easter-japanese

[326] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar.1 Pada saat itu suatu pandangan sesat telah muncul pada Brahmā Baka sebagai berikut: ‘Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’2

3. “Dengan pikiranKu Aku mengetahui pikiran Brahmā Baka, maka secepat seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Aku lenyap dari bawah pohon sāla besar di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā dan muncul di alam-Brahmā. Dari jauh Brahmā Baka melihat kedatanganKu dan berkata: ‘Silahkan, Tuan! Selamat datang, Tuan! Telah lama, Tuan, sejak Engkau berkesempatan datang ke sini. Sekarang, Tuan, Ini kekal, ini bertahan selamanya, ini abadi, ini adalah keseluruhan, ini tidak tunduk pada kematian; karena ini adalah di mana seseorang tidak terlahir atau menua atau mati atau meninggal dunia juga tidak muncul kembali, dan di luar ini tidak ada jalan membebaskan diri.’

4. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Brahmā Baka: ‘Brahmā Baka Yang Agung telah tergelincir ke dalam ketidak-tahuan; ia telah tergelincir ke dalam ketidak-tahuan sehingga ia mengatakan yang tidak kekal sebagai kekal, yang sementara sebagai bertahan selamanya, yang tidak abadi sebagai abadi, yang tidak lengkap sebagai keseluruhan, yang tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang terlahir, menua, mati, meninggal dunia, dan muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika ada jalan membebaskan diri melampaui ini, ia mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri melampaui ini.’

5. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu anggota kelompok Brahmā,3 dan ia berkata kepadaKu: ‘Bhikkhu, bhikkhu, jangan mencelanya, jangan mencelanya; karena Brahmā ini adalah Brahmā Agung, [327] Maharaja, yang tidak terlampaui, memiliki penglihatan yang tidak mungkin keliru, maha kuasa, maha pembuat dan pencipta, Tuhan yang tertinggi, Penguasa dan Ayah dari mereka yang ada dan yang akan ada. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mencela tanah dan jijik pada tanah,4 yang mencela air dan jijik pada air, yang mencela api dan jijik pada api, yang mencela udara dan jijik pada udara, yang mencela makhluk-makhluk dan jijik pada makhluk-makhluk, yang mencela dewa-dewa dan jijik pada dewa-dewa, yang mencela Pajāpati dan jijik pada Pajāpati, yang mencela Brahmā dan jijik pada Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina.5 Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang memuji tanah dan senang pada tanah,6 yang memuji air dan senang pada air, yang memuji api dan senang pada api, yang memuji udara dan senang pada udara, yang memuji makhluk-makhluk dan senang pada makhluk-makhluk, yang memuji dewa-dewa dan senang pada dewa-dewa, yang memuji Pajāpati dan senang pada Pajāpati, yang memuji Brahmā dan senang pada Brahmā; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia.7 Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Jika Engkau melampaui kata-kata Brahmā, Bhikkhu, maka, bagaikan seseorang dengan menggunakan tongkat mengusir dewi keberuntungan ketika ia mendekat, atau bagaikan seseorang yang kehilangan pegangan tangan atau pijakan kakinya di tanah ketika ia terjatuh ke dalam jurang yang dalam, itulah yang akan menimpamu, Bhikkhu. Pastikan, Tuan, hanya melakukan apa yang Brahmā katakan; jangan melampaui kata-kata Brahmā. Tidakkah Engkau melihat kumpulan Brahmā yang duduk di sini, Bhikkhu?’ Dan Māra mengalihkan perhatianKu pada kelompok Brahmā.8

6. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat, dan Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā semuanya telah jatuh ke dalam genggamanmu, mereka telah jatuh ke dalam kekuatanMu. Engkau, si Jahat, berpikir: “Yang ini juga telah jatuh ke dalam genggamanku, yang ini juga telah jatuh ke dalam kekuatanKu”; tetapi Aku tidak jatuh ke dalam genggamanmu, Sang Jahat, Aku tidak jatuh ke dalam kekuatanmu.’

