easter-japanese

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā … Sang Bhagavā berkata kepadanya: [66]

“Perumah tangga, ada empat hal ini yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia. Apakah empat ini?

(1) “Seseorang berpikir: ‘Semoga kekayaan mendatangiku dengan cara yang benar!’ Ini adalah hal pertama di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(2) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar, ia berpikir: ‘Semoga kemasyhuran mendatangi aku dan sanak saudaraku dan penahbisku!’1 Ini adalah hal ke dua di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(3) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar dan setelah memperoleh kemasyhuran untuk dirinya dan sanak saudaranya dan penahbisnya, ia berpikir: ‘Semoga aku panjang umur dan menikmati umur panjang!’ Ini adalah hal ke tiga di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

(4) “Setelah memperoleh kekayaan dengan cara yang benar dan setelah memperoleh kemasyhuran untuk dirinya dan sanak saudaranya dan penahbisnya, setelah hidup lama dan menikmati umur panjang, ia berpikir: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga aku terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga!’ Ini adalah hal ke empat di dunia yang diharapkan … dan jarang diperoleh di dunia.

“Ini adalah keempat hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia.

“Ada, perumah tangga, empat hal [lainnya] yang mengarah pada diperolehnya empat hal tadi. Apakah empat ini? Kesempurnaan dalam keyakinan, kesempurnaan dalam perilaku bermoral, kesempurnaan dalam kedermawanan, dan kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, perumah tangga, kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan; ia menempatkan keyakinan dalam pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini adalah kesempurnaan dalam keyakinan.

(2) “Dan apakah kesempurnaan dalam perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh … menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, yang menjadi landasan bagi kelengahan. Ini disebut kesempurnaan dalam perilaku bermoral.

(3) “Dan apakah kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam melepas, menekuni derma, bersenang dalam memberi dan berbagi. Ini disebut kesempurnaan dalam kedermawanan.

(4) “Dan apakah kesempurnaan dalam kebijaksanaan? `[67] Jika seseorang berdiam dengan pikiran dikuasai oleh kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya, maka ia melakukan apa yang seharusnya dihindari dan mengabaikan tugasnya, sehingga kemasyhuran dan kebahagiaannya menjadi rusak. Jika ia berdiam dengan pikiran dikuasai oleh niat buruk … oleh ketumpulan dan kantuk … oleh kegelisahan dan penyesalan … oleh keragu-raguan, maka ia melakukan apa yang seharusnya dihindari dan mengabaikan tugasnya, sehingga kemasyhuran dan kebahagiaannya menjadi rusak.

“Ketika, perumah tangga, seorang siswa mulai telah memahami sebagai berikut: ‘Kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Niat buruk adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Ketumpulan dan kantuk adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Kegelisahan dan penyesalan adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya. Ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Keragu-raguan adalah kekotoran pikiran,’ maka ia meninggalkannya.

“Ketika, perumah tangga, seorang siswa mulai telah memahami sebagai berikut: ‘Kerinduan dan keserakahan yang tidak selayaknya adalah kekotoran pikiran,’ dan telah meninggalkannya; ketika ia memahami sebagai berikut: ‘Niat buruk … Ketumpulan dan kantuk … Kegelisahan dan penyesalan … Keragu-raguan adalah kekotoran pikiran,’ dan telah meninggalkannya, maka ia disebut seorang siswa mulia dengan kebijaksanaan tinggi, dengan kebijaksanaan luas, seorang yang melihat wilayah,2 seorang yang sempurna dalam kebijaksanaan. Ini disebut kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Ini adalah keempat hal [lainnya] yang mengarah pada diperolehnya empat hal yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia.

“Dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, maka siswa mulia itu melakukan empat perbuatan yang layak. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan benar, siswa mulia itu membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara dirinya dalam kebahagiaan; ia membuat orangtuanya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan; ia membuat istri dan anak-anaknya, budak-budak, para pekerja, dan para pelayannya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan; ia membuat teman-teman dan sahabatnya bahagia dan gembira dan dengan benar memelihara mereka dalam kebahagiaan. Ini adalah kasus pertama di mana kekayaan digunakan dengan baik, yang telah dengan benar dimanfaatkan dan digunakan untuk sebab yang layak. [68]

(2) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan benar, siswa mulia itu mempersiapkan perbekalan terhadap kehilangan yang mungkin muncul dari api, banjir, raja-raja, pencuri-pencuri, atau pewaris yang tidak disukai; ia membuat dirinya aman dari hal-hal itu. Ini adalah kasus ke dua yang mana kekayaan digunakan dengan baik … untuk sebab yang layak.

