easter-japanese

“Para bhikkhu, jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.1 Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus dialami dengan cara tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.2

“Di sini, para bhikkhu, seseorang telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan berkarakter rendah,3 dan ia berdiam dalam penderitaan.4 Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas.5 Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].6 [250]

(1) “Misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam semangkuk kecil air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sedikit air dalam mangkuk7 itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Benar, Bhante. Karena alasan apakah? Karena air di dalam mangkuk itu terbatas, dengan demikian gumpalan garam itu akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

“Tetapi misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam sungai Gangga. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sungai Gangga itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?”

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena sungai Gangga berisikan banyak air dengan demikian gumpalan garam itu tidak akan membuatnya asin atau tidak dapat diminum.”

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(2) “Di sini, para bhikkhu, seseorang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, [251] atau seratus kahāpaṇa,8 sedangkan seorang lainnya tidak dipenjara karena [mencuri] sejumlah uang yang sama.

“Orang jenis apakah yang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Orang seperti itu akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Orang jenis apakah yang tidak dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa? Di sini, seseorang yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Orang seperti itu tidak akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaṇa, satu kahāpaṇa, atau seratus kahāpaṇa.

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani … dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(3) “Para bhikkhu, ambil kasus seorang pedagang domba atau tukang daging, [252] yang dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seseorang yang mencuri seekor dombanya tetapi tidak dapat melakukannya kepada orang lain yang mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah9 yang dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Si pedagang domba atau tukang daging dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah yang tidak dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang kaya, dengan banyak uang dan kekayaan, seorang raja atau menteri kerajaan. Si pedagang domba atau tukang daging tidak dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya; ia hanya dapat memohon kepadanya: ‘Tuan, kembalikanlah dombaku atau bayarlah.’

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan berkarakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika orang demikian [253] melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan. Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus dialami dengan cara tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”


Catatan Kaki
  1. Posisi pertama, yang ditolak oleh Sang Buddha, tertulis dalam Pāli: Yo, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā ‘yaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā taṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso na hoti, okāso na paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya. Dan yang ke dua, ditegaskan oleh Beliau, tertulis: Yo ca kho, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā vedanīyaṃ ayaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā ‘ssa vipākaṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso hoti, okāso paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya.

    Perbedaan pasti antara kedua posisi itu tidak jelas. Mp mengatakan melalui penjelasan: “Dengan cara yang persis sama: Jika seseorang mengatakan, ‘Seseorang mengalami akibat kamma yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ oleh karena itu, karena adalah tidak mungkin untuk mencegah akibat kamma setelah dilakukan, maka ia pasti mengalami akibat dari kamma apa pun yang telah ia lakukan. Dalam kasus demikian, maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual: kamma yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, yang dilakukan sebelum pengembangan sang jalan, pasti harus dialami, apakah ia menjalani kehidupan spiritual atau tidak. Tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan: karena, dalam kasus demikian, ada akumulasi kamma olehnya dan mengalami akibatnya, oleh karena itu suatu kesempatan tidak akan terlihat untuk mengakhiri penderitaan dalam lingkaran.”

    Poin yang ingin dijelaskan Mp, tampaknya, adalah bahwa jika seseorang harus mengalami akibat dari setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, dan setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami dalam beberapa kehidupan berikutnya, maka ia harus melanjutkan kelahiran kembali yang berikutnya, dan ke dalam kelahiran kembali di masa depan yang tidak terhingga, untuk mengalami akibat-akibat itu. Dalam kasus demikian, karena kamma-kamma itu pasti akan matang, maka ia harus tetap berada dalam saṃsāra untuk mengalami buah-buahnya. Akan tetapi, hal ini tidak sepenuhnya jelas dari sutta itu sendiri, jika ini adalah makna yang dimaksudkan. Sebaliknya, tampaknya, bahwa apa yang disampaikan oleh sutta ini adalah bahwa seseorang tidak harus mengalami akibat kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya (sehingga, misalnya, jika seseorang membunuh orang lain, maka ia tidak harus dibunuh sebagai balasannya). Intinya, adalah bahwa ketika kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat seseorang menjadi matang, maka akibat itu harus dialami, berturut-turut, sebagai menyenangkan dan sebagai menyakitkan, walaupun tingkat kesenangan dan kesakitannya tidak harus bersesuaian dengan kekuatan moral dari perbuatan penyebabnya. ↩︎