7. “Ketika hal ini dikatakan, Brahmā Baka berkata kepadaKu: ‘Tuan, aku mengatakan yang kekal sebagai kekal, [328] yang bertahan selamanya sebagai bertahan selamanya, yang abadi sebagai abadi, yang seluruhnya sebagai seluruhnya, yang tidak tunduk pada kematian sebagai tidak tunduk pada kematian, yang tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali sebagai tidak terlahir juga tidak menua juga tidak mati juga tidak meninggal dunia juga tidak muncul kembali; dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini, aku mengatakan tidak ada jalan membebaskan diri dari hal-hal ini. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana di dunia ini yang menjalani pertapaan seumur hidupMu. Mereka mengetahui, jika ada jalan membebaskan diri, maka ada jalan membebaskan diri, dan ketika tidak ada jalan membebaskan diri, maka tidak ada jalan membebaskan diri. Maka, Bhikkhu, aku memberitahukan kepadamu: Engkau tidak akan menemukan jalan membebaskan diri, dan akhirnya Engkau hanya akan menemui kelelahan dan kekecewaan. Jika engkau menggenggam tanah, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.9 Jika engkau menggenggam air … api … udara … makhluk-makhluk … para dewa … Pajāpati … Brahmā, maka engkau akan dekat denganku, dalam wilayahku, melakukan kehendakku dan menghukum untukku.’

8. “‘Aku juga mengetahui hal itu, Brahmā. Jika Aku menggenggam tanah, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Jika aku menggenggam air … api … udara … makhluk-makhluk … para dewa … Pajāpati … Brahmā, maka aku akan dekat denganmu, dalam wilayahmu, melakukan kehendakmu dan menghukum untukmu. Lebih jauh lagi, Aku memahami jangkauan dan luas kekuasaanmu demikian: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, pengaruh sebesar ini.’

“‘Sekarang, Tuan, Berapa jauhkah engkau memahami jangkauan dan kekuasaanku ?’

9. “‘Sejauh bulan dan matahari berputar Bersinar dan bercahaya di langit Lebih dari seribu dunia Kekuasaanmu menjangkau.

Dan di sana engkau mengetahui yang tinggi dan yang rendah, Dan mereka yang bernafsu dan yang bebas dari nafsu, Kondisi yang demikian dan yang sebaliknya, Kedatangan dan kepergian makhluk-makhluk.

Brahmā, Aku memahami jangkauan dan luas kekuasaanmu demikian: Brahmā Baka memiliki kekuatan sebesar ini, keperkasaan sebesar ini, [329] pengaruh sebesar ini.10

10. “‘Tetapi, Brahmā, terdapat tiga tubuh lain, yang tidak engkau ketahui juga tidak engkau lihat, dan yang Aku ketahui dan Aku lihat. Ada tubuh yang disebut [para dewa dengan] Cahaya Gemerlap, yang dari mana engkau mati dan muncul kembali di sini.11 Karena engkau telah berdiam di sini cukup lama, ingatanmu akan hal itu telah hilang, dan karenanya engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.12

“‘Terdapat, tubuh yang disebut [para dewa dengan] Keagungan Gemilang … Terdapat tubuh yang disebut [para dewa dengan] Buah Besar. Engkau tidak mengetahui atau melihatnya, tetapi Aku mengetahui dan melihatnya. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

11. “‘Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dan setelah dengan secara langsung mengetahui yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, Aku tidak mengaku sebagai tanah, Aku tidak mengaku ada di dalam tanah, Aku tidak mengaku terpisah dari tanah, Aku tidak mengakui tanah sebagai “milikKu,” Aku tidak menegaskan tanah.13 Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.

12-23. “‘Brahmā, setelah dengan secara langsung mengetahui air sebagai air … api sebagai api … udara sebagai udara … makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk … para dewa sebagai para dewa … Pajāpati sebagai Pajāpati … Brahmā sebagai Brahmā … para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap … para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang … para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar … raja sebagai raja … keseluruhan sebagai keseluruhan, dan setelah dengan secara langsung mengetahui apa yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, Aku tidak mengaku sebagai keseluruhan, Aku tidak mengaku ada di dalam keseluruhan, Aku tidak mengaku terpisah dari keseluruhan, Aku tidak mengakui keseluruhan sebagai “milikKu,” Aku tidak menegaskan keseluruhan. Demikianlah, Brahmā, sehubungan dengan pengetahuan langsung Aku tidak hanya berdiri sama tinggi denganmu, bagaimana mungkin Aku mengetahui lebih sedikit? Sebaliknya, Aku mengetahui lebih banyak daripada engkau.’

