easter-japanese

“Misalkan, para bhikkhu, ada seekor sapi gunung yang dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.1 Ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Ia akan melangkahkan kaki depannya, dan selagi kaki depannya belum kokoh, ia mengangkat kaki belakangnya. Ia tidak akan bisa pergi ke wilayah di mana ia belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah ia makan sebelumnya, meminum air yang belum pernah ia minum sebelumnya; dan ia tidak akan bisa kembali dengan selamat ke wilayah di mana ia menetap ketika ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Karena alasan apakah? Karena sapi gunung itu dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

“Demikian pula, seorang bhikkhu di sini adalah dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil, ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan. Ia tidak menekuni objek itu,2 tidak mengembangkan dan melatihnya, tidak berfokus padanya dengan baik.

“Ia berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua [419] …’ Tetapi ia tidak dapat masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Kemudian ia berpikir: ‘Dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna pertama …’ Tetapi ia tidak dapat masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang telah tergelincir dari keduanya,3 terjatuh dari keduanya. Ia persis seperti sapi gunung yang dungu, tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

“Misalkan, para bhikkhu, ada seekor sapi gunung yang bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil dalam berjalan di pegunungan kasar. Ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Ketika ia melangkahkan kaki depannya, ia akan menjejakkannya dengan kokoh, kemudian ia mengangkat kaki belakangnya. Ia akan bisa pergi ke wilayah di mana ia belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah ia makan sebelumnya, meminum air yang belum pernah ia minum sebelumnya; dan ia akan kembali dengan selamat ke wilayah di mana ia menetap ketika ia berpikir: ‘Aku harus pergi ke wilayah di mana aku belum pernah pergi ke sana sebelumnya, memakan rumput yang belum pernah kumakan sebelumnya, meminum air yang belum pernah kuminum sebelumnya.’ Karena alasan apakah? Karena sapi gunung itu bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil dalam berjalan di pegunungan kasar.

(1) “Demikian pula, seorang bhikkhu di sini bijaksana, kompeten, berpengalaman, dan terampil ketika, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(2) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua …’ Tanpa melukai4 jhāna ke dua, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(3) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan memudarnya sukacita [420] … aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga …’ Tanpa melukai jhāna ke tiga, dengan memudarnya sukacita ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(4) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … aku akan masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat …’ Tanpa melukai jhāna ke empat, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan … ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat … Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(5) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] “ruang adalah tanpa batas,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas.’ Tanpa melukai landasan ruang tanpa batas, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk … ia masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(6) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] “kesadaran adalah tanpa batas,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas.’ Tanpa melukai landasan kesadaran tanpa batas, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas … ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(7) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] “tidak ada apa-apa,” aku akan masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.’ Tanpa melukai landasan kekosongan, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas … ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, dan berfokus padanya dengan baik.

(8) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, aku akan masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Tanpa melukai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia menekuni objek itu, mengembangkan dan melatihnya, [421] dan berfokus padanya dengan baik.

(9) “Kemudian ia berpikir: ‘Dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, aku akan masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.’ Tanpa melukai lenyapnya persepsi dan perasaan, dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu masuk dan keluar dari tiap-tiap pencapaian meditatif ini, pikirannya menjadi lunak dan lentur. Dengan pikiran yang lunak dan lentur, konsentrasinya menjadi tanpa batas dan terkembang dengan baik. Dengan konsentrasi yang tanpa batas dan terkembang dengan baik, keadaan apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung dengan mengarahkan pikirannya untuk merealisasikannya, ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, aku menjadi banyak … [di sini dan di bawah lengkap seperti pada 6:2] … semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami … pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau … dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai. [422]

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia berkehendak: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, setelah merealisasikannya untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”


Catatan Kaki
  1. Dikutip pada Vism 153,17-154,8, Ppn 4.130, sebagai sebuah kesaksian bahwa seseorang pertama-tama harus menguasai jhāna yang baru saja ia capai sebelum mencoba memasuki jhāna yang lebih tinggi berikutnya. ↩︎

  2. Taṃ nimittaṃ. Mp: “Objek yang terdapat dalam jhāna pertama” (tam paṭhamajjhānasaṅkhātaṃ nimittaṃ). ↩︎

  3. Ubhato bhaṭṭho. Bhaṭṭha adalah bentuk kata kerja pasif dari bhassati, menjatuhkan, terkulai, tergelincir. ↩︎

  4. Anabhihisamāno. Saya hanya memberikan terjemahan literal. Berdasarkan pada konteks yang maknanya saya pahami bahwa ia tidak memaksa dirinya untuk secara prematur mencapai pencapaian yang lebih tinggi melainkan menguasai yang sebelumnya sebelum berpindah ke yang berikutnya. ↩︎