easter-japanese

Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Di sana Yang Mulia Ānanda berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Ānanda berkata sebagai berikut:

“Sungguh menakjubkan dan mengagumkan, teman-teman, bahwa Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, yang mengetahui dan melihat, telah menemukan pencapaian sebuah bukaan di tengah-tengah kurungan:1 demi pemurnian makhluk-makhluk, demi mengatasi dukacita dan ratapan, demi lenyapnya kesakitan dan kesedihan, demi keberhasilan metode, demi merealisasikan nibbāna.2 (1) Mata itu sendiri serta bentuk-bentuk itu sebenarnya akan ada, [427] namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu.3 (2) Telinga itu sendiri serta suara-suara sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (3) Hidung itu sendiri serta bau-bauan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (4) Lidah itu sendiri serta rasa-rasa kecapan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu. (5) Badan itu sendiri serta objek-objek sentuhan sebenarnya akan ada, namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu.”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Apakah, teman Ānanda, ketika seseorang sebenarnya berpersepsi atau ketika seseorang tidak berpersepsi maka ia tidak mengalami landasan itu?”

“Adalah, teman, ketika seseorang sebenarnya berpersepsi maka ia tidak mengalami landasan itu, bukan ketika ia tidak berpersepsi.”

“Tetapi, teman, dengan cara bagaimanakah ketika seseorang yang berpersepsi tidak mengalami landasan itu?”

(6) “Di sini, teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.

(7) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.

(8) “Kemudian, teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ketika seseorang berpersepsi demikian maka ia tidak mengalami landasan itu.4

“Suatu ketika, teman, aku sedang menetap di Sāketa di taman rusa Hutan Añjana. Kemudian Bhikkhunī Jaṭilagāhiya5 [428] mendatangiku, bersujud kepadaku, berdiri di satu sisi, dan berkata: ‘Bhante Ānanda, konsentrasi itu yang tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang,6 dan yang tidak dikekang dan dilawan dengan menekan [kekotoran-kekotoran itu] secara paksa7 - dengan terbebaskan, maka konsentrasi itu menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, maka itu adalah kepuasan; dengan menjadi puas, maka seseorang tidak bergejolak.8 Bhante Ānanda, apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā tentang buah dari konsentrasi ini?’9

(9) “Ketika ia menanyakan ini kepadaku, aku menjawab: ‘Saudari, konsentrasi itu yang tidak condong ke depan dan tidak condong ke belakang, dan yang tidak dikekang dan dilawan dengan menekan [kekotoran-kekotoran itu] secara paksa - dengan terbebaskan, maka konsentrasi itu menjadi kokoh; dengan menjadi kokoh, maka itu adalah kepuasan; dengan menjadi puas, maka seseorang tidak bergejolak. Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya.’10 Ketika seseorang berpersepsi demikian juga, teman, maka ia tidak mengalami landasan itu.”


Catatan Kaki
  1. Tentang makna “kurungan” (sambādha), baca 9:42 di bawah. ↩︎

  2. Ini sama dengan pernyataan pembuka dari Satipaṭṭhāna Sutta yang terkenal, pada DN 22.1, II 290,8-11; MN 10.2, I 55,32-56,2. Juga muncul pada AN 3:74, 4:194, 6:26, dan 10:95↩︎

  3. Mp: “Mata itu sendiri … sebenarnya akan ada (tadeva nāma cakkhuṃ bhavissati): materi sensitif dari mata itu sendiri tidak rusak. Serta bentuk-bentuk itu (te rūpa): objek bentuk terlihat itu sendiri akan masuk dalam jangkauan. Namun seseorang tidak akan mengalami landasan itu (tañcāyatanaṃ no paṭisaṃvedissati): namun seseorang tidak mengetahui landasan bentuk terlihat itu.” Saya mungkin salah dalam mengasumsikan bahwa sembilan hal itu diperoleh dengan menjumlahkan lima jenis pengalaman indriawi dengan empat meditasi tanpa bentuk. Kemungkinan sembilan ini diperoleh dengan memasukkan empat jhāna (yang mungkin hilang dari teks) dengan empat meditasi tanpa bentuk, dan kemudian menambahkan, sebagai yang ke sembilan, keadaan konsentrasi khusus yang dirujuk pada akhir sutta. ↩︎

  4. Ce dan Be keduanya mencantumkan ti di sini, yang menunjukkan akhir dari sebuah kutipan, yang menyiratkan bahwa pembicara paragraf berikutnya adalah Udāyī. Tetapi jelas bahwa Ānanda sendiri yang masih berbicara. Dengan demikian, tampaknya, ti adalah kekeliruan dan harus dihapuskan dalam Ce dan Be. Ee tidak mencantumkan ti↩︎

  5. Demikian Ce dan Ee. Be menuliskan namanya sebagai Jaṭilavāsikā. Mp mengatakan bahwa ia adalah seorang penduduk kota Jaṭila (jaṭilanagaravāsinī). Para jaṭila adalah para petapa berambut kusut, tetapi patut dipertanyakan apakah mereka cukup banyak untuk membentuk sebuah kota. ↩︎