24. “‘Tuan, Jika tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan, maka itu terbukti hampa dan kosong bagiMu!’14

25. “‘Kesadaran yang tidak terwujud, Tanpa batas, menerangi segala penjuru.15

Yang tidak menjadi bagian dari sifat tanah, yang tidak menjadi bagian dari sifat air … [330] … yang tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan.’

26. “‘Tuan, aku akan menghilang dari hadapanMu.’

“‘Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Brahmā.’

“Kemudian Brahmā Baka, dengan berkata: ‘Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama, Aku akan menghilang dari hadapan Petapa Gotama,’ tidak mampu menghilang. Kemudian Aku berkata: ‘Brahmā, Aku akan menghilang dari hadapanmu.’

“‘Menghilanglah dari hadapanKu jika engkau mampu, Tuan.’

“Kemudian Aku mengerahkan kekuatan batin sehingga Brahmā dan kelompok Brahmā dan para pengikut kelompok Brahmā dapat mendengar suaraKu namun tidak dapat melihatKu. Setelah aku menghilang, Aku mengucapkan syair ini:

27. “‘Setelah melihat ketakutan dalam penjelmaan Dan [setelah melihat] bahwa penjelmaan itu akan lenyap, Aku tidak menyambut segala jenis penjelmaan apapun, Juga tidak melekat pada kesenangan.’16

28. “Saat itu Brahmā dan Kelompok Brahmā dan para pengikut Kelompok Brahmā merasa takjub dan kagum, berkata: ‘Sungguh mengagumkan, Tuan, sungguh menakjubkan, kekuatan dan kesaktian Petapa Gotama! Kami belum pernah menyaksikan atau mendengar petapa atau brahmana lain yang memiliki kekuatan dan kesaktian seperti yang dimiliki Petapa Gotama ini, yang meninggalkan keduniawian dari suku Sakya. Tuan, walaupun hidup dalam generasi yang menikmati penjelmaan, yang menyukai penjelmaan, yang bersukacita dalam penjelmaan, Beliau telah mencabut penjelmaan bersama dengan akarnya.’

29. “Kemudian Māra si Jahat menguasai salah satu pengikut Kelompok Brahmā, dan berkata kepadaKu: ‘Tuan, jika itu adalah apa yang Engkau ketahui, jika itu adalah apa yang telah engkau temukan, janganlah Engkau menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian, janganlah Engkau membangkitkan kerinduan pada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, dan mereka menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka merindukan para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang hina. Sebelum Engkau, Bhikkhu, terdapat juga para petapa dan brahmana yang mengaku sempurna dan tercerahkan sempurna, [331] dan mereka tidak menuntun para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; mereka tidak merindukan para siswa [awam] atau mereka yang meninggalkan keduniawian; dan ketika hancurnya jasmani, ketika kehidupan mereka terpotong, mereka terlahir dalam jasmani yang mulia. Maka, Bhikkhu, aku beritahukan kepadaMu: Pastikan, Tuan, untuk berdiam secara tidak aktif, jalanilah kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini, hal ini lebih baik dibiarkan tidak dibabarkan, dan karena itu, Tuan, janganlah menasihati siapapun.’17

30. “Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu Māra: ‘Aku mengenalmu, Sang Jahat. Jangan berpikir: “Ia tidak mengenalku.” Engkau adalah Māra, si Jahat. Bukanlah demi belas kasih terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian, melainkan adalah tanpa belas kasih terhadap kesejahteraan mereka maka engkau berkata demikian. Engkau berpikir seperti ini, Yang Jahat: “Kepada siapa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma, mereka akan membebaskan diri dari wilayahku.” Para petapa dan brahmanamu itu, Yang Jahat, yang mengaku tercerahkan sempurna, tidaklah benar-benar tercerahkan sempurna. Tetapi Aku, yang mengaku tercerahkan sempurna, adalah benar-benar tercerahkan sempurna. Jika Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya, Beliau tetap seorang Tathāgata.18 Jika Sang Tathāgata menuntun para siswaNya, Beliau tetap seorang Tathāgata, Yang Jahat, dan jika Sang Tathāgata tidak menuntun para siswaNya, Beliau tetap seorang Tathāgata. Mengapakah? Karena Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesusahan, yang matang dalam penderitaan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya di akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya pohon palem yang dipotong pucuknya tidak akan mampu untuk tumbuh lebih tinggi lagi, demikian pula Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-noda yang mengotoriNya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.’”

