easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bhaddiya di Hutan Jātiyā. Kemudian Uggaha, cucu Meṇḍaka, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan tiga orang bhikkhu lainnya1 menerima undangan makan [37] dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian Uggaha, setelah memahami bahwa Sang Bhagavā telah menerima, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Beliau, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, pada pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan mendatangi kediaman Uggaha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Uggaha, cucu Meṇḍaka, melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan lezat.

Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menyingkirkan mangkuknya, Uggaha duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, anak-anak gadisku ini akan pergi ke keluarga-keluarga suami mereka. Sudilah Sang Bhagavā menasihati mereka dan memberikan instruksi dalam suatu cara yang akan mengarahkan mereka kepada kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada gadis-gadis itu:

(1) “Baiklah, gadis-gadis, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kepada suami yang mana pun orangtua kami menyerahkan kami – yang dilakukan karena menginginkan kebaikan kami, mengupayakan kesejahteraan kami, berbelas kasihan pada kami, bertindak demi belas kasihan pada kami – kami harus bangun sebelum ia bangun tidur dan pergi tidur setelah ia pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah laku menyenangkan dan ramah dalam bertutur kata.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(2) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka yang dihormati oleh suami kami – ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana – dan ketika mereka datang kami akan mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(3) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan terampil dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga suami kami, apakah merajut atau menenun; kami akan memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(4) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga suami kami – apakah budak-budak, utusan-utusan, atau [38] para pekerja; dan kami akan mencari tahu kondisi mereka yang sakit; dan kami akan membagikan porsi makanan yang selayaknya kepada mereka masing-masing.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(5) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suami kami – apakah uang atau beras, perak atau emas – dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, membuang-buang atau menghambur-hamburkan pendapatannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

“Ketika, gadis-gadis, seorang perempuan memiliki kelima kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan tubuh yang indah.”2

Ia tidak memandang rendah suaminya, orang yang terus-menerus menyokongnya, yang dengan tekun dan bersemangat selalu membawakan apa pun yang ia inginkan. Seorang perempuan yang baik juga tidak memarahi suaminya dengan kata-kata yang ditimbulkan dari kecemburuan;3 seorang perempuan bijaksana menunjukkan penghormatan kepada mereka semua yang dihormati oleh suaminya. Ia bangun lebih awal, bekerja dengan rajin, mengatur rumah tangga; ia memperlakukan suaminya dengan cara-cara yang menyenangkan dan menjaga kekayaan yang ia peroleh. Seorang perempuan yang memenuhi tugas-tugasnya demikian, mengikuti kehendak dan keinginan suaminya, terlahir kembali di antara para deva yang disebut “mereka yang menyenangkan.”


Catatan Kaki
  1. Attacatuttho. Lit., “[dengan]-diri sendiri-[sebagai]-yang ke empat,” yang berarti bahwa Sang Buddha diundang bersama dengan tiga bhikkhu menyertainya. ↩︎

  2. Manāpakāyikānaṃ devānaṃ. Tidak dapat dipastikan apakah mereka disebut demikian dalam makna bahwa tubuh mereka menyenangkan, atau dalam makna bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah kelompok yang menyenangkan. Kata kāya dapat berarti tubuh fisik atau pun sekelompok. Mp mengidentifikasikan para dewata ini sebagai “para deva yang bersenang-senang dalam penciptaan.” Karena mereka menciptakan bentuk apa pun yang mereka sukai dan bersenang-senang di dalamnya, mereka disebut sebagai “bersenang-senang dalam penciptaan” atau “menyenangkan” (manāpā nāma te devā ti nimmānaratī devā; te hi icchiticchitaṃ rūpaṃ māpetvā abhiramaṇato nimmānaratī ti ca manāpā ti ca vuccanti). Baca 8:46, di mana Sang Buddha menguraikan delapan kondisi yang mengarah menuju kelahiran kembali di tengah-tengah para deva dengan tubuh-menyenangkan. ↩︎

  3. Terdapat berbagai tulisan sehubungan dengan kata majemuk di sini: Ce icchācārena, Be issācārena, Ee issāvādena. Terjemahan saya mengikuti Ee. Yang menarik, pada 8:46, terdapat sebuah syair dengan kuplet identik tetapi dengan tulisan issāvādena dalam seluruh tiga edisi. Suatu pencarian dalam CST 4.0 untuk kata icchācār* menghasilkan banyak temuan atas kata majemuk ini dalam teks komentar tetapi tidak ada dalam teks kanonis. Dengan demikian tampaknya tulisan dalam Ce dipengaruhi oleh kebiasaan penyunting dengan ungkapan komentar. ↩︎