juga melewatkan hampir semalam suntuk dengan duduk [bermeditasi]. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini berperilaku sedemikian sehingga membangkitkan keyakinan. Bagaimana jika Aku menanyainya.” Maka Beliau bertanya kepada Yang Mulia Pukkusāti:

5. “Di bawah siapakah engkau meninggalkan keduniawian, Bhikkhu? Siapakah gurumu? Dhamma siapakah yang engkau anut?”3

“Sahabat, ada Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Sekarang berita baik sehubungan dengan Gotama yang Terberkahi itu telah menyebar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā sempurna, telah tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’ Aku meninggalkan keduniawian di bawah Sang Bhagavā itu; Sang Bhagavā adalah guruku; aku menganut Dhamma dari Sang Bhagavā itu.”

“Tetapi, Bhikkhu, di manakah Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap sekarang?”

“Ada, Sahabat, sebuah kota di negeri utara bernama Sāvatthī. Sang Bhagavā, yang sempurna dan tercerahkan sempurna itu menetap di sana sekarang.”

“Tetapi, Bhikkhu, pernahkah engkau bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya? Apakah engkau mengenaliNya jika engkau bertemu denganNya?” [239]

“Tidak, Sahabat, aku belum pernah bertemu Sang Bhagavā itu sebelumnya, juga tidak akan mengenaliNya jika aku bertemu denganNya.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Orang ini telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah di bawahKu. Bagaimana jika aku mengajarkan Dhamma kepadanya.” Maka Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Pukkusāti sebagai berikut: “Bhikkhu, Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Sahabat,” Yang Mulia Pukkusāti menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis eksplorasi pikiran, dan ia memiliki empat landasan.4 Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai. Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian. Ini adalah ringkasan penjelasan enam unsur.

8. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’5 Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam unsur.’

9. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kontak-mata, landasan kontak-telinga, landasan kontak-hidung, landasan kontak-lidah, landasan kontak-badan, landasan kontak-pikiran. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari enam landasan kontak.’

10. “‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’6 Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ketika melihat bentuk dengan mata, seseorang mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi bentuk yang menghasilkan keseimbangan. Ketika mendengar suara dengan telinga … [240] Ketika mencium bau-bauan dengan hidung … Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali objek pikiran dengan pikiran, seseorang mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kegembiraan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan kesedihan, ia mengeksplorasi objek pikiran yang menghasilkan keseimbangan. Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Bhikkhu, manusia ini terdiri dari delapan belas jenis eksplorasi pikiran.’

11. “‘Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’ Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Ada landasan kebijaksanaan, landasan kebenaran, landasan pelepasan, dan landasan kedamaian.7 Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Bhikkhu, manusia ini memiliki empat landasan.’

12. “‘Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’8 Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

13. “Bagaimanakah, Bhikkhu, seseorang tidak melalaikan kebijaksanaan?9 Ada enam unsur ini: unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.

14. “Apakah, Bhikkhu, unsur tanah? Unsur tanah dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur tanah internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati; yaitu rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, tinja, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, padat, keras, dan dilekati: ini disebut unsur tanah internal. Sekarang baik unsur tanah internal maupun unsur tanah eksternal adalah unsur tanah. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur tanah dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur tanah.

15. “Apakah, Bhikkhu, unsur air? Unsur air dapat berupa [241] internal maupun eksternal. Apakah unsur air internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati; yaitu cairan empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, air, basah, dan dilekati: ini disebut unsur air internal. Sekarang baik unsur air internal maupun unsur air eksternal adalah unsur air. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur air dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur air.

16. “Apakah, Bhikkhu, unsur api? Unsur api dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur api internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati; yaitu yang dengannya seseorang menjadi hangat, menua, dan terhabiskan, dan yang dengannya apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap sepenuhnya dicerna, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, api, panas, dan dilekati: ini disebut unsur api internal. Sekarang baik unsur api internal maupun unsur api eksternal adalah unsur api. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur api dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur api.

17. “Apakah, Bhikkhu, unsur udara? Unsur udara dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur udara internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati; yaitu udara yang naik ke atas, udara yang turun ke bawah, udara dalam perut, udara dalam usus, udara yang mengalir melalui bagian-bagian tubuh, nafas masuk, nafas keluar, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, udara, berangin, dan dilekati: ini disebut unsur udara internal. Sekarang baik unsur udara internal maupun unsur udara eksternal adalah unsur udara. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur udara dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur udara.

