easter-japanese

Brahmana Jāṇussoṇī mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau … dan berkata kepada Beliau:

“Apakah Guru Gotama mengaku sebagai seorang yang menjalani kehidupan selibat?”1

“Jika, Brahmana, seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang orang lain: ‘Ia menjalani kehidupan selibat yang lengkap dan murni – tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak,’ adalah tentang Aku orang itu dapat mengatakan hal ini. Karena Aku menjalani kehidupan selibat yang lengkap dan murni - tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa bercak.”

“Tetapi apakah, Guru Gotama, pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat?”

(1) “Di sini, Brahmana, seorang petapa atau brahmana, mengaku selibat dengan sempurna, tidak benar-benar melakukan hubungan seksual dengan para perempuan. Tetapi ia setuju digosok, dipijat, dimandikan, dan diremas oleh mereka. Ia menikmati hal ini, menginginkannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini adalah pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat. Ia disebut seorang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, seorang yang terbelenggu oleh ikatan seksualitas. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan. [55]

(2) “Kemudian, seorang petapa atau brahmana, mengaku selibat dengan sempurna, tidak benar-benar melakukan hubungan seksual dengan para perempuan; juga ia tidak setuju digosok, dipijat, dimandikan, dan diremas oleh mereka. Tetapi ia bersenda-gurau dengan para perempuan, bermain-main dengan mereka, dan menghibur diri dengan mereka. …

(3) “… ia tidak bersenda-gurau dengan para perempuan, tidak bermain-main dengan mereka, dan tidak menghibur diri dengan mereka … tetapi ia memandang dan menatap langsung ke mata mereka. …

(4) “… ia tidak memandang atau menatap langsung ke mata mereka … tetapi ia mendengarkan suara-suara mereka di balik tembok atau melalui dinding ketika mereka tertawa, berbicara, bernyanyi, atau menangis. …

(5) “… ia tidak mendengarkan suara-suara mereka di balik tembok atau melalui dinding ketika mereka tertawa, berbicara, bernyanyi, atau menangis … tetapi ia mengingat ketika tertawa, berbicara, dan bermain dengan mereka di masa lalu. …

(6) “ … ia tidak mengingat ketika tertawa, berbicara, dan bermain dengan mereka di masa lalu … tetapi ia melihat seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga yang memiliki dan menikmati kelima utas kenikmatan indria. …

(7) “… ia tidak melihat seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga yang memiliki dan menikmati kelima utas kenikmatan indria, tetapi ia menjalani kehidupan spiritual dengan cita-cita agar [terlahir kembali] dalam sekelompok deva tertentu, [dengan berpikir]: ‘Dengan perilaku bermoral ini, pelaksanaan ini, latihan keras ini, atau kehidupan spiritual ini aku akan menjadi deva atau salah satu [pengikut] para deva.’ Ia menikmati hal ini, menginginkannya, dan mendapatkan kepuasan di dalamnya. Ini juga adalah pelanggaran, cacat, noda, dan bercak dari kehidupan selibat. Ia disebut [56] seorang yang menjalani kehidupan selibat yang tidak murni, seorang yang terbelenggu oleh ikatan seksualitas. Ia tidak terbebaskan dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan; ia tidak terbebaskan dari penderitaan, Aku katakan.

“Selama, Brahmana, Aku melihat bahwa Aku belum meninggalkan satu atau lainnya dari ketujuh belenggu seksualitas ini, Aku tidak mengaku telah tercerahkan sempurna hingga penerangan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika Aku tidak melihat bahkan satu pun dari ketujuh belenggu seksualitas ini yang belum Kutinggalkan, maka Aku mengaku telah tercerahkan sempurna hingga penerangan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini bersama dengan … para deva dan manusia.

“Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan pikiranKu tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiranKu yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.’”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇī berkata kepada Sang Bhagavā: “Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga seumur hidup.” [57]


Catatan Kaki
  1. Mp: “Dikatakan bahwa ia berpikir: ‘Dalam sistem para brahmana, seseorang menjalani kehidupan selibat selama empat puluh delapan tahun mempelajari Veda. Tetapi Petapa Gotama, hidup di rumah, menikmati tiga jenis gadis-gadis penari dalam tiga istana. Apakah sekarang yang akan Beliau katakan?’ Demikianlah ia bertanya dengan merujuk pada hal ini. Kemudian Sang Bhagavā, seolah-olah mengendalikan seekor ular hitam dengan mantra atau seolah-olah menginjak leher musuh dengan kakiNya, mengaumkan auman singaNya. Beliau menunjukkan bahwa bahkan selama enam tahun berjuang, ketika Beliau masih memiliki kekotoran-kekotoran, tidak sekali pun pemikiran muncul padanya sehubungan dengan kenikmatan kekuasaan atau gadis-gadis penari di istanaNya.” ↩︎