easter-japanese

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan.1 Dengarkan …

“Dan apakah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan itu?

“Seorang perempuan, para bhikkhu, secara internal memperhatikan indria kefemininannya, sikap kefemininannya, penampilan kefemininannya, aspek kefemininannya, keinginan kefemininannya, suara kefemininannya, riasan kefemininannya.2 Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, karena menyenanginya¸ maka ia secara eksternal memperhatikan indria kemaskulinan, sikap kemaskulinan, penampilan kemaskulinan, aspek kemaskulinan, keinginan kemaskulinan, suara kemaskulinan, riasan kemaskulinan [dari seorang laki-laki]. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, karena menyenanginya¸ maka ia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang menyenangi kefemininan mereka memasuki penyatuan dengan para laki-laki. Dengan cara inilah seorang perempuan tidak melampaui kefemininannya.

“Seorang laki-laki, para bhikkhu, secara internal memperhatikan indria kemaskulinannya, sikap kemaskulinannya, penampilan kemaskulinannya, aspek kemaskulinannya, keinginan kemaskulinannya, suara kemaskulinannya, riasan kemaskulinannya. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, karena menyenanginya¸ maka ia secara eksternal memperhatikan indria kefemininan, sikap kefemininan, penampilan kefemininan, aspek kefemininan, keinginan kefemininan, suara kefemininan, riasan kefemininan [dari seorang perempuan]. Ia menjadi tergerak oleh hal-hal ini, menyenanginya. Karena tergerak oleh hal-hal itu, karena menyenanginya¸ maka ia menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang menyenangi kemaskulinan mereka memasuki penyatuan dengan para perempuan. [58] Dengan cara inilah seorang laki-laki tidak melampaui kemaskulinannya.

“Ini adalah bagaimana penyatuan terjadi. Dan bagaimanakah perpisahan terjadi?

“Seorang perempuan, para bhikkhu, tidak secara internal memperhatikan indria kefemininannya … riasan kefemininannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, karena tidak menyenanginya¸ maka ia tidak secara eksternal memperhatikan indria kemaskulinan [dari seorang laki-laki] … riasan kemaskulinannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, karena tidak menyenanginya, maka ia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga tidak menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang tidak menyenangi kefemininan mereka menjadi terpisah dari para laki-laki. Dengan cara inilah seorang perempuan melampaui kefemininannya.

“Seorang laki-laki, para bhikkhu, tidak secara internal memperhatikan indria kemaskulinannya … riasan kemaskulinannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, karena tidak menyenanginya¸ maka ia tidak secara eksternal memperhatikan indria kefemininan [dari seorang perempuan] … riasan kefemininannya. Ia tidak menjadi tergerak oleh hal-hal ini dan tidak menyenanginya. Karena tidak tergerak oleh hal-hal itu, karena tidak menyenanginya¸ maka ia tidak menginginkan penyatuan secara eksternal, dan ia juga tidak menginginkan kenikmatan dan kegembiraan yang muncul karena penyatuan itu. Makhluk-makhluk yang tidak menyenangi kemaskulinan mereka menjadi terpisah dari para perempuan. Dengan cara inilah [59] seorang laki-laki melampaui kemaskulinannya.

“Ini adalah bagaimana keberpisahan terjadi.

“Ini, para bhikkhu, adalah khotbah Dhamma tentang penyatuan dan keberpisahan itu.”


Catatan Kaki
  1. Saṃyogavisaṃyogaṃ dhammapariyāyaṃ. Gelar ini juga dapat diterjemahkan “hubungan dan keterputusan.” ↩︎

  2. Dalam Pali: itthikkuttaṃ, itthākappaṃ, itthividhaṃ, itthicchandaṃ, itthissaraṃ, itthālaṅkāraṃ. Jelas bahwa tujuh kata ini, dan padanan maskulinnya (dengan purisa pada posisi itthi), yang menjelaskan dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Tujuh. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada kemasan yang diberikan oleh Mp. ↩︎