easter-japanese

Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Udāyī berdiam diri. Untuk ke dua kalinya … Untuk ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Udāyī, ada berapakah subjek pengingatan itu?” Dan untuk ke tiga kalinya Yang Mulia Udāyī berdiam diri.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Udāyī: “Sang Guru sedang berbicara denganmu, teman Udāyī.”

“Aku mendengarNya, teman Ānanda. [323]

“Di sini, Bhante seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [seperti pada 6:2] … Demikianlah ia mengingat banyak kehidupan lampaunya dengan aspek-aspek dan rinciannya. Ini, Bhante, adalah sebuah subjek pengingatan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Ānanda: “Aku tahu, Ānanda, bahwa manusia kosong Udāyī ini tidak menekuni pikiran yang lebih tinggi.1 Ada berapakah subjek pengingatan itu, Ānanda?”

“Ada, Bhante, lima subjek pengingatan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Bhante, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju keberdiaman yang berbahagia dalam kehidupan ini.2

(2) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya; ia berfokus pada persepsi siang sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari, demikian pula siang hari.’ Demikianlah, dengan pikiran yang terbuka dan tidak tertutup, ia mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan cahaya.3 Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju pengetahuan dan penglihatan.

(3) “Kemudian, Bhante, seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ke atas dari telapak kaki, ke bawah dari ujung rambut, terbungkus oleh kulit, penuh dengan kotoran: ‘Ada dalam tubuh ini rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, lambung, kotoran, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju ditinggalkannya nafsu indriawi.

(4) “Kemudian, Bhante, misalkan seorang bhikkhu melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pemakaman, satu, dua, [324] atau tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan membusuk. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’4 Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pemakaman, sedang dilahap oleh burung-burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis makhluk hidup. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pemakaman, tulang-belulang dengan daging dan darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terikat oleh urat … tulang-belulang yang berserakan di segala penjuru: di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, dan ada tengkorak. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Atau misalkan ia melihat sesosok mayat yang dibuang di tanah pemakaman, tulang-belulang yang memutih, berwarna kulit kerang … tulang-belulang yang menumpuk, lebih dari setahun … tulang-belulang yang melapuk, remuk menjadi debu. Ia membandingkan tubuhnya sendiri dengan mayat itu sebagai berikut: [325] ‘Tubuh ini juga memiliki sifat yang sama; tubuh ini akan menjadi seperti mayat itu; tubuh ini tidak melampaui itu.’ Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju tercabutnya keangkuhan ‘Aku.’

(5) “Kemudian, Bhante, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju penembusan banyak elemen.5

“Ini, Bhante, adalah kelima subjek pengingatan itu.”

“Bagus, bagus, Ānanda! Oleh karena itu, Ānanda, ingatlah subjek pengingatan ke enam ini juga.

(6) “Di sini, dengan senantiasa penuh perhatian seorang bhikkhu berjalan pergi, dengan senantiasa penuh perhatian ia berjalan kembali, dengan senantiasa penuh perhatian ia berdiri, dengan senantiasa penuh perhatian ia duduk, dengan senantiasa penuh perhatian ia berbaring tidur, dengan senantiasa penuh perhatian ia melakukan pekerjaan. Subjek pengingatan ini, jika dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, akan mengarah menuju perhatian dan pemahaman jernih.”


Catatan Kaki
  1. Adhicittaṃ. Mp: “Pikiran konsentrasi dan pandangan terang.” Bhikkhu Udāyī (Lāḷudāyī) sering kali keliru dalam penjelasannya atas hal-hal doktrin dan karenanya ia ditegur oleh Sang Buddha. ↩︎

  2. Ironisnya, hal ini mungkin adalah tempat satu-satunya dalam Nikāya di mana ketiga jhāna dirujuk sebagai anussatiṭṭhāna, “subjek pengingatan.” Baik teks maupun Mp tidak menjelaskan mengapa jhāna ke empat diletakkan sebagai subjek pengingatan tersendiri, sebagai yang ke lima di sini. Sebenarnya, penggunaan sebutan anussatiṭṭhāna untuk kelima pengingatan yang disebutkan Ānanda, dan ke enam yang ditambahkan oleh Sang Buddha, tampaknya khusus hanya pada sutta ini. ↩︎

  3. Yathā divā tathā rattiṃ, yathā rattiṃ tathā divā. Juga terdapat pada 4:41. Mp menjelaskan: “Seperti halnya siang hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada malam hari. Seperti hal malam hari ia memperhatikan persepsi cahaya, demikian pula ia memperhatikannya pada siang hari. Memperoleh pengetahuan dan penglihatan: ini adalah memperoleh mata dewa, yang disebut pengetahuan dan penglihatan.” ↩︎

  4. Di sini dan di bawah adalah sembilan perenungan tanah pemakaman, seperti dalam Satipaṭṭhāna Sutta, pada DN 22.7-10, II 295-97; MN 10.12-30, I 58-59. ↩︎

  5. Ini pasti merujuk pada jhāna ke empat sebagai landasan bagi enam jenis pengetahuan langsung. ↩︎