A i 217
Ājīvaka
Di terjemahkan dari pāḷi oleh
Bhikkhu Bodhi
ShortUrl:
Pada suatu ketika Yang Mulia Ānanda sedang menetap di Kosambi di Taman Ghosita. Kemudian seorang perumah tangga tertentu, seorang siswa Ājīvaka,1 mendatangi Yang Mulia Ānanda, memberi hormat kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata kepadanya:
(1) “Bhante Ānanda, Dhamma siapakah yang dibabarkan dengan baik? (2) Siapakah di dunia ini yang mempraktikkan jalan yang baik? (3) Siapakah di dunia ini yang merupakan yang sempurna?”2
“Baiklah, perumah tangga, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sehubungan dengan hal ini. Engkau boleh menjawab sesuai dengan apa yang menurutmu benar.
(1) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?” [218]
“Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik. Demikianlah menurutku.”
(2) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?”
“Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik. Demikianlah menurutku.”
(3) “Bagaimana menurutmu, perumah tangga? Apakah mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini atau tidak, atau bagaimanakah menurutmu?
“Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini. Demikianlah menurutku.”
“Demikianlah, perumah tangga, engkau telah menyatakan: ‘Dhamma dari mereka yang mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi adalah dibabarkan dengan baik.’ Engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi mempraktikkan jalan yang baik.’ Dan engkau telah menyatakan: ‘Mereka yang telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan adalah yang sempurna di dunia ini.’”
“Mengagumkan dan menakjubkan, Bhante, bahwa tidak ada memuji Dhamma sendiri juga tidak merendahkan Dhamma orang lain, melainkan hanya mengajarkan Dhamma dalam bidangnya sendiri. Maknanya disampaikan, tetapi tidak membawa diri sendiri ke dalam situasinya.3
“Bhante Ānanda, engkau mengajarkan Dhamma untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, [219]
maka Dhammamu dibabarkan dengan baik. Engkau berlatih untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, maka engkau mempraktikkan jalan yang baik di dunia ini. Engkau telah meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, memotongnya di akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan, maka engkau adalah yang sempurna di dunia ini.
‘Bagus sekali, Bhante! Bagus sekali, Bhante! Ānanda yang mulia telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha para bhikkhu. Sudilah Ānanda Yang Mulia menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”
Aliran Makkhali Gosāla, yang mengajarkan determinisme keras dan menekankan pada pertapaan keras yang ekstrim. ↩︎
Di sini dan di bawah digunakan bentuk jamak sugatā. Dengan demikian dalam konteks ini kata ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar Sang Buddha yang merupakan penerapan biasanya. ↩︎
Attho ca vutto, attā ca anupanīto. Terdapat permainan kata di sini antara attho, “makna”, dan attā, “diri.” ↩︎