easter-japanese

Dalam dua puluh lima tahun Sejak aku meninggalkan keduniawian, Aku tidak ingat bahwa aku pernah menemukan Ketenangan dalam pikiranku.

Aku telah gagal menemukan kedamaian batin, Atau kendali apapun atas pikiranku. Ketika aku mengingat ajaran sang pemenang Aku didera rasa keterdesakan.

Walaupun tunduk pada begitu banyak hal menyakitkan, Aku telah, melalui kecintaanku pada ketekunan, Mencapai akhir ketagihan, Dan memenuhi ajaran Sang Buddha. Ini adalah hari ke tujuh Sejak ketagihanku mengering.

Empat atau lima kali Aku meninggalkan tempat kediamanku. Aku telah gagal menemukan kedamaian batin, Atau kendali apapun atas pikiranku.

Aku mendatangi seorang bhikkhunī Yang padanya aku berkeyakinan. Ia mengajarkan Dhamma kepadaku: Agregat-agregat, bidang-bidang indria, dan elemen-elemen.

Ketika aku mendengarkan ajarannya, Sesuai dengan ajarannya, Aku duduk selama tujuh hari dalam postur yang sama, Terserap dalam sukacita dan kebahagiaan. Pada hari ke delapan aku meregangkan kakiku, Setelah menghancurkan kumpulan kegelapan.

Di antara tujuh faktor pencerahan, Jalan untuk mencapai pemadaman, Aku telah mengembangkannya semua, Persis seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Aku mencapai meditasi-meditasi pada kekosongan Dan tanpa gambaran kapanpun aku inginkan. Aku adalah putri sah Sang Buddha, Selalu bersenang dalam padamnya.

Seluruh kenikmatan indria terpotong, Apakah manusiawi ataupun surgawi. Transmigrasi melalui kelahiran-kelahiran telah usai, Sekarang tidak ada lagi kehidupan di masa depan.

Meninggalkan meditasi siangku Di Gunung Puncak Hering, Aku melihat seekor gajah di tepi sungai Yang baru saja keluar dari mandinya.

Seorang laki-kaki, dengan membawa tongkat berkait, Berkata kepada gajah, “ulurkan kakimu.” Gajah itu menjulurkan kakinya, Dan orang itu menungganginya.

Melihat seekor binatang liar begitu jinak, Tunduk pada kendali manusia, Pikiranku menjadi tenang: Itulah sebabnya maka aku pergi ke hutan!

[Sang Buddha:]

“Engkau meratap ‘mohon hiduplah!’ di dalam hutan. Ubbirī, kendalikan dirimu! Delapan puluh empat ribu manusia, Semuanya disebut ‘makhluk hidup’, Telah terbakar di tanah pemakaman ini: Yang manakah yang engkau ratapi?”

[Ubbiri Therī:]

“Oh! Karena engkau telah mencabut anak panah dariku, Yang begitu sulit dilihat, tersembunyi dalam batin. Engkau telah menyingkirkan kesedihan atas putriku Yang di dalamnya aku pernah terbenam.

Hari ini aku telah mencabut anak panah, Aku tidak lapar, padam. Aku berlindung pada Sang Bijaksana itu, Sang Buddha, Pada ajaranNya, dan pada Sangha.”

[Yakkha:]

“Ada apa dengan orang-orang di Rājagaha? Mereka terkapar seperti telah meminum fermentasi madu! Mereka tidak mendatangi Sukkā Ketika ia mengajarkan ajaran Sang Buddha.

Tetapi para bijaksana— Mereka seolah-olah meminumnya, Begitu menarik, lezat dan bergizi, Bagaikan para pengembara yang menikmati keteduhan awan.”

“Ia dikenal sebagai Sukkā karena kualitas-kualitas cerahnya, Bebas dari keserakahan, tenang. Ia membawa jasmani terakhirnya, Setelah menaklukkan Māra dan tunggangannya.”

[Māra:]

“Tidak ada jalan membebaskan diri dari dunia, Jadi apa gunanya keterasingan bagimu? Nikmatilah kesenangan kenikmatan indria; Jangan menyesalinya kelak.”

[Selā Therī:]

“Kenikmatan indria adalah bagaikan pedang dan tombak Kelompok-kelompok unsur kehidupan adalah alas pemotongnya. Apa yang engkau sebut kesenangan indria Adalah tidak menyenangkan bagiku sekarang.

Kesenangan dihancurkan dalam segala aspek, Dan kumpulan kegelapan dihancurkan. Jadi ketahuilah ini, Yang Jahat: Engkau terkalahkan, pembasmi!”

[Māra:]

“Keadaan itu sangat menantang; Ini adalah untuk dicapai oleh para bijaksana. Tidaklah mungkin bagi seorang perempuan, Dengan kebijaksanaan dua-jari.”

[Somā Therī:]

“Apa bedanya para perempuan Jika pikirannya tenang, Dan pengetahuan muncul Ketika engkau dengan benar melihat Dhamma.

Kesenangan dihancurkan dalam segala aspek, Dan kumpulan kegelapan dihancurkan. Jadi ketahuilah ini, Yang Jahat: Engkau terkalahkan, pembasmi!”