  2. Mp menjelaskan ini dalam terminologi teori Abhidhamma bahwa kamma dilakukan melalui tujuh javanacitta, peristiwa pikiran yang aktif secara kamma dalam proses kognisi. Javana pertama adalah jenis yang harus dialami dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammavedanīya); jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan ini, maka akan menjadi mandul (ahosi). Javana ke tujuh adalah yang harus dialami setelah kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya (upapajjavedanīya), dan jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan itu, maka akan menjadi mandul. Kelima javana yang di tengah harus dialami pada beberapa kesempatan berikutnya (aparapariyāyavedanīya), yang berarti bahwa kamma itu dapat menjadi matang setiap saat setelah kehidupan berikut selama ia masih berlanjut dalam saṃsāra. Karena teori ini muncul lama setelah penyusunan Nikāya-nikāya, maka adalah tidak mungkin bahwa ini menyampaikan inti dari paragraf yang sekarang ini. Seperti yang saya jelaskan dalam catatan 546, teks tampaknya hanya mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan kamma tidak bermanfaat, maka ia akan mengalami akibatnya sebagai menyakitkan, apakah pada tingkat yang kuat atau lemah, tetapi tingkat dari akibat ini tidak selalu berbanding lurus dengan bobot perbuatan penyebab tersebut. Pernyataan sebaliknya berpegang pada kamma bermanfaat, yang harus dialami sebagai menyenangkan. Adalah variabel ini yang memperbolehkan seseorang, melalui pengembangan sang jalan, untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi dari kamma berat yang tidak bermanfaat dan karenanya mencapai akhir penderitaan dalam saṃsāra. Interpretasi ini tampaknya berasal dari contoh-contoh yang terdapat dalam sutta.

    Paralel China, MĀ 11 (pada T I 433a12-434a11), tidak menjelaskan perbedaan antara kedua posisi yang berlawanan. Saya membaca sebagai berikut: “Sang Buddha memberitahu para bhikkhu: ‘[Jika seseorang mengatakan:] “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – dalam kasus ini, ia tidak mempraktikkan kehidupan spiritual dan tidak dapat mengakhiri penderitaan. Jika seseorang mengatakan: “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – dalam kasus ini, ia mempraktikkan kehidupan spiritual dan dapat mengakhiri penderitaan.’” (世尊告諸比丘。 隨人所作業則受其報。 如是。 不行梵行不得盡苦。 若作是說。 隨人所作業則受其報。 如是。 修行梵行便得盡苦). Apakah terdapat kekeliruan di sini dalam transmisi tekstual, atau intinya dalam versi ini adalah kedua orang yang menganut pandangan yang sama, satu tidak mempraktikkan dan dengan demikian tidak mengakhiri penderitaan, sedangkan yang lainnya mempraktikkan dan mengakhiri penderitaan. ↩︎

  3. Paritto appātumo. Mp menjelaskan: “Ia terbatas karena keterbatasan moralitasnya (parittaguṇo). Dirinya (ātumā) adalah tubuhnya (attabhāvo); walaupun tubuhnya mungkin besar, namun ia memiliki ‘karakter rendah’ karena keterbatasan moralitasnya.” Ātuma(n) adalah suatu bentuk alternatif dari atta(n) (Skt ātman). Mp mengidentifikasinya sebagai attabhāva. Paralel China membaca frasa yang bersesuaian (yang terdapat pada T I 433a28) sebagai “umur kehidupannya sangat singkat” (壽命甚短). ↩︎

  4. Teks membaca appadukkhavihārī, yang tidak cocok dengan konteks. Mp menawarkan suatu pemecahan yang tidak meyakinkan pada kata majemuk: “Ia berdiam dalam penderitaan karena perbuatan jahat kecilnya” (appakenapi pāpena dukkhavihārī). Paralel China tidak mencantumkan apa pun yang bersesuaian dengan ini yang membantahnya. Saya mengubah teks menjadi hanya dukkhavihārī. Adalah mungkin bahwa appa masuk melalui kekeliruan pembacaan berdasarkan pada appamāṇavihārī persis di bawah. ↩︎

  5. Aparitto mahttā (Be: mahatto). Mp (Ce): “Ia tidak terbatas karena moralitasnya tidak terbatas; bahkan walaupun tubuhnya kecil, namun ia memiliki ‘karakter besar’ karena besarnya moralitasnya” (guṇamahantatāya mahattā). Mp menganggap semua kata ini menyiratkan bahwa orang yang sedang digambarkan adalah seorang Arahant, yang mengherankan karena, menurut filosofi Abhidhamma yang mendasari komentar, seorang Arahant tidak menciptakan kamma apa pun sama sekali. Dan lagi, paralel China (pada T I 433b11) menginterpretasikan ini melalui umur kehidupan: “ia memiliki umur kehidupan yang sangat panjang” (壽命極長). ↩︎

  6. Yaitu, sisa yang harus dialami dalam kehidupan-kehidupan mendatang. ↩︎

  7. Be tidak menuliskan udakamallake di sini. ↩︎

  8. Kahāpaṇa: Satuan mata uang utama yang digunakan di India Utara pada masa Sang Buddha. ↩︎

  9. Di mana di sini Ce membaca kathaṃrūpo dan di bawah evarūpo, adalah lebih baik membaca seperti Be dan Ee sebagai bentuk akusatif kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ. Kata-kata ini harus dihubungkan dengan bentuk akusatif masa kini ādiyamānaṃ yang muncul di tengah-tengah tiap-tiap kalimat; mereka adalah, bukan pedagang domba atau tukang daging, melainkan orang yang telah mencuri domba. Yang mengherankan, dalam padanannya tentang si orang kaya, Ce menuliskan dengan benar kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ, sesuai dengan Be dan Ee. ↩︎