A ii 195
Vappa
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Sakya di Kapilavatthu di Taman Pohon Banyan. Kemudian Vappa orang Sakya, seorang siswa Nigaṇṭha, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:
“Di sini, Vappa, jika seseorang terkendali melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, maka, dengan meluruhnya ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, apakah engkau melihat apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”
“Aku memang melihat kemungkinan demikian, Bhante. Di masa lampau seseorang melakukan perbuatan jahat yang akibatnya belum matang. Karena hal itu, noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang.”1
Sewaktu percakapan antara Yang Mulia Mahāmoggallāna dan Vappa orang Sakya ini sedang berlangsung, pada malam harinya Sang Bhagavā keluar dari keterasingan [197]
dan memasuki aula pertemuan. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna: “Apakah, Moggallāna, yang engkau diskusikan tadi? Dan percakapan apakah yang sedang berlangsung?”
[Yang Mulia Mahāmoggallāna di sini menceritakan keseluruhan percakapannya dengan Vappa orang Sakya, diakhiri dengan:]
“Ini, Bhante, adalah percakapan yang terjadi antara aku dan Vappa orang Sakya ketika Sang Bhagavā datang.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Vappa orang Sakya: “Jika, Vappa, engkau mengakui apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan jika, ketika engkau tidak memahami makna dari kata-kataKu, maka engkau akan bertanya kepadaKu tentangnya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’; maka kita dapat mendiskusikan hal ini.”
“Bhante, aku akan mengakui Sang Bhagavā atas apa yang seharusnya diakui dan menolak apa yang seharusnya ditolak; dan ketika aku tidak memahami makna dari kata-kata Beliau, maka aku akan bertanya kepadaNya lebih lanjut lagi, dengan mengatakan: ‘Bagaimanakah ini, Bhante? Apakah makna dari ini?’ Jadi mari kita mendiskusikan hal ini.”
(1) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui jasmani tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi.2 [198]
Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”
“Tidak, Bhante.”
(2) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui ucapan tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”
“Tidak, Bhante.”
(3) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul karena perbuatan melalui pikiran tidak terjadi ketika seseorang menghindarinya. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”
“Tidak, Bhante.”
(4) “Bagaimana menurutmu, Vappa? Dengan peluruhan ketidak-tahuan dan munculnya pengetahuan sejati, noda-noda itu, yang menyusahkan dan menyebabkan demam, yang mungkin muncul dengan ketidak-tahuan sebagai kondisinya tidak lagi terjadi. Ia tidak menciptakan kamma baru apa pun dan menghentikan kamma lama setelah menyentuhnya lagi dan lagi. Pengikisannya terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana. Apakah engkau melihat, Vappa, apa pun yang karenanya noda-noda yang menghasilkan perasaan menyakitkan dapat mengalir pada seorang demikian dalam kehidupan mendatang?”
“Tidak, Bhante.”
“Seorang bhikkhu yang terbebaskan sempurna dalam pikiran demikian, Vappa, mencapai enam keberdiaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.3 Setelah mendengar suara dengan telinga … Setelah mencium bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih.
“Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berujung pada jasmani, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berujung pada jasmani.’ Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berujung pada kehidupan, ia memahami: ‘Aku merasakan suatu perasaan yang berujung kehidupan.’ Ia memahami: ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’4
“Misalkan, Vappa, sebuah bayangan terlihat karena sebuah tunggul pohon. Kemudian [199]
seseorang datang membawa sekop dan keranjang. Ia memotong tunggul itu diakarnya, menggalinya, dan menarik akar-akarnya, bahkan akar-akar serabut yang halus dan serat-serat akarnya. Ia memotong-motong tunggul itu hingga menjadi keping-kepingan kecil, memecahkan kepingan-kepingan itu, dan mengiris-irisnya. Kemudian ia menjemur irisan-irisan itu di bawah angin dan terik matahari, membakarnya, dan menghancurkannya menjadi abu. Setelah melakukan itu, ia menebarkan abu itu di angin kencang atau menghanyutkannya di arus kencang sebuah sungai. Demikianlah bayangan yang bergantung pada tunggul itu telah dipotong di akar, dibuat menjadi seperti tunggul pohon palem, dilenyapkan sehingga tidak muncul kembali di masa depan.5
“Demikian pula, Vappa, seorang bhikkhu yang demikian terbebaskan sempurna dalam pikiran mencapai enam kediaman konstan. Setelah melihat bentuk dengan mata … Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak gembira juga tidak bersedih, melainkan berdiam seimbang, penuh perhatian dan memahami dengan jernih. Ketika ia merasakan suatu perasaan yang berujung pada jasmani, ia memahami … ‘Dengan hancurnya jasmani, setelah habisnya kehidupan, semua yang dirasakan, karena tidak disenangi, akan menjadi dingin di sini.’”
