easter-japanese

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada pagi harinya, sejumlah bhikkhu merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luar mereka, [84] memasuki Sāvatthī untuk menerima dana makanan. Kemudian mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk pergi menerima dana makanan. Bagaimana jika kami pergi ke taman para pengembara sekte lain.” Maka mereka pergi ke taman para pengembara sekte lain dan saling bertukar sapa dengan para pengembara. Setelah ramah-tamah itu berakhir, mereka duduk di satu sisi. Para pengembara itu berkata kepada mereka:

3. “Teman-teman, Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada kenikmatan indria, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada bentuk materi, dan kami juga demikian; Petapa Gotama menjelaskan pemahaman penuh pada perasaan, dan kami juga demikian. Kalau begitu, apakah perbedaannya di sini, antara ajaran Petapa Gotama tentang Dhamma dan ajaran kami, antara instruksi-instruksi Beliau dan instruksi-instruksi kami?”1

4. Kemudian para bhikkhu itu tidak menyetujui juga tidak membantah kata-kata para pengembara itu. Dengan tanpa melakukan kedua hal itu mereka bangkit dari duduk dan pergi, dengan berpikir: “Kami akan memahami makna dari kata-kata ini di hadapan Sang Bhagavā.”

5. Ketika mereka telah pergi ke Sāvatthī untuk menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang telah terjadi. [Sang Bhagavā berkata:] [85]

6. “Para bhikkhu, para pengembara sekte lain yang berkata demikian harus ditanya sebagai berikut: ‘Tetapi, teman-teman, apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Apakah kepuasan, apakah bahaya, apakah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan?’ Dengan ditanya demikian, para pengembara sekte lain tidak akan mampu menjelaskan hal itu, dan lebih jauh lagi, mereka akan mengalami kesulitan. Mengapakah? Karena hal ini bukanlah bidang mereka. Para bhikkhu, Aku tidak melihat seorangpun di dunia ini bersama para dewa, Māra, dan Brahmā, dalam generasi ini dengan para petapa dan brahmana, dengan para pangeran dan rakyatnya, yang mampu memuaskan pikiran dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kecuali Sang Tathāgata atau para siswaNya yang telah mempelajarinya dari Beliau.

7. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Para bhikkhu, terdapat lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria. Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada kelima utas kenikmatan indria ini adalah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria.

8. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria? Di sini, para bhikkhu, sehubungan dengan keterampilan yang dengannya seorang anggota keluarga mencari nafkah – apakah juru periksa atau akuntan atau juru hitung atau petani atau pedagang atau peternak atau pemanah atau pegawai kerajaan, atau keterampilan apapun – ia harus mengalami dingin, ia harus mengalami panas, ia terluka oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia terancam kematian oleh lapar dan haus. Ini adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini, dengan kenikmatan indria sebagai penyebabnya, dengan kenikmatan indria sebagai sumbernya, kenikmatan indria sebagai dasarnya, [86] penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

9. “Jika tidak ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, maka ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Pekerjaanku sia-sia, usahaku tidak membuahkan hasil!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

10. “Jika ada harta yang didapat oleh anggota keluarga sewaktu ia bekerja dan berjuang dan berusaha demikian, ia mengalami kesakitan dan kesedihan dalam menjaganya: ‘Bagaimana agar raja atau pencuri tidak merampas hartaku, juga agar api tidak membakarnya, juga agar air tidak menghanyutkannya, juga agar pewaris yang penuh kebencian tidak merampasnya?’ Dan ketika ia menjaga dan melindunginya, raja atau pencuri merampasnya, atau api membakarnya, atau air menghanyutkannya, atau pewaris yang penuh kebencian merampasnya. Dan ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan, mengeluhkan: ‘Apa yang kumiliki sudah tidak ada lagi!’ Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

11. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, raja berselisih dengan raja, para mulia berselisih dengan para mulia, brahmana berselisih dengan brahmana, perumah-tangga berselisih dengan perumah-tangga, ibu berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ibu, ayah berselisih dengan anak, anak berselisih dengan ayah, saudara laki-laki berselisih dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, saudara perempuan dengan saudara laki-laki, teman dengan teman. Dan di sini dalam perselisihan, percekcokan, pertengkaran, mereka saling menyerang satu sama lain dengan tinju, bongkahan tanah, tongkat kayu, atau pisau, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

12. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab … orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, dan dalam peperangan dalam barisan berlapis ganda mereka menyerang dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

13. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab … orang-orang mengambil pedang dan perisai dan mengikatkan busur dan tempat anak panah, mereka menyerang benteng, dengan anak-anak panah dan tombak beterbangan [87] dan pedang berkelebatan; dan di sana mereka terluka oleh anak-anak panah dan tombak dan tersiram cairan mendidih dan digilas benda berat, dan kepala mereka terpenggal oleh pedang, yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

14. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab … orang-orang mendobrak masuk ke rumah-rumah, merampas harta, melakukan perampokan, menyergap di jalan-jalan raya, menggoda istri orang lain, dan ketika mereka tertangkap, raja menjatuhkan berbagai hukuman pada mereka. Raja memerintahkan untuk mencambuk mereka, memukul dengan rotan, memukul dengan pentungan, memotong tangan mereka, memotong kaki mereka, memotong tangan dan kaki mereka, memotong telinga mereka, memotong hidung mereka, memotong telinga dan hidung mereka; mereka dikenai siksaan ‘panci bubur,’ ‘cukuran kulit kerang yang digosok,’ ‘mulut Rāhu,’ ‘lingkaran api,’ ‘tangan menyala,’ ‘helai rumput,’ ‘pakaian kulit kayu,’ ‘kijang,’ ‘kail daging,’ ‘kepingan uang,’ ‘cairan asin,’ ‘tusukan berporos’, ‘gulungan tikar jerami’;2 dan mereka disiram dengan minyak mendidih, dan mereka dibuang agar dimangsa oleh anjing-anjing, dan mereka dalam keadaan hidup ditusuk dengan kayu pancang, dan kepala mereka dipenggal dengan pedang - yang mana mereka menimbulkan kematian atau penderitaan mematikan. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini … penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Kemudian lagi, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria, orang-orang melakukan perilaku salah dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Setelah melakukan demikian, saat hancurnya jasmani, setelah kematian, mereka muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka. Ini juga adalah bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang,3 dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

16 (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria? Yaitu lenyapnya keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria.4 Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria.

17. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya [88] kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya kenikmatan indria – itu adalah mungkin.

18. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan bentuk materi? Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta ksatria atau kasta brahmana atau perumah-tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah. Apakah kecantikan dan kemenarikannya sedang berada pada puncaknya?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Kenikmatan dan kegembiraan yang bergantung pada kecantikan dan kemenarikan itu adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk materi.

19. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan bentuk materi? Belakangan seseorang melihat perempuan yang sama di sini pada usia delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti kerangka atap, terlipat, ditopang oleh tongkat, berjalan terhuyung-huyung, lemah, kemudaannya sirna, giginya tanggal, rambutnya memutih, rambutnya rontok, gundul, keriput, dengan seluruh tubuh berbisulan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

20. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sakit, menderita, dan sakit keras, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh orang lain. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

21. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, satu, dua, tiga hari setelah kematian, membengkak, memucat, dan meneteskan cairan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

22-29. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, dimangsa oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis belatung … [89] tulang-belulang dengan daging dan darah, terangkai oleh urat … tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, terangkai oleh urat … tulang-belulang tanpa daging dan darah, terangkai oleh urat … tulang-belulang yang tercerai-berai di segala penjuru – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang paha, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak … tulang-belulang yang memutih, berwarna seperti kulit kerang … tulang-belulang menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun, lapuk dan remuk menjadi debu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk materi.

30. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan bentuk materi. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi.

31. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk materi, dapat memahami sepenuhnya bentuk materi oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk materi – itu adalah mungkin.

32. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.5 Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. [90] pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. “Kemudian lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … dengan meluruhnya sukacita … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

36. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan perasaan? Perasaan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan. Ini adalah bahaya sehubungan dengan perasaan.

37. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan perasaan. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan.

38. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat memahami sepenuhnya perasaan oleh mereka sendiri atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah mungkin.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. MA: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk materi sebagai alam makhluk tanpa materi, dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam makhluk tanpa-persepsi. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk materi dan perasaan sebagai jalan Kearahattaan. ↩︎

  2. MA memberikan penggambaran grafis pada masing-masing bentuk siksaan ini. ↩︎

  3. Harus dipahami bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria yang sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan yang terlihat di sini dan saat ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho). ↩︎

  4. MA mengatakan bahwa Nibbāna adalah lenyapnya dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan kenikmatan indria, karena dengan bergantung pada Nibbāna, keinginan dan nafsu dilenyapkan dan ditinggalkan. Ini juga dapat dianggap termasuk jalan yang-tidak-kembali, yang sempurna dalam meninggalkan keinginan dan nafsu pada kenikmatan indria. ↩︎

  5. Untuk mengungkapkan bahaya dalam perasaan, Sang Buddha memilih kenikmatan duniawi yang paling halus dan luhur, kebahagiaan dan kedamaian jhāna, dan menunjukkan bahwa bahkan kondisi-kondisi demikian adalah tidak kekal dan dengan demikian tidak memuaskan. ↩︎