easter-japanese

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Yang Mulia Sāriputta dan Yang Mulia Candikāputta sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, taman suaka tupai. Di sana Yang Mulia Candikāputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Candikāputta berkata sebagai berikut: “Teman-teman, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan melalui pikiran1 maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: [403] “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi menjadi makhluk apa pun.”’”

Kemudian Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Candikāputta: “Teman, Candikāputta, bukan begitu Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Melainkan, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran,2 maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Candikāputta berkata kepada para bhikkhu: “Teman-teman, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan melalui pikiran maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’”

Untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Yang Mulia Candikāputta: “Teman, Candikāputta, bukan begitu Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Melainkan, Devadatta mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Ketika, teman-teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran, maka adalah selayaknya baginya untuk menyatakan: “Aku memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali menjadi makhluk apa pun.”’

“Dan bagaimanakah, teman, pikiran seorang bhikkhu dikokohkan dengan baik melalui pikiran? [404] (1) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa nafsu.’ (2) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa kebencian.’ (3) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tanpa delusi.’ (4) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada nafsu.’ (5) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada kebencian.’ (6) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada delusi.’ (7) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-indria.’ (8) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-berbentuk.’ (9) Pikirannya dikokohkan dengan baik melalui pikiran [ketika ia mengetahui]: ‘Pikiranku tidak tunduk pada penjelmaan alam-tanpa-bentuk.’3

“Ketika, teman, seorang bhikkhu terbebaskan dengan sempurna dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan penglihatan, bentuk-bentuk itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh.4 Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya. Bahkan jika suara-suara yang kuat yang dapat dikenali oleh telinga masuk dalam jangkauan pendengaran … Bahkan jika bau-bauan yang kuat yang dapat dikenali oleh hidung masuk dalam jangkauan penciuman … Bahkan jika rasa-rasa kecapan yang kuat yang dapat dikenali oleh lidah masuk dalam jangkauan pengecapan … Bahkan jika objek-objek sentuhan yang kuat yang dapat di kenali oleh badan masuk dalam jangkauan sentuhan badan … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.

“Misalkan, teman, terdapat sebuah pilar batu setinggi delapan meter.5 Empat meter tertanam di dalam tanah dan empat meter di atas tanah. Jika hujan badai yang kencang datang dari timur, hujan badai itu tidak akan mengguncangnya atau menggoyangnya, [405] mengayunnya, dan menggetarkannya;6 jika hujan badai yang kencang datang dari barat … dari utara … dari selatan, hujan badai itu tidak akan mengguncangnya atau menggoyangnya, mengayunnya, dan menggetarkannya. Karena alasan apakah? Karena pilar batu itu tertanam dalam di dalam tanah dan tertanam dengan kokoh. Demikian pula, ketika seorang bhikkhu terbebaskan dengan sempurna dalam pikiran, bahkan jika bentuk-bentuk yang kuat yang dapat dikenali oleh mata masuk dalam jangkauan penglihatan … Bahkan jika fenomena-fenomena yang kuat yang dapat dikenali oleh pikiran masuk dalam jangkauan pikiran, fenomena-fenomena itu tidak menguasai pikirannya; pikirannya sama sekali tidak terpengaruh. Pikirannya tetap kokoh, mencapai ketanpa-gangguan, dan ia mengamati lenyapnya.”


Catatan Kaki
  1. Tiga edisi saling berbeda di sini. Saya mengikuti Ce bhikkhuno cetasā cittaṃ paricitaṃ hoti. Ee menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti, Be bhikkhuno cetasā citaṃ hoti. Citaṃ muncul berkali-kali dalam Be, jelas merupakan kesengajaan. Mp (Ce): “Satu putaran proses pikiran dibangun, ditingkatkan, oleh putaran proses pikiran lainnya” (cittācārapariyāyena cittācārapariyāyo cito vaḍḍhito hoti). Mp (Be) menuliskan cittavāra – pada tempat cittācāra -. ↩︎

  2. Seluruh tiga edisi menuliskan bhikkhuno cetasā cittaṃ suparicitaṃ hoti. Tetapi perhatikan bahwa dalam Ee, pernyataan Sāriputta tentang cara mengajar Devadatta tidak berbeda dengan pernyataan Candikāputta di atas. Keduanya mengatakan suparicitaṃ hoti. Mengherankan bahwa sutta ini tampaknya menyetujui ajaran Devadatta. Biasanya kita akan mengharapkannya dicela karena mengajarkan versi Dhamma yang menyimpang. Mungkin kejadian ini terjadi sebelum Devadatta melakukan perpecahan. ↩︎

  3. §§4-6, dalam Pāli, asarāgadhammaṃ, asadosadhammaṃ, asamohadhammaṃ. Mp tidak mengemasnya, tetapi intinya tampaknya adalah bahwa bagi Arahant nafsu, kebencian, dan delusi bahkan tidak mampu muncul kembali. §§7-9 menyinggung ketiga alam kehidupan. ↩︎

  4. Seperti pada 6:55, tetapi dengan perumpamaan berbeda. ↩︎

  5. Teks mengatakan silāyūpo soḷasakukkuko, sebuah pilar batu setinggi enam belas kukku. Menurut DOP, satu kukku adalah 45 cm, sekitar setengah meter. Dengan demikian pilar itu kurang lebih delapan meter. ↩︎

  6. Jumlah kata-kata kerja berbeda antar edisi. Ce, yang saya ikuti, mencantumkan empat: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampakampeyya na sampavedheyya (tetapi Ce menyingkat dua arah pertengahan dan menghilangkan kata kerja terakhir sehubungan dengan pengulangan terakhir, jelas adalah kekeliruan editorial). Ee mencantumkan tiga: n’eva naṃ kampeyya na saṅkampeyya na sampavedheyya. Be hanya menggunakan dua kata kerja: n’eva naṃ saṅkampeyya na sampavedheyya, tetapi tiga dalam perumpamaan pada 6:55. ↩︎