easter-japanese

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahānāma orang Sakya1 mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, aku telah lama memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Keserakahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, kebencian adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, delusi adalah adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran.’ Namun walaupun aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā demikian, sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan delusi menyerbu pikiranku dan menetap di sana. Aku bertanya-tanya, Yang Mulia, kondisi apakah yang masih belum ditinggalkan olehku secara internal, yang karenanya sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan delusi menyerbu pikiranku dan menetap di sana.”2

3. “Mahānāma, masih ada satu kondisi yang belum engkau tinggalkan secara internal, yang karenanya sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan delusi menyerbu pikiranmu dan menetap di sana; karena jika kondisi itu telah ditinggalkan olehmu secara internal maka engkau tidak akan menjalani kehidupan rumah tangga, engkau tidak akan menikmati kenikmatan indria.3 Adalah karena kondisi itu belum engkau tinggalkan secara internal maka engkau menjalani kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

4. “Bahkan walaupun seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, selama ia masih belum mencapai sukacita dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia masih tertarik pada kenikmatan indria.4 Tetapi ketika seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan ia mencapai sukacita dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. [92]

5. “Sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, tetapi selama Aku masih belum mencapai sukacita dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku masih dapat tertarik pada kenikmatan indria. Tetapi ketika Aku dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputus-asaan, dan bahwa bahaya di dalamnya bahkan lebih banyak lagi, dan Aku telah mencapai sukacita dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau telah mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria.

6-14. “Dan apakah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Mahānāma, ada lima utas kenikmatan indria ini … (seperti Sutta 13, §§7-15) … Ini adalah juga bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Sekarang, Mahānāma, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu sejumlah Nigaṇṭha yang sedang menetap di Batu Hitam di lereng Isigili sedang mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu.5

16. “Kemudian, pada malam harinya, Aku bangkit dari meditasi dan mendatangi para Nigaṇṭha di sana. Aku bertanya kepada mereka: ‘Teman-teman, mengapa kalian mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu?’

17. “Ketika hal ini Kukatakan, mereka menjawab: ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta maha tahu dan maha melihat dan mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna sebagai berikut: “Apakah aku sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau terjaga, [93] pengetahuan dan penglihatan yang terus-menerus dan tanpa terputus hadir padaku.” Ia berkata sebagai berikut: “Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau; padamkanlah dengan melaksanakan praktik keras yang menyiksa. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Dengan memusnahkan perbuatan masa lampau dengan pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada konsekuensi di masa depan. Dengan tidak ada konsekuensi di masa depan, maka itu adalah kehancuran perbuatan. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancur pula penderitaan. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancur pula perasaan. Dengan hancurnya perasaan, maka semua penderitaan akan menjadi padam.” Ini adalah [doktrin] yang kami setujui dan kami terima, dan kami puas dengan ajaran ini.’

18. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada mereka: ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’ - ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Tetapi, teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’ – ‘Tidak, Teman.’

19. “‘Jadi, teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, mereka yang adalah para pembunuh, para pelaku kejahatan dengan tangan berdarah di dunia ini, ketika mereka terlahir kembali di antara manusia, mereka meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah sebagai para Nigaṇṭha.’6

20. “‘Teman Gotama, kenikmatan tidak diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan. [94] Karena jika kenikmatan diperoleh melalui kenikmatan, maka Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha pasti memperoleh kenikmatan, karena ia berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Yang Mulia Gotama.’

“‘Tentu saja Yang Mulia para Nigaṇṭha telah mengucapkan kata-kata ini dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Adalah Aku yang seharusnya bertanya: “Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?”’

“‘Tentu saja, Teman Gotama, kami mengucapkan kata-kata itu dengan terburu-buru dan tanpa pertimbangan. Tetapi biarlah demikian. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Gotama: Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?’

21. “‘Maka, teman-teman, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai balasan. Jawablah sesuai apa yang kalian anggap benar. Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama tujuh hari tujuh malam?’ – ‘Tidak, Teman.’ – ‘Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama enam, lima, empat, tiga, atau dua hari dua malam? … selama sehari semalam?’ – ‘Tidak, Teman.’

22. “‘Tetapi, teman-teman, Aku dapat berdiam tanpa menggerakkan tubuhKu atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama sehari semalam … selama dua, tiga, empat, lima, dan enam hari enam malam … selama tujuh hari tujuh malam.7 Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Dengan demikian, siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Aku?’

“‘Kalau begitu, [95] maka Yang Mulia Gotama berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Mahānāma orang Sakya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


Catatan Kaki
  1. Mahānāma orang Sakya adalah saudara sepupu Sang Buddha dan saudara dari YM. Anuruddha dan Ānanda. Ia memilih untuk tetap menjadi perumah-tangga dan membiarkan Anuruddha menjadi bhikkhu, kisah ini terdapat dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, hal.80-81. ↩︎

  2. Menurut MA, Mahānāma telah lama mencapai buah yang-kembali-sekali, yang hanya melemahkan keserakahan, kebencian, dan delusi, namun belum melenyapkannya. MA mengatakan bahwa ia memiliki gagasan keliru bahwa keserakahan, kebencian, dan delusi dilenyapkan melalui jalan yang-kembali-sekali. Dengan demikian, ketika ia melihat bahwa keserakahan, kebencian, dan delusi masih muncul dalam pikirannya, ia menyadari bahwa ia belum meninggalkannya dan menanyakan sebab kemunculannya kepada Sang Buddha. Para siswa mulia dapat keliru mengenai kekotoran apa yang ditinggalkan oleh jalan apa. ↩︎

  3. Dari pembahasan selanjutnya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, sepertinya “kondisi” (dhamma) yang belum ditinggalkan oleh Mahānāma adalah keinginan indria, yang masih mengikatnya pada kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria. ↩︎

  4. “Sukacita dan kenikmatan yang terpisah dari kenikmatan indria” adalah sukacita dan kenikmatan dalam jhāna pertama dan ke dua; kondisi-kondisi yang “lebih damai daripada itu” adalah jhāna-jhāna yang lebih tinggi. Dari paragraf ini sepertinya bahwa seorang siswa dapat mencapai bahkan hingga jalan dan buah ke dua tanpa memiliki jhāna lokiya. ↩︎

  5. Para Nigaṇṭha atau Jain, para pengikut Guru Nigaṇṭha Nātaputta (juga dikenal dengan nama Mahāvīra), menekankan praktik pertapaan keras untuk meluruhkan akumulasi kamma buruk masa lampau. Tujuan paragraf ini, menurut MA, adalah untuk menunjukkan jalan membebaskan diri, yang belum ditunjukkan sebelumnya bersama dengan kepuasan dan bahaya dalam kenikmatan indria. Sang Buddha menyebutkan praktik pertapaan Jain untuk memperlihatkan bahwa ajarannya adalah “Jalan Tengah” yang bebas dari kedua ekstrim menikmati kenikmatan indria dan penyiksaan diri. ↩︎

  6. Para Jain menganut pandangan bahwa apapun yang dialami seseorang adalah disebabkan oleh kamma lampau. Jika demikian, Sang Buddha membantah, maka kesakitan yang mereka alami sebagai bagian dari disiplin pertapaan mereka adalah berakar pada perbuatan buruk mereka dalam kehidupan sebelumnya. ↩︎

  7. MA: ini merujuk pada pengalamanNya sendiri akan kenikmatan pencapaian buah, yaitu, pencapaian buah Kearahattaan (arahattaphalasamāpatti). ↩︎