easter-japanese

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu Yang Mulia Girimānanda sedang sakit, menderita, sakit keras.1 Kemudian Yang Mulia Ānanda mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bhante, Yang Mulia Girimānanda sedang sakit, menderita, dan sakit keras. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjenguknya demi belas kasihan.”

“Jika, Ānanda, engkau menjenguk Bhikkhu Girimānanda dan menyampaikan sepuluh persepsi kepadanya, maka adalah mungkin bahwa setelah mendengarnya penderitaannya akan segera mereda. Apakah sepuluh ini? [109]

“(1) Persepsi ketidak-kekalan, (2) persepsi tanpa-diri, (3) persepsi ketidak-menarikan, (4) persepsi bahaya, (5) persepsi meninggalkan, (6) persepsi kebosanan, (7) persepsi lenyapnya, (8) persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia, (9) persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi, dan (10) perhatian pada pernapasan.

(1) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-kekalan? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Bentuk adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, aktivitas-aktivitas kehendak adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Ini disebut persepsi ketidak-kekalan.

(2) “Dan apakah, Ānanda, persepsi tanpa-diri? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Mata adalah tanpa-diri, bentuk-bentuk adalah tanpa-diri; telinga adalah tanpa-diri, suara-suara adalah tanpa-diri; hidung adalah tanpa-diri, bau-bauan adalah tanpa-diri; lidah adalah tanpa-diri, rasa kecapan adalah tanpa-diri; badan adalah tanpa-diri, objek-objek sentuhan adalah tanpa-diri; pikiran adalah tanpa-diri, fenomena pikiran adalah tanpa-diri.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan tanpa-diri dalam enam landasan indria internal dan eksternal. Ini disebut persepsi tanpa-diri.

(3) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-menarikan? Di sini, seorang bhikkhu memeriksa tubuh ini ke atas dari telapak kaki dan ke bawah dari ujung rambut, yang diselubungi oleh kulit, sebagai penuh dengan berbagai jenis kekotoran: ‘Ada pada tubuh ini rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput paru-paru, limpa, paru-paru, usus, selaput perut, lambung, kotoran tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, pelumas, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan dalam tubuh ini. Ini disebut persepsi ketidak-menarikan.

(4) “Dan apakah, Ānanda, persepsi bahaya? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Tubuh ini adalah sumber dari begitu banyak kesakitan [110] dan bahaya; karena segala jenis penyakit muncul dalam tubuh ini, yaitu, penyakit-mata, penyakit bagian dalam telinga, penyakit-hidung, penyakit-lidah, penyakit-badan, penyakit-kepala, penyakit telinga bagian luar, penyakit-mulut, penyakit-gigi,2 batuk, asma, radang selaput lendir hidung, pireksia, demam, sakit perut, pingsan, disentri, keluhan-keluhan, kolera, lepra, bisul, eksim, tuberkulosis, epilepsi, kurap, gatal, keropeng, cacar, kudis, pendarahan, diabetes, wasir, kanker, hiliran; penyakit yang berasal-mula dari empedu, dahak, angin, atau kombinasinya; penyakit yang disebabkan karena perubahan iklim; penyakit yang disebabkan oleh perilaku ceroboh; penyakit yang disebabkan karena serangan; atau penyakit yang disebabkan karena akibat kamma; dan dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil.’ Demikianlah ia berdiam dengan merenungkan bahaya dalam tubuh ini. Ini disebut persepsi bahaya.

(5) “Dan apakah, Ānanda, persepsi meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak mentolerir pikiran nafsu indria yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ia tidak mentolerir pikiran berniat buruk yang telah muncul … pikiran mencelakai yang telah muncul … kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun kondisi-kondisi itu muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya, dan melenyapkannya. Ini disebut persepsi meninggalkan.

(6) “Dan apakah, Ānanda, persepsi kebosanan? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: ‘Ini damai, ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, nibbāna.’ Ini disebut persepsi kebosanan.3

(7) “Dan apakah, Ānanda, persepsi lenyapnya? Di sini, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, seorang bhikkhu merenungkan sebagai berikut: Ini damai, [111] ini luhur, yaitu, tenangnya segala aktivitas, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, lenyapnya, nibbāna.’ Ini disebut persepsi lenyapnya.