18. “Apakah, Bhikkhu, unsur ruang? Unsur ruang dapat berupa internal maupun eksternal. Apakah unsur ruang [242] internal? Apapun yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati, yaitu, lubang telinga, lubang hidung, pintu mulut, dan [celah] di mana apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap tertelan, dan di mana benda-benda itu terkumpul, dan di mana benda-benda itu keluar dari bawah, atau apapun lainnya yang internal, bagian dari diri sendiri, ruang, berongga, dan dilekati: ini disebut unsur ruang internal. Sekarang baik unsur ruang internal maupun unsur ruang eksternal adalah unsur ruang. Dan itu harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Ketika seseorang melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menjadi kecewa dengan unsur ruang dan menjadikan pikirannya bosan terhadap unsur ruang.

19. “Maka di sana hanya tersisa kesadaran, yang murni dan cerah.10 Apakah yang dikenali seseorang pada kesadaran itu? Ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyenangkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] menyakitkan’; ia mengenali: ‘[Ini adalah] bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan maka muncul perasaan menyenangkan.11 Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyenangkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan maka muncul perasaan menyakitkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai menyakitkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan menyakitkan yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyakitkan – juga lenyap dan sirna.’ Dengan bergantung pada suatu kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Ketika seseorang merasakan suatu perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu – perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – yang muncul dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – juga lenyap dan sirna.’ Bhikkhu, seperti halnya dari kontak dan gesekan kedua batang kayu-api maka panas dan api dihasilkan, dan dengan terpisahnya dan terlepasnya kedua kayu-api ini maka panas yang dihasilkan itu juga lenyap dan sirna; demikian pula, [243] dengan bergantung pada kontak yang dirasakan sebagai menyenangkan … yang dirasakan sebagai menyakitkan … yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan maka muncul perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan … Ia memahami: ‘Dengan lenyapnya kontak yang sama ini yang dirasakan sebagai bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, maka perasaan yang bersesuaian itu … juga lenyap dan sirna.’

20. “Kemudian di sana hanya tersisa keseimbangan, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.12 Misalkan, Bhikkhu, seorang pengrajin emas yang terampil atau muridnya mempersiapkan sebuah tungku, memanaskan wadah, mengambil sejumlah emas dengan penjepit, dan memasukkannya ke dalam wadah. Dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu ia memercikkan air ke atasnya, dan dari waktu ke waktu ia hanya melihatnya. Emas itu akan menjadi murni, lebih murni, dan sangat murni, tanpa cacat, bebas dari kotoran-kotoran logam, lunak, lentur, dan bersinar. Kemudian jenis perhiasan apapun yang ingin ia buat dari emas itu, apakah rantai emas atau anting-anting, atau kalung, atau kalung-bunga emas, maka keinginannya akan terpenuhi. Demikian pula, Bhikkhu, kemudian di sana hanya tersisa keseimbangan, yang murni dan cerah, lunak, lentur, dan bersinar.

21. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, dengan melekat pada landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.13 Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … [244] … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi, maka keseimbanganku ini, dengan didukung oleh landasan itu, dengan melekat pada landasan itu, akan menetap di sana untuk waktu yang lama.’

22. “Ia memahami sebagai berikut: ‘Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan ruang tanpa batas dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.14 Jika aku mengarahkan keseimbangan ini, yang murni dan cerah, pada landasan kesadaran tanpa batas … pada landasan kekosongan … pada landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi dan mengembangkan pikiranku sesuai itu, maka ini adalah terkondisi.’ Ia tidak membentuk kondisi apapun atau menghasilkan kehendak apapun yang condong mengarah baik pada penjelmaan ataupun pada tanpa-penjelmaan.15 Karena ia tidak membentuk kondisi apapun atau menghasilkan kehendak apapun yang condong mengarah baik pada penjelmaan ataupun pada tanpa-penjelmaan, maka ia tidak melekat pada apapun di dunia ini. Ketika ia tidak melekat, ia tidak bergejolak. Ketika ia tidak bergejolak, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami sebagai berikut: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’16

23. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan,17 ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’ Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’ Jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Ini tidak kekal; tidak ada yang bisa digenggam padanya; tidak ada kesenangan di dalamnya.’