(3) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan benar, siswa mulia itu memberikan lima pengorbanan: kepada sanak saudara, tamu, leluhur, raja, dan para dewata. Ini adalah kasus ke tiga yang mana kekayaan digunakan dengan baik … untuk sebab yang layak.

(4) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat … yang diperoleh dengan benar, siswa mulia itu memberikan persembahan yang lebih tinggi – suatu persembahan yang surgawi,3 yang menghasilkan kebahagiaan, mengarah menuju surga – kepada para petapa dan brahmana itu yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang jinak, tenang, dan berlatih untuk mencapai nibbāna. Ini adalah kasus ke empat yang mana kekayaan digunakan dengan baik, yang telah dengan benar dimanfaatkan dan digunakan untuk sebab yang layak.

“Ini, perumah tangga, adalah keempat perbuatan layak yang dilakukan oleh siswa mulia itu dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha penuh semangat, yang dikumpulkan melalui kekuatan tangannya, yang didapat melalui keringat di alis matanya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar. Ketika seseorang menghabiskan kekayaannya untuk apa pun selain ke empat perbuatan layak ini, maka kekayaan itu dikatakan telah tersia-siakan, telah dihambur-hamburkan, telah digunakan secara sembrono. Tetapi ketika seseorang menghabiskan kekayaannya atas keempat perbuatan layak ini, maka kekayaannya dikatakan tidak tersia-siakan, telah digunakan dengan benar, telah dimanfaatkan untuk sebab yang layak.”

“Aku telah menikmati kekayaan, menyokong mereka yang bergantung padaku, dan mengatasi kesusahan. Aku telah memberikan persembahan yang lebih tinggi dan melakukan lima pengorbanan. Aku telah melayani para bhikkhu bermoral, mereka yang selibat dan terkendali oleh diri sendiri.4

“Aku telah mencapai tujuan apa pun yang diinginkan oleh orang bijaksana, dengan berdiam di rumah, [69] yang menginginkan kekayaan; apa yang kulakukan tidak akan membawa penyesalan padaku.”

Dengan mengingat ini, seorang manusia berdiam kokoh dalam Dhamma mulia. Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini, dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.


Catatan Kaki
  1. Saha ñātīhi saha upajjhāyehi. Dalam budaya monastik Buddhis, seorang upajjhāya adalah seorang bhikkhu senior yang memimpin upacara penahbisan seseorang. Demikianlah penggunaan kata itu di sini, dalam konteks non-monastik, hal ini tidak lazim. Mp menjelaskan kata ini dalam paragraf ini seolah-olah bermakna teman-teman, “karena teman-teman harus mempedulikan kebahagiaan dan penderitaan seseorang (sukhadukkhesu upanijjhāyitabbattā),” tetapi penjelasan ini bergantung pada permainan kata yang tidak meyakinkan. Upajjhāya tidak berhubungan dengan kata kerja upanijjhāyati (Skt upanidhyāyati), “memikirkan, mempertimbangkan,” melainkan dengan kata ajjheti (Skt adhyeti), “mempelajari, belajar dari (seorang guru).” ↩︎

  2. Ce dan Ee āpāthadaso; Be āpātadaso. Mp (Ce): “Ia melihat apa pun yang masuk dalam jangkauan, bahkan sebuah materi kecil yang masuk dalam jangkauan” (taṃ taṃ atthaṃ āpātheti tameva passati, sukhumampissa atthajātaṃ āpāthaṃ āgacchatiyevā ti attho). ↩︎

  3. Di sini Mp mengoreksi turunan sovaggika dari sagga: Saggassa hitā ti tatr’upapattijananato sovaggikā↩︎

  4. Saya membagi syair ini dan syair berikutnya sesuai dengan syair-syair yang bersesuaian pada 5:51. karena Ce disunting oleh beberapa penyunting yang jelas tidak saling bekerja sama, syair-syair yang sama dalam jilid berbeda kadang-kadang dibagi secara berbeda. Pembagian yang digunakan dalam 5:51, yang mengelompokkan beberapa penerapan kekayaan, tampaknya lebih sesuai dengan makna di sini. ↩︎