  6. Mp: “Tidak condong ke depan melalui nafsu, dan tidak condong ke belakang melalui kebencian” (rāgavasena na abhinato, dosavasena na apanato). ↩︎

  7. Baca 5:27. Di sini Mp mengomentari: “Konsentrasi itu kokoh, bukan karena seseorang telah secara paksa dan sekuat tenaga mengekang dan menekan kekotoran-kekotoran, melainkan karena konsentrasi itu muncul setelah kekotoran-kekotoran terpotong.” ↩︎

  8. Vimuttattā ṭhito, thitattā santusito, santusitattā no paritassati. Urutan ini juga terdapat pada SN III 45,13-14, 46,4-5, 54,1-2, 55,34-35, 58,23-24. Adalah dengan berdasarkan paragraf pada SN ini maka saya melihat perubahan dalam topik dari frasa terakhir dari teks AN, dari “itu,” yang merujuk pada samādhi, menjadi “ia,” yang merujuk pada orang yang mencapainya. Sedangkan dalam paragraf AN, kata itu berbentuk tunggal laki-laki dan dengan demikian dapat diinterpretasikan baik merujuk pada samādhi maupun pada orang, paralel SN menuliskan: Vimuttattā ṭhitaṃ. Ṭhitattā santusitaṃ. Santusitattā na paritassati. Aparitassaṃ paccattaññeva parinibbāyati. Khiṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ, kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti ti. Bentuk kata tunggal netral menunjukkan bahwa subjek dari kedua frasa pertama adalah cittaṃ, tetapi dengan santusitattā na paritassati, subjeknya tampaknya bergeser dari cittaṃ menjadi orang yang mencapai kebebasan. Kita dapat menyimpulkan melalui analogi bahwa dalam kalimat sekarang ini juga terjadi pergeseran yang sama, dalam hal ini dari samādhi menjadi orang yang mencapainya. ↩︎

  9. Ayaṃ, bhante Ānanda, samādhi kiṃphalo vutto bhagavatā. Pertanyaan ini ambigu. Dapat bermakna, “Tentang apakah Sang Bhagavā mengatakan konsentrasi ini sebagai buahnya?” atau “Apakah yang dikatakan oleh Sang Bhagavā sebagai buah dari konsentrasi ini?” Mp menganggap yang pertama, tetapi ada argumen-argumen yang mendukung yang ke dua (baca catatan berikutnya). ↩︎

  10. Ayaṃ bhagini samādhi aññāphalo vutto bhagavatā. Kata majemuk aññāphalo dapat diinterpretasikan apakah sebagai sebuah tappurisa (“konsentrasi ini memiliki buah pengetahuan akhir”) atau sebagai sebuah bāhubbīhi (“konsentrasi ini memiliki pengetahuan akhir sebagai buahnya”). Dalam kasus pertama, samādhi diidentifikasikan sebagai buah; dalam kasus ke dua, dengan suatu pencapaian yang mendahului buah. Mp mengambil makna pertama, sebagai buah itu sendiri: “Bhikkhunī itu menanyakan tentang konsentrasi buah Kearahattaan (arahattaphalasamādhi). Pengetahuan akhir adalah Kearahattaan. Sang Bhagavā membicarakan konsentrasi buah Kearahattaan ini. [Maksudnya adalah:] Ketika seseorang mempersepsikan persepsi buah Kearahattaan, ia tidak mengalami landasan itu.” Akan tetapi, pertanyaan kiṃphalā yang muncul berulang-ulang pada SN V 118,22-120,19, yang mana itu berarti, “Apakah yang dimilikinya sebagai buahnya?” Dan pada 5:25 kita menemukan pañcahi, bhikkhave, aṅgehi anuggahitā sammādiṭṭhi ca cetovimuttiphalā hoti … paññāvimuttiphalā ca hoti. Maknanya di sini bukanlah bahwa pandangan benar adalah buah kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan, melainkan bahwa pandangan benar memiliki kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya. Lebih jauh lagi, pada 3:101, samādhi dijelaskan persis dengan kata-kata yang sama dengan yang di sinin yang ditunjukkan sebagai kondisi pendukung bagi enam pengetahuan yang lebih tinggi, yang mana bagian terakhirnya adalah “kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan.” Secara analogi, hal ini berarti bahwa samādhi ini bukanlah buah pengetahuan akhir, melainkan yang menghasilkan pengetahuan akhir.

    Terdapat paralel China pada bagian akhir sutta ini, SĀ 557 pada T II 146a12-29. Dalam versi ini, ketika bhikkhunī itu bertanya kepada Ānanda tentang konsentrasi pikiran tanpa karakteristik (無相心三昧 = animitta cetosamādhi), ia menjawab bahwa Sang Buddha mengatakan konsentrasi ini “adalah buah kebijaksanaan, imbalan kebijaksanaan” (智果,智功德, yang memiliki ambiguitas yang sama seperti yang telah saya sebutkan pada catatan sebelumnya). ↩︎