24. “Jika ia merasakan suatu perasaan yang menyenangkan, ia merasakannya tanpa terikat; jika ia merasakan suatu perasaan yang menyakitkan, ia merasakannya tanpa terikat; jika ia merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia merasakannya tanpa terikat. Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani.’ [245] Ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’18 Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’19 Bhikkhu, seperti halnya lampu minyak yang membakar dengan bergantung pada minyak dan sumbu, dan ketika minyak dan sumbunya habis, jika lampu itu tidak mendapatkan bahan bakar lagi, maka lampu itu akan padam karena kekurangan bahan bakar; demikian pula, ketika ia merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya jasmani … perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang berujung pada berhentinya kehidupan.’ Ia memahami: ‘Ketika hancurnya jasmani, dengan berakhirnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’

25. “Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kebijaksanaan ini] memiliki landasan kebijaksanaan tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebijaksanaan mulia tertinggi, yaitu, pengetahuan hancurnya segala penderitaan.20

26. “Kebebasannya, karena didirikan di atas kebenaran, adalah tidak tergoyahkan. Karena itu adalah salah, Bhikkhu, yang memiliki sifat menipu, dan itu adalah benar, yang memiliki sifat tidak menipu – Nibbāna. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kebenaran ini] memiliki landasan kebenaran yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kebenaran mulia tertinggi, yaitu, Nibbāna, yang memiliki sifat tidak menipu.

27. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia menjalani dan menerima perolehan;21 sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [pelepasan ini] memiliki landasan pelepasan yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah pelepasan mulia yang tertinggi, yaitu, pelepasan segala perolehan.

28. “Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketamakan, keinginan, dan nafsu; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami kemarahan, permusuhan, dan kebencian; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Sebelumnya, ketika ia bodoh, ia mengalami ketidak-tahuan dan delusi; sekarang ia telah meninggalkannya, memotongnya [246] di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul kembali di masa depan. Oleh karena itu seorang bhikkhu yang memiliki [kedamaian ini] memiliki landasan kedamaian yang tertinggi. Karena ini, Bhikkhu, adalah kedamaian mulia yang tertinggi, yaitu, damainya nafsu, kebencian, dan delusi.

29. “Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan, seharusnya melestarikan kebenaran, seharusnya melatih pelepasan, dan seharusnya berlatih demi kedamaian.’

30. “‘Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’22 Demikianlah dikatakan. Dan sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

31. “Bhikkhu, ‘aku’ adalah anggapan; ‘aku adalah ini’ adalah anggapan; ‘aku akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku tidak akan menjadi’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki bentuk’ adalah anggapan; ‘aku akan memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan; ‘aku akan bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi’ adalah anggapan. Anggapan adalah penyakit, anggapan adalah tumor, anggapan adalah anak panah. Dengan mengatasi segala anggapan, Bhikkhu, maka seseorang disebut seorang bijaksana damai. Dan sang bijaksana damai itu tidak dilahirkan, tidak menua, tidak mati; ia tidak tergoyahkan dan tidak merindukan. Karena tidak ada apapun padanya yang dengannya ia dapat terlahir.23 Karena tidak terlahir, bagaimana mungkin ia dapat menjadi tua? Karena tidak menjadi tua, bagaimana mungkin ia mati? Karena tidak mati, bagaimana mungkin ia dapat tergoyahkan? Karena tidak tergoyahkan, mengapa ia harus merindukan?

32. “Maka adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Arus pasang penganggapan tidak menyapu seseorang yang berdiri di atas [landasan-landasan] ini, dan ketika arus pasang penganggapan tidak lagi menyapunya maka ia disebut seorang bijaksana damai.’ Bhikkhu, ingatlah penjelasan singkat tentang enam unsur ini.”