31. Demikianlah, karena Māra tidak mampu menjawab, dan karena [diawali] dengan undangan Brahmā, maka khotbah ini dinamakan “Tentang Undangan Brahmā.”


Catatan Kaki
  1. Mūlapariyāya Sutta (MN 1) juga dibabarkan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau sedang menetap di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā, dan kemiripan dalam formula dan tema antara kedua sutta ini – mungkin hanya dua yang tercatat sebagai berasal dari Ukkaṭṭhā – sangat menonjol. Bahkan mungkin untuk melihat sutta yang sekarang ini sebagai representasi dramatis dari gagasan yang sama seperti yang disampaikan oleh Mūlapariyāya dalam kata-kata ringkas dan filosofis. Demikianlah Brahmā Baka dapat dianggap sebagai mewakili penjelmaan (bhava) atau personalitas (sakkāya) dalam bentuk yang paling menonjol, yang secara membuta terlibat dalam aktivitas menganggap (maññanā), memelihara dirinya dengan delusi akan kekekalan, kesenangan, dan ke-diri-an. Sosok yang mendasari adalah ketagihan, yang dilambangkan oleh Māra – tampak kurang menonjol dalam kumpulan itu, namun merupakan pencipta sebenarnya dari curahan penganggapan, seorang yang mencengkeram keseluruhan alam semesta dalam genggamannya. Persekutuan Brahmā dan Māra, Tuhan dan Iblis, persekutuan yang tidak masuk akal dari perspektif Theisme Barat, menunjukkan kehausan pada kelanjutan penjelmaan sebagai akar tersembunyi dari segala penegasan dunia, apakah theistik ataupun non-theistik. Dalam sutta ini kontes teoritis sepintas antara Baka dan Sang Buddha memberikan jalan pada konfrontasi lebih dalam antara Māra dan Sang Buddha – Māra sebagai ketagihan yang menuntut penegasan penjelmaan, Yang Tercerahkan menunjukkan lenyapnya penjelmaan melalui tercabutnya kesenangan. ↩︎

  2. Pertemuan serupa antara Sang Buddha dan Baka tercatat dalam SN 6:4/i.142-44, walaupun tanpa hiasan pertemuan ini dan dengan saling berbalas-balasan dalam syair. Menurut MA dan MṬ, ia menganut pandangan eternalis ini sehubungan dengan individu personalnya dan dunia di mana ia berada. Penyangkalannya atas “jalan membebaskan diri melampaui ini” adalah penolakan atas alam jhāna yang lebih tinggi, sang jalan dan buah, dan Nibbāna, yang tidak ada satupun ia ketahui ada. ↩︎

  3. MA: Ketika Māra mengetahui bahwa Sang Buddha telah datang ke alam-Brahma, ia menjadi cemas bahwa para Brahmā dapat dikuasai oleh Dhamma dan membebaskan diri dari kekuasaannya; demikianlah ia mendesak Sang Buddha untuk tidak mengajarkan Dhamma. ↩︎

  4. MA: Karena mereka menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. ↩︎

  5. MA: Dalam empat kondisi sengsara. Di sini, dan pada §10 dan §29, kata “jasmani” (kāya) digunakan dalam makna alam kehidupan. ↩︎

  6. MA: Mereka memujinya sebagai kekal, bertahan lama, abadi, dan seterusnya, dan bersenang di dalamnya melalui ketagihan dan pandangan. ↩︎

  7. MA: di alam Brahma. ↩︎

  8. MA: Māra berniat untuk menunjukkan: “Jika engkau melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Brahmā tanpa melampaui kata-katanya, engkau juga akan bersinar dengan kemegahan dan keagungan yang sama seperti kelompok Brahmā ini.” ↩︎

