easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kosambī di Taman Ghosita.

2. Pada saat itu para bhikkhu di Kosambī bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Mereka tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; mereka juga tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain.1

3. Kemudian [321] seorang bhikkhu menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Beliau tentang apa yang sedang terjadi.

4. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, bhikkhu, katakan kepada para bhikkhu itu atas namaKu bahwa Sang Guru memanggil mereka.” – “Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan mendatangi para bhikkhu itu dan memberitahu mereka: “Sang Guru memanggil para mulia.”

“Baik, teman,” mereka menjawab, dan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada mereka: “Para bhikkhu, benarkah bahwa kalian telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan. Bahwa kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain; bahwa kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain?”

“Benar, Yang Mulia.”

5. “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, apakah pada saat itu kalian memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Demikianlah, para bhikkhu, ketika kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pada saat itu kalian tidak memelihara perbuatan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran secara terbuka dan secara pribadi terhadap teman-temanmu dalam kehidupan suci. Orang-orang sesat, apakah yang mungkin dapat kalian ketahui, apakah yang dapat kalian lihat, sehingga kalian bertengkar dan bercekcok dan berselisih, [322] saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan? Sehingga kalian tidak dapat saling meyakinkan atau diyakinkan oleh yang lain, sehingga kalian tidak dapat saling membujuk atau dibujuk oleh yang lain? Orang-orang sesat, hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan kalian untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, terdapat enam prinsip kerukunan2 yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-teman baiknya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apapun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalah-pahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan.3 Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

7. “Di antara prinsip-prinsip kerukunan ini, yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan adalah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini. Seperti halnya yang tertinggi, yang paling mendekatkan, yang paling menyatukan dari sebuah bangunan berkubah adalah kubahnya itu sendiri, demikian pula, [323] di antara enam prinsip kerukunan ini, yang tertinggi … adalah pandangan yang mulia dan membebaskan …

8. “Dan apakah pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan ini?

“Di sini seorang bhikkhu, pergi ke hutan, atau ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah gangguan apapun yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya?’ Jika seorang bhikkhu terganggu oleh nafsu indria, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh permusuhan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kelambanan dan ketumpulan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh kegelisahan dan penyesalan, maka pikirannya terganggu. Jika ia terganggu oleh keragu-raguan, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia ini, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu tenggelam dalam spekulasi sehubungan dengan dunia lain, maka pikirannya terganggu. Jika seorang bhikkhu terlibat dalam pertengkaran, percekcokan, dan perselisihan, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan, maka pikirannya terganggu.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada gangguan yang belum ditinggalkan dalam diriku yang dapat mengganggu pikiranku sehingga aku tidak dapat mengetahui atau melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Pikiranku siap untuk menembus kebenaran-kebenaran.’4 Ini adalah pengetahuan pertama yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

9. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, apakah aku memperoleh ketenangan internal, apakah aku secara pribadi memperoleh kepadaman?’

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Ketika aku mengejar, mengembangkan, dan melatih pandangan ini, aku secara pribadi memperoleh ketenangan, aku secara pribadi memperoleh kepadaman.’ Ini adalah pengetahuan ke dua yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

10. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Adakah petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan seperti yang kumiliki?’

“ia memahami sebagai berikut: ‘Tidak ada petapa atau brahmana lain di luar [Pengajaran Buddha] yang memiliki pandangan [324] seperti yang kumiliki.’ Ini adalah pengetahuan ke tiga yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

11. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter5 dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin melakukan beberapa jenis pelanggaran yang karenanya suatu cara rehabilitasi telah ditentukan,6 begitu ia mengaku, mengungkapkan, dan memberitahukan pelanggaran itu kepada guru atau kepada teman-temannya yang bijaksana dalam kehidupan suci, dan setelah melakukan hal itu, ia memasuki pengendalian di masa depan. Seperti halnya, seorang bayi muda dan lembut yang sedang berbaring telungkup seketika mundur ketika ia meletakkan tangan atau kakinya pada bara api menyala, demikian pula karakter seseorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke empat yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

12. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah karakter dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar: walaupun ia mungkin aktif dalam berbagai urusan menyangkut teman-temannya dalam kehidupan suci, namun ia memiliki perhatian kuat pada latihan moralitas yang lebih tinggi, latihan pikiran yang lebih tinggi, dan latihan kebijaksanaan yang lebih tinggi. Seperti halnya seekor sapi dengan anaknya yang baru lahir, sambil merumput sapi itu juga mengawasi anaknya, demikian pula, itu adalah karakter dari seorang yang berpandangan benar.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki karakter dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke lima yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.[325]

13. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia menyimaknya, memperhatikannya, menekuninya dengan segenap pikirannya, mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh.

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke enam yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

14. “Kemudian, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Apakah aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar?’ Apakah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar? Ini adalah kekuatan dari seorang yang berpandangan benar: ketika Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata sedang diajarkan, ia memperoleh inspirasi dalam maknanya, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan sehubungan dengan Dhamma.7

“Ia memahami sebagai berikut: ‘Aku memiliki kekuatan dari seorang yang berpandangan benar.’ Ini adalah pengetahuan ke tujuh yang dicapai olehnya, yang mulia, melampaui duniawi, tidak dimiliki oleh orang-orang biasa.

15. “Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia telah dengan baik menemukan karakter bagi pencapaian buah memasuki-arus. Jika seorang siswa mulia memiliki tujuh faktor ini, maka ia memiliki buah memasuki-arus.”8

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Latar belakang sutta ini adalah pertengkaran di Kosambi, yang diceritakan dalam Vin Mv Kh 10 (Vin i.337 ff.) dan dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, hal.109-19. Pertengkaran ini, yang dimulai dengan kesalah-pahaman biasa pada aturan-aturan disiplin minor dengan cepat berkembang dan memecah Sangha dan umat awam penduduk Kosambi dalam dua kelompok yang saling bermusuhan. ↩︎

  2. Cha dhammā sārāṇiyā. Ñm menerjemahkan ungkapan ini “enam kualitas yang harus diingat,” yang diadopsi dalam edisi pertama. Dalam hal ini ia mengikuti komentar, yang mengemas frasa itu, “layak diingat; jangan dilupakan bahkan dengan berlalunya waktu” (saritabbayuttā addhāne atikkante pi na pamusitabbā). Akan tetapi, turunan yang benar, seperti catatan PED, adalah dari Skt saṁrañjaniya, “menyebabkan kegembiraan.” ↩︎

  3. MA: Ini adalah pandangan benar yang menjadi milik jalan mulia. ↩︎

  4. Empat Kebenaran Mulia. ↩︎

  5. Dhammatā↩︎

  6. Ini adalah pelanggaran aturan disiplin monastik yang dari sana seorang bhikkhu dapat direhabilitasi melalui tindakan resmi Sangha atau dengan pengakuan kepada bhikkhu lain. Walaupun seorang siswa mulia mungkin melakukan pelanggaran demikian secara tidak sengaja atau karena tidak tahu, namun ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya namun segera mengungkapkannya dan mencari cara untuk mendapatkan rehabilitasi. ↩︎

  7. Baca n.91. ↩︎

  8. MA menyebut ketujuh faktor itu sebagai “pengetahuan peninjauan besar” (mahāpaccavekkhaṇañāṇa) dari seorang pemasuk-arus. Mengenai pengetahuan peninjauan ini, baca Vsm XXII, 19-21. ↩︎