33. Pada saat itu Yang Mulia Pukkusāti berpikir: “Sungguh, Sang Guru telah mendatangiku! Yang Sempurna telah mendatangiku! Yang Tercerahkan Sempurna telah mendatangiku!” Kemudian ia bangkit dari duduknya dan merapikan jubahnya di salah satu bahunya, dan bersujud dengan kepalanya di kaki Sang Bhagavā, ia berkata: “Yang Mulia, suatu pelanggaran menguasaiku, karena bagaikan seorang dungu, bingung [247] dan bodoh, aku menyapa Sang Bhagavā sebagai ‘Sahabat.’ Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā memaafkan pelanggaranku yang terlihat demikian demi pengendalian di masa depan.”

“Tentu saja, Bhikkhu, suatu pelanggaran menguasaimu, karena bagaikan seorang dungu, bingung dan bodoh, engkau menyapaKu sebagai ‘Sahabat.’ Tetapi karena engkau melihat pelanggaranmu demikian dan melakukan perbaikan sesuai Dhamma, maka kami memaafkan engkau. Karena adalah kemajuan dalam Disiplin Para Mulia ketika seseorang melihat pelanggarannya demikian, melakukan perbaikan sesuai Dhamma, dan menjalani pengendalian di masa depan.”

34. “Yang Mulia, aku ingin menerima penahbisan penuh di bawah Sang Bhagavā.”

“Tetapi apakah mangkuk dan jubahmu sudah lengkap, Bhikkhu?”

“Yang Mulia, mangkuk dan jubahku masih belum lengkap.”

“Bhikkhu, Para Tathāgata tidak memberikan penahbisan penuh kepada siapapun yang mangkuk dan jubahnya belum lengkap.”

35. Kemudian Yang Mulia Pukkusāti, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya, dan setelah bersujud kepada Sang Bhagavā, dengan Beliau tetap berada di sisi kanannya, ia pergi untuk mencari mangkuk dan jubah. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Pukkusāti sedang mencari mangkuk dan jubahnya, seekor sapi yang berkeliaran membunuhnya.

36. Kemudian sejumlah bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau: “Yang Mulia, anggota keluarga Pukkusāti, yang telah menerima instruksi singkat dari Sang Bhagavā, telah meninggal dunia. Di manakah alam tujuan kelahirannya? Bagaimanakah perjalanannya di masa depan?”

“Para bhikkhu, anggota keluarga Pukkusāti adalah seorang bijaksana. Ia berlatih sesuai Dhamma dan tidak menyusahkanKu dalam menginterpretasikan Dhamma. Dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, anggota keluarga Pukkusāti telah muncul kembali secara spontan [di Alam Murni] dan akan mencapai Nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.”24

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Menurut MA, Pukkusāti adalah raja Takkasilā dan bersahabat dengan Raja Bimbisāra dari Magadha melalui para pedagang yang melakukan perjalanan di antara kedua negeri untuk berdagang. Dalam suatu pertukaran hadiah Bimbisāra mengirimkan sebuah panel emas kepada Pukkusāti di mana ia menuliskan penjelasan Tiga Permata dan berbagai aspek Dhamma. Ketika Pukkusāti membaca tulisan itu, ia menjadi gembira dan memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Tanpa melalui penahbisan resmi, ia mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan istana. Ia pergi ke Rājagaha dengan maksud untuk menemui Sang Buddha, yang saat itu berada di Sāvatthī, kira-kira 300 mil jauhnya. Sang Buddha melihat Pukkusāti melalui mata batinNya, dan mengetahui kemampuannya untuk mencapai jalan dan buah, Beliau melakukan perjalanan sendirian dengan berjalan kaki menuju Rājagaha untuk menemuinya. Agar tidak dikenali, melalui kekuatan kehendakNya Sang Buddha menyembunyikan ciri-ciri fisikNya seperti tanda-tanda Manusia Luar Biasa, dan Ia tampil seperti umumnya seorang bhikkhu pengembara. Beliau tiba di gubuk pengrajin tembikar tidak lama setelah Pukkusāti, yang telah tiba terlebih dulu, bermaksud untuk pergi ke Sāvatthī pada keesokan harinya untuk menemui Sang Buddha. ↩︎

  2. Pukkusāti yang tidak menyadari bahwa pendatang baru itu adalah Sang Buddha, menyapa Beliau dengan panggilan akrab “āvuso.” ↩︎

  3. MA: Sang Buddha mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sekedar untuk memulai suatu percakapan, karena Beliau telah mengetahui bahwa Pukkusāti telah meninggalkan keduniawian karena Beliau. ↩︎