  9. MA mengatakan bahwa dengan kedua kata pertama ia mencoba untuk membujuk Sang Buddha, dengan kedua kata berikutnya ia mengancam Beliau. “Menggenggam tanah” adalah melekatinya melalui ketagihan, keangkuhan, dan pandangan. Daftar kategori di sini, walaupun singkat namun mengingatkan pada MN 1. ↩︎

  10. MA: Brahmā Baka adalah Brahma yang menguasai lebih dari seribu sistem-dunia, tetapi di atasnya terdapat para Brahmā yang menguasai lebih dari dua, tiga, empat, lima, sepuluh ribu dan seratus ribu sistem-dunia. ↩︎

  11. Jasmani dengan Cahaya Gemerlap adalah alam kelahiran kembali yang berhubungan dengan jhāna ke dua, sedangkan alam Brahmā Baka hanya berhubungan dengan jhāna pertama. Jasmani dengan Keagungan Gemilang dan jasmani dengan Buah Besar dalam paragraf berikutnya berhubungan dengan jhāna ke tiga dan ke empat. ↩︎

  12. Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1.2.2-6/ii.17-19) Sang Buddha menunjukkan bagaimana Mahā Brahmā memunculkan delusi bahwa ia adalah Tuhan maha pencipta. Ketika dunia mulai terbentuk setelah suatu periode penghancuran, sesosok makhluk dengan jasa besar pertama kali terlahir kembali di alam Brahma yang baru terbentuk. Selanjutnya, makhluk-makhluk lain menyusul terlahir kembali di alam Brahma dan hal ini menyebabkan Mahā Brahmā beranggapan bahwa ia adalah pencipta dan pemimpin mereka. Baca Bodhi, The Discourse on the All-Embracing Net of Views, hal.69-70, 159-166. ↩︎

  13. Paragraf ini, yang paralel secara struktur dengan paragraf yang bersesuaian dari MN 1, adalah paragraf yang sulit. Kata kerja negatif berbeda di antara ketiga edisi yang saya pelajari. PTS menuliskan nāhosi, BBS nāpahosiṁ, SBJ nāhosiṁ. Ñm lebih menyukai nāpahosiṁ, yang mana ia menganggapnya sebagai bentuk lampau sederhana dari pabbhavati, yang berarti “menghasilkan, menjadikan.” Akan tetapi, adalah lebih mungkin, bahwa nāpahosiṁ harus dipecah hanya sebagai na + api + ahosiṁ. Dengan demikian maknanya tidak jauh berbeda antara BBS dan SBJ. MA mengemas: “Aku tidak menggenggam tanah melalui godaan ketagihan, keangkuhan, dan pandangan.” Ñm menerjemahkan ananubhūtaṁ sebagai “tidak serupa dengan.” Ini telah digantikan dengan “tidak menjadi bagian dari,” megikuti kemasan MA, “tidak terjangkau oleh tanah” dan MṬ: “sifatnya tidak sama dengan tanah.” MA mengatakan bahwa apa yang “tidak menjadi bagian dari sifat tanah” adalah Nibbāna, yang terlepas dari segala sesuatu yang terkondisi. ↩︎

  14. PTS pasti keliru dalam menghilangkan ti disini yang menutup kutipan langsung; ini menyesatkan Horner dalam memperkirakan bahwa paragraf berikutnya adalah berasal dari Baka dan bukan dari Sang Buddha (MLS 1:392). BBS dan SBJ mencantumkan ti. Baka sepertinya menyiratkan bahwa karena objek pengetahuan Sang Buddha “tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan,” maka itu hanyalah sekadar konsepsi kosong. ↩︎

  15. Dalam edisi pertama, saya mempertahankan terjemahan Ñm pada kalimat-kalimat ini, yang tertulis:

    Kesadaran yang tidak memperlihatkan diri,

    Juga tidak berhubungan dengan keterbatasan,

    Tidak mengaku ada sehubungan dengan keseluruhan.