Ketika hal ini dikatakan, Vappa orang Sakya, siswa Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Bhagavā: “Misalkan, Bhante, ada seseorang yang mencari keuntungan dengan memelihara kuda untuk dijual, tetapi ia tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Demikian pula, demi mencari keuntungan, aku melayani si dungu Nigaṇṭha, tetapi aku tidak memperoleh keuntungan melainkan hanya menuai kelelahan dan kesusahan. Mulai hari ini, keyakinan apa pun yang kumiliki terhadap si dungu Nigaṇṭha, aku menebarkannya di angin kencang atau menghanyutkannya di arus sungai.
“Bagus sekali, Bhante! … [200]
… Sudilah Sang Bhagavā menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”
Ini tampaknya merupakan doktrin Jain, yang melalui praktik menyiksa-diri mereka mengejar pelenyapan kamma lampau. Baca ajaran yang diberikan oleh Nātaputta (Mahāvīra) pada 3:74. ↩︎
So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañ ca kammaṃ phussa phussa vyantīkaroti. Baca Jilid 1 p.549, catatan 499. Di sini Mp memparafrasakan sedikit berbeda dengan yang sebelumnya: “Setelah menyentuh kamma lagi dan lagi melalui kontak dengan pengetahuan, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan melalui pengetahuan. Setelah menyentuh akibat lagi dan lagi melalui kontak-akibat, ia menghancurkan kamma yang harus dilenyapkan dengan [mengalami]` akibatnya.” ↩︎
Mp: “Karena ia telah memperoleh keseimbangan, yang dirangkul oleh perhatian dan pemahaman jernih, dan memiliki keseimbangan pikiran sebagai karakteristiknya, ‘ia berdiam seimbang,’ seimbang secara pikiran sehubungan dengan objek-objek itu” (satisampajaññapariggahitāya majjhattākāralakkhanāya upekkhāya tesu ārammaṇesu upekkhako majjhatto hutvā viharati). ↩︎
Ini menunjukkan sikap Arahant terhadap pengalaman masa sekarang. Ia mengetahui bahwa perasaan-perasaannya berlangsung hanya selama jasmani dan vitalitasnya bekerja, dan bahwa dengan musnahnya jasmani dan padamnya vitalitas maka semua perasaan akan berakhir. Mp menjelaskan “akan menjadi dingin di sini (idh’eva sītībhavissanti)” sebagai berikut: “Perasaan-perasaan itu akan menjadi dingin, hampa dari gangguan dan kesulitan yang disebabkan oleh terjadinya [proses kehidupan]; perasaan-perasaan itu tidak akan terulang. [Ini terjadi] di sini, tanpa pergi ke tempat lain melalui kelahiran kembali.” ↩︎
Mp: “Ini adalah penerapan perumpamaan itu: jasmani harus dilihat sebagai pohon. Kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat adalah bagaikan bayangan yang bergantung pada pohon. Meditator adalah bagaikan orang yang ingin melenyapkan bayangan; kebijaksanaan adalah bagaikan sekop; konsentrasi adalah bagaikan keranjang; pandangan terang adalah bagaikan pencungkil (khaṇitti, tidak disebutkan dalam sutta; DOP mendefinisikan baik kuddāla maupun khaṇitti sebagai alat penggali, sekop, tajak). Waktu yang dibutuhkan untuk menggali akar dengan pencungkil adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk memotong ketidak-tahuan dengan jalan Kearahattaan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan tunggul pohon menjadi berkeping-keping adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat kelompok-kelompok unsur kehidupan; waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan kepingan-kepingan itu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat landasan-landasan indria; waktu yang dibutuhkan untuk mengiris-irisnya adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk melihat elemen-elemen. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan irisan-irisan itu di bawah angin dan terik matahari adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk mengerahkan kegigihan jasmani dan pikiran. Waktu yang dibutuhkan untuk membakar irisan-irisan itu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan untuk membakar kekotoran-kekotoran dengan pengetahuan. Waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkannya menjadi abu adalah bagaikan waktu yang dibutuhkan ketika kelima kelompok unsur kehidupan masih ada [setelah seseorang mencapai Kearahattaan]. Waktu yang dibutuhkan untuk menebarkan abu itu dalam angin kencang dan menghanyutkannya di arus air kencang adalah bagaikan lenyapnya kelima kelompok unsur kehidupan. Seperti halnya abu yang ditebarkan dan terhanyutkan akan pergi menuju kondisi yang tidak terlihat (appaññattibhāvūpagamo), demikian pula seseorang harus memahami kondisi yang tidak terlihat (appaṇnattibhāvo) [yang dicapai] melalui ketidak-munculan kelompok-kelompok unsur kehidupan yang dihasilkan dalam penjelmaan baru.” ↩︎