  4. MA: Karena Pukkusāti telah memurnikan praktik awal sang jalan dan mampu mencapai jhāna ke empat melalui perhatian pada pernafasan, Sang Buddha langsung memulai dengan suatu khotbah tentang meditasi pandangan terang, membabarkan kekosongan tertinggi yaitu landasan bagi Kearahattaan. ↩︎

  5. MA: Di sini Sang Buddha membabarkan keberadaan yang bukan sesungguhnya melalui keberadaan yang sesungguhnya; karena unsur-unsur adalah keberadaan yang sesungguhnya tetapi manusia adalah keberadaan yang bukan sesungguhnya. Maksudnya adalah : “Bahwa apa yang engkau lihat sebagai seorang manusia adalah terdiri dari enam unsur. Sesungguhnya tidak ada manusia di sini. ‘Manusia’ hanyalah sekadar konsep.” ↩︎

  6. Seperti pada MN 137.8. ↩︎

  7. Paññadhiṭṭhāna, saccādhiṭṭhāna, cāgadhiṭṭhāna, upasamādhiṭṭhāna. Ñm, dalam Ms, awalnya menerjemahkan adhiṭṭhāna sebagai “tekad,” dan kemudian menggantinya menjadi “modus pengungkapan,” yang keduanya tampaknya tidak sesuai untuk konteks ini. MA mengemas kata ini dengan patiṭṭhā, yang jelas berarti landasan, dan menjelaskan makna dari pernyataan itu sebagai berikut: “Manusia ini yang terdiri dari enam unsur, enam landasan kontak, dan delapan belas jenis pendekatan pikiran – ketika ia berpaling dari ini dan mencapai Kearahattaan, pencapaian tertinggi, ia melakukannya dengan berlandaskan pada keempat landasan ini.” Keempat landasan ini akan dijelaskan secara terpisah pada bagian selanjutnya, §§12-29. ↩︎

  8. MA: Sejak awal seseorang seharusnya tidak melalaikan kebijaksanaan yang muncul dari konsentrasi dan pandangan terang untuk menembus kebijaksanaan buah Kearahattaan. Ia harus mempertahankan ucapan jujur untuk mencapai Nibbāna, kebenaran tertinggi. Ia harus melatih pelepasan kekotoran untuk melepaskan segala kekotoran melalui jalan Kearahattaan. Sejak awal ia harus berlatih dalam penenangan kekotoran untuk menenangkan segala kekotoran melalui jalan Kearahattaan. Demikianlah kebijaksanaan, dan seterusnya yang muncul dari ketenangan dan pandangan terang dijelaskan sebagai landasan awal untuk mencapai landasan kebijaksanaan, dan seterusnya (ciri khas Kearahattaan). ↩︎

  9. MA: Tidak-melalaikan kebijaksanaan dijelaskan melalui meditasi pada unsur-unsur. Analisis unsur-unsur di sini identik dengan yang terdapat pada MN 28.6, 11, 16, 21, dan MN 62.8-12. ↩︎

  10. MA: Ini adalah unsur ke enam, yang “tersisa” dalam itu masih harus dijelaskan oleh Sang Buddha dan harus ditembus oleh Pukkusāti. Di sini dijelaskan sebagai kesadaran yang menyempurnakan pekerjaan perenungan pandangan terang pada unsur-unsur. Di dalam topik kesadaran, perenungan perasaan juga diperkenalkan. ↩︎

  11. Paragraf ini menunjukkan kondisionalitas perasaan dan ketidak-kekalannya melalui lanyapnya kondisinya. ↩︎

  12. MA mengidentifikasi ini sebagai keseimbangan jhāna ke empat. Menurut MA, Pukkusāti telah mencapai jhāna ke empat dan memiliki kemelekatan kuat pada jhāna itu. Sang Buddha pertama-tama memuji keseimbangan ini untuk menginspirasi keyakinan Pukkusāti, kemudian setahap demi setahap Beliau menuntunnya menuju jhāna-jhāna tanpa materi dan pencapaian jalan dan buah. ↩︎

