easter-japanese

Pengembara Channa mendatangi Yang Mulia Ānanda dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka telah mengakhiri ramah tamah tersebut, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang Mulia Ānanda:

“Teman Ānanda, apakah engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”1

“Benar, teman.” [216]

“Tetapi bahaya apakah yang engkau lihat yang karenanya engkau mengajarkan untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

(1) “Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Nafsu menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; nafsu menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

(2) “Seorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian …

(3) “Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan.

“Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak melakukan perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, tidak memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Tetapi ketika delusi [217] ditinggalkan, ia memahami sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya. Delusi menuntun menuju kebutaan, kehilangan penglihatan, dan ketiadaan pengetahuan; delusi menghalangi kebijaksanaan, bersekutu dengan penderitaan, dan tidak mengarah menuju nibbāna.

“Setelah melihat bahaya-bahaya ini dalam nafsu, kebencian, dan delusi, kami mengajarkan untuk meninggalkannya.”

“Tetapi adakah jalan, teman, adakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?”

“Ada jalan, teman, ada cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Tetapi apakah jalan itu, apakah cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi?’

“Adalah jalan mulia berunsur delapan ini, yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini adalah jalan, cara untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi.”

“Jalan yang baik, teman, cara yang baik untuk meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi. Cukuplah, teman Ānanda, untuk ditekuni.”


Catatan Kaki
  1. Saya menganggap kalimat ini sebagai bermakna interogatif walaupun tidak mengandung partikel interogatif. ↩︎