easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Teratai Gaggārā. Kemudian sejumlah umat awam dari Campā mendatangi Yang Mulia Sāriputta, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:

“Bhante Sāriputta, sudah lama sejak kami mendengar khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā. Baik sekali, Bhante, jika kami dapat mendengar sebuah khotbah Dhamma dari Beliau.”

“Kalau begitu, teman-teman, kalian harus datang pada hari uposatha. Mungkin kalian dapat mendengar sebuah khotbah Dhamma dari Sang Bhagavā.”

“Baik, Bhante,” para umat awam itu menjawab. Kemudian, setelah bangkit dari duduknya, mereka bersujud kepada Yang Mulia Sāriputta, mengelilinginya dengan sisi kanan mereka menghadap Yang Mulia Sāriputta, dan pergi.

Kemudian, pada hari uposatha, para umat awam dari Campā itu mendatangi Yang Mulia Sāriputta, bersujud kepadanya, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta, bersama-sama dengan para umat awam itu, mendatangi Sang Bhagavā. Mereka bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Beliau: [60]

“Mungkinkah, Bhante, bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar? Dan mungkinkah bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar?”

“Mungkin saja, Sāriputta, bahwa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar. Dan mungkin saja suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar.”

“Bhante, mengapakah satu pemberian tidak berbuah dan tidak bermanfaat besar sedangkan yang lainnya berbuah dan bermanfaat besar?”

(1) “Di sini, Sāriputta, seseorang memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, dengan pikiran melekat, mengharapkan imbalan; ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Ia memberikan pemberian itu kepada seorang petapa atau brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga; wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Bagaimana menurutmu, Sāriputta? Mungkinkah seseorang memberikan pemberian demikian?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Dalam kasus itu, Sāriputta, ia memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, dengan pikiran melekat, mengharapkan imbalan; ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian; ia terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang diperintah oleh] empat raja dewa. [61] Setelah habisnya kamma, kekuatan batin, keagungan, dan kekuasaan itu, ia kembali pada kondisi makhluk ini.

(2) “Tetapi, Sāriputta, seseorang tidak memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, tidak dengan pikiran melekat, tidak mengharapkan imbalan; ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Melainkan, ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik.’ …

(3) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum ayah dan kakekku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lampau ini’ …

(4) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum … aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lampau ini,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak; orang-orang ini tidak memasak. Tidaklah benar bahwa aku yang memasak tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak’ …

(5) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak … kepada mereka yang tidak memasak,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Aṅgīrasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu – mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan memberikan suatu pemberian.’ …1

(6) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau … mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan [62] memberikan suatu pemberian,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenteram, dan sukacita dan kegembiraan muncul.’ …

(7) “Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenteram, dan sukacita dan kegembiraan muncul,’ melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ini adalah suatu hiasan pikiran, suatu perlengkapan pikiran.’2 Ia memberikan pemberian itu kepada seorang petapa atau brahmana: makanan dan minuman; pakaian dan kendaraan; kalung bunga, wangi-wangian, dan salep; tempat tidur, tempat tinggal, dan penerangan. Bagaimana menurutmu, Sāriputta? Mungkinkah seseorang memberikan pemberian demikian?”

“Mungkin saja, Bhante.”

“Dalam kasus itu, Sāriputta, ia tidak memberikan suatu pemberian dengan pengharapan, tidak dengan pikiran melekat, tidak mengharapkan imbalan; ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Setelah meninggal dunia, aku akan memanfaatkannya.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi adalah baik.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Memberi dipraktikkan sebelum ayah dan kakekku; aku tidak boleh meninggalkan kebiasaan masa lalu ini.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Aku memasak; orang-orang ini tidak memasak. Tidaklah benar bahwa aku yang memasak tidak memberi kepada mereka yang tidak memasak.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Seperti halnya para bijaksana masa lampau … mengadakan pengorbanan besar itu, demikian pula aku akan memberikan suatu pemberian.’ Ia tidak memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ketika aku sedang memberikan suatu pemberian pikiranku menjadi tenang, dan sukacita dan kegembiraan muncul.’ Melainkan ia memberikan suatu pemberian, [dengan berpikir]: ‘Ini adalah suatu hiasan pikiran, suatu perlengkapan pikiran.’ Setelah memberikan pemberian demikian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva kumpulan Brahmā. [63] Setelah habisnya kamma, kekuatan batin, keagungan, dan kekuasaan itu, ia tidak kembali pada kondisi makhluk ini.

“Ini, Sāriputta, adalah alasan mengapa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini tidak berbuah dan bermanfaat besar. Dan ini adalah alasan mengapa suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang di sini berbuah dan bermanfaat besar.”


Catatan Kaki
  1. Ini adalah para Resi brahmana masa lampau yang dianggap sebagai penggubah himne-himne Veda. Mereka disebutkan dalam kapasitas ini pada 5:192, III 224,5-6 dan 229,28-230,1, dan pada DN I 238,21-23, dan MN II 169,29-31. ↩︎

  2. Ketiga edisi memiliki perbedaan kecil dalam tulisan. Saya mengikuti Ce cittālaṅkāraṃ cittaparikkhāranti. Baik Be maupun Ee tidak mencantumkan tanda kutipan ti. Mp: “Ini adalah sebuah hiasan, sebuah perlengkapan, dari pikiran yang berhubungan dengan ketenangan dan pandangan terang” (samathavipassanācittassa). ↩︎