  13. Maknanya adalah: Jika ia mencapai landasan ruang tanpa batas dan meninggal dunia selagi masih melekatinya, maka ia akan terlahir kembali di alam ruang tanpa batas dan akan hidup di sana selama umur kehidupan maksisum 20,000 kappa yang ditentukan di alam itu. Di tiga alam tanpa materi yang lebih tinggi, umur kehidupannya berturut-turut adalah 40,000 kappa, 60,000 kappa, dan 84,000 kappa. ↩︎

  14. MA: ini disebutkan untuk menunjukkan bahaya dalam jhāṅa-jhāna tanpa materi. Dengan satu frasa, “ini adalah terkondisi,” Beliau menunjukkan: “Bahkan walaupun umur kehidupan di sana adalah 20,000 kappa, namun itu adalah terkondisi, dirancang, dibangun. Dengan demikian maka tidak kekal, tidak stabil, tidak bertahan lama, sementara. Tunduk pada kemusnahan, kehancuran, dan kelenyapan; ini melibatkan kelahiran, penuaan, dan kematian, yang berlandaskan penderitaan. Ini bukanlah suatu naungan, suatu tempat aman, suatu perlindungan. Setelah meninggal dunia dari sana sebagai seorang duniawi, ia masih dapat terlahir kembali di empat alam sengsara.” ↩︎

  15. So n’eva abhisankharoti nābhisañcetayati bhavāya vā vibhavāya. Kedua kata kerja ini menyiratkan gagasan kehendak sebagai kekuatan pembangun yang membangun kelangsungan kehidupan terkondisi. Lenyapnya kehendak akan penjelmaan atau tanpa-penjelmaan menunjukkan padamnya ketagihan pada kehidupan abadi dan pemusnahan, yang memuncak pada pencapaian Kearahattaan. ↩︎

  16. MA mengatakan bahwa pada titik ini Pukkusāti menembus tiga jalan dan buah, menjadi yang-tidak-kembali. Ia menyadari bahwa gurunya adalah Sang Buddha sendiri, tetapi ia tidak dapat mengungkapkan hal ini karena Sang Buddha masih melanjutkan khotbahNya. ↩︎

  17. Paragraf ini menunjukkan kediaman Arahant dalam unsur Nibbāna dengan sisa (dari faktor-faktor kehidupan yang terkondisi, sa-upādisesa nibbānadhātu*).* Walaupun ia tetap mengalami perasaan-perasaan, namun ia bebas dari nafsu terhadap perasaan menyenangkan, dari penolakan terhadap perasaan menyakitkan, dan dari ketidak-tahuan terhadap perasaan netral. ↩︎

  18. Yaitu, ia terus mengalami perasaan hanya selama jasmaninya dengan indria kehidupannya berlangsung, tetapi tidak melampaui itu. ↩︎

  19. Ini merujuk pada pencapaian unsur-Nibbāna tanpa sisa (anupādisesa nibbānadhātu) – lenyapnya segala kehidupan terkondisi melalui kematiannya. ↩︎

  20. Ini menutup penjelasan atas landasan pertama, yang dimulai pada §13. MA mengatakan bahwa pengetahuan hancurnya segala penderitaan adalah kebijaksanaan yang berhubungan dengan buah Kearahattaan. ↩︎

  21. MA menyebutkan empat jenis perolehan (upadhi) di sini: baca n.674. ↩︎

  22. “Arus pasang penganggapan” (maññussavā), seperti yang ditunjukkan dalam paragraf berikut ini, adalah pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang berasal-mula dari ketiga akar penganggapan – ketagihan, keangkuhan, dan pandangan. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, baca n.6. Sang “bijaksana damai” (muni santo) adalah Arahant. ↩︎

  23. Apa yang tidak ada padanya adalah ketagihan pada penjelmaan, yang menuntun mereka yang belum melenyapkannya kembali kepada kelahiran baru setelah kematian. ↩︎

  24. MA mengatakan bahwa ia terlahir kembali di Alam Murni yang disebut Avihā dan mencapai Kearahattaan segera setelah ia terlahir kembali di sana. MA mengutip sebuah syair dari Saṁyutta Nikāya (SN 1:50/i.35) menyebutkan Pukkusāti sebagai satu dari ketujuh bhikkhu yang terlahir kembali di Avihā dan mencapai kebebasan dengan melampaui belenggu-belenggu surgawi. ↩︎