(8) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia? Di sini, seorang bhikkhu menahan diri dari4 segala keterlibatan dan kemelekatan, sudut-sudut pandang pikiran, ketaatan, dan kecenderungan tersembunyi sehubungan dengan dunia, meninggalkannya tanpa melekat padanya. Ini disebut persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.

(9) “Dan apakah, Ānanda, persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi? Di sini, seorang bhikkhu merasa muak, malu, dan jijik oleh segala fenomena terkondisi. Ini disebut persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi.5

(10) “Dan apakah, Ānanda, perhatian pada pernapasan? Di sini, seorang bhikkhu, setelah pergi ke hutan, ke bawah sebatang pohon, atau ke gubuk kosong, duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, dengan penuh perhatian ia menarik napas, penuh perhatian ia mengembuskan napas.

“Menarik napas panjang, ia mengetahui: ‘Aku menarik napas panjang’; atau mengembuskan napas panjang, ia mengetahui: ‘Aku mengembuskan napas panjang.’ Menarik napas pendek, ia mengetahui: ‘Aku menarik napas pendek’; atau mengembuskan napas pendek, ia mengetahui: ‘Aku mengembuskan napas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami seluruh tubuh, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas jasmani, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas jasmani, aku akan mengembuskan napas.’

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami sukacita, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami kebahagiaan, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami aktivitas pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami aktivitas pikiran, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menenangkan aktivitas pikiran, aku akan mengembuskan napas.’6

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengalami pikiran, aku akan mengembuskan napas.’ [112] Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan menggembirakan pikiran, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan mengkonsentrasikan pikiran, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan membebaskan pikiran, aku akan mengembuskan napas.’7

“Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan ketidak-kekalan, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan peluruhan, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan lenyapnya, aku akan mengembuskan napas.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan menarik napas’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Dengan merenungkan pelepasan, aku akan mengembuskan napas.’

“Ini disebut perhatian pada pernapasan.

“Jika, Ānanda, engkau menjenguk Bhikkhu Girimānanda dan menyampaikan kesepuluh persepsi ini kepadanya, maka adalah mungkin bahwa setelah mendengarnya ia akan segera sembuh dari penyakitnya.”

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah mempelajari kesepuluh persepsi ini dari Sang Bhagavā, ia mendatangi Yang Mulia Girimānanda dan menyampaikan kesepuluh persepsi ini. Ketika Yang Mulia Girimānanda mendengar tentang kesepuluh persepsi ini, penyakitnya seketika mereda. Yang Mulia Girimānanda sembuh dari penyakitnya, dan itu adalah bagaimana ia sembuh dari penyakitnya. [113]


Catatan Kaki
  1. Selain dari teks ini tidak ada informasi lainnya tentang Girimānanda dalam Nikāya-nikāya. Di Negara-negara Buddhis Theravāda sutta ini mendapatkan status paritta, sebuah “khotbah perlindungan,” yang sering dibacakan oleh para bhikkhu kepada orang-orang yang menderita penyakit. ↩︎

  2. Hanya dalam Be, oṭṭharogo, penyakit bibir, terdapat antara dantarogo dan kāso↩︎

  3. Ini dan persepsi berikutnya adalah perenungan reflektif pada nibbāna. Dalam skema empat puluh subjek meditasi klasik, persepsi-persepsi ini termasuk dalam “perenungan kedamaian” (upasamānussati), yang dijelaskan pada Vism 293-94, Ppn 8:245-51. ↩︎

  4. Sementara Ce dan Ee membaca pajahanto viramati anupādiyanto, Be membaca pajahanto viharati anupādiyanto. Mp tidak memberikan klarifikasi. ↩︎

  5. Sulit untuk memastikan bagaimana penjelasan ini berhubungan dengan tema ketidak-kekalan. Beberapa naskah membaca persepsi ini sebagai sabbasaṅkhāresu anicchāsaññā, “persepsi tanpa pengharapan (atau tanpa keinginan) sehubungan dengan segala fenomena terkondisi,” yang tampaknya berhubungan lebih baik daripada definisi ini. ↩︎

  6. Aktivitas pikiran (cittasaṅkhāra) di sini adalah persepsi dan perasaan, karena hal-hal ini dikatakan sebagai terikat dengan pikiran dan muncul dengan bergantung pada pikiran (baca MN 44.15, I 301,28-29). ↩︎

  7. Yaitu, membebaskan pikiran dari rintangan-rintangan menuju pemurnian ketenangan dan pandangan terang. ↩︎