easter-japanese

Dua brahmana ahli kosmologi1 mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka telah mengakhiri ramah-tamah ini, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, Pūraṇa Kassapa mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas.’ [429] Tetapi Nigaṇṭha Nātaputta juga mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai terbatas.’2 Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?”

“Cukup, brahmana, biarkanlah itu: ‘Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang keliru?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengarkan dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Tuan,” para brahmana itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Misalkan, brahmana, ada empat orang yang berdiri di empat penjuru memiliki gerakan3 dan kecepatan yang luar biasa dan langkah yang luar biasa. Kecepatan mereka bagaikan kecepatan sebatang anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah dengan busur yang kuat – seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman4 - menembus bayangan pohon palem. Langkah mereka sedemikian sehingga dapat menjangkau dari samudra timur hingga samudra barat. Kemudian orang yang berdiri di arah timur berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia.5 [430] Kemudian orang yang berdiri di arah barat berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah utara berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah selatan berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia. Karena alasan apakah? Aku katakan, brahmana, bahwa dengan berlari6 seperti ini seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai ujung dunia. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai ujung dunia maka tidak akan dapat mengakhiri penderitaan.

“Lima objek kenikmatan indria ini, brahmana, disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indria, menggoda; suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indria, menggoda. Kelima objek kenikmatan indria ini disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia.

(1) “Di sini, brahmana, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ [431]

(2)-(4) “Kemudian, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(5) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(6)-(8) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’

(9) “Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ini disebut seorang bhikkhu yang, [432] setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia, seorang yang telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”


Catatan Kaki
  1. Lokāyatikā brāhmaṇā. Baca SN 12:48, II 77. Biasanya, lokāyatika digambarkan sebagai penganut materialisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator tentang dunia. ↩︎

  2. Terjemahan saya tidak mengikuti edisi mana pun dari ketiga edisi yang ada, yang semuanya meragukan. Dalam Be kedua guru mengaku mengetahui sebuah dunia yang tanpa batas dengan pengetahuan yang tanpa batas. Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena anantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta [guru Jain, Mahāvīra] menggunakan kata-kata yang persis sama. Karena hal ini secara langsung berlawanan dengan pernyataan (dalam semua edisi) bahwa keduanya membuat pengakuan yang saling berlawanan (ubhinnaṃ aññamaññaṃ vipaccanīkavādānaṃ), maka Be pasti keliru di sini. Kekeliruan ini pasti sudah terjadi sejak lama, karena beberapa naskah Burma dan Siam (yang dirujuk dalam catatan Ee) juga mencantumkan tulisan yang sama.

    Dalam Ce dan Ee Pūraṇa Kassapa berkata: ahaṃ anantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi, dan Nātaputta berkata: ahaṃ antavantena ñāṇena antavantaṃ lokaṃ jānaṃ passaṃ viharāmi. Tulisan ini juga, tampaknya keliru. Pertama, tulisan ini mengatakan bahwa Nātaputta mengaku memiliki pengetahuan terbatas, walaupun diketahui bahwa ia mengaku maha-tahu atau memiliki pengetahuan tanpa batas. Ke dua, walaupun mengatakan bahwa kedua guru itu mengaku memiliki jangkauan pengetahuan yang berbeda, namun kesimpulan mereka atas dunia adalah sama. Kontradiksi sebenarnya hanya akan terjadi jika satu guru menyatakan bahwa dunia adalah tanpa batas dan guru lainnya mengatakan terbatas. Saya berpendapat bahwa keduanya mengaku memiliki pengetahuan tanpa batas (anantena ñāṇena) tetapi berbeda sehubungan dengan jangkauan dunia. Karena kaum Jain sesungguhnya menganut bahwa dunia adalah terbatas dan juga tidak terbatas (baca di bawah), maka saya menganggap bahwa brahmana itu memahami bahwa Nātaputta menganut dalil bahwa dunia adalah terbatas, dan dengan demikian menganggap lawannya, Pūraṇa Kassapa, menganut dalil bahwa dunia adalah tidak terbatas. Kita tidak memiliki sumber lain atas pemikiran Pūraṇa yang dengannya kita dapat memahami kosmologinya. Di tempat lain inti filosofi Pūraṇa dikatakan adalah doktrin tidak-berbuat (DN 2.17, I 52,21-53,4) atau tesis bahwa makhluk-makhluk menjadi kotor dan murni tanpa penyebab, atau bahwa tidak ada penyebab bagi pengetahuan dan penglihatan (SN 46:56, V 126,26-30). Pada 6:57 suatu sistem enam kelompok orang disebutkan berasal darinya.

    Pandangan Mahāvīra atas dunia ini dijelaskan dalam “Various topics prepared on Jain History by Dr. K.C. Jain and his team” (http://www.jainworld.com/literature/jainhistory/chapter4.asp):

    “Adalah sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan [tentang dunia] ini maka Mahāvīra menyatakan: ‘Dari alternatif-alternatif ini, kalian tidak dapat sampai pada kebenaran; dari alternatif-alternatif ini, kalian pasti [tersesat]. Dunia ini abadi sejauh bagian lapisan bawah (dravya) dari “dunia”; tidak abadi sejauh keadaannya yang senantiasa berubah.’ Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, nasihat Mahāvīra kepada para siswanya adalah tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa dunia adalah abadi juga tidak mendukung mereka yang berpendapat bahwa dunia adalah tidak abadi. Ia pasti mengatakan hal yang sama sehubungan dengan dalil-dalil seperti dunia eksis dan tidak eksis; dunia tidak berubah; dunia terus-menerus berubah; dunia memiliki awal; dunia tidak memiliki awal; dunia memiliki akhir; dunia tidak memiliki akhir; dan sebagainya.” (cetak miring oleh saya). ↩︎

  3. Be tidak mencantumkan paramāya gatiyā, yang terdapat dalam Ce dan Ee. ↩︎

  4. Daḷhadhammā dhanuggaho sikkhito katahattho katūpāsano. Komentar Mp atas kata-kata ini agak berbeda dengan komentarnya pada 4:45 (baca Jilid 2 p.325-26, catatan 107 dan 108). Di sini Mp mengatakan: “Pemanah dengan busur yang kuat (daḷhadhammā dhanuggaho): seorang pemanah yang telah memegang sebuah busur kokoh. Sebuah ‘busur kokoh’ (daḷhadhanu) disebut ‘berkekuatan dua ribu’ (dvisahassathāmaṃ): sebuah busur yang dengannya seseorang dapat merentang anak panah dengan kepala yang terbuat dari suatu logam seperti perunggu atau timah, dan sebagainya, memasangkan lekukannya pada talinya, menggenggam pegangan busur dan menarik talinya sepanjang batang anak panah, dan menembakkan anak panah itu dari atas tanah. Terlatih (sikkhito): mereka telah mempelajari keterampilan itu dalam perguruan guru mereka selama sepuluh atau dua belas tahun. Terampil (katahattho): seorang yang sekedar telah mempelajari keterampilan ini masih belum terampil, mereka terampil ketika telah mencapai penguasaan atas keterampilan ini. Berpengalaman (katūpāsano): seorang yang telah memperlihatkan keterampilan ini di lapangan kerajaan, dan sebagainya.” ↩︎

  5. Seperti pada 4:45 (dan SN 2:26, I 61-62). ↩︎

  6. Teks menuliskan evarūpāya sandhāvanikāya di sini, sedangkan 4:45 menuliskan gamanena. Mp mengemas padasā dhāvanena, “berlari dengan kaki.” ↩︎