    Setelah merenungkan kembali, saya menganggap bahwa terjemahan ini jauh dari memuaskan dan dengan demikian di sini saya memberikan terjemahan saya. Kalimat-kalimat ini (yang juga muncul sebagai bagian dari syair lengkap dalam DN 11.85/i.223) telah menjadi tantangan selama bertahun-tahun bagi para terpelajar Buddhis, dan bahkan Ācariya Buddhaghosa sepertinya terjebak di dalamnya. MA menganggap subjek kalimat ini adalah Nibbāna, yang disebut “kesadaran” (viññāṇaṁ) dalam makna bahwa “itu dapat dikenali” (vijānitabbaṁ). Turunan ini hampir tidak dapat diterima, karena tidak ada di manapun dalam Nikāya terdapat Nibbāna yang digambarkan sebagai kesadaran, juga tidak mungkin menurunkan suatu kata benda aktif dari kata kerja yang dibentuk dari kata benda. MA menjelaskan anidassanaṁ sebagai berarti tidak terlihat, “karena itu (Nibbāna) tidak muncul dalam jangkauan kesadaran-mata,” tetapi sekali lagi ini adalah suatu penjelasan hambar. Kata anidassana muncul pada MN 21.14 dalam penggambaran ruang kosong sebagai suatu media yang tidak tepat untuk menggambar lukisan; demikianlah gagasan ini sepertinya adalah sesuatu yang tidak berwujud.

    MA memberikan tiga penjelasan atas sabbato pabhaṁ: (1) sepenuhnya memiliki kecerahan (pabbā); (2) memiliki penjelmaan (pabhūtaṁ) di mana-mana; dan (3) suatu penyeberangan (pabhaṁ) yang dapat dijangkau dari segala arah, yaitu, melalui satu dari tiga puluh delapan objek meditasi. Hanya yang pertama dari ketiga ini yang sepertinya memiliki kecocokan linguistik. Ñm, dalam Ms, menjelaskan bahwa ia menganggap pabhaṁ sebagai kata kerja negatif dari pabhavati - apabhaṁ - awalan negatif meluruh dalam gabungan dengan sabbato: “Makna ini dapat dituliskan secara bebas dengan ‘tidak mendasarkan penjelmaan sehubungan dengan “keseluruhan,” atau ‘tidak menganggap “keseluruhan” bahwa itu ada atau tidak tidak ada dalam makna absolut.’” Tetapi jika kita menganggap pabhaṁ sebagai “bercahaya,” yang sepertinya lebih dapat dibenarkan, maka syair ini berhubungan dengan gagasan pikiran sebagai yang pada hakikatnya terang (pabhassaram idaṁ cittaṁ, AN i.10) dan juga menyiratkan cahaya kebijaksanaan (paññāpabhā), yang disebut cahaya terbaik (AN ii.139). Saya memahami kesadaran ini adalah, bukan Nibbāna itu sendiri, melainkan kesadaran Arahant selama pengalaman meditatif Nibbāna. Sehubungan dengan hal ini, baca AN v.7-10,318-26. Perhatikan bahwa pengalaman meditatif ini tidak mewujudkan fenomena terkondisi apapun dari dunia, dan dengan demikian dapat dengan benar digambarkan sebagai “tidak berwujud.” ↩︎

  16. Menghilangnya Sang Buddha sepertinya adalah suatu demonstrasi “visual” dari syairnya. Setelah mencabut kesenangan dalam penjelmaan, Beliau mampu menghilang dari pandangan Baka, representasi tertinggi dari penjelmaan dan kebenaran dunia. Tetapi Baka, karena terikat pada penjelmaan melalui kemelekatan, tidak mampu melampaui jangkauan pengetahuan Sang Buddha, yang melingkupi penjelmaan dan tanpa-penjelmaan yang sekaligus melampauinya. ↩︎

  17. Ini adalah kecondongan yang sama yang muncul dalam pikiran Sang Buddha persis setelah pencerahannya – baca MN 26.19. Bandingkan juga dengan DN 16.3.34/ii.112 di mana Māra mencoba untuk membujuk Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk segera meninggal dunia dengan damai. ↩︎

  18. Tādiso: yaitu, apakah Beliau mengajar atau tidak mengajar, Beliau tetap adalah Sang Tathāgata. ↩︎