easter-japanese

“Para bhikkhu, pada malam hari seekor singa, raja binatang buas, keluar dari sarangnya, meregangkan tubuhnya, mengamati empat penjuru sekeliling, dan mengaumkan aumannya tiga kali. Kemudian ia pergi berburu.

“Binatang apa pun yang mendengar auman singa sebagian besar akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan kegentaran. Mereka yang hidup di dalam lubang memasuki lubang mereka; mereka yang hidup di dalam air memasuki air; mereka yang hidup di dalam hutan memasuki hutan; dan burung-burung terbang ke angkasa. Bahkan gajah-gajah kerajaan yang besar, yang terikat erat dengan tali kulit di desa-desa, pemukiman-pemukiman, dan kota-kota besar, memberontak dan memutuskan ikatan mereka hingga hancur; dengan ketakutan, mereka buang air kecil dan air besar dan berlarian dari sana. Sungguh betapa berkuasanya di antara binatang-binatang singa, raja binatang buas itu, begitu agung dan perkasa.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika Sang Tathāgata muncul di dunia, seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, pengenal dunia, pelatih yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci, Beliau mengajarkan Dhamma sebagai berikut: ‘(1) Demikianlah penjelmaan diri, (2) demikianlah asal-mula penjelmaan diri, (3) demikianlah lenyapnya penjelmaan diri, (4) demikianlah jalan menuju lenyapnya penjelmaan diri.’1

“Ketika para deva itu yang berumur panjang, indah, dengan kebahagiaan melimpah, menetap lama di istana-istana agung, mendengar ajaran Dhamma Sang Tathāgata, sebagian besar dari mereka akan merasa ketakutan, merasakan keterdesakan, dan kegentaran sebagai berikut:2 ‘Tampaknya kami sebenarnya adalah tidak kekal, walaupun kami pikir kami adalah kekal; tampaknya kami sebenarnya adalah sementara, walaupun kami pikir kami bertahan selamanya; tampaknya kami sebenarnya adalah tidak abadi, walaupun kami pikir kami adalah abadi. Tampaknya kami adalah tidak kekal, sementara, tidak abadi, yang termasuk dalam penjelmaan diri.’3 Begitu berkuasanya Sang Tathāgata, begitu agung dan perkasanya Beliau di dunia ini bersama dengan para devanya.” [34]

Ketika, melalui pengetahuan langsung, Sang Buddha, Sang Guru, manusia yang tanpa tandingan di dunia ini bersama dengan para devanya, memutar roda Dhamma, [Beliau mengajarkan] penjelmaan diri, lenyapnya, asal mula penjelmaan diri, dan jalan mulia berunsur delapan yang menuntun menuju ditenangkannya penderitaan.

Maka bahkan para deva itu yang berumur panjang – indah, gemerlap dengan keagungan – menjadi ketakutan dan merasakan kegentaran, bagaikan binatang liar yang mendengarkan auman singa. “Tampaknya kami adalah tidak kekal, tidak melampaui penjelmaan diri,” [mereka berkata], ketika mereka mendengar kata Sang Arahant, Yang Stabil yang terbebaskan sepenuhnya.


Catatan Kaki
  1. “Penjelmaan diri” (sakkāya): kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Baca MN 44.2, I 299,8-14; SN 22:105; III 158,3-4. ↩︎

  2. Mp: “‘Sebagian besar’ (yebhuyyena) dikatakan untuk mengecualikan para deva itu yang adalah para siswa mulia. Walaupun mereka mengalami desakan pengetahuan (ñāṇasaṃvega), namun tidak ada ketakutan sama sekali yang muncul pada para Arahant, karena mereka telah mencapai apa yang harus dicapai melalui usaha seksama. Para deva lain, ketika mereka memerhatikan ketidak-kekalan, mereka mengalami baik kekhawatiran maupun ketakutan pikiran (cittutrāsabhaya) dan, pada saat pandangan terang yang kuat, mengalami ketakutan kognitif (ñāṇabhaya).” “Ketakutan kognitif” mungkin adalah tingkat pandangan terang yang disebut “pengetahuan penampakan sebagai menakutkan” (bhayat’upaṭṭhānañāṇa; baca Vism 645-47, Ppn 21.29-34). ↩︎

  3. Mp: “Termasuk dalam penjelmaan diri (sakkāyapariyāpannā): termasuk dalam kelima kelompok unsur kehidupan. Demikianlah, ketika Sang Buddha mengajarkan kepada mereka Dhamma yang disegel dengan ketiga karakteristik, mengungkapkan cacat-cacat dalam lingkaran penjelmaan, maka ketakutan kognitif merasuki mereka.” ↩︎