easter-japanese

(1) “Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama. (2) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke dua. (3) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke tiga. (4) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke empat. (5) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas. (6) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas. (7) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kekosongan. (8) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. (9) Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada lenyapnya persepsi dan perasaan.

(1) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, bisul, anak panah, kemalangan, kesengsaraan, makhluk asing, kehancuran, [423] kosong, dan tanpa-diri.1 Ia mengalihkan pikirannya dari fenomena-fenomena itu dan mengarahkannya pada elemen tanpa-kematian sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, diamnya segala aktivitas, terlepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’2 Jika ia kokoh pada hal ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma itu, karena kesenangan dalam Dhamma itu,3 maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar,4 demikian pula, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan bentuk, perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. [424]

“Ketika dikatakan: : ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda terjadi dengan bergantung pada jhāna pertama,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(2)-(4) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat …

[425] “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada jhāna ke empat,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(5) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran5 sebagai tidak kekal, penderitaan, penyakit, bisul, anak panah, kesengsaraan, kemalangan, makhluk asing, kehancuran, kosong, dan tanpa-diri. Ia mengalihkan pikirannya dari fenomena-fenomena itu dan mengarahkannya pada elemen tanpa-kmatian sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, diamnya segala aktivitas, terlepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna.’ Jika ia kokoh pada hal ini, maka ia mencapai hancurnya noda-noda. Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda karena nafsu pada Dhamma, karena bersenang dalam Dhamma, maka dengan kehancuran sepenuhnya lima belenggu yang lebih rendah, ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar, demikian pula, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk … seorang bhikkhu masuk dan berdiam landasan ruang tanpa batas. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.

(6)-(7) “Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas … landasan kekosongan,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? [426] Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Seperti halnya seorang pemanah atau seorang murid pemanah yang menjalani latihan menggunakan orang-orangan jerami atau gumpalan tanah liat, dan kelak di kemudian hari ia menjadi seorang penembak jarak jauh, seorang penembak tepat, seorang yang membelah tubuh besar, demikian pula, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas … seorang bhikkhu masuk dan berdiam landasan kekosongan. Ia mempertimbangkan fenomena apa pun yang ada di sana yang berhubungan dengan perasaan, persepsi, aktivitas-aktivitas berkehendak, dan kesadaran sebagai tidak kekal … Tetapi jika ia tidak mencapai hancurnya noda-noda … ia menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu.

“Ketika dikatakan: ‘Para bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda juga terjadi dengan bergantung pada landasan kekosongan,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.6

(8)-(9) “Demikianlah, para bhikkhu, ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi. Tetapi kedua landasan ini – landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi dan lenyapnya persepsi dan perasaan – Aku katakan harus dijelaskan melalui para bhikkhu yang bermeditasi yang terampil dalam hal pencapaian-pencapaian dan terampil dalam hal keluar dari pencapaian-pencapaian itu setelah mereka mencapainya dan keluar dari sana.”7


Catatan Kaki
  1. Mp: “Karakteristik ketidak-kekalan disebutkan dalam dua kata: tidak kekal dan kehancuran (aniccato, palokato). Karakteristik tanpa-diri disebutkan dalam tiga kata: makhluk asing (parato), kosong (suññato), dan tanpa-diri (anattato). Karakteristik penderitaan disebutkan dalam enam kata lainnya: penderitaan (dukkhato), penyakit (rogato), bisul (gaṇḍato), anak panah (sallato), kemalangan (aghato), dan kesengsaraan (ābādhato). ↩︎

  2. Mp: “Ia mengarahkan pikiran pandangan terang (vipassanācitta) pada elemen tanpa-kematian yang tidak terkondisi melalui mendengar, melalui pujian, melalui pembelajaran, dan melalui konsep sebagai berikut: ‘Nibbāna adalah damai.’ Ia mengarahkan pikiran sang jalan (maggacitta) pada nibbāna hanya dengan membuatnya sebagai objek (ārammaṇakaraṇavasen’eva), bukan dengan mengatakan, ‘Ini damai, ini luhur.’ Maksudnya adalah bahwa ia mengarahkan pikirannya ke sana, menembusnya dengan cara ini.” ↩︎

  3. Ten’eva dhammarāgena tāya dhammanandiyā. Mp: “Dengan keinginan dan kemelekatan pada Dhamma ketenangan dan pandangan terang. Demikian pula untuk ‘kesenangan dalam Dhamma.’ Jika ia dapat sepenuhnya memadamkan keinginan dan kemelekatan pada ketenangan dan pandangan terang, maka ia mencapai Kearahattaan. Jika tidak, maka ia menjadi seorang yang-tidak-kembali.” Mp-ṭ: “Setelah meninggalkan keinginan dan nafsu pada ketenangan dan pandangan terang yang mengarah pada sang jalan yang lebih rendah, jika ia tidak mampu memadamkan keinginan akan [ketenangan dan pandangan terang] yang mengarah pada jalan tertinggi, maka ia kokoh dalam tingkat yang-tidak-kembali.” ↩︎

  4. Baca 4:181, 4:196↩︎

  5. Perhatikan bahwa rūpa, bentuk, dihilangkan dalam menjelaskan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk. Mp: “Dalam pencapaian tanpa bentuk di sana sama sekali tidak ada bentuk; sehubungan dengan hal ini, maka bentuk tidak termasuk.” ↩︎

  6. Mp: “Mengapakah landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan? Karena kehalusannya. Empat kelompok unsur kehidupan tanpa bentuk dalam [pencapaian] itu begitu halus sehingga tidak mudah diamati [melalui pandangan terang]. Karena itu [persis di bawah] Sang Buddha mengatakan: ‘Ada penembusan pada pengetahuan akhir sejauh pencapaian-pencapaian meditatif yang disertai dengan jangkauan persepsi.’ Ini maksudnya adalah: ‘Hingga sejauh di mana ada pencapaian yang disertai oleh pikiran (sacittakasamāpatti; citta di sini diduga berarti “kesadaran jelas dan jernih”), ada penembusan pada pengetahuan akhir ketika seseorang menyelidiki [melalui pandangan terang] fenomena-fenomena kasar itu, yaitu, ia mencapai Kearahattaan. Tetapi karena kehalusannya, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak disebutkan sebagai pencapaian yang disertai dengan persepsi.” ↩︎

  7. Ada beberapa perbedaan antara tulisan-tulisan pada Ce, Ee, dan Be. Saya mengikuti Ce: jhāyih’ete bhikkhave bhikkhūhi samāpattikusalehi samāpattivuṭṭhānakusalehi samāpajjitvā vuṭṭhahitvā samakkhātabbānī ti vadāmi. Ee pada dasarnya sepakat dengan Ce tetapi menuliskan jhāyi h’ete, seolah-olah memiliki subjek nominatif yang diikuti dengan penegasan hi. Mp: “Dijelaskan berarti dinyatakan dengan benar, dijelaskan, ditinggikan, dipuji hanya sebagai ‘damai dan luhur’” (samakkhātabbānī ti sammā akkhātabbāni, “santāni paṇittānī” ti evaṃ kevalaṃ ācikkhitabbāni thometabbāni vaṇṇetabbāni). ↩︎