easter-japanese

“Para bhikkhu, pada suatu ketika Aku sedang menetap di Uruvelā, di bawah pohon banyan penggembala di tepi Sungai Neranjarā, tidak lama setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian sejumlah para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir, mendatangiKu dan saling bertukar sapa denganKu. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah itu, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepadaKu:

“‘Kami telah mendengar, Guru Gotama: “Petapa Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka.” Hal ini memang benar, karena Guru Gotama tidak menghormat para brahmana yang sepuh, tua, terbebani tahun demi tahun, berusia lanjut, sampai pada tahap akhir; Beliau juga tidak bangkit untuk mereka dan menawarkan tempat duduk kepada mereka. Hal ini tidak selayaknya, Guru Gotama.’1

“Kemudian Aku berpikir: Para mulia ini tidak mengetahui apa itu sepuh dan kualitas-kualitas apa yang membuat seseorang menjadi sepuh. Walaupun seseorang berusia tua – delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun sejak lahir – jika ia berbicara pada waktu yang tidak tepat, berbohong, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengatakan apa yang berlawanan dengan Dhamma dan disiplin, jika pada waktu yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak berguna, tidak masuk akal, berbicara tanpa tujuan, dan tidak bermanfaat, maka ia dianggap sebagai seorang sepuh yang dungu [yang kekanak-kanakan].

“Tetapi walaupun seseorang berusia muda, seorang pemuda berambut hitam, memiliki berkah kemudaan, pada masa utama kehidupannya, jika ia berbicara pada waktu yang tepat, jujur, mengatakan apa yang bermanfaat, mengatakan apa yang sesuai dengan Dhamma dan disiplin, dan jika pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak diingat, masuk akal, ringkas, dan bermanfaat, maka ia dianggap sebagai sesepuh bijaksana.

“Ada, para bhikkhu, keempat kualitas ini yang membuat seseorang menjadi sesepuh. Apakah empat ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu adalah bermoral; ia berdiam terkendali oleh Pātimokkha, memiliki perilaku dan tempat kunjungan yang baik, melihat bahaya dalam pelanggaran-pelanggaran kecil. Setelah menerima aturan-aturan latihan, ia berlatih di dalamnya.

(2) “Ia telah banyak belajar, [23] mengingat apa yang telah ia pelajari, dan mengumpulkan apa yang telah ia pelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di tengah, dan baik di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, yang mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, diingat, diulangi secara lisan, diselidiki dengan pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.

(3) “Ia adalah seorang yang memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, keempat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan merupakan keberdiaman yang nyaman dalam kehidupan ini.

(4) “Dengan hancurnya noda-noda, ia telah mencapai untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya.

“Ini adalah keempat kualitas yang membuat seseorang menjadi sesepuh.”

Si dungu dengan pikiran resah2 yang banyak membicarakan ucapan-ucapan tanpa tujuan, pikirannya kacau, bersenang dalam ajaran yang buruk, menganut pandangan sesat, tidak sopan, adalah jauh dari status seorang sesepuh.

Tetapi seorang yang sempurna dalam moralitas, terpelajar dan melihat, terkendali oleh diri sendiri dalam faktor-faktor kekokohan, yang dengan jelas melihat makna dengan kebijaksanaan; yang melampaui segala fenomena, tidak mandul, melihat;3

Yang telah meninggalkan kelahiran dan kematian, sempurna dalam kehidupan spiritual, padanya tidak ada noda-noda – ia adalah seorang yang Kusebut sesepuh. Dengan hancurnya noda-noda seorang bhikkhu disebut sesepuh.


Catatan Kaki
  1. Penempatan sutta ini pada periode persis setelah pencerahan Sang Buddha agak aneh. Kata-kata para brahmana yang menyiratkan agar Sang Buddha, dari posisi otoritas, terlibat dalam diskusi rutin dengan para brahmana; namun Beliau pasti tidak melakukannya sebelum Beliau memulai karirnya sebagai seorang guru. Baca 8:11, di mana seorang brahmana melakukan tuduhan yang sama terhadap Sang Buddha belakangan setelah Beliau menjadi seorang guru yang berhasil. ↩︎

  2. Saya mengikuti Ce dalam menuliskan sajak ini terdiri dari tiga baris untuk tiap-tiap enam pāda. Be membaginya dalam empat baris, yang pertama dengan enam pāda, dan tiga lainnya dengan empat pāda. ↩︎

  3. Dalam pāda c, saya bersama Ce membaca saññato thiradhammesu, tidak seperti Be dan Ee saññato dhīro dhammesu, “terkendali oleh diri sendiri dan kokoh di antara fenomena-fenomena.” Dalam hal ini, saya mengikuti saran dari Vanarata (dalam suatu komunikasi pribadi) bahwa tulisan Ce “memiliki keuntungan yaitu lebih sesuai dalam hal irama dan memberikan permainan kata (antara thira dan thera, kokoh dan sesepuh).” Klausa ini bersesuaian dengan jhāna-jhāna, “faktor-faktor kekokohan” merujuk pada samādhi. Mp mengemas “yang dengan jelas melihat makna kebijaksanaan” (paññāyatthaṃ vipassati) sebagai melihat makna keempat kebenaran mulia dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang. Mp menjelaskan “telah melampaui segala fenomena” (pāragū sabbadhammānaṃ) sebagai “telah melampaui semua fenomena seperti kelima kelompok unsur kehidupan” dan “mendatangi kesempurnaan dari semua kualitas [baik]” melalui enam melampaui (chabbidhena pāragamanena): sehubungan dengan pengetahuan langsung, pemahaman penuh, meninggalkan, mengembangkan, realisasi, dan pencapaian-pencapaian meditatif. Mp tidak menjelaskan pengulangan paṭibhānavā (“melihat”) dalam syair, yang tampaknya khas. ↩︎