easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang karakter seorang manusia sejati dan karakter seorang bukan manusia sejati.1 Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

3. “Para bhikkhu, bagaimanakah karakter seorang bukan manusia sejati? Di sini seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga bangsawan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau delusi dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga bangsawan, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, [38] dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena kebangsawanannya. Ini adalah karakter seorang manusia sejati.

4-6. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga besar … dari keluarga kaya … dari keluarga berpengaruh mempertimbangkan: ‘Aku telah meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh; tetapi para bhikkhu lain ini tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena berasal dari keluarga yang berpengaruh maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau delusi dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak meninggalkan keduniawian dari keluarga berpengaruh, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena keluarganya yang berpengaruh. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

7. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terkenal dan termasyhur mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku terkenal dan termasyhur; tetapi para bhikkhu ini tidak terkenal dan tidak termasyhur.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena kemasyhuran maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau delusi dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak terkenal dan tidak termasyhur, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena kemasyhurannya. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati. [39]

8. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dengan mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh benda-benda ini.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena perolehannya. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena perolehan maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau delusi dihancurkan. Bahkan jika seseorang tidak memperoleh apa pun, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena perolehan. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

9-20. “Terlebih lagi, seorang bukan manusia sejati yang terpelajar … yang ahli dalam Disiplin … [40] … yang adalah seorang pembabar Dhamma … yang adalah seorang yang menetap di hutan … yang adalah seorang pemakai jubah dari kain buangan … [41] … yang adalah pemakan makanan yang didanakan … yang adalah seorang yang menetap di bawah pohon … [42] … yang adalah seorang yang menetap di tanah pekuburan … yang adalah seorang yang menetap di ruang terbuka … yang adalah seorang yang terus-menerus duduk … yang adalah seorang pengguna alas tidur apa saja … yang adalah seorang yang makan satu kali sehari mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku adalah seorang yang makan satu kali sehari; tetapi para bhikkhu ini bukanlah orang-orang yang makan satu kali sehari.’2 Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena ia adalah seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Bukanlah karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari maka kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, atau delusi dihancurkan. Bahkan jika seseorang bukanlah seorang yang makan satu kali sehari, namun jika ia memasuki sang jalan yang sesuai Dhamma, memasuki jalan yang benar, dan berperilaku sesuai Dhamma, maka ia akan dihormati karena hal itu, ia akan dipuji karena hal itu.’ Maka, dengan menempatkan praktik sang jalan sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena menjadi seorang yang makan satu kali sehari. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

21. “Terlebih lagi, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian jhāna pertama; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian jhāna pertama.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi bahkan dengan pencapaian jhāna pertama yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’3 [43] Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena pencapaian jhāna pertama. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

22-24. “Terlebih lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …

25. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas …

26. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … [44]

27. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan …

28. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bukan manusia sejati masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku telah memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi; tetapi para bhikkhu ini tidak memperoleh pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Demikianlah ia memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang bukan manusia sejati.

“Tetapi seorang manusia sejati mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Dengan ketiadaan-identifikasi bahkan dengan pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā; karena dengan cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu.’ Maka, dengan menempatkan ketiadaan-identifikasi sebagai yang utama, ia tidak memuji diri sendiri juga tidak merendahkan orang lain karena pencapaian landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini juga adalah karakter seorang manusia sejati.

29. “Terlebih lagi, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang manusia sejati masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.4 Dan noda-nodanya dihancurkan melalui penglihatan dengan kebijaksanaan. Bhikkhu ini tidak menganggap apapun, ia tidak menganggap sehubungan dengan apapun, ia tidak menganggap dalam cara bagaimanapun.”5

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Sappurisadhamma; asappurisadhamma↩︎

  2. Ini adalah sembilan dari tiga belas praktik pertapaan yang dibahas dalam Vsm II. Yang “duduk terus-menerus” (nesajjika) melaksanakan praktik tidak pernah berbaring melainkan tidur dalam postur duduk. ↩︎

  3. MA menjelaskan “ketiadaan-identifikasi” (atammayatā, lit. “bukan terdiri dari itu”) sebagai ketiadaan ketagihan. Akan tetapi, konteksnya menyiratkan bahwa maknanya adalah ketiadaan keangkuhan. Pernyataan “karena dalam cara bagaimanapun mereka beranggapan, faktanya adalah bukan itu” (yena yena hi maññanti tato taṁ hoti aññathā) adalah suatu teka-teki filosofis yang juga muncul pada Sn 588, Sn 757, dan Ud 3:10. Walaupun MA tidak menjelaskan apapun, Komentar Udāna (atas Ud 3:10) menjelaskan ini sebagai bermakna bahwa dalam cara bagaimanapun juga kaum duniawi menganggap kelima kelompok unsur kehidupan – sebagai diri atau sebagai milik diri, dan seterusnya – hal yang dianggap tersebut terbukti adalah bukan aspek dari hal tersebut; bukan diri atau milik diri, bukan “aku” atau “milikku.” ↩︎

  4. Harus dipahami bahwa tidak ada paragraf tentang seorang bukan manusia sejati memasuki lenyapnya persepsi dan perasaan. Tidak seperti jhāna-jhāna dan pencapaian tanpa materi, yang dapat dicapai oleh kaum duniawi, pencapaian lenyapnya adalah bidang eksklusif yang hanya dicapai oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant. ↩︎

  5. Na kiñci maññati, na kuhiñci maññati, na kenaci maññati. Ini adalah pernyataan singkat atas situasi yang sama dengan yang dijelaskan secara lengkap pada MN 1.51-146. Mengenai “penganggapan” baca n.6. ↩︎